Anda di halaman 1dari 18

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan limpahan rahmatNya-lah maka kami bisa menyelesaikan
makalah dengan tepat waktu.
Berikut ini kami mempersembahkan sebuah makalah tentang Biografi dan
Pengaruh Pangeran Diponegoro dalam Sejarah Dunia, yang menurut kami
dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari
berbagai sejarah tentang cikal bakal Bangsa Indonesia dan bisa mengetahui
perjuangan dari rakyat-nya itu sendiri.
Dengan ini, kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima
kasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat
memberikan manfaat untuk semua pihak. Amin.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pangeran Diponegoro lahir di Yogyakarta, 11 November 1785.
Pangeran Diponegoro terkenal karena memimpin Perang
Diponegoro/Perang Jawa (1825-1830) melawan pemerintah Hindia-
Belanda. Perang tersebut tercatat sebagai perang dengan korban paling
besar dalam sejarah Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia memberi
pengakuan kepada Pangeran Diponegoro sebagai Pahlawan Nasional pada
tanggal 6 November 1973 melalui Keppres No.87/TK/1973. Penghargaan
tertinggi juga diberikan oleh Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu
Pengetahuan, dan Budaya (UNESCO) , pada 21 Juni 2013 yang
menetapkan Babad Diponegoro sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory
of the World). Babad Diponegoro merupakan naskah klasik yang dibuat
sendiri oleh Pangeran Diponegoro ketika diasingkan di Manado, Sulawesi
Utara, pada 1832-1833.
Perang diponegoro disebut juga perang Jawa. Sebab-sebab yang
menimbulkan perang Diponegoro itu adalah peristiwa-peristiwa yang
terjadi di kalangan keraton Yogyakarta maupun di daerah wilayahnya
sebagai akibat ikut campurnya kekuasaan asing dalam tata pemerintahan
kerajaan. Sedang pemimpin peperangan tersebut adalah putera Sultan
Hamengku Buwono III raja Yogyakarta bernama Pangeran Diponegoro.
Adapun daerah-daerah yang bergejolak dapat dikatakan hamper meliputi
semua daerah kerajaan. Mataram yaitu kerajaan besar di Jawa pada abad
XVII-XVIII. Karena itu tidak mengherankan apabila perang Diponegoro ini
juga disebut perang Jawa. Dan salah satu sebab pecahnya perang
Diponegoro sejak tahun 1825 hingga tahun 1830 itupun tidak lain karena
Kompeni atau kekuasaan Belanda pada waktu itu ikut campur dalam
pemerintahan kerajaan Yogyakarta. Hal itu dirasa oleh Pangeran
Diponegoro sangat bertentangan dengan adat pemerintahan keraton.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah asal usul Pangeran Diponegoro?
2. Bagaimana masa remaja Pangeran Diponegoro?
3. Bagaimana riwayat perjuangan Pangeran Diponegoro?
4. Bagaimana masa penangkapan dan pengasingan Pangeran
Diponegoro?
5. Bagaimana masa perang Pangeran Diponegoro?
6. Bagaimana jalannya perang Diponegoro?
7. Bagaimana taktik perang Diponegoro
8. Bagaimana akhir perang Diponegoro?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui sejarah asal usul Pangeran Diponegoro
2. Untuk mengetahui masa remaja Pangeran Diponegoro
3. Untuk mengetahui riwayat perjuangan Pangeran Diponegoro
4. Untuk mengetahui masa penangkapan dan pengasingan Pangeran
Diponegoro
5. Untuk mengetahui masa perang Pangeran Diponegoro
6. Untuk mengetahui jalannya perang Diponegoro
7. Untuk mengetahui taktik perang Diponegoro
8. Untuk mengetahui akhir perang Diponegoro
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Asal Usul Pangeran Diponegoro


Merupakan putra sulung Sultan Hamengkubuwono III, seorang raja Mataram
di Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dengan
nama Mustahar dari seorang selir bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang
garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran
Diponegoro bernama kecil Raden Mas Ontowiryo.
Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak
keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwono III, untuk mengangkatnya
menjadi raja mataram dengan alasan ibunya bukanlah permaisuri.
Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat
sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut
putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton.
Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan
Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota
perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3
tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja
bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui
Diponegoro.

