Anda di halaman 1dari 23

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Anatomi

2.1.1 Lapisan Selaput Otak (Meningens)

Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan luarnya

adalah pachymeninx atau duramater dan lapisan dalamnya, leptomeninx, dibagi

menjadi arachnoidea dan piamater. 2

1. Duramater

Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang kuat

dengan suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal). Kedua

lapisan dural yang melapisi otak umumnya bersatu, kecuali di tempat dimana

keduanya berpisah untuk menyediakan ruang bagi sinus venosus (sebagian besar

sinus venosus terletak di antara lapisan-lapisan dural), dan di tempat dimana

lapisan dalam membentuk sekat di antara bagian-bagian otak. 2

Gambar 2.1 Lapisan-lapisan selaput otak/meninges

2. Arachnoidea

3
4

Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan

hanya terpisah dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Ia

menutupi spatium subarachnoideum yang menjadi liquor cerebrospinalis, cavum

subarachnoidalis dan dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan septa-septa

yang membentuk suatu anyaman padat yang menjadi sistem rongga-rongga yang

saling berhubungan. Dari arachnoidea menonjol ke luar tonjolan-tonjolan mirip

jamur ke dalam sinus-sinus venosus utama yaitu granulationes pacchioni

(granulationes/villi arachnoidea). Sebagian besar villi arachnoidea terdapat di

sekitar sinus sagitalis superior dalam lacunae lateralis. Diduga bahwa liquor

cerebrospinali memasuki circulus venosus melalui villi. Pada orang lanjut usia

villi tersebut menyusup ke dalam tulang (foveolae granulares) dan berinvaginasi

ke dalam vena diploe. 2

3. Piamater

Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang

menutupi permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus,fissure dan sekitar

pembuluh darah di seluruh otak. Piamater juga membentang ke dalam fissure

transversalis di bawah corpus callosum. Di tempat ini pia membentuk tela

choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis, dan bergabung dengan ependim dan

pembuluh-pembuluh darah choroideus untuk membentuk pleksus choroideus dari

ventrikel-ventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di atas atap dari ventrikel

keempat dan membentuk tela choroidea di tempat itu. 2

2.1.2 Liquor Cerebrospinal (LCS)


5

1. Fungsi

Cairan ini mengontrol eksitabilitas otak dengan mengatur komposisi ion,

membawa keluar metabolit-metabolit (otak tidak mempunyai pumbuluh limfe),

dan memberikan beberapa perlindungan terhadap perubahan-perubahan tekanan

(volume venosus volume cairan cerebrospinal). 2

2. Komposisi dan Volume

Cairan cerebrospinal jernih, tidak berwarna dan tidak berbau. 2

Tabel 2.1 Nilai Normal Cairan Cerebrospinal


6

Gambar 2.2 Sirkulasi Liquor Cerebrospinalis

2.2 Definisi

Meningitis bakterial adalah suatu peradangan selaput jaringan otak dan

medulla spinalis yang disebabkan oleh bakteri patogen. Peradangan tersebut

mengenai arachnoid, piamater, dan cairan serebrospinal. Peradangan ini dapat

meluas melalui ruang subarachnoid sekitar otak, medulla spinalis, dan ventrikel.

Penyakit ini menyebabkan angka kematian yang cukup tinggi (5-10%). Hampir

40% diantara pasien meningitis mengalami gejala sisa berupa gangguan

pendengaran dan defisit neurologis. Meningitis harus ditangani sebagai keadaan

emergensi. Kecurigaan klinis meningitis sangat dibutuhkan untuk diagnosis

karena bila tidak terdeteksi dan tidak diobati, dapat menyebabkan kematian.1,3,4
7

2.3 Epidemiologi

Angka kejadian meningitis bakterial secara keseluruhan belum diketahui

dengan pasti. Tri Ruspandji di Jakarta tahun 1980 mendapatkan 1980

mendapatkan 1,9% dari pasien rawat inap. Di Surabaya tahun 1986-1992 jumlah

pasien per tahun berkisar antara 60-80 pasien. Di Amerika Serikat tahun 1994

angka kejadian untuk anak-anak di bawah 5 tahun berkisar 8,7 per 100.000

sedangkan pada anak di atas 5 tahun 2,2 per 100.000.1,4

Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dari tahun 1988-1993 didapatkan angka

kematian berkisar 13-18% dengan kecacatan 30-40%. Tri Ruspandji di Jakarta

1981 mendapatkan angka kematian sebesar 41,8% dan Setiyono di Yogyakarta

sebesar 50%. Laki-laki lebih banyak dibanding wanita 1,7 sampai 3:1. Sekitar

80% dari seluruh kasus meningitis bakterial terjadi pada anak dan 70% dari

jumlah tersebut terjadi pada anak berusia 1-5 bulan.1,4

2.4 Etiologi

Sebagai kuman penyebab adalah jenis pneumococcus, hemophilus

influenza, staphylococcus, streptococcus, e. coli, meningococcus dan salmonella.

