ramadhanriyan13@gmail.com
Abstrak
Baru-baru ini kita digemparkan mengenai kasus dalam ranah kepemimpinan, dan menimbulkan
banyaknya keributan dan perselisihan antara sesama maupun tidak sesama. Masalah
kepemimpinan sudah banyak terjadi kontroversi dalam setiap zamannya, dan hal ini selalu
melibatkan para Ustadz maupun Ulama. Dalam menanggapi persoalan ini, saya akan mengupas
dalam perspektif agama dan negara dengan mempaparkan dalil-dalil dan perundang-undangan
yang berlaku di negara ini dengan disandarkan kepada Al-Quran sebagai pedoman hidup kita
bersama maupun Hadits-Hadits Shahih dan pendapat para Ulama sebagai pemikir Islam.
Permasalahan ini akan menimbulakan banyaknya permasalahan dengan berbagai pendapat
yang melarang dan memperbolehkan memilih non-muslim sebagai pemimpin pada wilayah
mayorias Muslim. Maka dalam hal ini kita akan coba mengupas lebih dalam mengenai pemimpin
non-muslim dalam perspektif Agama dan Negara.
A. Pendahuluan
Kondisi politik di negeri ini sungguh sangat meneggangkan terutama jika mengenai
kepemimpinan, dan hal ini sungguh sangat bahaya hingga akhir-akhir ini banyak menimbulkan
keributan bahkan sampai memakan korban jiwa. Hal semacam ini perlu kita cari kejelasan yang
sebenarnya agar tidak ada lagi perselisihan dikehidupan kedepannya. Maka dari itu kita akan
mencoba membahas secara terperinci mengenai hal ini.
Jika ditinjau dalam aspek sejarah Islam, bahwa banyak para ulama mengatakan tidak
diperbolehkan memilih non-Muslim sebagai pemimpin karena beberapa ayat Al-quran
menyatakan demikian diantaranya seperti QS. al-Maidah :51. Namun jika dilihat dalam Peru No
1 Tahun 2014 pasal 7 yang berlaku di negera ini disebutkan bahwa salah satu syarat dalam
menjadi pemimpin adalah Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Alasan saya membuat judul ini karena terdapat sebuah statment seorang pemimpin non-
muslim yang melakukan sebuah retorika dalam mempengaruhi orang untuk memilihnya sebagai
pemimpin, dengan pernyataan: jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati bapak
ibu enggak pilih saya. Dibohongi pakai surat Al-Maidah ayat 51, macam-macam itu, itu hak
bapak ibu1. Apakah itu baik dipandang bagi kita umat beragama yang menjunjung tinggi nilai
toleransi ?.
Sebenarnya pernyataan tersebut telah jelas bagi kita bahwa dilarangnya memiliih non-
Muslim (kafir) sebagai pemimpin, karena pada pernyataan beliau secara tidak langsung ia
menjelaskan kepada kita bahwa dilarangnya memilih pemimpin non-Muslim. Karena dia tidak
ingin kalah dalam pemilihan tersebut sehingga beliau melontarkan sebuah statment dengan tujuan
agar ia terpilih dan jangan terpengaruh dengan surah Al-Maidah ayat 51 yang jelas-jelas melarang
memilih pemimpin non-Muslim.
Atas dasar-dasar di atas, maka penulis akan mempaparkan berikut menjelaskan boleh atau
tidaknya bagi kita masyarakat muslim untuk memilih pempimpin no-Muslim dalam perspektif
Agama dan Negara, agar tidak adanya lagi kontroversi dalam pihak masyarakat maupun
pemerintah yang dapat menimbulkan kejolak kemarahan dan keributan dalam menentukan boleh
tidaknya memilih pemimpin non-Muslim, dan akan menjadikan kehidupan di negeri tercinta ini
menjadi negeri yang hidup damai dalam kerukunan antar umat beragama.
Dalam hakikat kepemimpinan al-Quran dan Hadits sebagai pedoman hidup umat muslim
sudah mengatur sejak awal bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi seorang pemimpin.
Kepemimpinan adalah amanah, titipan Allah Subhana Wataala, bukan sesuatu yang diminta
apalagi dikejar dan diperebutkan. Sebab kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang
yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dan menjalankan tanggung jawab melayani
masyarakat. Maka dapat disimpulan bahwa pemimpin ialah seseorang yang diberikan amanah
dari Allah dalam menjalankan tugasnya dalam mengayomi masyarakat.
