Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Kesehatan merupakan salah satu unsur kesejahteraan umum yang harus
dapat diwujudkan melalui pembangunan yang berkesinambungan. Pembangunan
kesehatan adalah salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna
tercapainya kesadaran,kemauan dan kemampuan hidup sehat setiap orang agar
terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal (Depkes RI, 1992)
Rumah sakit merupakan suatu unit yang mempunyai organisasi teratur,
tempat pencegahan , dan penyembuhan penyakit, peningkatan dan pemulihan
kesehatan penderita yang dilakukan secara multidisiplin oleh berbagai profesional
terdidik dan terlatih, yang menggunakan prasana dan saran fisisk. Rumah sakit
memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat dasar, spesialitas, dan
subspesialistik (kepmenkes, 1992)
Pelayanan farmasi rumah sakit adalah salah satu kegiatan di rumah sakit
yang menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu. Standar pelayanan rumah
sakit juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan
kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan kpasien,penyediaan
obat yang bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik, yang terjangkau bagi
semua lapisan dimasyarakat. Munculnya farmasi klinik karena adanya tununan
pasien dan masyarakat akan mutu pelayanan farmasi, yang mengharuskan adanya
perubahan pelayanan dari paradigma lama (drug oriented) menuju paradigma baru
(patient oriented) (Kepmenkes , 1999).
Pasien akan merasa puas apabila ada persamaan antara harapan dan
kenyataan pelayanan kesehatan yang diperoleh. Kepuasan pengguna pelayanan
kesehatan mempunyai kaitan yang erat dengan hasil pelayanan kesehatan, baik
secara medis maupun non medis seperti kepatuhan terhadap pengobatan,
pemahaman terhadap informasi medsi dan kelangsungan perawatan (Kotler,
1997).
Menurut hasil penelitian di Kanada mengungkapkan dalam pelayanan
apotek yang ideal harus memiliki sumber daya manusia, saeana dan prasarana
yang baik dan lengkap, pelayanan cepat, informasi yang jelas dan lengkap

1
meliputi insikasi obat, gejala atau yang timbul dari penggunaan obat, biayai, dan
waktu yang cukup untuk konsultasi obat. Maka pasien akan merasa puas jika
mendapatkan pelayanan apotek yang sesuai atau melebihi harapan ( Mackinson,
2006)
Di Indosesia Kata Costumer Satisfaction dalam keinginan melayani dan
memberik kepuasan pada langganan masih sangat minim. Berbeda dengan negara
Jepang atau Singapura, mereka pada umumnya sangat memperhatikan kepuasan
pelanggan. Pelayanan di puskesmas, apotek, dan rumah sakit umumnya banyak
kekurangan. Denga merembesnya era baru di Indonesia di mana pemerintah
melakukan deregulasi dan debirokratisasi di segala bidang , dan pihak swasta
lebih banyak diikut sertakan dalam pembangunan, serta dana yang dikeluarkan
masyarakat untuk obat di Indonesia cukup besar, maka total Costumer satisfaction
akan mendapatkan perhatian yang lebih besar di msa akan datang , karena
masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan yang memadai
(Sabarguna,2004)

1.2 TUJUAN MAKALAH


Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memahami sejarah, arti
penting dan ruang lingkup pelayanan pelakasanaan Farmasi Klinik ).

1.3 RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimana sejarah yang mendasari terbentuknya pelayanan farmasi
klinik?
2. Apa arti penting farmasi klinik bagi kepuasan pasien?
3. Bagaimana ruang lingkup pelaksanaan farmasi klink?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Awal Munculnya Farmasi Klinik

Farmasi klinik bertonggak awalnya pada tahun 1960 an di Amerika,


dengan penekanan pada funsi farmasis yang bekerja langsung bersentuhan dengan
pasien. Saat itu farmasi klinik merupakan suatu disiplin ilmu dalam profesi yang
relatif baru., dimana munculnya prinsip ini berawal dari ketidakpuasan atas norma

2
praktek pelayanan kesehatan pada saat itu dan adanya kebutuhan yang meningkat
terhadap tenaga kesehatan profesional yang memiliki pengetahuan kompeherensif
mengenai pengobatan, Gerakan munculnya farmasi klinik dimulai dari University
of Michigan dan university of Kentucky pada tahun 1960an (Miller, 1981).

Pada masa itu, praktek kefarmasian di Amerika bersifat stagnan. Pelayanan


kesehatan sangat terpusat pada dokter, di mana kontak apoteker dengan pasien
sangat minimal. Konsep farmasi klinik mulai muncul dari sebuah konferensi
tentang informasi obat pada tahun 1965 yang diselenggarakan di Carnahan House
dan didukung oleh American Society Of Hospital Pharmacy (ASHP). Pada saat itu
disajikan proyek percontohan yang 9th Floor Project yang diselenggarakan di
University of California perkawinanantara pemberian informasi obat dengan
pemantauan terapi pasien oleh farmasi di RS mengawali kelahiran suatu konsep
baru dalam pelayanan farmasi yang oleh para anggota delegasi konferensi disebut
sebagai Farmasi Klinik Hal ini membawa implikasi terhadap perubahan
kurikulum pendidikan farmasi di Amerika saat itu, menyeuaikan dengan
kebutuhan akan adanya farmasi yang memiliki keahlian farmsi klinik ( Dipiro,
2002).

