Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga
hidung atau nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi. Epistaksis
bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir 90
% dapat berhenti sendiri. Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2- 10 tahun dan
50-80 tahun, sering dijumpai pada musim dingin dan kering.1
Di Amerika Serikat angka kejadian epistaksis dijumpai 1 dari 7 penduduk.
Tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan wanita. Epistaksis bagian
anterior sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa muda, sementara epistaksis
posterior sering pada orang tua dengan riwayat penyakit hipertensi atau
arteriosklerosis.1
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Hidung
2.1.1. Hidung Luar
Hidung bagian luar menonjol pada garis tengah antara pipi dan bibir atas.
Struktur hidung luar terbagi atas 3 bagian, yaitu:
a. Atas : Kubah tulang yang tidak bisa digerakkan
b. Tengah : Kubah tulang kartilago yang bisa sedikit digerakkan
c. Bawah : Lobulus hidung yang mudah digerakkan
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung.2
Kerangka tulang terdiri atas :
a. Tulang hidung
b. Prosesus frontalis os maksila
c. Prosesus nasalis os frontal
Kerangka tulang rawan terdiri atas :
a. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
b. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior(kartilago ala mayor)
c. Tepi anterior kartilago septum.3
2.1.2. Hidung Dalam
Bagian hidung dalam terdiri atas bagian yang terdapat antara os internum
di sebelah anterior hingga ke koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung
dengan nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum. Tiap kavum nasi mempunyai
4 dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah adalah konka inferior, yang lebih kecil ialah konka medial, lebih
kecil lagi konka superior, dan yang paling kecil adalah konka suprema. Konka
suprema ini biasanya rudimenter.
Diantara konka inferior dan dasar hidung terdapat meatus inferior, diantara
konka media dan konka inferior terdapat meatus medial, dan disebelah atas konka
media terdapat meatus superior.3

Gambar 2.1. Anatomi Hidung Gambar 2.2. Anatomi Hidung

Gambar 2.3. Anatomi Hidung Gambar 2.4. Anatomi Hidung


2.1.3. Anatomi Pembuluh Darah Hidung
Hidung diperdarahi oleh arteri karotis interna dan arteri karotis eksterna.
Bagian atas rongga hidung diperdarahi oleh arteri etmoidalis anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dan arteri karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung diperdarahi oleh cabang arteri maksilaris interna,
diantaranya yaitu ujung arteri palatina mayor dan arteri sphenopalatina. Bagian
depan hidung diperdarahi oleh cabang dari arteri fasialis.3
Pleksus Kiesselbach merupakan anastomosis dari arteri etmoidalis
anterior, arteri palatina mayor, arteri sphenopalatina, dan arteri labialis superior
yang terletak di anterior rongga hidung. Pleksus Kiesselbach letaknya superficial
dan tidak terlindungi sehingga mudah cedera karena trauma. Lebih dari 90%
kasus epistaksis terjadi akibat perdarahan di pleksus Kiesselbach atau sering
disebut Littles area di septum nasal.3
Perdarahan posterior berasal dari pleksus Woodruff yang terletak di
rongga hidung bagian belakang atas atau konka media yang merupakan
anastomosis dari arteri sphenopalatina dan arteri etmoidalis posterior.

