OLEH :
I GEDE BUDIASA (0719251006)
Desa ini merupakan salah satu kawasan pedesaan di Bali yang memiliki tatanan yang
teratur dari struktur desa tradisional, perpaduan tatanan tradisional dengan banyak ruang
terbuka pertamanan yang asri membuat desa ini membuat kita merasakan nuansa Bali pada
dahulu kala. Penataan fisik dan struktur desa tersebut tidak lepas dari budaya yang dipegang
teguh oleh masyarakat Adat Penglipuran dan budaya masyarakatnya juga sudah berlaku turun
temurun.
Desa Adat Penglipuran sudah ada sejak 700-an tahun yang lalu, yaitu pada zaman
kerajaan Bangli. Penduduk dari daerah Bayung Gede di Kintamani pindah ke tempat desa ini
berada sekarang. Nama Penglipuran sendiri berasal dari kata Pengeling Pura yang berarti
tempat suci untuk mengingat para leluhur. Segala pengembangan fisik desa dan
pengembangan budayanya masih mengacu pada tanah leluhur yang masih ada di Bayung.
Bahkan untuk berbagai upacara adat tertentu masih harus memohon restu ke tanah leluhur
tersebut.
Desa ini menganut tata ruang dengan konsep trimandala, dibagi ke dalam tiga ruang
yang berbeda secara fungsi dan tingkat kesucian, yaitu utama, madya dan nista. Letak ketiga
ruang ini membujur dari utara (gunung) ke selatan (laut), dengan jalan desa lurus berundak
sebagai poros tengah, memisahkan ruang madya menjadi dua bagian. Di paling utara pada
zona utama atau ruang pada dewa, berdiri bangunan suci pura bernama Penataran tempat
beribadah para penduduk desa. Adapun zona madya atau ruang manusia terdapat 76
kaveling pekarangan dan rumah tempat bermukim warga terbagi ke dalam dua jajaran, yaitu
barat 38 dan timur 38. Setiap kaveling memiliki ukuran 800-900 meter persegi memanjang
dari barat ke timur. Jalan desa sebagai pemisah dipertahankan bebas dari kendaraan roda
empat dan tidak menggunakan aspal tetapi paving block dan batu sikat. Bagian paling selatan
adalah nista mandala atau ruang bagi manusia yang telah meninggal berupa tempat
pemakaman penduduk desa.
Rumah setiap keluarga dalam setiap kaveling tampak hampir seragam semuanya,
berada dalam pekarangan dan dibatasi oleh pagar tembok serta memiliki gerbang khas Bali
sebagai pintu masuk. Setiap pekarangan mempunyai beberapa bangunan berupa ruangan
tidur, ruangan tamu, dapur, balai-balai, lumbung dan tempat sembayang dalam rumah. Antara
satu pekarangan dengan pekarangan lainnya terdapat jalan sempit yang menghubungkan
keduanya. Bangunan berarsitektur tradisional dengan material tiang dari kayu dan atap yang
khas berupa sirap bambu.
Penggunaan bambu yang cukup dominan tidaklah mengherankan karena 40% dari
luas wilayahnya merupakan hutan bambu. Material untuk bangunan bisa diambil dari hutan
ini, di samping juga untuk bahan barang kerajinan dan kebutuhan untuk ritual. Dari sisi
ekologis, hutan bambu berfungsi vital untuk menahan erosi mengingat kondisi lahan desa
yang miring.
Keunggulan dari desa adat penglipuran ini dibandingkan dengan desa-desa lainnya di
Bali adalah, Bagian depan rumah serupa dan seragam dari ujung utama desa sampai bagian
hilir desa. Desa tersusun sedemikian rapinya yang mana daerah utamanya terletak lebih tinggi
dan semakin menurun sampai kedaerah hilir. Selain bentuk depan yang sama, adanya juga
keseragaman bentuk dari bahan untuk membuat rumah tersebut. Seperti bahan tanah untuk
tembok dan untuk bagian atap terbuat dari penyengker dan bambu untuk bangunan diseluruh
desa. Topografi desa tersusun sedemikian rupa dimana pada daerah utama desa
kedudukannya lebih tinggi, demikian seterusnya menurun sampai daerah hilir.
Keteraturan pola pemukiman di Desa Penglipuran yang membujur dari arah utara ke
selatan yang semakin keselatan datarannya semakin merendah dalam dua lajur memberikan
kesan desa yang sangat indah dan asri. Letak pintu masuk ke pekarangan yang saling
berhadapan antara satu lajur dengan dipisahkan oleh jalan utama desa menambah keteraturan
letak bangunan desa Penglipuran. Bahan bangunan kecuali bale dauh tempat tinggal keluarga
disamping memakai kayu didominasi oleh bahan dari bambu, karena disekitar Desa
Penglipuran merupakan penghasil bambu. Dengan pola budaya yang menetap dan arsitektur
bangunan tradisional.
