Anda di halaman 1dari 48

KASUS

Anamnesis

Seorang anak berusia 18 tahun dengan keluhan utama sering bengong sejak 2

tahun yang lalu. Keluhan disertai bicara menjadi tidak karuan dan jalan suka

berputar-putar. Keluhan dirasa semakin sering. Saat ini pasien bersekolah di SMA.

Pasien memiiki riwayat kejang demam.

Beberapa pertanyaan penting yang harus ditanyakan pada pasien epilepsi

meliputi:

Pola/bentuk serangan kejang

Frekuensi serangan

Lama serangan

Gejala sebelum, selama dan pasca serangan

Faktor pencetus

Usia pada saat terjadinya serangan pertama/onset

Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan

Riwayat penyakit, penyebab, terapi atau penggunaan obat-obatan

sebelumnya

Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

Pada kondisi apa kejang pertama kali terjadi

Saat usia berapa kejang demam terjadi

1
Dalam 24 jam berapa kali frekuensi kejang saat kejang demam

Pola bangkitan saat kejang demam

Bila dilihat dari klasifikasi berdasarkan Usia, 18 Tahun

Genetik

Infeksi

Intoksikasi obat

Etiologi dalam kasus ini adalah

Simptomatik epilepsi: Pada simptomatik terdapat lesi struktural di otak yang

mendasari terjadinya epilepsi, contohnya pada kasus ini pasien memiliki riwayat

kejang demam.

Pemeriksaan Fisik dan Neurologis

Lihat adanya tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti

trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik

fokal atau difus, kecanduan alkohol, obat terlarang dan kanker. .Pemeriksaan kulit

juga untuk mendeteksi apakah ada sindrom neurokutaneus dan neurofibromatosis.

Juga perlu dilihat apakah ada bekas gigitan dilidah yang bisa terjadi pada waktu

serangan kejang berlangsung atau apakah ada bekas luka lecet yang disebabkan

pasien jatuh akibat serangan kejang, kemudian apakah ada hiperplasi ginggiva yang

2
dapat terlihat oleh karena pemberian obat fenitoin dan pengaruh pemberian

fenobarbital jangka lama.

Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, koordinasi, saraf kranialis,

fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi seperti

hemiparese ,distonia, afasia, gangguan lapangan pandang, papiledema mungkin dapat

menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang terbatas. Adanya

nystagmus , diplopia atau ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari obat anti

epilepsi seperti karbamasepin,fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi

pada waktu serangan kejang terjadi. Dysmorphism dan gangguan belajar mungkin

ada kelainan kromosom. Unilateral automatism bisa menunjukkan adanya kelainan

fokus di lobus temporalis ipsilateral sedangkan adanya distonia bisa menggambarkan

kelainan fokus kontralateral dilobus temporalis.

Pemeriksaan Penunjang

Lab darah, apakah ada leukositosis, hiponatremia, hipoglikemia,

hipomagnesia, uremia dan hepatik ensefalopati?

EEG, Apakah EEG Menunjukkan gambaran epileptiform?

CT scan dan MRI, mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus,

disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi

refrakter.

3
Diagnosis

Jika bangkitan epilepsi berulang lebih dari dua kali dan gambaran EEG

menunjukkan adanya gambaran epileptiform, maka kemungkinan diagnosisnya

adalah epilepsi.

4
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Epilepsi

Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan

untuk menimbulkan bangkitan epileptik yang terus menerus, dengan

konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial. Definisi ini

mensyaratkan terjadinya minimal 1 kali bangkitan epileptik.

Epilepsi merupakan suatu gangguan neurologik klinis yang sering dijumpai.

Definisi epilepsi menurut kelompok studi epilepsi PERDOSSI 2011 adalah suatu

keadaan yang ditandai oleh bangkitan berulang akibat lepas muatan listrik abnormal

dan berlebihan di neuron-neuron otak secara paroksismal, dan disebabkan oleh

berbagai etiologi, bukan disebabkan oleh penyakit otak akut. Gejala yang paling

umum adalah adanya kejang, karena itu epilepsi juga sering dikenal sebagai penyakit

kejang.

Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa yang

berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan atau

tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel

saraf di otak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut. Lepasnya muatan

listrik yang berlebihan ini dapat terjadi di berbagai bagian pada otak dan

5
menimbulkan gejala seperti berkurangnya perhatian dan kehilangan ingatan jangka

pendek, halusinasi sensoris, atau kejangnya seluruh tubuh.

Sindrom epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda klinis

epilepsi yang terjadi bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis

serangan, faktor pencetus dan kronisitas.

2. Epidemiologi dan Insidensi Epilepsi

Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang sering ditemukan di dunia.

Data World Health Organization menunjukkan epilepsi menyerang 70 juta dari

penduduk. Epilepsi dapat terjadi pada siapa saja di seluruh dunia tanpa batasan ras

dan sosial ekonomi. Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara

berkembang yang mencapai 114 per 100.000 penduduk per tahun. Angka tersebut

tergolong tinggi dibandingkan dengan negara yang maju dimana angka kejadian

epilepsi berkisar antara 24-53 per 100.000 penduduk per tahun. Angka prevalensi

penderita epilepsi aktif berkisar antara 4-10 per 1000 penderita epilepsi. Bila jumlah

penduduk Indonesia berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah penderita epilepsi

baru 250.000 per tahun. Dari berbagai studi diperkirakan prevalensi epilepsi berkisar

antara 0,5-4%. Rata-rata prevalensi epilepsi 8,2 per 1000 penduduk. Prevalensi

epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, menurun pada dewasa muda dan

pertengahan, kemudian meningkat lagi pada kelompok usia lanjut (Perhimpunan


Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI, 2011).

6
Data epilepsi yang dihimpun dari 108 negara mencakup 85,4% dari populasi

dunia terdapat 43.704.000 orang menderita epilepsi. Rata-rata jumlah orang penderita
epilepsi per 1000 penduduk 8,93 dari 108negara responden.