B. Masa Remaja Pangeran Diponegoro


Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak
keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III, untuk mengangkatnya
menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Diponegoro
mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu
Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.
Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat
sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut
putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton.
Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan
Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota
perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3
tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo
bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui
Diponegoro.
Ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa
Tegalrejo, perang Diponegoro pun dimulai. Sikap Diponegoro yang
menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat.
Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari
Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong.
Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang
sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang
dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan
dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut
bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong. Perjuangan
Pangeran Diponegoro ini didukung oleh S.I.S.K.S. Pakubuwono VI dan Raden
Tumenggung Prawirodigdaya Bupati Gagatan. Selama perang ini kerugian
pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden. Namun
berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro.
Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan
kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro.

C. Riwayat Perjuangan Pangeran Diponegoro


Perang Diponegoro berawal saat pihak Belanda memasang patok di tanah
milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Beliau muak dengan kelakuan Belanda
yang tidak mau menghargai adat istiadat masyarakat setempat dan juga
mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat
simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya,
Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa
yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa
perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir.
Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh
luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di
Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa
Selarong.Perjuangan Pangeran Diponegoro ini didukung oleh S.I.S.K.S.
Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung Prawirodigdaya Bupati Gagatan.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang
serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu dimana suatu
wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur
dijaga oleh puluhan ribu serdadu.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro
dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro
terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan,
ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima
utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal
28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di
Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia
menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka,
Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian
dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8
Januari 1855.
Perang melawan penjajah lalu dilanjutkan oleh para putera Pangeran
Diponegoro. Pangeran Alip atau Ki Sodewo atau bagus Singlon, Diponingrat,
diponegoro Anom, Pangeran Joned terus melakukan perlawanan walaupun
harus berakhir tragis. Empat Putera Pangeran Diponegoro dibuang ke
Ambon, sementara Pangeran Joned terbunuh dalam peperangan, begitu juga
Ki Sodewo.

Bagus Singlon atau Ki Sodewo adalah Putera Pangeran Diponegoro dengan


Raden Ayu Citrawati. Perjuangan Ki Sadewa untuk mendampingi ayahnya
dilandasi rasa dendam pada kematian eyangnya (Ronggo) dan ibundanya
ketika Raden Ronggo dipaksa menyerah karena memberontak kepada
Belanda. Melalui tangan-tangan pangeran Mataram yang sudah dikendalikan
oleh Patih Danurejo, maka Raden Ronggo dapat ditaklukkan. Ki Sodewo kecil
dan Sentot bersama keluarga bupati Madiun lalu diserahkan ke Keraton
sebagai barang bukti suksesnya penyerbuan.
Ki Sodewo yang masih bayi lalu diambil oleh Pangeran Diponegoro lalu
dititipkan pada sahabatnya bernama Ki Tembi. Ki Tembi lalu membawanya
pergi dan selalu berpindah-pindah tempat agar keberadaannya tidak tercium
oleh Belanda. Belanda sendiri pada saat itu sangat membenci anak turun
Raden Ronggo yang sejak dulu terkenal sebagai penentang Belanda. Atas
kehendak Pangeran Diponegoro, bayi tersebut diberi nama Singlon yang
artinya penyamaran.

D. Masa Penangkapan dan Pengasingan

16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di


Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo). Cleerens
mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di
Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de
Kock dari Batavia.

28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock


memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar
menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda
telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro
ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung
Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux
pada 5 April.

Tanggal 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang


gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari
Gubernur Jenderal Van den Bosch. 30 April 1830 keputusan pun keluar.
Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan
istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan
Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado. tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro dan
rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di
benteng Amsterdam.

1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.


pada tanggal 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung
Jawa Makassar. Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh
puteranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan
peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen.