Perubahan visi dalam pelayanan farmasi ini mendapat dukungan signifikan


ketika Hepler and Strand pada tahun 1990 memperkenalkan istilah
Pharmaceutical care. Pada dekade berikutnya kata itu menjadi semacam kata
sakti yang dipromosikan organisasi-organisasi farmasi di dunia. Istilah
pharmaceutical care, di mana di Indonesia akan menjadi asuhan kefrarmasian,
adalah suatu pelayanan yang berpusat pada pasien dan berorientasi terhadap
outcome pasien. Pada model praktek pelayanan semacam ini , farmasi ini menjadi
salah satu anggota kunci pada tim pelayanan kesehatan, dengan tanggung jawab
pada outcome pengobatan (Hepler and Strands, 1990)

Perkembangan peran farmasi yang berorientasi pada pasien semakin


diperkuat pada tahun 2000, ketika organisasi profesi farmasis klinik Amerika
American College of Clinical Pharmacy (ACCP) mempublikasikan sebuah

3
makalah yang berjudul A vision of pharmacys future roless, reponsibilities, and
manpower needs in the united states. Untuk 10-15 tahun ke depan. ACCP
menetapkan suatu visi bahwa farmasi akan menjadi penyedia pelayanan kesehatan
yang akuntable dl terapi obat yang optimal untuk pencegahan dan
peyembuhan(AACP,2008).

Praktek pelayanan farmasi klinik di Indonesia relatf baru berkembang


pada tahun 20ooan. Dengan dimulainya farmasi klinis di berbagai institusi di luar
negri. Bahkan sepenuhnya penerimaan konsep farmasi klinikoleh tenaga
kesehatan di rumah sakit merupakan slah satu faktor lambatnya perkembangan
pelayanan farmasi klinik di Indonesia. Merupakan keganjilan jika apoteker yang
semula berfungsi menyiapkan obat di instalasi farmasi RS, kemudian ikut masuk
ke bangsal perawatan dan memantau perkembangan pengobatan pasien, apalagi
jika turut memberikan rekomendasi pengobatanm seperti yang lazim terjadi di
negara maju. Farmasi selama ini terkesan kurang meyakinkan untuk bisa
memainkan peran dalam pengobatan. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh
sejarah pendidikan farmasi yang bersifat monovalen dengan muatan sains yang
masih cukup besar (sebelum 2001) sementara pendidikan ke arah klinik masih
sangat terbatas, sehingga menyebabkan farmasi merasa gamang berbicara tentang
penyakit dan pengobatan (Sukandar , 2012).

Namun dimulai tahun 2001, terjadi perubahan dalam pelayanan


kefarmasian di Indonsia. Saat itu terjadi perubahan dalam pelayanan kefarmasian
di Indonesia. Saat itu terjadi restruktirisasi pada organisasi. Departemen
Kesehatan di mana di bentuk dDirektorat Jendral Bina Kefarmasian Komuniktas
dan Klinik di bawahnya. Menangkap peluang itu fakultas farmasi UGM termasuk
menjadi salah satu pioner dalam pendidikan farmasi klinik, walaupun masih
terbatas. Namun demikian bukan berarti perkembangan farmasi klinik serta merta
meningkat pesat, bahkan perkembangannya masih jauh dari harapan. Kiranya ke
depan perlu dilakukan upaya-upaya strategis untuk membuktikan kepada
pemegang kebijakan dan masyarakat luas bahwa adanya pelayanan farmasi

4
langsung kepada pasien, seperti yang diharapkan ketika gerakan farmasi klinik ini
dimulai (Sukandar , 2012).

Agar lebih jelas berikut ini diuraikan perkembangan profesi kefarmasian


yang telah mengalami beberapa kali perubahan, dibagi menjadi 3 periode yaitu
(Ikawati, 2010):

1) Periode tradisional (sebelum tahun 60- an)

Dalam periode ini fungsi farmasis adalah menyediakan, membuat/meracik,


dan mendistribusikan produk berkhasiat obat. Tenaga farmasi sangat dibutuhkan
di apotek sebagai peracik obat. Periode ini mulai mulai goyah saat terjadi revolusi
industri dimana terjadi perkembangan pesat di bidang industri tidak terkecuali
industri farmasi. Ketika itu sediaan obat jadi dibuat oleh industri farmasi dalam
jumlah besar-besaran. Dengan beralihnya sebagian besar pembuatan obat oleh
industri maka fungsi dan tugas farmasis berubah. Dalam pelayanan resep dokter,
farmasis tidak lagi banyak berperan pada peracikan obat karena obat yang tertulis
di resep sudah bentuk obat jadi yang tinggal diserahkan kepada pasien. Dengan
demikian peran profesi kefarmasian makin menyempit (Sukandar , 2012).

2) Tahap transisional ( 1960-1970 )

Pada periode ini terjadi banyak perkembangan antara lain: ilmu


kedokteran cenderung semakin spesialistis serta ditemukannya obat-obat baru
yang lebih efektif. Seiring dengan semakin pesatnya jumlah obat, semakin
meningkat pula permasalahn yang timbul terkait penggunaan obat yaitu
munculnya masalah kesehatan akibat efek samping obat, interaksi antar obat,
teratogenesis dll. Selain itu biaya kesehatan semakin meningkat akibat
penggunaan teknologi canggih di bidang kesehatan yang sangat mahal,
meningkatnya permintaan pelayanan kesehatan secara kualitatif maupun
kuantitatif, disertai dengan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat untuk
pelayanan medis dan farmasi yang bermutu tinggi. Kecenderungan tersebut
mengakibatkan adanya suatu kebutuhan yang meningkat terhadap tenaga
profesional yang memiliki pengetahuan komprehensif mengenai pengobatan yang

5
tidak lain adalah farmasis (apoteker). Akibat situasi tersebut akhirnya muncullah
istilah pelayanan farmasi klinik (Sukandar , 2012).

3) Periode Masa Kini (dimulai tahun 1970)

Pada periode ini mulai terjadi pergeseran paradigma yang semula


pelayanan farmasi berorientasi pada produk, beralih ke pelayanan farmasi yang
berorientasi lebih pada pasien. Farmasis ditekankan pada kemampuan memberian
pelayanan pengobatan rasional. Terjadi perubahan yang mencolok pada praktek
kefarmasian khususnya di rumah sakit, yaitu dengan ikut sertanya tenaga farmasi
di bangsal dan terlibat langsung dalam pengobatan pasien (Sukandar , 2012).

