Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di era globalisasi ini masyrakat Indonesia semakin sadar akan pentingnya
kesehatan. Mereka semakin sadar karena dengan tubuh yang sehat maka dapat mendukung
masyrakat Indonesia ke taraf hidup yang lebih baik. Kesehatan menurut Undang-Undang
Republik Indonesia No.36 Tahun 2009 adalah suatu keadaan sehat baik secara fisik ,
mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif
secara sosial dan ekonomi. Melalui definisi itulah kesehatan itu sendiri merupakan hal
yang sangat penting untuk diperhatikan. Melihat adanya peningkatan kesadaran akan hidup
sehat dari masyarakat ini berdampak pada meningkatnya kebutuhan pelayanan kesehatan
bagi masyarakat.
Kebutuhan akan pelayanan kesehatan yang semakin meningkat tersebut yang pada
akhirnya mendorong pemerintah untuk menyediakan sebuat unit ataupun fasilitas yang
mampu melayani masyarakat dibidang kesehatan. Berbagai macam fasilitas yang
pemerintah sedian demi menunjang kesehatan masyarakat salah satunya adalah Pusat
Kesehatan Masyarakat.
Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS) menurut Permenkes RI No. 74
tahun 2016 merupakan suatu unit pelakasana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang
bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja.
Puskesmas merupkan layanan kesehatan tingkat pertama dan terdepan dalam sistem
pelayanan kesehatan harus melakukan pelayanan kesehatan wajib dan beberapa upaya
kesehatan pilihan yang disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan, tuntutan, kemampuan dan
inovasi serta kebijakan pemerintah daerah setempat. Selain itu, puskesmas pula memiliki
tugas untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan perilaku hidup seh at maupun
menjaga lingkungan sehat dengan memberikan pelayanan yang bermutu. Puskesmas
menjadi fasilitas layanan kesehatan yang memberikan edukasi upaya kesehatan masyarakat
untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan masyarakat serta mencegah dan
menanggulangi timbulnya masalah kesehatan di masyarakat.
4. Memperoleh praktek kerja kefarmasian sehingga lebih siap dalam memasuki dunia
kerja.
5. Memperoleh gamba ran nyata mengenai permasalahan yang terjadi dalam perkerjaan
kefarmasian di Puskesmas.
C. Manfaat Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Puskemas
Manfaat yang diperoleh dari PKPA di Puskesmas Depok 1 Sleman yaitu :
1. Meningkatkan pemahaman tentang tugas dan tanggung jawab apoteker dalam
menjalankan pekerjaan kefarmasian di Puskesmas.
2. Mendapatkan pengalaman praktis mengenai pekerjaan kefarmasian di puskesmas.
3. Mendapatkan pengetahuan mengenau manajemen praktis di puskesmas.
4. Meningkatkan rasa percaya diri untuk memasuki dunia kerja sebagai Apoteker yang
profesional di Puskesmas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Aspek Puskesmas
1. Definisi Puskesmas
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) adalah fasilitas pelayanan kesehatan
yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan
tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk
mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.
Upaya kesehatan diselenggarakan dengan menitikberatkan pelayanan untuk masyarakat
luas guna mencapai derajat kesehatan yang optimal tanpa mengabaikan mutu pelayanan
perseorangan. Secara umum, puskesmas harus memberikan pelayanan preventif, promotif,
kuratif sampai dengan rehabilitatif baik melalui Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) atau
Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) (Menkes RIa, 2014).
Dalam organisasi puskesmas, yang berperan sebagai penanggungjawab UKP
adalah unit Kefarmasian dan Laboratorium. Puskesmas berperan sebagai penyelenggara
UKP tingkat pertama di wilayah kerjanya. Dalam menyelenggarakan fungsi UKP,
Puskesmas berwenang untuk:
a. menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar secara komprehensif,
berkesinambungan dan bermutu;
b. menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang mengutamakan upaya promotif dan
preventif;
c. menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang berorientasi pada individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat;
d. menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang mengutamakan keamanan dan
keselamatan pasien, petugas dan pengunjung;
e. menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan prinsip koordinatif dan kerja sama
inter dan antar profesi;
f. melaksanakan rekam medis;
g. melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap mutu dan akses
pelayanan kesehatan;
h. melaksanakan peningkatan kompetensi tenaga kesehatan;
- Hindari penggunaan obat kombinasi, kecuali jika obat kombinasi mempunyai efek yang
lebih baik dibanding obat tunggal.
- Apabila jenis obat banyak, maka kita memilih berdasarkan obat pilihan (drug of choice)
dari penyakit yang prevalensinya tinggi.
b. Tahap Kompilasi Pemakaian Obat
Kompilasi pemakaian obat berfungsi untuk mengetahui pemakaian bulanan
masing-masing jenis obat di unit pelayanan kesehatan/ Puskesmas selama setahun dan
sebagai data pembanding bagi stok optimum. Informasi yang didapat dari kompilasi
pemakaian obat adalah :
- Jumlah pemakaian tiap jenis obat pada masing-masing unit pelayanan kesehatan/
Puskesmas.
- Persentase pemakaian tiap jenis obat terhadap total pemakaian setahun seluruh unit
pelayanan kesehatan/ Puskesmas.
- Pemakaian rata-rata untuk setiap jenis obat untuk tingkat Kabupaten/ Kota.
c. Tahap Perhitungan Kebutuhan Obat
Menentukan kebutuhan obat merupakan tantangan yang berat yang harus dihadapi
oleh tenaga farmasi yang bekerja di instalasi farmasi Kabupaten/Kota maupun unit
Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD). Masalah kekosongan obat atau kelebihan obat dapat
terjadi apabila informasi semata-mata hanya berdasarkan informasi yang teoritis kebutuhan
pengobatan. Dengan koordinasi dan proses perencanaan untuk pengadaan obat secara
terpadu serta melalui tahapan seperti diatas, maka diharapkan obat yang direncanakan
dapat tepat jenis dan tepat jumlah serta tepat waktu dan tersedia pada saat dibutuhkan.
