Bab 1 Pendahuluan
Bab 1 Pendahuluan
PENDAHULUAN
Penderita hipertensi yang tidak terkontrol sewaktu- waktu bisa jatuh dalam
keadaan gawat darurat. Oleh sebab itu, diperlukan tatalaksana yang tepat dalam
mengatasi hipertensi ini. Penatalaksanaan yang baik dan teratur dapat mencegah keadaan
gawat darurat pada penderita.1
1.4 Manfaat
Penulisan referat ini disusun berdasarkan metode tinjauan kepustakaan dari berbagai
literatur.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Hipertensi yang diderita seseorang erat kaitannya dengan tekanan sistolik dan
diastolik atau keduanya secara terus menerus. Tekanan sistolik berkaitan dengan
tingginya tekanan pada arteri bila jantung berkontraksi, sedangkan tekanan darah
diastolik berkaitan dengan tekanan arteri pada saat jantung relaksasi diantara dua denyut
jantung. Dari hasil pengukuran tekanan sistolik memiliki nilai yang lebih besar dari
tekanan diastolik (Corwin, 2005).
Hipertensi dapat didefenisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan
sistoliknya di atas 140 mm Hg dan tekanan diastolik di atas 90 mmHg (Smiltzer, Suzanne
C 2001). Hipertensi adalah suatu keadaan di mana dijumpai tekanan darah lebih dari
140/90 mmHg atau lebih untuk usia 13-50 tahun dan tekanan darah mencapai 160/95
mmHg untuk usia diatas 50 tahun. Dan harus dilakukan pengukuran tekanan darah
minimal sebanyak dua kali untuk lebih memastikan keadaan tersebut (WHO, 2001).
Hipertensi didefenisikan sebagai tekanan darah yang lebih tinggi dari 140/90
mmHg dapat diklasifikasikan sesuai derajat keparahannya, mempunyai rentang dari
tekanan darah normal tinggi sampai hipertensi maligna. Keadaan ini dikategorikan sebagai
primer atau esensial (hampir 90% dari semua kasus) dan hipertensi sekunder, terjadi
sebagai akibat dari kondisi patologi yang dapat dikenali, sering kali dapat diperbaiki ( Joint
National Committee On Preventation, Detection, Evaluation and Treatment Of High Blood
Pressure VI / JNC VI, 2001).
2.2 Epidemiologi
Menurut AHA (American Heart Association) pada tahun 2012, satu dari tiga orang
dewasa menderita hipertensi. Menurut data statistik, penderita hipertensi sekitar 50 juta
(21,7%) orang dewasa Amerika yang menderita hipertensi, Thailand 17%, Vietnam
34,6%, Singapura 24,9%, Malaysia 29,9%. Di Indonesia, prevalensi hipertensi berkisar 6-
15%. 1,3
2.3 Klasifikasi
Klasifikasi Hipertensi berdasarkan etiologi, yaitu :
1. Hipertensi Esensial (Primer)
Hipertensi esensial merupakan suatu bentuk tekanan darah tinggi yang tidak diketahui
penyebabnya dan tanpa tanda-tanda kelainan di dalam tubuh. Biasa muncul pada usia
antara 25-55 tahun sedangkan usia di bawah 20 tahun jarang ditemukan. Patogenesis
hipertensi esensial adalah multifaktorial. Faktor- faktor yang terlibat dalam
patogenesis hipertensi esensial antara lain faktor genetik, hiperaktivitas sistem saraf
simpatis, sistem renin angiotensin, defek natriuresis.
2. Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder antara lain penggunaan estrogen, penyakit ginjal, Hipertensi
vaskuler ginjal, hiperaldosteronisme primer dan sindrom chusing, kehamilan serta
obat-obatan.
2.4 Etiologi
Hipertensi esensial merupakan hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya.
Hampir 90% penderita hipertensi merupakan hipertensi esensial.
2.5 Patogenesis
Tekanan yang dibutuhkan untuk mengalirkan darah melalui sistem sirkulasi
dilakukan oleh aksi memompa dari jantung (cardiac output/CO) dan dukungan dari arteri
(peripheral resistance/PR). Fungsi kerja masing-masing penentu tekanan darah ini
dipengaruhi oleh interaksi dari berbagai faktor yang kompleks. Hipertensi merupakan
abnormalitas dari faktor-faktor tersebut, yang ditandai dengan peningkatan curah jantung
dan ketahanan perifer.
