Anda di halaman 1dari 36

REFERAT

ENDOMETRIOSIS

PEMBIMBING :

dr. Heika Natasha Silitonga, Sp.OG

Disusun oleh :
Muhammad Azmi Hakim

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI


KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRIK DAN GINEKOLOGI
RSUD DR DRADJAT PRAWIRANEGARA
AGUSTUS 2016

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, Puji dan syukur senantiasa saya panjatkan kehadirat Allah


SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, serta shalawat dan salam
kepada Nabi Muhammad SAW, dan para sahabat serta pengikutnya hingga akhir
zaman. Karena atas rahmat dan ridha-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat yang
berjudul Endometriosis. Penulisan referat ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas
dalam menempuh kepanitraan klinik di bagian obstetrik dan ginekologi di RSUD dr.
Drajat Prawiranegara.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya penulisan referat ini tidak lepas
dari bantuan dan dorongan banyak pihak. Maka dari itu, perkenankanlah penulis
menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
membantu, terutama kepada dr. Heika Natasha Silitonga, SpOG yang telah
memberikan arahan serta bimbingan ditengah kesibukan dan padatnya aktivitas
beliau.
Penulis menyadari penulisan referat ini masih jauh dari sempurna mengingat
keterbatasan ilmu yang penulis miliki. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran
dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan penulisan referat ini. Akhir kata
penulis berharap penulisan referat ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membacanya.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Serang, Agustus 2016

Penulis

2
DAFTAR ISI
Kata pengantar 2
Daftar isi.. 3
BAB I Pendahuluan ... 4
1.2. Tujuan 5
BAB II Tinjauan pustaka 6
2.1. Fisiologi haid 6
2.2.1 Definisi endometriosis 19
2.2.2. Etiopatogenesis .. 19
2.2.3. Tanda dan gejala 20
2.2.4. Diagnosis ...... 22
2.2.5 Diagnosis banding . 26
2.2.6 Penalatalaksanaan . . 30
BAB III Kesimpulan .. 32
DAFTAR PUSTAKA 33

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologis yang ditandai
dengan adanya jaringan endometrium di luar jaringan endometrium itu sendiri,
dimana normalnya jaringan endometrium terletak di dalam cavitas uteri. Umumnya
endometriosis ditemukan di dalam rongga pelvis, namun dapat juga ditemukan di
ovarium, excavatio rectouterina (cavum douglasi), ureter, hingga yang jarang
ditemukan, yaitu di vesica urinaria, pericardium, maupun di pleura. Bila jaringan
endometrium berada di dalam jaringan myometrium, maka disebut adenomyosis atau
dapat disebut juga endometriosis in situ. Endometriosis disebabkan karena
ketidakseimbangan hormonal di dalam tubuh wanita yang sedang berada di dalam
masa reproduksi. Gejala endometriosis dapat beragam, dimulai dari asimtomatik,
subfertile, maupun dapat berupa nyeri di sekitar perut bawah (nyeri di panggul)(1).
Endometriosis terkait dengan ketidakseimbangan hormonal pada wanita yang
berada di dalam masa reproduksi, dimana 20-50% dapat ditemukan pada wanita yang
infertil, 80% pada wanita yang mengidap nyeri panggul kronis. 45% dari total tersebut
dapat ditemukan endometriosis melalui laparoskopi. Insidensi endometriosis pada
anak perempuan berumur 11-13 tahun sebesar 12%, namun dapat meningkat hingga
mencapai 45% pada wanita berusia 20-21 tahun. Faktor keturunan dapat pula
mempengaruhi insidensi penyakit ini, dimana bila ibu mengidap endometriosis, maka
anak perempuannya dapat memiliki risiko terkena penyakit yang sama sekitar 10 kali
lipat. Walaupun endometriosis sangat erat kaitannya dengan perempuan, namun
kadang-kadang dapat pula ditemukan pada pria yang menjalani terapi hormon
estrogen dosis tinggu dalam waktu yang lama. Bila dilihat dari segi usia, maka
perempuan yang berusia 25-30 tahun cenderung mengidap endometriosis pelvik,
sedangkan perempuan yang berusia 35-40 tahun cenderung untuk mengidap
endometriosis ekstra pelvik(2).
Seiring berjalannya waktu, insidensi endometriosis dapat meningkat di masa
yang akan datang. Maka dari itu, penulis ingin mengemukakan makalah mengenai
penyakit ini agar dapat memberitahukan pentingnya mengetahui tentang ini penyakit
ini, yang bejudul Endometriosis.

4
1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui penyakit enndometriosis
1.2.2. Tujuan Khusus
Untuk memenuhi salah satu tugas di Kepaniteraan Klinik Ilmu Obstetri dan
Ginekologi di RSUD Dr. Dradjat Prawiranegara Serang dan sebagai salah satu
persyaratan dalam mengikuti ujian di Kepaniteraan Klinik Ilmu Obstetri dan
Ginekologi di RSUD Dr. Dradjat Prawiranegara Serang.

BAB II

5
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fisiologi Haid


Ovarium sebagai organ reproduksi primer wanita, melakukan tugas ganda,
yaitu menghasilkan ovum (oogenesis) dan mengeluarkan hormon-hormon seks
wanita, yaitu estrogen dan progesteron. Kedua hormon ini bekerja bersama untuk
mendorong fertilisasi ovum dan mempersiapkan sistem reproduksi wanita untuk
kehamilan. Estrogen pada wanita betanggung jawab untuk berbagai fungsi yang
serupa dengan yang dilakukan oleh testosteron pada pria, misalnya pematangan dan
pemeliharaan seluruh sistem reproduksi wanita serta pembentukan karakteristik seks
sekunder wanita. Secara umum, efek estrogen penting untuk pematangan dan
pengeluaran ovum, pembentukan berbagai karakteristik fisik yang menarik perhatian
pria secara seksual, dan mengangkut sperma dari vagina ke tempat fertilisasi di tuba
fallopi. Selain itu estrogen ikut berperan dalam perkembangan payudara sebagai
laktasi. Steroid ovarium lain, progesteron, penting untuk mempersiapkan lingkungan
yang sesuai untuk merawat mudigah/janin yang sedang tumbuh dan berperan dalam
kemampuan payudara menghasilkan ASI. Seperti pada pria, kemampuan reproduktif
mulai terbentuk saat pubertas pada wanita, tetapi tidak seperti pria, yang memiliki
potensi reproduksi seumur hidup, potensi reproduksi wanita berhenti pada usia
pertengahan.
Setelah pubertas, ovarium secara terus menerus berada dalam dua fase secara
bergantian, yaitu fase folikel yang didominasi oleh adanya folikel matang, dan fase
luteal, yang ditandai dengan adanya korpus luteum. Siklus ini dalam keadaan normal
diinterupsi hanya oleh kehamilan dan akhirnya berakhir pada menopause. Siklus
ovarium rata-rata berlangsung selama dua puluh delapan hari, tetapi hal ini
bervariasi di antara wanita dan di antara siklus pada seorang wanita. Folikel bekerja
pada separuh pertama siklus untuk menghasilkan sebuah telur matang yang siap
berovulasi di pertengahan siklus. Korpus luteum mengambil alih peran ada paruh
kedua siklus untuk mempersiapkan saluran reproduksi wanita untuk kehamilan
apabila terjadi pembuahan terhadap telur yang dikeluarkan.
Pada setiap saat sepanjang siklus, sebagian dari folikel primer mulai tumbuh.
Namun, folikel-folikel tersebut hanya tumbuh selama fase folikel, pada saat
lingkungan hormonal tepat untuk mendorong pematangan mereka, melanjutkan diri
melewati fase awal perkembangan. Folikel-folikel lain, karena tidak mendapat
bantuan hormon, mengalami atresia. Selama perkembangan folikel, sewaktu oosit
primer sedang melaksanakan sintesis dan menyimpan berbagai bahan untuk
digunakan kemudian jika dibuahi, terjadi perubahan-perubahan penting di sel-sel
yang mengelilingi oosit reaktif sebagai persiapan untuk pelepasan telur dari
ovarium. Pertama, selapis sel-sel granulosa di folikel primer berproliferasi untuk
membentuk beberapa lapisan mengelilingi oosit. Sel-sel granulosa ini mengeluarkan
bahan kental mirip-gel yang membungkus oosit dan memisahkannya dari sel-sel
granulosa di sekitarnya. Membran penghalang ini dikenal sebagai zona pelusida.
Pada saat yang sama, sel-sel jaringan ikat khusus di ovarium di tepi folikel yang
sedang tumbuh berproliferasi dan berdiferensiasi untuk membentuk suatu lapisan

6
luar, yaitu sel-sel teka. Sel teka dan granulosa, yang secara kolektif disebut sel
folikel berfungsi sebagai satu kesatuan untuk mensekresikan estrogen. Dari tiga
estrogen yang penting secara fisiologis, estradiol, estron, dan estriol; estradiol adalah
estrogen utama dari ovarium.