Gambar 2.5. Pembuluh Darah Hidung

Gambar 2.6. Pembuluh Darah Hidung


2.4. Penyebab Epistaksis
Epistaksis sering kali timbul spontan tanpa diketahui penyebabnya.
Epistaksis dapat disebabkan oleh:
Trauma Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan, misalnya
mengorek hidung, benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu
keras, atau sebagai akibat dari trauma yang lebih hebat seperti pukulan,
jatuh atau kecelakaan lalu lintas.
Kelainan pembuluh darah Sering merupakan masalah kongenital.
Pembuluh darah lebih tipis, lebar, jaringan ikat dan sel-selnya lebih
sedikit.
Infeksi lokal Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus
paranasal seperti rhinitis atau sinusitis. Bisa juga pada infeksi spesifik
seperti rhinitis jamur, tuberkulosis, lupus, sifilis atau lepra.
Tumor Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Pada
angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat.
Penyakit kardiovaskular Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti
yang terjadi pada arteriosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis atau
diabetes mellitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis yang terjadi
pada penyakit hipertensi seringkali hebat dan dapat berakibat fatal.
Kelainan darah Kelainan darah penyebab epistaksis antara lain leukemia,
trombositopenia, anemia dan hemophilia.
Kelainan kongenital Kelainan kongenital yang sering menyebabkan
epistaksis adalah teleangiektasis hemoragik herediter(Osler-Rendu-Weber
disease). Juga dapat di temukan pada Von Willerband disease.
Infeksi sistemik Yang sering menyebabkan epistaksis ialah demam
berdarah(dengue hemorrhagic fever). Demam tifoid, influenza dan morbili
juga dapat disertai dengan epistaksis.
Perubahan udara Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada di
tempat yang cuacanya sangat dingin atau kering. Hal serupa juga bisa
disebabkan adanya zat-zat kimia di tempat industri yang menyebabkan
keringnya mukosa hidung.
Gangguan hormonal Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau
menopause karena pengaruh perubahan hormonal.
Obat-obatan Obat topikal hidung seperti antihistamin dan kortikosteroid
dapat menyebabkan iritasi mukosa, terutama bila diaplikasikan langsung
pada septum nasal.2
2.2. Epistaksis
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung atau
nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari penyakit lain
yang kebanyakan ringan dan dapat berhenti sendiri. Walaupun jarang, epistaksis
yang berat merupakan masalah kegawatdaruratan yang dapat berakibat fatal bila
tidak segera ditangani.2
2.2.1. Tipe-tipe Epistaksis
Berdasarkan lokasinya, epistaksis dapat dibagi atas :
a. Epistaksis anterior Merupakan jenis epistaksis yang paling sering
dijumpai, terutama pada anak-anak dan biasanya dapat berhenti sendiri.
Perdarahan ini bersumber dari pleksus Kiesselbach (Littles area). Dapat
juga berasal dari arteri etmoidalis anterior. Daerah ini rentan terhadap
kelembapan udara yang di inspirasi dan trauma. Akibatnya dapat terjadi
ulkus, ruptur, atau kondisi patologik lainnya yang selanjutnya akan
menyebabkan perdarahan.
b. Epistaksis posterior Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri
sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior. Pendarahan biasanya hebat
dan jarang berhenti dengan sendirinya sehingga memerlukan perawatan di
rumah sakit. Sering ditemukan pada pasien lebih tua dengan hipertensi,
arteriosklerosis atau penyakit kardiovaskuler lainnya.4
2.2.2. Patofisiologi Epistaksis
Pada orang yang berusia menengah dan lanjut, pemeriksaan arteri kecil
dan sedang terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media
menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial
sampai perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut
memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika
media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang
yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis
memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah
ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.5
2.2.3. Diagnosis Epistaksis
Anamnesis dan menentukan lokasi sumber perdarahan serta menemukan
penyebabnya harus segera dilakukan. Perdarahan dari bagian anterior biasanya
akibat mengorek hidung, epistaksis idiopatik, rinitis anterior dan penyakit infeksi.
Sedangkan dari bagian posterior atau biasanya akibat hipertensi, arteriosklerosis,
fraktur atau tumor. Lakukan pengukuran tekanan darah dan periksa faktor
pembekuan darah. Disamping pemeriksaan rutin THT, dilakukan pemeriksaan
tambahan foto tengkorak kepala, hidung dan sinus paranasal, kalau perlu CT-
scan.6 Anamnesis yang penting ditanyakan antara lain:
a. Riwayat perdarahan sebelumnya
b. Lokasi perdarahan
c. Apakah ada darah mengalir kedalam tenggorokan atau keluar dari hidung
bila pasien duduk tegak?
d. Lama perdarahan dan frekuensinya
e. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
f. Hipertensi
g. Diabetes mellitus
h. Penyakit hati
i. Penggunaan antikoagulan
j. Trauma hidung yang belum lama
2.2.4. Komplikasi Epistaksis
Epistaksis Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksis itu
sendiri atau sebagai akibat dari upaya penanggulangan epistaksis yang dilakukan.
Perdarahan yang hebat dapat menyebabkan aspirasi darah kedalam saluran napas
bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia dan gagal ginjal. Turunnya tekanan
darah secara mendadak dapat menyebabkan hipoksia, edema serebri, insufisiensi
koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian.7
Pemasangan tampon anterior dapat menyebabkan rino-sinusitis,
bloodytears (akibat darah mengalir secara retrograd melalui duktus
nasolakrimalis), dan septikemia atau toxic shock syndrome. Pemasangan tampon
posterior dapat menyebabkan otitis media, hemotimpanum (akibat darah mengalir
melalui tuba Eustachius), dan laserasi palatum mole atau sudut bibir jika benang
yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan di pipi. Kateter balon atau tampon
balon tidak boleh di pompa terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis
mukosa hidung atau septum.8
Pada pasien yang di pasang tampon harus selalu diberikan antibiotik dan
setelah 2-3 hari, tampon harus di cabut. Bila perdarahan masih berlanjut, pasang
tampon baru.9
BAB III
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Bp.DR
Umur : 28 tahun
Agama : Islam
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : -
Alamat : Plaju
Tanggal datang : 4 Mei 2017
No.RM : 53-75-78

