Anda di halaman 1dari 15

RINITIS

A. Rinitis Non Alergi

Pendahuluan

Rinitis non alergi digunakan untuk semua penyakit hidung dengan gambaran obstruksi,
hipersekresi dan hiperiritabel yang tidak mempunyai etiologi alergi dan bersifat kronik. Rinitis
non alergi dapat bersifat intermiten maupun persisten. Rinitis alergi terdapat berbagai macam
yang masing-masing mempunyai gejala tertentu, penyebab dan pengobatan tertentu pula. Secara
klinis gejala yang di timbulkan hampir mirip dengan rinitis alergi. Cara terbaik untuk mengetahui
perbedaan antara rinitis alergi dan rinitis non alergi adalah dengan tes spesifik alergi. Bisa dengan
tes kulit atau pemeriksaan kadar antibodi spesifik IgE.

Macam macam rinitis non alergi

Rinitis non alergi terdiri atas :


1. Rinitis hormonal
2. Rinitis vasomotor
3. Rinitis non alergi sindrom eosinofilia
4. Rinitis karena okupasi
5. Rinitis karena drug-induced
6. Rinitis gustatori
7. Rinitis atropi

1. Rinitis hormonal
Penyebabnya meliputi hypotiroidi (myxedema), naiknya hormon esterogen pada kehamilan,
pemakaian kontrasepsi oral dan siklus menstruasi. Kadar esterogen yang tinggi menghambat
aktifitas acetyl cholinesterase dan memacu produksi acetyl cholin pd ganglion parasympatis,
mengakibatkan edema, hypersekresi dan pembengkakan vaskuler mukosa hidung. Rinitis
pregnancy terdapat pada 20% kehamilan yang sering mulai timbul pada trimester ke II
kehamilan. Tanda khasnya berupa konka edem, dan pucat. Harus dibedakan dengan RA dan
hipotyroidi dengan cara mencari gejala hipotiroidi yang lain dan riwayat alergi yang lain dan tes
alergi.

2. Rinitis vasomotor ( RV) .


RV disebut pula rinitis perenial nonalergi, rinitis idiopatik, rinitis non alergi tanpa
eosinofilia. Gejala utama kongesti hidung dan rinore, biasanya tanpa rasa gatal dan bersin. Pada
penderita tidak dijumpai eosinofil pada mukosa hidungnya dan tes alergi hasilnya negatif.
Patogenesisnya belum jelas. Salah satu teori adalah disebabkan oleh input parasimpatis
terhadap konka dan septum nasi tidak berfungsi normal. Parasimpatis tersebut berasal dari
hypotalamus dan berjalan bersama N V dan N VII. Jalur cholinergik berakhir pada pembuluh
darah mukosa sehingga mengakibatkan mukosa yang edem pd dinding lateral, septum dan
konka. Pada sebagian besar penderita gejala klinik timbul karena merespon kondisi lingkungan
yang meliputi udara dingin, kelembapan yang tinggi, stres dan iritan seperti alkohol, polusi dan
asap. Penyakit ini mungkin didapatkan pd perokok yang refrakter terhadap pengobatan.
Pengobatan operatif untuk mengurangi besarnya konka.

3. Non Allergic Rhinitis Eosinophilia Syndorme ( NARES )


Secara klinis sangat serupa dengan Rinitis alergi tetapi tidak terdapat perubahan patologis yg
berhubungan dengan IgE. Gejalanya berupa rinore yang kroonik, hidung gatal dan bersin.
Biasanya terdapat pada umur pertengahan, pada pemeriksaan swab mukosa hidung banyak
eosinofil. Tes alergi hasilnya negatif. Penyebabnya diduga berhubungan dengan intoleransi
aspirin.

4. Rinitis akibat lingkungan kerja ( Occupational Rhinitis )


Rinitis ini dapat didiagnosis sebagai rinitis alergi dan rinitis vasomotor. Gejalanya berupa
rinore dan hidung tersumbat yang disebabkan oleh terpapar bahan yang ada diudara lingkungan
bekerja. Secara patologis bisa oleh karena alergi dan non alergi tergantung polusinya. Untuk
yang alergi diagnosis ditegakan dengan tes kulit. Meskipun formaldehide diduga merupakan
penyebab tetapi buktinya belum pasti. Manajemenya identifikasi penyebab dan menghindari.

5. Rinitis karena pemakaian obat ( drug induced rinitis )


Rinitis karena obat dapat karena pemakaian obat sistemik dan topikal. Pemakaian obat
sistemik yang paling sering adalah obat antihipertensi. Obat tersebut adalah : resrpin,
guanethidin, pentholamin, metyldhopa, przosin, chlorpromazin, serta obat Beta bloker dan obat
angiotensin-converting enzim. Obat-obat topikal adalah cocain, nasal dekongestan.
Rinitis medika mentosa, disebabkan oleh pemakaian obat yang berkepanjangan yaitu obat
vasokonstriktor, seperti cocain, oxymethazolin hydrohlorid, phenyleprin hydrohlorida dan derivat
sympatomimetik amin dan imidazoles.
Tachyphylaksis yaitu berkurangnya efek obat dengan cepat setelah pemberian bbrp dosis dapat
menyebabkan pasien meningkatkan obat vasokonstriktor untuk waktu yang lebih lama. Hal ini
dapat mengakibatkan efek rebound disebabkan oleh down regulation reseptor alfa adrenergik
mukosa hidung. Rinitis medika mentosa disebabkan oleh vasodilatasi refrakter pembuluh darah
mukosa atau edem mukosa yang berlebihan. Dengan vasokostriktor yang berkepanjangan
arteriol mukosa dan pembuluh darah menjadi capai dan hipoksia , kemudian akan vasodelatasi
untuk memberikan nutrien pada mukosa yang kaya pembuluh darah . Tetapi sel vaskuler
vasodelatasi, permaibilitasnya meningkat dan memungkinkan mengalirnya cairan ke mukosa
yang hipertonik. Kerusakan mukosa seperti kehilangan silia, metaplasia, atau fibrosis dapat
terjadi pada pemakain vasokonstriktor yang berkepanjangan.
Rinitis medika mentosa dapat menutupi keadaan patologis primernya yang mengakibatkan
pemakaian vasokonstriktor yang lama. Pengobatan RMM adalah menghentikan kondisi refrakter
sekunder dan mencari faktor primernya seperti RA, konka hipertropi, septum deviasi, sinusitis dan
terapi dengan baik. Vasokonstriktor topikal diganti dengan lar saline fisiologis dan penyakit
primer diobati dengan obat-obat peroral.