Jumlah orang penderita epilepsi per 1000 penduduk berbeda-beda di setiap

regional. Sementara itu data di regional Amerika dan Afrika di dapatkan 12,59 dan

11,29. Data di regional Asia Tenggara di dapatkan sebesar 9,97. Sedangkan data

sebesar 8,23 didapatkan di regional Eropa. Jumlah rata-rata orang epilepsi per 1000

penduduk berkisar dari 7,99 di negara-negara berpendapatan tinggi dan 9,50 di

negara-negara berpendapatan rendah. Epilepsi dijumpai pada semua ras di dunia

dengan insidensi dan prevalensi yang hampir sama, walaupun beberapa penelitian

menemukan angka yang lebih tinggi di negara berkembang. Insidensi epilepsi di

berbagai negara bervariasi antara 0,2-0,7%, prevalensinya bervariasi antara 4-7%,


sedangkan di Indonesia diperkirakan ada 900.000-1.800.000 penderita.

3. Klasifikasi

Klasifikasi bangkitan epilepsi menurut International League Against Epilepsy (1981):

A. Bangkitan parsial

a. Bangkitan parsial sederhana

1. Motorik

2. Sensorik

3. Otonom

7
4. Psikis

b. Bangkitan parsial kompleks

1. Bangkitan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran

2. Bangkitan parsial disertai gangguan kesadaran saat awal bangkitan

c. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder

1. Parsial sederhana menjadi umum tonik-klonik

2. Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik

3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks kemudian menjadi umum

tonik-klonik

B. Bangkitan umum

a. Absens (lena)

b. Mioklonik

c. Klonik

d. Tonik

e. Tonik-klonik

f. Atonik

C. Tak tergolongkan

Klasifikasi sindroma epilepsi menurut ILAE 1989:

A. Berkaitan dengan letak focus

a. Idiopatik (primer)

8
1. Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal

(Rolandik benigna)

2. Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital

3. Primary reading epilepsy

b. Simtomatik (sekunder)

1. Epilepsi kronik progresif parsialis kontinua pada anak (Sindrom

Kojewnikow)

2. Epilepsi lobus temporalis

3. Epilepsi lobus frontalis

4. Epilepsi lobus parietalis

5. Epilepsi lobus oksipitalis

c. Kriptogenik

B. Umum

a. Idiopatik (primer)

1. Kejang neonatus familial benigna

2. Kejang neonatus benigna

3. Epilepsi mioklonik benigna pada bayi

4. Epilepsi absens pada anak

5. Epilepsi absens pada remaja

9
6. Epilepsi mioklonik pada remaja

7. Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga

8. Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak

b. Kriptogenik atau simtomatik

1. Sindroma West (spasme infantile dan hipsaritmia)

2. Sindroma Lennox Gastaut

3. Epilepsi dengan kejang mioklonik astatik

4. Epilepsi dengan absens mioklonik

c. Simtomatik

1. Etiologi non spesifik

- Ensefalopati mioklonik neonatal

- Sindrom Ohtahara

2. Etiologi atau sindroma spesifik

- Malformasi serebral

- Gangguan metabolism

C. Epilepsi dan sindroma yang tidak dapat ditentukan

a. Serangan umum fokal

1. Kejang neonatal

2. Epilepsi mioklonik berat pada bayi

3. Sindroma Taissinare

10
4. Sindroma Landau Kleffner

b. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

D. Epilepsi berkaitan dengan situasi

a. Kejang demam

b. Berkaitan dengan alkohol

c. Berkaitan dengan obat-obatan

d. Eklampsi

e. Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (refleks epilepsi)

4. Etiologi Epilepsi

Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, sebagai berikut :

Idiopatik epilepsi : biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang

umum dan tidak terdapat penyebab dasar lain selain predisposisi genetik.

Pasien dengan idiopatik epilepsi mempunyai inteligensi normal dan hasil

pemeriksaan normal tanpa adanya lesi struktural di otak atau defisit

neurologis.

Kriptogenik epilepsi : Dianggap simptomatik tapi penyebabnya belum

diketahui. Kebanyakan lokasi yang berhubungan dengan epilepsi tanpa

disertai lesi yang mendasari atau lesi di otak tidak diketahui. Termasuk

11
disini adalah sindroma West, Sindroma Lennox Gastaut dan epilepsi

mioklonik. Gambaran klinis berupa ensefalopati difus.

Simptomatik epilepsi : Pada simptomatik terdapat lesi struktural di otak

yang mendasari terjadinya epilepsi, contohnya oleh karena sekunder dari

trauma kepala, kerusakan otak yang berasal dari kelainan prenatal atau

peronatal seperti trauma saat melahirkan atau bayi dengan berat badan

lahir rendah, infeksi susunan saraf pusat seperti meningitis, encephalitis,

neurocysticercosis, kelainan kongenital atau genetik yang berhubungan

dengan malformasi otak, proses desak ruang di otak, gangguan pembuluh

darah diotak, toksik (alkohol, obat), gangguan metabolik dan kelainan

neurodegeneratif.

5. Faktor Risiko

Faktor risiko terjadinya epilepsi dibedakan menjadi faktor prenatal, natal,

postnatal, dan faktor herediter.

a. Faktor prenatal : Umur ibu saat hamil, kehamilan primipara atau multipara,

pemakaian bahan toksik

b. Faktor natal : Asfiksia, berat badan lahir rendah, kelahiran Prematur atau

Postmatur , partus lama, persalinan dengan alat (forsep, vakum, seksio sesaria),

dan perdarahan intrakranial

12
c. Faktor postnatal : Kejang Demam, trauma kepala/ cedera kepala , infeksi umum

yang berat dan menimbulkan penurunan kesadaran, epilepsi akibat toksik,

gangguan Metabolik

d. Faktor herediter (keturunan)

Faktor pencetus terjadinya epilepsi, antara lain:

Cahaya

Suara Bising

Kelelahan

Penurunan Kesadaran

Hipoksemi

Hipoglikemi

6. Mekanisme dan Patofisiologi Epilepsi

Bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor eksitasi

dan inhibisi serebral, bangkitan akan muncul pada eksitabilitas yang tidak terkontrol.

