Anda di halaman 1dari 4

Menggugat Konflik Sosial Orang Muna*

*pernah dimuat pada harian Media Sultra Edisi 29 November 2012

___________________________________________________________

Saya yakin akan banyak orang tersinggung dengan judul tulisan ini khususnya bagi
kita orang Muna. Karenanya saya mohon maaf, tulisan ini bukan untuk
menyudutkan orang Muna secara keseluruhan, tapi saya hanya ingin berbagi pada
anak-anak muda Muna yang sekarang menjadi dalang kerusuhan sosial (perkelahian
antar lorong) dan pada orang-orang tua Muna termasuk tokoh adat didalamnya
tentang hal-hal yang menyebabkan terjadinya perubahan nilai-nilai sosial orang
Muna hingga konflik kekerasan antar anak muda terus terjadi.

Kondisi Muna saat ini begitu mencekam. Perkelahian antar lorong tiada henti. Anak
muda Palangga versus Empang dan Wapunto, Rambutan versus PK, Laino versus
Lampogu, dan masih banyak lagi perkelahian antar lorong telah memakan korban
jiwa. Di malam hari kota Raha sepi. Anak-anak hingga orang tua begitu takut keluar
rumah, takut dipotong atau ditikam, sebuah budaya baru yang muncul entah itu
budaya dari mana, jauh dari budaya orang Muna. Anak muda Muna kini mudah
sekali mengangkat parang atau badik (Sajam), hanya untuk menikam atau
memotong saling membunuh. Entah apa yang tersirat dipikiran anak-anak muda
ini. Tapi itulah realita yang terjadi bahwa sekarang anak-anak muda Muna begitu
mudah untuk saling membunuh dan berkelahi sesamanya.

Falsafah orang tua Muna zaman dulu begitu indah. Dapoangka-angkatau, dapopia-
piara, dapomasi-masigho, dapoadha-adhati. Pesan ini mengajarkan pada kita semua
orang Muna: untuk saling mengikuti dan bersama-sama dalam kebaikan, saling
tenggang rasa/ menghargai, saling menyayangi dan bersifat sopan santun/ punya
adat atau etika. Siapa pun kita, tidak memandang jabatan, suku, agama, strata
sosial: Kaumu (kaum bangsawan/ turunan raja/ yang berhak menjadi raja), Walaka
(golongan kedua setelah kaum bangsawan dalam strata sosial orang Muna/ berhak
atas pemerintahan/ sara) atau Anangkolaki (golongan masyarakat biasa)
selayaknya mengimplementasikan nilai-nilai peninggalan orang tua Muna ini. Tapi
sayang, hampir semua anak-anak muda termasuk orang tua Muna masa kini
melupakan falsafah hidup itu. Hingga akhirnya konflik kekerasan terus bermunculan
dari generasi ke generasi berikutnya.