Adapun pendekatan perencanaan kebutuhan dapat dilakukan melalui beberapa
metode:
- Metoda Konsumsi
Didasarkan atas analisa data konsumsi obat tahun sebelumnya, dimana untuk
menghitung jumlah obat yang dibutuhkan berdasarkan metode konsumsi perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Pengumpulan dan pengolahan data
2) Analisa data untuk informasi dan evaluasi
3) Perhitungan perkiraan kebutuhan obat
4) Penyesuaian jumlah kebutuhan obat dengan alokasi dana
- Metoda Morbiditas
Metoda morbiditas adalah perhitungan kebutuhan obat berdasarkan pola penyakit,
perkiraan kenaikan kunjungan dan waktu tunggu (lead time). Langkah-langkah dalam
metoda ini adalah:
1) Menentukan jumlah penduduk yang akan dilayani.
2) Menentukan jumlah kunjungan kasus berdasarkan frekwensi penyakit.
3) Menyediakan standar/ pedoman pengobatan yang digunakan.
4) Menghitung perkiraan kebutuhan obat.
5) Penyesuaian dengan alokasi dana ya ng tersedia
(Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2007).
2. Permintaan
Sumber penyediaan obat di Puskemas berasal dari Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Obat yang diperkenankan untuk disediakan di Puskesmas adalah obat
esensial yang jenis dan itemnya telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dengan merujuk
pada DOEN. Selain itu, sesuai dengan kesepakatan global maupun Keputusan Menteri
Kesehatan No. 085 tahun 1989 tentang Kewajiban Menuliskan Resep dan atau
Menggunakan Obat Generik di Pelayanan Kesehatan Milik Pemerintah dan Permenkes RI
No. HK.02.02/MENKES/068 /I/2010 tentang Kewajban Menggunakan Obat Generik di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah, maka hanya obat generik saja yang
diperkenankan tersedia di Puskesmas, pertimbangan tersebut didasarkan bahwa:
- Obat generik sudah menjadi kesepakatan global untuk digunakan di seluruh dunia
bagi pelayanan kesehatan publik dan mempunyai mutu serta efikasi yang memenuhi
standar pengobatan.
- Meningkatkan cakupan dan kesinambungan pelayanan kesehatan publik.
- Meningkatkan efektivitas dan efisiensi alokasi dana obat di pelayanan kesehatan
publik.
(Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2010).
Tujuan permintaan obat dan BMHP adalah memenuhi kebutuhan obat dan BMHP
di puskesmas, sesuai dengan perencanaan kebutuhan yang telah dibuat. Permintaan
diajukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan dan kebijakan pemerintah daerah setempat (Menteri Kesehatan RI,
2016).
Permintaan obat untuk mendukung pelayanan obat di masing-masing Puskesmas
diajukan oleh Kepala Puskesmas kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan
menggunakan format LPLPO, sedangkan permintaan dari sub unit ke kepala Puskesmas
dilakukan secara periodik menggunakan LPLPO sub unit (Direktorat Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2010).
Tahapan atau kegiatan yang dapat dilakukan untuk menentukan permintaan obat
dapat dilakukan dengan cara:
- Menentukan jenis permintaan obat
- Permintaan Rutin, dilakukan sesuai dengan jadwal yang disusun oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota untuk masing-masing Puskesmas.
- Permintaan Khusus, dilakukan di luar jadwal distribusi rutin apabila:
1) kebutuhan meningkat
2) terjadi kekosongan
3) Terdapat Kejadian Luar Biasa (KLB / Bencana)
- Menentukan jumlah permintaan obat. Data yang diperlukan untuk menentukan jumlah
permintaan obat antara lain yaitu data pemakaian obat periode sebelumnya, jumlah
kunjungan resep, jadwal distribusi obat dari Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota, dan sisa
stok.
- Menghitung kebutuhan obat dengan cara:
- Jumlah untuk periode yang akan datang diperkirakan sama dengan pemakaian pada
periode sebelumnya.
SO = SK + SWK + SWT + SP
- Sedangkan untuk menghitung permintaan obat dapat dilakukan dengan rumus:
Permintaan = SO SS
Keterangan :
- SO= Stok optimum, merupakan stok ideal yang harus tersedia dalam waktu periode
tertentu
- SK= Stok Kerja (Stok pada periode berjalan). Stok kerja dapat diketahui dengan cara
perhitungan dari pemakaian ratarata per periode distribusi
- SWK= Jumlah yang dibutuhkan pada waktu kekosongan obat. Waktu kekosongan
adalah lamanya kekosongan obat dihitung dalam hari
- SWT= Jumlah yang dibutuhkan pada waktu tunggu (Lead Time). Waktu tunggu,
dihitung mulai dari permintaan obat oleh Puskesmas sampai dengan penerimaan obat di
Puskesmas
- SP= Stok penyangga, merupakan persediaan obat untuk mengantisipasi terjadinya
peningkatan kunjungan, keterlambatan kedatangan obat. Besarnya ditentukan
berdasarkan kesepakatan antara Puskesmas dan Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota.
- SS= Sisa Stok, yang dimaksud dengan sisa stok adalah sisa obat yang masih tersedia di
Puskesmas pada akhir periode distribusi
(Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2010).
3. Penerimaan
Penerimaan Sediaan Farmasi dan BMHP adalah suatu kegiatan dalam menerima
Sediaan Farmasi dan BMHP dari Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota atau hasil pengadaan
Puskesmas secara mandiri sesuai dengan permintaan yang telah diajukan. Tujuannya
adalah agar Sediaan Farmasi yang diterima sesuai dengan kebutuhan berdasarkan
permintaan yang diajukan oleh Puskesmas, dan memenuhi persyaratan keamanan, khasiat,
dan mutu.
