Anda di halaman 1dari 6

LAPORAN KASUS DEMAM BERDARAH DENGUE

PUSKESMAS TARUMAJAYA PERIODE TAHUN 2015

I. Kondisi Umum

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat dan endemis di sebagian kabupaten/kota di Indonesia. Hampir setiap
tahun terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) di beberapa daerah yang biasanya terjadi pada musim
penghujan. DBD pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 di Jakarta dan Surabaya, dengan 48 penderita
dan angka kematian (CFR) sebesar 41,3%. Dewasa ini DBD telah tersebar di seluruh provinsi di
Indonesia.
Program pencegahan dan pemberantasan DBD telah berlangsung lebih kurang 43 tahun dan
berhasil menurunkan angka kematian dari 41,3% pada tahun 1968 menjadi 0,87 % pada tahun 2010,
tetapi belum berhasil menurunkan angka kesakitan. Jumlah penderita cenderung meningkat,
penyebarannya semakin luas, menyerang tidak hanya anak-anak tetapi juga golongan umur yang lebih
tua. Pada tahun 2011 CFR Nasional adalah: 0,80 %.

II. Kejadian DBD di Wilayah kerja Puskesmas Tarumajaya

Kejadian Demam Berdarah Dengue di wilayah kerja Puskesmas Tarumajaya selama periode
tahun 2015 adalah 47 kasus. Jika dibandingkan dengan tahun 2014 adalah 17 kasus maka tahun ini telah
terjadi peningkatan kasus.
Jumlah kasus DBD menurut bulan dan jenis kelamin adalah sebagai berikut :

BULA PEREMPU JUMLA


N LAKI-LAKI AN H
JAN 1 0 1
FEB 3 7 10
MAR 1 3 4
APR 3 10 13
MEI 6 3 9
JUN 2 3 5
JUL 0 0 0
AGUS
T 1 1 2
SEPT 0 0 0
OKT 0 0 0
NOV 3 0 3
DES 0 0 0
JUMLA
H 20 27 47
GRAFIK DBD
MENURUT JENIS KELAMIN
TAHUN 2015
14

12

10

0
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGUST SEPT OKT NOV DES

Kejadian menurut umur, umur 20 45 tahun paling banyak adalah 11 orang dimana usia ini usia
produktif .

KEJADIAN MENURUT UMUR


N
O UMUR JUMLAH
1 0 - 12 BULAN 1
2 1-5 TH 4
3 >5TH - 14 TH 10
4 >14TH - 20 TH 5
5 >20 - 45 TH 11
6 >45 0
31
7
7

4 4 4
4

3
3
LAKI-LAKI PEREMPUAN
2 2
2

1 1 1 1 1
1

0
0 0 0 0

JUMLAH KASUS DBD MENURUT UMUR PERIODE JANUARI - OKTOBER TAHUN 2013
12 11
10
10

6 5
JUMLAH
4
4

2 1

0
0
Kasus kematian akibat DBD tahun 2015 adalah 1 kasus sehingga CFR DBD di Puskesmas Tarumajaya
hingga Oktober 2013 adalah 0%.

III. Isu dan Permasalahan Pengendalian


DBD sangat endemis di Indonesia, sejak ditemukan pertama kali tahun 1968 jumlah kasus dan
luas daerah terjangkit terus meningkat. Penyebab meluasnya penyakit DBD di Indonesia multi faktorial
antara lain:
1. Faktor Manusia dan Sosial Budaya
a. Faktor manusia, kepadatan penduduk sangat berpengaruh pada kejadian kasus DBD, makin padat
penduduk makin tinggi kasus DBD di kota tersebut. Hal ini karena berkaitan dengan penyediaan INFRA
STRUKTUR yang kurang memadai seperti penyediaan sarana air bersih, sarana pembuangan sampah,
sehingga terkumpul barang2 bekas yang dapat menampung air dan menjadi tempat perkembang biakan
nyamuk Aedes , penular DBD.
b. Mobilitas manusia : perpindahan manusia dari satu kota ke kota lain mempengaruhi penyebaran
penyakit DBD.
c. Perilaku manusia : kebiasaan menampung air untuk keperluan sehari-hari seperti menampung air
hujan, air sumur, harus membeli air didalam BAK MANDI, membuat bak mandi atau drum/tempayan
sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk .
d. Kebiasaan menyimpan barang2 bekas atau kurang memeriksa lingkungan terhadap adanya air2 yang
tertampung didalam wadah2 dan kurang melaksanakan kebersihan dan 3 M PLUS ( Menguras, Menutup
dan Mengubur PLUS menaburkan Larvasida , memelihara ikan pemakan jentik dll. )