Sistem Renin Angiotensin Aldosteron
Sejak ditemukan cara penentuan praktis kadar renin dan angiotensin II di dalam plasma
maka system renin dan angiotensin aldosteron atau RAA diteliti secara luas. Renin
dihasilkan oleh sel-sel juksta glomerulus di ginjal dan akan mengubah
angiotensinogen menjadi angiotensin I, kemudian angiotensin I oleh pengaruh
Angiotensin Converting Enzyme (ACE) yang dihasilkan paru, hati, ginjal diubah menjadi
angiotensin II. Sistem RAA adalah satu sistem hormonal enzimatik yang bersifat
multikompleks dan berperan dalam hal naiknya tekanan darah, pengaturan keseimbangan
cairan tubuh dan elektrolit. Selain sistem RAA, ada pula sistem klikrein-kinin yang juga
dapat menyebabkan naiknya tekanan darah. Kalikrein akan merubah bradikininogen
menjadi bradikinin, kemudia ACE akan mengubah bradikinin menjadi fragmen inaktif
yang dapat meningkatkan tekanan darah.
2.7 Diagnosis
Dalam penegakan diagnosis hipertensi, diperlukan evaluasi melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, maupun pemeriksaan penunjang. Anamnesis meliputi keluhan pasien
dan indikasi adanya hipertensi sekunder, seperti :
Adanya keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (ginjal polikistik),
Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuria,
Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi (feokromositoma),
Episode lemah otot dan tetani (aldosteronisme).
Selain itu, faktor risiko hipertensi perlu ditanyakan terhadap penderita serta gejala
kerusakan organ yang mungkin ditemukan seperti sakit kepala, vertigo, gangguan
penglihatan, nyeri dada, poliuri, dan lain-lain.2
Pada pemeriksaan fisik, diagnosis hipertensi tidak dapat ditegakkan hanya dalam
satu kali pengukuran, melainkan diperlukan dua kali pengukuran atau lebih pada
kunjungan yang berbeda, kecuali terdapat kenaikan yang tinggi atau gejala-gejala klinis.
Dalam pengukuran tekanan darah ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu sebagai
berikut :
a. Pengukuran tekanan darah boleh dilakukan pada posisi duduk ataupun berbaring.
Namun yang penting lengan tangan harus dapat diletakkan dengan santai
b. Pengukuran dalam posisi duduk akan memberikan angka yang agak tinggi
dibandingkan dengan posisi berbaring, meskipun selisihnya relatif kecil.
c. Tekanan darah juga dipengaruhi kondisi saat pengukuran pada orang yang baru
bangun tidur, akan didapatkan tekanan darah paling rendah, yang dinamakan tekanan
darah basal. Tekanan darah yang diukur setelah berjalan kaki atau aktifitas fisik lain
akan memberi angka yang lebih tinggi dan disebut dengan tekanan darah kausal. Oleh
karena itu, sebelum dilakukan pengukuran tekanan darah, sebaiknya beristirahat
duduk santai minimal 10 menit.
d. Pada pemeriksaan kesehatan, sebaiknya tekanan darah diukur 2 atau 3 kali berturut-turut,
dan pada detakan yang terdengar tegas pertama kali mulai dihitung. Jika hasilnya berbeda
maka nilai yang dipakai adalah nilai yang terendah.
e. Ukuran manset harus sesuai dengan lingkar lengan, bagian yang mengembang harus
melingkari 80 % lengan dan mencakup dua pertiga dari panjang lengan atas.
Pengukuran tekanan darah meliputi pengukuran rutin di kamar periksa,
pengukuran 24 jam (Ambulatory Blood Pressure Monitoring-ABPM), dan pengukuran
sendiri oleh pasien. Pengukuran ABPM bertujuan untuk memonitor tekanan darah harian
dan nocturnal, menyediakan informasi seperti persentase peningkatan tekanan darah,
tekanan darah secara keseluruhan, dan turunnya tekanan darah saat tidur yang berkisar
10-20%. Orang-orang yang tidak menunjukkan penurunan tekanan darah saat malam hari
memungkinkan terjadinya peningkatan risiko terhadap kardiovaskular. Pasien dengan
tekanan darah 24 jam > 135/85 mmHg menunjukkan hamper dua kali lipat berisiko
terhadap komplikasi kardiovaskular. Indikasi ABPM termasuk tekanan darah yang
episodic, adanya kesenjangan antara pengukuran tekanan darah di rumah dan di luar
dengan petugas kesehatan, dan kontrol tekanan darah yang buruk. ABPM juga
mengidentifikasi pasien dengan sindrom yang dikenal dengan hipertensi white coat.4
Selain pertimbangan pengukuran tekanan darah dan ditemukannya hipertensi
berdasarkan klasifikasi JNC 7, pemeriksaan penunjang lain dapat dilakukan dalam
penegakan diagnosis hipertensi. Hal ini untuk mengetahui kemungkinan penyebab
hipertensi dan telah ada tidaknya keterlibatan organ lain yang mengalami kerusakan
sehingga dapat diketahui pasien menderita hipertensi esensial atau hipertensi sekunder.4
2.8 Tatalaksana
Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah :
Target tekanan darah < 140/90 mmHg, untuk individu berisiko tinggi (diabetes,
gagal ginjal proteinuria) < 130/80 mmHg
Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular
Menghambat laju penyakit ginjal proteinuria
2.8.1 Terapi Nonfarmakologis
Terapi nonfarmakologis pada hipertensi dititikberatkan pada modifikasi gaya
hidup. Menurut JNC 7 modifikasi gaya hidup yang dapat dilakukan adalah :
Penurunan berat badan (perkiraan penurunan tekanan darah sistolik 5-20 mmHg
per 10 kg berat badan), rekomendasi termasuk diet kaya buah dan konsumsi susu
rendah lemak atau bebas lemak.