Tenaga Kefarmasian dalam kegiatan pengelolaan bertanggung jawab atas
ketertiban penyimpanan, pemindahan, pemeliharaan dan penggunaan Obat dan BMHP
berikut kelengkapan catatan yang menyertainya. Tenaga Kefarmasian wajib melakukan
pengecekan terhadap Sediaan Farmasi dan BMHP yang diserahkan, mencakup jumlah
kemasan/peti, jenis dan jumlah Sediaan Farmasi, bentuk Sediaan Farmasi sesuai dengan isi
dokumen LPLPO, ditandatangani oleh Tenaga Kefarmasian, dan diketahui oleh Kepala
Puskesmas. Bila tidak memenuhi syarat, maka Tenaga Kefarmasian dapat mengajukan
keberatan. Masa kedaluwarsa minimal dari Sediaan Farmasi yang diterima disesuaikan
dengan periode pengelolaan di Puskesmas ditambah satu bulan (Menteri Kesehatan RI,
2016).
4. Penyimpanan
Penyimpanan Sediaan Farmasi dan BMHP merupakan suatu kegiatan pengaturan
terhadap Sediaan Farmasi yang diterima agar aman (tidak hilang), terhindar dari kerusakan
fisik maupun kimia dan mutunya tetap terjamin, sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan.
Tujuannya adalah agar mutu Sediaan Farmasi yang tersedia di puskesmas dapat
dipertahankan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. Penyimpanan Sediaan Farmasi
dan BMHP dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1) bentuk dan jenis sediaan.
2) kondisi yang dipersyaratkan dalam penandaan di kemasan Sediaan Farmasi, seperti
suhu penyimpanan, cahaya, dan kelembaban.
3) mudah atau tidaknya meledak/terbakar.
4) narkotika dan psikotropika disimpan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
5) tempat penyimpanan Sediaan Farmasi tidak dipergunakan untuk penyimpanan
barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi
(Menteri Kesehatan RI, 2016).
Tata cara penyusunan obat ketika melakukan penyimpanan di Puskesmas dapat
dilakukan dengan cara berikut ini:
a. Sistem FEFO dan FIFO. Penyusunan dilakukan dengan sistem First Expired First Out
(FEFO) untuk masing-masing obat, artinya obat yang lebih awal kadaluwarsa harus
dikeluarkan lebih dahulu dari obat yang kadaluwarsa kemudian, dan First In First Out
(FIFO) untuk masing-masing obat, artinya obat yang datang pertama kali harus
dikeluarkan lebih dahulu dari obat yang datang kemudian. Hal tersebut sangat penting
karena obat yang sudah terlalu lama biasanya kekuatannya atau potensinya berkurang.
b. Pemindahan harus hati-hati supaya obat tidak pecah/rusak.
c. Golongan antibiotik harus disimpan dalam wadah tertutup rapat, terhindar dari cahaya
matahari, disimpan di tempat kering.
d. Vaksin dan serum harus dalam wadah yang tertutup rapat, terlindung dari cahaya dan
disimpan dalam lemari pendingin (suhu 48oC). Kartu kontrol suhu yang ada harus
selalu diisi setiap pagi dan sore.
e. Obat injeksi disimpan dalam tempat yang terhindar dari cahaya matahari langsung.
f. Bentuk dragee (tablet salut) disimpan dalam wadah tertutup rapat dan pengambilannya
menggunakan sendok.
g. Obat dengan waktu kadaluwarsa yang sudah dekat supaya diberi tanda khusus, misalnya
dengan menuliskan waktu kadaluarsa pada dus luar dengan mengunakan spidol.
h. Penyimpanan obat dengan kondisi khusus, seperti lemari tertutup rapat, lemari
pendingin, kotak kedap udara dan lain sebagainya.
i. Cairan diletakkan di rak bagian bawah.
j. Kondisi penyimpanan beberapa obat.
Beri tanda/kode pada wadah obat.
Beri tanda semua wadah obat dengan jelas.
Apabila ditemukan obat dengan wadah tanpa etiket, jangan digunakan.
Apabila obat disimpan di dalam dus besar maka pada dus harus tercantum: jumlah isi
dus, misalnya: 20 kaleng @ 500 tablet, kode lokasi, tanggal diterima, tanggal
kadaluwarsa, nama produk/obat.
k. Beri tanda khusus untuk obat yang akan habis masa pakainya pada tahun tersebut.
Jangan menyimpan vaksin lebih dari satu bulan di unit pelayanan kesehatan.
(Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2010)
5. Pendistribusian
Pendistribusian obat dan BMHP merupakan kegiatan pengeluaran dan penyerahan
obat dan BMHP secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan sub unit atau satelit
farmasi di puskesmas dan jaringannya. Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan obat
sub unit pelayanan kesehatan yang ada di wilayah kerja puskesmas dengan jenis, mutu,
jumlah dan waktu yang tepat. Sub-sub unit di Puskesmas dan jaringannya antara lain sub
unit pelayanan kesehatan di dalam lingkungan Puskesmas, Puskesmas pembantu,
puskesmas keliling, posyandu, dan Polindes.
Tidak hanya itu pendistribusian juga dilakukan di dalam sub unit Puskesmas
tersebut antara lain ruang rawat inap, UGD, dan lain-lain. Pendistribusian dilakukan
dengan cara pemberian obat sesuai resep yang diterima, pemberian obat per sekali minum
(dispensing dosis unit) atau kombinasi, sedangkan pendistribusian ke jaringan Puskesmas
dilakukan dengan cara penyerahan obat sesuai dengan kebutuhan (floor stock) (Menteri
Kesehatan RI, 2016).
Pendistribusian obat dapat dilakukan dengan cara:
a. Puskesmas menyerahkan/mengirimkan obat dan diterima di sub unit pelayanan
b. Obat diambil sendiri oleh sub-sub unit pelayanan. Obat diserahkan bersama-sama
dengan formulir LPLPO sub unit yang distandatangani oleh penanggung jawab sub unit
pelayanan puskesmas dan kepala puskesmas sebagai penanggung jawab pemberi obat
dan lembar pertama disimpan sebagai tanda bukti penerimaan obat
(Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2010).
6. Pengendalian
Pengendalian Sediaan Farmasi dan BMHP adalah suatu kegiatan untuk
memastikan tercapainya sasaran yang diinginkan sesuai dengan strategi dan program yang
telah ditetapkan sehingga tidak terjadi kelebihan dan kekurangan/kekosongan Obat di unit
pelayanan kesehatan dasar.