. Karakteristik pelayanan farmasi klinik di rumah sakit adalah :

Berorientasi kepada pasien

Terlibat langsung di ruang perawatan di rumah sakit (bangsal)

Bersifat pasif, dengan melakukan intervensi setelah pengobatan


dimulai dan memberi informasi bila diperlukan

Bersifat aktif, dengan memberi masukan kepada dokter sebelum


pengobatan dimulai, atau menerbitkan buletin informasi obat atau
pengobatan

Bertanggung jawab atas semua saran atau tindakan yang dilakukan

Menjadi mitra dan pendamping dokter.

Dalam sistem pelayanan kesehatan pada konteks farmasi klinik, farmasis


adalah ahli pengobatan dalam terapi. Mereka bertugas melakukan evalusi
pengobatan dan memberikan rekomendasi pengobatan, baik kepada pasien
maupun tenaga kesehatan lain. Farmasis merupakan sumber utama informasi
ilmiah terkait dengan penggunaan obat yang aman, tepat dan cost effective
(Sukandar , 2012).

6
Kegiatan farmasi klinik yaitu memberikan saran professional pada saat
peresepan dan setelah peresepan. Kegiatan farmasi klinik sebelum peresepan
meliputi setiap kegiatan yang mempengaruhi kebijakan peresepan seperti:

penyusunan formularium rumah sakit

mendukung informasi dalam menetapkan kebijakan peresepan


rumah sakit

evaluasi obat

Kegiatan farmasi klinik selama peresapan contohnya adalah

memberikan saran profesional kepada dokter atau tenaga kesehatan


lainnya terkait dengan terapi pada saat peresepan sedang dilakukan.

Sedangkan kegiatan farmasi klinik sesudah peresepan yaitu

setiap kegiatan yang berfokus kepada pengoreksian dan


penyempurnaan peresepan, seperti monitoring DRPs, monitoring
efek obat, outcome research dan Drug Use Evaluation (DUE).

Farmasis klinik berperan dalam mengidentifikasi adanya Drug Related


Problems (DRPs). Drug Related Problems (DRPs) adalah suatu kejadian atau
situasi yang menyangkut terapi obat, yang mempengaruhi secara potensial atau
aktual hasil akhir pasien. DRPs diklasifikasikan, sebagai berikut Menurut Koda-
Kimble (2005),:

1. Kebutuhan akan obat (drug needed)

Obat diindikasikan tetapi tidak diresepkan

Problem medis sudah jelas tetapi tidak diterapi

Obat yang diresepkan benar, tetapi tidak digunakan (non compliance)

7
2. Ketidaktepatan obat (wrong/inappropriate drug)

Tidak ada problem medis yang jelas untuk penggunaan suatu obat

Obat tidak sesuai dengan problem medis yang ada

Problem medis dapat sembuh sendiri tanpa diberi obat

Duplikasi terapi

Obat mahal, tetapi ada alternatif yang lebih murah

Obat tidak ada diformularium

Pemberian tidak memperhitungkan kondisi pasien

3. Ketidaktepatan dosis (wrong / inappropriate dose)

Dosis terlalu tinggi

Penggunaan yang berlebihan oleh pasien (over compliance)

Dosis terlalu rendah

Penggunaan yang kurang oleh pasien (under compliance)

Ketidaktepatan interval dosis

4. Efek buruk obat (adverse drug reaction)

Efek samping

Alergi

Obat memicu kerusakan tubuh

Obat memicu perubahan nilai pemeriksaan laboratorium

5. Interaksi obat (drug interaction)

8
Interaksi antara obat dengan obat/herbal

Interaksi obat dengan makanan

Interaksi obat dengan pengujian laboratorium

Kegiatan farmasi klinik memiliki karakteristik, antara lain : berorientsi kepada


pasien; terlibat langsung dalam perawatan pasien; bersifat pasif, dengan
melakukan intervensi setelah pengobatan dimulai atau memberikan informasi jika
diperlukan; bersifat aktif, dengan memberikan masukan kepada dokter atau tenaga
kesehatan lainnya terkait dengan pengobatan pasien; bertanggung jawab terhadap
setiap saran yang diberikan; menjadi mitra sejajar dengan profesi kesehatan
lainnya (dokter, perawat dan tenga kesehatan lainnya)

2.2 Definisi Farmasi Klinik

Farmasi klinis didefenisikan sebagai segala aktivitas yang dilakukan oleh


seorang apoteker dalam usahanya untuk mencapai terapi obat rasional ( Rational
Drug Terapy) yang aman, tepat dan Cost effective. Tujuan utamanya adalah
pemantauan terapi obat ( monitoring drug terapy) yang bertujuan untuk
mengoptimalkan terapi dan meminimalkan efek obat yang tidak diinginkan
(adverse effect)(Seto,dkk,2008).

Farmasi klinis merupakan disiplin ilmu yang terkait dengan penerapan


pengetahuan dan keahlian farmasi didalam membantu memaksimalkan efek obat
dan meminimalkan toksisitas bagi pasien secara individual (Clinical Resourse and
Audit Group (1996).

Mutu pelayanan Farmasi rumah sakit adalah pelayanan farmasi yang


menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan dalam menimbulkan kepuasan
pasien sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata masyarakat, serta
penyelenggaraannya sesuai dengan standar pelayanan profesi yang ditetapkan
sertase sesuai dengan kode etik profesi farmasi. Kepuasan pasien didefinisikan
sebagai evaluasi pasca konsumsi bahwa suatu produk yang dipilih setidaknya

9
memenuhi batau melebihi harapan. Kepuasan merupakan pengalaman yang akan
mengendap di dalam ingatan pasien sehingga mempengaruhi proses pengambilan
keputusan pembelian uang produk yang sama (Endang H, 1998)