Bagus Singlon atau Ki Sodewo adalah Putera Pangeran Diponegoro dengan


Raden Ayu Citrowati Puteri Bupati Madiun Raden Ronggo. Raden Ayu
Citrowati adalah saudara satu ayah lain ibu dengan
Sentot Prawiro Dirjo. Nama Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon atau Ki
Sodewo snediri telah masuk dalam daftar silsilah yang dikeluarkan oleh
Tepas Darah Dalem Keraton Yogyakarta.

Perjuangan Ki Sodewo untuk mendampingi ayahnya dilandasi rasa dendam


pada kematian eyangnya (Ronggo) dan ibundanya ketika Raden Ronggo
dipaksa menyerah karena memberontak kepada Belanda. Melalui tangan-
tangan pangeran Mataram yang sudah dikendalikan oleh Patih Danurejo,
maka Raden Ronggo dapat ditaklukkan. Ki Sodewo kecil dan Sentot bersama
keluarga bupati Madiun lalu diserahkan ke Keraton sebagai barang bukti
suksesnya penyerbuan.

Ki Sodewo yang masih bayi lalu diambil oleh Pangeran Diponegoro lalu
dititipkan pada sahabatnya bernama Ki Tembi. Ki Tembi lalu membawanya
pergi dan selalu berpindah-pindah tempat agar keberadaannya tidak tercium
oleh Belanda. Belanda sendiri pada saat itu sangat membenci anak turun
Raden Ronggo yang sejak dulu terkenal sebagai penentang Belanda. Atas
kehendak Pangeran Diponegoro, bayi tersebut diberi nama Singlon yang
artinya penyamaran.

Keturunan Ki Sodewo saat ini banyak tinggal di bekas kantung-kantung


perjuangan Ki Sodewo pada saat itu dengan bermacam macam profesi.
Dengan restu para sesepuh dan dimotori oleh keturunan ke 7 Pangeran
Diponegoro yang bernama Raden Roni Muryanto, Keturunan Ki Sodewo
membentuk sebuah paguyuban dengan nama Paguyuban Trah Sodewo.
Setidaknya Pangeran Diponegoro mempunyai 17 putra dan 5 orang putri,
yang semuanya kini hidup tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Jawa,
Sulawesi & Maluku.

