Anda di halaman 1dari 11

Kasus 5

Topik : Demam Tifod

Tanggal Kasus : April 2017

Presenter : dr. Ady Adha Norsanie

Tanggal Presentasi :

Pendamping : dr. Novieka Dessy M

Tempat Presentasi : RS Bhayangkara Hoegeng Imam Santoso Banjarmasin

Objektif Presentasi : Keterampilan, Diagnostik, Anak

Deskripsi : Anak, usia 5 tahun, tidak nafsu makan,

nyeri perut.

Tujuan : Diagnosis dan tatalaksana Demam Tifoid

Bahan Bahasan : Kasus

Cara Membahas : Diskusi

Data Pasien : Nama Pasien : An. H/ 5 tahun

Data untuk bahan diskusi :

1. Diagnosis

Demam Tifoid

2. Riwayat Pengobatan

Pasien datang diantar kedua orangtuanya dengan keluhan demam sejak 8

hari yang lalu. Pada 5-6 hari pertama, demam timbul perlahan, demam

meningkat pada sore hari hingga malam hari dan menurun saat pagi tetapi

sekarang demam terus menerus tinggi. Demam tidak disertai mengigil. Pasien

1
juga mengeluh nyeri perut diseluruh lapang abdomen, mual, muntah 3x berisi

makanan, lemas, sakit kepala, dan nafsu makan menurun. Keluhan ini tidak

disertai batuk, filek, mimisan, gusi berdarah. BAB dan BAK tidak ada

keluhan.

Pasien sempat dibawa kedokter pada hari ke-3 demam dan mendapatkan

obat sirup penurun panas yang diminum 3 kali sehari dengan dosis 1

sendok, tetapi demam tidak turun.

3. Riwayat Kesehatan/Penyakit :

a) Kesadaran Compos Mentis


b) Demam
c) Nyeri perut
d) Mual dan muntah
e) Lemas, sakit kepala, nafsu makan menurun
f) BAB dan BAK tidak ada keluhan

4. Riwayat Keluarga

5. Lain-lain :

a. Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Baik

Kesadaran : Kompos Mentis

Status Generalis : Dalam Batas Normal

Tanda Vital Nadi : 82 x/menit

RR : 21 x/menit

T : 38,6

Berat Badan : 18 kg

Thorax : BJ I II (sde), whz -/- rh-/-

2
Abdomen : supel, hepar/lien tidak teraba, defans muscular (-), timpani, bising

usus (+) nyeri tekan epigastrium (sde)

Ekstremitas : edema -/-, akral hangat

Kulit : rash maculopapular erithem generalisata (-)

6. Pemeriksaan Penunjang

Darah Rutin : Widal

Hb : 11,2 S. Typhi O : 1/320

Ht : 32 % S. Typhi H : 1/320

Leu : 5400 S. Paratyphi A-O : 1/80

Trom : 250.000 S. Paratyphi B-O : 1/80

Hasil Pembelajaran

1 Diagnosis Kerja

Demam Tifoid

2 Dasar Diagnosis

a) Anamnesis

Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika

dibandingkan dengan penderita dewasa. Masa tunas rata-rata 10-20 hari. Yang

tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan, sedangkan yang terlama

sampai 30 hari jika infeksi melalui minuman. Selama masa inkubasi mungkin

ditemukan gejala prodormal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri

kepala, pusing dan tidak bersemangat. Kemudian menyusul gejala klinis yang

biasa ditemukan, yaitu:

3
Demam

Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat

febris remiten dan suhu tidak seberapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu

tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari

dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita

terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu badan berangsur-

angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.

Pada kasus ini pasien datang diantar kedua orangtuanya dengan

keluhan demam sejak 8 hari yang lalu. Pada 5-6 hari pertama, demam timbul

perlahan, demam meningkat pada sore hingga malam hari dan menurun saat pagi

tetapi sekarang demam terus menerus tinggi.

Gangguan Saluran Pencernaan

Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-

pecah. Lidah ditutupi selaput putih kotor, ujung tepinya kemerahan, jarang

disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung.

Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan

konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal, biasanya dapat terjadi diare.

Pada kasus ini pasien mengeluh nyeri perut diseuruh lapang abdomen,

mual, muntah 3x berisi makanan, lemas, sakit kepala, dan nafsu makan

menurun, tidak didapatkan lidah kotor, perut kembung, pembesaran hati limfa

dan diare.

Gangguan Kesadaran

4
Umumnya kesadaraan penderita menurun walaupun tidak seberapa

dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma dan gelisah.

Pada pasien ini kesadaran masih compos mentis.

1. Pemeriksaan Fisik

Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan

rata-rata antara 10-40 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, hal

tersebut dapat terjadi disebabkan oleh faktor galur Salmonella, status nutrisi dan

imunologik penjamu, serta lama sakit dirumahnya. Penampilan demam pada

kasus demam tifoid mempunyai tampilan khusus yaitu step-ladeer temperature

chart yang ditandai dengan demam timbul insidius, kemudian naik secara

bertahap setiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama.

Setelah itu demam akan bertahan tinggi. Pada minggu ke-4, demam turun

perlahan. Demam lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan dengan

pagi harinya.

Pada minggu pertama, gejala klinisnya yaitu demam, nyeri kepala,

pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi/diare, perasaan tidak enak

diperut, batuk dan epistaksis. Dalam minggu ke-2, gejala telah lebih jelas, yaitu

berupa demam, bradikardi relatif (peningkatan suhu 1C tidak diikuti dengan

peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput, hepatomegali,

splenomegai, meteorismus, gangguan kesadaran berupa somnolen, stupor, koma,

delirium dan psikosis.