Tujuannya adalah agar tidak terjadi kelebihan dan kekosongan Obat di unit
pelayanan kesehatan dasar. Pengendalian Sediaan Farmasi terdiri dari:
a. Pengendalian persediaan
b. Pengendalian penggunaan
c. Penanganan Sediaan Farmasi hilang, rusak, dan kadaluwarsa
(Menteri Kesehatan RI, 2016).
7. Pemusnahan dan Penarikan
Pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, dan BMHP yang tidak dapat
digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar/ketentuan peraturan
perundang-undangan dilakukan oleh pemilik izin edar berdasarkan perintah penarikan oleh
BPOM (mandatory recall) atau berdasarkan inisiasi sukarela oleh pemilik izin edar
(voluntary recall) dengan tetap memberikan laporan kepada Kepala BPOM.
Penarikan BMHP dilakukan terhadap produk yang izin edarnya dicabut oleh
Menteri. Pemusnahan dilakukan untuk Sediaan Farmasi dan BMHP bila produk tidak
memenuhi persyaratan mutu, telah kadaluwarsa, tidak memenuhi syarat untuk
dipergunakan dalam pelayanan kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan, dan dicabut
izin edarnya.
Tahapan pemusnahan Sediaan Farmasi dan BMHP terdiri dari:
a) membuat daftar Sediaan Farmasi dan BMHP yang akan dimusnahkan
Hal-hal penting yang perlu diperhat ikan sebagai penanggung jawab pengelola
perbekalan farmasi dalam melakukan pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan terkait
penatalaksanaan obat yang terdapat di Puskesmas adalah:
a. Sarana Pencatatan dan Pelaporan
Sarana yang digunakan untuk pencatatan dan pelaporan obat di Puskesmas adalah
Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) dan kartu stok. LPLPO
yang dibuat oleh petugas Puskesmas harus tepat data, tepat isi dan dikirim tepat waktu
serta disimpan dan diarsipkan dengan baik. LPLPO juga dimanfaatkan untuk analisis
penggunaan, perencanaan kebutuhan obat, pengendalian persediaan dan pembuatan
laporan pengelolaan obat.
b. Alur Pelaporan
Data LPLPO merupakan kompilasi dari data LPLPO sub unit. LPLPO dibuat 3 (tiga)
rangkap, diberikan ke Dinkes Kabupaten/Kota melalui Instalasi Farmasi
Kabupaten/Kota, untuk diisi jumlah yang diserahkan. Setelah ditanda tangani oleh
kepala Dinas Kesehatan Kab/Kota, satu rangkap untuk Kepala Dinas Kesehatan, satu
rangkap untuk Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota dan satu rangkap dikembalikan ke
puskesmas.
c. Periode Pelaporan
LPLPO sudah harus diterima oleh Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota paling lambat
tanggal 10 setiap bulannya
(Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2010).
Berikut ini merupakan penjelasan Laporan Pemakaian Dan Lembar Permintaan
Obat (LPLPO) yang harus dibuat oleh penanggung jawab pengelolaan perbekalan farmasi
di Puskesmas:
1) Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat disampaikan oleh Puskesmas/UPK ke
Instalasi Farmasi. Petugas Pencatatan dan Evaluasi melakukan evaluasi dan pengecekan
sesuai dengan rencana distribusi dari instalasi farmasi lalu dikirimkan ke Dinas
Kesehatan Kabupaten/ Kota untuk mendapatkan persetujuan dari Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota. Formulir Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat
digunakan untuk permintaan dan pengeluaran obat.
2) Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat dibuat rangkap 3 (tiga), yang terdiri
dari: Asli untuk Instalasi Farmasi di Kabupaten/Kota, Tindasan 1 untuk arsip instansi
a. Penetapan apa yang harus diukur. Manajemen puncak menetapkan proses pelaksanaan
dan hasil mana yang akan dipantau dan dievaluasi. Proses dan hasil pelaksanaan harus
dapat diukur dalam kaitannya dengan tujuan.
b. Pembuatan standar kinerja. Standar digunkan untuk mengukur kinerja merupakan
suatu rincian dan tujuan yang strategis. Standar harus dapat mengukur apa yang
mencerminkan hasil kinerja yang telah dilaksanakan.
c. Pengukuran kinerja yang aktual yaitu dibuat pada waktu yang tepat.
d. Bandingkan kinerja yang aktual dengan standar. Jika hasil kinerja yang aktual berada
di dalam kisaran toleransi maka pengukuran dihentikan.
e. Melakukan tindakan korektif. Jika hasil kinerja aktual berada di luar kisaran toleransi,
harus dilakukan koreksi untuk deviasi yang terjadi
(Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2007).
Kegiatan evaluasi bukan merupakan kegiatan yang berdiri sendiri namun
diharapkan merupakan bagian dari kegiatan rutin tahunan dari setiap unit satuan kerja.
Kegiatan ini bermuara pada upaya untuk meningkatkan kinerja unit kerja untuk memenuhi
tuntutan SPM (Standar Pelayanan Minimal).
1) Jenis-jenis Evaluasi
Ada empat jenis evaluasi yang dibedakan atas interaksi dinamis diantara
lingkungan program dan waktu evaluasi yaitu:
- Evaluasi formatif yang dilakukan selama berlangsungnya kegiatan program
Evaluasi ini bertujuan untuk melihat dimensi kegiatan program yang melengkapi
informasi untuk perbaikan program.
- Evaluasi sumatif yang dilakukan pada akhir program. Evaluasi ini perlu untuk
menetapkan ikhtisar program, termasuk informasi outcome, keberhasilan dan
kegagalan program.
- Evaluasi penelitian adalah suatu proses penelitian kegiatan yang sebenarnya dari suatu
program, agar diketemukan hal-hal yang tidak tampak dalam pelaksanaan program.
- Evaluasi presumtif yang didasarkan pada tendensi yang menganggap bahwa jika
kegiatan tertentu dilakukan oleh orang tertentu yang diputuskan dengan pertimbangan
yang tepat, dan jika bertambahnya anggaran sesuai dengan perkiraan, maka program
dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan.