E. Masa Perang Pangeran Diponegoro


Perang Diponegoro (Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog), adalah
perang besar dan menyeluruh berlangsung selama lima tahun (1825-1830)
yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia), antara pasukan
penjajah Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock melawan penduduk
pribumi yang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernama Pangeran
Diponegoro. Dalam perang ini telah berjatuhan korban yang tidak sedikit.
Baik korban harta maupun jiwa. Dokumen-dokumen Belanda yang dikutip
para ahli sejarah, disebutkan bahwa sekitar 200.000 jiwa rakyat yang
terenggut. Sementara itu di pihak serdadu Belanda, korban tewas berjumlah
8.000.
Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang
pernah dialami oleh Belanda selama menjajah Nusantara. Peperangan ini
melibatkan seluruh wilayah Jawa, maka disebutlah perang ini sebagai Perang
Jawa. Setelah kekalahannya dalam Perang Napoleon di Eropa, pemerintah
Belanda yang berada dalam kesulitan ekonomi berusaha menutup
kekosongan kas mereka dengan memberlakukan berbagai pajak di wilayah
jajahannya, termasuk di Hindia Belanda.
Selain itu, mereka juga melakukan monopoli usaha dan perdagangan untuk
memaksimalkan keuntungan. Pajak-pajak dan praktek monopoli tersebut
amat mencekik rakyat Indonesia yang ketika itu sudah sangat menderita.
Untuk semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda
mulai berusaha menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu di
antaranya adalah Kerajaan Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV
wafat, kemenakannya, Sultan Hamengku Buwono V yang baru berusia 3
tahun, diangkat menjadi penguasa.
Akan tetapi pada prakteknya, pemerintahan kerajaan dilaksanakan oleh Patih
Danuredjo, seseorang yang mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda.
Belanda dianggap mengangkat seseorang yang tidak sesuai dengan
pilihan/adat keraton.
Melihat situasi Jawa yang penuh dengan penderitaan,dengan rakyat dibebani
dengan kewajiban membayar pajak. Serta harus memenuhi kebutuhan orang
Belanda dan para bangsawan yang menjadi kaki tangan belanda. Hal
tersebut membuat Pangeran Diponegoro menjadi tidak tahan melihat situasi
tersebut. Selain itu ,Belanda pada masa itu ikut campur dalam urusan
pemerintah istana,seperti penobatan Sultan Yogyakarta. Setelah Sultan
Hamengkubuwono IV wafat,Belanda mengangkat putra mahkota,yaitu Jarot
sebagai sultan Yogyakarta, Padahal usianya pada saat itu baru tiga tahun.
Sultan hanya dijadikan sebagi simbol pemerintahan saja. Selanjutnya dalam
pemerintahan istana Yogyakarta diatur oleh Residen Smissert.
Pada bulam Mei 1825, sebuah jalan dibangun didekat Tegalrejo pihak
belanda yang membuat jalan dari Yogyakarta ke Magelang melalui Tegalrejo
tanpa persetujuan dari pangeran diponegoro. Pangeran diponegoro dan
masyarakat merasa tersinggung dan marah karena Tegal rejo adalah tempat
makam dari leluhur Pangeran Diponegoro (Junaidi ,2007:85). Selain itu
pembutan jalan tersebut pembangunan tersebut akan menggusur banyak
lahan. Hal inilah yang menjadi titik tolak terjadinya perang Diponegoro .
Untuk menyelesaikan masalah tanah itu, sebenarnya Residen Belanda,
A.H.Smisaert mengundang Pangeran Diponegoro untuk menemuinya. Namun
undangan itu ditolak mentah-mentah olehnya.
Pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan pematokan di daerah yang
dibuat jalan. Pematokan sepihak tersebut membuat Pangeran Diponegoro
geram, lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mencabuti patok-patok
itu. Melihat kelakuan Pangeran Diponegoro, Belanda mempunyai alasan
untuk menangkap Diponegoro dan melakukan tindakan. Tentara meriam pun
didatangkan ke kediaman Diponegoro di Tegalrejo. Pada tanggal 20 Juli 1825
perang Tegalrejo dikepung oleh serdadu Belanda.
Akibat serangan meriam, Pangeran Diponegoro besrta keluarganya terpaksa
mengungsi karena ia belum mempersiapkan perang. Mereka pergi
menyelamatkan diri menuju ke barat hingga ke Desa Dekso di Kabupaten
Kulonprogo, lalu meneruskan kearah selatan sampai ke Goa Selarong. Goa
yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul ini, kemudian
dijadikan sebagai basis pasukan.

