MAKALAH BESAR
Tugas Mata Kuliah Politik Hukum
Prof. DR. Satya Aryanto, S. H., M. H.
Oleh :
Christian Erikson Sitio
(5213220019)
No. Absen : 22
A. Latar Belakang
1
F. Isjwara, S.H.L.L.M. Pengantar Ilmu Politik, Putra Abardin, Bandung: 1999, hal 21.
proses sosial dan proses politik yang sangat penting artinya dan mempunyai pengaruh
yang luas, karena itu (undang-undang) akan memberi bentuk dan mengatur atau
mengendalikan masyarakat. Undang-undang oleh penguasa digunakan untuk
mencapai dan mewujudkan tujuan-tujuan sesuai dengan yang dicitia-citakan. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa Undang-undang mempunyai dua fungsi, yaitu:
1. Fungsi untuk mengekspresikan nilai, dan
2. Fungsi instrumental.
Berpijak pada kedua fungsi hukum di atas, maka dapat dikatakan bahwa hukum
bukan merupakan tujuan, melainkan sebagai sarana untuk mewujudkan apa yang
dicita-citakan. Ini berarti, apabila kita mau membicarakan Politik hukum Indonesia,
maka mau tidak mau kita harus memahami terlebih dahulu apa yang menjadi cita-
cita dari bangsa Indonesia merdeka.
Cita-cita inilah yang harus diwujudkan melalui sarana undang-undang
(hukum). Dengan mengetahui masyarakat yang bagaimana yang dicita-citakan oleh
bangsa Indonesia, maka dapat ditentukan sistem hukum yang bagaimana yang
dapat mendorong terciptanya sistem hukum yang mampu menjadi sarana untuk
mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia.2
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa perundang-undangan memang
bentuk pengaturan legal dalam sebuah negara hukum yang demokratis. Namun
peraturan hukum formal tak pernah netral, karena ada politik hukum di belakangnya.
Hukum formal itu lahir, hidup, dan juga bisa mati, dalam dinamika budaya hukum.
politik hukum menjadi sangat terasa, karena pemerintah pusat sangat berperan dalam
penyusunannya, sementara sebagai pemerintah pusat juga menjadi pihak dalam tarik
ulur posisi otonomi daerah. Dengan demikian suatu sistem hukum harus mengandung
peraturan-peraturan melalui pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai
wujud aplikatif politik hukum sebisa mungkin bersifat netral dan tidak memihak.
Peraturan perundang-undangan merupakan bagian atau subsistem dari sistem
hukum. Oleh karena itu, membahas mengenai politik peraturan perundang-undangan
2
Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya, SH,MH, Politik Hukum, Badan Penyediaan Bahan Kuliah
Program Studi Magister Kenotariatan Undip, Semarang: 2007, hal 13.
pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari membahas mengenai politik hukum.
Istilah politik hukum atau politik perundang-undangan didasarkan pada prinsip bahwa
hukum dan/atau peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari suatu produk
politik karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan rancangan
atau hasil desain lembaga politik (politic body).3 Sedangkan pemahaman atau definisi
dari politik hukum secara sederhana dapat diartikan sebagai arah kebijakan hukum
yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah.4 M. Mahfud MD
mengemukakan bahwa politik hukum meliputi:
Pertama; pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan
terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan;
Kedua; pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi
lembaga dan pembinaan para penegak hukum.5
Sebagaimana telah disebutkan, bahwa politik peraturan perundang-undangan
merupakan bagian atau subsistem dari politik hukum, dengan demikian dapat
dikatakan bahwa mempelajari atau memahami politik hukum pada dasarnya sama
dengan memahami atau mempelajari politik perundang-undangan demikian pula
sebaliknya, karena pemahaman dari politik hukum termasuk pula di dalamnya
mencakup proses pembentukan dan pelaksanaan/penerapan hukum (salah satunya
peraturan perundang-undangan) yang dapat menunjukkan sifat ke arah mana hukum
akan dibangun dan ditegakkan.6 Bagir Manan mengartikan istilah politik perundang-
3
HM. Laica Marzuki, Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Undang-Undang,
Jurnal Legislasi Vol. 3 Nomor 1, Maret 2006, hal. 2. Lihat juga M. Mahfud MD, Politik Hukum di
Indonesia, cet. II ,LP3ES, Jakarta, 2001, hal. 5. Mahfud MD menyebutkan bahwa hukum merupakan
produk politik yang memandang hukum sebagai formalitas atau kristalisasi dari kehendak-kehendak
politik yang saling berinteraksi dan saling bersanginan. Lebih jauh Mahfud MD mengemukakan
bahwa hubungan kausalitas antara hukum dan politik yang berkaitan dengan pertanyaan apakah hukum
mempengaruhi politik ataukah politik yang mempengaruhi hukum, dapat dijawab Pertama; hukum
determinan atas politik yaitu kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan
hukum. Kedua; politik determinan atas hukum karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari
kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bahkan saling bersaingan. Ketiga; politik dan
hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang sederajat determinasinya
4
M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. II ,LP3ES, Jaklarta, 2001, hal. 9
5
Ibid. Lihat juga Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Nasional, makalah pada Kerja
Latihan Bantuan Hukum, Surabaya, September 1985.