2) Masalah dalam Evaluasi:
- Unsur proses, yaitu tindakan yang dilakukan, komunikasi, dan kerja sama.
- Unsur lingkungan, yaitu kebijakan, organisasi, manajemen, budaya, respon dan tingkat
pendidikan masyarakat
(Menteri Kesehatan RI, 2016).
Pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian terintegrasi dengan program
pengendalian mutu pelayanan kesehatan Puskesmas yang dilaksanakan secara
berkesinambungan. Kegiatan pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian meliputi:
a. Perencanaan, yaitu menyusun rencana kerja dan cara monitoring dan evaluasi untuk
peningkatan mutu sesuai standar.
b. Pelaksanaan, yaitu:
- Monitoring dan evaluasi capaian pelaksanaan rencana kerja (membandingkan
antara capaian dengan rencana kerja).
- memberikan umpan balik terhadap hasil capaian.
c. Tindakan hasil monitoring dan evaluasi, yaitu:
- melakukan perbaikan kualitas pelayanan sesuai standar.
- meningkatkan kualitas pelayanan jika capaian sudah memuaskan.
Monitoring merupakan kegiatan pemantauan selama proses berlangsung untuk
memastikan bahwa aktivitas berlangsung sesuai dengan yang direncanakan. Monitoring
dapat dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang melakukan proses. Aktivitas monitoring
perlu direncanakan untuk mengoptimalkan hasil pemantauan. Contoh: monitoring
pelayanan resep, monitoring penggunaan Obat, monitoring kinerja tenaga kefarmasian
(Menteri Kesehatan RI, 2016).
Untuk menilai hasil atau capaian pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian, dilakukan
evaluasi. Evaluasi dilakukan terhadap data yang dikumpulkan yang diperoleh melalui
metode berdasarkan waktu, cara, dan teknik pengambilan data.
Berdasarkan waktu pengambilan data, terdiri atas:
- Retrospektif: Pengambilan data dilakukan setelah pelayanan dilaksanakan. Contoh:
survei kepuasan pelanggan, laporan mutasi barang.
- Prospektif: Pengambilan data dijalankan bersamaan dengan pelaksanaan pelayanan.
Contoh: waktu pelayanan kefarmasian disesuaikan dengan waktu pelayanan kesehatan
di Puskesmas, sesuai dengan kebutuhan.
Berdasarkan cara pengambilan data, terdiri atas:
1) Langsung (data primer): Data diperoleh secara langsung dari sumber informasi oleh
pengambil data. Contoh: survei kepuasan pelanggan terhadap kualitas pelayanan
kefarmasian.
2) Tidak Langsung (data sekunder): Data diperoleh dari sumber informasi yang tidak
langsung. Contoh: catatan penggunaan Obat, rekapitulasi data pengeluaran Obat.
Berdasarkan teknik pengumpulan data, evaluasi dapat dibagi menjadi:
- Survei
Survei yaitu pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner. Contoh: survei
kepuasan pelanggan.
- Observasi
Observasi yaitu pengamatan langsung aktivitas atau proses dengan menggunakan cek
list atau perekaman. Contoh: pengamatan konseling pasien
(Menteri Kesehatan RI, 2016).
A. Aspek Puskesmas
Puskesmas Depok 1 Sleman
Puskesmas Depok I berada di Kecamatan Depok, Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Puskesmas Depok I Sleman mencakup 1 Desa yaitu Desa Maguwoharjo,
dengan luas wilayah 9.928.300 Ha dan jumlah dusun 20. Desa Maguwoharjo memiliki
jumlah RT sebanyak 185 dan jumlah RW sebanyak 72. Jumlah penduduk Desa
Maguwoharjo pada tahun 2015 sejumlah 33.286 jiwa yang terdiri dari 16.697 jiwa
penduduk laik-laki dan 16.589 jiwa penduduk perempuan. Jumlah penduduk terbanyak
adalah adalah golongan usia 30-34 tahun baik laki-laki (1.659 jiwa) maupun perempuan
(1.661 jiwa).
Puskesmas Depok I Sleman menyediakan poliklinik yang terdiri dari Pengobatan
Umum, Kesehatan Gigi dan Mulut, serta Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan Keluarga
Berencana (KB). Unit pendukung yang tersedia antara lain Laboratorium sebagai
pemeriksaan penunjang, dan Konsultasi terkait gizi, Kesehatan Lingkungan, Psikologi dan
Kesehatan Reproduksi. Selain itu, puskesmas juga memiliki satu puskesmas pembantu
(Pustu) yaitu Pustu Maguwoharjo.
1. Visi dan Misi Puskesmas Depok I Sleman
Visi :
Terwujudnya Masyarakat Sleman Sehat yang Mandiri, Berdaya Saing dan Berkeadilan.
Misi :
a. Menerapkan sistem manajemen mutu secara konsisten dan berkesinambungan.
b. Memberdayakan masyarakat untuk lebih mandiri dalam upaya kesehatan.
c. Mengembangkan sumber daya layanan yang memadai.
d. Membangun kerja sama lintas program dan sektor harmonis.
2. Kebijakan Mutu Puskesmas Depok I Sleman
Puskesmas Depok I memiliki motto Kepuasan Anda adalah Kebahagiaan Kami
berkomitmen untuk selalu melakukan perbaikan yang berkesinambungan dalam rangka
penerapan sistem manajemen mutu dengan menitikberatkan pada :
a. Peningkatan pelayanan kesehatan yang bermutu untuk mencapai kepuasan pelanggan
b. Peningkatan profesionalisme SDM dalam pelayanan kesehatan
c. Peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat melalui upaya promotif dan preventif
3. Struktur Organisasi Puskesmas Depok I Sleman
dibuatkan berita acara ke dinas agar dapat dilakukan pemusnahan. Pemusnahan obat akan
dilakukan oleh pihak luar yang sudah bekerjasama dengan puskesmas depok I.
