Anda di halaman 1dari 9

Nama: Novian Vicki Nugroho

No. Mhs: 14612178

Kimia Lingkungan Kelas B (Dosen: Rudy Syah Putra, M.Si., Ph.D)

Pemanfaatan lahan gambut diwujudkan pada suatu penggunaan lahan. Lahan gambut di
Indonesia dominan digunakan sebagai lahan pertanian. Luas lahan pertanian pada lahan gambut di
Indonesia 2.683.844 ha (18% dari seluruh luas gambut). Penggunaan lahan gambut untuk petanian
berupa perkebunan seluas 1.562.409 ha, pertanian tanaman pangan seluas 323.463 ha, kebun
campuran seluas 456.857 ha, dan sawah seluas 341.115 ha. Pertanian lahan gambut mengarah pada
pertanian konvensional yang hanya memerhatikan aspek pemenuhan kebutuhan dan aspek ekonomi.
Pemanfaatan lahan gambut mendorong perluasan konversi hutan alami gambut menjadi lahan
budidaya.

Gambut bersifat rapuh dan mudah mengalami kerusakan. Pemanfaatan lahan gambut yang
tidak terkendali berakibat kerusakan lingkungan fisik dan sosial. Gambar 1.1 merupakan berita-berita
nasional yang menunjukkan bahwa gambut di Indonesia telah banyak mengalami kerusakan terutama
pada 2 dekade terakhir. Kerusakan gambut terjadi karena aspek lingkungan, keseimbangan sosial dan
perkembangan teknologi cenderung diabaikan pada kegiatan pemanfaatan lahan.

Salah satu contoh kerusakan lahan gambut di Indonesia disebabkan oleh kesalahan tata kelola
gambut yang terjadi pasca pengerjaan Proyek Pengembangan lahan gambut (PLG) sejuta hektar pada
tahun 1995 -1998. Kerusakan lahan gambut pasca PLG menimbulkan dampak negatif antara lain:

1. Munculnya senyawa pirit akibat kesalahan pembangunan sistem saluran induk menyebabkan
turunnya pH tanah dan kematian ikan secara masal,
2. Sering terjadi banjir pada musim penghujan
3. Terjadinya kebakaran lahan pada musim kemarau akibat penurunan daya serap gambut,
4. Hampir punahnya spesies tumbuhan dan hewan pada ekosistem air hitam
5. Menurunnya hasil produksi perikanan
6. Hilangnya sumber pendapatan masyarakat lokal dari hasil hutan
7. Hasil pertanian menurun

Kerusakan lahan gambut dapat dihindari dengan pemanfaatan lahan gambut yang disertai
oleh perencanaan yang matang. Perencanaan pemanfaatan lahan gambut seharusnya memerhatikan
hal-hal berikut:
1. Gambut mudah terdekomposisi sehingga mudah rusak apabila dimanfaatkan dalam kondisi
aerob
2. Tanah gambut memiliki tingkat kesuburan yang rendah
3. Kandungan asam organik dan kemasaman gambut tinggi
4. Gambut mudah menyimpan karbon dan mudah melepaskannya
5. Gambut mengandung lapisan pirit yang dapat menurunkan pH tanah dan bersifat racun,
6. Gambut mudah terbakar
7. Ketebalannya menentukan jenis penggunaan lahan yang dapat diusahakan
8. Gambut dapat bersifat hidrofobis

PLG (Pengembangan Lahan Gambut) satu juta hektar di Kalimantan Tengah merupakan
suatu bentuk eksploitasi terbesar terhadap hutan dan lahan gambut. Proyek PLG yang dilaksanakan
berdasarkan KEPPRES RI Nomor 82 Tahun 1995, bertujuan untuk mengkonversi hutan rawa gambut
(weatland) yang terletak di Provinsi Kalimantan Tengah menjadi sawah guna mempertahankan
swasembada beras yang telah dicapai Indonesia pada tahun 1984. PLG tersebut telah
mengeksploitasi sekitar luas lahan gambut di Kalimantan Tengah. Lahan dan hutan yang terdapat
pada lapisan bagian atas lahan gambut di sekitar lokasi proyek terdegradasi dan ekosistemnya
dikonversikan menjadi lahan pertanian.