F. Jalannya Perang Diponegoro


Dalam persembunyianya Pangeran Diponegoro menghimpun kekuatan. Ia
mendapat banyak dukungan dari beberapa bangsawan Yogyakarta dan Jawa
Tengah yang kecewa dengan Sultan maupun Belanda . Lima belas dari dua
puluh sembilan pangeran bergabung dengan Diponegoro, demikian pula
empat puluh satu dari delapan puluh bupati. Salah satu bangsawan pengikut
Diponegoro adalah Sentot Prawirodirjo seorang panglima muda yang
tangguh di medan tempur. Komunitas agama bergabung dengan Diponegoro
, yang diantarana adalah Kiai Mojo yang menjadi pimpinan spiritual
pemberontakan tersebut. Rakyat pedesaan juga bertempur di pihak
Diponegoro dan memebantu pasukan-pasukannya apabila mereka tidak
sanggup bertempur lagi.
Awalnya pertempuran dilakukan terbuka dengan pengerahan pasukan-
pasukan infantri, kavaleri, dan artileri oleh Belanda. Pihak Diponegoropun
menanggapi dan berlangsunglah pertempuran sengit di kedua belah pihak.
Medan pertempuran terjadi di puluhan kota dan di desa di seluruh Jawa.
Jalur-jalur logistik juga dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk
menyokong keperluan perang. Belanda menyiapkan puluhan kilang mesiu
yang dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Mesiu dan peluru terus
diproduksi saat peperangan berlangsung. Selain itu Belanda juga
mengarahkan mata-mata utuk mencari informasi guna menyusunn setrategi
perang.
Selanjutnya Diponegoro beserta pengikutnya mengunakan strategi gerilya,
yakni dengan cara berpencar, berpindah tempat lalu menyerang selagi
musuh lengah. Setrategi ini sangat merepotkan tentara Belanda. Belum lagi
Pangeran Diponegoro mendapat dukungan rakyat. Awlanya sendiri
peperangan banyak terjadi di daerah barat kraton Yogyakarta seperti
Kulonprogo, Bagelen, dan Lowano (Perbatasan Purworejo-Magelang).
Perlawanan lalu berlanjut kedaerah lain: Gunung kidul, Madiun, Magetan,
Kediri, dan sekitar Semarang.
Serangan-serangan besar dari pendukung Diponegoro biasanya dilakukan
pada bulan-bulan penghujan karena hujan tropis yang deras membuat
gerakan pasukan Belanda terhambat. Selain itu, penyakit malaria dan
disentri turut melemahkan moral dan fisik pasukan ,Belanda kewalahan
menhadapi perlawanan Diponegoro. Diponegoro sempat mengalami
kekalahan besar pada bulan Oktober 1826 ketika dipikul mundur di Surakarta
. Meskipun demikan , pada akhir tahun 1826 pasukan-pasukan pemerintah
Belanda nampak tidak dapat maju lagi, dan Diponegoro masih menguasai
berbagai wilayah pedalaman Jawa tengah.
Berbagai langkah langkah sudah di coba pihak Belanda diantaranya, ada
bulan Agustus 1826 pihak Belanda memulangkan sultan Hamengkubuwono II
yang sudah berusia lanjut dari tempat pengasingan Ambon dan
mendudukanya lagi diatas tahta Yogyakarta (1826-1828). Tetapi langkah ini
sama sekali gagal mendorong rakyat Jawa supaya tidak lagi mendukung
pemberontakan.
Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri
dan artileri (yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam
pertempuran frontal) di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front
pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran
berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat
dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu
sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-
jalur Iogistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong
keperluan perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan
di dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara
peperangan sedang berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras
mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun
strategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan
waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan
strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-
bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan
alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba,
gubernur Belanda akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan
berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan
mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan
"musuh yang tak tampak", melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan
merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda
akan mengonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan
provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah
dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin
perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando Pangeran Diponegoro.
Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan
Belanda.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang
serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu di mana suatu
wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur
dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang
pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang
modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metode
perang gerilya (guerrilla warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and
run dan penghadangan (Surpressing). Perang ini bukan merupakan sebuah
tribal war atau perang suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan
berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan. Perang ini juga
dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) melalui insinuasi dan
tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang
terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) di
mana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi
mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro
dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro
terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Modjo, pemimpin spiritual pemberontakan,
ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima
utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda. Akhirnya
pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan
Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan
bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan.
Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian
dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8
Januari 1855.
Berakhirnya Perang Jawa merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa.
Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia
sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000
orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta
menyusut separuhnya. Mengingat bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta
Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak
diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan
Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan
mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala
itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk
mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.