C. Aspek Distribusi Sediaan Farmasi
Distribusi/penyaluran adalah kegiatan pengeluaran dan penyerahan obat secara
merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan sub-sub unit pelayanan kesehatan. Unit
pelayanan yang ada di Puskesmas antara lain : Ruang tindakan, Klinik Ibu dan Anak
(KIA), BP Gigi, laboratorium, kamar obat, Puskesmas keliling, Posyandu, Puskesmas
pembantu (Pustu). Obat didistribusikan ke setiap unit berdasarkan kebutuhan yang dibuat.
Pendistribusian ke setiap unit pelayanan disesuaikan dengan LPLPO yang telah dibuat
masing-masing unit pelayanan, distribusi dilakukan sebulan sekali. Jumlah yang
didistribusikan dihitung oleh Asisten Apoteker secara manual sesuai dengan jumlah
pemakaian dan jumlah permintaan tiap-tiap unit. Pengambilan obat dan alat medis
dilakukan oleh asisten apoteker/apoteker penanggung jawab untuk mengantisipasi
pengambilan berlebih atau kesalahan dalam pengisian kartu stok. Sisa obat yang belum
digunakan akan disimpan di gudang obat jika sewaktu-waktu stok obat kurang pada
masing-masing sub unit maka dilakukan pengambilan obat di gudang tersebut.
Secara umum pemberian obat di Puskesmas Depok I dilakukan dengan sistem
individual prescribing yaitu dengan menebus obat ke unit instalasi farmasi yang ada,
dengan membawa resep yang didapatkan dari dokter. Alur distribusi sediaan farmasi ke
pasien dimulai dengan diterimanya resep oleh Asisten Apoteker kemudian dilakukan
peracikan obat sesuai dengan yang tertulis di resep. Bila terdapat ketidakjelasan pada
resep, dikonfirmasikan dahulu ke dokter penulis resep. Setelah itu, obat diberikan ke
pasien dengan etiket yang jelas serta diberikan konseling terkait penggunaan obat. Obat
yang diberikan kepada pasien tidak dipungut biaya. Distribusi obat psikotropika ke pasien
diserahkan dengan menanyakan terlebih dahulu alamat lengkap dari pasien dan ditulis
dalam lembar resep. Hal ini dilakukan untuk mencegah penyalahgunaan obat psikotropika.
Buku22-31
PKPA Puskesmas Periode Permintaan
Mei 2017 27
Pencatatan dan pelaporan obat keluar dilakukan 1 bulan sekali, dilakukan dengan cara
membuat memasukkan data pemakaian kamar obat per bulan di komputer, lalu disalin ke
buku bantu LPLPO yang berisi pemakaian dan sisa stok dari seluruh sub unit puskesmas,
kemudian data jumlah penggunaan obat dan sisa stok kumulatif dimasukkan kedalam
LPLPO. Pada pengendalian persediaan di ruang pengambilan obat, pengelola unit instalasi
farmasi melakukan register harian yang dilakukan setelah pelayanan obat. Register
dilakukan dengan cara memasukkan jumlah obat yang ada dalam resep ke dalam catatan
harian. Register ini bertujuan untuk melihat pemakaian obat dan bahan medis yang
digunakan setiap harinya serta untuk memantau persediaan obat yang ada di kamar obat
untuk mengantisipasi kekurangan/kekosongan persediaan. Data dari register harian ini
kemudian akan diakumulasikan selama satu bulan dan akan dijadikan data untuk LPLPO.
Register harian ini berisi identitas pasien, kode dan nama obat yang diresepkan, jumlah
setiap obat yang diresepkan, dan jenis pasien (bayar, Askes, Jamkesda, Jamkesmas, dan
lain-lain). Data tersebut akan diakumulasikan dalam periode 1 bulan. Pelaporan bulanan ini
digunakan untuk acuan perencanaan pengadaan pada bulan selanjutnya.
Penanganan obat kadaluwarsa dan rusak dilakukan untuk mencegah adanya efek
samping yang tidak diinginkan dan melindungi pasien dari efek tersebut. Penanganan obat
kadaluwarsa dilakukan dengan memisahkan obat yang sudah kadaluwarsa dengan cara
memisahkan obat ke rak karantina dan terpisah dari obat lain hingga menunggu
pemusnahan. Obat yang dikumpulkan dicatat dalam buku bantu obat rusak dan
kadaluwarsa. Obat tersebut dibuatkan berita acara yang diketahui oleh kepala puskesmas.
Setelah itu dilaporkan kepada UPT POAK untuk mendapatkan izin pemusnahan dari Dinas
penyimpanan obat emergency, hingga perawatan mortar dan stamper. SOP di puskesmas
secara umum meliputi SOP administrasi, pengadaan, penyimpanan, distribusi, dan
pekerjaan teknis kefarmasian.
Audit internal SOP manajemen bertujuan memastikan keefektifan penerapan
Sistem Manajemen Mutu dan mengidentifikasi serta memperbaiki ketidaksesuaian yang
timbul dalam penerapan sistem manajemen mutu. Audit eksternal dilakukan oleh BPOM
dan Inspektorat Kabupaten Sleman secara periodik. Selain itu, Audit SOP Manajemen
dilakukan untuk menjaga mutu pelayanan kesehatan, serta mencapai pengobatan rasional,
pemantauan kepatuhan petugas dan kinerja para medis. Bila terjadi ketidaksesuaian maka
ketidaksesuaian tersebut akan dicatat pada LKP (Lembar Ketidaksesuaian dan Perbaikan)
dan bila dinilai perlu adanya pencegahan dilakukan tindakan pencegahan dan perbaikan.
3. Audit SOP Distribusi
Kegiatan Audit SOP Distribusi di Puskesmas Depok I terdiri dari dua jenis yang
pertama yaitu distribusi keluar meliputi pelaksanaan kegiatan distribusi dari Puskesmas
induk (Puskesmas Depok I) ke Puskesmas pembantu, Pos Pelayanan terpadu serta ditribusi
obat dari puskesmas ke pasien pada saat pelayanan obat atau yang sering dinamakan
distribusi langsung. Kedua adalah distribusi masuk yaitu kegiatan pendistribusian obat dan
alat kesehatan dari UPT POAK Kabupaten Sleman ke Puskesmas Depok I.
