Anda di halaman 1dari 16

a.

Tipe Diskontinuitas

Tipe diskontinuitas mulai dari kekar tarik yang terbatas panjangnya, sampai

patahan dengan beberapa meter ketebalan lempung, gauge, dan panjang dalam

kilometer (Wyllie dan Mah, 2004), dan menurut Hoek (2006) semua massa batuan

mengandung diskontinuitas. Berbagai tipe diskontinuitas menurut Bieniawski (1989)

dan Hoek (2006) seperti patahan, bidang perlapisan, foliasi, kekar, belahan dan

schistositas. Lebih lanjut Giani (1992) menggolongkan bidang perlapisan, belahan

dan schitositas sebagai contoh kerusakan kemas (fabric defact), sedangkan lipatan,

patahan dan kekar sebagai kerusakan struktural (structural defact).

b. Skala Diskontinuitas

Duncan dan Goodman (1968) dalam Giani (1992) membuat klasifikasi

diskontinuitas berdasarkan pada skalanya. Demikian juga Wyllie dan Mah (2004)

serta Hoek (2006) membuat ilustrasi skematik transisi skala berdasarkan peningkatan

ukuran percontoh, mulai dari batuan padu sebagai skala terkecil sampai sebagai

massa batuan yang terkekarkan kuat pada skala terbesar. Hoek (2006) analisis sifat

mekanika batuan dilakukan pada setiap skala memiliki formulasi tertentu yang tepat

untuk menganalisa permasalahan diskontinuitas. West (2010) sifat batuan atau sifat

material diukur melalui percontoh kecil di laboratorium, sedangkan sifat massa

batuan ditentukan dari keseluruhan sifat volume yang besar melalui pengukuran di

lapangan.
Duncan dan Goodman (1968) dalam Giani (1992) membuat ilustrasi yang cukup

detail dalam pengklasifikasian berbagai karakteristik diskontinuitas berdasarkan skala

observasinya, baik jenis, spasi dan genesa diskontinuitas pada tabel diatas.

Diskontinuitas terkecil berupa retakan mikro dan makro diamati melalui percontoh

laboratorium. Adapun observasi diskontinuitas berupa bidang perlapisan, kekar, dike,

zona hancuran, zona rekahan dan patahan termasuk patahan utama dilakukan melalui

observasi secara in situ di lapangan.

c. Orientasi Diskontinuitas

Mekanisme pada formasi batuan menyebabkan diskontinuitas tidak terbentuk


seluruhnya berorientasi acak (Hudson dan Harrison, 1997). Orientasi merefleksikan

siknifikansi variasi set diskontinuitas pada massa batuan (Bieniawski, 1989). Bidang

diskontinuitas memiliki strike dan dip, Giani (1992) menyatakan strike sebagai

azimuth, yang diukur searah jarum jam (Wyllie dan Mah, 2004) antara sudut utara

dan irisan bidang diskontinuitas terhadap bidang referensi horizontal. Sedangkan dip

menurut Hudson dan Harrison (1997) merupakan sudut tercuram diskontinuitas

terhadap horizontal.

Giani (1992) analisis orientasi diskontinuitas dapat dilakukan melalui proyeksi

sperikal, yaitu metode yang menggunakan analisis hubungan tiga dimensi antara

bidang dan garis pada digram dua dimensi. Kelemahan proyeksi ini adalah

kemudahan bergerak dipermukaan, tetapi tidak mampu diputar. Goodman (1989) dan

Wyllie dan Mah (2004) diskontinuitas bisa juga dianalisis menggunkan metode
proyeksi stereografi (gambar 2.3), termasuk analisis kinematikanya (Goodman, 1989

dan Wyllie dan Mah, 2004).

d. Spasi Diskontinuitas

Bieniawski (1989) dan Giani (1992), spasi merupakan jarak antara diskontinuitas

terdekat yang diukur secara tegak lurus. Diskontinuitas memiliki frekuensi

kemunculan, frekuensi diskontinuitas menunjukkan jumlah jarak setiap unit

berbanding terbalik terhadap spasi. Wyllie dan Mah (2004) spasi dipetakan dari

permukaan batuan dan core bor, dan spasi sebenarnya dihitung dari spasi semu untuk

diskontinuitas yang miring terhadap permukaan (Gambar 2.4). Pengukuran spasi set

kekar memberikan ukuran dan bentuk blok. Hasilnya berupa model stabilitas dan

kekuatan massa batuan (Wyllie dan Mah, 2004).