Keteraturan angkul-angkul atau pintu gerbang dan pola hunian di setiap pekarangan rumah
menjadi ciri khas desa adat yang pernah meraih penghargaan Kalpataru ini. Keserasian antara
arsitektur bangunan dengan lingkungan membuat desa ini berbeda dengan desa adat lainnya
yang ada di Bali.
Penglipuran merupakan satu dari sembilan desa adat yang ada di Bali. Desa ini berada di
Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Bali. Dari cerita masyarakat yang telah saya survey
keberadaan warga di sini berawal dari perang pada tahun antara kerajaan Bangli dengan
kerajaan Gianyar. Warga yang diminta bertempur oleh raja Bangli lantas diberi hadiah berupa
sebidang tanah yang kini lokasi tanah tersebut berdiri Desa Adat Penglipuran.
Secara arsitektur, yang menarik dari desa ini adalah pola huniannya. Setiap bangunan yang
ada di masing-masing pekarangan ditata dengan rapi. Meskipun kini sudah menggunakan
material yang bukan aslinya, tatanan pola setiap bangunan tetap mencerminkan sebagai
sebuah bangunan arsitektur tradisional.
Pintu gerbang khas Bali atau disebut angkul yang merupakan akses menuju rumah penduduk
yang berada setiap pekarangan terlihat seragam satu sama lain. Dindingnya terbuat dari
pasangan bata dengan atap bambu. Meskipun warna dan ornamennya ada yang berbeda,
tetapi keteraturan angkul di setiap rumah memberikan ciri khas yang berbeda dengan desa
adat yang lain.
Hulu Kelod
Dari data wawancara dengan kepala desa adat Panglipuran I Wayan Supat, keseragaman
angkul ini tak terlepas dari pembagian zona desa. Setidaknya terdapat 3 pembagian zona;
zona hulu, zona pawongan atau zona pemukiman, dan zona kelod atau teben.
Ketiga zona ini letaknya membujur dari arah utara ke selatan dengan poros tengah berupa
jalan desa yang disebut rurung gede. Jalan desa ini jugs memisahkan bagian zona pawongan
menjadi dua, bagian barat yang disebut Kauh dan di sebelah timur yang disebut Kangin.
Jika diibaratkan sebagai tubuh manusia, zona hulu adalah bagian kepala, zona
pawongan adalah bagian tubuh, dan zona kelod adalah bagian kaki. Di bagian zona hulu,
terdapat bangunan suci atau disebut parahyangan. Di sini terdapat pura yang bernama Pura
Penataran, tempat bersembahyang warga desa.
Sedangkan zona kelod adalah zona yang terdapat tempat pemakaman. Jika ada warga
yang meninggal, jenazah akan dimakamkan di sans. Warga Desa Pengli puran tidak
mengenal ritual pemakaman jenazah sehingga jenazah harus dimakamkan. Hingga
sekarang, tatanan pola hunian seperti ini tetap masih dipertahankan sehingga sangat menarik
untuk dikunjungi. Desa yang mayoritas penduduknya adalah petani ini mendapatkan
penghargaan Kalpataru dan ditetapkan sebagai desa wisata oleh pemerintah daerah pada
tahun 1995.
Selain keseragaman bentuk bangunan, desa yang terletak pada ketinggian 700 meter
dari permukaan laut ini juga memiliki sejumlah aturan adat dan tradisi unik lainnya. Salah
satunya, pantangan bagi kaum lelakinya untuk beristri lebih dari satu atau berpoligami. Lelaki
Penglipuran diharuskan menerapkan hidup monogami yakni hanya memiliki seorang istri.
Pantangan berpoligami.
Artinya, krama Desa Adat Penglipuran tidak diperbolehkan memiliki istri lebih dari
satu.. Sebab kalau melanggar aturan ini, akibatnya bisa disisihkan dari desa pakraman. jika
lelaki Penglipuran beristri yang merasa bisa berlaku adil dan menikahi wanita lain, maka
lelaki tersebut akan dikucilkan di sebuah tempat yang diberi nama Karang Memadu. Karang
artinya tempat dan memadu artinya berpoligami. Jadi, Karang Memadu merupakan sebutan
untuk tempat bagi orang yang berpoligami. Karang Memadu merupakan sebidang lahan
kosong di ujung selatan desa.
Penduduk desa akan membuatkan si pelanggar itu sebuah gubuk sebagai tempat
tinggal bersama istrinya. Dia hanya boleh melintasi jalan-jalan tertentu di wilayah desa.
Artinya, suami istri ini ruang geraknya di desa akan terbatas, pernikahan orang yang
berpoligami itu juga tidak akan dilegitimasi desa, upacara pernikahannya tidak dipimpin oleh
Jero Kubaya yang merupakan pemimpin tertinggi di desa dalam pelaksanaan upacara adat
dan agama. Implikasinya karena pernikahan itu dianggap tidak sah, maka orang tersebut juga
dilarang bersembahyang di pura-pura yang menjadi emongan (tanggung jawab) desa adat.