RINITIS
RINITIS
Pendahuluan
Rinitis non alergi digunakan untuk semua penyakit hidung dengan gambaran obstruksi,
hipersekresi dan hiperiritabel yang tidak mempunyai etiologi alergi dan bersifat kronik. Rinitis
non alergi dapat bersifat intermiten maupun persisten. Rinitis alergi terdapat berbagai macam
yang masing-masing mempunyai gejala tertentu, penyebab dan pengobatan tertentu pula. Secara
klinis gejala yang di timbulkan hampir mirip dengan rinitis alergi. Cara terbaik untuk mengetahui
perbedaan antara rinitis alergi dan rinitis non alergi adalah dengan tes spesifik alergi. Bisa dengan
tes kulit atau pemeriksaan kadar antibodi spesifik IgE.
1. Rinitis hormonal
Penyebabnya meliputi hypotiroidi (myxedema), naiknya hormon esterogen pada kehamilan,
pemakaian kontrasepsi oral dan siklus menstruasi. Kadar esterogen yang tinggi menghambat
aktifitas acetyl cholinesterase dan memacu produksi acetyl cholin pd ganglion parasympatis,
mengakibatkan edema, hypersekresi dan pembengkakan vaskuler mukosa hidung. Rinitis
pregnancy terdapat pada 20% kehamilan yang sering mulai timbul pada trimester ke II
kehamilan. Tanda khasnya berupa konka edem, dan pucat. Harus dibedakan dengan RA dan
hipotyroidi dengan cara mencari gejala hipotiroidi yang lain dan riwayat alergi yang lain dan tes
alergi.
6. Rinitis Gustatory
Menelan makanan dapat menyebabkan rinitis. Ada beberapa penyebab yang dapat
diketahui untuk rekasi tersebut. Makanan dapat menyebabkan reaksi alergi, tetapi ini jarang.
Minuman beralkohol dapat menyebabkan rinitis mungkin karena efek langsung delatasi
pembuluh darah hidung. Makanan yang pedas dapat mengakibatkan rinore profus melalui
mekanisme vagal.
7. Rinitis Atropi
Rinitis atropi atau rinitis sicca ditandai adanya atropi mukosa septum, konka, dind lateral
rongga hidung. Rinitis atropi dapat dibedakan atas primer dan sekunder. Rinitis atropi dg
ozaena ditandai adanya krusta yg tebal berbau. Yang tanpa ozaena akan tampak mukosa atropi
dfan kering.
Rinitis atropi sering mengeluh hidung tersumbat yang dapat disebabkan oleh adanya kruista.
Jika tak ada krusta rasa tersumbat disebabakan oleh berkurangnya sensasi aliran udara atau
memang terjadi aliran udara yang lambat karena adanya turbulensi. Rinitis atropi sering
menyebabakn sinusitis dan sakit kepala sehingga diagnosisnya membingungkan.
B. Rinitis Alergi
Pendahuluan
Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang banyak dijumpai, tetapi karena tidak
bersifat fatal maka sementara ini belum mendapat perhatian yang serius baik dari penderita
maupun petugas kesehatan. Data epidemiologik secara nasional belum didapatkan di Indonesia.
Angka yang ada biasanya di dasarkan pada kejadian di Rumah sakit atau dari survey yang tidak
cukup menggambarkan kejadian di seluruh masyarakat. Pedoman ini penatalaksanaan RA
sebagian besar didasarkan pada konsep dokumen ARIA ( Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma) yang disusun berdasarkan atas inisiatif kelompok kerja WHO. Konsep semacam
guidelines untuk penatalaksanaan rinitis alergi ini disesuaikan dengan kemungkinan fasilitas yang
ada di berbagai RS di Indonesia.
Untuk penatalaksanaan rinitis alergi ( RA) secara garis besar dibuat tahapan sebagai berikut :
1. Definisi
2. Klasifikasi
3. Diagnosis & identifikasi alergen
4. Eliminasi alergen
5. Farmakoterapi
6. Imunoterapi
1. Definisi
Rinitis alergi : kelainan hidung yang disebabkan oleh proses inflamasi mukosa hidung
yang dimediasi oleh hipersensitifitas / alergi tipe I, dengan gejala karakteristik berupa hidung
gatal, bersin-bersin, rinore dan hidung tersumbat yang bersifat reversibel secara spontan maupun
dengan pengobatan.