Eksploitasi lahan gambut sekitar 1.7 juta hektar dan pembangunan jaringan tata air (Saluran
Primer Induk sepanjang 187 km yang menghubungkan Sungai Kahayan dan Sungai Barito, Saluran
Primer Utama sepanjang 958.18 km, ribuan kilometer saluran sekunder dan tersier) yang memotong
kubah gambut, telah menimbulkan masalah lingkungan yang sangat serius, yaitu: banjir besar pada
musim penghujan, kekeringan pada musim kemarau yang diikuti dengan kebakaran hutan lahan,
maraknya illegal logging, kemerosotan keanakaragaman hayati. Di sisi lain, puluh ribu transmigran
yang telah didatangkan (hingga dihentikan pada tahun 1999/2000 sebanyak 15,600 KK) juga
memunculkan persoalan sosial dan ekonomi dari proyek PLG tersebut.

Secara ekologi, pembakaran lahan gambut mempercepat rusaknya lingkungan yang unik dan
jasa-jasa ekologi yang dihasilkannya (misalnya pengaturan air dan pencegahan banjir). Pemadaman
kebakaran di areal gambut sangat sulit, mahal dan dapat menyebabkan kerusakan ekologi dalam
jangka-panjang. Meski pemerintah melalui Keppres No 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung memberikan perlindungan terhadap lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3
meter, namun hal ini tak otomatis menyelesaikan persoalan gambut. Kian menyempitnya
ketersediaan lahan mineral rupanya telah mendorong berbagai praktik pemanfaatan lahan gambut
dengan ketebalan di bawah 3 meter oleh para pengusaha (tentu dengan izin pemda).
Pada kenyataannya lahan gambut dengan perbedaan kedalaman tersebut bisa jadi merupakan
satu ekosistem atau dalam satu landscape. Kebijakan pemerintah dalam membolehkan pemanfaatan
lahan gambut kurang dari 3 meter akan mempengaruhi lahan gambut yang dilindungi (3 meter lebih
itu). Cara terbaik untuk mencegah kebakaran di lahan-lahan gambut adalah dengan mengkonservasi
mereka dalam keadaan alaminya. Yakni dengan memberikan perhatian khusus terhadap aspek-aspek
pengelolaan air yang baik, pemanfaatan lahan yang sesuai, dan pengelolaan hutan yang lestari.
Artinya, drainase/pengeringan dan konversi kawasan lahan gambut harus dicegah.

Perlindungan terhadap kawasan gambut dengan sendirinya akan mengendalikan hidrologi


wilayah yang berfungsi sebagai penambat air dan pencegah banjir. Dalam kondisi alami yang tidak
terganggu, lahan-lahan gambut mempunyai fungsi-fungsi ekologi yang penting: mengatur air di
dalam dan di permukaan tanah.

Dengan sifatnya yang seperti spon, gambut dapat menyerap air yang berlebihan, yang
kemudian secara kontinye dilepas perlahan-lahan. Hal ini menyebabkan air akan tetap mengalir
secara konsisten dan karena itu menghindari terjadinya banjir juga kekeringan. Tak hanya itu,
perlindungan kawasan gambut akan menjaga keanekaragaman hayati dengan banyak jenis yang unik
dan hanya dijumpai di daerah lahan gambut (Darajat Salman, 2006).

Munculnya permasalahan terhadap lingkungan, ekonomi, dan kehidupan sosial tersebut,


akibat tidak memperhatikan aspek ekologis dan karakteristik ekosistem lahan gambut di Kalimantan
Tengah, menyebabkan proyek PLG dinilai tidak berhasil dan dihentikan. Untuk menangani kawasan
eks PLG tersebut, maka dikeluarkan KEPPRES RI Nomor 80 Tahun 1999 tentang Pedoman Umum
Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah.