Pada sebagian besar kasus tidak dijumpai kelainan anatomi otak, namun pada

beberapa kasus epilepsi disertai oleh kerusakan struktural otak yang mengakibatkan

disfungsi fisik dan retardasi mental. Pada serangan epilepsi, proses eksitasi di dalam

otak lebih dominan daripada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi

13
aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion

channel opening, dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam

hal inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh

konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan

keluar-masuk ion-ion menerobos membran neuron.

Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan

ion klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan

demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel (intraseluler), dan konsentrasi

ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium

pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel,

keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium. Keadaan ini terjadi pada chanellopati

yang diakibatkan oleh mutasi genetik sehingga akan terjadi eksitasi atau transimisi

impuls yang berlebih.

Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal

mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial

aksi secara tepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian

mengajak neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara klinis serangan

epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal

muncul secara bersama-sama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak.

Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang

14
berbeda(lebih dari 20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang terkena

dan terlibat.

Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang

tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.

Bangkitan epilepsi terjadi akibat:

1. Fungsi jaringan neuron penghambat (neurotransmitter GABA dan Glisin) kurang

optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.

2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspartat)

berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.

Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi

GABA (gamma aminobutyric acid) tidak normal. Pada otak manusia yang menderita

epilepsi ternyata kandungan GABA rendah.

Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan

keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan herediter,

kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut

dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron

eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Daerah

yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di hipokampus.

Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas

neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan

15
kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang

mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak

mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobus

temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi bawaan.

7. Penegakkan diagnosis epilepsi

1. Pastikan epilepsi/bukan

2. Tentukan jenis bangkitan

3. Tentukan sindrom epilepsi dan etiologi

8. Diagnosis

8.1 Anamnesis

Langkah awal adalah menentukan untuk membedakan apakah ini serangan kejang

atau bukan, dalam hal ini memastikannya biasanya dengan melakukan anamnesis

baik dengan pasien, orangtua atau orang yang merawat dan saksi mata yang

mengetahui serangan kejang itu terjadi. Beberapa pertanyaan yang perlu diajukan

adalah untuk menggambarkan kejadian sebelum , selama dan sesudah serangan

kejang itu berlangsung. Dengan mengetahui riwayat kejadian serangan kejang

tersebut biasanya dapat memberikan informasi yang lengkap dan baik mengingat

pada kebanyakan kasus, dokter tidak melihat sendiri serangan kejang yang dialami.

16
Anamnesis yang ditanyakan meliputi :

a. Pola /bentuk bangkitan

b. Lama bangkitan

c. Gejala sebelum, selama, dan paska bangkitan

d. Frekuensi bangkitan

e. Faktor pencetus

f. Ada/ tidak adanya penyakit lain yang diderita sekarang

g. Usia pada saat terjadinya bangkitan pertama

h. Riwayat pada saat dalam kandungan, persalinan, dan perkembangan

i. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya

j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

k. Faktor sosial/ lingkungan

8.2 Pemeriksaan Fisik dan Neurologi

Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan kejang

dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien

yang berusia lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher untuk

mendeteksi adanya penyakit vaskular. pemeriksaan kardiovaskular sebaiknya

dilakukan pada pertama kali serangan kejang itu muncul oleh karena banyak kejadian

yang mirip dengan serangan kejang tetapi penyebabnya kardiovaskular seperti sinkop

17
kardiovaskular. Pemeriksaan kulit juga untuk mendeteksi apakah ada sindrom

neurokutaneus. Bekas gigitan dilidah yang bisa terjadi pada waktu serangan kejang

berlangsung atau apakah ada bekas luka lecet yang disebabkan pasien jatuh akibat

serangan kejang, kemudian apakah ada hiperplasi ginggiva yang dapat terlihat oleh

karena pemberian obat fenitoin dan apakah ada dupytrens contractures yang dapat

terlihat oleh karena pemberian fenobarbital jangka lama. Melihat adanya tanda-tanda

dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi

telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus,

kecanduan alkohol atau obat terlarang (NAFSA) dan kanker.

Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, koordinasi, saraf kranialis,

fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi seperti

hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang, papiledema mungkin

dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang terbatas.

Adanya nystagmus , diplopia atau ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari obat

anti epilepsi seperti karbamasepin,fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi

pada waktu serangan kejang terjadi. Dysmorphism dan gangguan belajar mungkin

ada kelainan kromosom dan gambaran progresif seperti demensia, mioklonus yang

makin memberat dapat diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif. Unilateral

automatism bisa menunjukkan adanya kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral

18
sedangkan adanya distonia bisa menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus

temporalis.

8.3 Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium.

Hiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik ensefalopati

dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama

dengan glukose, kalsium, magnesium, Blood Urea Nitrogen , kreatinin dan test

fungsi hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna. Pemeriksaan

toksikologi serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila dicurigai adanya drug

abuse .

b. Elektroensefalografi (EEG).

Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan

elektroensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman

pada wktu sadar dalam keadaan istirahat, pada waktu tidur, dengan stimulasi fotik

dan hiperventilasi. Pemeriksaam EEG ini adalah pemeriksaan laboratorium yang

penting untuk membantu diagnosis epilepsi dengan beberapa alasan sebagai berikut

1. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi pasien

dengan serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil pemeriksaan

19
EEG akan membantu dalam membuat diagnosis, mebgklarifikasikan jenis

serangan kejang yang benar dan mengenali sindrom epilepsi.

2. Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik dan neurologi, pola

epileptiform pada EEG (spikes and sharp waves) sangat mendukung diagnosis

epilepsi. Adanya gambaran EEG yang spesifik seperti3-Hz spike-wave

complexes adalah karakteristik kearah sindrom epilepsi yang spesifik.

3. Lokalisasi dan lateralisasi fokus epileptogenik pada rekaman EEG dapat

menjelaskan manifestasi klinis daripada aura maupun jenis serangan kejang.

Pada pasien yang akan dilakukan operasi, pemeriksaan EEG ini selalu

dilakukan dengan cermat.