e. Persistence

Menurut Wyllie dan Mah (2004) persistence merupakan pengukuran panjang

diskontinuitas atau luas diskontinuitas. Parameter ini menetapkan ukuran blok dan

panjang potensi permukaan gelincir. Giani (1992) persistence secara kasar dapat

dikuantifikasi melalui observasi panjang diskontinuitas pada permukaan batuan. Pahl

(1981) dalam Wyllie dan Mah (2004) membuat perhitungan panjang diskontinuitas,

dengan asumsi panjang merupakan distribusi.


f. Kekasaran (Roughness)

Pada analisis orientasi dan persistence, bidang diskontinuitas dianggap sebagai

bidang planar, tetapi permukaannya bisa saja kasar (Hudson dan Harrison, 1997).

Giani (1992) parameter kekasaran menunjukkan indeks tidak rata dan gelombang

pada diskontinuitas batuan. Diskontinuitas bergelombang dicirikan oleh skala indulasi

yang besar, sedangkan diskontinuitas tidak rata ditandai oleh skala kekasaran kecil.

Selain itu menurut Wyllie dan Mah (2004) secara umum bentuk permukaan

diskontinuitas memiliki permukaan yang kasar, jika berbentuk indulasi akan memiliki

permukaan halus dan jika planar maka bidang permukaannya slickensides.

Giani (1992) profil tingkat kekasaran diskontinuitas dapat diobservasi melalui

sepanjang sumbu, yang diestimasikan sebagai arah potensi pergeseran

diskontinuitasnya. Metode pengukurannya dapat dilakukan melalui berbagai skala,

dari skala singkapan yang dilakukan di lapangan, juga melalui skala terkecil di

laboratorium, seperti ilustrasi pada gambar 2.6. Hudson dan Harrison (1997)

pengukuran kekasaran dapat pula dilakukan dengan mereferensi pada chart standard

dan formulasi matematik, terpapar pada gambar 2.7. Wyllie dan Mah (2004) pada

tahap investigasi pendahuluan biasanya dilakukan penilaian visual kekasaran,

ditetapkan sebagai Joint Rough Coefficient (JRC) dari Barton (1973). Giani (1992)

menyebutkan bahwa nilai kekasaran permukaan diskontinuitas berguna untuk

mengetahui kuat geser, khususnya pada dinding diskontinuitas yang belum

mengalami dislokasi dan belum terisi


g. Kekuatan Dinding (Wall Strength)

Giani (1992) mendefinisikan kekuatan dinding sebagai ekuivalen dengan kuat

kompresi pada dinding batuan berdekatan dari suatu diskontinuitas. Nilainya

merupakan komponen penting dari kuat geser dan deformability, khususnya jika

kekar atau diskontinuitas dapat menunjukkan hubungan dari batu ke batu kontak atau

batu yang berkekar tak terisi. Kekuatan dinding bisa lebih rendah daripada kekuatan

batuan yang disebabkan oleh pelapukan atau alterasi. Wyllie dan Mah (2004)

kekuatan dinding diskontinuitas mempengaruhi kuat geser pada permukaan kasar.

Deskripsi semi kuantitatif dan kuantitatif kekuatan dinding diperoleh menggunkan

palu geologi, pisau dan Schmidt Hammer (Giani, 1992).


h. Rongga (Aperature)

Wyllie dan Mah (2004) menjelaskan besarnya rongga diskontinuitas diperoleh dari

pengukuran jarak tegak lurus antara dinding batuan berdekatan dari bidang

diskontinuitas yang di dalamnya terisi udara atau air. Dimana kehadiran rongga pada

diskontinuitas akan mempengaruhi nilai kuat massa batuan dan besarnya hidraulic

conductivity air tanah, sehingga berguna untuk memprediksi perilaku massa batuan.