2. Syarat Pemimpin
Para pakar telah lama menelusuri Al-Quran dan Hadits dan menyimpulkan empat
Kriteria yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai syarat menjadi pemimpin, yaitu:
a) Shidiq, yaitu kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap dan bertindak
dalam melaksanakan tugasnya.
1
Beritagar.id
2
Riau1.kemenag.go.id
b) Amanah, yaitu kepercayaan yang menjadikan dia memelihara dan menjaga sebaik-
baiknya apa yang diamanahkan kepadanya.
c) Fathonah, yaitu kecerdasan, cakap dan handal yang melahirkan kemampuan dalam
menghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul.
d) Tabliqh, yaitu penyampaian secara jujur dan bertanggung jawab dalam segaa
tindakan yang diambilnya.
Didalam Al-Quran juga dijumpai beberapa ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat
pokok yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, diantaranya surah As-Sajdah (32):243, dan Al-
Anbiya (21):734.
Ahmad Rusli dalam kertas kerjanya menyatakan pemimpin adalah individu manusia yang
diamanahkan memimpin subordinat (pengikutnya) ke arah matlamat yang di tetapkan.
Miftah Thoha dalam bukunya menyebutkan bahwa pemimpin adalah seseorang yang
memiliki kemampuan memimpin, artinya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain
atau kelompak tanpa mengindahkannya bentuk alasannya.
Kartini Karono juga mengatakan bahwa pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki
kecakapan dan kelebihan khususnya disatu bidang, sehingga dia mampu mempengaruhi orang
lain untuk bersama-sama melakukan sebuah aktivitas tertentu.
2. Syarat Pemimpin
3
Kami jadikan mereka pemimpin ketika mereka sabar/tabah.
4
Mereka memberi petunjuk dengan perintah Kami.
5
referensi-kepemimpinan.blogspit.co.id
e. Berusia paling rendah 30 (tiga puluh)....6
Dari dua sudut pandang di atas dalam perspektif agama bahwa kepemimpinan harus
selalu dikaitkan dengan Al-Quran dan Hadits dan dalam perspektif negara dikutip dari pendapat
para ahli. Maka dapat disimpulkan bahwa pemimpin adalah sebuah amanah yang dipertanggung
jawabkan dan dapat mempengaruhi orang yang dipimpinnya. Dan Syaratnya harus sesuai dengan
sifat wajib nabi yaitu shidh, amanah, fathonah dan tabliqh, sementara pada negara dibebankan
kepada Perundang-undangan dan bisa diambil benang merahnya bahwa syarat seorang untuk
menjadi seorang pemimpin harus Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Karena sangat banyaknya perdebatan yang terjadi dalam hal ini, maka sebaiknya kita akan
mengutip beberapa pendapat para ulama dalam memilih pemimpin non-Muslim ini, karena jika
kita masih hidup di zaman Rasulullah pastilah hal ini akan kita tanyakan pada beliau, namun kita
hanya bisa menanyakan langsung kepada para Ulama karena bagiamanapun ulama adalah wali
Allah. Disini kita akan mencoba mengambil pendapat para ulama yang menolak maupun
mendukungnya.
Sebelum kita membahas pendapat para Ulama maka sebaiknya kita melihat beberapa ayat Al-
Quran yang membahas tentang memilih pemimpin non-Muslim.
Yang kedua, Hai orang-orang yyang beriman, jangalah kamu jadikan bapak-bapak dan
saudara-saudaramu menajadi WALI (Pemimpin atau pelindung) jika mereka lebih mengtamakan
kekafiran atas keimanan, dan siapa antara kamu yang menjadikan mereka WALI, maka mereka
itulah orang-orang yang zalim. (QS. At-Taubah[9]:23)
Dan yang ketiga, Kabarkan kepada orang-orang MUNAFIQ bahwa mereka akan
mendapatkan siskaan yang pedih.(Yaitu) orang-orang yang mengambil orang kafir menjadi
WALI (pemimpin atau teman penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah
Dari ketiga ayat di atas dan ada beberapa ayat lagi, jelas bahwa kita dilarang untuk memilih
pemimpin non-Muslim, namun demikian kata WALI disini banyak terjadi perselisihan mengenai
maknanya, karena ada juga yang mengartikan bahwa kata WALI adalah teman sejati. Walaupun
demikian kita tidak perlu berpikir panjang mengenai hal ini, karena jika untuk menjadikan
seorang non-Muslim teman sejati saja kita di larang oleh Allah Subhana Wataala apalagi jika
menjadikan dia sebagai pemimpin.