6. Rinitis Gustatory
Menelan makanan dapat menyebabkan rinitis. Ada beberapa penyebab yang dapat
diketahui untuk rekasi tersebut. Makanan dapat menyebabkan reaksi alergi, tetapi ini jarang.
Minuman beralkohol dapat menyebabkan rinitis mungkin karena efek langsung delatasi
pembuluh darah hidung. Makanan yang pedas dapat mengakibatkan rinore profus melalui
mekanisme vagal.

7. Rinitis Atropi
Rinitis atropi atau rinitis sicca ditandai adanya atropi mukosa septum, konka, dind lateral
rongga hidung. Rinitis atropi dapat dibedakan atas primer dan sekunder. Rinitis atropi dg
ozaena ditandai adanya krusta yg tebal berbau. Yang tanpa ozaena akan tampak mukosa atropi
dfan kering.
Rinitis atropi sering mengeluh hidung tersumbat yang dapat disebabkan oleh adanya kruista.
Jika tak ada krusta rasa tersumbat disebabakan oleh berkurangnya sensasi aliran udara atau
memang terjadi aliran udara yang lambat karena adanya turbulensi. Rinitis atropi sering
menyebabakn sinusitis dan sakit kepala sehingga diagnosisnya membingungkan.
B. Rinitis Alergi

Pendahuluan

Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang banyak dijumpai, tetapi karena tidak
bersifat fatal maka sementara ini belum mendapat perhatian yang serius baik dari penderita
maupun petugas kesehatan. Data epidemiologik secara nasional belum didapatkan di Indonesia.
Angka yang ada biasanya di dasarkan pada kejadian di Rumah sakit atau dari survey yang tidak
cukup menggambarkan kejadian di seluruh masyarakat. Pedoman ini penatalaksanaan RA
sebagian besar didasarkan pada konsep dokumen ARIA ( Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma) yang disusun berdasarkan atas inisiatif kelompok kerja WHO. Konsep semacam
guidelines untuk penatalaksanaan rinitis alergi ini disesuaikan dengan kemungkinan fasilitas yang
ada di berbagai RS di Indonesia.
Untuk penatalaksanaan rinitis alergi ( RA) secara garis besar dibuat tahapan sebagai berikut :
1. Definisi
2. Klasifikasi
3. Diagnosis & identifikasi alergen
4. Eliminasi alergen
5. Farmakoterapi
6. Imunoterapi

1. Definisi

Rinitis alergi : kelainan hidung yang disebabkan oleh proses inflamasi mukosa hidung
yang dimediasi oleh hipersensitifitas / alergi tipe I, dengan gejala karakteristik berupa hidung
gatal, bersin-bersin, rinore dan hidung tersumbat yang bersifat reversibel secara spontan maupun
dengan pengobatan.

2. Klasifikasi
Klasifiksi rinitis alergi yang didasarkan atas waktu paparan dan jenis alergen menjadi RA
musiman/ seasonal dan RA sepanjang tahun/ perennial sekarang dianggap tidak memuaskan. Hal
ini didasarkan atas beberapa pertimbangan sebagai berikut :
- ada beberapa daerah dimana pollen dan mould terdapat sepanjang tahun
- simptom RA perenial tidak terjadi sepanjang tahun
- kebanyakan penderita tersensitisasi terhadap banyak alergen yang berbeda, oleh karena itu
simptomnya dapat terjadi sepanjang tahun.
- pada sebagian kasus rinitis perenial mengalami eksaserbasi ketika terpapar pollen
- banyak penderita alergi terhadap pollen juga alergi terhadap mite
- karena efek priming pada mukosa hidung oleh pollen konsentrasi rendah dan inflamasi
minimal persisten pada penderita rinitis, simptom tidak secara strick berhubungan dengan
musim
Oleh karena itu pembagian RA selain berdasarkan atas seasonal dan perennial diusulkan suatu
perubahan dalam klasifikasi RA seperti termuat dalam dokumen ARIA yang tampaknya memang
lebih praktis dan mudah sbb.:

Berdasarkan terdapatnya simptom :


1. RA Intermiten, bila simptom terdapat : kurang dari 4 hari/ minggu, atau bila kurang dari
4 minggu.
2. RA Persisten, bila simptom terdapat :lebih dari 4 hari/minggu, dan bila lebih dari 4
minggu.
Berdasarkan beratnya gejala :
1. Ringan, berarti tidak terdapat salah satu dari hal-hal sebagai berikut :
gangguan tidur, gangguan aktifitas sehari-hari/ malas/ olah raga, gangguan pekerjaan atau
sekolah, simptom dirasakan mengganggu.
2. Sedang-berat, berarti didapatkan satu atau lebih hal-hal sebagai berikut:
gangguan tidur, gangguan aktifitas sehari-hari/ malas/ olah raga, gangguan pekerjaan atau
sekolah, simptom dirasakan mengganggu