Point penting dalam KEPPRES RI Nomor 80 Tahun 1999 disebutkan bahwa lahan bergambut
tipis dengan ketebalan gambut kurang dari 3 meter dapat dimanfaatkan untuk budidaya kehutanan,
pertanian, perikanan dan perkebunan. Sedangkan pada lahan bergambut dengan ketebalan lebih dari
3 meter dan kawasan yang berfungsi lindung dimanfaatkan untuk konservasi. KEPPRES RI Nomor
80 Tahun 1999 tersebut tidak dapat berfungsi, karena tidak adanya petunjuk pelaksanaan lebih lanjut.
Sejak dihentikannya PLG pada tahun 1999 hingga 2006, kegiatan penangan an kawasan
hanya dilakukan secara sporadis, berdasarkan kasus yang dihadapi oleh masyarakat di daerah
tersebut. Sementara itu, permasalahan lingkungan, ekonomi, dan kehidupan sosial masih saja terus
terjadi. Kini di tahun 2007, kawasan eks PLG kembali dikelola secara khusus dengan keluarnya
INPRES RI Nomor 2 Tahun 2007 tentang Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan PLG di
Kalimantan Tengah. Ada 3 (tiga) program utama yang akan dilaksanakan dalam INPRES Percepatan
Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan PLG di Kalimantan Tengah selama tahun 2007-2011, yaitu:

1. Konservasi
2. Budidaya
3. Pemberdayaan masyarakat lokal dan transmigran.
Rencana pemerintah untuk melakukan percepatan rehabilitasi dan revitalisasi kawasan PLG
di Kalimantan Tengah mencakup luasan lahan 1,457,300 ha, meliputi:

1. Blok A seluas 310,000 ha


2. Blok B seluas 158,600 ha
3. Blok C seluas 440,000 ha
4. Blok D seluas 139,000 ha
5. Blok E seluas 409,700 ha.

Pada tahun 2007/2008, berbagai upaya persiapan pelaksanaan Percepatan Rehabilitasi dan
Revitalisasi Kawasan PLG di Kalimantan Tengah sudah mulai dilakukan baik oleh Pemerintah
Daerah sendiri,Perguruan Tinggi, Swasta, LSM, dan lainnya. Universitas Palangka Raya melalui
CKPP (Central Kalimantan Peatlands Project), bekerjasama dengan Institute for Environmental
Studies (IVM), Vrije Universiteit, De Boelelaan 1087, 1081 HV Amsterdam, The Netherlands pada
tahun 2007/2008 melakukan kajian untuk menemukan persepsi atau pengertian masyarakat yang
tinggal di daerah lahan gambut berkaitan dengan rencana pemerintah tersebut.

PENGELOLAAN KAWASAN BERGAMBUT DI KALIMANTAN TENGAH


Perkembangan pengelolaan kawasan bergambut di Kalimantan Tengah dapat dibedakan
sebagai berikut:

1. Pengelolaan Kawasan Bergambut melalui Program Pemerintah.

Penetapan kawasan-kawasan bergambut tertentu untuk tujuan-tujuan konservasi berupa


penetapan Kawasan Taman Nasional, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Cagar Budaya, Taman
Wisata, Hutan Lindung, termasuk Kawasan Konservasi Air Hitam. Masing-masing fungsi kawasan
tersebut telah secara jelas diatur dan ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi
Kalimantan Tengah (RTRWP) hasil Paduserasi Tahun 1999 yang kemudian dirubah dalam dengan
Peraturan Daerah Kalimantan Tengah Nomor 08 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi (RTRWP) Kalimantan Tengah.RTRWP ini kemudian sejak tahun 2006 direvisi kembali dan
sampai saat ini belum disyahkan karena belum mendapat persetujuan dari Pemerintah dan DPR RI.