Sebaliknya harus diketahui pula bahwa terdapat beberapa alasan keterbatasan dalam

menilai hasil pemeriksaan EEG ini yaitu :

1. Pada pemeriksaan EEG tunggal pada pertama kali pasien dengan

kemungkinan epilepsi didapat sekitar 29-50 % adanya gelombang

epileptiform, apabila dilakukan pemeriksaan ulang maka persentasinya

meningkat menjadi 59-92 %. Sejumlah kecil pasien epilepsi tetap

memperlihatkan hasil EEG yang normal, sehingga dalam hal ini hasil

wawancara dan pemeriksaan klinis adalah penting sekali.

2. Gambaran EEG yang abnormal interiktal bisa saja tidak menunjukkan adanya

epilepsi sebab hal demikian dapat terjadi pada sebagian kecil orang-orang

20
normal oleh karena itu hasil pemeriksaan EEG saja tidak dapat digunakan

untuk menetapkan atau meniadakan diagnosis epilepsi.

3. Suatu fokus epileptogenik yang terlokalisasi pada pemeriksaan EEG mungkin

saja dapat berubah menjadi multifokus atau menyebar secara difus pada

pasien epilepsi anak.

4. Pada EEG ada dua jenis kelainan utama yaitu aktivitas yang lambat dan

epileptiform, bila pada pemeriksaan EEG dijumpai baik gambaran

epileptiform difus maupun yang fokus kadang-kadang dapat membingungkan

untuk menentukan klasisfikasi serangan kejang kedalam serangan kejang

parsial atau serangan kejang umum.

c. Video-EEG

Pemeriksaan ini dilakukan bila ada keraguan untuk memastikan diagnosis

epilepsi atau serangan kejang yang bukan oleh karena epilepsi atau bila pada

pemeriksaan rutin EEG hasilnya negatif tetapi serangan kejang masih saja terjadi,

atau juga perlu dikerjakan bila pasien epilepsi dipertimbangkan akan dilakukan terapi

pembedahan. Biasanya pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan apakah

serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama perekaman

dilakukan secara terus-menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil

rekaman dapat menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi.

21
d. Radiologi

CT Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic

Resonance Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan

struktural diotak Indikasi CT Scan kepala adalahSemua kasus serangan kejang yang

pertama kali dengan dugaan ada kelainan struktural di otak.

Perubahan serangan kejang.

Ada defisit neurologis fokal.

Serangan kejang parsial.

Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun.

Untuk persiapan operasi epilepsi.

CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun demikian

pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk

epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh

karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal,

tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin

dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala ini biasanya meliputi:T1 dan

T2 weighted dengan minimal dua irisan yaitu irisan axial, irisan coronal dan irisan

sagital.

22
e. Pemeriksaan Neuropsikologi

Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan

pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya

memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga

dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang

bukan epilepsi.

9. Penatalaksanaan

Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat orang dengan epilepsi

(ODE) terbebas dari serangan epilepsinya, terutama terbebas dari serangan kejang

sedini mungkin.

Penatalaksanaan untuk semua jenis epilepsi dapat dibagi menjadi 4 bagian:

penggunaan obat antiepilepsi (OAE), pembedahan fokus epilepsi, penghilangan

faktor penyebab dan faktor pencetus, serta pengaturan aktivitas fisik dan mental.

Tetapi, secara umum penatalaksanaan epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Terapi medikamentosa

Terapi medikamentosa adalah terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani

penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Penatalaksanaan epilepsi sering

membutuhkan pengobatan jangka panjang. Monoterapi lebih dipilih ketika mengobati

23
pasien epilepsi, memberikan keberhasilan yang sama dan tolerabilitas yang unggul

dibandingkan politerapi .

Pasien dengan bangkitan pertama direkomendasikan untuk dimulai pemberian

terapi bila diantaranya:

1. Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG, CT scan atau MRI otak.

2. Pada pemeriksaan neurologik dijumpai kelainan yang mengarah pada adanya

kerusakan otak.

3. Ada riwayat epilepsi pada orang tua dan saudara kandung.

4. Ada riwayat infeksi otak atau trauma kapitis terutama yang disertai penurunan

kesadaran.

5. Bangkitan pertama berupa status epileptikus.

Tabel 1. Daftar OAE yang umum digunakan dan indikasinya

Tipe kejang Lini pertama Lini kedua

Kejang parsial

Parsial sederhana, Carbamazepine Acetazolamide

Parsial kompleks, Lamotigrine Clonazepam

Umum sekunder Levetiracetam Gabapentin

Oxcarbazepine Phenobarbitone

Topiramate Phenytoin

Valproate

24
Kejang umum

Tonik-klonik, Carbamazepine Acetazolamide

Klonik Lamotrigine Levetiracetam

Topiramate Phenobarbitone

Valproate Phenytoin

Absens Ethosuximide Acetazolamide

Lamotrigine Clonazepam

Valproate

Absens atipikal, Valproate Acetazolamide

Atonik, Clonazepam

Tonik lamotrigine

Phenytoin

Topiramate

Mioklonik Valproate Acetazolamide

Clonazepam

Lamotrigine

Levetiracetam

Phenobarbitone

Piracetam

Sumber: (Consensus Guidelines on the Management of epilepsy, 2010)

25
Tabel 2. Pedoman dosis obat anti-epilepsi lini pertama pada orang dewasa

Dosis Waktu
Jumlah
Dosis harian Dosis paruh
Obat Indikasi dosis per
awal umum rumatan plasma
hari
(mg) (jam)

Carbamazepine Parsial & 400 600 600-1200 2-3* 16-36

KUTK

Phenytoin Parsial &KUTK 300 300 300-500 1 24-40

atau status

epilepticus

Valproic acid Parsial & 500- 1000 1000-3000 2 8-16

KUTK 1000

Phenobarbital Parsial & KUTK, 60-90 120 90-120 1 72-120

kejang neonatal, 48

atau status

epilepticus

Primidone Parsial & KUTK 100- 500 250-1500 3

125

Ethosuximide Kejang absans 500 1000 1000-2000 2

umum

26
Clonazepam Epilepsi 1 4 2-8 1 or 2

mioklonik,

sindroma L-G,

spasme infantil,

atau status

epilepsticus

* KUTK (Kejang Umum Tonik Klonik) L-G (Lennox Gastaut) : dewasa

: anak-anak

Dibawah ini merupakan pedoman dosis obat anti-epileptik yang baru yang

dijelaskan pada tabel 3.