2. Klasifikasi
Klasifiksi rinitis alergi yang didasarkan atas waktu paparan dan jenis alergen menjadi RA
musiman/ seasonal dan RA sepanjang tahun/ perennial sekarang dianggap tidak memuaskan. Hal
ini didasarkan atas beberapa pertimbangan sebagai berikut :
- ada beberapa daerah dimana pollen dan mould terdapat sepanjang tahun
- simptom RA perenial tidak terjadi sepanjang tahun
- kebanyakan penderita tersensitisasi terhadap banyak alergen yang berbeda, oleh karena itu
simptomnya dapat terjadi sepanjang tahun.
- pada sebagian kasus rinitis perenial mengalami eksaserbasi ketika terpapar pollen
- banyak penderita alergi terhadap pollen juga alergi terhadap mite
- karena efek priming pada mukosa hidung oleh pollen konsentrasi rendah dan inflamasi
minimal persisten pada penderita rinitis, simptom tidak secara strick berhubungan dengan
musim
Oleh karena itu pembagian RA selain berdasarkan atas seasonal dan perennial diusulkan suatu
perubahan dalam klasifikasi RA seperti termuat dalam dokumen ARIA yang tampaknya memang
lebih praktis dan mudah sbb.:
3.1. Anamnesis
Anamnesis dimulai dengan riwayat penyakit secara umum dan dilanjutkan dengan
pertanyaan yang lebih spesifik meliputi gejala di hidung termasuk keterangan mengenai tempat
tinggal / kerja dan pekerjaan penderita.
Gejala-gejala rinitis alergi yang perlu ditanyakan adalah :
- Bersin-bersin (lebih dari 5 kali setiap kali serangan), Rinore (ingus bening encer)
- Hidung tersumbat (menetap/ berganti-ganti), Gatal di hidung, tenggorok, langit-langit atau
telinga.
- Kadangf disertai : Mata gatal, berair atau kemerahan, Hiposmia / anosmia, Post nasal drip atau
batuk kronik
Frekuensi serangan, beratnya penyakit, lama sakit, intermiten atau persisten.
- Pengaruh terhadap kualitas hidup seperti adakah gangguan terhadap pekerjaan, sekolah, tidur
dan aktifitas sehari-hari.
Manifestasi penyakit alergi lain sebelum atau bersamaan dengan rinitis
asma bronkhial, dermatitis atopik, urtikaria, alergi makanan
Riwayat atopi di keluarga
Apakah ada anggota keluarga, dari ayah atau dari ibu yang pernah menderita salah satu
penyakit alergi tersebut diatas.
Faktor pemicu timbulnya gejala rinitis alergi
Lingkungan di rumah, tempat kerja, sekolah, apakah ada hubungan antara kegemaran
atau hobi penderita yang dapat memprovokasi timbulnya gejala.
Penderita rinitis alergi dapat berkembang menjadi keadaan hiperreaktifitas hidung
terhadap iritan non spesifik seperti asap rokok, bau merangsang, udara dingin, polutan,
bau parfum, bau deodoran dsb.
Riwayat pengobatan dan hasilnya
Efektifitas obat yang dipergunakan sebelumnya dan macam pengobatan yang sudah
Diterimanya dan Compliance/ kepatuhan berobat
3. 2. Pemeriksaan Fisik
- Rinoskopi anterior menggunakan cahaya yang cukup dan spekulum hidung
Perhatikan adanya pembengkakan / edem dari konka inferior / media yang diliputi sekret
encer bening, mukosa pucat dan edem. Keadaan anatomi hidung lainnya seperti septum nasi.
Perhatikan pula kemungkinan adanya polip nasi.
- Nasoendoskopi (bila fasilitas tersedia)
Adakah gambaran konka bulosa atau polip nasi kecil di meatus medius dan keadaan kompleks
ostiomeatal.
3. 3. Pemeriksaan Penunjang
Pertimbangkan keadaan / kondisi di seluruh R.S
- Uji kulit (Uji tusuk / Prick test ) paling sesuai karena mudah dilakukan, dapat ditoleransi oleh
sebagian penderita termasuk anak.anak. Mempunyai sensitifitas dan spesifisitas tinggi
terhadap hasil pemeriksaan IgE spesifik.