Gambar 1. Siklus ovarium

Lingkungan hormonal yang terdapat selama fase folikel mendorong


pembesaran dan perkembangan kapasitas sekretorik sel-sel folikel, mengubah folikel
primer menjadi folikel sekunder, atau antrum, yang mampu menghasilkan estrogen.
Stadium perkembangan folikel ini ditandai oleh pembetukan antrum yang berisi
cairan di bagian tengah sel-sel granulosa. Cairan folikel sebagian besar berasal dari
transudasi (melewati pori-pori kapiler) plasma dan sebagian dari sekresi sel folikel.
Sewaktu sel-sel folikel mulai menghasilkan estrogen, sebagian dari hormon ini
disekresikan ke dalam darah untuk disebarkan ke seluruh tubuh. Akan tetapi,
sebagian estrogen berkumpul di cairan antrum yang kaya akan hormon.
Oosit telah mencapai ukuran maksimum pada saat antrum mulai terbentuk.
Pergeseran menjadi folikel memicu periode pertumbuhan folikel yang cepat. Selama

7
waktu ini, ukuran folikel meningkat dari garis tengah kurang dari 1 mm menjadi 12-
16 mm sesaat sebelum ovulasi. Sebagian pertumbuhan folikel ini disebabkan oleh
proliferasi terus-menerus sel-sel granulosa dan teka, tetapi sebagian besar
disebabkan oleh ekspansi antrum yang drastis. Sewaktu folikel tumbuh, jumlah
estrogen yang diproduksi juga meningkat. Salah satu folikel biasanya tumbuh lebih
cepat daripada folikel-folikel lain, berkembang menjadi folikel matang (preovulasi
tersier atau de Graaf) dalam waktu sekitar empat belas hari setelah permulaan
perkembangan folikel. Antrum menempati sebagian besar ruang di folikel matang.
Oosit, yang dikelilingi oleh zona pelusida dan selapis sel granulosa, tergeser secara
asimetris ke salah satu sisi folikel yang sedang tumbuh dalam suatu gundukan kecil
yang menonjol ke dalam antrum.
Folikel matang yang sangat berkembang tersebut menonjol dari permukaan
ovarium, membentuk suatu daerah tipis yang pecah untuk mengeluarkan oosit pada
saat ovulasi. Ruptur folikel dipermudah oleh pengeluaran emzim-enzim dari sel-sel
folikel yang mencerna jaringan ikat di dinding folikel. Dengan demikian, dinding
yang menonjol diperlemah seningga semakin menonjol sampai suatu saat ketika
dinding tidak lagi dapat menahan isinya yang tumbuh pesat.
Sesaat sebelum ovulasi, oosit menyelesaikan pembelahan meiosis pertamanya.
Ovum (oosit sekunder), yang masih dikelilingi oleh zona pelusida dan sel-sel
granulosa (disebut korona radiata), disapu keluar folikel yang pecah ke dalam
rongga abdomen oleh cairan antrum yang bocor. Ovum yang dikeluarkan dengan
cepat disedot ke dalam tuba fallopi, tempat pembuahan mungkin atau tidak terjadi.
Folikel-folikel lain yang sedang berkembang namun gagal mencapai
kematangan dan berovulasi mengalami degenarasi dan tidak pernah direaktivasi.
Kadang-kadang pada saat yang sama dua (atau mungkin lebih) folikel mencapai
kematangan dan berovulasi. Apabila keduanya dibuahi, terjadi kembar fraternal
(kembar saudara). Karena kembar fraternal berasal dari ovum yang berbeda yang
dibuahi oleh sperma yang berbeda mereka tidak memiliki persamaan melebihi dua
saudara kandung, kecuali tanggal lahir yang sama. Kembar identik, dipihak lain
berkembang dari satu ovum yang telah dibuahi dan secara sempurna terbagi menjadi
dua mudigah yang terpisah tetapi secara genetis identik pada tahap perkembangan
paling awal.
Ruptur folikel pada ovulasi merupakan tanda berahkirnya fase folikel dan
mulainya fase luteal. Folikel yang ruptur dan tertinggal di ovarium setelah ovum
keluar mengalami perubahan cepat. Sel-sel granulosa dan teka yang terdapat di
folikel tersebut mula-mula kolaps ke dalam ruang antrum yang sebagian terisi oleh
bekuan darah. Sel-sel folikel tua ini kemudian mengalami trasnformasi struktural
drastis untuk membentuk korpus luteum dalam suatu proses yang disebut luteinisasi.
Sel-sel folikel yang berubah menjadi sel luteal mengalami hipertrofi dan diubah
menjadi jaringan steroidegenik (penghasil hormon steroid) yang sangat aktif.
Banyaknya simpanan kolesterol, yaitu molekul prekursor steroid, di butir-butir
lemak di dalam korpus lutein menyebabkan jaringan ini tampak kekuningan. Korpus
luteum mengalami peningkatan vaskularisasi karena pembuluh-pembuluh darah dari
daerah teka menginvasi granulosa yang mengalami luteinisasi. Perubahan-perubahan
ini sesuai dengan fungsi korpus luteum, yaitu mengeluarkan progesteron dalam

8
jumlah besar bersama dengan estrogen dalam jumlah yang lebih sedikit ke dalam
darah. Sekresi estrogen di fase folikel, yang diikuti oleh sekresi progesteron di fase
luteal, sangat penting untuk mempersiapkan uterus agar dapat menerima implantasi
ovum yang dibuahi. Korpus luteum mulai berfungsi penuh dalam empat hari setelah
ovulasi, tetapi terus membesar sampai empat atau lima hari berikutnya. Jika ovum
yang dilepaskan tidak dibuahi dan tidak tertanam, korpus luteum berdegenerasi
dalam empat belas hari setelah pembentukannya. Sel-sel luteal berdegenerasi dan
difagositosis, pembuluh darah berkurang, dan jaringan ikat dengan cepat terisi oleh
massa jaringan fibrosa yang dikenal sebagai kopur albikans. Fase luteal sudah
berakhir, dan satu siklus ovarim selesai. Gelombang baru perkembangan folikel,
yang dimulai saat degenerasi kopus luteum lama selesai, menandai mulainya fase
folikel yang baru.
Apabila terjadi pembuahan dan implantasi, korpus luteum terus tumbuh serta
menghasilkan progesteron dan estrogen dalam jumlah yang semakin meningkat.
Struktur ovarium yang sekarang disebut kopus luteum kehamilan ini menetap
sampai akhir kehamilan. Struktur ini menghasilkan hormon-hormon yang esensial
untuk memelihara kehamilan sampai plasenta dapat mengambil alih fungsi penting
ini.
Siklus ovarium diatur oleh interaksi kompleks berbagai hormon dari
hipotalamus, hipofisis anterior, dan ovarium. Ovarium memiliki dua unit endokrin
terkait-folikel penghasil estrogen selama paruh pertama siklus, dan korpus luteum
yang mengeluarkan progesteron dan estrogen selama paruh terakhir siklus. Unit-unit
ini secara sekuensial dipicu oleh hubungan hormonal siklis yang rumit antara
hipotalamus, hipofisis anterior, dan kedua unit endokrin ovarium.
Seperti pada pria, fungsi gonad pada wanita secara langsung dikontrol oleh
hormon-hormon gonadotropik hipofisis anterior, follicle-stimulating hormone (FSH)
dan luteinizing hormone (LH). Kedua hormon ini, pada gilirannya, diatur oleh
gonadotropin-releasing hormone (GnRH) hipotalamus yang sekresinya pulsatif serta
efek umpan-balik hormon-hormon gonad. Namun, berbeda dengan pria, kontrol
gonad wanita diperumit oleh fungsi ovarium yang sifatnya siklis. Sebagai contoh,
efek FSH dan LH pada ovarium bergantung pada stadium siklus ovarium. Juga
berbeda dengan pria FSH tidak semata-mata bertanggung jawab untuk
gametogenesis dan LH juga tidak hanya bertanggung jawab atas sekresi hormon
gonad.

Tahap-tahap awal pertumbuhan folikel pra-antrum dan pematangan oosit tidak


memerlukan stimulasi gonadotropik. Namun, bantuan hormon diperlukan untuk
membentuk antrum perkembangan folikel lebih lanjut, dan sekresi estrogen.