2.3 Arti Pentting Farmasi Klinik


Arti penting Farmasi klinik dinyatakan Silverman dan Lee (1974) dalam
bukunya, Pills, Profits and Politics, menyatakan bahwa:
1. Pharmacist-lah yang memegang peranan penting dalam membantu
dokter menuliskan resep rasional. Membantu melihat bahwa obat yang
tepat, pada waktu yang tepat, dalam jumlah yang benar, membuat
pasien tahu mengenai bagaimana, kapan, mengapa penggunaan obat
baik dengan atau tanpa resep dokter.
2. Pharmacist-lah yang sangat handal dan terlatih serta pakar dalam hal
produk/produksi obat yang memiliki kesempatan yang paling besar
untuk mengikuti perkembangan terakhir dalam bidang obat, yang
dapat melayani baik dokter maupun pasien, sebagai penasehat yang
berpengalaman.
3. Pharmacist-lah yang meupakan posisi kunci dalam mencegah
penggunaan obat yang salah, penyalahgunaan obat dan penulisan
resep yang irrasional.
Sedangkan Herfindal dalam bukunya Clinical Pharmacy and
Therapeutics (1992) menyatakan bahwa Pharmacist harus
memberikan Therapeutic Judgement dari pada hanya sebagai
sumber informasi obat.

Tujuan pelayanan farmasi rumah sakit ialah:


1. Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal baik dalam keadaan biasa
maupun dalam keadaan gawat darurat, sesuai dengan keadaan pasien maupun
fasilitas yang tersedia
2. Menyelenggarakan kegiatan pelayanan profesional berdasarkan prosedur
kefarmasian dan etik profesi
3. Melaksanakan KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) mengenai obat
4. Menjalankan pengawasan obat berdasarkan aturan-aturan yang berlaku

10
5. Melakukan dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan
evaluasi pelayanan
6. Mengawasi dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan
evaluasi pelayanan
7. Mengadakan penelitian di bidang farmasi dan peningkatan metoda

2.4 Ruang Lingkup Pelayanan Farmasi Klinik


Pelayanan kefarmasian di rumah sakit meliputi dua kegiatan yaitu yang
bersifat managerial berupa pengelolaan sediaan farmasi. Alat kesehatan dan dan
bahan medis pakai dan kegiatan pelayanan farmasi klinik. Kegiatan tersebut harus
didukung oleh sumber daya manusia, sarana, dan peralatan. Apoteker dalam
melaksanakan kegiatan pelayanan kefarmasian tersebut juga harus
mempertimbangkan faktor resiko yang terjadi yang disebut dengan manajemen
resiko (Kepmenkes, 2014).
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit terdiri dari berbagai unsur yang paling
utama yaitu (Kepmenkes, 2004):
1. Usaha pengadaan, distribusi, dan pengawasan semua obat-obatan yang
digunakan dalam pelayanan tersebut.
2. Evaluasi dan penyebaran informasi secara luas tentang obat-obatan dan
penggunaannya pada para staf rumah sakit dan pasien.
3. Memantau dan menjamin kualitas penggunaan obat.
Beralihnya pembuatan obat dari instalasi farmasi ke industri farmasi maka
tugas dan fungsi farmasi berubah. Apoteker tidak banyak lagi meracik obat karena
obat yang diresepkan dokter kebanyakan obat jadi berkualitas tinggi yang
disiapkan oleh pabrik farmasi.
Tujuan pelayanan Instalasi Farmasi Rumah Sakit dapat ditinjau dari 3 aspek
( Kepmenkes, 2004):
1. Manajemen
2. Farmasi Klinik
3. Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lingkungan Hidup
Adapun filosofi farmasi klinis dengan peresepan yang baik yaitu;
1. Memaksimalkan Efek Terapetik (Efektivitas Terapi) meliputi:
a. Ketepatan indikasi
b. Ketepatan pemilihan obat
c. Ketepatan pengaturan dosis sesuai dengan kebutuhan dan
kondisi pasien
d. Evaluasi terapi
e. Meminimalkan resiko

11
f. Memastikan resiko yang sekecil mungkin bagi pasien
g. Meminimalkan masalah ketidak amanan pemakaian obat
meliputi efek samping, dosis, interaksi dan kontraindikasi
h. Menghormati pilihan pasien
2. Meminimalkan Biaya
a. Untuk rumah sakit dan pasien (apakah obat yang dipilih paling
efektif dalam hal biaya dan rasional)
b. Apakah terjangkau oleh kemampuan pasien atau rumah sakit
c. Jika tidak, alternatif jenis obat apa yang memberikan
kemanfaatan dan keamanan yang sama
3. Menghormati Pilihan Pasien
a. Keterlibatan pasien dalam proses pengobatan akan menentukan
keberhasilan terapi
b. Hak pasien harus diakui dan diterima semua pihak

2.4.1 Managerial Farmasi


Pengelolaan Sediaaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
harus dilaksanakan secar multidisiplin, terkoordinir, dan menggunakan proses
yang efektif untuk menjamin kendali mutu dan kendali biaya. Dalam ketentuan
pasal 15 ayat 3 Undang Undang No 44 Tahun 2009 tentang Rumah sakit
menyatakan bahwa pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan medis
habis pakai di rumah sakit harus dilakukan oleh instalasi farmasi sistem satu pintu
berupa alat medis habis pakai / peralatan non elektronik ,antara lain kontrasepsi
(IUD), alat pacu jantung, implan, dan stent (Kepmenkes, 2014)
Sistem satu pintu adalah satu kebijkan kefarmasian termasuk pembuatan
formularium, pengadaan, dn pendistribusiansediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis hais paai yang bertujuan untuk mengutamakan kepentingan pasien
melalui instalasi farmasi rumah sakit. Dengan demikian senua sediaan farmasi ,
alat kesehatan dan bahan medis pakai yang beredardi rumah sakit merupakan
tanggug jawab instalasi Farmasi Rumah Sakit, sehingga tidak ada pengelolaan
sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai di rumah sakit
dilaksanakan selain oleh instalasi Farmasi Rumah Sakit. (Kepmenkes,2014)

A. Kegiatan Pengelolaan Sediaan Farmasi , Alat kesehatan, dan Bahan


Medis Habis pakai meliput :