6
Bagir Manan, Politik Perundang-undangan, Makalah, Jakarta, Mei 1994, hal. 1
undangan secara sederhana yaitu sebagai kebijaksanaan mengenai penentuan isi atau
obyek pembentukan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan pembentukan peraturan perundang-undangan itu sendiri diartikan
sebagai tindakan melahirkan suatu peraturan perundang-undangan.7 Abdul Wahid
Masru mengartikan politik peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan
(beleids/policy) yang diterjemahkan sebagai tindakan pemerintahan/negara dalam
membentuk peraturan perundang-undangan sejak tahap perencanaannya sampai
dengan penegakannya (implementasinya).8 Sehingga dapat disimpulkan bahwa politik
perundang-undangan merupakan arah kebijakan pemerintah atau negara mengenai
pengaturan (substansi) hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan
(hukum tertulis) untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selanjutnya, dimana dapat kita melihat gambaran mengenai politik
perundang-undangan yang sedang dijalankan oleh pemerintah/negara? Untuk melihat
perkembangan politik perundang-undangan yang berlaku pada masa tertentu secara
substansial dan sederhana sebenarnya dapat dilihat dari:
1. produk peraturan perundang-undangan yang dibentuk pada masa itu yang
secara mudah dan spesifik lagi biasanya tergambar pada konsiderans
menimbang dan penjelasan umum (bila ada) dari suatu peraturan perundang-
undangan yang dibentuk; dan
2. kebijakan yang dibuat oleh pemerintah/negara pada saat itu yang merupakan
garis pokok arah pembentukan hukum, seperti GBHN pada masa
pemerintahan orde baru atau Prolegnas dan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional yang berlaku pada saat ini
Berdasarkan hal ini, penulis tertarik untuk mengkaji hubungan negara hukum dan
pembentukan hukum, politik hukum dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan nasional
B. Rumusan Masalah
7
Ibid, hal. 2
8
Abdul Wahid Masru, Politik Hukum dan Perundang-undangan, Makalah, Jakarta, 2004.
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang
dapat diambil adalah :
1. Bagaimana hubungan Negara hokum dengan pembentukan hokum, politik
dengan hukum, dan politik hukum dengan peraturan perundang-undangan di
Indonesia?
2. Apa saja upaya yang akan ditempuh dalam merealisasikan apa yang menjadi
pembenahan sistem politik hukum oleh pemerintah?
3. Bagaimana peranan politik hukum dalam pembentukan Peraturan Perundang-
undangan di Indonesia?
.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Korelasi Hukum Dengan Ilmu Pengetahuan Non Hukum
Masuk dalam disiplin ilmu apakah hukum itu sebenarnya? Ini merupakan
pertanyaan dasar jika kita berbicara tentang hukum dan ilmu lain diluar hukum.
Apakah hukum itu berdiri sendiri dengan ciri khasnya? Tetapi mengapa hukum selalu
dapat dikaitkan dengan disiplin ilmu lainnya?
Perkembangan ilmu hukum selalu diikuti pertanyaan-pertanyaan diatas. Apa
hukum tetap pada porsinya sebagai ilmu murni sebagaimana tertuang dalam teori
hukum murni Hans Kelsen? Sedangkan perkembangan jaman menuntut hukum bisa
berkolaborasi dengan disiplin ilmu lain, jika tidak, maka hukum akan gagal
mewujudkan ketertiban dan keadilan dalam masyarakat. Hukum harus mengikuti
perkembangan masyarakat dan juga perkembangan ilmu pengetahuan agar hukum
bisa tetap eksis dalam mewarnai perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Hukum ada untuk masyarakat bukan sebaliknya, sehingga masyarakat dapat mentaati
hukum. Hukum tidak dapat dilihat hanya dengan menggunakan kacamata kuda tapi
harus dilihat secara luas karena hukum tidak hanya ilmu rasional sebagaimana yang
berkembang dalam era modern tapi hukum dapat juga dilihat dari segi ilmu lain,
sehingga hukum tidak hanya bersifat rasional tetapi juga metafisik dan metayuridik.
Aspekaspek lain seperti masyarakat, sejarah, politik, ekonomi, teknologi juga dapat
dimasukkan dalam objek kajian ilmu hukum. Sebagaimana ungkapan Scholten
(dalam Mahendra putra kurnia) :
bahan positif ini, yakni undang-undang, vonis-vonis dan sebagainya,
ditentukan secara histories dan kemasyarakatan. Penetapan undang-undang
adalah sebuah peristiwa histories, ia juga merupakan akibat dari serangkaian
fakta yang dapat ditentukan secara kemasyarakatan. Dalam pengolahan
undang-undang oleh ilmu hokum, bahan terberi ini tidak kehilangan karakter
historical dan sosialnya. Sebaliknya, justru karakter historical dan
kemasyarakatan bahan hukum itu menyebabkan pengolahan bahan hukum
itu tidak sepenuhnya terolah. Ilu hokum sensiri mempertahankan unsure
historical dan social bahan olahannya.
B. POLITIK HUKUM
Dibawah ini ada beberapa definisi yang akan disampaikan oleh beberapa ahli :9
1. Satjipto Rahardjo
Politik Hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai
tujuan dan cara cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam
masyarakat.
Satjipto Rahardjo memdefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara
yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan social dan hukum tertentu dalam
2. Cara-cara apa dan yang mana yang dirasa paling baik untuk dipakai dalam
3. Kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hokum itu perlu diubah?
9
http://balianzahab.wordpress.com/politik hukum/Apa Politik Hukum Itu Makalah, Berita,
Paparan dan Diskusi Masalah Hukum 'Law Education'.htm , diakses tanggal 27 Juni 2012 pukul
20.42 wib
10
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakan Konstitusi, Rajawali Pres, Jakarta, 2011,
Hal.14
4. Dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk membantu dalam
Jadi yang di katakan politik hukum bila dilihat dari asal katanya
13
Ibid.
Masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan hukum ,
sehingga masyarakat harus ikut berpartisipasi dalam pembentukan hukum .
v. Hukum adat dan hukum yang tidak tertulis lainnya diakui sebagai subsistem
hukum nasional sepanjang nyata-nyata hidup dan dipertahankan dalam
pergaulan masyarakat.
vi. Pembentukan hukum sepenuhnya didasarkan pada partisipasi masyarakat.
vii. Hukum dibentuk dan ditegakkan demi kesejahteraan umum ( keadilan sosial
bagi seluruh rakyat ) terwujudnya masyarakat yang demokratis dan mandiri
serta terlaksananya negara berdasarkan hukum dan konstitusi.
2. Politik Hukum yang bersifat temporer.
Dimaksudkan sebagai kebijaksanaan yang ditetapkan dari waktu ke waktu
sesuai dengan kebutuhan.
14
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, Rajawali Pres, Jakarta, 2011, Hal.2.
