Disusun untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Profesi Ners Departemen Surgical di
Ruang 14 RSU Dr. Saiful Anwar Malang
Oleh :
AYU RINDU LESTARI
150070300011130
KELOMPOK 1
B. ETIOLOGI
Organisme penyebab selulitis adalah Staphylococcus aureus, streptokokus grup A,
dan Streptococcus pneumoniae (Cecily, Lynn Betz., 2009). Organisme penyebab
bisa masuk ke dalam kulit melalui lecet-lecet ringan atau retakan kulit pada jari kaki
yang terkena tinea pedis, dan pada banyak kasus, ulkus pada tungkai merupakan
pintu masuk bakteri. Faktor predisposisi yang sering adalah edema tungkai, dan
selulitis banyak didapatkan pada orang tua yang sering mengalami edema tungkai
yang berasal dari jantung, vena dan limfe (Graham & Robin., 2005).
Menurut Alpers Ann, (2006), penyebab selulitis antara lain Streptococcus grup
B, Haemophylus influenza, Pneumokokus, Staphylococcus aereus dan
Streptococcus grup A.
Meskipun ada beberapa bakteri yang dapat menyebabkab selulitis, penyebab
yang paling sering dijumpai adalah Staphylococcus dan Streptococcus,
(Medicastore, 2010).
Selulitis terjadi manakala bakteri tersebut masuk melalui kulit yang bercelah
terutama celah antara selaput jari kaki, pergelangan kaki, dan tumit, kulit terbuka,
bekas sayatan pembedahan (lymphadenectomy, mastectomy, postvenectomy).
Walaupun selulitis dapat terjadi di kulit bagian manapun, lokasi paling sering terjadi
adalah di kaki, khususnya di kulit daerah tulang kering dan punggung kaki. Pada
anak-anak usia di bawah 6 tahun, bakteri Hemophilus influenzae dapat
menyebabkan selulitis, khususnya di daerah wajah dan lengan.
Rosfanty, (2009) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang memperparah
resiko dari perkembangan selulitis, antara lain :
1. Usia
Semakin tua usia, kefektifan sistem sirkulasi dalam menghantarkan darah
berkurang pada bagian tubuh tertentu. Sehingga abrasi kulit potensi mengalami
infeksi seperti selulitis pada bagian yang sirkulasi darahnya memprihatinka.
2. Melemahnya sistem immun (Immunodeficiency)
Dengan sistem immune yang melemah maka semakin mempermudah terjadinya
infeksi. Contoh pada penderita leukemia lymphotik kronis dan infeksi HIV.
Penggunaan obat pelemah immun (bagi orang yang baru transplantasi organ) juga
mempermudah infeksi.
3. Diabetes mellitus
Tidak hanya gula darah meningkat dalam darah namun juga mengurangi sistem
immun tubuh dan menambah resiko terinfeksi. Diabetes mengurangi sirkulasi darah
pada ekstremitas bawah dan potensial membuat luka pada kaki dan menjadi jalan
masuk bagi bakteri penginfeksi.
4. Cacar dan ruam saraf
Karena penyakit ini menimbulkan luka terbuka yang dapat menjadi jalan masuk
bakteri penginfeksi.
5. Pembangkakan kronis pada lengan dan tungkai (lymphedema)
Pembengkakan jaringan membuat kulit terbuka dan menjadi jalan masuk bagi
bakteri penginfeksi.
6. Infeksi jamur kronis pada telapak atau jari kaki
Infeksi jamur kaki juga dapat membuka celah kulit sehingga menambah resiko
bakteri penginfeksi masuk
7. Penggunaan steroid kronik
Contohnya penggunaan corticosteroid.
8. Gigitan & sengat serangga, hewan, atau gigitan manusia
9. Penyalahgunaan obat dan alkohol
Mengurangi sistem immun sehingga mempermudah bakteri penginfeksi
berkembang.
10. Malnutrisi
Sedangkan lingkungan tropis, panas, banyak debu dan kotoran, mempermudah
timbulnya penyakit ini.
C. FAKTOR RISIKO
1. Usia
Semakin tua usia, kefektifan sistem sirkulasi dalam menghantarkan darah
berkurang pada bagian tubuh tertentu. Sehingga abrasi kulit potensi mengalami
infeksi seperti selulitis pada bagian yang sirkulasi darahnya kurang.
2. Melemahnya sistem immun (Immunodeficiency)
Dengan sistem imun yang lemah maka semakin mempermudah terjadinya
infeksi. Contoh pada penderita leukemia lymphotik kronis dan infeksi HIV.