II. Anamnesis
Anamnesis : Autoanamnesis
Keluhan Utama : Keluar cairan kental berwarna kehitaman sejak 13 hari
yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang


Os mengeluh keluar cairan kental berwarna kuning bercampur darah
berwarna kehitaman sejak 13 hari yang lalu. 14 hari lalu Os mengalami
kecelakaan saat mengendarai sepeda motor dengan kecpatan 70 km/jam. Os
terjatuh miring ke sisi kiri dan terdapat bekas luka di regio supraorbital sinistra
dan di regio zigomaticum sinistra. Os memakai helm saat kecelakaan terjadi, dan
saat helm dilepas terdapat darah segar mengalir melalui lubang hidung sebelah
kiri. Os langsung dibawa ke IGD terdekat, namun Os mengaku bahwa keluar
darah dari hidungnya tidak berlangsung lama sehingga tidak diberikan tampon
dan hanya dibersihkan luka pada wajah lalu diperbolehkan pulang. Keesokan
harinya Os mengaku sering mengeluarkan cairan kental berwarna kekuningan
bercampur darah berwarna kehitaman. Os juga mengatakan sakit kepala di sebelah
kiri sejak kecelakaan sampai Os datang ke Rumah Sakit.
Sejak 18 hari yang lalu Os mengaku mengalami batuk, pilek, hidung
tersumbat dan belum sembuh sampai Os berobat ke Rumah Sakit. Tidak ada rasa
nyeri di hidung, namun pasien mengeluh sesak. Os pernah berobat untuk batuk
pilek 1 minggu yang lalu namun masih belum sembuh.
Riwayat Penyakit Dahulu
Os tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya. Riwayat trauma 14 hari
yang lalu.

Riwayat Pengobatan
Setelah kecelakaan Os langsung dibawa ke IGD, namun tidak diberikan
tampon karena darah sudah tidak mengalir ketika sampai di IGD. Luka pada
tubuh Os dibersihkan.

Riwayat Penyakit Keluarga


Os mengaku tidak ada keluarga yang pernah sakit seperti ini. Riwayat
alergi dan asma pada keluarga disangkal penderita.

Riwayat Alergi
Riwayat alergi seperti bersin-bersin dan gatal-gatal ketika terkena debu,
atau setelah memakan makanan tertentu disangkal. Riwayat asma juga disangkal.

III. Pemeriksaan Fisik


Status generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign :
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Suhu : 36,7C
Nafas : 20 x/ menit
Nadi : 82 x/ menit
Status lokalis
Telinga
Auris
Bagian Kelainan
Dextra Sinistra
Kelainan kongenital - -
Preaurikula Radang dan tumor - -
Trauma - -
Kelainan kongenital - -
Aurikula Radang dan tumor - -
Trauma - -
Edema - -
Hiperemis - -
Nyeri tekan - -
Retroaurikula
Sikatriks - -
Fistula - -
Fluktuasi - -
Nyeri pergerakan - -
Palpasi aurikula
Nyeri tekan tragus - -
Kelainan kongenital - -
Kulit Tenang Tenang
Canalis Sekret + (keruh) + (keruh)
Acustikus Serumen + +
Externa Edema - -
Jaringan granulasi - -
Massa - -
Cholesteatoma - -

Warna Putih seperti Putih seperti


Intak mutiara mutiara
Retraksi (-) (-)
Refleks cahaya (-) (-)
Perforasi (+) (+)
Membrana
(-) (-)
Timpani
Di kuadran
superior posterior.

Hidung
Rhinoskopi Cavum nasi kanan Cavum nasi kiri
anterior
Mukosa hidung Hiperemis (-), sekret Hiperemis (-), sekret (+), massa (-
(+), massa (-) )
Septum nasi Deviasi (-), dislokasi (-) Deviasi (-), dislokasi (-)
Konka inferior Edema (-), hiperemis (-) Edema (-), hiperemis (-)
dan media
Meatus inferior Polip (-) Polip (-)
dan media
Mulut Dan Orofaring
Bagian Kelainan Keterangan
Mukosa mulut Tenang
Lidah Bersih, basah,gerakan normal kesegala
arah
Mulut Palatum molle Tenang, simetris
Gigi geligi Caries (-)
Uvula Simetris
Halitosis (-)
Mukosa Tenang
Besar T1 T1
Kripta : Normal - Normal
Detritus : (-/-)
Tonsil
Perlengketan (-/-)

