Anda di halaman 1dari 12

HUKUM PERKAWINAN DAN WARIS ISLAM

HUKUM WARIS ADAT BALI

NAMA : TRITYA SIDHARTA


NPM : 110110130208
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa Allah Swt. Karena atas
rahmat yang diberikan sehingga tugas akhir mata kuliah Hukum Perkawinan dan Waris Islam
dengan judul Hukum Waris Adat Bali ini pada akhirnya dapat terselesaikan tepat pada
waktunya. Tujuan saya untuk menulis makalah ini adalah untuk memenuhi nilai tugas mata
kuliah Hukum Perkawinan dan Waris Islam di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
tahun 2014/2015.
Harapan saya, semoga makalah ini dapat membantu untuk menambah wawasan para
mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Penulis sadar bahwa dalam
pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan,
maka dari itu saya berharap kepada Bapak Dosen terkait untuk memberikan masukan-
masukan yang dapat membangun menyempurnakan makalah ini
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar belakang
Masyarakat Bali, terkenal dengan kehidupan adat dan budayanya. Nilai adat dan
budaya ini merupakan suatu ketentuan yang harus di
ikuti bagi masyarakat bali. Sebagai warganegara Indonesia, orang-orang Bali tentu saja
juga tunduk kepada hukum negara, yaitu peraturan perundang-undangan Republik
Indonesia. Disampingtunduk kepada hukum negara, bagi orang Bali juga berlaku
hukum adat, bahkan pada bidang-
bidang kehidupan tertentu, hukum adat Bali justru berlaku dengan sangat kuat terutama akib
at belum adanya hokum nasional yang mengatur bidang kehidupan tersebut.Kehidupan
hukum adat bali ini merupakan suatu warisan dari leluhur terdahulu yangsampai
sekarang terjaga dan dilakukan, walaupun memang ada beberapa bagaian dalam hukumadat
bali mengalami suatu proses penyesuaian hukum sesuai perkembanghan jaman.
Hukumadat bali bagi masyarakat bali merupakan suatu petunjuk ,jalan,
dan batasan dalam melakukansuatu perbuatan dalam ranah hukum adat. Hingga
begitu kentalnya hukum adat bali ini tidak dapat dipisahkan dari ajaran agama,
sehingga sulit bagi kita untuk membedakan antara hukuma d a t , d a n m a n a
agama, karena dalam hukum adat bali antara adat dan agama ini
s e o l a h menyatu, saling keterkaitan. Selain agama hukum adat bali ini juga sering
dihubungkan dengansejarah kehidupan masyarakat adat di bali, terutama kisah-kisah
kerajaaan yang ada di bali yangmemuat bagaimana system social masyarakat adat di
Bali. Masyarakat Bali sejak zaman MpuKuturan mengenal sistem Kahyangan
Tiga yang dalam kehidupan sosial masyarakatnya di-implementasikan dalam
wadah desa pakraman yang terbagi lagi dalam konsep banjar-banjar.Konsep yang
adiluhung ini sekaligus menjadi pilar utama kehidupan masyarakat Bali
dalammenopang adat dan budayanya yang diwarisi sampai sekarang. Hukum adat
bali tidak
hanyam e n g a t u r m e n g e n a i m a s y a r a k a t a d a t t e t a p i j u g a p r i b a d i / p e r
o r a n g a n t e r h a d a p , h a k d a n kewajibannya yang didasarkan atas
kedudukannya(status social dan keturunan) serta mengenaisanksi atas pelanggaran hukum
adat tersebut. Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang hukum waris adat bali.

2. Rumusan masalah
a. Bagaimana pembagian waris pada adat Bali ?
b. Bagaimana kedudukan anak perempuan sebagai ahli waris dalam sistem pewarisan
menurut adat Bali?

3. Tujuan makalah

a. Untuk mengetahui pembagian waris adat di Bali.


b. Untuk mengetahui kedudukan perempuan sebagai ahli waris dalam sistem pewarisan
adat Bali.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Proses pembagian waris adat Bali.

Dalam adat bali jaman dahulu, pada pewarisan keluarga pada adat bali harta orang tua itu

diperuntukkan atau diwariskan sepenuhnya kepada anak laki-lakinya. Dikarenakan menurut

adat bali, anak perempuan sudah bersuami dan itu merupakan tanggung jawab suami si anak

perempuan itu kelak untuk menafkahinya, sedangkan anak laki-lakinya akan membangun

keluarga sendiri dengan kemampuannya sendiri dalam menafkahi dan membina keluarga.

Istilahnya anak laki-laki diberikan modal untuk masa depannya yang akan dibangunnya

sendiri sebagai kepala suatu keluarga.

dalam putusan Mahkamah Agung No. 200 K/Sip/1958 tanggal 3 Desember 1958, yang antara

lain menyatakan:

Menurut hukum Adat Bali yang berhak mewaris hanyalah keturunan pria dan pihak

keluarga pria dan anak angkat lelaki; Maka Men Sardji sebagai saudara perempuan

bukanlah akhli waris dan mendiang Pan Sarning.

Namun, angin segar bagi kaum perempuan Bali dalam hal pewarisan bertiup beberapa

tahun lalu, tepatnya pada 2010. Angin segar tersebut berupa dikeluarkannya Keputusan

Majelis Utama Desa Pakraman Bali (MUDP) Bali No. 01/KEP/PSM-3/MDP

Bali/X/2010, tanggal 15 Oktober 2010, tentang Hasil-hasil Pasamuhan Agung III MUDP

Bali (Keputusan Pasamuhan Agung III/2010) .