G. Taktik Perang Diponegoro


Karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui
penguasaan informasi.Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu
dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali
untuk bekerjasama dengan alam sebagai senjata tak terkalahkan. Bila
musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha usaha
untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras
membuat gerakan pasukan mereka terhambat.
Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan musuh yang tak
tampak melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa
pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan
mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator
mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan
menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat
yang berjuang dibawah komando pangeran Dipanegara. Namun pejuang
pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
H. Akhir Perang Diponegoro
Tahun 1829 merupakan tahun kemunduran bagi Diponegoro. Di tahun itu
pula Diponegoro sudah tidak pernah mengadakan ofensif lagi dan justru
inisiatif serangan beralih ke tangan Belanda. Pengikut Diponegoro banyak
yang menyerah kepada Belanda karena sudah tidak kuat dengan cobaan dan
perang gerilya.
Sementara itu Pangeran Diponegoro dapat menembus kepungan Belanda di
Pengasih dan melarikan diri ke Kedu. Daerah Kedu adalah daerah yang
bergunung-gunung sehingga memudahkan Diponegoro melakukan gerilya
dan menyusahkan Belanda dalam bergerak. Tetapi de Kock segera
membangun benteng-benteng untuk mengepung daerah Kedu sehingga
gerakan Diponegoro dapat dibatasi.Pengepungan atas Kedu ini membuat
Diponegoro dan pengikutnya hidup dalam keprihatinan yang luar biasa
walaupun masih tetap melanjutkan perang gerilya.Banyak pemimpin perang
Diponegoro yang menyerahkan diri pada Belanda.
Sementara pada tahun 1829 pula terjadi pergantian kepemimpinan di Hidia-
Belanda. Komisaris Gubernur Jenderal Du Bus yang menjalankan
pemerintahan sejak Van Der Capellen mengundurkan diri pada tahun 1826
digantikan oleh Johaness Van den Bosch. Di tubuh militer sendiri terjadi
rotasi pergantian, De Kock diangkat sebagai panglima militer untuk seluruh
Hindia-Belanda, dan sebagai panglima tentara Belanda di Jawa daingkat
Mayor Jenderal Benjamin Bisschof. Tetapi sebelum menunaikan tugasnya
Bisschof meninggal karena sakit. Kemudian kepada gubernur jenderal De
Kock meminta agar tetap dipercaya memimpin langsung penumpasan
terhadap Diponegoro.
Di tahun 1829, Diponegoro kembali pada taktik perang gerilya. Berkat
perubahan taktik ini Diponegoro mampu kembali menguasai Bagelen,
sebagian sungai progo, sebagian sungai bogowonto, dan Banyumas. Ini
semua berkat taktik gerilya Gusti Bei yang brilian.De Kock membalas
gerakan Pasukan Diponegoro ini dengan sebuah serangan cepat dan kuat.
Segera Bagelen direbut, Sungai Bogowonto diseberangi dari Timur ke Barat.
Selanjutnya serangan dilanjutkan ke Ledok dan Karangkobar.
Dua daerah itu dipertahankan oleh Imam Musbah. Dalam serangan ini
Belanda memakai pasukan pribumi dari Sulawesi Utara, Maluku, Bali dan
pasukan Belanda sendiri. Kemudian pasukan Belanda bergerak ke Boyolali-
Kanigoro. Mereka lalu bergabung dengan pasukan Kasunanan Surakarta.
Kedua pasukan ini segera menyerang pasukan Diponegoro yang dipimpin
oleh Adipati Urawan dan Pangeran Sumonegoro. Pasukan Diponegoro
berhasil didesak, sementara itu Adipati Danu memimpin 200 orang pasukan