Ironis memang, daerah yang 95% dihuni oleh suku asli Muna secara mayoritas
dengan agama Islam yang kuat tapi konflik kekerasan diantara mereka terus
meletup. Lebih aneh lagi konflik sesama anak-anak muda ini tidak saja terjadi di
Muna tetapi juga di luar daerah Muna dalam satu komunitas. Lihat konflik sesama
anak-anak muda Muna antar Lorong Barat dan Timur di Kelurahan Gunung Jati Kota
Kendari. Sangat memalukan! Lalu apa yang salah? kenapa budaya ini begitu cepat
mempengaruhi, menvirusi dan menyebar di kalangan anak-anak muda Muna?
Hal pertama yang menjadi catatan saya adalah bahwa kita orang Muna kehilangan
identitas diri sebagai masyarakat yang berbudaya. Hampir semua dari kita saat ini
tidak lagi menghargai budaya yang menjadi penetapan raja-raja dan leluhur orang
tua Muna. Lihat, acara pernikahan orang Muna. Hampir setiap acara adat, orang-
orang tua tidak lagi berpegang teguh pada tatanan adat yang telah ditetapkan.
Perdebatan tentang Kaumu, Walaka, Anangkolaki menjadi sengit dipertontonkan.
Kerapkali tokoh adat memutarbalikkan fakta turunan, Walaka menjadi Kaumu,
Anangkolaki menjadi Walaka ataupun sebaliknya memperjualbelikan adat, jauh dari
kaidah-kaidah adat sebenarnya. Menghilangkan identitas diri sebagai Kaumu,
Walaka atau Anangkolaki dengan alasan, ini bukan lagi zaman kerajaan bahwa
semua status sosial manusia itu sama. Semua merasa paling kuat bahwa bukan lagi
Kaumu yang harus didengar, atau bukan lagi kelompok Walaka yang harus
dihormati atau Anangkolaki yang selalu menjadi pesuruh pada masa lampau hingga
akhirnya garis tatanan adat itu hilang. Tidak ada lagi yang bangga mengakui dirinya
Kaumu, Walaka atau Anangkolaki, semua ingin menjadi bangsawan, yang harus
dihormati, diikuti, dihargai bukan karena dia adalah turunan raja tapi lebih dari pada
kekuatan finansial, jabatan dan kekuasaan. Pertikaian adat ini sering dipertontonkan
oleh tokoh-tokoh adat Muna yang kemudian menjalar pada anak-anak muda Muna,
yang menjadikan falsafah Muna diatas terlupakan. Diyakini ataupun tidak orang tua
Muna tempo dulu telah mengingatkan, siapapun yang mempermainkan adat akan
memperpendek umur selebihnya negeri Muna akan dilanda konflik berkepanjangan
diantara mereka sendiri. Ini adalah sumpah para raja peletak fondasi dasar
peradaban budaya Muna.

Bukan saja pada persoalan adat pernikahan, salah satu budaya sakral saat ini yang
telah terlupakan adalah Katoba/ sunat kampung. Acara seperti ini tidak lagi
dilakukan oleh sebagian besar orang tua kita. Mereka lebih suka menyunatkan
anaknya di rumah sakit yang lebih mudah dan murah daripada melakukan Katoba
dengan dimensi adat. Katoba tobat diri tidak lain menyunatkan anak guna
menyiapkannya menuju umur dewasa. Memandikannya, mensyahadatkannya,
mensyariatkannya untuk kemudian menjadi fitrah, menyadarkannya untuk selalu
berkata benar dan menjauhi perkataan buruk, menyumpahkannya atas nama Allah
SWT untuk selalu jujur dan tunduk pada kedua orang tua sebagai pengganti
tuhannya di muka bumi dan nasehat-nasehat sakral lainnya berdasarkan syariat
hukum islam orang tua Muna zaman dulu. Hingga saatnya kelak anak-anak itu
dewasa, tahu dan dapat membedakan mana perbuatan baik dan buruk dan lebih
memilih bersama-sama masyarakat lainnya melakukan kebaikan yang dalam istilah
Munanya Dapoangka-angkatau. Bandingkanlah, anak-anak muda Muna yang dulu
sering berbondong-bodong menuju masjid dan belajar ngaji ketimbang mabuk,
berkelahi dan saling membunuh diantara mereka seperti layaknya mayoritas anak-
anak muda masa kini.

Budaya lainnya yang telah kita lupakan adalah haroa pada hari-hari besar islam.
Kita tidak lagi mengenal baca-baca/ haroa/ munajat sembari zikir dengan suguhan
makanan siap saji pada peristiwa Maulid, Isra Miraj, Rajab, Muharam, Lailatul Qadr,
dan hari-hari besar islam lainnya sebagai rasa syukur kita pada allah SWT agar
terhindar dari bala bahaya dunia dan akhirat. Hingga generasi muda Muna lupa
akan hakikat agamanya, agama islam yang rahmatan lil alamin. Jika pemahaman
mereka kuat mengenai perayaan islam seperti ini maka tentunya mereka akan
mejauhi sifat-sifat jahiliyah.