12
1. Pemilihan
Pemilihan merupakan kegiatan untuk menetapkan jenis sediaan
Farmasi, alat kesehatn dan bahan medis habis pakai sesuai dengan
kebutuhan Pemilihan sediaaan Farmasi, Alat kesehatan habis pakai ini
berdasarkan :
a. Formularium dan standar engobatan / pedoman diagnosa dan terapi
b. Standar sediaan farmasi,alat kesehatan, da bahan medis habis pakai
yang gtelah ditetapkan
c. Pola penyakit
d. Efektifias keamanan
e. Pengobatan berbasis bukti
f. Mutu
g. Harga
h. Ketersediaan di pasaran

Kriteria Pemilihan obat untuk masuk formularium rumah sakit


(Kepmenkes,2014):
a. mengutamakan penggunaan obat generik
b. memiliki rasio manfaat resiko (benefisk risk-ratio) yang paling
menguntungkan bagi pederita
c. mutu terjamin, termasuk stabilitas dan bioavailabilitas
d. prakti dalam penyimpanan, dan pengangkutan
e. praktis dalam penggunaan dan penyerahan
f. menguntungan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh pasien
g. memiliki ratio manfaat-biaya (benefifit-cost ratio) yang etrtinggi
berdasarkan biaya langsung dan tidak langsung
h. obat lain yang terbukti paling efektif secara ilmiahdan aman (evidence
based medicines) yang paling dibutuhkan untuk pelayanan dengan
harga yang terjangkau

2. Perencanaan kebutuhan
Perencanaan kebutuhan merupakan kegiatan untuk menentukan jumlah
dan periode pengadaan sediaan Farmasi, Alat kesehatandan bahan medis habis
pakai sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya
kriteria tepat jenis, tepat jumalah, tepat waktu dan efisien. Perencanaan dilakukan
untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat
dipertanggungjawabkan an dasar-dasar perencanaaan yang telah ditentukan antara

13
lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi dan
disesuaian dengan anggaran yang tersedia (Kepmenkes,2014)

3. Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk mmerealisasi
perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan,
jumlah dan waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar
mutu (Kepmenkes,2014).
Pengadaan dapat dilakukan melalui :
A. Pembelian
B. Produksi sediaan farmasi, boleh dilakukan apabila:
1. Sediaan farmasi tidak ada di pasaran
2. Lebih murah jika diproduksi sendiri
3. Dengan formula khusus
4. Kemasan lebih kecil
5. Untuk penelitian
6. Yang stabil dalam penyipanan / harus dibuat baru
C. Sumbangan / Dropping/Hibah
Instalasi Farmasi harus melakukan pencatatan dan pelaporan terhadap
penerimaaan dan penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai sumbangan / dropping/hibah. (Kepmenkes,2014)

4. Penerimaan
Penerimaaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis,
spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan, dan harga yang tertera dalam
kontrak atau surat pemesanan dengan kondisi fisik yang diterima. Semua
dokumen terkait penerimaan barang harus tersimpan baik. (Kepmenkes,2014)

5. Penyimpanan
Setelah barang diterima d instalasi rumah Farmasi perlu dilakukan
penyimpanan sebelum dilakukan pendistribusian, penyimpanan harus dapat
menjamin kualitas dan keamanan sediaan farmasi, alat kesehatan , dana bahan
medis habis pakai sesuai engan persyaratan kefarmasian, persyaratan yang
dimaksud adalah persyaratan kefarmasian, sanitasi, cahaya, kelembababn,
ventilasi dan penggolongan jenis sediaan farmasi,alat kesehatan dan bahan medis
habis pakai (Kepmenkes,2014).

14
Metode penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan kelas terapi, bentuk
sediaan, dan jenis sediaan Farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
dan disususn secara alfabetis deangan Out (FIFO) disertai sistem informasi
manajemen. Penyimpanan sediaaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
Habis Pakai yang penampilan dan penamaan yang mirip ( LASA, Look, Alike
sound alike)tidak ditempatkan berdekatan dan harus diberi penandaan khusus
untuk mencegah terjadinya kesalahan pengambilan obat (Kepmenkes,2014)

6. Pendistribusian
Distribusi merupakan suatu rangkaian egiatan dalam rangka menyalurkan /
menyerahkan sediaan farmasi., alat kesehatan,dan bahn medis habis pakai dengan
tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah, dan ketetapan
waktu(Kepmenkes,2014):
Sistem distribusi di unit pelayanan dapat dilakukan dengan cara:
a. Sistem persediaan lengkap di ruangan (floor stock)
1. Pendistribusian sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahanmedis
sekali pakai untuk persediaan di ruang rawat disiapkan dan
dikelola oleh instalasi farmasi
2. Sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang
disimpan di ruag rawat harus dalam jenis dan jumlah yang sangat
dibutuhkan
3. Dalam kondisi sementara dimana tidak ada petugas farmasi yang
mengelola ( di atas jam kerja) maka pendistribusiannya
didelegasikan kepada penanggung jawab ruangan
4. Setiap hari dilakukan serah terima kembali pengelolaan obat floor
stock kepada petugas farmasi dari penanggung jawab ruangan
5. Apoteker harus menyediakan informasi interaksi obat pasa setiap
obat yang disediakan di floor stock

b. Sistem resep perorangan


Berdasarkan resep perseorangan / pasien rawat jalan dan inap melalui
instalasi farmasi(Kepmenkes,2014)
c. Sistem unit dosis
Di siapkan untuk dosis tunggal/ dosis ganda , untuk penggunaan satu
kali pasien /dosis. Digunakan untuk pasien rawat inap
(Kepmenkes,2014)

15
d. Sistem kombinasi
Digunakan untuk pasien rawat inap a+b atau b+c atau a+c

Namun Sisten Unit Dose Dispensing sangat di anjurkan untuk pasien


rawat inap hal ini bertujuan untuk meminimalkan kesalahan dalam pemberian
obat (Kepmenkes,2014).