Tabel 3.Pedoman dosis obat anti-epileptik baru

Waktu paruh

dalam
Obat Indikasi Dosis awal Dosis rumatan
plasma

(jam)

Levetiracetam Parsial & 2 X 1000 mg/hari 1000-3000 not

KUTKS 1000 mg/hari q 2 mg/hari established

wk

27
Gabapentin Parsial & 300 mg/hari ; 900-3600 6

KUTKS 300mg/hari q1- mg/hari

(dewasa) 3d

Lamotrigine Parsial & 25-50mg/d; Sampai 700 25 (12-14

KUTKS 50mg q1-2 wk; mg/hari (100- dengan obat-

(dewasa) or 25mg q2d; 150 mg/hari obat induksi

with VPA dengan VPA) enzim ; 60

dengan VPA)

28
Felbamate Parsial & 2-3 X 400 1800-4800 20-23

KUTKS mg/hari ( mg/d

(dewasa) concomitant PHT,

CBZ,VPA tiap

20-33%) dengan

dosis tiap 400-

600 mg/d q2wk

Sindroma L-G sampai 45

3-4 x 15 mg/kg/d; mg/kg/d

( concomitant

PHT, CBZ,VPA

tiap 20-33%),

dengan dosis 15

mg/kg/d q1-2 wk

Clobazam Parsial & 10mg qb atau 20-30mg/hari 30-46

KUTKS 2 X10 mg/hari sampai 60mg/d

Oxcarbazepine Parsial & 2 X 300mg/d 1200- 8-24

KUTKS 2400mg/hari

Tiagabine** Parsial & Tidak Tersedia 32-56mg/hari 6-8

KUTKS

29
Topiramate Parsial & 100 mg/hari ; 400- 20-24

KUTKS 25 -50 mg/hari 1000mg/hari

tiap minggu

Vigabatrine** Parsial & 2 X 500 mg/hari Sampai 3 g/hari 4-8 (efek

KUTKS berlangsung

Dimungkinkan sampai 3 hari)

untuk spasme

infantile

Zonisamide* Parsial & 100-200 mg/hari 400-600 50-68 (27-38

KUTKS 100 mg/hari q1-2 mg/hari dengan obat-

wk obat induksi

enzim)

** - di Indonesia tidak tersedia dan dilaporkan banyak efek samping

KUTKS : Kejang Umum Tonik-Klonik Sekunder ; L-G = Lennox-Gastaut ; q =

every ; qb = at bedtime

Catatan : ada obat yang sudah diakui sebagai mono terapi yaitu oxcarbazepine,

lamotrigin, topiramat, levetriracetam untuk mioklonik.

30
Obat anti-epilepsi memiliki beberapa efek samping yang dapat dilihat pada tabel

4 dibawah ini.

Tabel 4.Efek samping obat anti-epilepsi klasik

Side effect
Drug
Terkait dosis Idiosinkretik

Carbamazepin Diplopia, dizziness, nyeri Ruam morbiliform,

kepala, mual, mengantuk, agranulositosis, anemia

neutropenia, hiponatremia aplastik, efek hepatotoksik,

Sindroma Stevens-

Johnson, teratogenicity

Phenytoin Nistagmus, ataxia, mual, Jerawat, coarse facies,

muntah, hipertrofi gusi, hirsutism, cariasis, lupus-

depresi, mengantuk, like syndrome, ruam,

paradoxical increase in Sindroma Stevens-

seizure, anemia Johnson, Dupuytrens

megaloblastik contracture, efek

hepatotoksik,

teratogenicity

Valproic acid Tremor, berat badan Pankreatitis akut, efek

bertambah, dispepsia, hepatotoksik,

31
mual, muntah, kebotakan, trombositopenia,

tetratogenicity ensefalopati , udem perifer

Phenobarbital Kelelahan, listlesness, Ruam makulopapular,

depresi, insomnia (pada exfoliation, nekrosis

anak), distractability (pada epidermal toksik, efek

anak), hiperkinesia (pada hepatotoksik, arthritic

anak), irritability (pada changes, Dupuytrens

anak) contracture, teratogenicity

Pirimidone Kelelahan, listlessness, Ruam, agranulositosis,

depresi, psikosis, libido trombositopenia, lupus-like

menurun, impoten syndrome, teratogenicity

Ethosuximide Mual, anoreksia, muntah Ruam, eritema

agitasi, mengantuk, nyeri multiformis, Sindroma

kepala, lethargy Steven-Johnson, lupus-like

syndrome, agranulositosis,

anemia aplastic

Clonazepam Kelelahan, sedasi, Ruam, trombositopenia

mengantuk, dizziness,

agresi (pada anak)

hiperkinesia (pada anak)

32
Tabel 5. Efek samping obat anti-epilepsi baru

Efek samping yang lebh serius


Obat Efek samping utama
namun jarang

Levetiracetam Somnolen, asthenia, sering

muncul ataksia. Juga dilaporkan

penurunan kecil kadar sel darah

merah, hemoglobin, dan

hematokrit.

Gabapentin Somnolen, kelelahan, ataksia,

dizziness, gangguan saluran cerna

Lamotrigine Ruam, dizziness, tremor, ataksia, Sindroma Stevens- Johnson

diplopia, nyeri kepala, gangguan

saluran cerna

Clobazam Sedasi, dizziness, irritability,

depresi,disinhibition

Vigabatrin Perubahan perilaku, depresi, Psikosis

sedasi, kelelahan, berat badan

bertambah, gangguan saluran

cerna

Oxcarbazepine Dizziness, diplopia, ataksia, nyeri

33
kepala, kelemahan, ruam,

hiponatremia

Zonisamide Somnolen, nyeri kepala,

dizziness, ataksia, renal calculi

Tiagabine Confusion, dizziness, gangguan

saluran cerna, anoreksia,

kelelahan

Topiramate Gangguan kognitif, tremor,

dizziness, ataksia, nyeri kepala,

kelelahan, gangguan saluran

cerna, renal calculi

34
Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien maupun keluarganya

setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan.Jika selama 2 tahun terakhir bebas

bangkitan, maka penghentian OAE dilakukan bertahap dimulai dari 1 OAE yang

bukan utama.Pada umumnya penghentian OAE dimulai dari 25% dari dosis semula,

setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan.Gambaran EEG normal / membaik

merupakan salah satu pertimbangan untuk dilakukan penghentian OAE.