3. Diagnosis dan identifikasi alergi

3.1. Anamnesis
Anamnesis dimulai dengan riwayat penyakit secara umum dan dilanjutkan dengan
pertanyaan yang lebih spesifik meliputi gejala di hidung termasuk keterangan mengenai tempat
tinggal / kerja dan pekerjaan penderita.
Gejala-gejala rinitis alergi yang perlu ditanyakan adalah :
- Bersin-bersin (lebih dari 5 kali setiap kali serangan), Rinore (ingus bening encer)
- Hidung tersumbat (menetap/ berganti-ganti), Gatal di hidung, tenggorok, langit-langit atau
telinga.
- Kadangf disertai : Mata gatal, berair atau kemerahan, Hiposmia / anosmia, Post nasal drip atau
batuk kronik
Frekuensi serangan, beratnya penyakit, lama sakit, intermiten atau persisten.
- Pengaruh terhadap kualitas hidup seperti adakah gangguan terhadap pekerjaan, sekolah, tidur
dan aktifitas sehari-hari.
Manifestasi penyakit alergi lain sebelum atau bersamaan dengan rinitis
asma bronkhial, dermatitis atopik, urtikaria, alergi makanan
Riwayat atopi di keluarga
Apakah ada anggota keluarga, dari ayah atau dari ibu yang pernah menderita salah satu
penyakit alergi tersebut diatas.
Faktor pemicu timbulnya gejala rinitis alergi
Lingkungan di rumah, tempat kerja, sekolah, apakah ada hubungan antara kegemaran
atau hobi penderita yang dapat memprovokasi timbulnya gejala.
Penderita rinitis alergi dapat berkembang menjadi keadaan hiperreaktifitas hidung
terhadap iritan non spesifik seperti asap rokok, bau merangsang, udara dingin, polutan,
bau parfum, bau deodoran dsb.
Riwayat pengobatan dan hasilnya
Efektifitas obat yang dipergunakan sebelumnya dan macam pengobatan yang sudah
Diterimanya dan Compliance/ kepatuhan berobat
3. 2. Pemeriksaan Fisik
- Rinoskopi anterior menggunakan cahaya yang cukup dan spekulum hidung
Perhatikan adanya pembengkakan / edem dari konka inferior / media yang diliputi sekret
encer bening, mukosa pucat dan edem. Keadaan anatomi hidung lainnya seperti septum nasi.
Perhatikan pula kemungkinan adanya polip nasi.
- Nasoendoskopi (bila fasilitas tersedia)
Adakah gambaran konka bulosa atau polip nasi kecil di meatus medius dan keadaan kompleks
ostiomeatal.
3. 3. Pemeriksaan Penunjang
Pertimbangkan keadaan / kondisi di seluruh R.S
- Uji kulit (Uji tusuk / Prick test ) paling sesuai karena mudah dilakukan, dapat ditoleransi oleh
sebagian penderita termasuk anak.anak. Mempunyai sensitifitas dan spesifisitas tinggi
terhadap hasil pemeriksaan IgE spesifik.
- Intradermal skin test / Skin End Point Titration Test (bila tersedia)
- IgE serum total (kurang bermanfaat), nilai normal dewasa 100 150 IU/ml
- IgE serum spesifik ( mahal )
- Pemeriksaan sitologis / histologis, bila diperlukan untuk :
a. Menentukan antara alergi / non alergi dan rinitis akibat infeksi
b. Menindak lanjuti respons terhadap terapi
c. Melihat perubahan morfologik dari mukosa hidung
Pemeriksaan ini lebih sering dilakukan untuk keperluan penelitian karena memerlukan
ketrampilan laboratorium.
- Test provokasi hidung/ nasal challenge test (bila tersedia), dilakukan bila ada keraguan dan
kesulitan dalam mendiagnosis rinitis alergi, dimana riwayat rinitis alergi positif, tetapi hasil
tes alergi selalu negatif.
Pemeriksaan ini bermanfaat untuk hal-hal sebagai berikut :
- Untuk mendiagnosis rinitis okupasional
- Untuk penelitian.
- Foto polos sinus paranasal : bila ada indikasi keterlibatan sinus paranasal
- CT Scan / MRI sinus paranasal : atas indikasi, dilakukan bila :
a. Untuk menentukan adakah komplikasi seperti sinusitis
b. Tidak ada respons terhadap terapi
c. Direncanakan tindakan operatif

Teknik melakukan tes alergi/ tes kulit.


Persiapan tes kulit :
1. Jelaskan apa yang akan dilakukan pada penderita dan tujuannya.
2. Pastikan penderita tidak mengkonsumsi obat/ makanan yang mempunyai efek antialergi.
- antihsitamin minimal 3 kali periode washout ( 72 jam)
- steroid sistemik 2 minggu
3. Periksa tekanan darah sebelum tes alergi untuk membandingkan jika sewaktu-waktu
terjadi reaksi sistemik
4. Pastikan tidak mengalami serangan alergi berat 24 jam sebelumnya ( asma bronkhial ).
5. Sediakan semprit 1 cc dan epineprin ampul
6. Jelaskan kemungkinan timbul tanda dan gejala reaski alergi sistemik dari ringan sampai
yg berat selama tes alergi
7. Tanda tangan informed consent..
8. Desinfeksi daerah lokasi tes kulit ( bag volar lengan bawah)

Prosedur tes kulit


1. Teteskan lar kontrol positif ( HISTAMIN) dan bufer fosfat atau kontrol negatif.
2. Biasakan untuk histamin sebelah radial dan bufer sisi ulnar dengan jarak minimal 2
jari.
3. Tusuk dengan jarum disposibel steril ( no 26G) / lanset sedalam lapisan epikutan, dicukit
tepat ditempat tetesan , jangan sampai berdarah. Reaksi ditunggu selama 5-10 menit.
Jika sudah terbentuk bentol merah minimal diameter 3 mm pada tempat histamin dan
tidak terbentuk pada bufer atau maksimal diameter bentol 1mm maka dilanjutkan dengan
penetesan alergen yang akan diperiksa. Biasakan selalu mulai dari proksimal sisi radial ke
distal dengan jarak kurang-lebih 1 jari, kemudian naik ke sisi ulnar. Reaksi tes kulit
dibaca 10-15 menit .
4. Penilaian hasil dibandingkan dengan reaksi histamin pada masing-masing penderita.
Positip ( +++ ) : jika bentol diameternya minimal 3 mm atau sama dengan reaksi
histamin
Positip (++) : lebih kecil dari histamin
Positip (+) : diameter bentol kurang lebih 1 mm
Hasil tes kulit dianggap positip jika terjadi bentol pada alergen sedikitnya sama
dengan bentol dari reaksi histamin.
Jika gejala sangat mendukung tetapi tes kulit hasil lebih kecil dari histamin
atau diameter bentol < 3 mm dapat diulang atau dilanjutkan dengan tes kulit
intra kutan atau pemeriksaan penunjang lain.seperti pemeriksaan IgE dan
eosinofil sekret hidung.
5. Perhatikan selama tes kulit : kemungkinan terjadi reaksi alergi sistemik.
Gejala : pasien mendadak mengeluh lemes, mual, seperti mau pingsan, penderita
tampak pucat. Bila terdapat gejala tersebut penderita diminta segera
lapor.
Jika terdapat gejala tersebut : segera tidurkan penderita tanpa bantal, periksa tensi dan
nadi .
Bila ada gejala shock : suntikan epineprin 0.2 cc subkutan/ intramuskular.
Amati nadi, tensi dan pernapasan dalam 5 menit. Jika belum ada perbaikan dapat ulangi
epineprin setelah 10 menit diikuti pemberian steroid im, pasang infus.