9
Estrogen, FSH, dan LH semuanya diperlukan. Pembentukan antrum diinduksi oleh
FSH. Baik FSH maupun estrogen merangsang proliferasi sel-sel granulosa. Baik
FSH maupun LH diperlukan untuk sintesis dan sekresi estrogen oleh folikel, tetapi
hormon-hormon ini bekerja pada sel-sel yang berbeda dan pada tahapan jalur
pembentukan estrogen yang berbeda pula. Baik sel granulosa maupun sel teka
berpartisipasi dalam pembentukan estrogen. Perubahan kolesterol menjadi estrogen
memerlukan sejumlah langkah berurutan dengan langkah terakhir adalah perubahan
androgen menjadi estrogen. Sel-sel teka banyak menghasilkan androgen tetapi
kapasitas mereka mengubah androgen menjadi estrogen terbatas. Sel-sel granulosa,
di pihak lain, mudah mengubah androgen menjadi estrogen, tetapi tidak mampu
membentuk sendiri androgen. LH bekerja pada sel-sel teka untuk merangsang
pembentukan androgen, sementara FSH bekerja pada sel-sel granulosa yuntuk
meningkatkan perubahan androgen teka (yang berdifusi ke dalam sel granulosa dan
sel teka) menjadi estrogen. Karena kadar basal FSH yang rendah sudah cukup untuk
mendorong perubahan menjadi estrogen ini, kecepatan sekresi estrogen oleh folikel
terutama bergantung pada kadar LH dalam darah, yang terus meningkat selama fase
folikel. Selain itu, sewaktu folikel terus tumbuh, estrogen yang dihasilkan juga
meningkat karena bertambahnya jumlah sel folikel penghasil estrogen.

Gambar 2. Produksi estrogen melalui folikel ovarium

Sebagian dari estrogen yang dihasilkan oleh folikel yang tumbuh disekresikan
ke dalam darah dan menjadi penyebab meningkatnya kadar estrogen plasma selama
fase folikel. Sisa estrogen tetap berada di dalam folikel dan ikut serta membentuk
cairan antrum dan merangsang proliferasi lebih lanjut sel-sel granulosa.

10
Estrogen yang disekresikan, selain bekerja pada jaringan spesifik seks seperti
uterus, juga menghambat hipotalamus dan hipofisis anterior melalui mekanisme
umpan-balik negatif. Kadar estrogen yang rendah tetapi meningkat pada fase folikel
bekerja secara langsung pada hipotalamus umtuk menghambat sekresi GnRH,
sehingga pengeluaran FSH dan LH dari hipofisis anterior yang dipicu oleh GnRH
juga tertekan. Namun, efek primer estrogen adalah langsung pada hipofisis itu
sendiri. Estrogen menurunkan kepekaan sel penghasil gonadotropin, terutama sel
penghasil FSH, terhadap GnRH.

Perbedaan kepekaan sel-sel penghasil FSH dan LH yang diinduksi oleh


estrogen ini paling tidak ikut berperan pada kenyataan bahwa kadar FSH plasma,
tidak seperti kadar LH plasma, menurun selama fase folikel seiring dengan
peningkatan kadar estrogen. Faktor lain yang menyebabkan turunnya FSH selama
fase folikel adalah sekresi inhibin oleh sel-sel folikel. Inhibin cenderung
menghambat sekresi FSH dengan bekerja pada hipofisis anterior, seperti yang terjadi
pada pria. Penurunan sekresi FSH menyebabkan atresia semua folikel yang sedang
berkembang kecuali satu yang paling matang.
Berbeda dengan FSH, sekresi LH terus meningkat secara perlahan selama fase
folikel walaupun terjadi inhibisi terhadap sekresi GnRH (dan dengan demikian
secara tidak langsung, LH). Hal yang tampak paradox ini disebabkan oleh kenyataan
bahwa estrogen sendiri tidak dapat secara total menekan sekresi LH tonik (terus-
menerus, dengan kadar rendah); untuk menghambat secara total sekresi LH tonik
tersebut diperlukan baik estrogen maupun progesteron. Karena progesteron belum
muncul sampai fase luteal siklus tersebut, kadar LH basal secara perlahan meningkat
selama fase folikel di bawah inhibisi estrogen.
Ovulasi dan luteinisasi selanjutnya folikel yang ruptur dipicu oleh peningkatan
sekresi LH yang masif dan mendadak. Lonjakkan LH ini menimbulkan empat
perubahan utama pada folikel:
1. Lonjakan tersebut menghentikan sintesis estrogen oleh sel folikel
2. Lonjakan tersebut memulai kembali meiosis di oosit pada folikel yang
sedang berkembang, tampaknya dengan menghambat pengeluaran oocyte
maturation-inhibiting substance yang dihasilkan oleh sel-sel granulosa. Zat
ini diperkirakan menjadi penyebab terhentinya meiosis di oosit primer
setelah oosit terbungkus di dalam sel-sel granulosa pada ovarium janin
3. Lonjakan tersebut memicu pembentukan prostaglandin spesifik yang bekerja
lokal. Prostaglandin tersebut menginduksi ovulasi dengan mendorong
perubahan-perubahan vaskuler yang menyebabkan pembengkakan folikel
dengan cepat sementara menginduksi pencernaan dinding folikel oleh enzim-
enzim. Efek-efek tersebut bersama-sama menyebabkan rupturnya dinding
yang membungkus folikel
4. Lonjakan tersebut menyebabkan diferensiasi sel-sel folikel menjadi sel
luteal. Karena lonjakan LH memicu ovulasi dan luteinisasi, pembentukan
korpus luteum secara otomatis mengikuti ovulasi. Dengan demikian,

11
lonjakan sekresi LH pada pertengahan siklus adalah titik dramatis dalam
siklus; lonjakan tersebut menghentikan fase folikel dan memulai fase luteal
Dua cara sekresi LH yang berbedasekresi tonik LH yang menyebabkan
sekresi hormon ovarium dan lonjakan LH yang menyebabkan ovulasitidak hanya
berlangsung pada saat yang berbeda dan menimbulkan efek yang berlainan pada
ovarium tetapi juga dikontrol oleh mekanisme yang berbeda. Sekresi LH tonik
ditekan secara parsial oleh estrogen kadar rendah selama fase folikel dan ditekan
secara total oleh pregesteron yang kadanya meningkat selama fase luteal. Karena
sekresi LH tonik merangsang sekresi estrogen dan progesteron, hal ini adalah khas
untuk sistem umpan-balik begatif.
Sebaliknya lonjakan LH dipicu oleh efek umpan-balik positif. Kadar estrogen
yang rendah dan meningkat pada awal fase folikel menghambat sekresi LH, tetapi
kadar estrogen yang tinggi pada saat puncak sekresi estrogen pada akhir fase folikel
merangsang sekresi LH dan menimbulkan lonjakan LH. Dengan demikian, LH
meningkatkan produksi estrogen oleh folikel, dan konsentrasi estrogen puncak
merangsang sekresi LH. Konsentrasi estrogen plasma yang tinggi bekerja langsung
pada hipotalamus untuk meningkatkan frekuensi denyut sekresi GnRH, sehingga
meningkatkan sekresi LH dan FSH. Kadar tersebut juga bekerja langsung pada
hipofisis anterior untuk secara spesifik meningkatkan kepekaan sel penghasil LH
terhadap GnRH. Efek yang terakhir merupakan penyebab lonjakan sekresi LH yang
jauh lebih besar daripada sekresi FSH pada pertengahan siklus. Karena hanya folikel
praovulasi matang, bukan folikel-folikel pada tahap awal perkembangan, yang
mampu mengeluarkan estrogen dalam junlah cukup untuk memicu lonjakan LH,
maka ovulasi tidak terjadi sampai sebuah folikel mencapai ukuran dan tingkat
kematangan yang sesuai. Dengan cara ini, folikel memberi tahu hipotalamus kapan
ia siap dirangsang untuk berovulasi. Lonjakan LH hanya berlangsung satu atau dua
hari pada pertengahan siklus, sesaat sebelum ovulasi.

12
Gambar 3. Kontrol lonjakan LH saat ovulasi

LH mempertahankan korpus luteum; yaitu, setelah memicu perkembangan


korpus luteum, LH merangsang struktur ovarium ini untuk terus mengeuarkan
hormon steroid. Di bawah pengaruh LH, korpus luteum mengeluarkan progesteron
dan estrogen, dengan jumlah progesteron jauh lebih besar. Kadar progesteron plasma
meningkat untuk pertama kalinya selama fase luteal. Selama fase folikel tidak terjadi
sekresi progesteron (kecuali sedikit dari folikel yang akan pecah di bawah pengaruh
lonjakan LH). Oleh karena itu, fase folikel didominasi oleh estrogen sedangkan fase
luteal oleh progesteron.
Penurunan sesaat kadar estrogen dalam darah terjadi pada pertengahahn siklus
sewaktu folikel penghasil estrogen mati. Kadar estrogen kembali baik selama fase
luteal karena aktivitas korpus luteum, walaupun tidak mencapai puncak yang sama
seperti fase folikel. Progesteron mencegah kadar estrogen yang cukup tinggi selama
fase luteal memicu kembali lonjakan LH. Walaupun estrogen kadar tinggi
merangsang sekresi LH, progesteron, yang mendominasi fase luteal, dengan kuat
menghambat sekresi LH dan sekresi FSH. Inhibisi FSH dan LH oleh progesteron
mencegah pematangan folikel dan ovulasi baru selama fase luteal. Di bawah
pengaruh progesteron, sistem reproduksi dipersiapkan untuk menunjang ovum yang

13
baru dilepaskan, jika ovum tersebut dibuahi, dan tidak mempersiapkan pengeluaran
ovum baru. Sel-sel luteal tidak mengeluarkan inhibin.