Dalam Keputusan Pasamuhan Agung III/2010 diputuskan mengenai kedudukan suami-istri

dan anak terhadap harta pusaka dan harta gunakaya, termasuk hak waris anak perempuan

(anak kandung maupun anak angkat).

Secara singkat, hak waris anak perempuan menurut Keputusan Pasamuhan Agung III/2010

adalah sebagaimana dijelaskan oleh pakar hukum adat FH Unud Prof. Dr. Wayan P.

Windia, S.H., M.Si.sebagai berikut:

Sesudah 2010 wanita Bali berhak atas warisan berdasarkan Keputusan Pesamuan

Agung III MUDP Bali No. 01/Kep/PSM-3MDP Bali/X/2010, 15 Oktober 2010. Di SK

ini, wanita Bali menerima setengah dari hak waris purusa setelah dipotong 1/3

untuk harta pusaka dan kepentingan pelestarian. Hanya jika kaum wanita Bali yang

pindah ke agama lain, mereka tak berhak atas hak waris. Jika orangtuanya ikhlas,

tetap terbuka dengan memberikan jiwa dana atau bekal sukarela.

Jadi, setelah putusan tersebut dan sesudah tahun 2010 wanita di bali berhak atas warisan

orang tuanya. Tetapi, itu kembali pada orang tua tersebut. Karena sampai saat ini banyak
orang tua di bali yang warisannya itu tergantung pada orang tua akan diserahkan berapa

persen untuk anak laki-laki dan berapa persen untuk anak perempuan.
B. Kedudukan perempuan dalam sistem waris adat Bali

Berkenaan dengan pembagian warisan pada adat Bali, Tidak ada satu kesatuan aturan

tentang pembagian warisan, menurut hukum adat Bali. Secara umum, warisan semua dikuasai

anak laki-laki pertama atau terakhir, kemudian dimiliki dengan bukti sertifikat hak milik,

terus dipindah-tangankan sesuka hatinya. Ada juga keluarga yang membagi habis warisan di

antara saudara-saudaranya atau tetap mempertahankannya sebagai milik bersama (duwe

tengah). Umumnya anak perempuan dianggap tidak berhak atas warisan, entah dia ninggal

kedaton atau tidak.

Sedikitnya ada dua hal yang menarik perhatian pemerhati perempuan terkait kedudukan

perempuan Bali-Hindu. Pertama, semangat kerjanya yang hebat. Kedua, kedudukannya

terhadap warisan yang lemah, bahkan dianggap tidak berhak atas warisan, dalam hal ini

warisan yang mempunyai nilai ekonomi, seperti tanah, dan warisan yang tidak memunyai

nilai ekonomi, seperti pemeliharaan tempat suci dan orangtua.

Soal semangat kerja wanita Bali yang hebat, ada benarnya, tetapi soal wanita Bali-Hindu

yang tidak berhak atas warisan, tidak dapat dikatakan 100% benar. Menurut hukum adat Bali,

bukan hanya perempuan yang dianggap tidak berhak atas warisan, melainkan mereka yang

ninggal kedaton, atau nilar kedaton, ninggal kapatutan, ngutang kapatutan, ngutang kawitan,

ngutang sesana atau swadharma

Mereka yang dianggap ninggal kedaton, yaitu :

1. orang yang tidak lagi memeluk agama Hindu,

2. dipecat kedudukannya sebagai anak oleh orangtuanya (pegat mapianak),

3. meninggalkan rumah atau minggat (ngumbang), tanpa alasan yang jelas,

4. perempuan yang kawin biasa,

5. laki-laki yang kawin nyentana atau kawin nyeburin.

6. diangkat anak oleh keluarga lain,


7. secara sukarela melepaskan ikatan kekerabatan dengan keluarganya serta menyerahkan diri

kepada keluarga lain (maiddyang raga).


BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kesimpulan dari pembahasan di atas, yaitu:
1. Dalam pembagian waris adat bali, orang tua masih menggunakan kemauannya sendiri
bagaimana untuk mewariskan hartanya pada anak-anaknya. Tetapi tetap mengacu pada
hukum yang berlaku dan tidak menyimpang dari hukum tersebut.
2. Mengenai kedudukan anak perempuan dalam hukum waris adat Bali, anak perempuan ada
yang mendapatkan warisan dan ada juga yang tidak. Pembagiannya tergantung dari keluarga
sendiri. Tapi, pada umumnya anak perempuan tidak berhak atas warisan dari orang tuanya.

B. SARAN
Dalam menentukan pembagian warisan menurut sistem hukum adat Bali, seharusnya
Ketua Adat Bali atau yang memiliki kewenangan atas itu menentukan peraturan mengenai
pembagian warisan secara rinci. Hal ini dimaksudkan agar pembagian warisan menurut
hukum adat Bali dapat terlaksana dengan baik dan tidak merugikan siapa pun.
DAFTAR PUSTAKA

Koran Bali Post, balipost.co.id, Wanita Bali Multifungsi Tetap Dipinggirkan Balisruti,
Suara Millenium Development Goals.(MDGs), Edisi No. 1 Januari-Maret 2011.

Anda mungkin juga menyukai