- Intradermal skin test / Skin End Point Titration Test (bila tersedia)
- IgE serum total (kurang bermanfaat), nilai normal dewasa 100 150 IU/ml
- IgE serum spesifik ( mahal )
- Pemeriksaan sitologis / histologis, bila diperlukan untuk :
a. Menentukan antara alergi / non alergi dan rinitis akibat infeksi
b. Menindak lanjuti respons terhadap terapi
c. Melihat perubahan morfologik dari mukosa hidung
Pemeriksaan ini lebih sering dilakukan untuk keperluan penelitian karena memerlukan
ketrampilan laboratorium.
- Test provokasi hidung/ nasal challenge test (bila tersedia), dilakukan bila ada keraguan dan
kesulitan dalam mendiagnosis rinitis alergi, dimana riwayat rinitis alergi positif, tetapi hasil
tes alergi selalu negatif.
Pemeriksaan ini bermanfaat untuk hal-hal sebagai berikut :
- Untuk mendiagnosis rinitis okupasional
- Untuk penelitian.
- Foto polos sinus paranasal : bila ada indikasi keterlibatan sinus paranasal
- CT Scan / MRI sinus paranasal : atas indikasi, dilakukan bila :
a. Untuk menentukan adakah komplikasi seperti sinusitis
b. Tidak ada respons terhadap terapi
c. Direncanakan tindakan operatif
Diferensial diagnosis
Penyakit yang perlu dibedakan dengan rinitis alergi adalah :
1. Rinitis infeksi ( virus , bakteri atau penyebab lain.)
2. Rinitis karena okupasi / pekerjaan
3. Drug-induced rhinitis
4. Rinitis Hormonal
5. Rinitis karena iritan
6. Rinitis vasomotor
7. Rinitis atropi
8. Rinitis idiopatik
4. Eliminasi Alergen
4.1. Yang sangat berperan pada rinitis alergi di negara tropis seperti Indonesia adalah
house dust mite (tungau debu rumah), pet dander dan alergen kecoa.
Cara menghindari :
Esensial :
- Membungkus kasur dan bantal dengan bahan khusus ( yang tidak tembus mite), tetapi
mahal sehingga tidak dapat diterapkan pada semua kasus.
- Mencuci alas tidur, sarung bantal dan selimut seminggu sekali, bila mungkin dengan air panas
(> 55oC). Hasil yang sama mungkin dapat dicapai dengan menjemur cucian dibawah sinar
matahari langsung.
Optimal :
a. Menggunakan lantai rumah dengan bahan yang dapat dibersihkan seperti :
- dari keramik, bahan plastik, dari kayu
b. Sedikit mungkin menggunakan furniture dari kain/ kain berbulu
c. Menggunakan penghisap debu integral dg filter HEPA dan kantong yang
bahannya tebal
d.Gunakan korden yang dapat dicuci
e. Mainan dari kain/ berbulu yang dapat dicuci.
Anjing dan kucing merupakan masalah alergi di beberapa daerah/ keluarga.Yang bersifat
alergenik tidak hanya dander nya saja, tetapi juga saliva, sekresi sebasea yang membentuk
partikel di udara dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu usaha pencegahan sulit. Cara
yang paling sederhana tetapi kadang sangat sulit yaitu dengan tidak memelihara binatang tersebut
dan bila pernah, membersihkan karpet, kasur dan kursi dengan penghisap debu berulang-ulang.
Pada dasarnya menghindari alergen tampaknya efektif , hanya saja penderita seringkali
penderita sensitif terhadap beberapa allergen, sukaar dicaapai hasil yang maksimal.
Bagaimanapun sulitnya, karena pada penderita alergi paparan alergen akan memicu timbulnya
gejala, maka penjelasan dengan edukasi tentang alergen apa yang harus dihindari dan bagaimana
menghindarinya harus dijelaskan kepada penderita rinitis alergi.
5. Farmakoterapi
Penyakit alergi disebabkan oleh mediator kimia yang dilepaskan oleh sel mast yang
dipicu oleh adanya ikatan alergen dengan IgE spesifik yang melekat pada reseptornya di
permukaan sel tersebut. Histamin merupakan mediator yang berperan besar pada timbulnya
gejala rinitis alergi pada reaksi fase cepat, sedangkan mediator lain yang tergolong newly formed
mediator dan mediator dari sel eosinofil berperan pada reaksi fase lambat yang menyebabkan
inflamasi dan hiperreaktifitas non spesifik yang dapat menetap berhari-hari.