15
Ibid. Hal. 3
Menurut Bagir Manan, Politik Hukum ada yang bersifat permanen (tetap)
ada yang bersifat temporer. Politik Hukum yang tetap adalah yang berkaitan dengan
sifat hukum yang akan selalu menjadi dasar kebijakan pembentukan dan penegakan
hukum.sedangkan Hukum temporer adalah kebijakan yang di tetapkan dari waktu ke
waktu sesuai dengan kebutuhan termasuk kategori ini Misalnya penentuan Prioritas
pembentukan pereturan daerah, pembaharuan undang-undang yang menunjang
pembangunan nasiaonal dan sebagainya.16
16
Zudan Arif Fakrulloh, Ilmu Lembaga Dan Pranata Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, Hal. 121
17
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum.., Op.cit. Hal.64
mewujutkan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi harus diubah atau
dihapuskan. Dengan demikian, sebagai produk politik, hukum dapat dijadikan alat
justifikasi bagi visi politik pengusaha. Dalam kenyataannya, kegiatan legeslatif
(pembuatan undang-undang) memang lebih banyak memuat keputusan-keputusan
politik ketimpangan menjalankan pekerjaan-pekerjaan hukum yang sesungguhnya
sehingga lembaga legeslatif lebih dekat dengan politik dari pada hukum.18
Secara teoritis hubungan hukum dengan politik memag dapat di bedakan
atas tiga macam hubungan. Pertama sebagai das sollen, hukum diterima atas politik
karena setiap agenda politik harus tunduk pada aturan aturan. Kedua das sein, politik
determinan atas hukum karena dalam faktanya hukum merupakan produk politik
sehigga hukum apa pun yang ada di depan kita lain merupakan kristalisasi dari
kehendak politik yang saling bersaingan. Ketiga, politik dan hokum berhubungan
secara interdeterminan karana politik tampa hukum akan zalim sedangkan hukum
tampa pengawalan politik akan lumpuh. Hukum dalam konteks ini diartikan sebagai
undang-undang yang dibuat oleh lembaga legeslatif.19
18
Ibid. Hal.65
19
Moh. Mahfud MD, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, Hal.
69-70
BAB III
POLITIK HUKUM PEMBENTUKAN
PERUNDANG-UNDANGAN
20
Delfina Gusman, Politik Hukum dan Modifikasi Hukum Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan Nasional, 25 Mei 2013.
(1) fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan yang daya ikat dan daya
berlakunya ke dalam (internal pembentuk peraturan perundang-undangan); dan
(2) fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan yang daya ikat dan daya
berlakunya ke dalam (internal pembentuk peraturan perundang-undangan) dan
keluar (masyarakat/komunitas sasaran di luar pembentuk peraturan perundang-
undangan).
21
Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society in Transition : Toward Responsive Law, Harper
& Row, New York, 1978, hlm. 14
(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar.
(3) Negara Indonesia adalah negara hukum.
Berdasarkan rumusan Pasal 1 UUD 1945 itu, maka konsep politik hukum
(peraturan Perundang-undangan) nasional kita paling tidak dilandasi oleh 3 (tiga)
prinsip yang fundamental sebagai berikut:
(1) Prinsip negara hukum (welfare state);
(2) Prinsip negara kesatuan (unitary state) dengan bentuk pemerintah republik; dan
(3) Prinsip demokrasi (democracy).
Prinsip negara hukum yang dianut dalam konsep politik hukum (peraturan
Perundang-undangan) nasional kita adalah prinsip welfare state. Prinsip ini dapat
ditemukan dalam Pembukaan UUD 1945 alenia keempat.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan
Kebangsaan Indonesia itu
Prinsip welfare state dalam Pembukaan UUD 1945 itu mengisyaratkan agar
dalam pembentukan politik perundang-undangan nasional berorientasi pada tujuan
untuk:
(1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
(2) memajukan kesejahteraan umum;
(3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
(4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Prinsip negara kesatuan (unitary state) mengisyaratkan agar setiap pembentukan
politik perundang-undangan nasional, bingkai dan limitasinya adalah negara
kesatuan, dengan bentuk pemerintahannya republik. Ini artinya, bahwa setiap
peraturan perundang-undangan yang hendak dibentuk harus dalam rangka
mengokohkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bentuk negara kita menurut
UUD 1945 adalah negara kesatuan (bukan federal), sedangkan bentuk pemerintahan
negara kita adalah republik (bukan monarchi). Maka pembentukan dan materi
peraturan perundang-undangan baik di Pusat maupun Daerah tidak boleh lepas dari
kedua hal tersebut.
Selanjutnya prinsip demokrasi (democracy) mengisyaratkan agar setiap
pembentukan politik perundang-undangan nasional, senantiasa melibatkan peran serta
rakyat. Rakyat harus diberikan ruang secara demokratis untuk terlibat pada setiap
pembentukan peraturan perundang-undangan, mulai pada tahap rancangan hingga
pasca pengundangan. Pelibatan rakyat dalam setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan tidak saja mencerminkan prinsip demokrasi telah dianut dalam
konsep politik hukum nasional itu, akan tetapi juga memberikan indikasi
terbentuknya penyelenggaraan pemerintahan yang terbuka dan responsif
(partisipatif), serta mengarahkan bagi terbentuknya produk hukum (peraturan
perundang-undangan) yang demokratik.
Pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus memperhatikan
lingkup atau lingkungan kuasa hukum, yang menurut Logemann dapat dibedakan
menjadi 4 (empat) hal, yaitu:22
a. Lingkungan kuasa tempat (ruimtegebeid atau territorial sphere).
Berlakunya aturan hukum (peraturan perundang-undangan) di batasi oleh
ruang atau tempat. Apakah sesuatu aturan hukum itu berlaku untuk suatu wilayah
negara atau hanya berlaku untuk suatu bagian dari wilayah negara. Seperti diketahui,
daerah kekuasaan berlakunya suatu undang-undang dapat meliputi seluruh wilayah
negara, tetapi untuk suatu keadaan tertentu atau suatu materi tertentu hanya
diberlakukan untuk suatu wilayah tertentu pula. Suatu Perda hanya berlaku untuk
suatu wilayah daerah tertentu.
b. Lingkungan kuasa persoalan (zakengebeid atau material sphere).