7. Pemusnahan dan penarikan sedaian farmasi, alat kesehatn, dan Bahan


Medis Habis pakai
Dilakukan pada sediaan Farmasi, Alat kesehatan dan bahan medis
habis pakai bila (Kepmenkes,2014):
a. Produk tidak memenuhi persyaratan mutu
b. Telah kadaluarsa
c. Tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan
kesehatan dan kepentingan ilmu pengetahuan
d. Dicabut izin edar

8.Pengendalian
Pengendalian dilakukan terhadap jenis dan jumlah persediaan dan
penggunaan sediaan farmasi , alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai.
Pengendalian ini harus dilakukan bersama Tim Farmasi dan Terapi (TFT)
(Kepmenkes,2014). Adapun tujuan dari pengendalian persediaan Farmasi, alat
kesehatan dan bahan medis habis pakai adalah (Kepmenkes,2014):
a. Penggunaan obat sesuai dengan formularium rumah sakit
b. Penggunaan obat sesuai dengan diagnosis dan terapi
c. Memastikan persediaan efektif an efisien atau tidak terjadi kelebihan
dan kekurangan / kekosongan, kerusakan, kadaluarsa, dan kehilangan
serta pengembalian pesanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai.

9. Administrasi
Kegiatan administrasi terdiri dari:
a. Pencatatan dan pelaporan
b. Administrasi keuangan
c. Administrasi penghapusan

A. Manajemen Risiko Pengelolaan Sediaan Farmasi Alat kesehatan,dan


Bahan medis habis pakai :

16
Manajemen resiko merupakan aktifitas pelayanan kefarmasian yang dilakukan
untuk ientifikasi,evaluasi, dan menurunkan resiko terjadinya kecelakaan pada
pasien, tenaga kesehatan dan keluarga pasien, serta resiko kehilangan dalam suatu
organisasi (Kepmenkes,2014).
Manajemen resiko pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai dilakukan beberapa langkah yaitu (Kepmenkes,2014) :
1. Menentukan konteks manajemen resiko pada proses pengelolaan
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
2. Mengidetifikasi resiko
3. Menganalisa resiko
4. Mengevaluasi resiko
5. Mengatasi resiko
2.3.2 Farmasi Klinis
Adapun ruang dan lingkup dari farmasi klinis antara lain ( Kepmenkes,
2004);
1. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
2. Kesiapan untuk membentui setelah lepas jam kerja siap dipanggil
3. Konsultan keliling
4. Memberikan masukan/saran kepada Direktur Klinis/dokter
5. Memberikan informasi tentang pemakaian obat secara finansial
6. Membuat kajian obat-obat baru
7. Ikut aktif dalam pengendalian infeksi, melalui kegiatan:
a. Pemberian informasi obat
b. Pemantauan penggunaan obat
c. Penyusunan pedoman penggunaan antibiotika
8. Berpartisipasi dalam Komite Farmasi dan Terapi
9. Aktif dalam penyusunan formularium
10. Merasionalkan penggunaan obat
11. Memajukan peresepan yang efektif dari segi biaya
12. Mengatur tambahan obat baru
13. Merumuskan pedoman bagi dokter
14. Ikut menyusun kebijakan penulisan resep (protokol/pedoman
pengobatan)
15. Pemberian informasi obat
16. Audit medis
17. Audit klinis
18. Uji coba klinis
19. Tim nutrisi parenteral
20. Tim kemoterapi
21. Analgesia yang dikendalikan pasien
22. Pemantauan Kadar Obat Terapeutik (TDM)
23. Pelayanan saran farmakokinetika
24. Individualisasi pengaturan dosis obat

17
25. Pelayanan antikoagulan perawatan dan pengobatan luka
26. Pencatatan riwayat pengobatan pasien (faktor-faktor pasien dan
pengobatan yang merupakan faktor resiko pengobatan)
27. Pengembangan alur dan pelayanan pengobatan sendiri (Self
Medication Scheme)
28. Pemantauan Efek Samping Obat (mencegah menemukan dan
melaporkan efek samping obat)
29. Promosi kesehatan dan pendidikan kesehatan, pencegahan penyakit
dan perlindungan kesehatan
30. Konseling pasien
31. Meningkatkan derajat kesehatan
32. Meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan pasien dalam pemakaian
obat (Ketidak patuhan pasien merupakan salah satu penyebab
kegagalan terapi).
Di Indonesia sebagai dasar hukum, pelaksanaan teknis farmasi klinis adalah
SK Menkes Nomor 436/ Menkes/ SK/VI/1993 tentang Pelayanan Rumah
Sakit dan Standar Pelayan Medis, tugas Apoteker meliputi:
1. Konseling
2. Monitoring efek samping obat (MESO)
3. Pencampuran obat suntik aseptik
4. Analisa efektifitas biaya
5. Penentuan kadar obat dalam darah
6. Penanganan sitostatika
7. Penyiapan total parenteral nutrisi
8. Pemantauan penggunaan obat
9. Pengkajian penggunaan obat
Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan
apoteker kepada pasien dalam rangka meningktakan otcome terapi dan
meminimlkan resiko terjadinya efek samping karena obat. Untuk tujuan
keselamatan pasien (pasien safety) sehingga kualitas kualitas hidup pasien
terjamin (Kepmenkes, 2014).
Adapun pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi
(Kepmenkes,2014):
1. Pengkajian dan pelayanan resep
Pelayanan resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan,
pengkajian resep, penyiapan sediaan farmasi, alat kesehatandan bahan
medis habis pakai termasuk peracikan obat, pemeriksaan, penyerahan
disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan resep

18
dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian obat.
Kegiatan ini bertujuan untuk menganalisa adanya masalah terkait obat,
bila ditemukan masalah besar terait obat harus dikonsultasikan kepada
dokter penulis resep. Apoteker harus melakukan pengkajian resep sesuai
persyaratan administrasi, farmastik, dan persyaratan klinis baik utnuk
pasien rawat inap maupun rawat jalan Kepmenkes,2014).