Diferensial diagnosis
Penyakit yang perlu dibedakan dengan rinitis alergi adalah :
1. Rinitis infeksi ( virus , bakteri atau penyebab lain.)
2. Rinitis karena okupasi / pekerjaan
3. Drug-induced rhinitis
4. Rinitis Hormonal
5. Rinitis karena iritan
6. Rinitis vasomotor
7. Rinitis atropi
8. Rinitis idiopatik

4. Eliminasi Alergen

4.1. Yang sangat berperan pada rinitis alergi di negara tropis seperti Indonesia adalah
house dust mite (tungau debu rumah), pet dander dan alergen kecoa.

Cara menghindari :
Esensial :
- Membungkus kasur dan bantal dengan bahan khusus ( yang tidak tembus mite), tetapi
mahal sehingga tidak dapat diterapkan pada semua kasus.
- Mencuci alas tidur, sarung bantal dan selimut seminggu sekali, bila mungkin dengan air panas
(> 55oC). Hasil yang sama mungkin dapat dicapai dengan menjemur cucian dibawah sinar
matahari langsung.
Optimal :
a. Menggunakan lantai rumah dengan bahan yang dapat dibersihkan seperti :
- dari keramik, bahan plastik, dari kayu
b. Sedikit mungkin menggunakan furniture dari kain/ kain berbulu
c. Menggunakan penghisap debu integral dg filter HEPA dan kantong yang
bahannya tebal
d.Gunakan korden yang dapat dicuci
e. Mainan dari kain/ berbulu yang dapat dicuci.

4.2. Binatang piaraan ( kucing dan anjing)

Anjing dan kucing merupakan masalah alergi di beberapa daerah/ keluarga.Yang bersifat
alergenik tidak hanya dander nya saja, tetapi juga saliva, sekresi sebasea yang membentuk
partikel di udara dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu usaha pencegahan sulit. Cara
yang paling sederhana tetapi kadang sangat sulit yaitu dengan tidak memelihara binatang tersebut
dan bila pernah, membersihkan karpet, kasur dan kursi dengan penghisap debu berulang-ulang.
Pada dasarnya menghindari alergen tampaknya efektif , hanya saja penderita seringkali
penderita sensitif terhadap beberapa allergen, sukaar dicaapai hasil yang maksimal.
Bagaimanapun sulitnya, karena pada penderita alergi paparan alergen akan memicu timbulnya
gejala, maka penjelasan dengan edukasi tentang alergen apa yang harus dihindari dan bagaimana
menghindarinya harus dijelaskan kepada penderita rinitis alergi.

5. Farmakoterapi
Penyakit alergi disebabkan oleh mediator kimia yang dilepaskan oleh sel mast yang
dipicu oleh adanya ikatan alergen dengan IgE spesifik yang melekat pada reseptornya di
permukaan sel tersebut. Histamin merupakan mediator yang berperan besar pada timbulnya
gejala rinitis alergi pada reaksi fase cepat, sedangkan mediator lain yang tergolong newly formed
mediator dan mediator dari sel eosinofil berperan pada reaksi fase lambat yang menyebabkan
inflamasi dan hiperreaktifitas non spesifik yang dapat menetap berhari-hari.
Tujuan pengobatan rinitis alergi adalah :
1. Mengurangi gejala akibat paparan alergen, hiperreaktifitas nonspesifik dan inflamasi.
2. Perbaikan kualitas hidup penderita sehingga dapat menjalankan aktifitas sehari-hari.
3. Mengurangi efek samping pengobatan
4. Edukasi penderita untuk meningkatkan ketaatan berobat dan kewaspadaan terhadap
penyakitnya
5. Merubah jalannya penyakit/ pengobatan kausal
6.
Untuk mencapai tujuan pengobatan rinitis alergi, dapat ditempuh langkah-langkah berikut :