2. Faktor agen dan lingkungan


a. Faktor agen/ virus DBD : ada 4 serotipe yang tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia, dan
bersirkulasi sepanjang tahun, Dipertahankan siklusnya didalam tubuh nyamuk
b. Faktor Nyamuk penular, yaitu Aedes aegypti yang tersebar luas diseluruh pelosok tanah air,
populasinya meningkat pada saat musim hujan
c. Faktor lingkungan: Musim hujan meningkatkan populasi nyamuk, namun di Indonesia musim kering
pun populasinya tetap banyak karena orang cenderung menampung air dan didaerah sulit air orang
menampung air didalam bak2 air/ drum, sehingga nyamuk dan jentik selalu ada sepanjang tahun.

3. SOP
a. Kurangnya pemahaman tentang penegakan diagnosis dan penatalaksanaan penderita DBD sesuai
standar pada sebagian klinisi baik di Rumah Sakit, Puskesmas maupun sarana pelayanan kesehatan
lainnya, sehingga sering terjadi over diagnosis.
b. Belum semua rumah sakit menggunakan form KDRS/KD-DBD dan seringnya keterlambatan
pelaporan kasus dari rumah sakit ke Dinas Kesehatan atau ke Puskesmas. Jika sesuai standar, seharusnya
setiap kasus yang ditemukan dilaporkan dalam waktu kurang dari 24 jam agar dapat dilakukan langkah-
langkah penanggulangan kasus secara cepat dan tepat sebelum terjadi penyebaran lebih luas lagi.

4. Ketersediaan Tenaga Pelayanan


a. Faktor pelaksana program yang sering berganti-ganti, kurangnya petugas lapangan dan khususnya
kurangnya pendanaan bagi pelaksanaan program pengendalian DBD.
b. Kegiatan pemeriksaan jentik berjalan namun tidak menyeluruh karena keterbatasan tenaga. Puskesmas
melaksanakan PJB ( Pemeriksaan Jentik Berkala) , kader2 JUMANTIK melaksanakan pemeriksaan
jentik belum optimal, sebaiknya seminggu sekali di lingkungannya, namun tidak tersedia dana
operasional maupun biaya pengganti transport bagi para kader Jumantik sehingga kegiatannya
mengendur.

5. Kondisi Sarana Pendukung


Mesin fogging tersedia di Puskesmas, namun tidak disertai biaya pemeliharaan. Oleh karena itu mesin2
yang rusak tidak tersedia suku cadang , sering kali diambil dari mesin2 yang ada, sehingga banyak mesin
fogging yang rusak.

6. Sumber Pembiayaan
a. Masalah DBD belum dianggap sebagai masalah prioritas di beberapa wilayah sehingga alokasi dana
APBD untuk penanggulangan DBD masih tergolong kecil di masing-masing wilayah endemis.
b. Untuk penyemprotan suatu area , luas radius 100 meter ( 1 HA , estimasi hanya untuk 20-40 rumah)
dibutuhkan biaya Rp.300.000 - 500.000/ 2 siklus . Area yang disemprot harus memenuhi kriteria PE
tersebut, dengan tujuan membunuh nyamuk yang mengandung virus. Oleh karena itu apabila masyarakat
meminta penyemprotan tidak memenuhi kriteria PE, mereka harus menanggung biaya itu sendiri.
Penyemprotan (fogging) liar ini biasanya dilakukan oleh perusahaan2 penyemprot/ pihak swata yang
hanya mengutamakan aspek keuntungan/komersil saja.
c. Peningkatan kasus yang umumnya terjadi bulan Januari hingga Maret , dimana pada bulan-bulan
tersebut dana operasional belum turun dari APBD, ini membuat hambatan dalam pelaksanaan
penanggulangan kasus di lapangan.