Karena jika diartikan sebagai teman sejati maka seorang non-Muslim itu hanya akan
berdampak buruk kepada satu orang temannya saja, bagaimana jika diartikan sebagai pemimpin,
sungguh dia akan berdampak buruk kepada rakyat yang dipimpinnya, karena dalam kasus ini kita
berbicara mengenai akidah.
Maka dari itu kita akan mencoba melihat pendapat para Ulama dalam menanggapi persoalan
ini yang seakan tidak ada titik akhirnya untuk dibahas dan ditemukan jalan keluarnya.
Ijma Ulama Ahli Sunnah sudah membahas tentang memilih pemimpin non-Muslim, dalam
kitab Mausuatul Ijma (Ensiklopedia Ijma) oleh Syaikh Sadi Kholid Abu Jaid mengatakan
para ulama sahabat dan Tabiin dan Tabi Tabiin sepakat bahwa siapa yang mengangkat
pemimpin dari non-Muslim maka secara Akidah gugur dua kalimat Syahadatnya, gugur dia dari
agamanya dan dalam QS Al-Maidah:51 yang menegaskan demikian.
Ibnu Katsir mengatakan, siapa saja diantara umat Muslim yang membangkang perintah Allah
dengan mengasihi musuh-musuh-Nya dan memusuhi para kekasih-Nya maka ia akan mendapat
siksa-Nya. Jelas bahwa Ibnu Katsir juga menyetujui larangan memilih pemimpin non-Muslim.
Dalam Hadits riwayat Imam an-Nasai yang bersumber dari mujahid, yang berbunyi: Janganlah
7
Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyafan Haqaiq at-Tanzil wa Uyun al-Aqawil fi wujuh at-Tawil (Mesir: Syirkah
Makta bah wa Mathbaaah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1392 H/1972M), II/422.
kamu mencari penerangan dari api-api orang Musyrik.8 Kata api disini yang tercantum dalam
hadits menurut Abdurrahman al-Baqhdadi adalah simbol dari kekuatan atau kekuasaan yang tidak
boleh diberikan umat Muslim kepada non-Muslim.
Dari beberapa pendapat para Ulama, tampak jelas penolakan mereka terhadap pegangkatan
(memilih) non-Muslim sebagai pemimpin pada wilayah mayoritas Muslim didasarkan pada tafsir
harfiah terhadap dalil-dalil yang bersumber dari Al-Quran maupun Hadits Shahih yang ada.
Dengan demikian, para Ulama menyatakan penolakan terhadap pemimpin non-Muslim adalah
sebuah perintah agama yang wajib ditaati.
Salah satu Ulama yang mendukung memilih non-Muslim sebagai pemimpin ialah Ibnu
Taimiyah, dan disini penulis hanya akan membahas hasil pemikiran Ulama besar seperti Ibnu
Taimiyah, dan statement beliau yang terkenal dalam dalam topik: lebih baik dipimpin oleh
pemimpin Kafir yang adil dari ada pemimpin Muslim yang dzalim.9 Statement ini terlihat jelas
bahwa Ibnu Taimiyah menyatakan bolehnya non-Muslim dijadikan pemimpin. Bagi penulis, hal
ini sangat fundamental untuk mencari alasan beliau menyatakan demikan.
Menurut Ibnu Taimiyah seorang pemimpin negara harus bersifat adil dan amanah, pernyataan
bersikap adil dan amanah ini didasarkan dalam firman Allah Subhana Wataala:
Dalam ayat tersebut dapat ditarik sebuah arti bahwa seseorang yang bisa dikategorikan
sebagai pemimpin ialah orang yang adil, namun demikian menurut penulis dengan didasarkan
ayat di atas tetap saja seorang Ulama dan Pemikir Islam sekelas Ibnu Taminiyah tidak
mengindahkan ayat-ayat Al-Quran yang bersebrangan dengan statment Beliau.