5.1. Antihistamin
Histamin (H1) merupakan mediator utama penyebab timbulnya gejala rinitis alergi, oleh
karena itu sampai saat ini antihistamin merupakan pilihan pertama untuk pengobatan rinitis
alergi. Antihistamin bekerja dengan cara menghambat efek mediator histamin pada tingkat
reseptor histamin. Obat ini sangat efektif untuk mengurangi gejala rinitis (hidung gatal, bersin
dan rinore), meskipun kurang efektif untuk gejala hidung tersumbat.
Sekarang didapatkan banyak macam antihistamin, tetapi secara garis besar dibedakan atas
antihistamin H1 klasik dan antihistamin H1 generasi baru.
Antihistamin klasik yang disebut juga antihistamin generasi I pemakaiannya terbatas
karena bersifat sedatif.
Contoh : Diphenhydramin, Prometazin, Tripolidin, Chlorpheniramine, Incidal, Avil,
Polaramine, Tavegyl, Incitin
Selain mempunyai efek antihistamin, anti-H1 klasik juga mempunyai efek antikholinergik,
dapat menyebabkan gangguan pada jantung dan tidak selektif pada reseptor histamin H1 perifer
karena dapat menembus sawar darah otak sehingga bersifat sedatif. Diantara antihistamin klasik
tersebut, chlorpheniramine mempunyai sifat sedatif yang paling ringan.
Antihistamin generasi baru yang disebut juga long acting antihistamine karena
bekerja lama ( 24 jam) dan tidak menembus sawar darah otak sehingga tidak bersifat sedatif.
Antihistamin generasi baru dapat digolongkan menjadi dua generasi yaitu antihistamin generasi II
dan generasi III. Antihistamin generasi II merupakan antihistamin dengan selektifitas terhadap
reseptor H1 yang lebih baik dibandingkan generasi I, dan bersifat non sedasi bila diberikan sesuai
dosis rekomendasi. Namun seringkali dibutuhkan dosis yang lebih besar daripada dosis yang
direkomendasikan, sehingga efek sedasinya menjadi meningkat pula. Antihistamin generasi II
dimetabolisme di hati oleh enzim sitokrom P450 subtipe3A4 yang juga dipakai untuk
metabolisme obat lain seperti golongan azol (ketoconazole) dan golongan makrolida. Oleh karena
itu pemakaian antihistamin generasi II bersamaan dengan obat-obatan tersebut harus dihindari.
Pemakaian beberapa antihistamin generasi II ternyata dapat menyebabkan gangguan jantung
akibat blokade pada potassium channel jantung sehingga memperpanjang interval QT yang dapat
menimbulkan torsades de point yang berakibat kematian.
Contoh antihistamin generasi II :
Terfenadine, Astemizole, Oxatomide, Loratadin, Fexofenadin dan cetirizin.
Antihistamin generasi III merupakan metabolit aktif dari antihistamin generasi II dan
mempunyai selektifitas yang sangat tinggi terhadap reseptor H1 sehingga mempunyai sifat non
sedatif sejati (non dose dependent) dan tidak memiliki sifat antikolinergik. Karena merupakan
metabolit aktif, antihistamin generasi III tidak dimetabolisme di hati sehingga kemungkinan
interaksi obat kecil sehingga relatif lebih aman untuk digunakan pada penderita penyakit hati,
ginjal serta pasien usia lanjut. Saat ini antihistamin generasi III yang tersedia dipasaran adalah :
Fexofenadine
Desloratadine.
Selain karakteristik non sedatif dan mempunyai efek anti H1 spesifik, antihistamin baru
dilaporkan mempunyai efek anti alergi yang lebih luas karena :
- dapat mengurangi penglepasan PGD2 dan kinin ( fexofenadine, loratadin, terfenadin)
- menekan kemotaksis eosinofil ( fexofenadine , cetirizine )
- mengurangi ekspresi ICAM-1 ( fexofenadine, terfenadin, loratadin , cetirizine)
- menekan penglepasan berbagai macam sitokin (IL-4, IL-5, IL-1) dan leukotrien
(fexofenadine)
Pada dasarnya antihistamin mempunyai efektifitas yang sama, meskipun terdapat variasi
individual antar penderita. Karenanya ada kemungkinan bahwa suatu antihistamin mungkin
kurang responsif pada seseorang, sementara antihistamin lain mungkin lebih responsif. Demikian
pula efek sedasi suatu antihistamin. Terdapat variasi individual terhadap efek sedasi antihistamin
baik yang golongan sedasi maupun non sedasi.

Keamanan antihistamin:
1. Salah satu keterbatasan antihistamin klasik/ generasi pertama adalah adanya efek sedasi,
sehingga tidak dianjurkan bagi penderita yang memerlukan konsentrasi tinggi dalam aktifitas
sehari-harinya.. Efek antikolinergik juga harus diwaspadai karena pada beberapa kasus
pemakaian yang lama dapat mengganggu aktifitas saluran kencing dan dapat mengganggu
penglihatan serta gangguan jantung.
2. Hampir semua antihistamin di metabolisme di hati kecuali yang merupakan bentuk metabolit
aktif ( fexofenadine & cetirizine ). Oleh karena itu pemakaiannya harus diperhatikan pada
penderita yang mempunyai kelemahan fungsi hati. Hal lain yang harus diperhatikan adalah
ekskresi antihistamin generasi II sebagian besar melalui ginjal (urine) sehingga pemakaiannya
harus hati-hati pada penderita kerusakan ginjal. Pemilihan antihistamin untuk penderita
penyakit ginjal sebaiknya mengutamakan antihistamin yang sebagian besar ekskresinya
melalui faeces (mis : Fexofenadine).
3. Belakangan ini dilaporkan adanya efek antihistamin klasik dan generasi II ke jantung karena
dapat menyebabkan perpanjangan interval QT yang dapat berakibat terjadinya takhikardi
ventrikuler. Efek ini dose dependent terutama jika diberikan bersamaan dengan obat
makrolide dan golongan ketokonazole. Perpanjangan interval QT dihubungkan dengan
kejadian torsades de pointes. Contoh antihistamin generasi II tersebut adalah terfenadin
dan astemizol, sehingga pemakaiannya harus sangat hati-hati terutama bila ada kecurigaan
kelainan jantung atau diperlukan obat makrolide dan golongan ketokonazol pada penderita
tsb pada saat yang bersamaan. Di beberapa negara obat tersebut sudah ditarik dari peredaran
Dewasa ini dipasarkan pula antihistamin pemakaian topikal sebagai obat semprot hidung
yaitu azelastin dan levocobastin. Obat ini bekerja sangat efektif dan bekerjanya sangat
spesifik pada reseptor H1 perifer. Pemakaian topikal memungkinkan konsentrasi obat yang
lebih tinggi di target organ sementara efek samping sistemik minimal.
Antihistamin klasik mungkin mempunyai efektifitas klinik yang setara dibanding
antihistamin yang baru, tetapi antihistamin generasi baru, khususnya generasi II dan III harus
dipertimbangkan sebagai pilihan pertama untuk pengobatan rinitis alergi, kecuali jika
antihistamin baru sukar/ tidak dapat diperoleh atau tidak terjangkau oleh penderita. Bila
terpaksa menggunakan antihistamin klasik dan generasi II maka penderita harus diberi
penjelasan yang cukup tentang efek samping obat tersebut.
Antihistamin H1 topikal harus diberikan 2 4 kali sehari untuk mendapatkan
efektifitas yang cukup dan pemakaiannya dianjurkan untuk kasus-kasus yang ringan.