7. Faktor kerjasama/peran serta


Faktor peran serta lintas sektor maupun peran serta masyarakat yang masih kurang dan cenderung
mengharapkan sektor kesehatan saja yang mengatasi masalah DBD. Dengan kata lain masalah DBD
masih dianggap sebagai masalah sektor kesehatan semata.

IV. Arah Kebijakan Pengendalian Penyakit DBD


Melalui Kepmenkes no. 581/Tahun 1992, telah ditetapkan Program Nasional Penanggulangan DBD yang
terdiri dari 8 pokok program yaitu :
1. Surveilans epidemiologi dan Penanggulangan KLB
2. Pemberantasan Vektor
3. Penatalaksanaan Kasus
4. Penyuluhan
5. Kemitraan dalam wadah POKJANAL DBD
6. Peran Serta Masyarakat : Jumantik
7. Pelatihan
8. Penelitian

Langkah-Langkah Kebijakan Pemerintah :


1. Untuk setiap kasus DBD harus dilakukan Penyelidikan epidemiologi meliputi radius 100 meter dari
rumah penderita. Apabila ditemukan bukti2 penularan yaitu adanya penderita DBD lainnya , ada 3
penderita demam atau ada faktor risiko yaitu ditemukan jentik, maka dilakukan penyemprotan (Fogging
Focus) dengan siklus 2 Kali disertai larvasidasi, dan gerakan PSN.
2. Puskesmas melaksanakan kegiatan Pemeriksaan Jentik Berkala ( PJB ) setahun 4 kali untuk
memonitor kepadatan jentik diwilayahnya.
3. Lebih mengutamakan pencegahan yaitu dengan melaksanakan PSN ( Pemberantasan Sarang
Nyamuk ) melalui 3 M PLUS, dengan melibatkan masyarakat.
4. Memfasilitasi terbentuknya tenaga JUMANTIK ( Juru Pemantau Jentik)
5. Kemitraan melalui wadah POKJANAL dan lintas sektor lainnya terutama DIKNAS
6. Penyuluhan kepada masyarakat agar masyarakat tetap waspada.

V. Harapan
DBD merupakan masalah kita bersama, bukan hanya sektor kesehatan semata. Sektor kesehatan
bertanggung jawab penuh pada perawatan penderita di Puskesmas/ Rumah Sakit dalam rangka
menurunkan angka kematian. Namun mengingat begitu kompleksnya masalah penularan DBD, maka
perlu peran berbagai SEKTOR dan Masyarakat sendiri untuk memberantas penyakit DBD melalui
pemberantasan nyamuk dan jentiknya. Mengingat bahwa kejadian DBD semakin meluas maka DBD
perlu mendapat perhatian dari semua pihak dan menjadi masalah Nasional dan perlu perbaikan di
berbagai aspek mulai dari aspek manajemen kasus, manajemen vektor, manajemen logistik ( insektisida,
larvasida, mesin fogging) , peningkatan peran serta masyarakat.

VI. Prioritas Kegiatan

a. Pengendalian vektor dengan melaksanakan Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) terutama
pada desa dengan endemis tinggi, dengan tetap meningkatkan kewaspadaan di setiap wilayah.

b. Peningkatan surveilans kasus & vektor

c. Peningkatan kemitraan dengan lintas sektor dan lintas program terkait, diantaranya melalui wadah
POKJANAL (Kelompok Kerja Operasional) DBD, UKS, SBH, kalangan Akademisi dan lain-lain.

d. Penanggulangan kasus / KLB


Manajemen kasus di Puskesmas Tarumajaya sesuai standar
Setiap kasus yang dilaporkan ke Puskesmas Tarumajaya maka dilakukan langkah langkah
Penanggulangan kasus/fokus yaitu: Penyelidikan Epidemiologi (PE), Fogging Fokus, Larvasidasi
dan Penyuluhan.
Peningkatan kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan KLB antara lain dengan peningkatan
surveilans dan memenuhi ketersediaan logistik (insektisida, larvasida, dll)

Anda mungkin juga menyukai