2. Penelusuran Riwayat penggunaan obat


Merupakan proses untuk mendapatkan informai mengenai seluruh
obat/sediaan farmasi lain hyang pernah dan sedang digunakan, riwayat
pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data rekam medik /
pencatatan penggunaan obat pasien (Kepmenkes,2014)
Adapun tahapan penelusuran riwayat penggunaan obat meliputi
(Kepmenkes,2014):
a. Memebandingkan riwayat penggunaan obat dengan data rekam medik
/ pencatatan penggunaan obat untuk mengetahui perbedaan imformasi
penggunaan obat
b. Melakukan verifikasi riwayat penggunaan obat yang diberikan oleh
tenaga kesehatan lain dan memberikan informasi tambahan jika
diperlukan.
c. Mendokumentasikan adanya alergi dan reaksi obat yang tidak
dikehendaki(ROTD)
d. Mengedintifikai potensi terjadinya interaksi obat
e. Melakukan penilaian terhadap kepatuhan pasien dalam menggunakan
obat
f. Melakukan penilaian resionalitas obat yang diresepkan
g. Melakukan penilaian terhadap pemahaman pasien terhadap obat yang
diggunakan
h. Melakukan penilaian adanya bukti penyalahgunaan obat melakukan
penilaian trhadap tehnik penggunaan obat
i. Memeriksa adanya kebutuhan pasien terhadap obat dan alat bantu
kepatuhan minum obat
j. Memeriksa adanya keutuhan pasien terhadap obat dan alat bantu
kepatuhan minum obat
k. Menokumentasikan obat yang digunakan pasien sendiri tanpa
sepengetahuan dokter

19
l. mengidentifikasi terapi lain, misalnya suplemen an pengobatan
alternatif yang mungkin digunakan

3. Rekonsilisasi Obat
Rekonsilisasi obat merupakan proses membandingkan instruksi
pengobatan dengan obat yang telah didapatkan pasien. Rekonsilisasi
dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan obat (medication eror)
seperti obat tidak diberikan , duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi
obat. Kesalahan obat (medication eror) renan terjadi pada pemindahan
pasien dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain, antar ruang perawatan,
antar pasien yang keluar dari rumah sakit ke layanan kesehatan primer
dan sebaliknya (Kepmenes,2014).
Tujuan dilakukan rekonsilisasi obat adalah (Kepmenkes,2014) :
a. Memastikan informasi yang akurat tentang obat yang digunakan
pasien
b. Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terdokumentasinya
instruksi dokter
c. Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tida terbacanya instruksi
dokter
Adapun tahap dalam melakukan rekonsilisasi obat adalah
(Kepmenkes,2014)
a. Pengumpulan data
b. Komparasi
c. Melakukan konfirmasi kepada dokter jika menemukan ketiaksesuaian
dokumentasi
d. Komunikasi

4. Pelayanan informasi obat (PIO)


Kegiatan PIO merupakan kegiatan penyediaan dan pemberian informasi,
rekomendasi obat yang independen, akurat, tidak bias, terkini, dan
kompeherensifyang dilakukan oleh apoteker kepada dokter, apoteker,
perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain diluar
rumah sakit (Kepmenkes.2014)
Adapun tujuan PIO adalah :
A. Menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga
kesehata di lingkungan rumah sakit dan pihak lain di luar rumah sakit

20
B. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan
dengan obat/sediaan farmasi. Alt kesehatan dan bahan medis habis
pakai, terutama bagi tim farmasi dan terapi
C. Menunjang penggunaan obat yang rsional
Untuk mencapai tujuan dari PIO makan kegiatan PIO yang harus dilaukan adalah
A. Menjawab pertanyaan
B. Menerbitkan buletin, leaflet,poster, dan newsletter
C. Menyediakan informasi bagi tim farmasi dan terapi sehubungan
dengan penyusunan formularium rumah sakit
D. Bersama dengan tim penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat
inap
E. Melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga kefarmasian dan
tenaga kesehatan lainnya
F. Melakukan penelitian

5. Konseling
Konseling obat merupakan suatu aktifitas pemberian nasehat atau saran
terkait terapi obat dari apoteker kepada pasien atau keluarganya.
Konseling untuk pasien rawat jalan ataupun rawat inap di semua fasilitas
kesehatan dapat dilakukan atas inisiatif Apoteker, rujukan dokter,
keinginan pasien atau keluarganya. Pemberian konseling yang efektif
mmerlkuan kepercayaan pasien dan keluarga terhadap apoteker
( Kepmenkes,2014)
Secara khusus tujuan dari konseling adalah:
a. Meninkatkan hubungan kepercayaan antara apoteker dan pasien
b. Menunjukan perhatia secara kepedulian terhadap pasien
c. Membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan penggunaan
obat dengan penyakitnya
d. Meningkatkan kepatuhan pasiendalam menjalani pengobatan
e. Mencegah dan meminimalkan masalah terkait obat
f. Meningkatkan kemampuan pasien memecahkan masalahnya dalam
hal terapi
g. Mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan
h. Membeimbing dan mendidik pasien dalam penggunaaan obat
i. Sehingga dapat mencapai tujuan pengobatan dan menigkatkan mutu
pengobatan pasien

6. Visite

21
Visite merupakan kegitan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan
apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk
mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, mengkaji masalah
terkait obat yang tidak dikehendaki, meningkatkan terapi obat yang
rasional, dan menyajikan informasi obat kepada dokter pasien serta
profesional kesehatan lainnya.
Visite juga dilakukan pada pasien yang sudah keluar rumah sakit baik atas
permintaan psien atau sesuai dengn program rumah sakit yang hiasa
disebut dengan Home pharmacy care). Sebelum melakukan kegatan visite
apoteker harus mempersiapkan diri dengan mengumpulkan informasi
mengenai kondisi pasien dan memeriksa terapi obat dari rekam medik
atau sumber lain (Kepmenkes,2014)