Diponegoro bermaksud membantu pasukan Adipati Urawan dan Pangeran
Sumonegoro. Pasukan Bulkiya pimpinan Haji Usman juga ikut serta bergerak
untuk memberi bantuan. Tidak ketinggalan pula Gusti Basah (putra
Diponegoro) bersama pasukannya turut bergerak memberi bantuan.
Di lain pihak, pasukan bantuan Belanda dari Magelang turut bergerak
memberi bantuan. Sementara dari Yogyakarta bergerak pasukan Yogyakarta
dan Belanda, dari Surakarta juga bergerak Legioen Mangkunegaran. Pasukan
Belanda berjumlah 3000 orang sedangkan gabungan pasukan Diponegoro
berjumlah 5000 orang bertemu di Desa Genjuran. Meletuslah pertempuran
sengit. Walaupun Belanda tidak bisa dikatakan menang tetapi lebih banyak
prajurit Diponegoro tewas dalam pertempuran ini, bahkan komandan
pasukan Bulkiya yaitu Haji Usman tewas.Pada tanggal 30 April 1829 terjadi
pertempuran di RawaGenda. Basah Prawirokusumo terkena pecahan meriam
dan lumpuh dalam serangan Belanda itu. Sementara Tumenggung Banyak
Wedi menyerah pada pimpinan pasukan Belanda (Kapten Busseheus).
Pada tanggal 17 Juli 1829, markas Gusti Bei di Desa Geger diserang. Gudang
dan pabrik amunisi pasukan Diponegoro turut diratakan. Gusti Bei yang
terluka melarikan diri sementara Raden Joyonegoro meneruskan perlawanan
sampai dia mati. Dengan direbutnya Geger maka suply amunisi pasukan
Diponegoro sangat terganggu.
Pada 30 Juli 1829, Letkol. Sollevipu memimpin pasukan menyerang sebuah
desa yang dicurigai sebagai markas pasukan Diponegoro. Dalam sergapan
itu berhasil ditangkap Raden Hasa Mahmud dan Pangeran Anom Diponegoro
(putra tertua Pangeran Diponegoro). Belanda mengancam akan membunuh
Anom Diponegoro jika Diponegoro tidak menyerah. Tetapi ancaman ini tidak
digubris. Akhirnya Anom Diponegoro tidak dibunuh.
Tanggal 31 Juli, istri Pangeran Mangkubumi, putranya Raden Mas
Wiryokusumo, Raden Mas Wiryoatmojo dan Raden Mas Surdi menyerah pada
Belanda. Belanda kemudian meminta kepada Pangeran Mangkubumi untuk
menyerah dan memberitahukan letak persembunyian keluarga Pangeran
Diponegoro dan keluarga para panglima perlawanan yang lain, tetapi
tuntutan itu tidak dijawab. Seperti kita ketahui bahwa Pangeran Mangkubumi
adalah pimpinan pasukan Jogokaryo yang bertanggung jawab atas
keamanan keluarga Pangeran Diponegoro dan keluarga para panglima
perang lain.
Pada bulan September 1829, Tumenggung Wonorejo, Tumenggung Wiryodirjo
dan ratusan pengikutnya menyerah pada Belanda menyusul kemudian
Tumenggung Surodeksono, Pangeran Pakuningrat beserta pengikut-
pengikutnya. Dan Raden Ayu Anom (istri kedua Pangeran Mangkubumi) juga
menyerah beserta 50 orang pengikutnya.Pada tanggal 28 September 1829,
Pangeran Mangkubumi akhirnya menyerah setelah keluarga-keluarga
panglima perang yang dilindunginya dikembalikan pada Pangeran
Diponegoro. Pada tanggal 30 September 1829, pukulan kembali terjadi. Gusti
Bei dan kedua putranya Joyokusumo dan Harnokusumo disergap oleh
Belanda di Desa Sangir dan mereka semua gugur.
Satu-satunya senopati perang Pangeran Diponegoro yang tak terkalahkan
hanyalah Sentot. Tetapi walaupun masih ditakuti kondisi pasukan Sentot
sendiri mengkhawatirkan karena kekurangan bahan makanan dan terputus
jalur logistiknya. Akhirnya dengan perantaraan Bupati Madiun, Belanda
melakukan perundingan dengan Sentot. Sentot bersedia menyerah dengan
syarat sebagai berikut :
a. Diberi uang sebesar 10.000 Ringgit
b. Tetap memimpin pasukan Pinilih nya
c. Diberi 500 pucuk senapan.
d. Tetap memeluk agama Islam
e. Sentot dan pasukannya tetap diijinkan memakai surban