3. Diabetes mellitus
Tidak hanya gula darah meningkat dalam darah namun juga mengurangi sistem
immun tubuh dan menambah resiko infeksi. Diabetes mengurangi sirkulasi darah
pada ekstremitas bawah dan potensial membuat luka pada kaki dan menjadi
jalan masuk bagi bakteri.
4. Cacar dan ruam saraf
Karena penyakit ini menimbulkan luka terbuka yang dapat menjadi jalan masuk
bakteri.
5. Pembangkakan kronis pada lengan dan tungkai (lymphedema)
Pembengkakan jaringan membuat kulit terbuka dan menjadi jalan masuk bagi
bakteri.
6. Gigitan & sengat serangga, hewan, atau gigitan manusia
7. Malnutrisi
Sedangkan lingkungan tropis, panas, banyak debu dan kotoran, mempermudah
timbulnya penyakit ini.
D. KLASIFIKASI
Selulitis dapat digolongkan menjadi:
1. Selulitis Sirkumskripta Serous Akut
Selulitis yang terbatas pada daerah tertentu yaitu satu atau dua spasia fasial,
yang tidak jelas batasnya. Infeksi bakteri mengandung serous, konsistensinya
sangat lunak dan spongius. Penamaannya berdasarkan ruang anatomi atau
spasia yang terlibat.
2. Selulitis Sirkumskripta Supurartif Akut
Prosesnya hampir sama dengan selulitis sirkumskripta serous akut, hanya infeksi
bakteri tersebut juga mengandung suppurasi yang purulen. Penamaan
berdasarkan spasia yang dikenainya. Jika terbentuk eksudat yang purulen,
mengindikasikan tubuh bertendensi membatasi penyebaran infeksi dan
mekanisme resistensi lokal tubuh dalam mengontrol infeksi.
1. Selulitis Difus Akut
Dibagi lagi menjadi beberapa kelas, yaitu:
a. Ludwigs Angina
b. Selulitis yang berasal dari inframylohyoid
c. Selulitis Senators Difus Peripharingeal
d. Selulitis Fasialis Difus
e. Fascitis Necrotizing dan gambaran atypical lainnya
2. Selulitis Kronis
Selulitis kronis adalah suatu proses infeksi yang berjalan lambat karena
terbatasnya virulensi bakteri yang berasal dari fokus gigi. Biasanya terjadi pada
pasien dengan selulitis sirkumskripta yang tidak mendapatkan perawatan yang
adekuat atau tanpa drainase.
3. Selulitis Difus yang Sering Dijumpai
Selulitis difus yang paling sering dijumpai adalah Phlegmone / Angina Ludwigs .
Angina Ludwigs merupakan suatu selulitis difus yang mengenai spasia
sublingual, submental dan submandibular bilateral, kadang-kadang sampai
mengenai spasia pharingeal (Berini, Bresco & Gray, 1999 ; Topazian, 2002).
Selulitis dimulai dari dasar mulut. Seringkali bilateral, tetapi bila hanya mengenai
satu sisi/ unilateral disebut Pseudophlegmon.
E. MANIFESTASI KLINIS
Tempat infeksi ditandai dengan pembengkakan dengan batas tidak tegas disertai
nyeri tekan dan hangat. Infeksi dapat meluas ke jaringan yang lebih dalam atau
menyebar secara sistemik.
1. Reaksi lokal
a. Lesi dengan batas tidak jelas
b. Area selulit biasanya nyeri, merah, dan hangat
c. Jaringan mengeras
2. Reaksi sistemik
a. Demam
b. Malaise menggigil
c. Garis merah sepanjang jalur drainase limfatik
d. Kelenjar getah bening membesar dan nyeri (Cecily, Lynn Betz., 2009)
Daerah yang terkena menjadi eritema, terasa panas dan bengkak serta terdapat
lepuhan-lepuhan dan daerah nekrosis. Pasien menjadi demam dan merasa tidak
enak badan. Bisa terjadi kekakuan, dan pada orang tua dapat terjadi penurunan
kesadaran (Graham & Robin., 2005).
Gambaran klinis dari selulitis antara lain: daerah kemerahan yang bengkak di
kulit serta terasa hangat dan nyeri bila dipegang. Pus serosa atau purulen dapat
ditemukan. Serta demam (Corwin, Elizabeth J., 2009).