Suatu materi atau persoalan tertentu yang diatur dalam suatu peraturan
perundang-undangan mengidentifikasi masalah tertentu. Dengan demikian maka
persoalan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan menunjukkan lingkup
22
Delfina Gusman, Politik Hukum dan Modifikasi Hukum Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan Nasional, 25 Mei 2013
materi yang diatur, apakah persoalannya adalah persoalan publik atau privat,
persoalan perdata atau pidana, dan sebagainya. Materi tersebut menunjukkan lingkup
masalah atau persoalan yang diatur.
c. Lingkungan kuasa orang (personengebied)
Sesuatu aturan mungkin hanya diberlakukan bagi sekelompok atau
segolongan orang atau penduduk tertentu. Dengan ditetapkannya subjek atau orang
tertentu dalam peraturan perundang-undangan tersebut maka hal itu memperlihatkan
adanya pembatasan mengenai orangnya. Undang-Undang tentang Pegawai Negeri,
Undang-Undang tentang Tenaga Kerja, Undang-Undang tentang Peradilan Militer,
dan sebagainya, menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan tersebut hanya
diberlakukan bagi kelompok orang yang diidentifikasi dalam peraturan perundang-
undangan itu.
d. Lingkungan kuasa waktu (tijdsgebied atau temporal sphere)
Lingkungan waktu menunjukkan kapan suatu peraturan perundang-undangan
berlaku, apakah berlaku untuk suatu masa tertentu atau untuk masa tidak tertentu,
apakah mulai berlaku sejak ditetapkan berlaku surut sebelum ditetapkan. Berlakunya
suatu peraturan hukum ditentukan oleh waktu.
23
Sri Soemantri M., Kekuasaan dan Sistem Pertanggungjawab Presiden Pasca Perubahan UUD 1945,
makalah pada Seminar Sistem Pemerintahan Indonesia Pasca Amandemen UUD1945, BPHN
Departemen Kehakiman bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan kanwil
Departemen Kehakiman dan HAM Provinsi Jawa Timur, Surabaya 9 Juni 2004, hlm. 6.
24
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945,
FH-UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 12
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikemukakan, bahwa rumusan
pengertian peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 angka
2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 itu kurang tepat. Pengertian peraturan
perundang-undangan itu seharusnya juga mencakup lembaga pemerintahan, baik
pusat maupun daerah, di samping lembaga negara sebagai pembentuk peraturan
perundang-undangan di Indonesia.
F. Politik Perundang-undangan
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa politik perundang-
undangan merupakan arah kebijakan pemerintah atau negara mengenai arah
pengaturan (substansi) hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan
(hukum tertulis) untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengapa
hanya menggambarkan keinginan atau kebijakan pemerintah atau negara? Dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa
kewenangan atau organ pembentuk peraturan perundang-undangan adalah hanya
negara atau Pemerintah.25
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembentukan peraturan perundang-
undangan merupakan bentuk monopoli negara yang absolut, tunggal, dan tidak dapat
25
Hal ini disebut sebagai asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat yang terdapat dalam
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
dialihkan pada badan yang bukan badan negara atau bukan badan pemerintah.
Sehingga pada prinsipnya tidak akan ada deregulasi yang memungkinkan
penswastaan pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun demikian dalam
proses pembentukannya sangat mungkin mengikutsertakan pihak bukan negara atau
Pemerintah dengan kata lain masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan
atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan
rancangan peraturan daerah.
Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa peraturan perundang-
undangan, baik langsung maupun tidak langsung akan selalu berkenaan dengan
kepentingan umum, oleh karena itu sangat wajar apabila masyarakat diikutsertakan
dalam penyusunannya.
Keikutsertaan tersebut dapat dalam bentuk memberikan kesempatan kepada
masyarakat untuk melakukan berbagai prakarsa dalam mengusulkan/memberikan
masukan untuk mengatur sesuatu atau memberikan kesempatan pada masyarakat
untuk menilai, memberikan pendapat atas berbagai kebijaksanaan negara atau
Pemerintah di bidang perundang-undangan. Dalam praktek, pengikutsertaan
dilakukan melalui kegiatan seperti pengkajian ilmiah, penelitian, berpartisipasi dalam
forum-forum diskusi atau duduk dalam kepanitiaan untuk mempersiapkan suatu
rancangan peraturan perundang-undangan.
Pada forum Dewan Perwakilan Rakyat juga dilakukan pemberian sarana
partisipasi yang dilakukan melalui pranata "dengar pendapat" atau "public hearing".
Berbagai sarana untuk berpartisipasi tersebut akan lebih efektif bila dilakukan dalam
lingkup yang lebih luas bukan saja dari kalangan ilmiah atau kelompok profesi, tetapi
dari berbagai golongan kepentingan (interest groups) atau masyarakat pada
umumnya. Untuk mewujudkan hal tersebut biasanya diperlukan suatu sistem
desiminasi rancangan peraturan perundang-undangan agar masyarakat dapat
mengetahui arah kebijakan atau politik hukum dan perundang-undangan yang
dilaksanakan. Sehingga pembangunan dan pembentukan peraturan perundang-
undangan dapat mengarah pada terbentuknya suatu sistem hukum nasional Indonesia
yang dapat mengakomodir harapan hukum yang hidup di dalam masyarakat
Indonesia yang berorientasi pada terciptanya hukum yang responsive. Berkaitan
dengan hal tersebut Mahfud MD juga menyatakan:
Hukum yang responsive merupakan produk hukum yang lahir dari strategi
pembangunan hukum yang memberikan peranan besar dan mengundang partisipasi
secara penuh kelompok-kelompok masyarakat sehingga isinya mencerminkan rasa
keadilan dan memenuhi harapan masyarakat pada umumnya. 26
Dari yang telah diuraikan tersebut, maka seharusnya peraturan perundang-
undangan dapat diformulasikan sedemikian rupa yaitu sedapat mungkin menampung
berbagai pemikiran dan partisipasi berbagai lapisan masyarakat, sehingga produk
hukum yang dihasilkan dapat diterima oleh masyarakat. Pemahaman mengenai hal ini
sangat penting karena dapat menghindari benturan pemahaman antara masyarakat dan
pemerintah atau negara yang akan terjebak ke dalam tindakan yang dijalankan diluar
jalur atau landasan hukum. Bila hukum yang dihasilkan adalah hukum yang
responsif, maka tidak akan ada lagi hukum siapa yang kuat (punya kekuasaan) akan
menguasai yang lemah atau anggapan rakyat selalu menjadi korban, karena lahirnya
hukum tersebut sudah melalui proses pendekatan dan formulasi materi muatannya
telah menampung berbagai aspirasi masyarakat. Pada dasarnya penerimaan (resepsi)
dan apresiasi masyarakat terhadap hukum sangat ditentukan pula oleh nilai,
keyakinan, atau sistem sosial politik yang hidup dalam masyarakat itu sendiri.27
Dalam sejarah perkembangan peraturan perundang-undangan di Indonesia
pernah terjadi bahwa selama lebih dari 30 tahun sebelum reformasi tahun 1998,
konfigurasi politik yang berkembang di negara Indonesia dibangun secara tidak
demokratis sehingga hukum kita menjadi hukum yang konservatif dan terpuruk
karena selalu dijadikan sub ordinat dari politik. Sedangkan ciri atau karakteristik yang
melekat pada hukum konservatif antara lain:
1. Proses pembuatannya sentralistik (tidak partisipatif) karena didominasi oleh
lembaga-lembaga negara yang dibentuk secara tidak demokrastis pula oleh
26
M. Mahfud MD, Demokratisasi Dalam Rangka Pembangunan Hukum Yang Responsif, Makalah,
FH UNDIP, Semarang, 1996, hlm 1
27
Iskandar Kamil, Peradilan Anak, Makalah, Disampaikan pada Workshop (Round Table Discussion)
mengenai Pedoman Diversi untuk Perlindungan Bagi Anak Yang Berhadapan dengan Hukum, Jakarta,
1 Juni 2005
negara. Di sini peran lembaga peradilan dan kekuatan-kekuatan masyarakat
sangat sumir.
2. Isinya bersifat positivist-instrumentalistik (tidak aspiratif) dalam arti lebih
mencerminkan kehendak penguasa karena sejak semula hukum telah
dijadikan alat (instrumen) pembenar yang akan maupun (terlanjur) dilakukan
oleh pemegang kekuasaan yang dominan.
3. Lingkup isinya bersifat open responsive (tidak responsif) sehingga mudah
ditafsir secara sepihak dan dipaksakan penerimanya oleh pemegang
kekuasaan negara.
4. Pelaksanaannya lebih mengutamakan program dan kebijakan sektoral jangka
pendek dari pada menegakkan aturan-aturan hukum yang resmi berlaku.
5. Penegakannya lebih mengutamakan perlindungan korp sehingga tidak jarang
pembelokan kasus hukum oleh aparat dengan mengaburkan kasus
pelanggaran menjadi kasus prosedur atau menampilkan kambang hitam
sebagai pelaku yang harus dihukum.28
Sejalan dengan M. Mahfud MD, mengenai ciri tersebut, Satya Arinanto
memberikan pendapatnya bahwa produk hukum yang konservatif mempunyai makna:
Produk hukum konservatif/ortodoks/elitis adalah produk hukum yang isinya lebih
mencerminkan visi sosial elit politik, keinginan pemerintah, dan bersifat positivis-
instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksanaan ideologi dan program negara. Ia lebih
tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok-kelompok maupun individu-individu
dalam masyarakat. Dalam pembuatannya, peranan dan partisipasi masyarakat relatif
kecil.
Sedangkan produk hukum responsif/populistik adalah produk hukum yang
mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses
pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok
sosial atau individu-individu dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsif terhadap
28
M. Mahfud MD, Langkah Politik dan Bingkai Paradikmatik Dalam Penegakan Hukum Kita,
Makalah, Bahan Kumpulan Perkuliahan Pasca Sarjana FH UI, 2004, hal 3-5
tuntutan-tuntutan kelompok-kelompok sosial atau individu-individu dalam
masyarakat.29
Dari pengalaman sejarah hukum30 tersebut seharusnya perlu dirancang suatu
skenario politik perundang-undangan nasional yang berorientasi pada pemahaman
konsep sistem hukum nasional yang diwujudkan dalam bentuk penyusunan peraturan
perundang-undangan secara komprehensif dan aspiratif. Penyusunan atau
pembentukan peraturan perundang-undangan yang aspiratif tersebut merupakan
rangkaian dari langkah-langkah strategis yang dituangkan dalam program
pembangunan hukum nasional yang dilaksanakan untuk mewujudkan negara hukum
yang adil dan demokratis serta berintikan keadilan dan kebenaran yang mengabdi
kepada kepentingan rakyat dan bangsa di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
29
Satya Arinanto, Kumpulan Materi Pendukung (Transparansi) Politik Hukum dan Politik Perundang-
undangan (Dihimpun dari Berbagai Sumber), Disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan
Perancangan Perundang-undangan Bagi Legislative DrafterSekretariat Jenderal DPR RI, tanggal 14
April 2003, hal. 8
30
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum , PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 107. Satjipto Rahardjo
mengutip Paul Scholten yang mengemukakan konsep bahwa hukum merupakan suatu kesatuan norma-
norma yang merupakan rangkaian perjalanan sejarah yang memandang kebelakang kepada peraturan
perundang-undangan yang ada dan memandang kedepan untuk mengatur kembali
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ini dapat dikatakan
sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang pernah ada dalam Era
Orde Lama dan Orde Baru. 31
Bila dilihat dari beberapa hal yang berkaitan dengan pembenahan substansi
hukum, maka dapat dikatakan bahwa politik hukum atau politik peraturan perundang-
undangan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ini diarahkan
pada permasalahan terjadinya tumpang tindih dan inkonsistensi peraturan perundang-
undangan dan implementasi undang-undang yang terhambat peraturan
pelaksanaannya. Berdasarkan adanya permasalahan tersebut, maka politik hukum
nasional akan diarah pada terciptanya hukum nasional yang adil, konsekuen, dan
tidak diskriminatif serta menjamin terciptanya konsistensi seluruh peraturan
perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah serta tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Untuk itu dalam rangka mengimplementasikan politik pembangunan hukum
nasional32 maka dengan Peraturan Presiden tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional tersebut ditetapkan suatu landasan politik perundang-undangan
nasional yang sejak tahun 2005 telah menetapkan kebijakan untuk memperbaiki
substansi hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundang-
undangan dengan memperhatikan asas umum dan hierarki peraturan perundang-
undangan.
Peninjauan dan penataan kembali peraturan pundang-undangan tersebut
adalah merupakan kegiatan yang dilakukan untuk melakukan peninjauan dan
penataan peraturan perundang-undangan termasuk didalamnya melakukan kegiatan
pengharmonisasian berbagai rancangan peraturan perundang-undangan dengan
rancangan peraturan perundang-undangan yang lain maupun terhadap peraturan
perundang-undangan yang telah ada, juga melakukan pengharmonisasi peraturan
31
Satya Arinanto, Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi, Pidato
Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar tetap pada FH-UI, Jakarta, 18 Maret 2006, hal. 14 16.
Alasan menyebut sama dengan GBHN dalam era Orde Lama dan Orde Baru, karena sebagai akibat
proses perubahan UD 1945, dimana salah satu dasar pemikiran perubahannya adalah tentang
kekuasaan tertinggi di tangan MPR, maka semenjak tahun 2004, MPR hasil pemilihan umum pada
tahun tersebut tidak lagi menetapkan produk hukum yang berupa GBHN
32
Satya Arinanto, Op.Cit., hal. 25
perundang-undangan yang sudah ada dengan peraturan perundang-undangan yang
lain. Hal ini dimaksudkan agar peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih,
inkonsistensi, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
(disharmonis) dapat ditinjau kembali untuk dilakukan perubahan atau revisi.
Politik perundang-undangan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional ditujukan untuk menciptakan persamaan persepsi dari
seluruh pelaku pembangunan khususnya di bidang hukum dalam menghadapi
berbagai isu strategis dan global yang secara cepat perlu diantipasi agar penegakan
dan kepastian hukum tetap berjalan secara berkesinambungan yang diharapkan akan
dihasilkan kebijakan/materi hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat serta
mempunyai daya laku yang efektif dalam masyarakat dan dapat menjadi sarana untuk
mewujudkan perubahan-perubahan di bidang sosial kemasyarakatan33.
Oleh karena itu, sasaran politik perundang-undangan nasional saat ini harus
mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) sebagai
arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang dilakukan secara bertahap
dan juga Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2010-2014.
Acuan tersebut sangat penting karena politik peraturan perundang-undangan
merupakan salah satu unsur penting dalam rangka pembangunan hukum nasional
secara keseluruhan yang merupakan suatu proses yang dinamis, mengalami
perubahan sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat dan politik yang tidak
terlepas dari:
a. keadaan masa lalu yang terkait dengan sejarah perjuangan bangsa;
b. keadaan saat ini yang berkaitan dengan kondisi obyektif yang
terjadi; serta
c. cita-cita atau keinginan yang ingin diwujudkan di masa yang akan
datang.34
33
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, jilid
III, No. 4, Padjadjaran, Bandung, 1970, hal. 5-16, dalam Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan
Sosial, Penerbit Alumni, Bandung, 1979, hal. 161.
34
Prolegnas: instrumen perencanaan perundang-undangan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang telah ditetapkan juga
telah mengarahkan pembentukan peraturan perundang-undangan yang harus
dilakukan melalui proses yang benar dengan memperhatikan tertib perundang-
undangan serta asas umum peraturan perundang-undangan yang baik. Adapun pokok-
pokok politik perundang-undangan yang akan dilaksanakan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional, dapat dikelompokkan antara lain meliputi
kegiatan:
a. Penegakkan dan Kepastian Hukum yang meliputi antara lain:
1) Penguatan dan Pemantapan Hubungan Kelembagaan Antar Penegak
Hukum;
2) Peningkatan Kinerja Lembaga Bidang Hukum;
3) Peningkatan Pemberantasan Korupsi;
4) Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik;
5) Peningkatan Kapasitas dan Akuntabilitas Aparat Hukum;
6) Inventarisasi dan Penyelarasan Peraturan Perundang-undangan yang
menghambat pembangunan;
7) Peningkatan Penghormatan, Pemajuan, dan Penegakan HAM
b. Pelaksanaan berbagai pengkajian hukum dengan mendasarkan baik dari hukum
tertulis maupun hukum tidak tertulis yang terkait dengan isu hukum, hak asasi
manusia dan peradilan;
c. Pelaksanaan berbagai penelitian hukum untuk dapat lebih memahami kenyataan
yang ada dalam masyarakat;
d. Harmonisasi di bidang hukum (hukum tertulis dan hukum tidak tertulis/hukum
adat) terutama pertentangan antara peraturan perundang-undangan pada tingkat
pusat dengan peraturan perundang-undangan pada tingkat daerah yang
mempunyai implikasi menghambat pencapaian kesejahteraan rakyat;
e. Penyusunan naskah akademis rancangan undang-undang berdasarkan kebutuhan
masyarakat;
f. Penyelenggaraan berbagai konsultasi publik terhadap hasil pengkajian dan
penelitian sebagai bagian dari proses pelibatan masyarakat dalam proses
penyusunan rekomendasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
g. Penyempurnaan dan perubahan dan pembaruan berbagai peraturan perundang-
undangan yang tidak sesuai dan tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat dan
pembangunan, serta yang masih berindikasi diskriminasi dan yang tidak
memenuhi prinsip kesetaraan dan keadilan;
h. Penyusunan dan penetapan berbagai peraturan perundang-undangan berdasarkan
asas hukum umum, taat prosedur serta sesuai dengan pedoman penyusunan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) adalah bagian dari manajemen dan
politik pembentukan peraturan perundang-undangan yang merupakan instrument
perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara berencana,
terpadu, dan sistematis35 yang ditetapkan untuk jangka waktu panjang, menengah, dan
tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Undang-Undang.
Prolegnas sangat diperlukan untuk menata sistem hukum nasional secara menyeluruh
dan terpadu yang didasarkan pada cita-cita Proklamasi dan landasan konstitusional
negara hukum Indonesia. Dasar hukum penyusunan Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) saat ini adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Presiden Nomor 61
Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi
Nasional.
Prolegnas memuat program pembentukan Undang-Undang dengan pokok
materi yang akan diatur serta keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan
lainnya yang merupakan penjelasan secara lengkap mengenai konsep Rancangan
Undang-Undang yang meliputi:
a. latar belakang dan tujuan penyusunan;
35
Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005, Psl. 1 angka 1 lihat pula Pasal 1
angka 9 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
b. sasaran yang akan diwujudkan;
c. pokok-pokok pikiran, lingkup atau obyek yang akan diatur; dan
d. jangkauan dan arah pengaturan.36
Penyusunan Prolegnas di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat
dikoordinasikan oleh Badan Legislasi dan Penyusunan Prolegnas di lingkungan
Pemerintah dikoordinasikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hasil
penyusunan Prolegnas di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat oleh Badan Legislasi
dikoordinasikan dengan Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM dalam rangka
sinkronisasi dan harmonisasi Prolegnas.
Di lingkungan pemerintah, Menteri Hukum dan HAM sebagai koordinator
dalam pelaksanaan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
Rancangan Undang-Undang di lingkungan pemerintah. Upaya pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang diarahkan pada
perwujudan keselarasan dengan falsafah Negara, tujuan nasional berikut aspirasi yang
melingkupinya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Undang-Undang lain yang telah ada berikut segala peraturan pelaksanaannya dan
kebijakan lainnya yang terkait dengan bidang yang diatur dalam Rancangan Undang-
Undang tersebut.
Prolegnas merupakan acuan dalam proses perencanaan penyusunan peraturan
perundang-undangan sekaligus sebagai bagian dari proses persiapan pembentukan
peraturan perundang-undangan memiliki peran yang sangat penting dalam
pembangunan hukum secara keseluruhan. Prolegnas dapat pula dikatakan sebagai
gambaran politik perundang-undangan Indonesia yang berisi rencana pembangunan
peraturan perundang-undangan.
Pembentukan peraturan perundang-undangan yang terarah melalui Prolegnas
diharapkan dapat mengarahkan pembangunan hukum, mewujudkan konsistensi
peraturan perundang-undangan, serta menghindari adanya disharmonis peraturan
perundang-undangan baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Dengan
disusunnya Prolegnas diharapkan akan dihasilkannya suatu kebijakan yang sesuai
36
Ibid, Psl. 4
dengan aspirasi masyarakat yang berkeadilan, mengandung perlindungan dan
penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta mempunyai daya laku yang efektif
dalam masyarakat.
Selain sebagai instrumen mekanisme perencanaan hukum yang
menggambarkan sasaran politik hukum atau polotik perundang-undangan secara
mendasar, Prolegnas juga memuat daftar Rancangan Undang-Undang yang dibentuk
selaras dengan tujuan pembangunan hukum nasional yang tidak dapat dilepaskan dari
rumusan pencapaian tujuan negara sebagaimana dimuat dalam Pembukaan UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu:
a. melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia;
b. mencerdaskan kehidupan bangsa; memajukan kesejahteraan umum; dan
c. ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Berdasarkan hal tersebut, Program Legislasi Nasional Tahun 20102014 yang
berlaku saat ini disusun sebagai politik perundang-undangan yang merupakan
implementasi dari substansi politik pembentukan hukum nasional untuk rentang
waktu tahun 2010 sampai dengan tahun 2014. Di dalam Prolegnas dimuat rencana
peraturan perundang-undangan yang akan dibuat selama kurun waktu lima tahun
tersebt yang dituangkan dalam Keputusan Dewan perwakilan Rakyat Republik
Indonesia. Berdasarkan Keputusan DPR RI Nomor 41A/DPR RI/I/2009-2010 dan
Keputusan DPR RI Nomor 41B/DPR RI/I/2009-2010 terdapat sebanyak 247 (dua
ratus empat puluh tujuh) RUU yang disepakati dalam Prolegnas 2010-2014 untuk
disusun dan beberapa RUU Kumulatif Terbuka. Dari rencana tersebut, saat 70 RUU
telah ditetapkan menjadi prioritas pembahasan pada 2010 dan kemungkinan
penambahan dari 5 jenis RUU ng bersifa Kumulatif Terbuka.37
BAB IV
PENUTUP
37
RUU Kumulatif Terbuka: 1) RUU tentang Pengesahan Perjanjian Internasional, 2) RUU tentang
Pengesahan Perjanjian Internasional, 3) RUU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, 4)
RUU tentang Pembentukan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota , 5) RUU Kumulatif Terbuka tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Menjadi Undang-Undang
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : Hubungan
Negara hokum dengan pembentukan hokum dapat dilihat dari definisi Negara hukum
itu sendiri, Negara hokum secara sederhana dapat diartikan bahwa Negara dalam
melaksanakan kegiatan pemerintahannya melandaskan pada hokum yang dalam hal
ini lebih pada peraturan perundang-undangan sebagai produk hokum, maupun dari
putusan hakim. Sedangkan hubungan politik hokum dengan hokum adalah bahwa
politik hukum merupakan bagian dari ilmu politik dengan objek kajian hokum
sehingga politik huku merupakan arah pandang hokum dari segi politik dan untuk
membatasi ilmu politik tersebut harus ada hokum didalamnya, begitu pula dengan
politik hokum pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan arah pandang
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang dalam hal ini biasa
dilakukan dengan membuat rencana pembangunan jangka menengah dan juga
program legislasi nasional. Arah kebijakan politik hukum nasional dilandaskan pada
keinginan untuk melakukan pembenahan sistem dan politik hokum. Apabila hukum
ditegakkan dan ketertiban diwujudkan, maka diharapkan kepastian, rasa aman,
tenteram, ataupun kehidupan yang rukun akan dapat terwujud. Untuk itu politik
hukum nasional harus senantiasa diarahan pada upaya mengatasi berbagai
permasalahan dalam penyelenggaraan sistem dan politik hukum yang meliputi
permasalahan yang berkaitan dengan substansi hukum, struktur hukum, dan budaya
hokum.
Selain itu Program legeslasi nasional dan Program legeslasi daerah merupakan
Potret Politik hokum nasional dan daerah yang memuat rencana materi dan sekaligus
merupakan instrumen (mekanisme) pembuatan hukum atau pembentukan hukum
dalam bentuk kebijakan Negara dan pemerintah. Pembentukan hukum di Indonesia
dari pusat ke daerah tidak lepas dari politik dan kekuasan dari para legislatornya,
pembentukan politik peratuaran daerah harusnya meberikan ruang masyarakat untuk
ikut serta dalam pembentukan peraturan agar masyarakat biasa menaati peraturan dan
perencanaan hukum harusnya konsisten dengan tujuan, dasar dan cita hokum yang
mendasarinya. politik hukum itu merupakan legal Policy tentang hukum yang
diberlakukan atau tidak diberlakukan utuk mencapai tujuan Negara. Disini hukum
diposisikan sebagai alat untuk mencapai tujuan Negara. Maka sebenarnya politik
hukum dalam pembentukan pereturan daerah (politik perundang-undangan) dapat
dibaca sebagai segala sesuatu yang berada di balik sebuah pereturan daerah antara
lain berupa tujuan, fungsi, Paradigma, kehendak politik Negara, maupun ideologi
hukum.
SARAN
Setiap persoalan hukum selalu dihadapkan pada persoalan substansi
hokum, struktur hokum dan budaya hokum, sehingga perlu dilakukan pembenahan
mulai dari substansi hukumnya , penegak hukumnya dan juga pelibatan masyarakat
dalam setiap proses pembuatan peraturan perundang-undangan dan juga sebaiknya
pembentukan pereturan peraturan perundang-undangan dari pusat dan daerah
harusnya memperhatikan apa yang di inginkan masyarakan dan sesuai dengan kultur
masyarakat Indonesia.
DAFTAR BACAAN
Buku :
H. Abdul Latif dan H hasbi Ali, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010
F. Isjwara, S.H.L.L.M. Pengantar Ilmu Politik, Putra Abardin, Bandung: 1999
Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya, SH,MH, Politik Hukum, Badan Penyediaan
Bahan Kuliah Program Studi Magister Kenotariatan Undip, Semarang: 2007
M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. II ,LP3ES, Jakarta, 2001
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakan Konstitusi, Rajawali
Pres, Jakarta, 2011.
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, Rajawali Pres, Jakarta, 2011
Moh. Mahfud MD, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi, Rajawali Pers,
Jakarta, 2010, Hal. 69-70
Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society in Transition : Toward
Responsive Law, Harper & Row, New York, 1978
Hamsa Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun dan
Merancang Peraturan perundagan, Jakarta, Kencana Media Grup, 2009
I Gde Panjia Astawa Dan Suprin Naa, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundangan-
undanga di Indonesia, Alumni, Bandung, 2008
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam
UUD 1945, FH-UII Press, Yogyakarta, 2004
Kurnia, Mahendra Putra, Hukum Kewilayahan Indonesia;Harmonisasi Hukum
Pengembangan Kawasan Perbatasan Nkri Berbasis Tekhnologi Goo Spasial,
Malang:UB Press, 2011
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum , PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000
Soimin, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Negara Di Indonesia, UII
Press, Yogjakarta, 2010.
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan
Nasional, jilid III, No. 4, Padjadjaran, Bandung, 1970
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Penerbit Alumni, Bandung, 1979
Zudan Arif Fakrulloh, Ilmu Lembaga Dan Pranata Hukum, Rajawali Pers, Jakarta,
2011
Jurnal, Makalah :
HM. Laica Marzuki, Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap
Undang-Undang, Jurnal Legislasi Vol. 3 Nomor 1, Maret 2006
Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Nasional, makalah pada Kerja
Latihan Bantuan Hukum, Surabaya, September 1985
Abdul Wahid Masru, Politik Hukum dan Perundang-undangan, Makalah, Jakarta,
2004
Bagir Manan, Politik Perundang-undangan, Makalah, Jakarta, Mei 1994
Iskandar Kamil, Peradilan Anak, Makalah, Disampaikan pada Workshop (Round
Table Discussion) mengenai Pedoman Diversi untuk Perlindungan Bagi Anak
Yang Berhadapan dengan Hukum, Jakarta
M. Mahfud MD, Langkah Politik dan Bingkai Paradikmatik Dalam Penegakan
Hukum Kita, Makalah, Bahan Kumpulan Perkuliahan Pasca Sarjana FH UI,
2004
M. Mahfud MD, Demokratisasi Dalam Rangka Pembangunan Hukum Yang
Responsif, Makalah, FH UNDIP, Semarang, 1996
Satya Arinanto, Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi,
Pidato Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar tetap pada FH-UI, Jakarta, 18
Maret 2006
Satya Arinanto, Kumpulan Materi Pendukung (Transparansi) Politik Hukum
dan Politik Perundang-undangan (Dihimpun dari Berbagai Sumber),
Disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Perancangan Perundang-
undangan Bagi Legislative DrafterSekretariat Jenderal DPR RI, tanggal 14
April 2003
Sri Soemantri M., Kekuasaan dan Sistem Pertanggungjawab Presiden Pasca
Perubahan UUD 1945, makalah pada Seminar Sistem Pemerintahan
Indonesia Pasca Amandemen UUD1945, BPHN Departemen Kehakiman
bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan kanwil
Departemen Kehakiman dan HAM Provinsi Jawa Timur, Surabaya 9 Juni
2004
Peraturanperundang-undangan :
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan jo. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 .
Perpres Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional Tahun 2004-2009
Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005.