Mukosa Tenang
Faring Granula (-)
Post nasal drip (-)

Maksilofasial
Bentuk : Simetris
Nyeri tekan :-

Leher
Kelenjar getah bening : Tidak teraba pembesaran KGB
Massa : Tidak ada
IV. DIAGNOSIS BANDING
Epistaksis Anterior
Epistaksis Posterior

V. DIAGNOSIS
Epistaksis Anterior

VI. PENGELOLAAN DAN TERAPI


Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah perbaiki keadaan umum,
cari sumber perdarahan, hentikan perdarahan, dan cari faktor penyebab
untuk mencegah berulangnya perdarahan. Farmakoterapi hanya sebagai
terapi pendukung pada pasien epistaksis. Bila pasien datang dengan
epistaksis, periksa keadaan umumnya, nadi, pernafasan, serta tekanan
darah. Bila ada kelainan, atasi terlebih dahulu misalnya dengan memasang
infus.
Pada epistaksis anterior yang tidak berhenti sendiri, dapat dicoba
dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit, cara ini
seringkali berhasil. Bila sumber perdarahan dapat terlihat, dapat
dikauterisasi dengan larutan Nitrat Argenti (AgNO3) 25-30%.
Bila perdarahan masih berlangsung, maka perlu dilakukan
pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi
pelumas vaselin atau salep antibiotik. Pemakaian pelumas ini berfungsi
agar tampon mudah dimasukkan dan tidak menimbulkan perdarahan baru
saat dimasukkan atau dicabut. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah,
disusun dengan teratur dan harus dapat menekan asal perdarahan. Tampon
dipertahankan selama 2x24 jam, harus dikeluarkan untuk mencegah
infeksi. Bila perdarahan belum berhenti, dapat dipasang tampon baru.
Pasien juga harus diberikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah
infeksi akibat pemasangan tampon.10
Epistaksis posterior lebih sulit diatasi karena biasanya perdarahan hebat
dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi anterior. Dapat
dilakukan pemasangan tampon posterior atau yang disebut tampon
Bellocg. Tampon ini terbuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat
dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini terikat 3 buah benang, 2 di satu
sisi dan 1 di sisi yang lain. Sebagai pengganti tampon Bellocg, dapat
digunakan kateter Folley dengan balon.10

Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan


adalah dengan meligasi pembuluh darah yang ruptur pada bagian
proksimal sumber perdarahan dengan segera. Tetapi kenyataannya sulit
untuk mengidentifikasi sumber perdarahan yang tepat pada epistaksis yang
berat atau persisten. Ada beberapa pendekatan ligasi arteri yang mensuplai
darah ke mukosa hidung :
a. Ligasi Arteri Karotis Eksterna
Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal arteri tiroid superior
untuk melindungi suplai darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri
karotis eksterna. Tindakan ini dapat dilakukan dibawah anastesi lokal.
Dibuat insisi horizontal sekitar dua jari dibawah batas mandibula yang
menyilang pinggir anterior muskulus sternokleidomastoideus. Setelah flap
subplatisma dielevasi, muskulus sternokleidomastoideus di retraksi ke
posterior dan diseksi diteruskan ke arah bawah menuju selubung karotis.
Lakukan identifikasi bifurkasio karotis kemudian arteri karotis eksterna
dipisahkan. Dianjurkan untuk melakukan ligasi dibawah arteri faringeal
asendens, terutama apabila epistaksis berasal dari bagian posterior hidung
atau nasofaring. Arteri karotis eksterna diligasidengan benang 3/0 silk atau
linen.3
b. Ligasi Arteri Maksilaris Interna
Ligasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan pendekatan
transantral. Pendekatan ini dilakukan dengan anastesi lokal atau umum,
lalu dilakukan insisi Caldwell Luc dan buat lubang pada fosa kanina.
Setelah dijumpai antrum maksila, secara hati-hati buang dinding sinus
posterior dengan menggunakan pahat kecil, kuret atau bor, dimulai dari
bagian inferior dan medial untuk menghindari trauma orbita. Setelah
terbentuk jendela (window) pada tulang, lakukan insisi pada periostium
posterior. Dengan operatin microscope pada daerah itu lakukan observasi
untuk melihat adanya pulsasi yang menandakan letak arteri. Jaringan
lemak dan jaringan ikat pada fosa pterigopalatina didiseksi dengan
menggunakan hemostat, alligator clips, bayonet forcep dengan
bipolarelectrocauter dan nervehook. Setelah arteri maksila interna
diidentifikasi, arteri ini diretraksi dengan menggunakan nervehook dan
identifikasi cabang-cabangnya. Dibuat nasoantral window dan masukkan
tampon yang telah diberi antibiotik selama 24 jam.3
c. Ligasi Arteri Etmoidalis
Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling
baik diterapi dengan ligasi arteri etmoidalis anterior atau posterior, atau
keduanya. Ligasi dilakukan pada tempat arteri keluar melalui foramen
etmoidalis anterior dan posterior yang berada pada sutura frontoetmoid.
Foramen etmoidalis anterior berada kira-kira 1,5 cm posterior dari krista
lakrimalis posterior. Foramen etmoidalis posterior berada hanya 4 - 7
mm.sebelah anterior nervus optikus. Insisi etmoid eksterna dilakukan
untuk mencapai daerah ini. Retraktor orbita digunakan untuk meretraksi
periostium orbita dan sakus lakrimalis. Diseksi dilakukan disebelah
posterior disepanjang garis sutura pada lamina subperiosteal.Dua klem
arteri diletakkan pada arteri etmoidalis anterior, dan rongga hidung
dievaluasi kembali. Jika perdarahan berhenti, arteri etmoidalis posterior
jangan diganggu untuk menghindari trauma nervus optikus. Tetapi bila
perdarahan persisten, arteri etmoidalis posterior diidentifikasi dan diklem.3
VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
Os mengeluh keluar cairan kental berwarna kuning bercampur darah
berwarna kehitaman sejak 13 hari yang lalu. 14 hari lalu Os mengalami
kecelakaan saat mengendarai sepeda motor dengan kecpatan 70 km/jam. Os
terjatuh miring ke sisi kiri dan terdapat bekas luka di regio supraorbital sinistra
dan di regio zigomaticum sinistra. Os memakai helm saat kecelakaan terjadi, dan
saat helm dilepas terdapat darah segar mengalir melalui lubang hidung sebelah
kiri. Os langsung dibawa ke IGD terdekat, namun Os mengaku bahwa keluar
darah dari hidungnya tidak berlangsung lama sehingga tidak diberikan tampon
dan hanya dibersihkan luka pada wajah lalu diperbolehkan pulang. Keesokan
harinya Os mengaku sering mengeluarkan cairan kental berwarna kekuningan
bercampur darah berwarna kehitaman. Os juga mengatakan sakit kepala di sebelah
kiri sejak kecelakaan sampai Os datang ke Rumah Sakit.
Sejak 18 hari yang lalu Os mengaku mengalami batuk, pilek, hidung
tersumbat dan belum sembuh sampai Os berobat ke Rumah Sakit. Tidak ada rasa
nyeri di hidung, namun pasien mengeluh sesak. Os pernah berobat untuk batuk
pilek 1 minggu yang lalu namun masih belum sembuh.
DAFTAR PUSTAKA
1. Munir, D., dkk. 2006. Epistaksis. Maalah Kedokteran Nusantara. Vol 39
No 3. Universitas Sumatera Utara.
2. Mangunkusumo, E dan Wardani, RS. 2007. Polip Hidung dalam: Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung Tenggorok, Kepala dan Leher. Balai
Penerbit FKUI, Jakarta, edisi keenam
3. Liston, Stephen. 2014. Anatomi Telinga: Dalam Buku Ajar Penyakit THT,
BOIES. Jakarta EGC
4. Abelson TI. Epistaksis dalam: Scaefer, SD. Rhinology and Sinus Disease
AproblemOriented Aproach. St. Louis, Mosby Inc, 1998: 43 9.
5. Nuty WN, Endang M. Perdarahan hidung dan gangguan penghidu,
Epistaksis. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi 3.
Jakarta, Balai Penerbit FK UI, 1998: 127 31.
6. Watkinson JC. Epistaxis. Dalam: Mackay IS, Bull TR. Scott Browns
Otolaryngology. Volume 4 (Rhinonology). Ed. 6 th. Oxford: Butterwort -
Heinemann, 1997: 119.
7. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear, nose, and throat disease, a
pocket reference. Second Edition. New York, Thieme Medical Publiseher, Inc,
1994.
8. Thornton MA, Mahest BN, Lang J. Posterior epistaxix: Identification of
common bleeding sites. Laryngodcope, 2005. Vol. 115.
9. Thuesen AD, Jacobsen J, NepperRasmussen J. Juvenile angofobroma.
Ugeskr Leager. 2005. Vol. 167.
10. Tiwari D, Plater M, Partridge R, WestonSimons J. Primary malignan
melanoma of nose: a rare cause of epistaxis in the elderly. Age Ageing. 2005. Vol.
34 (6): 653 4.

Anda mungkin juga menyukai