Menurut Mansjoer (2000) manifestasi klinis selulitis adalah kerusakan kronik
pada kulit sistem vena dan limfatik pada kedua ekstremitas,kelainan kulit berupa
infiltrat difus subkutan, eritema lokal, nyeri yang cepat menyebar dan infiltratif ke
jaringan dibawahnya, bengkak, merah, hangat, dan nyeri tekan, supurasi, dan
lekositosis.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hitung darah lengkap (CBC): leukosit meningkat
2. Kultur darah : positif, Kultur aspirat jaringan : positif
- Kultur darah, dilaksanakan bila infeksi tergeneralisasi telah diduga
- Mengkultur dan membuat apusan Gram, dilakukan secara terbatas pada
daerah penampakan luka namun sangat membantu pada area abses atau
terdapat bula.
- Pemeriksaan laboratorium tidak dilaksanakan apabila penderita belum
memenuhi beberapa kriteria; seperti area kulit yang terkena kecil, tidak
tersasa sakit, tidak ada tanda sistemik (demam, dingin, dehidrasi, takipnea,
takikardia, hipotensi), dan tidak ada faktor resiko.
3. Pemeriksaan radiografi sinus- paranasal (selulitis periorbital): opasifikasi sinus
4. CT Scan orbita dan sinus paranasal : untuk mengesampingkan terkenanya orbita
(Cecily, Lynn Betz., 2009)
G. PENATALAKSANAAN
1. Air dan sabun serta antibiotik topikal
2. Mungkin diperlukan kompres hangat dan insisi lesi
3. Antibiotik sistemik
(Corwin, Elizabeth J., 2009)
Perawatan lebih lajut bagi pasien rawat inap:
1. Beberapa pasien membutuhkan terapi antibiotik intravenous. Diberikan penicillin
atau obat sejenis penicillin (misalnya cloxacillin)
2. Jika infeksinya ringan, diberikan sediaan per-oral (ditelan).
3. Biasanya sebelum diberikan sediaan per-oral, terlebih dahulu diberikan suntikan
antibiotik jika: penderita berusia lanjut, selulitis menyebar dengan segera ke
bagian tubuh lainnya, demam tinggi.
4. Jika selulitis menyerang tungkai, sebaiknya tungkai dibiarkan dalam posisi
terangkat dan dikompresdingin untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan.
5. Pelepasan antibiotic parenteral pada pasien rawat jalan menunjukan bahwa dia
telah sembuh dari infeksi
Perawatan lebih lanjut bagi pasien rawat jalan : perlindungan penyakit cellulites bagi
pasien rawat jalan dapat dilakukan dengan cara memberikan erythromycin atau oral
penicillin dua kali sehari atau intramuscular benzathine penicillin.
H. KOMPLIKASI
1. Gangguan sistemik, septikemia
2. Osteomielitis
3. Artritis septik
4. Hilangnya ketajaman penglihatan (selulitis orbital)
5. Potensial abses otak (selulitis orbital, periorbital) (Cecily, Lynn Betz., 2009)
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Mansjoer, dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3. Medica. Aesculpalus,
FKUI, Jakarta.
Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar : Keperawatan Medikal Bedah. EGC: Jakarta
Cecily, Lynn Betz.(2009).Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta: EGC.
Corwin, Elizabeth J. (2009). Patofisiologi: Buku Saku. Jakarta: EGC.
Doengoes, Marilynn E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan pasien. Penerbit Buku
Kedokteran, EGC: Jakarta
Graham & Robin. (2005). Dermatologi:Catatan Kuliah. Jakarta: Erlangga.
I. PATOFISIOLOGI
Bakteri patogen
(streptokokus piogenes, streptokokus grup A, stapilokokus aureus)
Menyerang kulit dan infeksi jaringan subkutan Meluas ke jaringan yang lebih dalam
Mekanisme radang
Nyeri Tekan
Nyeri otot Proses fagositosis Reaksi Ag-Ab
c. Risiko Infeksi
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 5 x 24 jam klien
tidak terjadi infeksi
Kriteria Hasil :
- Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
- Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
- Jumlah leukosit dalam batas normal
Intervensi
Infection Control (Kontrol infeksi)
Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
Pertahankan teknik isolasi
Batasi pengunjung bila perlu
Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung
dan setelah berkunjung meninggalkan pasien
Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan kperawtan
Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat
Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai dengan
petunjuk umum
Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing
Tingktkan intake nutrisi
Berikan terapi antibiotik bila perlu
Infection Protection (proteksi terhadap infeksi)
Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
Monitor hitung granulosit, WBC
Monitor kerentanan terhadap infeksi
Berikan perawatan kulit pada area epidema
Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas,
drainase
Ispeksi kondisi luka / insisi bedah
Dorong masukkan nutrisi yang cukup
Dorong masukan cairan
Dorong istirahat
Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep