DASAR TEORI
Cekungan Sumatera Selatan terbentuk dari hasil penurunan (depression) yang dikelilingi
oleh tinggian batuan Pratersier. Pengangkatan Pegunungan Barisan terjadi di akhir Kapur disertai
terjadinya sesar-sesar bongkah (block faulting). Selain Pegunungan Barisan sebagai pegunungan
bongkah (block mountain) beberapa tinggian batuan tua yang masih tersingkap di permukaan
adalah di Pegunungan Tigapuluh, Pegunungan Duabelas, Pulau Lingga dan Pulau Bangka yang
merupakan sisa-sisa tinggian "Sunda Landmass", yang sekarang berupa Paparan Sunda.
Cekungan Sumatera Selatan telah mengalami tiga kali proses orogenesis, yaitu yang pertama
adalah pada Mesozoikum Tengah, kedua pada Kapur Akhir sampai Tersier Awal dan yang ketiga
pada Plio-Plistosen. Tektonik dan struktur geologi daerah Cekungan Sumatera Selatan dapat
dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu, Zona Sesar Semangko, zona perlipatan yang berarah
baratlaut-tenggara dan zona sesar-sesar yang berhubungan erat dengan perlipatan serta sesar-
sesar Pratersier yang mengalami pelebaran pola sebaran.
Secara fisiografis Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan Tersier berarah baratlaut-
tenggara, yang dibatasi Sesar Semangko dan Bukit Barisan di sebelah barat daya, Paparan
Sunda di sebelah timurlaut, Tinggian Lampung di sebelah tenggara yang memisahkan cekungan
tersebut dengan Cekungan Sunda, serta Pegunungan Dua Belas dan Pegunungan Tiga Puluh di
sebelah baratlaut yang memisahkan Cekungan Sumatra Selatan dengan Cekungan Sumatera
Tengah. Blake (1989) menyebutkan bahwa daerah Cekungan Sumatera Selatan merupakan
cekungan busur belakang berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya interaksi antara
Paparan Sunda (sebagai bagian dari lempeng kontinen Asia) dan lempeng Samudera India,
dimana sebelah barat daya dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur
oleh Paparan Sunda (Sunda Shield), sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh dan ke
arah tenggara dibatasi oleh Tinggian Lampung (Wisnu & Nazirman, 1997).
Secara garis besar Cekungan Sumatra Selatan sangat dipengaruhi oleh 2 fase tektonik,
1. fase terjadi saat Tersier Awal dan menghasilkan suatu basement dengan blok sesar yang
berorientasi timur laut-barat daya (NE-SW).
2. fase tektonik terjadi selama Plio-Pleistosen yang merupakan proses orogenik yang
menghasilkan pegunungan-pegunungan di sepanjang Cekungan Sumatra Selatan atau
secara lebih luasnya pegunungan-pegunungan di Pulau Sumatra, serta menghasilkan
struktur sesar geser (strike slip fault).
Formasi yang terbentuk selama fase transgresi dikelompokkan menjadi Kelompok Telisa
(Formasi Talang Akar, Formasi Baturaja, dan Formasi Gumai). Kelompok Palembang diendapkan
selama fase regresi (Formasi Air Benakat, Formasi Muara Enim, dan Formasi Kasai), sedangkan
Formasi Lemat dan older Lemat diendapkan sebelum fase transgresi utama. Stratigrafi Cekungan
Sumatra Selatan menurut (De Coster, 1974) adalah sebagai berikut (gambar tabel 2.1)
2. Formasi Lahat
Batuan tertua yang ditemukan pada Cekungan Sumatera Selatan adalah batuan yang
berumur akhir Mesozoik.Batuan yang ada pada Formasi ini terdiri dari batupasir tuffan,
konglomerat, breksi, dan lempung. Batuan-batuan tersebut kemungkinan merupakan bagian dari
siklus sedimentasi yang berasal dari Continental.
5. Formasi Baturaja
Anggota ini dikenal dengan Formasi Baturaja. Diendapkan pada bagian intermediate-
shelfal dari Cekungan Sumatera Selatan, di atas dan di sekitar platform dan tinggian.Kontak pada
bagian bawah dengan Formasi Talang Akar atau dengan batuan Pra-Tersier.Komposisi dari
Formasi Baturaja ini terdiri dari Batugamping Bank (Bank Limestone) atau platform dan reefal.
Ketebalan bagian bawah dari formasi ini bervariasi, namun rata-rata 200-250 feet (sekitar 60-75
m). Singkapan dari Formasi Baturaja di Pegunungan Garba tebalnya sekitar 1700 feet (sekitar
520 m). Formasi ini sangat fossiliferous dan dari analisis umur anggota ini berumur Miosen.
Hidrokarbon pada cekungan Sumatera Selatan diperoleh dari batuan induk lacustrine
formasi Lahat dan batuan induk terrestrial coal dan coaly shale padaformasi Talang Akar. Batuan
induk lacustrine diendapkan pada kompleks half-graben, sedangkan terrestrial coal dan coaly
shale secara luas pada batas half-graben. Selain itu pada batu gamping formasi Baturaja dan
shale dari formasi Gumai memungkinkan juga untuk dapat menghasilkan hirdrokarbon pada area
lokalnya (Bishop, 2000). Gradien temperatur di cekungan Sumatera Selatan berkisar 49 C/Km,
lebih kecil jika dibandingkan dengan cekungan Sumatera Tengah, sehingga minyak akan
cenderung berada pada tempat yang dalam.
2. Reservoar
Dalam cekungan Sumatera Selatan, beberapa formasi dapat menjadi reservoir yang efektif
untuk menyimpan hidrokarbon, antara lain adalah pada basement, formasi Lahat, formasi Talang
Akar, formasi Baturaja, dan formasi Gumai. Sedangkan untuk sub cekungan Palembang Selatan
produksi hidrokarbon terbesar berasal dari formasi Talang Akar dan formasi Baturaja.
Batuan penutup cekungan Sumatra Selatan secara umum berupa lapisan shale cukup
tebal yang berada di atas reservoir formasi Talang Akar dan Gumai itu sendiri (intraformational
seal rock).Seal pada reservoir batugamping formasi Batu Raja juga berupa lapisan shale yang
berasal dari formasi Gumai. Pada reservoir batupasir formasi Air Benakat dan Muara Enim, shale
yang bersifat intraformational juga menjadi seal rock yang baik untuk menjebak
hidrokarbon(Ariyanto, 2011).
4. Trap
Tipe jebakan struktur pada cekungan Sumatra Selatan secara umum dikontrol oleh
struktur-struktur tua dan struktur lebih muda. Jebakan struktur tua ini berkombinasi dengan sesar
naik sistem wrench fault yang lebih muda. Jebakan sturktur tua juga berupa sesar normal regional
yang menjebak hidrokarbon. Sedangkan jebakan struktur yang lebih muda terbentuk bersamaan
dengan pengangkatan akhir Pegunungan Barisan (pliosen sampai pleistosen) (Ariyanto, 2011).
5. Migrasi
Migrasi hidrokarbon ini terjadi secara horisontal dan vertikal dari source rock serpih dan
batubara pada formasi Lahat dan Talang Akar. Migrasi horisontal terjadi di sepanjang kemiringan
slope, yang membawa hidrokarbon dari sourcerock dalam kepada batuan reservoir dari formasi
Lahat dan Talang Akar sendiri. Migrasi vertikal dapat terjadi melalui rekahan-rekahan dan daerah
sesar turun mayor. Terdapatnya resapan hidrokarbon di dalam Formasi Muara Enim dan Air
Benakat adalah sebagai bukti yang mengindikasikan adanya migrasi vertikal melalui daerah sesar
kala Pliosen sampai Pliestosen (Ariyanto, 2011).
Faktor pengontrol utama struktur geologi regional di cekungan Sumatra tengah adalah
adanya Sesar Sumatra yang terbentuk pada zaman kapur. Struktur geologi daerah cekungan
Sumatra tengah memiliki pola yang hampir sama dengan cekungan Sumatra Selatan, dimana
pola struktur utama yang berkembang berupa struktur Barat laut-Tenggara dan Utara-Selatan.
Walaupun demikian, struktur berarah Utara-Selatan jauh lebih dominan dibandingkan struktur
Barat lautTenggara.Terdapat 2 pola struktur utama di Cekungan Sumatera Tengah, yaitu pola-
pola tua berumur Paleogen yang cenderung berarah utara-selatan (N-S) dan pola-pola muda
berumur Neogen Akhir yang berarah baratlaut-tenggara (NW-SE) (Eubank & Makki, 1981).
Terdapat 2 pola struktur utama di Cekungan Sumatera Tengah, yaitu pola-pola tua
berumur Paleogen yang cenderung berarah utara-selatan (N-S) dan pola-pola muda berumur
Neogen Akhir yang berarah baratlaut-tenggara (NW-SE) (Eubank & Makki, 1981).
Pada akhir Oligosen terjadi peralihan dari perekahan menjadi penurunan cekungan,
ditandai oleh pembalikan struktur yang lemah, denudasi dan pembentukan dataran
peneplain.Hasil dari erosi tersebut berupa paleosoil yang diendapkan di atas Formasi Upper Red
Bed.
Stratigrafi Cekungan Sumatra Tengah tersusun dari beberapa unit formasi dan kelompok batuan
dari yang tua ke yang muda, yaitu batuan dasar (basement), Kelompok Pematang, Kelompok Sihapas,
Formasi Petani dan Formasi Minas.
Batuan dasar (basement) berumur Pra Tersier berfungsi sebagai landasan Cekungan Sumatra
Tengah. Eubank dan Makki (1981) serta Heidrick dan Aulia (1993) menyebutkan bahwa batuan dasar
Cekungan Sumatra Tengah terdiri dari batuan berumur Mesozoikum dan batuan metamorf karbonat
berumur Paleozoikum Mesozoikum. Batuan tersebut dari timur ke barat terbagi dalam 3 (tiga) satuan
litologi, yaitu Mallaca Terrane, Mutus Assemblage, dan Greywacke Terrane.Ketiganya hampir paralel
berarah NNW-NW.
Kelompok Sihapas diendapkan di atas Kelompok Pematang, merupakan suatu seri sedimen pada
saat aktifitas tektonik mulai berkurang, terjadi selama Oligosen Akhir sampai Miosen Tengah. Periode ini
diikuti oleh terjadinya subsiden kembali dan transgresi ke dalam cekungan tersebut.Kelompok Sihapas ini
terdiri dari Formasi Menggala, Formasi Bangko, Formasi Bekasap, Formasi Duri dan Formasi Telisa.
Formasi Petani berumur Miosen Tengah-Pliosen.Formasi ini diendapkan secara tidak selaras di
atas Formasi Telisa dan Kelompok Sihapas.Formasi ini berisi sikuen monoton shale-mudstone dan berisi
interkalasi batupasir minor dan lanau yang ke arah atas menunjukkan pendangkalan.Lingkungan
pengendapan berubah dari laut pada bagian bawah menjadi daerah delta pada bagian atasnya.
Litologinya terdiri dari batupasir, batulempung, batupasir glaukonitan, dan batugamping yang dijumpai
pada bagian bawah, sedangkan batubara banyak dijumpai di bagian atas dan terjadi pada saat pengaruh
laut semakin berkurang.Komposisi dominan batupasir adalah kuarsa, berbutir halus sampai kasar,
umumnya tipis dan mengandung sedikit lempung yang secara umum mengkasar ke atas.
Formasi Minas merupakan endapan Kuarter yang diendapkan secara tidak selaras di atas
Formasi Petani. Disusun oleh pasir dan kerikil, pasir kuarsa lepas berukuran halus sampai sedang serta
limonit berwarna kuning.Formasi ini berumur Plistosen dan diendapkan pada lingkungan fluvial-
alluvial.Pengendapan yang terus berlanjut sampai sekarang menghasilkan endapan alluvium yang
berupa campuran kerikil, pasir dan lempung.
Gambar 2.4. Kolom stratigrafi Cekungan Sumatera Tengah (Eubank & Makki, 1981 dalam
Heidrick & Aulia, 1993)
2.3. Cekungan Ombilin
Cekungan Ombilin adalah cekungan yang berada diantara tinggian yang terletak pada
Sumatera Barat dan merupakan cekungan antara pergunungan yang terbentuk dari patahan blok
atau pensesaran yang terjadi pada akhir kapur dalam zona sesar Sumatera. Pada cekungan ini
terdapat adanya endapan batubara yang terbentuk pada umur paleogen ( oligosen ) yang terjadi
dari berkembangnya bagian rawa-rawa pada bagian tengah. Cekungan Ombilin diklasfikasikan
sebagai cekungan intra- montana (Koesoemadinata dkk 1978). Batuan dasar cekungan ombilin ini
adalah batuan pra-tersier yang telah membentuk Pulau Sumatera sejak kapur akhir Periode
tektonik yang membentuk cekungan tersier didalam pulai ini adalah periode tektonik kapur akhir-
tersier awal struktur geologi dan dikontrol oleh sesar menganan dengan arah utara ke selatan.
Menurut Situmorang dkk (1991) secara umum Cekungan Ombilin dibentuk oleh dua terban
berumur Paleogen dan Neogen, dibatasi oleh sesar Tanjung Ampalu berarah utara-selatan.
Menurut Hastuti, dkk (2001) terdapat 5 fase tektonik yang bekerja di cekungan Ombilin pada saat
Tersier seoerti pada Gambar 2.5.dan Gambar 2.6.
Kolom stratigrafi cekungan Ombilin kali pertama diusulkan oleh Musper (1924), Musper
mendefinisikan menjadi tiga formasi yaitu :
1. Grup Napal; Miosen Bawah awal sampai Miosen Atas akhir (Mergel Afdeeling).
2. Grup Batupasir Kuarsa; Oligosen awal sampai akhir (Kwarts Zandsteen).
3. Grup Breksi dan Serpih; Paleosen tengah sampai Eosen tengah (Breccie en Mergelschalie
Afdeeling).
Pada tahun 1981, Koesoemadinata dan Matasak mendefinisi ulang kolom stratigrafi yang
digunakan oleh Silitonga dan Kastowo untuk menyesuaikan dengan penamaan stratigrafi
internasional. Koesoemadinata dan Matasak memperkenalkan nama formasi baru pada anggota
klasifikasinya. Klasifikasi tersebut adalah:
(1). Formasi Ombilin; Miosen Bawah awal sampai Miosen Atas akhir.
(2). Formasi Sawahtambang (anggota Rasau dan Poro); Oligosen awal sampai akhir.
(3). Formasi Sawahlunto; Oligosen tengah sampai akhir.
(4). Formasi Sangkarewang; Paleosen tengah sampai akhir.
(5). Formasi Brani (anggota Kulampi dan Selo); Paleosen tengah sampai akhir.
Gambar 2.7. Kolom stratigrafi Cekungan Ombilin dalam Silitonga dan Kastowo (1975)
Penamaan ini masih digunakan dalam semua publikasi mengenai cekungan Ombilin
yang ada sampai saat ini.Perbedaan utama antara Kastowo dan Silitonga (1975) dan
Koesoemadinata dan Matasak (1981) adalah pada definisi ulang dalam Formasi Ombilin
Bawah.Koesoemadinata dan Matasak (1981) membagi Formasi Ombilin Bawah kedalam
batubara yang berumur Eosen, batupasir dan serpih Formasi sawahlunto, dan batupasir berlapis
silang-siur dan beramalgamasi Formasi Sawahtambang.
.Ada empat tipe batuan induk yang dapat dipertimbangakan dari blok sepanjang wilayah
Cekungan Ombilin dari yang tertua sampai yang termuda, yaitu:
Lacustrine Shale merupakan batuan induk utama dalam Cekungan Ombilin. Berdasarkan
TOC, Formasi Sangkarewang dari sedimen Syn-rift awal dapat dikategorikan sebagai
potensial batuan induk.
Coal bed di interval ini ada hubungan dengan minyak dengan titik kelimpahan tinggi yang
ditest di sumur Sinamar-1. Pada sumur Sinamar-1, Formasi Sawahlunto ditemukan pada
kedalaman 7025 - 7575 ft. Lapisan ini mengalami kematangan yang telat, dimana oil prone
kerogen terutama akan berbentuk condensat dan gas kering.
Potensial shale source pada interval ini sangat terbatas, dimana minyak ditemukan
terasosiasi dengan shale tersebut pada kedalaman 2200 ft sampai 2400 ft.
Marine shale tebal dari formasi ini yang ditemukan pada sumur Sinamar-1belum matang.
Batuan induk masih terbuka lebar terhadap sistem petroleum di area sebelah utama blok ini
(Koning, 1985).
b. Kematangan (Maturity)
Tingkat kematangan hidrokarbon dari hasil analisis sampel geokimia sumur Sinamar-1 dan
dari sampel permukaan (dalam lubang seismik) menunjukkan tingkat kematangan dari early
mature (Formasi Ombilin) hingga kematangan yang tinggi (Formasi Sangkarewang).
c. Reservoar
Dari sumur Sinamar-1 diperoleh data bahwa pada interval 2600 ft sampai 7500 ft, terutama
dari Formasi Sawahlunto dan Ombilin diperoleh sandstone dengan kualitas terbaik sebagai
reservoar.
d. Penyekat (Seal)
Pada kenyataannya, kemampuan seal dari cekungan Ombilin bukanlah suatu masalah.Hal
ini menjadi bagian penting dari sistem petroleum, karena regional dan lateral seal
intraFormasional dan vertikal seal yang sekarang. Efisiensi sistem sealing dari Cekungan
Ombilin terjadi dengan baik, keberadaan shale horizontersebar secara luas sebagai sealing
regional dan inform.