Gambar 4. Kontrol umpan balik selama fase luteal


Korpus luteum berfungsi selama dua minggu kemudian berdegenerasi jika
tidak terjadi pembuahan. Mekanisme yang bertanggung jawab menyebabkan
degenerasi korpus luteum belum sepenuhnya dipahami. Penurunan kadar LH dalam
darah, yang disebabkan oleh efek inhibisi progesteron jelas berpengaruh dalam
kemunduran korpus luteum. Prostaglandin dan estrogen yang dikeluarkan oleh sel-
sel luteal itu sendiri mungkin juga berperan. Kematian korpus luteum mengkahiri
fase luteal dan menandai dimulainya fase folikel yang baru. Sewaktu korpus luteum
berdegenerasi, kadar progesteron dan estrogen plasma turun dengan cepat karena
kedua hormon ini tidak lagi diproduksi. Lenyapnya efek inhibitorik dari kedua
hormon ini pada hipotalamus menyebabkan sekresi FSH dan LH-tonik kembali
meningkat. Di bawah pengaruh hormon-hormon gonadotropik ini, sekelompok
folikel baru kembali mengalami proses pematangan seiring dengan dimulainya fase
folikel baru.
Fluktuasi kadar estrogen dan progesteron dalam sirkulasi (plasma) yang terjadi
selama siklus ovarium menyebabkan perubahan-perubahan yang mencolok di uterus.
Hal ini menyebabkan timbulnya daur haid atau siklus uterus (siklus menstruasi).
Karena mencerminkan perubahan-perubahan hormon yang terjadi selama siklus

14
ovarium, daur haid berlangsung rata-rata dua puluh delapan hari seperti siklus
ovarium, walaupun dapat terjadi variasi yang cukup besar bahkan pada orang
dewasa normal. Variabilitas tersebut terutama mencerminkan perbedaan lamanya
fase folikel; lama (durasi) fase luteal hampir konstan. Manifestasi nyata perubahan
siklis yang terjadi di uterus adalah perdarahan haid yang berlangsung sekali setiap
daur haid (yaitu sekali sebulan). Namun selama siklus tersebut terjadi perubahan-
perubahan yang kurang nyata, ketika uterus dipersiapkan untuk menerima implantasi
ovum yang dibuahi dan kemudian lapisannya dilepaskan jika tidak terjadi
pembuahan (haid), hanya untuk memperbaiki dirinya kembali dan mulai
mempersiapkan diri untuk ovum yang akan dikeluarkan pada siklus berikutnya.

Gambar 5. Kontrol umpan balik FSH dan sekresi LH tonik selama fase folikel

Uterus terdiri dari dua lapisan, yaitu miometrium, lapisan otot polos di sebelah
luar, dan endometrium, lapisan bagian dalam yang mengandung banyak pembuluh
darah dan kelenjar. Estrogen merangsang pertumbuhan miometrium, dan
endometrium. Hormon ini juga meningkatkan sintesis reseptor progesteron di
endometrium. Demgan demikian, progesteron mampu mempengaruhi endometrium

15
hanya setelah endometrium dipersiapkanoleh estrogen. Progesteron bekerja pada
endometrium yang telah dipersiapkan oleh estrogen untuk mengubahnya menjadi
lapisan yang ramah dan mengandung banyak nutrisi bagi ovum yang sudah dibuahi.
Di bawah pengaruh progesteron, jaringan ikat endometrium menjadi longgar dan
edematosa akibat penimbunan eletrolit dan air yang mempermudah implantasi ovum
yang dibuahi. Progesteron juga mempersiapkan endometrium untuk menampung
mudigah yang baru berkembang dengan merangsang kelenjar-kelenjar endometrium
agar mengeluarkan dan menyimpan glikogen dalam jumlah besar dan dengan
menyebabkan pertumbuhan besar-besaran pembuluh darah endometrium.
Progesteron juga menurunkan kontraktilitas uterus agar lingkungan di uterus tenang
dan kondusif untuk implantasi dan pertumbuhan mudigah.
Daur haid terdari tiga fase: fase menstruasi (haid), fse proliferasi, dan fase
sekresi atau progestasional. Fase menstruasi adalah fase yang paling jelas karena
ditandai oleh pengeluaran darah dan debris endometrium dari vagina. Berdasarkan
perjanjian, hari pertama haid dianggap sebagai awal siklus baru. Fase ini bersamaan
dengan berakhirnya fase luteal ovarium dan permulaan fase folikel. Sewaktu korpus
luteum berdegenerasi karena tidak terjadi pembuahan dan implantasi ovum yang
dikeluarkan dari siklus sebelumnya, kadar estrogen dan progesteron di sirkulasi
turun drastis. Karena efek netto estrogen dan progesteron adalah mempersiapkan
endometrium untuk implantasi ovum yang dibuahi, penarikan-kembali kedua
hormon steroid tersebut menyebabkan lapisan endometrium yang kaya akan nutrisi
dan pembuluh darah itu tidak lagi ada yang mendukung secara hormonal. Penurunan
kadar hormon-hormon ovarium itu juga merangsang pengeluaran prostaglandin
uterus yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh-pembuluh endometrium,
sehingga aliran darah ke endometrium terganggu. Penurunan penyaluran O2 yang
terjadi menyebabkan kematian endometrium, termasuk pembuluh-pembuluh
darahnya. Perdarahan yang timbul melalui disintegrasi pembuluh darah itu membilas
jaringan endometrium yang mati ke dalam lumen uterus. Pada setiap kali haid,
seluruh lapisan endometrium terlepas, kecuali suatu lapisan dalam dan tipis yang
terdiri dari sel-sel epitel dan kelenjar yang akan menjadi bakal regenerasi
endometrium. Prostaglandin uterus juga merangsang kontraksi ritmik ringan
miometrium. Kontraksi-kontraski itu membantu mengeluarkan darah dan debris
endometrium dari rongga uterus melalui vagina sebagai darah haid. Kontraksi uterus
yaag kuat akibat pembentukan prostaglandin berlebihan merupakan penyebab kejang
haid (dismenore) yang dialami oleh sebagian wanita.
Jumlah rata-rata darah yang keluar setiap kali haid adalah 50-150 ml. Darah
yang mengalir lambat melalui endometrium akan membeku di dalam rogga uterus.
Fibrinolisin, suatu pelarut fibrin yang menguraikan fibrin yang membentuk jalinan
bekuan, akan bekerja pada bekuan ini. Dengan demikian, darah haid biasanya tidak
lagi membeku karena darah tersebut sudah membeku dan sudah dicairkan sebelum
keluar dari vagina. Namun, apabila darah terlalu cepat mengalir keluar, fibrinolisis
mungkin belum memiliki cukup waktu untuk bekerja, sehingga darah haid dapat
membeku terutama jika jumlahnya sangat banyak. Selain darah dan debris
endometrium, darah haid mengandung banyak leukosit. Sel-sel darah putih ini
berperan penting dalam pertahan endometrium terhadap infeksi.

16
Haid biasanya berlangsung selama lima sampai tujuh hari setelah degenerasi
korpus luteum, bersamaan dengan bagian awal fase folikel ovarium. Penurunan
esterogen dan progeseteron akibat degenerasi korpus luteum secara simultan
menyebabkan terlepasnya endomerium (haid) dan perkembangan folikel-folikel baru
di ovarium di bawah pengaruh hormon-hormon gonadotropik yang kadarnya
meningkat. Penurunan sekresi hormon gonad menghilangkan efek inhibisi pada
hipotalamus dan hiposis anterior, sehingga sekresi FSH dan LH meningkat dan fase
folikel baru kembali dimulai. Setelah lima sampai tujuh hari di bawah pengaruh FSH
dan LH, folikel-folikel yang baru berkembang mengeluaran cukup banyak estrogen
untuk mendorong pemulihan dan pertumbuhan endometrium.
Dengan demikian, haid berhenti dan fase proliferatif siklus uterus dimulai
bersamaan dengan bagian terakhir fase folikel ovarium pada saat endometrium mulai
memperbaiki dirinya dan mengalami proliferasi di bawah pengaruh estrogen yang
berasal dari folikel-folikel baru yang sedang tumbuh. Sewaktu darah haid berhenti,
di uterus tertinggal satu lapisan tipis endometrium setebal kurang dari 1 mm.
Estrogen merangsang proliferasi sel epitel, kelenjar, dan pembuluh darah di
endometrium sehingga ketebalan lapisan ini dapat mencapai 3 -5 mm. Fase
proliferatif yang didominasi oleh estrogen berlansung dari akhir haid sampai ovulasi.
Kadar estrogen puncak memicu lonjakan LH yang menyebabkan ovulasi.
Setelah ovulasi, pada saat sebuah korpus luteum terbentuk, uterus memasuki
fase sekretorik atau progestasional, yang bersamaan waktunya dengan fase luteal
ovarium. Korpus luteum mengeluarkan sejumlah besar progesteron dan estrogen.
Progesteron bekerja pada endometrium tebal yang sudah dipersiapkan oleh estrogen
untuk mengubahnya menjadi jaringan yang kaya pembuluh dan glikogen. Periode ini
disebut fase sekretorik, karena kelenjar-kelenjar endometrium secara aktif
mengeluarkan glikogen, atau fase pregestasional (sebelum kehamilan), dalam
kaitannya dengan pembentukan lapisan endometrium subur yang mampu menunjang
perkembangan mudigah. Jika tidak terjadi pembuahan dan implantasi, korpus luteum
berdegenerasi dan fase folikel dan fase haid kembali dimulai.