Mekanisme kerja obat anti epilepsi dibagi menjadi dua cara, yakni

peningkatan inhibisi (GABAergik) dan penurunan ekasitasi yang kemudian

mempengaruhi aktivitas ion-ion seperti Na, K, Ca dan Cl atau aktivitas

neurotransmitter, meliputi:

1. Inhibisi kanal Na pada membrane sel akson. Obat yang bekerja pada tahap ini

antara lain: phenytoin, carbamazepine, phenobarbytal dan asam valproat,

lamotridine, topiramate, zonisamat.

2. Inhibisi kanal Ca tipe T pada neuron thalamus (yang berperan sebagai pacemaker

cetusan listrik di korteks serebri). Obat-obatnya meliputi: etosuksimide, asam

valproat, dan clonazepam.

3. Peningkatan inhibisi GABA

a. Secara langsung meningkatkan produksi GABA pada kompleks GABA dan

kompleks Cl. Contoh obat: benzodiazepine, barbiturate.

35
b. Menghambat degradasi GABA dengan cara mengambil kembali atau reuptake dan

juga memengaruhi metabolism GABA itu sendiri. Obat-obatnya adalah: tiagabine,

vigabatrine, asam valproate, Gabapentin.

4. Penurunan neurotransmitter eksitasi glutamate. Contoh: lamotrigine,

phenobarbytal, dan topiramat.

2. Terapi bedah epilepsi

Tujuan terapi bedah epilepsi adalah mengendalikan kejang dan meningkatkan

kualitas hidup pasien epilepsi yang refrakter. Pasien epilepsi dikatakan refrakter

apabila kejang menetap meskipun telah diterapi selama 2 tahun dengan sedikitnya 2

OAE yang paling sesuai untuk jenis kejangnya atau jika terapi medikamentosa

menghasilkan efek samping yang tidak dapat diterima. Terapi bedah epilepsi

dilakukan dengan membuang atau memisahkan seluruh daerah epileptogenik tanpa

mengakibatkan risiko kerusakan jaringan otak normal di dekatnya.

36
10. Komplikasi

Alasan kenapa kejang-kejang pada penderita epilepsi perlu ditangani dengan

tepat adalah untuk menghindari terjadinya komplikasi dan situasi yang dapat

membahayakan nyawa penderitanya.Contohnya adalah terjatuh, tenggelam, atau

mengalami kecelakaan saat berkendaraan akibat kejang.

Masalah kesehatan mental yang muncul akibat epilepsi juga tidak boleh

dianggap enteng.Penderita bisa saja melakukan bunuh diri akibat

merasa depresi dengan kondisinya tersebut.Dalam hal ini, peran keluarga dan orang-

orang yang dekat dengan penderita sangat dibutuhkan untuk selalu memberikan

dukungan dan semangat padanya.

Dalam kasus yang jarang terjadi, epilepsi dapat menimbulkan komplikasi

berupa status epileptikus. Status epileptikus terjadi ketika penderita mengalami

kejang selama lebih dari lima menit atau mengalami serangkaian kejang pendek tanpa

kembali sadar di antara kejang. Status epiliptikus dapat menyebabkan kerusakan

permanen pada otak, bahkan kematian.

11. Rehabilitasi Medik, Aspek Psikososial, dan Aspek Medikolegal

Penderita epilepsi memiliki masalah psikososial yang lebih tinggi dibandingkan

masyarakat umum, seperti isolasi sosial (dikucilkan), kurang percaya diri, kecemasan,

dan depresi. Masalah psikososial menjadi sangat penting karena berdampak pada

berkurangnya kualitas hidup pasien.

37
1. Aspek sosial

Pada penderita epilepsi kurang memiliki hubungan sosial kurang baik dengan

masyarakat atau keluarga, yang diakibatkan oleh seperti:

Kekeliruan presepsi masyarakat terhadap penyakit epilepsi diakibatkan karena

kutukan, kerasukan, dan menular

Kekeliruan keluarga terhadap penyandang epilepsi seperti overprotektif,

penolakan, dean dimanjakan

Kekeliruan perlakuan masyarakat terhadap penyandang epilepsi seperti

penolakan, direndahkan, dan dikucilkan

Adanya keterbatasan pada penyandang epilepsi akibat penyakit: gangguan

kognitif, cacat fisik, pencapaian dalam bidang pendidikan rendah, sulit

mencari pekerjaan, dan bermasyarakat.

Pembatasan dalam berbagai aktivitas olahraga dan seni.

Berat dan sering kambuhnya bangkitan serta kronitas penyakit

Adanya komorbiditas.

Rehabiltisasi pada aspek sosial perlu dilakukan penyuluhan kepada

masyarakat dan keluarga :

- Menyebarluaskan informasi yang benar tentang penyakit epilepsi ke

masyarakat sehingga dapat menghapus mitos.

- Penyandang epilepsi membutuhkan orang lain selain keluarga sebagai

pendamping dalam berbagai hal yang berkaitan dengan proses adaptasi.

38
- Sosialisasi penyakit pada keluarga dan instansi terkait

- Menjelaskan pengaruh epilepsi dan efek OAE pada ibu dan anak, serta

berbagi tipe bangkitan yang dapat terjadi pasien epilepsi dan tindakan yang harus

dilakukan.