Tujuan pengobatan rinitis alergi adalah :
1. Mengurangi gejala akibat paparan alergen, hiperreaktifitas nonspesifik dan inflamasi.
2. Perbaikan kualitas hidup penderita sehingga dapat menjalankan aktifitas sehari-hari.
3. Mengurangi efek samping pengobatan
4. Edukasi penderita untuk meningkatkan ketaatan berobat dan kewaspadaan terhadap
penyakitnya
5. Merubah jalannya penyakit/ pengobatan kausal
6.
Untuk mencapai tujuan pengobatan rinitis alergi, dapat ditempuh langkah-langkah berikut :
5.1. Antihistamin
Histamin (H1) merupakan mediator utama penyebab timbulnya gejala rinitis alergi, oleh
karena itu sampai saat ini antihistamin merupakan pilihan pertama untuk pengobatan rinitis
alergi. Antihistamin bekerja dengan cara menghambat efek mediator histamin pada tingkat
reseptor histamin. Obat ini sangat efektif untuk mengurangi gejala rinitis (hidung gatal, bersin
dan rinore), meskipun kurang efektif untuk gejala hidung tersumbat.
Sekarang didapatkan banyak macam antihistamin, tetapi secara garis besar dibedakan atas
antihistamin H1 klasik dan antihistamin H1 generasi baru.
Antihistamin klasik yang disebut juga antihistamin generasi I pemakaiannya terbatas
karena bersifat sedatif.
Contoh : Diphenhydramin, Prometazin, Tripolidin, Chlorpheniramine, Incidal, Avil,
Polaramine, Tavegyl, Incitin
Selain mempunyai efek antihistamin, anti-H1 klasik juga mempunyai efek antikholinergik,
dapat menyebabkan gangguan pada jantung dan tidak selektif pada reseptor histamin H1 perifer
karena dapat menembus sawar darah otak sehingga bersifat sedatif. Diantara antihistamin klasik
tersebut, chlorpheniramine mempunyai sifat sedatif yang paling ringan.
Antihistamin generasi baru yang disebut juga long acting antihistamine karena
bekerja lama ( 24 jam) dan tidak menembus sawar darah otak sehingga tidak bersifat sedatif.
Antihistamin generasi baru dapat digolongkan menjadi dua generasi yaitu antihistamin generasi II
dan generasi III. Antihistamin generasi II merupakan antihistamin dengan selektifitas terhadap
reseptor H1 yang lebih baik dibandingkan generasi I, dan bersifat non sedasi bila diberikan sesuai
dosis rekomendasi. Namun seringkali dibutuhkan dosis yang lebih besar daripada dosis yang
direkomendasikan, sehingga efek sedasinya menjadi meningkat pula. Antihistamin generasi II
dimetabolisme di hati oleh enzim sitokrom P450 subtipe3A4 yang juga dipakai untuk
metabolisme obat lain seperti golongan azol (ketoconazole) dan golongan makrolida. Oleh karena
itu pemakaian antihistamin generasi II bersamaan dengan obat-obatan tersebut harus dihindari.
Pemakaian beberapa antihistamin generasi II ternyata dapat menyebabkan gangguan jantung
akibat blokade pada potassium channel jantung sehingga memperpanjang interval QT yang dapat
menimbulkan torsades de point yang berakibat kematian.
Contoh antihistamin generasi II :
Terfenadine, Astemizole, Oxatomide, Loratadin, Fexofenadin dan cetirizin.
Antihistamin generasi III merupakan metabolit aktif dari antihistamin generasi II dan
mempunyai selektifitas yang sangat tinggi terhadap reseptor H1 sehingga mempunyai sifat non
sedatif sejati (non dose dependent) dan tidak memiliki sifat antikolinergik. Karena merupakan
metabolit aktif, antihistamin generasi III tidak dimetabolisme di hati sehingga kemungkinan
interaksi obat kecil sehingga relatif lebih aman untuk digunakan pada penderita penyakit hati,
ginjal serta pasien usia lanjut. Saat ini antihistamin generasi III yang tersedia dipasaran adalah :
Fexofenadine
Desloratadine.