17
Gmbar 6. Hubungan antara perubahan hormon, siklus ovarium, dan perubahan
uterus

18
Selama siklus ovarium juga terjadi perubahan di serviks akibat pengaruh
hormon. Di bawah pengaruh estrogen selama fase folikel, mukus yang disekresikan
oleh serviks berjumlah banyak, jernih, dan encer. Perubahan ini yang paling jelas
ketika kadar estrogen berada di puncaknya dan ovulasi akan terjadi, mempermudah
sperma melewati kanalis servikalis. Setelah ovulasi, di bawah pengaruh progesteron
dari kopus luteum mukus mejadi lebih kental dan lengket, sehingga pada dasarnya
membentuk sumbat yang menutupi lubang serviks. Sumbat ini merupakan
mekanisme pertahanan penting unutuk mencegah masuknyaa bakteri dari vagina ke
uterus yang dapat mengancam kehamilan sekiranya terjadi konsepsi. Sperma juga
tidak dapat menumbus sawar mukus yang tebal ini (3,4).

2.2 Endometriosis
2.2.1. Definisi
Endometriosis merupakan adanya pertumbuhan jaringan yang mirip
endometrium di luar dari uterus. 1-2% wanita didiagnosis menderita endometriosis
pada usia 30-45 tahun, meskipun lesi endometriosis dapat ditemukan pada 1-20%
wanita asimtomatik dan lebih cenderung menyerang wanita nulipara(5).

2.2.2. Etiopatogenesis
Sampai saat ini banyak teori-teori mengenai etiologi endometriosis. Namun
tidak ada satu teori yang ada yang dapat menerangkan secara pasti mengapa jaringan
endometrium dapat berada diluar kavum uteri. Adapun beberapa teori yang ada
antara lain:
a. Teori regurgitasi dan implantasi haid, Sampson, pada tahun 1927 mengatakan
bahwa darah haid dapat keluar dari kavum uteri melalui tuba fallopii ke rongga
peritoneum dan berimplantasi pada ruang peritoneum. Pada wanita dengan
polimenorea dan pada wanita yang darah haidnya tidak dapat keluar melalui
vagina, angka kejadian endometriosis relatif tinggi. Meskipun teori ini
merupakan teori yang paling banyak dianut para dokter namun tetap tidak dapat
menerangkan kejadian endometriosis di luar pelvis.
b. Teori metaplasia coelomic, dikemukakan oleh Iwanoff dan Meyer menerangkan
bahwa lesi endometriosis terbentuk akibat metaplasi sel-sel coelomic yang
berasal dari saluran Muller. Teori ini berdasarkan penelitian embryologi. Saluran
Muller, epitel permukaan ovarium dan peritoneum berasal dari epitel coelomic,
yang dengan stimulus tertentu, sel peritoneum akan memiliki penampakan
anatomis seperti sel endometrium.
c. Teori induksi dimana teori ini menerangkan mengenai adanya faktor biokimia
endogen (inducer) yang dapat mengaktifasi sel peritonium undiferensiasi untuk
berkembang menjadi sel endometrium. Darah haid memproduksi substansi
spesifik yang dapat menginduksi jaringan endometrium menjadi jaringan
endometriosis.

19
d. Teori invasi menerangkan bawha endometriosis berasal dari invasi langsung oleh
endometrium ektopik melewati otot uterus. Dimana nanti akan terjadi
pemecahan dari matriks ekstraselular yang mengandung kolagen, proeglikan dan
glikoprotein termasuk fibronektin dan laminin. Dimana pemecahan dari
ekstraselular matriks ini akan diatur oleh matriks metaloproteinase (MMP).
e. Teori metastasis limpatik dan vaskular, dikemukakan oleh Halban dan Sampson,
menerangkan bahwa penyebaran sel endometrium melalui emboli sel
endometrium kedalam saluran limfe dan pembuluh darah. Emboli dapat terjadi
karena terbukanya pembuluh limfe atau pembuluh darah. Mungkin pula terjadi
melalui pembuluh darah uterus saat kuretase. Teori ini didukung oleh penemuan
jaringan endometrium pada 6,5% dari 153 pasien yang mengalam
limfadenektomi pelvis, dan 29% dari persentase tersebut menunjukkan adanya
jaringan endometrium di kelenjar limfe.
f. Teori gabungan, dikemukakan oleh Javert mengemukakan bahwa endometriosis
timbul dengan beberapa mekanisme :
Penyebaran langsung ke miometrium dan organ lain yang berdekatan
( kandung kemih, usus )
Keluarnya sel endometrium melalui tuba fallopii
Implantasi sel-sel endometrium di peritoneum dan organ yang berdekatan
Metastasis limpatik
Metastase hematogen
g. Pengaruh lingkungan terhadap endometriosis.Teori ini masih baru, dan sebagian
besar baru terbukti pada binatang terutama pada primata dan tikus. Dikatakan
bahwa dioxin dan zat seperti dioxin dapat mempengaruhi patofisologi dari
endometriosis dalam berbagai level :
Merubah ekspresi dari sitokin dan growth factors
Mempengaruhi ekspresi enzim remodeling : matriks metaloproteinase (MMP)
dan tissue inhibitors of matrix metalloproteinase (TIMPs)
Mempengaruhi ekspresi dan aktivitas isoenzim xenobiotik yaitu sitokrom P-
450

20
Gambar 7. Asal terjadinya endometriosis

2.2.3. Tanda dan Gejala


1. Nyeri
Endometriosis merupakan salah satu penyebab yang biasa mengakibatkan
nyeri panggul, dimana tingkat nyeri sangat bervariasi antar perempuan yang terkena
endometriosis dan juga dapat berlangsung lama ataupun mempunyai siklus tertentu.
Penyebab pasti dari nyeri panggul ini belum diketahui, namun sitokin proinflamasi
dan prostaglandin yang dilepas oleh implantasi endometriosis ke dalam cairan
peritoneum. Selain itu, beberapa penemuan menjelaskan bahwa nyeri panggul pada
endometriosis berkolerasi dengan dalamnya invasi jaringan endometriosis dan lokasi
dimana jaringan endometriosis berimplantasi. Bukti lain juga mengatakan bahwa
nyeri endometriosis disebabkan oleh invasi neuronal yang berasal dari implantasi
jaringan endometriosis yang berkembang menjadi saraf sensorik dan simpatik yang
mengalami sensitisasi sentral. Hal ini dapat mengakibatkan hipereksitabilitas nyeri
pada implantasi jaringan endometriosis walaupun pembedahan telah dilakukan.
Hiperinervasi pada invasi jaringan endometriosis yang terlalu dalam terhadap usus
yang terkena mungkin menjelaskan mengapa terjadi nyeri yang sangat hebat.
Dysmenorrhea
Nyeri pada setiap kali siklus menstruasi juga merupakan
gejala yang sering ditemukan pada wanita dengan endometriosis.
Gejala yang khas pada endometriosis adalah dysmenorrhea yang
didahului oleh keluarnya darah menstruasi 24-48 jam dan tidak
berespons dengan pemberian NSAIDS ataupun obat kontrasepsi oral
kombinasi. Lebaih jauh lagi, endometriosis yang meluas hingga 5
mm di bawah peritoneum dapat menyebabkna dysmenorrhea.