Kegiatan Audit SOP distribusi dilakukan oleh Apoteker Penanggung jawab dan
Asisten Apoteker dan dilakukan secara periodik. Tujuan dari audit ini adalah untuk
mengevaluasi jalannya proses distribusi masuk maupun keluar apakah telah sesuai dengan
SOP yang telah disepakati sebelumnya sehingga proses distribusi dapat menjamin
ketersediaan obat dan alat kesehatan dalam segala aspek penjaminan mutu obat hingga
sampai ke tangan pasien. Contoh temuan dalam audit SOP distribusi dapat berupa
pelanggaran atau penyimpangan SOP. Apabila terdapat temuan akan segera ditindaklanjuti
dalam kurun waktu yang telah ditentukan dan jika diperlukan adanya revisi SOP maka
akan segera dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Revisi dilakukan oleh
Apoteker dan Asisten Apoteker yang bertanggung jawab terhadap manajemen dan
distribusi obat di puskesmas.
Sebaiknya SOP yang telah ada tetap diterapkan dan terus dievaluasi untuk
melindungi pekerjaan kefarmasian, dan meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian di
Puskesmas. Berikut SOP yang ada pada unit pelayanan farmasi Puskesmas Depok I
Sleman:
Penilaian, pengendalian dalam penyediaan dan penggunaan obat, bertujuan sebagai
pedoman dalam melaksanakan penilaian dan pengendalian dalam penyediaan dan
penggunaan obat.
Penyediaan dan penggunaan obat, bertujuan sebagai pedoman dalam melaksanakan
penyediaan dan penggunaan obat untuk pelayanan.
Penyediaan obat yang menjamin ketersediaan obat, bertujuan sebagai pedoman dalam
melaksanakan penyediaan obat yang menjamin ketersediaan obat.
Evaluasi ketersediaan obat terhadap formularium, bertujuan sebagai pedoman dalam
melaksanakan evaluasi ketersediaan obat terhadap formularium, hasil evaluasi dan
tindak lanjut.
Evaluasi kesesuaian peresepan dengan formularium, bertujuan sebagai pedoman
dalam melaksanakan peresepan dengan formularium, hasil evaluasi dan tindak lanjut.
Peresepan, pemesanan, dan pengelolaan obat, bertujuan sebagai pedoman pelaksanaan
peresep an, pemesanan dan pengelolaan obat sehingga pelayanan obat dapat berjalan
lancar.
Menjaga tidak terjadinya pemberian obat kadaluarsa, pelaksanaan FIFO dan FEFO,
kartu stok/kendali, bertujuan sebagai pedoman dalam melaksanakan menjaga
pelayanan obat agar tidak terjadi pemberian obat ED, pelaksanaan FIFO, FEFO, dan
kartu stock.
Peresepan narkotika dan psikotropika, bertujuan sebagai pedoman dalam
melaksanakan peresepan psikotropika dan narkotika.
Pengawasan dan pengendalian penggunaan psikotropika dan narkotika, bertujuan
sebagai pedoman dalam pengawasan dan pengendalian penggunaan psikotropika dan
narkotika.
Penyimpanan obat, bertujuan supaya obat tetap terjamin mutunya terhindar dari
kerusakan.
Pemberian obat kepada pasien dan pelabelan, bertujuan agar tidak terjadi kekeliruan
pemberian obat.
Pemberian informasi penggunaan obat, bertujuan agar pasien memahami cara
penggunaan obat yang benar.
Pemberian informasi tentang ESO atau efek yang tidak diharapkan, bertujuan agar
pasien memahami ESO yang mungkin timbul pada penggunaan obat.
Petunjuk penyimpanan obat di gudang, bertujuan agar obat terjamin mutunya dalam
kondisi penyimpanan di rumah.
Penanganan obat kadaluarsa/rusak, bertujuan melindungi pasien dari efek samping
penggunaan obat rusak / kadaluarsa.
Pelaporan efek samping obat, bertujuan melindungi dan menangani pasien dari efek
samping.
Pencatatan, pemantauan, dan pelaporan efek samping obat dan KTD, bertujuan untuk
mencatat, memantau, dan melaporkan efek samping pengobatan yang merugikan
pasien.
Identifikasi dan pelaporan kesalahan pemberian obat dan KNC, bertujuan sebagai
pedoman dalam identifikasi dan pelaporan kesalahan pemberian obat dan KNC
(Kejadian Nyaris Celaka).
Penyediaan obat-obat emergensi di unit kerja, bertujuan agar obat emergensi tersedia
di unit kerja dan dapat segera diakses untuk kebutuhan yang bersifat emergensi.
Penyimpanan obat emergensi di unit pelayanan, bertujuan agar obat emergensi yang
disimpan di unit kerja terjamin mutunya dan dilindungi dari kehilangan atau
pencurian.
Monitoring penyediaan obat emergensi di unit kerja, bertujuan melakukan monitoring
obat emergensi untuk memenuhi ketersediaan dan menjaga kualitas obat.
Melarutkan dan mencampurkan sirup kering, bertujuan agar pasien siap menggunakan
dengan konsistensi yang tepat.
Penyimpanan obat kulkas, bertujuan agar obat tidak rusak di suhu kamar.
Perawatan mortir dan stamper, bertujuan agar saat digunakan meracik puyer dalam
keadaan bersih dan terawat.
Penandaan obat menjelang kadaluarsa, bertujuan untuk menghindari pemakaian obat/
bahan habis pakai yang kadaluarsa pada pasien.
Persiapan pelayanan obat di ruang obat, bertujuan agar pelayanan obat cepat dan
lancar.
Pelayanan resep, bertujuan agar tidak terjadi kekeliruan pemberian obat.
Kelengkapan resep, bertujuan agar penulisan etiket tepat dan petugas obat mudah
memahami resep.
Pembuatan obat puyer secara manual, bertujuan agar pelayanan obat cepat dan lancar.
Pembuatan LPLPO, bertujuan untuk bukti distribusi obat di puskesmas, sumber data
untuk melakukan pengaturan dan pengendalian, dan sumber data untuk pembuatan
laporan.