Selain karakteristik non sedatif dan mempunyai efek anti H1 spesifik, antihistamin baru
dilaporkan mempunyai efek anti alergi yang lebih luas karena :
- dapat mengurangi penglepasan PGD2 dan kinin ( fexofenadine, loratadin, terfenadin)
- menekan kemotaksis eosinofil ( fexofenadine , cetirizine )
- mengurangi ekspresi ICAM-1 ( fexofenadine, terfenadin, loratadin , cetirizine)
- menekan penglepasan berbagai macam sitokin (IL-4, IL-5, IL-1) dan leukotrien
(fexofenadine)
Pada dasarnya antihistamin mempunyai efektifitas yang sama, meskipun terdapat variasi
individual antar penderita. Karenanya ada kemungkinan bahwa suatu antihistamin mungkin
kurang responsif pada seseorang, sementara antihistamin lain mungkin lebih responsif. Demikian
pula efek sedasi suatu antihistamin. Terdapat variasi individual terhadap efek sedasi antihistamin
baik yang golongan sedasi maupun non sedasi.
Keamanan antihistamin:
1. Salah satu keterbatasan antihistamin klasik/ generasi pertama adalah adanya efek sedasi,
sehingga tidak dianjurkan bagi penderita yang memerlukan konsentrasi tinggi dalam aktifitas
sehari-harinya.. Efek antikolinergik juga harus diwaspadai karena pada beberapa kasus
pemakaian yang lama dapat mengganggu aktifitas saluran kencing dan dapat mengganggu
penglihatan serta gangguan jantung.
2. Hampir semua antihistamin di metabolisme di hati kecuali yang merupakan bentuk metabolit
aktif ( fexofenadine & cetirizine ). Oleh karena itu pemakaiannya harus diperhatikan pada
penderita yang mempunyai kelemahan fungsi hati. Hal lain yang harus diperhatikan adalah
ekskresi antihistamin generasi II sebagian besar melalui ginjal (urine) sehingga pemakaiannya
harus hati-hati pada penderita kerusakan ginjal. Pemilihan antihistamin untuk penderita
penyakit ginjal sebaiknya mengutamakan antihistamin yang sebagian besar ekskresinya
melalui faeces (mis : Fexofenadine).
3. Belakangan ini dilaporkan adanya efek antihistamin klasik dan generasi II ke jantung karena
dapat menyebabkan perpanjangan interval QT yang dapat berakibat terjadinya takhikardi
ventrikuler. Efek ini dose dependent terutama jika diberikan bersamaan dengan obat
makrolide dan golongan ketokonazole. Perpanjangan interval QT dihubungkan dengan
kejadian torsades de pointes. Contoh antihistamin generasi II tersebut adalah terfenadin
dan astemizol, sehingga pemakaiannya harus sangat hati-hati terutama bila ada kecurigaan
kelainan jantung atau diperlukan obat makrolide dan golongan ketokonazol pada penderita
tsb pada saat yang bersamaan. Di beberapa negara obat tersebut sudah ditarik dari peredaran
Dewasa ini dipasarkan pula antihistamin pemakaian topikal sebagai obat semprot hidung
yaitu azelastin dan levocobastin. Obat ini bekerja sangat efektif dan bekerjanya sangat
spesifik pada reseptor H1 perifer. Pemakaian topikal memungkinkan konsentrasi obat yang
lebih tinggi di target organ sementara efek samping sistemik minimal.
Antihistamin klasik mungkin mempunyai efektifitas klinik yang setara dibanding
antihistamin yang baru, tetapi antihistamin generasi baru, khususnya generasi II dan III harus
dipertimbangkan sebagai pilihan pertama untuk pengobatan rinitis alergi, kecuali jika
antihistamin baru sukar/ tidak dapat diperoleh atau tidak terjangkau oleh penderita. Bila
terpaksa menggunakan antihistamin klasik dan generasi II maka penderita harus diberi
penjelasan yang cukup tentang efek samping obat tersebut.
Antihistamin H1 topikal harus diberikan 2 4 kali sehari untuk mendapatkan
efektifitas yang cukup dan pemakaiannya dianjurkan untuk kasus-kasus yang ringan.
5.2.Dekongestan hidung
Keamanan :
Pemakaian vasokonstriktor topikal dapat menimbulkan rasa hidung terbakar, kering atau
ulserasi mukosa dan bahkan perforasi septum. Pemakaian lebih dari 10 hari dapat menyebabkan
takhyphilaksis, pembengkakan mukosa dan mengakibatkan drug induce rhinitis ( rinitis medika
mentosa ).
Pemakaian sistemik ( dose dependent ) dapat menimbulkan efek samping :
- iritabel, pusing, sakit kepala, tremor dan insomnia.