Untuk tujuan pembangunan wilayah, pengelolaan kawasan bergambut yang berskala besar
dan sensasional adalah Proyek Pengembangan Lahan Gambut Satu Juta Hektar (PLG), mencakup
areal seluruhnya seluas 1.119.493 Ha. Namun karena mega proyek tersebut pelaksanaannya tidak
didahului dengan kajian-kajian teknis, ilmiah dan socio-ekonomis secara holistik dan tidak didukung
dengan perencanaan yang tepat, mantap dan terintegrasi secara lintas sektoral, dimana
pelaksanaannya terhadap suatu hamparan kawasan hutan bergambut yang sangat luas dengan
berbagai karakterisitiknya yang khas, maka yang terjadi justru adalah mega masalah yang hingga
sekarang belum kunjung selesai dan dapat teratasi secara paripurna.

Pengelolaan kawasan gambut untuk kepentingan pembangunan wilayah (selain Proyek PLG)
pada umumnya dalam bentuk-bentuk pembukaan lahan baru untuk dijadikan sebagai lokasi
pemukiman penduduk melalui program transmigrasi atau re-settlement. Disamping itu adalah berupa
pembangunan jaringan atau akses jalan yang menghubungkan daerah-daerah di Kalimantan Tengah.

Penetapan kawasan bergambut seluas lebih kurang 40 Ha di Nyaru Menteng (28 Km dari
Kota Palangka Raya) yang dikelola sebagai Areal Arboretum sekaligus sebagai tempat rekreasi
masyarakat kota Palangka Raya dan sekitarnya. Disamping itu, di dalam Areal Arboretum Nyaru
Menteng ini juga terdapat Pusat Reintroduksi Orangutan yang dikelola oleh The Balikpapan
Orangutan Survival Foundation.

2. Pengelolaan Kawasan Bergambut oleh Pihak Swasta


Pengelolaan kawasan bergambut yang masih berupa hutan (Kawasan Hutan) yang dilakukan
oleh para pemegang HPH dalam rangka memanfaatkan tegakan hutan yang bernilai ekonomis
melalui kegiatan-kegiatan eksploitasi dan silvikultur.

Pengelolaan kawasan bergambut yang sudah tidak berupa hutan (bukan merupakan Kawasan
Hutan) oleh perusahaan perkebunan swasta besar (PSB) yang dikonversi menjadi kebun-kebun
kelapa sawit sekaligus sebagai sentra-sentra produksi crude palm oil (CPO) di Kalimantan Tengah.

3. Pengelolaan Kawasan Bergambut oleh Lembaga Perguruan Tinggi

Mengacu RTRWP Hasil Paduserasi Tahun 1999 yang berlaku saat ini, di Kalimantan Tengah
telah dialokasikan kawasan hutan bergambut seluas lebih kurang 5.000 Ha yang
diperuntukkan sebagai Hutan Pendidikan dan Penelitian yang terletak di Hampangen,
Kabupaten Katingan.. Kawasan tersebut dikelola sepenuhnya oleh pihak Universitas
Palangka Raya, dan selama ini menjadi tempat kegiatan praktek lapangan maupun research
mahasiswa.
Laborarium Gambut di sungai Sebangau yang dikelola oleh pihak Universitas Palangka Raya
bekerja sama dengan pihak Nottingham University, UK.

4. Pengelolaan Kawasan Bergambut oleh Masyarakat

Kegiatan pengelolaan kawasan bergambut yang dilakukan oleh masyarakat lebih merupakan
pemanfaatan lahan gambut untuk kepentingan pembangunan kebun-kebun rakyat dan pengolahan
lahan gambut sebagai lahan pertanian tanaman pangan, dengan pola sebaran mengikuti konsentrasi
pemukiman penduduk di sepanjang kiri kanan Jalan Negara.
KESIMPULAN