2. Aspek Pekerjaan

Pada aspek pekerjaan penderita epilepsi dengan usia produktif dapat

menurunkan kesempatan dan efisiensi kerja. Pada usia produktif perlu diberikan

Prinsip pilihan pekerjaan :

Disesuaikan dengan jenis dan frekuensi serangan

Resiko kerja yang paling minimal

Tidak bekerja sendiri dan ada pengawasan

Jadwal kerja yang teratur

Sebaiknya lingkungan kerja seperti atasan dan rekan kerja tahu tentang

kondisi pasien dan dapat memberikan pertolongan awal dengan baik

3. Aspek Olahraga

Pada pasien dengan epilepsi dapat diperbolehkan berolahraga. Pilihan

olahraga yang diperbolehkan dengan pertimbangan :

Dilakukan dilapangan atau gedung olahraga

Olahraga dilakukan di jalan ummum, diketinggian, diair, dan perlu kontak

tubuh, sebaiknya dihindari

39
Pengawasan khusus atau alat bantu diperlukan untuk beberapa jenis

olahraga, seperti renang, atletik, senam, dll.

4. Aspek mengemudi

Resiko kecelakaan tergantung jenis dan frekuensi pekerjaan yang penting

penyakit epilepsi tidak meningkatkan kejadian kecelakaan lebih besar dari penyakit

jantung, kencing manis, gangguan mental, alkoholisme dan penyalahgunaan obat.

Pemberian SIM pada pasien epilepsi bervariasi sesuai hukum tiap negara, dengan

prinsip :

Serangan terkontral dengan OAE

Masa bebas serangan dalam jangka waktu tertentu

Hukum dan peraturan asuransi yang berlaku

Dengan kondisi yang ada di Indonesia disarankan pemberian SIM dengan

pertimbangan :

Pasien sudah terkontrol serangannya, dan bebas serangan dalam jangka

waktu tertentu

Bagi pengemudi pribadi dengan asisten masa bebas serangan lebih pendek

dapat dipertimbangkan

5. Aspek Perkawinan dan Reproduksi

Pasien tidak dilarang untuk menikah

Epilepsi dipengaruhi keseimbangan hormonal

40
Hiposeksual orang terjadi pada pasien epilepsi. Khususnya lobus

temporalis

Disfungsi menstruasi dan reproduksi sering terjadi pada ELT dan epilepsi

umum primer

Tingkat kesuburan menurun 69 85 % dari yang diharapkan

Karbamazepin mempengaruhi hormon seks, menurunkan

dehidroepiandosteron. Sulfat dan indeks androgen bebas, meningkatkan

hormon steroid yang mengikat globulin dan penurunan sekejap respon LH

dan gonadotropin terhadap GnRH

Fenitoin menurunkan dehidroepiandosteron sulfat ( DHEAS )

Penggunaan lama valproat berkaitan dengan kenaikan testosteron serum

dan DHEAS

Fenitoin, fenobarbital, karbamazepin, primidion, menurunkan efek

kontrasepsi oral dengan cara meningkatkan enzim microsomal

Benzodiazepin, etosuksimid, figabadrin, lamotrigin, dan gaba fentin tidak

mempengaruhi efektifitas kontrasepsi oral

Resiko komplikasi kehamilan pada pasien epilepsi meningkat 1,5 4 kali

daripada wanita yang normal

Selama kehamilan keadaan serum karbamazepin, fenitoin, denoban,

valproat, menurun secara berturut turut atau kadar obat bebas

41
karbamazepin, fenitoin, fenobarbital menurun secara berturut-turut,

sedangkan kadar obat bebas valproat meningkat 25 %.

6. Aspek Medikolegal

Masalah yang dialami penyandang epilepsi tidaklah sederhana terutama pada

aspek medikolegal. Bangkitan tanpa peringatan dapat menyebabkan kecelakaan yang

berat dan bisa menyebabkan kematian. Banyaknya larangan aktivitas di tempat

umum seperti mengemudikan kendaraan, pembatasan dalam pekerjaan, dan aktivitas

umum lainnya akan menjadi beban masyarakat, pemerintah, dan penyandang epilepsi.

Karena sampai saat ini belum ada pasal perundang-undangan dan peraturan yang

khusus berkaitan dengan masalah perlindungan hak dan kewajiban penyandang

epilepsi; dan penyandang epilepsi hanya ditempatkan pada pasal gangguan kejiwaan

sehingga dokter spesialis saraf hanya dapat memberikan keterangan medis yang tidak

mempunyai konsekuensi hukum akibat apa yang dialaminya, maka perlu dilakukan

revisi perundang undangan serta peraturan asuransi yang berlaku saat ini

menyangkut hak penyandang epilepsi dan kewajiban pelayanan kesehatan oleh

pemerintah berdasarkan hak asasi manusia.

Penyandang epilepsi dapat dikatakan sangat menderita akibat apa yang

dialaminya. Tentu diharapkan keluarga tidak akan meninggalkan begitu saja, yang

mungkin akibat ketidaktahuan, stigma, peraturan, faktor sosioekonomi. Akibat dari

aspek legal yang berlaku saat ini, mereka tidak mendapatkan akses

pekerjaan, pendidikan maupun aspek emosional karena suatu perkawinan yang baik.

42
Para praktisi medik secara tidak sengaja karena sistem kesehatan, kemajuuan

kedokteran, dan rumah sakit mungkin dapat menikmati biaya langsung maupun tidak

langsung dari pembiayaan penyandang epilepsi setiap hari/minggu/bulan dan

tahunnya. Namun diperkirakan pelayanan dokter kepada mereka juga memberi

pengaruh luas akan ketidakpastian penanganan yang komprehensif bagi penyandang

epilepsi yang luas dibidang transportasi, asuransi, dan tindak pidana yang

melibatkannya. Kita patut memikirkan dan merasakan hal ini serta ikut bersama

sama menanggulangi penyandang dan sebagian warga masyarakat ini.

Menurut KUHP, epilepsi adalah bagian dari penyakit kejiwaan. UU 8-

02 perlindungan konsumen, UU Praktik Kedokteran, UU No. 23 tahun 052 tentang

kesehatan, UU No. 36 tahun 2009, dan Permenkes 512 tahn 2007, tidak satupun pasal

menyangkut aspek perlindungan hukum sehubungan dengan penyandang epilepsi,

baik yang diakibatkan oleh dirinya atau orang lain.