21
Dyspareunia
Dyspareunia sering dihubungkan dengan penyakit septum
rectovaginal ataupun penyakit ligamentum uterosacralis dan lebih
jarang bila ada keterkaitan dengan ovarium. Selama coitus,
regangan dan penyakit ligamnetum uterosacralis ini pun dapat
memicu nyeri. Meskipun terdapat beberapa wanita dengan
endometriosis sudah dyspareunia sejak coitus pertama, namun
kecurigaan terhadap endometriosis menjadi tinggi bila terjadi
dyspareunia setelah tidak ada nyeri saat coitus dalam waktu yang
lama.
Disuria
Walaupun jarang ditemukan, kadang-kadang terdapat gejala
disuria, frekuensi urinasi yang berpola, dan urgensi. Endometriosis
dapat dipikirkan menjadi sebuah diagnosis banding jika kultur urin
menunjukkan hasil yang negatif. Jika terjadi hematuria, maka
pemeriksaan sistoskopi dapat dilakukan.
Nyeri Defekasi
Nyeri saat defekasi dapat ditemukan walaupun jarang. Nyeri
ini dihubungkan dengan implantasi jaringan endometriosis di daerah
rectosigmoid. Gejala nyeri ini dapat berlangsung kronik atau
bersiklus, dan juga dapat menyebabkan konstipasi, diare, ataupun
hematoskezia.
Nyeri Non-siklik
Nyeri kronik merupakan gejala yang paling sering ditemukan
pada wanita dengan endometriosis. Sekitar 40-60% wanita dengan
nyeri panggul kronis ditemukan endometriosis bila dilakukan
laparoskopi. Jika implantasi jaringan endometriosis terjadi di septum
rectovaginal ataupun ligamentum uterosacralis, rasa nyeri dapat
menyebar ke rectum ataupun punggung belakang. Lebih lagi, bila
terjadi keterlibatan nervus sciaticus ataupun peritoneum bagian
posterior, maka dapat menyebabkan nyeri kaki bawah kronis.

2. Infertilitas
Perlengkatan yang disebabkan oleh endometriosis mungkin
dapat mengakibatkan ambilan dan transport oosit oleh tuba fallopi
menjadi terganggu. Pada endometriosis moderat hingga berat
(stadium III dan IV), telah terjadi kerusakan pada struktur ovarium
maupun tuba fallopi. Beberapa penelitian menemukan bahwa
folikulogenesis terganggu pada wanita dengan endometriosis.
Dibuktikan dengan perkembangan embrio pada beberapa wanita
dengan endometriosis menjalani IVF dibandingkan dengan embrio

22
yang berasal dari wanita dengan infertilitas diakibatkan kerusakan
tuba fallopii. Hasilnya yaitu embrio yang berasal dari wanita dengan
endometriosis memiliki sedikit blastomer dan perkembangan embrio
terhenti. Ini mungkin disebabkan oleh menurunnya perkembangan
oosit pada wanita dengan endometriosis. Penelitan lain
menyebutkan bahwa jumlah oosit pada wanita dengan
ensometriosis menurun. Lalu lingkungan oosit pada wanita dengan
endometriosis berbeda dengan lingkungan oosit pada wanita
normal(1).
Gejala-gejala yang sering ditemukan pada endometriosis
adalah 1) nyeri perut bawah yang progresisg dan dekat paha yang
terjadi pada dan selama haid (dismenorea); 2) dyspareunia; 3) nyeri
waktu defekasi, khususnya pada waktu haid; 4) poli- dan
hipermenorea; 5) infertilitas.
Dismenorea pada endometriosis biasanya merupakan rasa
nyeri waktu haid yang semakin lama semakin hebat. Sebab dari
dismenorea ini tidak diketahui, tetapi mungkin ada hubungannya
dengan vaskularisasi dan perdarahan dalam sarang ensometriosis
pada waktu sebelum dan semamsa haid. Nyeri tidak selalu
didapatkan pada endometriosis walaupun kelainan sudah luas,
sebaliknya kelainan ringan dapat menimbulkan gejala nyeri yang
ketas, Dipareunia merupakan gejala yang paling sering dijumpai,
disebabkan oleh karena adanya ensometrioasis di kavum Douglasi.
Defekasi yang sukar dan sakit terutama pada waktu haid
disebabkan oleh karena adanya ensometriosis pad dinding
rektosigmoid. Kadang-kadang bisa terjadi stenosis dari lumen usus
besar tersebut. Endometriosis kandung kencing jarang diadpat,
gejala-gejalanya adalah gangguan miksi dan hemaruria pada waktu
haid. Gangguan haid dan sikulusnya dapat terjadi pada
ensometriosis apabila kelainan pada ovaroum demilian l;uasnya
sehingga fungsi pvarium terganggu. Ada krelasi yang nyata antra
ensometriosis dan infertilitas. 30-40% wanita dengan endometriosis
menderita infertilitas. Faktor penting yang menyebabkan infertilitas
pad endometriosis adalah apabila mobilitas tuba terganggu karena
fibrosis dan perlekatan jaringan di sekitarnya. Pada pemeriksaan
ginekologik, khususnya pada pemeriksaan vagino-rekto-abdomnia,
ditemukan pada ensometriosis ringan benda-benda padat sebesar
butir beras sampai butir jagung di kavum Douglasi dan pada
ligamentum sakrouterinum dengan iterus dalam terofleksi dan
terfiksasi. Ovarium mula-mula dapat diraba sebagai tumor kecil,
akan tetapi bisa membesar sampai sebesar tinju(6).

2.2.4. Diagnosis

23
Diagnosis biasanya dibuat atas dasar anamnesis dan
pemeriksaan fisik, dipastikan dengan pemeriksaan laparoskopi.
Kuldoskopi kurang bermanfaat terutama juka kavum Douglasi ikut
serta dalam endometriosis. Pada endometrium yang ditemukan
pada lokasi seperti forniks vaginae posterior, perineum, parut
laparotomi, dan sebagainya, biopsi dapat memberi kepastian
mengenai diagnosis. Pemeriksaan laboratorium pada endometriosis
tidak memberi tanda yang khas, hanya apabila ada darah dalam
tinja atau air kencing. Sigmoidoskopi dan sistoskopi dapat
memperlihatkan tempat perdarahan pada watu haid. Pembuatan
foto Rontgen daengan memasukkan barium dalam kolon dapat
memberi gambaran dengan filling defect pada rektosigmoid dengan
batas-batas yang jelas dan mukosa yang utuh. Laparoskopi
merupakan pemeriskaan yang sangat berguna untuk membedakan
endometriosis dari kelainan-kelainan di pelvis. Untuk menentukan
berat ringan endometriosis digunakan klasifikasi dari American
Fertility Society. (William)
Berdasarkan anamnesis didapatkan keluhan nyeri pelvik siklik
atau dismenorea, khas untuk endometriosis 70 80 % bahkan
mencapai 97%. Nyeri haid ini muncul beberapa hari menjelang haid,
dan mencapai puncaknya saat haid dan menghilang setelah
berhenti haid. Pasien tidak dapat melakukan kegiatannya sehari-hari
dan memerlukan pengobatan untuk menghilangkan rasa nyeri.
Namun juga terdapat endometriosis yang tidak disertai nyeri,
dimana diagnosis pasti pada pasien seperti ini baru dapat
ditegakkan setelah adanya intervensi operatif. Jika pada anamnesis
didapatkan adanya keluhan nyeri perut yang berhubungan dengan
haid atau keluhan infertilitas, perlu dicurigai kemungkinan adanya
endometriosis. Pada 50 % pasutri yang mengalami infertilitas
ditemukan endometriosis. Pada 15 % wanita dengan infertilitas
sekunder ditemukan adanya endometriosis.
Pada pemeriksaan fisik terutama pemeriksaan ginekologi,
adanya endometriosis dapat dikenali dengan perabaan parametrium
yang kaku atau teraba nodul-nodul sepanjang ligamentum
sakrouterina. Uterus mungkin terfiksasi dengan mobilitas yang
sangat terbatas akibat perlekatan. Ovarium mungkin membesar
kistik dan menimbulkan nyeri pada saat pemeriksaan. Dan dapat
dilihat dinding vagina dan porsio dapat ditemukan lesi yang mudah
berdarah. Pada pemeriksaan colok dubur kadang teraba adanya
nodul-nodul di daerah kavum Douglasi.
Dengan USG dan CT-scan terlihat adanya masa kistik di satu
atau kedua ovarium yang mengarah ke kista coklat, atau terlihat
adanya bercak-bercak endometriosis dalam miometrium. Magnetic
Resonance Imaging (MRI) juga merupakan salah satu teknik yang