Giani (1992) rongga dibedakan berdasarkan besarnya bukaan diskontinuitas, seperti

pada Gambar 2.9. Secara umum rongga-rongga massa batuan di bawah permukaan

adalah kecil, mungkin kurang dari setengah milimeter.


i. Pengisi (Infilling)

Wyllie dan Mah (2004) mendefinisikan pengisi sebagai material yang memisahkan

dinding batuan yang berdekatan pada suatu diskontinuitas. Giani (1992) pengisi ini

biasanya lebih lemah kekuatannya dari batuan induk. Tipe pengisi bisa berupa pasir,

lanau, lempung, breksi, gauge dan mylonit. Adapun untuk mineral pengisi seperti

kalsit, kuarsa dan pirit memiliki kekuatan yang tinggi. Sehingga secara mekanika

material pengisi ini mempengaruhi kuat geser diskontinuitas. Lebih lanjut menurut

Wyllie dan Mah (2004) material pengisi dapat dipergunakan untuk memprediksi
perilaku diskontinuitas batuan.

Berdasarkan pola pengisi, akan dijumpai dua tipe utama pengisi pada diskontinuitas,

yang sekaligus dapat dipergunakan untuk memprediksi arah bukaan rekahan dan

kecepatannya terbentuk dapat dilihat pada gambar 2.10 (Pluijm dan Marshak, 2004).

Pada pekerjaan survey geologi terhadap singkapan batuan menurut Giani (1992) serta

Wyllie dan Mah (2004) berbagai sifat fisik diskontinuitas berikut harus dicatat seperti

: meneralogi, tingkatan dan ukuran partikel, kandungan air dan permeabilitas,

perpindahan geser sebelumnya (offset), kekasaran dinding, lebar, rekahan dan

hancuran dinding batuan dan rasio over-cosolidation.


j. Seepage.

Kategori seepage bervariasi dari kering sampai mengalir kontinyu, sehingga

observasi menunjukkan posisi muka air tanah dan tinggi-rendah konduktifitas batuan

(Wyllie dan Mah, 2004). Iklim turut mempengaruhi keterdapatan seepage, dan

besarnya infiltrasi air tanah (Wyllie dan Mah, 2004). Infiltrasi air tanah dinilai

berdasarkan faktor-faktor penting yang mempengaruhinya seperti meteorologi,

morfologi dan geologi hidrogeologi (Celico, 1986 dalam Giani, 1992).

k. Jumlah Set Diskontinuitas

Giani (1992) parameter set diskontinuitas mengekspresikan jumlah set-set yang

membentuk sistem diskontinuitas dan saling memotong. Massa batuan memiliki

sejumlah set diskontinuitas yang saling memotong satu sama lain. Hudson dan

Harrison (1997) secara konseptual suatu set terdiri dari diskontinuitas paralel atau

sub-paralel. Sehingga geometri massa batuan dikarakteristiki oleh jumlah set

diskontinuitas.

l. Bentuk dan Ukuran Blok

Hudson dan Harrison (1997) menganologikan ukuran blok dan distribusinya sebagai

distribusi in situ ukuran partikel. Ukuran blok mengindikasikan perilaku massa

batuan, karena mampu mengestimasi performa massa batuan pada kondisi tegasan.

Adapun jumlah set dan orientasi atau pola kekar dapat menentukan bentuk blok yang
dihasilkan, sehingga dapat berupa kubus, rombohedral, tetrahedron atau lembaran

(Giani, 1992) atau berbentuk blocky, shattered dan kolumnar (Wyllie dan Mah, 2004

m. Pelapukan (Weathering)

Pelapukan batuan adalah proses yang menyebabkan alterasi batuan, disebabkan oleh

air, karbon dioksida dan oksigen (Giani, 1992), atau proses eksternal menyebabkan

hilang dan berubahnya sifat asal mula menjadi kondisi yang baru. Desintegrasi adalah

hasil perubahan lingkungan, seperti kelembaban, pembekuan dan pemanasan.

Sedangkan dekomposisi menunjukkan perubahan batuan oleh agenagen kimia seperti

proses oksidasi pada batuan mengandung besi, hidrasi seperti perubahan feldspar

menjadi kaolinit, dan karbonisasi seperti pelarutan batugamping

Anda mungkin juga menyukai