Dalam bahasa Ushul Fiqh yang dapat mendukung argumentasi beliau adalah daral-mafasid
muqaddam ala jalb al-masalih dengan arti menghilangkan mafasdat (yang lebih besar)
didahulukan dari pada mengambil maslahat (yang lebih kecil). Maksud dari ungkapan di atass
8
Ibnu Katsir ad-Dimasyqi, Tafsir al-Quran al-Azim ( Beirut: Dar al-Fikr,1992), I/439
9
Surwandono, Pemikiran Politik Islam (Yogyakarta:LPPI UMY,2001), h.32. Terkait dengan latar historis
yang mengilhami lahirnya pendapat-pendapat Ibnu Taimiah
menurut Ibnu Taimiyah, mengangkat seorang pemimpin yang berintegrasi tinggi , belaku adil dan
profesional serta bekerja sungguh-sungguh demi kemakmuran rakyat lebih diutamakan dari pada
pemimpin yang korup10.
Menanggapi hal ini penulis berpendapat bahwa walaupun fenomena yang ada pada zaman
dan negeri ini bahwa pemimpin Muslim menyalah gunakan amanah yang diberikan kepadanya,
jangalah kita mendiskreditkan bahwa seorang pemimpin Muslim selalu demikian. Karena hal itu
terjadi bisa saja dikarenakan kurangnya Iman. Maka sungguh tidak relevan jika kita selalu
sandingkan dengan para pemimpin Muslim yang ada saat ini.
Seorang pemimpin berasal dari rakyat dan ia akan berlabu pada rakyat. Maka jika kita
menginginkan pemimpin Muslim yang baik, maka mulailah dari diri sendiri. Dengan berusaha
menjadi pribadi yang taat pada perintah-Nya dan menjauhi segalaapa yang larang-Nya maka
InsyaAllah kita akan mendapatkan seorang pemimpin yang baik.
D. Penutup
Dari pemamparan singkat dia atas, yang dimulai dari defenisi dan syarat pemimpin dalam
perspeketif Agama dan Negara dikalangan umat Muslim dan dilanjutkan dengan pendapat para
Ulama yang menyatakan dilarang dan diperbolehkannya memilih pemimpin non-Muslim maka
dapat disimpulkan sebagai berikut.
Defenisi dan syarat seorang pemimpin dalam perspektif Agama dan Negara adalah orang
pilihan yang diamanahkan dan bertanggung jawab atas apa yang di amanhkan kepadanya dan ia
harus Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan adanya perbedaan pendapat dala menjawab
persoalan ini dalam dua kubu yang melarang dan memperbolehkan.
Ulama yang melarang memilih pemimpin non-Muslim, mereka bersandar pada Ayat-ayat al-
Quran yang melarang seperti pada surah Al-Maidah:51 dan Ali Imran:28 dengan mentaati segala
apa yang ada pada kalamullah. Dan untuk Ulama seperti Ibnu Taimiyah yang memperbolehkan
tersebut dengan landasan lebih baik pemimpin non-Muslim yang berintegrasi tinggi , belaku adil
dan profesional serta bekerja sungguh-sungguh demi kemakmuran rakyat lebih diutamakan dari
pada pemimpin Muslim yang korup.
Namun demikian penulis sependapat dengan para Ulama yang melarang menjadikan non-
Muslim sebagai Pemimpin . Karna sejatinya kita sebagai umat Muslim yant taat akan perintah
Allah dan Rasul-Nya harus selayaknya mengindahkan ayat-ayat suci Al-quran dengan mematuhi
apa-apa yang telah Dia tetapkan. Dan untuk statment Ibnu Taimiyah tidaklah kita jatuhkan hukum
10
Lihat Ibn Timiyah, as-Siyasah,h.22-23
bahwa ia salah, karena kita sebagai manusia juga akan pernah khilaf dengan apa yang telah kita
perbuat.
Dan dalam perspektif negara masih terdapat hal rancu mengenai syarat dalam perundang-
undangan dengan bunyi Bertaqwa Terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat penulis
jelaskan. Apakah non-Muslim Bertakwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa ?, apakah mereka juga
menganggap bahwa tuhan itu Esa ?. Jika tidak maka bagaimana dengan peraturan yang berlaku
di Negara ini ?, akankah non-Muslim bisa dijadikan pemimpin ?. Wallahu alam, semua kembali
kepada Allah.
Daftar Pustaka