24
dapat digunakan untuk mendiagnosis endometriosis dengan
ketepatan yang cukup baik.
Pada kecurigaan adanya endometriosis pelvik, laparoskopi
merupakan pemeriksaan yang utama dan pasti, merupakan baku
emas dalam menegakkan diagnosis endometriosis pelvik. Pada saat
laparoskopi perlu dilihat benar-benar warna dari lesi/nodul-nodul
endometriosis dan bila memungkinkan sebaiknya dilakukan biopsi
pada lesi tersebut. Lesi endometriosis yang klasik tampak berwarna
hitam kebiruan (the blue black / Powder burn Lession). Namun saat
ini seringkali dijumpai warna-warna lain yang kurang mencolok
seperti merah (red, red-pink dan merah bening), putih (white,
yellow burn). Sehingga lesi endometrium hitam kebiruan hanya
ditemukan bila lesi telah berada pada stadium akhir dari
endometriosis, sesuai dengan the American Society for
Reproductive Medicine revised edition (ASRM revised).
Penilaian warna berguna untuk membedakan lesi yang aktif
dan tidak aktif, sedangkan biopsi diperlukan untuk pemeriksaan
histopatologi untuk melihat apakah lesi tersebut banyak
mengandung komponen kelenjar atau stroma.Warna merah, coklat
yang berbentuk polip, vesikel atau berbentuk hemoragik umumnya
merupakan lesi aktif sedangkan warna putih, kuning, abu-abu
merupakan lesi non aktif. Gambaran patologi yang patognomonid ini
sayangnya hanya ditemukan pada kira-kira 70% kasus dengan
gejala klinis yang khas.
Ca-125 ditemukan tinggi kadarnya pada penderita
endometriosis, dan mulai banyak digunakan sebagai marker untuk
endometrisis. Meskipun sensitifitasnya untuk penapisan
endometrisis preoperatif rendah, namun Ca-125 ini dapat digunakan
untuk pengawasan progresifitas maupun kekambuhan selama
pengobatan. Namun tetap perlu diingat bahwa ditemukannya kadar
Ca-125 yang normal tidak memastikan tidak adanya endometriosis
tetapi juga tidak menjamin adanya endometriosis. Beberapa penulis
menyimpulkan bahwa marker ini mempunyai hubungan dengan lesi
yang akif dan juga meningkatkan rangsangan peritoneum.
Ditemukannya kadar yang tinggi biasanya telah menunjukkan
penyakit yang lanjut. Diketahui juga bahwa IL-6, IL -8 serta protein
plasenta 14 (PP 14) dapat digunakan sebagai marker endomteriosis
namun hal ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Dewasa ini klasifikasi endometriosis yang paling banyak
dipakai saat ini adalah revisi terbaru yang dibuat oleh (ASRM).
Berdasarkan visualisasi rongga pelvik dan volume 3 dimensi dari
endometriosis, dilakukan penilaian terhadap ukuran, lokasi dan
kedalaman invasi, keterlibatan ovarium serta kuldesak dan densitas
dari perlekatan. Dengan sistem ini didapatkan nilai-nilai dari skoring

25
yang kemudian jumlahnya berkaitan dengan derajat klasifikasi
endometriosis. Nilai 1-4 adalah minimal, 5-15 adalah ringan, 16-40
adalah sedang dan diatas 40 adalah berat.
Perlu juga diingat bahwa sistem klasifikasi ini dibuat untuk
memprediksi keluaran fertilitas dan tidak berhubungan langsung
dengan gejala dan derajat keparahan nyeri pelvik(7).

26
Gambar 8. Klasifikasi endometriosis ASRM

27
Gambar Klasifikasi endometriosis Americah Fertility Society

2.2.5. Diagnosis banding


Adenomiosis uteri, radang pelvis dengan tumor adneksa dapat
menimbulkan kesukaran dalam diagnosis. Pada kelainan di luar
endometriosis harang terdapat perubahan-perubahan berupa
benjolan kecil di kavum. Douglasi dan ligamentum sakrouterinum,
Kombinasi adenomiosis uteri atau mioma uteri dengan
endometriosis dapat pula ditemukan. Endometriosis ovarii dapat
menimbulkan kesukaran diagnosis banding dengan kista ovarium,
sedanng endometriosis dari rektosigmoid perlu dibedakan dengan
karsinoma (1).

2.2.6. Penatalaksanaan
Terapi endometriosis memiliki dua tujuan, yaitu
mengendalikan rasa sakit dan penekanan produksi estrogen. Terapi
jangka panjang terhadap pasien dengan nyeri pelvis kronis yang
berhubungan dengan endometriosis melibatkan rangkaian berulang
terapi medis, terapi bedah, atau keduanya. Dalam kebanyakan
kasus, rasa sakit muncul kembali dalam waktu 6 sampai 12 bulan
setelah selesainya terapi.
1. Terapi Medis
Terapi medis empiris umumnya dimulai untuk mengontrol rasa
sakit tanpa konfirmasi bedah. Terapi tersebut dimaksudkan untuk
mengurangi rasa sakit melalui berbagai mekanisme, termasuk
meminimalkan peradangan, mengganggu atau menekan siklus

28
produksi hormon ovarium, menghambat aksi dan sintesis estradiol,
dan mengurangi atau mengeliminasi mens. Terapi medis terdiri dari
pemberian analgesik dan preparat hormon.
Analgesik merupakan terapi nonspesifik, tetapi merupakan
bagian terapi medis yang penting dan satu-satunya modalitas terapi
yang tepat untuk wanita yang menginginkan kehamilan. Anti
inflamasi non-steroid (AINS) biasanya efektif, karena implan
endometriosis mengeluarkan prostaglandin dan sitokin, yang mana
produksinya diturunkan oleh AINS. Asetaminofen saja memang
kurang efektif tapi cukup baik bila dikombinasi dengan AINS lainnya,
atau sebagai monoterapi pada pasien yang memiliki kontraindikasi
terhadap AINS. AINS biasanya digunakan untuk mengurangi
dismenore, meskipun suatu studi acak terkontrol tidak menunjukkan
penurunan nyeri yang signifikan akibat endometriosis dengan
menggunakan AINS dibandingkan dengan plasebo dan tidak ada
keunggulan salah satu AINS di atas lainnya. Haruslah dicatat bahwa
AINS sebaiknya dihindari pada masa sekitar ovulasi pada wanita
yang menginginkan kehamilan, karena penggunan AINS kronik
berhubungan dengan sindrom luteinized unruptured follicle wall;
blokade terhadap prostaglandin menghambat pecahnya dinding
folikel yang menyebabkan keluarnya ovum, sehingga fertilisasi
dicegah. Pada nyeri hebat, terutama pada dismenore yang berat
diperlukan suatu narkotik. Preparat hormon yang digunakan dalam
penanganan endometriosis antara progestin, kontrasepsi oral, GnRH
analog dan Danazol.
a. Kontrasepsi oral
Kontrasepsi oral kombinasi dapat digunakan secara siklis atau
kontinu untuk nyeri terkait endometriosis dan biasanya
dikombinasikan dengan AINS, meskipun berhubungan dengan
tingkat kegagalan 20 - 25%. Pendekatan ini merupakan terapi lini
pertama pada pasien tanpa kontraindikasi terhadap penggunaan
kontrasepsi oral kombinasi. hingga saat ini, kontrasepsi oral
merupakan terapi yang paling sering diresepkan untuk penyakit ini.
Terapi yang kontinu disebut membuat keadaan kehamilan semu
oleh karena kombinasi terapi estrogen-progestin menginduksi
amenore dan desidualisasi endometrial (mirip terapi dengan
menggunakan progestin semata) dan menyerupai lingkungan tinggi-
estrogen, tinggi progesteron pada kehamilan yang dipercaya secara
luas dapat memperbaiki maupun mensupresi endometriosis.
Kontrasepsi oral juga dapat meningkatkan apoptosis dari jaringan
endometrial eutopik pada wanita dengan endometriosis.
b. GnRH analog
GnRH analog ialah bentuk yang dimodifikasi dari GnRH yang
berikatan dengan reseptor GnRH pada gonadotrop hipofisis untuk