Tabel Antihistamin Baru


Nama Dosis Lama Kerja Metabolisme di hati Efek ke jantung

Cetirizine 10mg OD 24 jam tidak tidak


Fexofenadin 120mg OD 24 jam tidak tidak
Loratadin 10mg OD 24 jam ya tidak
Terfenadin 120mg OD 24 jam ya bila diberikan
60 mg BID bersama dengan
makrolide & ketokonazole
Astemizol 10mg OD beberapa hari ya --

5.2.Dekongestan hidung

Obat-obat dekongestan hidung menyebabkan vasokonstriksi karena efeknya pada reseptor


alfa-adrenergik. Ada beberapa sediaan yang dipakai dalam klinik yang dapat dipakai secara oral
maupun topikal:
- agonis alfa-1 adrenergik ( phenyleprin )
- agonis alfa2 adrenergik ( efedrin, pseudoefedrin, amfetamin)
- obat-obat mencegah re-uptake nor-adrenalin ( cocain, phenylpropanolamin )
Pemakaian topikal sangat efektif untuk menghilangkan sumbatan hidung, tetapi tidak
efektif untuk keluhan bersin & rinore. Efek vasokonstriksi terjadi dalam 10 menit, berlangsung
kurang lebih 1 jam untuk epineprin dan 8-12 jam untuk oxymetazolin.
Pemakaian oral seperti : ephedrin, phenyleprin, phenylpropanol amin dan
pseudoephedrin.
Efek dekongestan mulai terjadi dalam 30 menit, berlangsung sampai 6 jam atau 8-24 jam yang
berbentuk sustained release. Efektifitasnya lebih lemah dibanding pemakaian topikal, tetapi
pemakaian lama tidak menyebabkan efek rebound vasodilatasi.

Keamanan :
Pemakaian vasokonstriktor topikal dapat menimbulkan rasa hidung terbakar, kering atau
ulserasi mukosa dan bahkan perforasi septum. Pemakaian lebih dari 10 hari dapat menyebabkan
takhyphilaksis, pembengkakan mukosa dan mengakibatkan drug induce rhinitis ( rinitis medika
mentosa ).
Pemakaian sistemik ( dose dependent ) dapat menimbulkan efek samping :
- iritabel, pusing, sakit kepala, tremor dan insomnia.
- takhikardi dapat terjadi pada wanita hamil, hipertensi dan
- kadang-kadang halusinasi.
Pemakaian harus ekstra hati-hati pada :
- penyakit kardiovaskuler ( hipertensi, miokard infark)
- gloucoma, hipertrofi prostat dan ibu hamil
- Karena resiko terjadinya rinitis medikamentosa, pemakaian topikal terbatas < 10 hari
- Pemakaian topikal harus untuk mengatasi obstruksi hidung yang hebat bersamaan dengan obat
lain.
- Pemakaian pada anak-anak < 1th harus sangat hati-hati karena batas yang sempit antara dosis
terapi dan dosis toksik
- Secara umum tidak dianjurkan memberikan resep pada penderita :
- Penderita umur > 60 th, Wanita hamil, Hipertensi, Hipertrofi prostat
- Gloucoma , Kelainan jiwa dan pemakai beta blokers

5.2. Kombinasi antihistamin dan dekongestan oral

Kombinasi kedua obat ini dimaksud untuk mengatasi obstruksi hidung yang tidak
dipengaruhi oleh antihistamin.
Tetapi harus diingat bahwa :
- Farmakokinetik kedua obat ini tidak sama dan biasanya diberikan BID.
- Sedikit trial klinik yang menunjukan kelebihannya dibanding dengan pemakaian antihistamin
saja.
- Kombinasi antihistamin sedatif dengan dekongestan oral, efek sedasinya tidak berkurang
karena stimulasi vasokonstriktor.

5. 3. Glukokortikosteroid
Pemberian sistemik
Pemakaian sistemik kadang diberikan peroral atau suntikan sebagai depo steroid
intramuskuler. Data ilmiah yang mendukung cara ini relatif sedikit dan tidak ada penelitian
komparatif mengenai cara mana yang lebih baik dan hubungannya dengan dose response.

Efektifitas dan keamanan :


Glukokortikoid sistemik mempunyai kerja anti-inflamasi yang luas dan efektif untuk
hampir semua gejala rinitis, terutama sumbatan hidung dan tidak dapat membau. Tidak ada
laporan keamanan untuk pemberian depo glukokortikoid ulangan. Pemberian oral lebih dipilih
karena lebih murah, dan dosisnya lebih dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Pemberian depo
akan mengakibatkan penglepasan yang terus menerus sepanjang hari dan menekan HPA- axis dan
juga dapat berakibat atrofi jaringan lokal. Pemberian depo intranasal pada konka yang bengkak
dan polip harus dihindari, karena dapat menyebabkan efek samping yang serius (kebutaan).

Kontra indikasi :
Kontra indikasi untuk glukokortikoid sistemik adalah :
- Glaukoma, herpes keratitis, DM, instabilitas psikologis, osteporosis
- hipertensi berat, TBC atau infeksi kronik spesifik.
Sebaiknya dihindari pemakaiannya pada : Anak- anak dan wanita hamil.
Glukokortikoid topikal
Pemakaian topical glukokortikoid berhasil setelah ditemukan sediaan topikal yang
mempunyai eefek anti-inflamasi yang kuat dan mempunyai afinitas yang tinggi pada reseptornya
serta bila mencapai hati akan di-deaktifasi dengan cepat sehingga tidak mencapai sirkulasi
sistemik. Dengan demikian sediaan topikal ini tepat untuk pengobatan rinitis alergi karena dapat
dicapai konsentrasi yang tinggi pada reseptornya di mukosa hidung dengan resiko efek sistemik
yang minimal.

Beberapa sediaan glukokortikoid topikal :


- Beclometason propionat
- Budesonide
- Flunisolide
- Triamcinolone acetonide
- Fluticasone propionat
- Mometasone fuorate
Efek anti-inflamasi intranasal karena glukokortikoid pada sel dapat menekan banyak fase proses
inflamasi. Banyak sel yang berperan pada inflamasi alergi di hidung dipengaruhi, misalnya :
- APC ( sel Langhans): sangat sensitif, dipengaruhi up-take dan prosesnya.
- Jumlah sel APC berkurang secara bermakna setelah pemberian kortikosteroid topical.
- Eosinofil ( terutama intra epithelial) dan produknya juga berkurang secara bermakna.
- Influk basofil dan sel mast di lapisan epitel juga berkurang
- Beberapa sel seperti makrofag dan neutrofil tidak terpengaruh tidak mempunyai efek
samping pada respon imun dan infeksi bakteri.
- Glukokortikoid mengurangi penglepasan pembentukan mediator: histamin, prostanoids,
leukotrien yang mungkin karena berkurangnya sel dalam mukosa.