- takhikardi dapat terjadi pada wanita hamil, hipertensi dan
- kadang-kadang halusinasi.
Pemakaian harus ekstra hati-hati pada :
- penyakit kardiovaskuler ( hipertensi, miokard infark)
- gloucoma, hipertrofi prostat dan ibu hamil
- Karena resiko terjadinya rinitis medikamentosa, pemakaian topikal terbatas < 10 hari
- Pemakaian topikal harus untuk mengatasi obstruksi hidung yang hebat bersamaan dengan obat
lain.
- Pemakaian pada anak-anak < 1th harus sangat hati-hati karena batas yang sempit antara dosis
terapi dan dosis toksik
- Secara umum tidak dianjurkan memberikan resep pada penderita :
- Penderita umur > 60 th, Wanita hamil, Hipertensi, Hipertrofi prostat
- Gloucoma , Kelainan jiwa dan pemakai beta blokers
Kombinasi kedua obat ini dimaksud untuk mengatasi obstruksi hidung yang tidak
dipengaruhi oleh antihistamin.
Tetapi harus diingat bahwa :
- Farmakokinetik kedua obat ini tidak sama dan biasanya diberikan BID.
- Sedikit trial klinik yang menunjukan kelebihannya dibanding dengan pemakaian antihistamin
saja.
- Kombinasi antihistamin sedatif dengan dekongestan oral, efek sedasinya tidak berkurang
karena stimulasi vasokonstriktor.
5. 3. Glukokortikosteroid
Pemberian sistemik
Pemakaian sistemik kadang diberikan peroral atau suntikan sebagai depo steroid
intramuskuler. Data ilmiah yang mendukung cara ini relatif sedikit dan tidak ada penelitian
komparatif mengenai cara mana yang lebih baik dan hubungannya dengan dose response.
Kontra indikasi :
Kontra indikasi untuk glukokortikoid sistemik adalah :
- Glaukoma, herpes keratitis, DM, instabilitas psikologis, osteporosis
- hipertensi berat, TBC atau infeksi kronik spesifik.
Sebaiknya dihindari pemakaiannya pada : Anak- anak dan wanita hamil.
Glukokortikoid topikal
Pemakaian topical glukokortikoid berhasil setelah ditemukan sediaan topikal yang
mempunyai eefek anti-inflamasi yang kuat dan mempunyai afinitas yang tinggi pada reseptornya
serta bila mencapai hati akan di-deaktifasi dengan cepat sehingga tidak mencapai sirkulasi
sistemik. Dengan demikian sediaan topikal ini tepat untuk pengobatan rinitis alergi karena dapat
dicapai konsentrasi yang tinggi pada reseptornya di mukosa hidung dengan resiko efek sistemik
yang minimal.
Efek samping :
Preparat glukokortikoid topikal dapat dipakai dalam waktu lama tanpa atrofi mukosa. Efek yang
dilaporkan :
- rasa kering, terbentuk krusta, epistaksis ringan ( transien), perforasi septum pernah dilaporkan,
efek menekan HPA axis, dilaporkan pada Dexametason topikal, pernah dilaporkan
menghambat pertumbuhan anak ( beclometason) , pernah dilaporkan adanya sentral retinopti,
pada wanita hamil tidak dilaporkan meningkatnya efek teratogenik pada pemakaian topikal
untuk asma.
6. Imunoterapi
Imunoterapi spesifik adalah memberikan allergen yang sesuai dengan hasil tes kulit,
dosisnya secara bertahap dinaikan sampai dosis maksimal yang tidak menimbulkan serangan/
gejala alergi. Tujuannya supaya penderita berkurang simptomnya pada paparan alergen
penyebab. Secara klinik imunoterapi pada rinitis alergi terbukti efektif.
Terdapat beberapa cara imunoterapi : injeksi sub kutan, pernasal, sub lingual, oral dan lokal.
Injeksi sub kutan lebih banyak dipraktekan. Imunoterapi sublingual/ peroral masih banyak
diteliti dan mulai bayak dipakai. Kemungkinan terjadi efek samping anafilaksi sistemik pada
suntikan imunoterapi pada rinitis alergi lebih kecil daripada penderita asma. Meskipun demikian
resiko terjadinya reaksi anafilaksi sitemik mengakibatkan keterbatasan pengobatan ini.