29
interval waktu yang lebih lama, berkebalikan dengan GnRH aslinya
yang memiliki paruh hidup yang sangat singkat. Pengobatan dengan
GnRH analog menciptakan keadaan menopause semu atau
oovorektomi medis, dimana wanita dalam terapi dengan GnRH
agonis tidak menghasilkan estrogen oleh karena ovariumnya
menerima stimulasi gonadotropin yang efektif; kadar baik FSH dan
LH adalah cenderung sangat rendah. Mekanisme-mekanisme aksi
dari agonis GnRH dalam terapi endometriosis ialah termasuk induksi
status hipogonadal yang menghilangkan penyakit yang ada akibat
estrogen dan pada amenorea, di mana menghilangkan semua
kemungkinan terjadinya pembenihan peritoneal baru.
Karena terapi agonis GnRH memiliki efek samping yang cukup
besar, termasuk hipoestrogenik yang dapat menyebabkan hilangnya
tulang hingga 13% selama 6 bulan (yang sebagian reversibel pada
penghentian terapi), maka terapi addback estrogen-progestagen
yang direkomendasikan. Estrogen threshold hypothesis
menunjukkan bahwa mempertahankan tingkat estradiol antara 30
dan 45 pg per mililiter (109 dan 164 pmol per liter) akan
mempertahankan kepadatan mineral tulang tanpa menstimuli
penyakit. Meskipun, skor untuk nyeri panggul, pelunakan, dan
dismenore diperbaiki dengan penggunaan regimen kombinasi
norethindrone asetat dengan dosis 5 mg sehari dengan agonis
GnRH yang merupakan suatu estrogen kuda terkonjugasi pada dosis
0,625 mg, atau keduanya, tetapi tidak ketika 5 mg asetat
norethindrone dikombinasikan dengan dosis yang lebih tinggi (1,25
mg) estrogen kuda terkonjugasi. Dalam waktu 1 tahun, kepadatan
mineral tulang dipertahankan pada baseline pada semua kelompok
yang menerima addback therapy. Efek addback therapy hanya
progestin terhadap kepadatan tulang menunjukkan hasil yang tidak
konsisten pada orang dewasa dan remaja.
Sejak lesi endometriotik mengekspresikan aromatase dan
mensintesis estradiol mereka sendiri, penekanan produksi estradiol
ovarium mungkin tidak sepenuhnya mengontrol rasa sakit. Studi
terbatas yang melibatkan sejumlah kecil pasien menunjukkan
bahwa inhibitor aromatase (pada dosis lebih rendah daripada yang
digunakan untuk pengobatan kanker payudara) adalah efektif dalam
mengurangi nyeri panggul, dengan efek yang mirip dengan terapi
hormon lainnya. Aromatase inhibitor, bagaimanapun, belum
disetujui oleh FDA untuk nyeri terkait endometriosis.

c. Danazol
Danazol, adalah obat pertama yang pernah diakui untuk
terapi endometriosis di Amerika serikat, ia adalah derivat isozasol
berupa 17- etiniltestosteron yang diberikan secara oral yang bekerja

30
terutama dengan menginhibisi LH surge midsiklus urinaria dan
menginduksi status anuvalatoris kronik, namun obat ini juga
memperlihatkan sejumlah enzim-enzim steroidogenik dan
meningkatkan kadar testosteron bebas.
Danazol merupakan pengobatan awal untuk endometriosis,
namun efek samping androgeniknya membatasi penggunaannya
secara klinis. Dalam studi kecil, antiprogestagens seperti
mifepristone menunjukkan dapat mengurangi rasa sakit, namun
data studi acak yang lebih besar masih kurang.
d. Obat-Obat Progestasional
Obat-obat progestasional (progestin) telah lama digunakan
untuk mengobati simptomatik dari endometriosis. Sejumlah besar
variasi dari obat berbeda tersedia, termasuk yang berasal dari
medroksiprogesteron asetat mirip progesteron dan bermacam-
macam derivat lain dari 19-nortestosteron; noretindron ialah suatu
prototip. Dalam terapi endometriosis, progestin yang paling luas
digunakan ialah medroksiprogesteron asetat; baik oral (20-100 mg
tiap hari) dan terapi parenteral (150 mg intramuskuler tiap 3 bulan)
sudah digunakan.

e. Terapi hormon ajuvan


Sebuah meta-analisis dari 6 penelitian random bahwa dibandingkan
3 sampai 6 bulan pengobatan pasca operasi dengan agonis GnRH,
danazol, atau kontrasepsi oral kombinasi tanpa perawatan pasca-
operasi atau plasebo menunjukkan penurunan yang signifikan
dalam skor nyeri pada akhir terapi dalam kelompok terapi aktif,
meskipun manfaatnya tidak konsisten dengan follow up yang lebih
lama (untuk 18 bulan) setelah penghentian terapi. Interval rata-rata
antara operasi dan rekurenai gejala membutuhkan terapi alternatif
secara signifikan lebih lama bagi pasien yang menerima pengobatan
pasca operasi dengan agonis GnRH (> 24 bulan) dibandingkan
dengan pasien yang menerima plasebo (12 bulan).
Ketika membandingkan pilihan terapi pasca operasi yang
berbeda-beda, suatu studi lainnya menunjukkan bahwa penggunaan
alat kontrasepsi dalam rahim yang mengandung levonorgestrel-
releasing pasca operasi menghasilkan penurunan rekurensi
dismenore yang lebih besar daripada pengobatan dengan agonis
GnRH, meskipun pengobatan ini belum diadopsi secara luas.

31
Gambar 9. Algoritma penanganan endometriosis

2. Terapi Bedah
Pendekatan bedah untuk menghilangkan nyeri yang
berhubungan dengan endometriosis dapat digunakan sebagai terapi
lini pertama atau dimulai setelah terapi medis gagal. Prosedur
bedah termasuk eksisi, fulgurasi, atau ablasi laser dari implan
endometriosis pada peritoneum, eksisi atau drainase atau ablasi
endometrioma, reseksi nodul rektovaginal, lisis adhesi, dan
gangguan jalur saraf. Percobaan random terkontrol telah
menunjukkan bahwa pada 6 bulan, ablasi laparoskopi dari implan
endometriosis adalah 65% efektif dalam mengurangi nyeri,
dibandingkan dengan pengurangan nyeri oleh laparoskopi
diagnostik saja (22%). Suatu percobaan kecil yang membandingkan
ablasi laparoskopi dengan pengobatan agonis GnRH menunjukkan
pengurangan rasa sakit yang sama dengan dua pendekatan.
Rekurensi nyeri yang membutuhkan terapi adalah hal yang umum
(30 - 60% dari pasien) dalam waktu 6 sampai 12 bulan setelah
pengobatan. Analisis data gabungan dari dua percobaan acak yang
melibatkan 164 perempuan yang membandingkan antara eksisi

32
laparoskopi dengan drainase atau ablasi endometrioma dengan
diameter lebih besar dari 3 cm menunjukkan bahwa penurunan
rekurensi dismenore, dispareunia, dan nyeri pada eksisi sebanding
dengan tindakan bedah lebih lanjut. Sebuah strategi alternatif untuk
mengontrol nyeri yang berhubungan dengan endometriosis adalah
dengan interupsi pada jalur saraf. Sedangkan ablasi segmen
ligamen uterosakral belum terbukti efektif, percobaan random
terkontrol telah menunjukkan keunggulan laparoskopi ablasi
jaringan endometriotik dikombinasikan dengan neurektomi
presakral (pengangkatan bundel saraf di dalam segitiga interiliaca)
di atas ablasi laparoskopi saja dalam memperbaiki dismenore dan
mengurangi nyeri berat. Penggantian hormon pascaoperasi harus
mencakup estrogen dan progestagen, karena estrogen saja dapat
merangsang pertumbuhan penyakit mikroskopis.

Gambar Eksisi laparoskopi dari endometriosis ovarium

3. Terapi Ajuvan
Pada wanita dengan penyakit lanjut, dismenore sedang
sampai parah, dan nyeri panggul nonsiklik, terapi medis
pascaoperasi dapat memperbaiki nyeri dengan menyediakan kontrol
terhadap rekurensi sisa penyakit mikroskopis.
4. Managemen Infertilitas
Terapi gonadotropin dan inseminasi intrauterine, serta fertilisasi in
vitro (IVF), merupakan terapi efektif pada wanita dengan infertilitas
dan endometriosis. Ablasi lesi endometriosis dengan melisiskan
adesi dianjurkan untuk pengobatan infertilitas yang terkait dengan
endometriosis stadium 1 atau 2.1 (8).

33
BAB III

KESIMPULAN

Wanita memiliki siklus reproduksi siklik yang terjadi setiap


bulan. Terdapat mekanisme umpan-balik yang terjadi antara
hipofisis anterior, hipotalamus, ovarium, uterus. Sehingga siklus
haid dapat muncul setiap bulan.

34
Kelainan dalam pengeluaran darah haid atau sebagainya,
dapat menyebabkan penyakit, salah satunya yaitu endometriosis.
Endometriosis dikenali dengan tandan dan gejala nyeri kornik yang
siklis mengikuti siklus haid, infertilitas, dan obstruksi dalam hal
urinasi ataupun defekasi.
Berbagai macam acara telah dilakukan pendekatan agar
dapat menyembuhkan penyakit ini. Salah satunya yaitu melalui obat
anti nyeri, obat analog hormonal, dan cara yang terakhir yaitu
melalui pembedahan.

DAFTAR PUSTAKA

35
Williams gynec

(http://emedicine.medscape.com/article/271899-overview#a5)

Sherwood 1 (

Sherwood 2 ebook

Impey

Sarwono

(http://www.kalbemed.com/Portals/6/KOMELIB/GENITO-URINARY
%20SYSTEM/Obsgyn/Endrolin/peranan%20dioxin.pdf)
(http://download.portalgaruda.org/article.php?
article=326157&val=7676&title=KADAR%20INTERLEUKIN-6%20(IL-
6)%20%20PADA%20ENDOMETRIOSIS)

At a glance

Robbins

36

Anda mungkin juga menyukai