Dalam hal ini pada medikologal memiliki beberapa masalah seperti

a. Masalah pekerjaan

Diberhentikan dari pekerjaan karena mendapat bangkitan sewaktu bekerja

dan bagaimana mendapat hak pesangon.

Diberhentikan dari pekerjaan karena ketahuan mengkonsumsi OAE, baik dari

laporan dokter perusahaan atau tagihan perusahan.

Diberhentikan dari pekerjaan karena mengkonsumsi OAE yang diindikasikan

untuk penyakit lain seperti nyeri atau penanganan pasca herpes.

43
Diberhentikan dari pekerjaan karena mengelola mesin yang berbahaya

meskipun bangkitan sudah terkontrol.

Dokter spesialis saraf selalu berusaha menjadi penengah antara penyandang

dan pemberi pekerjaan dalam masalah pemutusan hubungan kerja

Penyandang epilepsi membutuhkan pekerjaan sederhana, mesin dan bahan

kimia tertentu, atau bersifat menetap (tidak dalam kerja shift) untuk

menghindari gangguan tidur.

b. Masalah Sipil

Pada kasus perebutan hak asuh anak maka orang tua yang menderita epilepsi

diragukan kemampuannya dalam memberikan asuhan yang efektif dan aman

kepada anaknya.

Bila anak yang menderita epilepsi maka dapat dituduh bahwa ini bukan akibat

kecelakaan dan bahwa orang tua tidak mampu merawatnya dengan baik.

c. Kecelakaan

Apakah trauma kepala, kesulitan proses kelahiran dan kecelakaan medis

terdahulu menjadi penyebab terjadinya epilepsi atau hanya suatu koinsidensi.

Pada kasus seperti tersebut diatas, kebenaran diagnosis epilepsi mungkin

dipertanyakan dan ini sulit dipastikan.

d. Kelalaian Medis

Kesalahan diagnosis

44
Bangkitan non-epileptik yang didiagnosis sebagai epilepsi dapat

menyebabkan hilangnya kesempatan memiliki SIM dan mata pencaharian.

Keadaan non-epileptik yang dapat disembuhkan seperti episodic cardiac

asystole yang didiagnosis sebagai epilepsi sangat merugikan individu.

Kegagalan mendiagnosis dan memberi terapi epilepsi serta menghindari

komplikasi dan kematian.

Kelalaian memberikan informasi kepada penyandang epilepsi tentang efek

samping OAE, terapi pembedahan yang diberikan, reaksi alergi, efek kronis

OAE, interaksi OAE dengan obat lain serta potensi teratogenik OAE.

Kelalaian memberi informasi tentang resiko penghentian dan penggantian

OAE.

Kelalaian dalam memperingatkan keluarga penyandang epilepsi tentang

masalah keamanan, terutama tenggelam, terbakar saat memasak, dan resiko

kematian akibat bangkitannya.

e. Ketidaklengkapan catatan medis

Standar pelayanan medik pada kasus kelalaian medis, hampir selalu dinilai

dari apa yang tertulis pada catatan medis, oleh karena itu sangatlah perlu

untuk mempunyai catatan medik yang lengkap seta tertulis dan terbaca

dengan jelas.

Apabila penyandang epilepsi meminta catatan medisnya oleh karena

ketidakpuasan pelayanan yang diterimanya, atau untuk kepentingan

45
pengacaranya guna tujuan penuntutan, maka perlu kiranya dokter

berkonsultasi dengan organisasi profesi terkait.

11. Pencegahan

Pencegahan pada prinsipnya adalah menghindari faktor pencetus agar tidak terjadi

epilepsi yang berulang. Dapat dilakukan dengan cara

1. Pengobatan anti-kejang bisa sepenuhnya mencegah terjadinya keparahan

pada penderita epilepsi

2. pasien untuk tidak menkonsumsi alkohol.

3. Hindari trauma kapitis saat olahraga dengan memakai helm

4. Usahakan makan minum dan tidur yang cukup

5. Usahakan jangan terlalu lelah atau stress.

6. Buatlah tanda pengenal kepada penderita dan catatan obat yang biasa

diminum.

12. Prognosis

Pada sekitar 70% kasus epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat anti

epilepsi. Namun prognosis tergantung jenis serangan, usia, waktu serangan pertama

terjadi, saat dimulai pengobatan, ada tidaknya kelainan neurologik atau mental dan

faktor etiologik. Prognosis terbaik adalah untuk serangan umum primer seperti kejang

tonik klonik dan serangan petit mal, sedangkan serangan parsial dengan

46
simptomatologi kompleks kurang baik prognosisnya. Juga serangan epilepsi yang

mulai pada waktu bayi dan usia dibawah tiga tahun prognosisnya relatif buruk.

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Rates of disease epilepsy. WHO. 2016 avaliabel online at

http://www.who.int/entity/mediacentre /factsheets/fs999/en/index.html

2. Epidemiologi epilepsi. Universitas Diponogoro avaliabel online at

http://eprints.undip.ac.id/31219/2/Bab_1.pdf

3. standar pelayanan medik neurologi Persatuan Dokter Saraf Indonesia.

4. Basuki A, Dian S. Kegawatdaruratan Neurologi. Edisi kedua. Bandung:

Bagian Neurologi FK UNPAD; 2009. hal. 163

5. Diagnosis Epilepsi. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma. (Available

on-line with updates at www.perdossi.or.id [diunduh 15 Maret 2016].

6. Marpaung, Vera. Depresi pada Penderita Epilepsi Umum dengan Kejang

Tonik Klonik dan Epilepsi Parsial Sederhana. Library.usu.ac.id. 2003

7. Epilepsi. Perpustakaanuns.ac.id. digilib.uns.ac.id. http://eprints.uns.ac.id.

[Diunduh 15 Maret 2016].

8. Penyakit Epilepsi. USU Institutional Repository.

http://repository.usu.ac.id. [Diunduh 15 Maret 2016].

48

Anda mungkin juga menyukai