2. Pemeriksaan Penunjang

5
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakan diagnosis

demam tifoid dibagi dalam 4 kelompok, yaitu:

1) Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering dijumpai anemnia dari yang ringan sampai

sedang dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom

normositer, yang diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau

perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia

disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah. Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila

disertai komplikasi lain. Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis

didapatkan limfositosis relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left atau shift to

the right bergantung pada perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali

meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan

SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.

Gambaran sumsum tulang menunjukan normoseluler, eritroid dan

mieloid sistem normal, juga megakariosit dalam batas normal.

Pada pasien ini didapatkan Hb 11.2, leukosit 5400, dan trombosit

250.000, dapat disimpilkan bahwa masih dalam batas normal.

2) Uji Serologi

Uji serologi digunakan untuk membantu menegakan diagnosis demam

tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. Typhi

maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji

6
serologi ini adalah 1-3 ml yang diinokulasikan kedalam tabung tanpa

antikoogulan.

Metode pemeriksaan serologi imunologis ini dikatakan mempunyai

nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih

ditemukan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada

antigen spesifik S. Typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis

spesimen yang diperiksa, tehnik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut,

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu

pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).

Beberpa uji serologi yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi:

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antobodi

terhadap kuman S. Typhi yaitu uji widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896.

Pada uji widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. Typhi dengan

antibodi yang disebut aglutinin. Prinsif uji widal adalah serum penderita dengan

pengenceran yang berbeda ditambahkan dengan antigen dalam jumlah yang

sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi.

Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukan titer

antibodi dalam serum.

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam

serum penderita tersangka demam tifoid, yaitu:

Aglutinin O (dari tubuh kuman)


Aglutinin H (flagel kuman)
Aglutinin Vi (simpai kuman)

7
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang

digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar

kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi

O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai

beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang

telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan

aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan- 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih

lambat dan biasanya hilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pangidap

S. Typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai

untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan

pengidap S. Typhi.

Beberapa keterbatasan uji widal ini adalah:

Negatif Palsu

Pemberian antibiotik yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian paling

sering di negara kita, demam > kasih antibiotik > tidak sembuh dalam 5 hari >

tes widal) menghalangi respon antibodi. Padahal bisa jadi positip bila dilakukan

kultur darah.

Positip Palsu

Beberapa jenis serotipe salmonella lainnya (misalnya S. Paratyphi A,

B, C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi silang

dengan jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positip palsu (false

positip). Padahal sebenarnya yang positip kuman non S. Typhi (bukan typhoid)

8
Pada pasien ini didapatkan hasil uji widalnya S. Typhi O 1/320 dan S.

Typhi H 1/320, yang menunjukan tingginya titer antibodi dalam serum.

b) Tes TUBEX

Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang

sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang

berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesivisitas ditingkatkan dengan

mengunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya di temukan pada

Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut

karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi

IgG dalam waktu beberapa menit.

3. Tatalaksana

Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik.

Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini

adalah Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin

untuk menghindari pemberian aspirin dan turunannya karena mempunyai

efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih

rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila

tidak mampu intake peroral dapat diberikan intra parenteral, obat yang

masih dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na yaitu Antrain

atau Novalgin. Pada pasien ini diberikan Paracetamol sirup 125 mg 3x2

Sendok takar.

Antibiotik

9
Chloramphenikol, merupakan antibiotik pilihan pertama umtuk infeksi

tifoid fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak-anak 50-100

mg/kgbb/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup

50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam

turun. Pemberian intra muscular tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini

tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi

atau didapatkan infeksi sekunder pengobaan diperpanjang sampai 21 hari.

Kelemahan dari jenis antibiotik ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh

dan carier.

Contrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotik

trimetropim dan sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10

mgkg/hari dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hr dibagi dalam 2 dosis. Untuk

pemberian secara sirup dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum

sehari diberi 2 kali selama 2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotik

golongan ini adalah terjadinya gangguan sistem hematologi seperti anemia

megaloblastik, leukopenia dan granulositopenia. Dan pada beberapa negara

antibiotik golongan ini sudah dilaporkan resisten.

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxime, Cefixime),

merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari

Chloramfenikol dan Contrimoxazole serta lebih sensitif terhadap S. Typhi.

Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari IV dibagi dalam

1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan

10
Cefotaxime 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk

sediaan per oral dapat diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.

Pada demam tifoid berat kasus seperti delirium, stupor, koma sampai

syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametason) 3 mg/kg dalam 30 menit

untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang-kadang

diperlukan transfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera

dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazole.

Pada pasien ini diberikan Cefixime sirup 100 mg/5ml 2x1 sendok

takar selama 10 hari. Selain itu pasien juga diberikan multivitamin sirup 2x1

sendok takar dan antasida sirup 3x1/2 sendok takar untuk meredakan mualnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Soewono W, Budiono S, Aminoe. 2014. Konjungtivitis Vernal dalam:


Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/UPF Ilmu Penyakit Mata.Surabaya:
RSUD Dokter Soetomo.

2. Schwab IR, Dawson CR. 2006. Konjungtiva dalam: Oftalmologi Umum.


Edisi 14. Jakarta: Widya Medika.

11

Anda mungkin juga menyukai