7. Pemantauan Terapi Obat (TPO)


PTO merupak suatu proses yang mencakup egiatan untuk memastikan
terapi obat yang aman, efektif, dan rasional bagi pasien
(Kepmenkes,2014).
Kegiatan dalam PTO meliputi (Kepmenkes,2014):
a. Pengkajian pemilihan obat, dosis serta cara pemberian obat, respons
terapi, reaksi obat yang tidak dikehendaki ( ROTD)
b. Pemerian rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat
c. Pemantauan efektifitas dan efek samping terapi obat

8. Monitoring efek samping (MESO)


Meso merupaan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang
tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lzim yang digunakan pada
manusia untuk profilaksis , diagnosa dan terapi.
MESO bertujuan (Kepmenkes,2014) :
a. Menemukan efek samping obat (ESO) sedini mungkin terutama yang
berat, tidk dikenal, frekuensinya jarang
b. Menetukan frekuensi dan insidensi ESO yang suda dikenal dan yang
baru saja ditemukan
c. Mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan atau
mempengaruhi angka kejadian dan hebatnya ESO
d. Meminimalkan resiko kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki
dan
e. Mencegah terulang kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki

22
9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
EPO merupkan program evaluasi penggunaan obat yang terstruktur dan
berkesinambungan secara kualitatif maupun kuantitatif
(Kepmenkes,2014)
Tujuan EPO adalah :
a. Mendapatkan gambaran keadaan saat pola penggunaaan obat
b. Membandingkan pola penggunaan obat pada periode waktu tertentu
c. Memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan obat
d. Menilai pengaruh interval atas pola penggunaan obat

10. Dispensing Sediaan steril


Dispensing sediaan steril harus dilakukan di instalasi farmasi rumah sakit
dengan tehnik aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan
melindungi petugas dari paparan zat yang berbahaya serta menghindari
terjadinya kesalahan pemberian obat (Kepmenkes,2014).
Dispensing sediaan steril bertujuan adalah (Kepmenkes,2014):
a. Menjamin agar pasien menerima obt sesuai dengan dosis yang
dibutuhkan
b. Menjamin sterilitas dan stabilitas produk
c. Menghindari terjadinya kealahan pemberian obat
Kegiatan dispensing sediaan steril meliputi (Kepmenkes,2014):
a. Pencampuran obat suntik
b. Penyiapan nutrisi parenteral

11. Penanganan sitostatik


Penanganan sitostatik merupakan penanganan obat kanker secara aseptik
dalam kemasan siap pakai sesuai kebutuhan pasien oleh tenaga farmasi
yang terlatih dengan pengendalian pada keamanan terhadap lingkngan,
petugas maupun sediaaan obatnya dari efek toksik dan kontaminasi
dengan menggunakan alat pelindung diri, mengamankan pada saat
pencampuran, distribusi, maupun proses pemberian kepada pasien
maupun proses pemberian kepada pasien sampai pembuangan
limbahnya(Kepmenkes,2014)
Kegiatan yang dilakukan pada penanganan sitostatik (Kepmenkes,2014):
a. Melakukan perhitungan dosis secara akurat
b. Melarutkan obat kanker esuai dengan protokol pengobatan

23
c. Mengemas dalam kemasan tertentu
d. Membuang limbah sesuai prosedur yang berlaku

12. Pemantauan kadar obat dalam darah (PKOD)


KDOT merupakan interpretasi hasil pemeriksaan kadar obat tertentub atas
permintaan ari dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit
atau atas ususlan dari apoteker kepada dokter (Kepmenkes,2014).
Kegiatan PKOD meliputi :
1. Melakukan penilaian kebutuhan pasien yang membutuhkan
pemeriksaan kadar obat dalam darah
2. Mendiskusikan kepada dokter untuk persetujuan melakukan
pemeriksaan kadar obat dalam darah
3. Menganalisis hasil pemeriksaan kadar obat dalam darah dan
memeberikan rekomendasi

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Arti penting dari farmasi klinik yaitu Silverman dan Lee (1974) :
1. Pharmacist-lah yang memegang peranan penting dalam membantu dokter
menuliskan resep rasional. Membantu melihat bahwa obat yang tepat, pada
waktu yang tepat, dalam jumlah yang benar, membuat pasien tahu
mengenai bagaimana, kapan, mengapa penggunaan obat baik dengan
atau tanpa resep dokter.
2. Pharmacist-lah yang sangat handal dan terlatih serta pakar dalam hal
produk/produksi obat yang memiliki kesempatan yang paling besar untuk
mengikuti perkembangan terakhir dalam bidang obat, yang dapat melayani
baik dokter maupun pasien, sebagai penasehat yang berpengalaman.

24
3. Pharmacist-lah yang merupakan posisi kunci dalam mencegah penggunaan
obat yang salah, penyalahgunaan obat dan penulisan resep yang irrasional.
Oleh karena itu, sudah seharusnya pelayanan Farmasi klinik di terapkan di
Rumah sakit apotek dan puskesmas. karena farmasi klinik sangat berperan dalam
kerasionalan obat yang diterima oleh pasien. Selain itu diperlukan komitmen yang
kuat dan berkesinambungan demi tercapainya program Farmasi klinik. Dan kunci
utama dalam keberhasilan Farmasi klinik adalah: penyiapan software,
profesionalisme SDM, kerja sama dan komitmen dari profesi, pemberdayaan
masyarakat, dan peraturan perundang-undangan.

SARAN
Adapun saran dari penulis yaitu agar prosedur-prosedur yang dapat
menunjang kegiatan pelayanan kefarmasian dapat dilengkapi yang bertujuan
untuk meningkatkan pelayanan kefarmasian baik itu di rumah sakit, puskesmas,
dan apotek . Selain itu hendaknya hak-hak pasien harus lebih di utamakan dan di
tingkatkan, contohnya terhadap pasien yang mendapatkan obat secara gratis
namun diharapkan pasien juga mendapatkan informasi obat sebagaimana
mestinya.

25

Anda mungkin juga menyukai