4. Audit Finansial (cash flow, neraca, laporan rugi laba)
Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis (UPT) pemerintah daerah yang
termasuk ke dalam Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Menurut Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 61 tahun 2007 tentang pedoman teknis pengelolaan keuangan badan
layanan umum daerah, BLUD dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat
berupa penyediaan barang/jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan
dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas serta
pola pengelolaan keuangan BLUD memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk
menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat seperti pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada
umumnya. Anggaran Puskesmas Depok I Sleman berasal dari pendapatan jasa layanan
(pendapatan rawat jalan dan kapitasi BPJS) ditambah dengan Hibah, APBD, APBN dan
lain-lain (pendapatan BLUD yang sah) sehingga setiap kegiatan Puskesmas yang
menggunakan anggaran tersebut harus membuat laporan pertanggungjawaban yang
dilaporkan secara rutin kepada pemerintah daerah.
Keseluruhan persediaan obat dan alat kesehatan yang dibutuhkan di Puskesmas
Depok I berasal dari UPT POAK Kabupaten Sleman. Audit finansial dilakukan oleh Badan
Pengawas Keuangan (BPK) berdasarkan laporan dan dokumentasi transaksi pemasukan
dan pengeluaran obat secara komputerisasi. Persediaan obat termasuk dalam kas
Puskesmas Depok I yang akan dilaporkan dalam laporan keuangan puskesmas berupa
laporan neraca, laporan laba rugi dan laporan operasional puskesmas setiap semester.
5. Survei Kepuasan Konsumen
Survey kepuasan pelanggan dilakukan dua kali dalam setahun (bulan April dan
Oktober) dengan memberikan kuesioner kepada pasien di setiap unit pelayanan puskesmas
induk. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengukur kepuasan pelanggan akan
pelayanan obat. Kuisioner diperoleh dari Bagian Organisasi Pemerintah Daerah Kabupaten
Sleman. Responden diperoleh dari beberapa unit di puskesmas induk seperti, pengobatan
umum, KIA, ruang obat, KB, sanitasi, laboratorium, gizi, dan sanitasi. Survey Kepuasan
Konsumen ini dilakukan untuk mengevaluasi kinerja personil puskesmas di setiap unit,
penilaiannya antara lain seperti keramahan, kecepatan pelayanan, kondisi lingkungan
puskesmas, biaya, dan lain-lain. Sasaran mutu unit pelayanan farmasi adalah skor kepuasan
pelanggansebesar 62,51-81,25 (kriteria baik). Pada bulan April 2017, Puskemas Depok 1
memperoleh skor 84,02%, dapat dikatakan bahwa pelayanan yang diberikan Puskesmas
Depok 1 kepada pasien adalah sangat baik karena sudah melewati kriteria baik untuk
Survey Kepuasan Konsumen.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Peran, fungsi, dan tanggung jawab Apoteker dalam pelayanan kefarmasian di
Puskesmas Depok I Sleman antara lain pengelolaan sediaan farmasi, bahan medis
habis pakai, serta alat kesehatan; pelayanan farmasi klinis; dan melakukan evaluasi
pelayanan kefarmasian.
2. Pelaksanaan PKPA di Puskesmas Depok I Sleman, meningkatkan pengetahuan,
keterampilan, sikap dan perilaku profesional, serta wawasan dan pengalaman nyata
bagi calon Apoteker.
3. Pelaksanaan PKPA di Puskesmas Depok I Sleman, menambah pengetahuan terkait
strategi pengembangan Puskesmas.
4. Permasalahan yang ditemukan di Puskesmas Depok I Sleman, yaitu permasalahan
terkait suhu penyimpanan obat di gudang obat yang tidak dilakukan pengecekan
secara rutin dan butuh penataan ulang gudang obat agar lebih rapi dan kualitas obat
tetap terjamin.
5. Pelaksanaan PKPA di Puskesmas Depok I Sleman, meningkatkan bersosialisasi,
bekerjasama dan berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengan etika
profesi Apoteker.
6. Pelaksanaan PKPA di Puskesmas Depok I Sleman, meningkatkan pengetahuan
mengenai manajemen dan administrasi pengelolaan obat, distribusi obat, dan sistem
evaluasi di Puskesmas.
B. Saran
1. Melakukan pemantauan dan pencatatan suhu dan kelembaban, serta kebersihan ruang
gudang obat secara teratur untuk menjaga kualitas obat dan alat kesehatan.
2. Melakukan penataan ulang atau penambahan jumlah rak di gudang obat, sehingga
obat-obat dan alat kesehatan yang ada tetap terjamin kualitasnya.
3. Melakukan penataan kembali ruang peracikan dan penyerahan obat, yaitu memberikan
keterangan berupa tulisan yang jelas dan mudah dibaca pada depan ruangan
penyerahan obat dan peracikan sehingga pasien tidak bingung mencari ruangan untuk
menebus resep.
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, 2004, Auditing (Pemeriksaan Akuntan) oleh Kantor Akuntan Publik, Edisi Ketiga,
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 4-6.
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006, Pedoman Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2007, Pedoman Pengelolaan
Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan di Daerah Kepulauan, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, p.157.
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2010, Materi Pelatihan
Manajemen Kefarmasian di Puskesmas, Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta, p.1-35.
Hanafi dan Mahmud M, 2012, Dasar-Dasar Manajemen Keuangan, Penerbit Balai
Pustaka, Jakarta, hal. 59-62.
Menteri Kesehatan RIa, 2014, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 30
Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Menteri Kesehatan RIb, 2014, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75
Tahun 2014 Tentang Pusat Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.
Menteri Kesehatan RI, 2004a, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
128/Menkes/SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat,
Kementerian Kesehatan RI, Jakarta hal.5-9.
Menteri Kesehatan RI, 2016, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 74
Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas, Kementerian
Kesehatan RI, Jakarta, p.5-32.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2016 Tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas hal. 13-18.
Trihono, 2005, Manajemen Puskesmas Berbasis Paradigma Sehat, Jakarta : Sagung Seto,
pp. 12.
LAMPIRAN