Menghindari konsumsi alkohol tidak lebih dari 30 ml etanol per hari untuk laki-
laki dan 15 ml etanol per hari untuk perempuan.
Membatasi intake sodium tidak lebih dari 100 mmol per hari (2,4 gram sodium
atau 6 gram sodium klorida, perkiraan penurunan tekanan darah sistolik 2-8
mmHg)
Intake adekuat diet potassium (sekitar 90 mmol per hari)
Intake adekuat diet kalsium dan magnesium
Berhenti merokok dan mengurangi intake lemak tersaturasi dan kolesterol untuk
kesehatan jantung
Olahraga aerobik minimal 30 menit per hari (estimasi penurunan tekanan darah
sistolik 4-9 mmHg)
Jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang dianjurkan JNC 7
adalah :
Diuretika, terutama tiazid atau aldosterone antagonist
Beta Blocker
Calcium Channel Blocker
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor
Angiotensin II Receptor Blocker
Tatalaksana farmakologis hipertensi, yaitu :
Stage 1: Stage 2
Sistolik 140-159 Sistolik > 160
Diastolik 90-99 Diastolik >100
ACEI,ARB, Beta Kombinasi obat
Blocker, CCB, atau biasanya diuretik/tiazid
kombinasi dengan
ACEI/ARB/Beta
Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara bertahap, dan target
Blocker/ CCB
tekanan darah dicapai secara progresif dalam beberapa minggu. Dianjurkan untuk
menggunakan obat antihipertensi dengan masa kerja panjang atau yang memberikan
efikasi 24 jam dengan pemberian sekali sehari. Pilihan apakah terapi dimulai dengan
terapi tunggal atau kombinasi dengan pertimbangan telah ada tidaknya komplikasi. Jika
terapi dimulai dengan satu jenis obat dan dosis rendah, kemudian tekanan darah tidak
mencapai target, maka langkah selanjutnya yaitu meningkatkan dosis atau beralih pada
terapi kombinasi. Kombinasi yang terbukti efektif dan dapat ditoleransi pasien adalah :
Diuretik dan ACEI atau ARB
CCB dan BB
CCB dan ACEI atau ARB
CCB dan diuretika
Kadang diperlukan tiga atau empat kombinasi obat 2
2.9 Komplikasi
Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ baik secara langsung maupun
tidak langsung.Mekanisme yang menyebabkan kelumpuhan bahkan kematian berkaitan
langung dengan pengaruhnya pada jantung dan pembuluh darah.Kerusakan organ target
yang banyak menimbulkan komplikasi pada pasien-pasien hipertensi adalah:
2.9.1 Stroke
Stroke dapat timbul akibat perdarahan tekanan tinggi di otak, atau akibat
embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat
terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami
hipertropi dan menebal, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahinya
berkurang. Daerah yang kurang memperoleh aliran darah akan mengalami iskemia dan
kematian jaringan (nekrotik) yang berakibat terjadinya stroke.
Gejala terkena stroke adalah sakit kepala secara tiba-tiba, seperti, orang
bingung, limbung atau bertingkah laku seperti orang mabuk, salah satu bagian tubuh
terasa lemah atau sulit digerakan (misalnya wajah, mulut, atau lengan terasa kaku, tidak
dapat berbicara secara jelas) serta tidak sadarkan diri secara mendadak.
Infark Miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang arterosklerosis tidak
dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk trombus yang
menghambat aliran darah melalui pembuluh darah tersebut. Kebutuhan oksigen yang
melebihi kapaitas suplai oksigen oleh pembuluh darah yang mengalami gangguan
menyebabkan terjadinya iskemia miokardium lokal.Iskemia miokardium yang
berlangsung lebih dari 30-45 menit akan menyebabkan kerusakan sel yang bersifat
irreversibel serta nekrosis. Bagian yang mengalami infark akan mengalami penurunan
fungsi miokardium dan gangguan daya kontraksi. Gabungan efek hipoksia ,berkurangnya
energi yang tersedia , serta asidosis dengan cepat menganggu fungsi ventrikel kiri.
Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada
kapiler-kepiler ginjal, glomerolus. Dengan rusaknya glomerolus, darah akan mengalir
keunit-unit fungsional ginjal, nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksia
dan kematian. Dengan rusaknya membran glomerolus, protein akan keluar melalui urin
sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang, menyebabkan edema yang sering
dijumpai pada hipertensi kronik.
2.9.5 Ensepalopati