Pemberian imunoterapi spesifik harus diberikan oleh spesialis yang berpengalaman atau terlatih
dan menyadari kemungkinan terjadinya efek samping sistemik dan mampu untuk mengatasinya
bila sewaaktu-waktu terjadi. Pemberian imunoterapi yang ideal dengan menggunakan cara end
point titration ( SET).
Pemberian imunoterapi cara klasik dilakukan dengan memberikan suntikan allergen dari
konsentrasi rendah, dosis rendah secara perlahan, bertahap sampai dicapai dosis maksimal/
optimal. Kerugian cara ini, mungkin makan waktu yang lebih lama untuk mencapai dosis
maintenance, atau justru mulai dengan dosis yang terlalu tinggi bagi penderita tersebut sehingga
ada resiko reaksi sistemik. Keuntungan dapat dilakukan dimana saja asal tersedia alergennya,
mengetahui tehnik dan menyadari resiko dan tahu bagaimana mengatasinya.
Imunoterapi alergen spesifik
Indikasi :
1. IT hanya diberikan kepada penderita RA yang mempunyai hasil tes kulit positip dan alergen
yang positip secara klinis ada hubungannya dengan timbulnya gejala RA.
2. IT diberikan pada penderita RA persisten sedang sampai berat yang tidak puas/ berhasil
dengan pengobatan medika mentosa.
3. IT diberikan pada penderita yang bersedia berobat dengan teratur dan waktu lama.
4. Penderita yang setuju dengan IT ( informed consent).
Negatif
Positif
INTERMITTENT PERSISTENT
Tidak terkontrol
t Tidak terkontrol Tidak terkontrol
Steroid topikal*/** t t
Tidak terkontrol
Keterangan:
* RS.Kabupaten EVALUASI tULANG
** RS Provinsi/ **/***
Dikutip dari Guideline Penyakit RS
THTPendidikan Sp.THT
di Indonesia, PIT Perhati-KL,2001 dan dimodifikasi lay-outnya tanpa mengubah substan
atau bila tersedia di apotik
*** RS rujukan Nasional
Pilek tidak sembuh-sembuh 4 minggu / lebih.
Hidung gatal, bersin-bersin, ingus encer, hidung tersumbat (bergantian/ hilang ti
Riwayat penyakit alergi di bagian tubuh lain, Riwayat alergi keluarga (+)
Negatif
Positif
INTERMITTENT PERSISTENT
Tidak terkontrol
t Tidak terkontrol Tidak terkontrol
Steroid topikal*/** t t
Tidak terkontrol
Keterangan:
* RS.Kabupaten EVALUASI tULANG
** RS Provinsi/ **/***
Dikutip dari Guideline Penyakit RS
THTPendidikan Sp.THT
di Indonesia, PIT Perhati-KL,2001 dan dimodifikasi lay-outnya tanpa mengubah substan
atau bila tersedia di apotik
*** RS rujukan Nasional
1. John H Krause, Stephen J Chadwick, Bruce R Gordon, M Jennifer Derebery . Allergy and
Immunology An Otolaringic approach, Lippincott Williams & Wilkins A Walters Kluwer Co,
Philadelphia. Baltimore. New York. London 2002 part I, II, III and V.
2. Byron J Bailey . Head and Neck Surgery Otolaryngology , Lippicontt Williams & Wilkins
A Wolter Kluwer Co. Philadhelpia 2001 p 274-290.
3. Niels Mygind . NASAL ALLERGY Blackwell Scientific Publications,Second edition 1978.
4. Couwenberge P, Bachert C, Passalacqua G, Bousquet J, Canonica GW, Durham SR, at al.
Position paper : Consensus statement on the treatment of allergic rhinitis Allergy 2000 ; 55:
116-134.
5. Bosquet J, van Cauwenberge P, Khaltaev N. Allergic rhinitis and its impact on asthma J
Allergy Clin Immunol 2001; 108 : S 147-334.
6. Baraniuk JN. Pathogenesis of Allergic rhinitis J Allergy Clin Immunol 1997; 99: S763-72.
7. Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Celluler and Moleculer Immunology Philadelphia: WB
Saunders Co; 1991.
8. Lund VJ. Definition and classification of Rhinitis Allergy 1994; Suppl 19 : 5- 34.
9. Nalbone VP, Naclerio RM. Allergy and Immunology In Bailey BJ, Pillsbury III HC, Driscoll
BP, editors, Head and Neck Surgery Otolaryngology. Second edit Philadelphia : Lippincot-
Raven 1998: 101-116.