Belanda memenuhi permintaan Sentot itu. Akhirnya pada tanggal 17 Oktober


1829 Sentot menyerah pada Belanda di Imogiri. Pada tanggal 24 Oktober
1829 Sentot dan pasukannya masuk ke Yogyakarta, ketika melewati jalan-
jalan kota Yogyakarta banyak rakyat duduk bersimpuh dan menyembah
sebagai tanda penghormatannya. Sentot kemudian menghadap Sultan
Hamengkubuwono V di kraton.Oleh Belanda Sentot diberi pangkat Mayoor
Cavalerie dengan gaji 100 ringgit per bulan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penjabaran di halaman yang telah dijelaskan di depan, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
Pangeran Diponegoro merupakan putra pertama Sri Sultan
Hamengkubuwono II sehingga tidak lain lagi beliau adalah Sri Sultan
Hamengkubuwono III sekaligus pewaris tahta kerajaan di Yogyakarta.
Walaupun Pangeran Diponegoro adalah putera seorang raja, beliau tidak
senang tinggal di istana, karena adanya pengaruh dari Belanda. Karena
Pengaruh dari Belanda membawa dampak yang sangat besar baik di
kalangan keraton maupun di kalangan rakyat biasa. Oleh sebab itulah beliau
tidak suka tinggal di istana. Adapun pengaruh yang kurang baik
diantaranya :
A. Adat istiadat banyak yang dilanggar.
B. Ajaran agama diabaikan.
C. Uang dihambur-hamburkan untuk pesta.
Hal tersebut berakibat hidup rakyat menderita, tanah mereka dirampas oleh
Belanda dan mereka harus membayar bermacam-macam pajak. Hal itu tentu
saja sangat merugikan masyarakat setempat. Oleh karena itu Diponegoro
berniat untuk melawan kekuasaan Belanda yang sangat sewenang-wenang
terhadap rakyat. Selain itu ada berbagai macam sebab, baik sebab umum
ataupun khusus untuk melawan kekuasaan Belanda di tanah jawa. Sebab
umum tersebut antara lain, Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda
memasang patok tanah milik Pangeran Diponegoro di Desa Tegalrejo. Pada
saat itu memang Pangeran Diponegoro sudah membenci kelakuan Belanda
karena Belanda selalu ikut campur tangan dalam urusan pemerintahan di
Yogyakarta. Adapun sebab khususnya adalah sebagai berikut:
1. Belanda akan membuat jalan raya yang melewati makam leluhur
Diponegoro tanpa meminta izin terlebih dahulu.
2. Pangeran Diponegoro mencabuti patok-patok yang telah ditancapkan
oleh Belanda.
Akibatnya Pangeran Diponegoro beserta rakyat bergabung untuk melawan
dan mengusir Belanda dari tanah Jawa. Walaupun demikian Pemerintah
Belanda tetap bersikeras untuk bertahan di tanah Jawa serta melakukan
perlawanan terhadap Pangeran Diponegoro. Namun Pangeran Dipenegoro
memiliki taktik untuk bisa mengalahkan Pemerintah Belanda. Taktik perang
tersebut adalah taktik perang Gerilya.

Taktik gerilya membawa keuntungan dan kemenangan. Walaupun saat itu


Belanda telah menggunakan senjata modern. Bahwa perilaku yang luhur
Pangeran Diponegoro menimbulkan simpati baik di kalangan bangsawan
sampai di kalangan rakyat jelata, yang akhirnya mereka bersatu untuk
melawan Belanda. Mereka sangat bersemangat dalam mengusir Belanda
bahkan nyawa dipertaruhkan untuk bisa mengusir Belanda. Harga diri dan
kehormatan keluarga adalah segala-galanya bagi Pangeran Diponegoro.
Namun tipu muslihat dan kelicikan Belanda menyeret Pangeran Diponegoro
ke meja perundingan, sekaligus pengasingan beliau, sampai ajal
menjemputnya.

B. Saran
Saran kami selaku yang membuat makalah ini kita harus selalu mengenang
dan menghargai perjuangan pahlawan-pahlawan kita yang sudah
memperjuangkan nyawa dan hidupnya untuk membela negeri kita dari para
penjajah. Dan dalam penulisan makalah ini juga penulis menyadari bahwa
masih banyak kekurangannya atau masih jauh dari kesempurnaannya
seperti yang diharapkan oleh karena itu kritik dan saran baik itu dari
bapak/Ibu Guru maupun rekan siswa/siswi yang bersifat konstruktif sangat
diharapkan guna memperbaiki penulisan lebih lanjut.

Anda mungkin juga menyukai