Efek samping :
Preparat glukokortikoid topikal dapat dipakai dalam waktu lama tanpa atrofi mukosa. Efek yang
dilaporkan :
- rasa kering, terbentuk krusta, epistaksis ringan ( transien), perforasi septum pernah dilaporkan,
efek menekan HPA axis, dilaporkan pada Dexametason topikal, pernah dilaporkan
menghambat pertumbuhan anak ( beclometason) , pernah dilaporkan adanya sentral retinopti,
pada wanita hamil tidak dilaporkan meningkatnya efek teratogenik pada pemakaian topikal
untuk asma.

Dari meta-analisis, pemakaian glukokortikoid lebih efektif dibanding antihistamin untuk


pengobatan rinitis alergi sedang dan berat. Meskipun demikian dalam klinik harus
dipertimbangkan :
- kesukaan penderita , ketaatan penderita , kemudahan mendapatkan obat
- keterjangkauan obat

5.4. Golongan kromolin


Yang dipakai pada rinitis alergi adalah disodium kromoglikat dan sodium nedocromil.
Efeknya adalah menstabilkan sel mast dari proses degranulasi/ pelepasan mediator. Efeknya
terhadap gejala bersin, rinore lebih baik dari pada terhadap hidung tersumbat.
- Meskipun efektif kromolin pada rinitis alergi kurang dibanding anti H1.
- Pada anak dan wanita hamil, kromolin dapat dianjurkan pemakaiannya karena sangat aman.

6. Imunoterapi
Imunoterapi spesifik adalah memberikan allergen yang sesuai dengan hasil tes kulit,
dosisnya secara bertahap dinaikan sampai dosis maksimal yang tidak menimbulkan serangan/
gejala alergi. Tujuannya supaya penderita berkurang simptomnya pada paparan alergen
penyebab. Secara klinik imunoterapi pada rinitis alergi terbukti efektif.
Terdapat beberapa cara imunoterapi : injeksi sub kutan, pernasal, sub lingual, oral dan lokal.
Injeksi sub kutan lebih banyak dipraktekan. Imunoterapi sublingual/ peroral masih banyak
diteliti dan mulai bayak dipakai. Kemungkinan terjadi efek samping anafilaksi sistemik pada
suntikan imunoterapi pada rinitis alergi lebih kecil daripada penderita asma. Meskipun demikian
resiko terjadinya reaksi anafilaksi sitemik mengakibatkan keterbatasan pengobatan ini.
Pemberian imunoterapi spesifik harus diberikan oleh spesialis yang berpengalaman atau terlatih
dan menyadari kemungkinan terjadinya efek samping sistemik dan mampu untuk mengatasinya
bila sewaaktu-waktu terjadi. Pemberian imunoterapi yang ideal dengan menggunakan cara end
point titration ( SET).
Pemberian imunoterapi cara klasik dilakukan dengan memberikan suntikan allergen dari
konsentrasi rendah, dosis rendah secara perlahan, bertahap sampai dicapai dosis maksimal/
optimal. Kerugian cara ini, mungkin makan waktu yang lebih lama untuk mencapai dosis
maintenance, atau justru mulai dengan dosis yang terlalu tinggi bagi penderita tersebut sehingga
ada resiko reaksi sistemik. Keuntungan dapat dilakukan dimana saja asal tersedia alergennya,
mengetahui tehnik dan menyadari resiko dan tahu bagaimana mengatasinya.
Imunoterapi alergen spesifik
Indikasi :
1. IT hanya diberikan kepada penderita RA yang mempunyai hasil tes kulit positip dan alergen
yang positip secara klinis ada hubungannya dengan timbulnya gejala RA.
2. IT diberikan pada penderita RA persisten sedang sampai berat yang tidak puas/ berhasil
dengan pengobatan medika mentosa.
3. IT diberikan pada penderita yang bersedia berobat dengan teratur dan waktu lama.
4. Penderita yang setuju dengan IT ( informed consent).

Prosedur Pemberian IT.


1. Metoda suntikan (sub kutan)
2. Dosis dinaikan bertahap setiap minggu / 2X seminggu yang tiap kali naik 0,1cc, sampai dosis
maksimal bisa diterima (1 cc), atau dosis maksimal yang dapat diterima
3. Extrak yang dipilih sesuai hasil tes kulit ( yang hasil baik terhadap mite/ house dust mite).
4. Jika sudah tercapai dosis optimum/ maksimum dilajutkan dengan dosis maintenance 1
minggu sekali sampai gejala klinis membaik dan stabil atau 10 X. Dilanjutakan dengan
2minggu sekali . Jika tetap stabil sampai 5X dilanjutkan dengan 1 bulan sekali sampai total
waktu pengobatan 2- 3 tahun .
5. Perhatikan waktu suntikan : kemungkinan terjadi reaksi sistemik saperti waktu tes kulit.
Kemungkinan lebih besar terutama saat menaikan dosis. Jika terjadi reaksi diatasi seperti
pada tes kulit. Jika terjadi reaksi sistemik maka dosis suntikan selanjutnya diturunkan dan
ditetapkan sebagai dosis maksimal.
6. Reaksi sistemik yang paling sering terjadi antara 10-20 menit setelah suntik sehingga
penderita tidak diperkenankan langsun g pulang setelah IT.
7. Selama IT diperbolehkan memberikan obat simptomatik jika perlu. Yang perlu dihindari
adalah steroid sistyemik yang lama (lebih dari 1 minggu).