1. Kalimantan Tengah merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi lahan gambut yang
harus dijaga keberadaanya. Hal ini dikarenakan Kalimantan Tengah memiliki luas lahan
gambut 3,01 juta hektar atau 52,5% dari luasan gambut di Pulau Kalimantan.
2. Potensi lahan gambut di Kalimantan Tengah tersebut sudah mengalami degradasi yang cukup
parah. Setidaknya terdapat 3 (tiga) hal mendasar yang merupakan ancaman bagi keberadaan
hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah, yaitu: (1) konversi lahan gambut secara besar-
besaran untuk dijadikan areal pertanian ketika dilaksanakannya Proyek PLG satu juta hektar
tahun 1995; (2) meluasnya eksploitasi sumberdaya hutan rawa gambut melalui perizinan
HPH/HTI dan illegal logging; dan (3) kebakaran hutan dan lahan oleh perubahan ekosistem
dalam hutan rawa gambut. PLG (Pengembangan Lahan Gambut) satu juta hektar di
Kalimantan Tengah merupakan suatu bentuk eksploitasi terbesar terhadap hutan dan lahan
gambut. PLG tersebut telah menimbulkan masalah lingkungan yang sangat serius.
3. Sebagian lahan gambut telah dimanfaatkan untuk perluasan areal pertanian. Pengembangan
lahan tersebut didasarkan atas kebutuhan bahwa penyediaan tanah dengan kesuburan tinggi
semakin langka. Dalam pengelolaan lahan gambut masih dijumpai sejumlah kendala yang
menghambat pencapaian produktivitas yang diharapkan, kendala tersebut meliputi kendala
fisik, kimia, serta kendala yang berkaitan dengan penyediaan dan tata kelola air. Meskipun
demikian beberapa jenis tanaman pangan/hortikulturan dan tanaman perkebunan
menunjukkan adaptasi yang baik di lahan gambut.
4. Perencanaan pengelolaan kawasan sebaiknya dilakukan studi secara mendalam terhadap
semua aspek yang ada. Hal ini dimaksudkan agar ada sinkronisasi program yang berbasis
perencanaan dari bawah, sehingga kebutuhan mendasar pada masyarakat sebagai pelaku
utama dapat terpenuhi secara baik. Pentingnya peningkatan peran serta masyarakat dalam
berbagai program untuk menjaga dan melakukan pemulihan lahan gambut. Untuk itu perlu
mengintensifkan sosialisasi dari semua program secara baik dan penglibatan masyarakat
dalam setiap implementasi program

DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman dan Suriadikarta, 2000. Pemanfaatan Lahan Rawa eks PLG Kalimantan Tengah untuk
Pengembangan Pertanian Berwawasan Lingkungan. Jurnal Litbang Departemen Pertanian 19
(3).
Chotimah Hastin Ernawati Nur Chusnul, 2009. Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Tanaman
Pertanian. http://Formala.mulltiply.com/journal/item/45. Download tanggal 07 Mei 2009.
Darajat Salman, 2006. Konversi Lahan Gambut dan Perubahan Iklim. Harian Republika, Sabtu, 12
Agustus 2006.
Metarius, 2005. Pengelolaan Lahan Gambut Kritis dengan Penanaman Karet dan Jelutung. Comunity
Enpowernment and Participatory Institute, CEPI.
Munandar, S. (1997). Pengembangan lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah. BPTP-
Palangkaraya.
Pieter van Beukering; Marije Schaafsma; Olwen Joung Marion Davies dan Ieva Oskolokaite, 2007.
Nilai Ekonomi Lahan Gambut di Kalimantan Tengah:Persepsi Masyarakat Terhadap Kegiatan
Rehabilitasi dan Revitalisasi eks PLG kalimantan Tengah. Institute for Environmental Studies
(IVM) Vrije Universiteit-The Netherlands
Setiadi, B. dan Komaruddin. (1997). Penyubur gambut, aspek strategis lahan gambut sejuta hektar.
BPTP-Palangkaraya.
Tingkes, L. (1997). Arah dan strategi pengembangan lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan
Tengan. BPTP-Palangkaraya.

Anda mungkin juga menyukai