Catatan saya yang kedua adalah kita orang Muna lebih senang berbicara mengenai
politik. Kita tidak pernah berhenti debat tentang calon bupati atau gubernur
menjelang bahkan pasca Pilkada, mulai dari kalangan elit hingga pada masyarakat
petani nelayan dan hampir seluruh orang Muna. Jika bicara politik, kecenderungan
kita lupa tentang segalanya termasuk kegiatan ekonomi. Sesungguhnya kendaraan
untuk memperoleh kekuasaan vehicle to get the power adalah menguasai
sumber-sumber ekonomi. Sayangnya penguasaan atas sumber-sumber ekonomi ini
tidak jarang memperhadapkan masing-masing kekuatan rakyat untuk saling
menguasai yang cenderung melahirkan konflik sosial. Disinilah awal terciptanya
konflik sosial antar masyarakat atau pendukung politik karena perebutan asset-
asset ekonomi atau mungkin pelampiasan atas kekalahan proses politik yang
terakumulasi dengan berbagai persoalan sosial lainnya. Melihat Indonesia yang
baru satu dekade lebih memiliki kebebasan demokrasi tentu kita belum begitu siap
berdemokrasi. Kita belum bisa menerima prinsip menang kalah. Selalu saja
semuanya berakhir dengan konflik hingga menjurus pada kekerasan. Apalagi
fenomena ini diperburuk ketika elit politik sengaja mendesain konflik untuk
mengadudomba masyarakat atas ketidakpuasan proses dan hasil politik yang ada.

Catatan ketiga dari pengamatan saya, dalam semua kasus perkelahian yang
melibatkan anak muda Muna, hampir tidak ada kepedulian dari pemerintah daerah.
Bupati ataupun polisi tidak berkutik. Keberadaan mereka dalam satu konflik sosial di
Muna hanya sebagai pelerai bukan penegak hukum untuk menindak siapa pelaku
dalang kerusuhan. Memang ada satu usaha pencegahan atau penegakan hukum
pada pelaku kerusuhan namun sayangnya kebijakan berjalan ditempat dan
sementara waktu. Tidak menyelesaikan akar persoalan sebenarnya. Tidak ada
ketegasan untuk menahan pelaku premanisme karena mungkin sang pelaku bagian
dari kebutuhan mereka untuk memuluskan maaf "bisnis gelap" penguasa dan
pejabat polisi yang korup. Hingga akhirnya padangan khalayak menilai perkelahian
antar remaja atau pemuda adalah pembiaran oleh penguasa. Lihat, betapa
masyarakat Kampung Rambutan menutupi akses jalan besar ke pemukiman mereka
yang menjadi jalan umum dengan bebatuan hingga mencapai 3 meter bahkan
lebih. Pemerintah hanya menutup mata, tidak bisa berbuat apa-apa, tidak mampu
menjamin kenyamanan rakyat.

Konflik memang suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat
kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Berbagai perbedaan
pendapat dan pandangan serta konflik biasanya dapat diselesaikan tanpa kekerasan
dan tentu menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar atau semua
pihak yang terlibat. Bagi sebagian orang, konflik tetap berguna apalagi karena
memang merupakan bagian dari keberadaan kita. Dari tingkat mikro, antar pribadi
hingga tingkat kelompok, organisasi, masyarakat dan negara semua bentuk
hubungan manusia sosial, ekonomi dan kekuasaan-- mengalami pertumbuhan,
perubahan dan konflik. Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-
hubungan itu sebagai contoh kesenjangan status sosial, kurang meratanya
kemakmuran dan akses yang tidak seimbang terhadap sumber daya, serta
kekuasaan yang tidak seimbang yang kemudian menimbulkan masalah-masalah
seperti diskriminasi, pengagguran, kemiskinan, penindasan dan kejahatan. Ini
terjadi di tanah Muna, dimana masing-masing tingkat tersebut membentuk sebuah
rantai yang memiliki potensi kekuatan untuk menghadirkan perubahan baik yang
konstruktif ataupun destruktif.

Akhirnya, mari kita semua orang Muna kembali pada falsafah besar raja Muna
Lakilaponto putra Sugimanuru: Hansuru-hansuru badha, sumanomo koemo hasuru
liwu, Hansuru-hansuru liwu, sumanomo koemo hasuru sara, Hansuru-hansuru sara,
sumanomo koemo hasuru adhati, Hansuru-hansuru adhati, sumanomo notangka
agama, yang maksudnya : hancur-hancur badan kami asal jangan hancur negeri
kami, hancur-hancur negeri kami asal jangan hancur pemerintahan kami, hancur-
hancur pemerintahan kami asal jangan hancur adat istiadat kami, hancur-hancur
adat istiadat kami asalkan agama Islam tetap tegak berdiri.

Anda mungkin juga menyukai