Imunoterapi hanya boleh dilakukan jika :


1. Jelas disebabkan oleh adanya IgE ( tes kulit atau IgE spesifik)
2. Bila jelas ada hubungan klinis antara hasil tes kulit dan timbulnya gejala
3. Oleh/ atas tanggungjawab dokter karena adanya resiko reaksi anafilaksi.
4. Berat dan lamanya keluhan ( ukuran obyektif seperti gangguan sekolah/ kerja) perhatikan
fungsi paru: penderita asma berat tidak dianjurkan. Untuk pend asaa harus ada monitoring
fungsi paru.
5. Bila respon terhadap pengobatan lain ( farmakoterapi) tidak memuaskan pend.
6. Tersedia vaksin/allergen yang terstandarisasi dan berkualitas.
7. Kontraindikasi relatif : menggunakan beta bloker, terdapat penyakit imunologis,
penderita yang tidak dapat taat berobat
8. Faktor sosial : beaya, pekerjaan penderita
ALGORITMA
Pilek tidak sembuh-sembuh 4 minggu / lebih.
Hidung gatal, bersin-bersin, ingus encer, hidung tersumbat (bergantian/ hilang ti
Riwayat penyakit alergi di bagian tubuh lain, Riwayat alergi keluarga (+)

Rhinoskopi anterior* dan Naso-endoskopi**


Mukosa hidung pucat, sekret cair/tidak ada sekret
Udem / hipertrof
Ya Tidak Rhinitis lain,
Periksa eosinofl sekret hidung */** Sinusitis? Polip?
Bila negatif dan ada gejala, diulang sp.3 x Kelainan anatomi?

Negatif
Positif

Tes alergi/tes kulit */**/***


Positif Negatif Test intrakutan **/***

RHINITIS ALERGI Positif Negatif


Ada ko-morbid? NARES

Tidak Kontrol Ko-morbid terkon


Ya
RHINITIS ALERGI Comorbid terkontrol
Tanpa comorbid

INTERMITTENT PERSISTENT

Ringan Sedang-Berat Ringan Sedang-Berat

Edukasi + avoidance* Edukasi+avoidance* Edukasi+avoidance*


Antihistamin oral/antihistamin + dekongest oral
Antihistamin oral*/AH + dekongestan* Steroid
oral topical*
Steroid topical*

Tidak terkontrol
t Tidak terkontrol Tidak terkontrol
Steroid topikal*/** t t

Tidak terkontrol IMUNOTERAPI SPESIFIK*/**/***


t Dengan/tanpa farmakoterapi

Tidak terkontrol
Keterangan:
* RS.Kabupaten EVALUASI tULANG
** RS Provinsi/ **/***
Dikutip dari Guideline Penyakit RS
THTPendidikan Sp.THT
di Indonesia, PIT Perhati-KL,2001 dan dimodifikasi lay-outnya tanpa mengubah substan
atau bila tersedia di apotik
*** RS rujukan Nasional
Pilek tidak sembuh-sembuh 4 minggu / lebih.
Hidung gatal, bersin-bersin, ingus encer, hidung tersumbat (bergantian/ hilang ti
Riwayat penyakit alergi di bagian tubuh lain, Riwayat alergi keluarga (+)

Rhinoskopi anterior* dan Naso-endoskopi**


Mukosa hidung pucat, sekret cair/tidak ada sekret
Udem / hipertrof
Ya Tidak Rhinitis lain,
Periksa eosinofl sekret hidung */** Sinusitis? Polip?
Bila negatif dan ada gejala, diulang sp.3 x Kelainan anatomi?

Negatif
Positif

Tes alergi/tes kulit */**/***


Positif Negatif Test intrakutan **/***

RHINITIS ALERGI Positif Negatif


Ada ko-morbid? NARES

Tidak Kontrol Ko-morbid terkon


Ya
RHINITIS ALERGI Comorbid terkontrol
Tanpa comorbid

INTERMITTENT PERSISTENT

Ringan Sedang-Berat Ringan Sedang-Berat

Edukasi + avoidance* Edukasi+avoidance* Edukasi+avoidance*


Antihistamin oral/antihistamin + dekongest
Antihistamin oral + dekongestan* Steroid
oral*/AH oral topical*
Steroid topical*

Tidak terkontrol
t Tidak terkontrol Tidak terkontrol
Steroid topikal*/** t t

Tidak terkontrol IMUNOTERAPI SPESIFIK*/**/***


t Dengan/tanpa farmakoterapi

Tidak terkontrol
Keterangan:
* RS.Kabupaten EVALUASI tULANG
** RS Provinsi/ **/***
Dikutip dari Guideline Penyakit RS
THTPendidikan Sp.THT
di Indonesia, PIT Perhati-KL,2001 dan dimodifikasi lay-outnya tanpa mengubah substan
atau bila tersedia di apotik
*** RS rujukan Nasional

KEPUSTAKAAN MATERI BAKU

1. John H Krause, Stephen J Chadwick, Bruce R Gordon, M Jennifer Derebery . Allergy and
Immunology An Otolaringic approach, Lippincott Williams & Wilkins A Walters Kluwer Co,
Philadelphia. Baltimore. New York. London 2002 part I, II, III and V.
2. Byron J Bailey . Head and Neck Surgery Otolaryngology , Lippicontt Williams & Wilkins
A Wolter Kluwer Co. Philadhelpia 2001 p 274-290.
3. Niels Mygind . NASAL ALLERGY Blackwell Scientific Publications,Second edition 1978.
4. Couwenberge P, Bachert C, Passalacqua G, Bousquet J, Canonica GW, Durham SR, at al.
Position paper : Consensus statement on the treatment of allergic rhinitis Allergy 2000 ; 55:
116-134.
5. Bosquet J, van Cauwenberge P, Khaltaev N. Allergic rhinitis and its impact on asthma J
Allergy Clin Immunol 2001; 108 : S 147-334.
6. Baraniuk JN. Pathogenesis of Allergic rhinitis J Allergy Clin Immunol 1997; 99: S763-72.
7. Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Celluler and Moleculer Immunology Philadelphia: WB
Saunders Co; 1991.
8. Lund VJ. Definition and classification of Rhinitis Allergy 1994; Suppl 19 : 5- 34.
9. Nalbone VP, Naclerio RM. Allergy and Immunology In Bailey BJ, Pillsbury III HC, Driscoll
BP, editors, Head and Neck Surgery Otolaryngology. Second edit Philadelphia : Lippincot-
Raven 1998: 101-116.

Anda mungkin juga menyukai