Di Jakarta penyebab terbanyak ialah pneumococcus dan hemophilus influenza. Di

negeri barat penyebab terbanyak meningococcus, sedangkan di Jakarta jarang

ditemukan.4
8

Tabel 2.2 Etiologi Meningitis pada Anak

Penyebab meningitis bakterial berdasarkan usia, yaitu:1

a. Usia 0-2 bulan: streptococcus group B, E. coli


b. Usia 2 bulan-5 tahun: streptococcus pneumonia, Neisseria meningitidis,

haemophillus influenza.
c. Usia diatas 5 tahun: streptococcus pneumonia, Neisseria meningitidis.

2.5 Patogenesis

Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui:1

1. Aliran darah (hematogen) oleh karena infeksi ditempat lain seperti faringitis,

tonsillitis, endocarditis, pneumonia, infeksi gigi. Pada keadaan ini sering

didapatkan biakan kuman yang positif pada darah, yang sesuai dengan kuman

yang ada dalam cairan otak.


2. Perluasan langsung dari infeksi (perkontinuitatum) yang disebabkan oleh

infeksi dari sinus paranasalis, mastoid, abses otak, sinus cavernosus.


9

3. Implantasi langsung: trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, pungsi

lumbal dan mielokel.


4. Meningitis pada neonates dapat terjadi oleh karena:
a. Aspirasi dari cairan amnion yang terjadi pada saat bayi melalui jalan lahir

atau oleh kuman-kuman yang normal ada pada jalan lahir.


b. Infeksi bakterial secara transplacental terutama listeria.

Gambar 2.3 Patogenesis Meningitis Bakterial

Sebagian besar infeksi SSP terjadi akibat penyebaran hematogen. Saluran

napas merupakan port of entry utama bagi banyak penyebab meningitis bakterial.

Proses terjadinya meningitis bakterial melalui jalur hematogen mempunyai tahap-

tahap sebagai berikut:1

1. Bakteri melekat pada sel epitel mukosa nasofaring (kolonisasi)


2. Bakteri menembus rintangan mukosa
3. Bakteri memperbanyak diri dalam aliran darah (menghindar dari sel fagosit dan

aktivitas bakteriolitik) dan menimbulkan bakteriemia


4. Bakteri masuk ke dalam cairan serebrospinal
5. Bakteri memperbanyak diri dalam cairan serebrospinal
6. Bakteri menimbulkan peradangan pada selaput otak (meningen) dan otak
10

Gambar 2.4 Patogenesis Meningitis Bakterial

Bakteri yang menimbulkan meningitis adalah bakteri yang mampu

melampaui semua tahap dan masing-masing bakteri mempunyai mekanisme

virulensi yang berbeda-beda, dan masing-masing mekanisme mempunyai peranan

yang khusus ada satu atau lebih dari tahap-tahap tersebut. Terjadinya meningitis

bakterial dipengaruhi oleh interaksi beberapa faktor, yaitu:1

1. Faktor host
a. Laki-laki lebih sering dari wanita 1,7:1
b. Bayi dengan berat badan lahir rendah dan premature
11

c. Ketuban pecah dini, partus lama, manipulasi yang berlebihan selama

kehamilan, adanya infeksi ibu pada akhir kehamilan


d. Defisiensi kongenital dari ketiga immunoglobulin
e. Keganasan seperti leukemia, penyakit Hodgkin, dan myeloma multiple
f. Pemberian antibiotik, radiasi dan imunosupresan
g. Malnutrisi
2. Faktor Mikroorganisme
3. Faktor Lingkungan
a. Kepadatan penduduk
b. Kebersihan yang kurang
c. Pendidikan rendah
d. Sosial ekonomi rendah

2.6 Patofisiologi

Akhir-akhir ini ditemukan konsep baru mengenai patofisiologi meningitis

bakterial, yaitu suatu proses yang kompleks, komponen komponen bakteri dan

mediator inflamasi berperan menimbulkan respons peradangan pada selaput otak

(meningen) serta menyebabkan perubahan fisiologis dalam otak berupa

peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan aliran darah otak, yang dapat

mengakibatkan timbulnya gejala sisa.1


12

Gambar 2.5 Patofisiologi Molekuler Meningitis Bakterial

2.7 Manifestasi Klinis

Tidak ada satupun gambaran klinis yang patognomonik untuk meningitis

bakterial. Tanda dan manifestasi klinis meningitis bakterial begitu luas sehingga

sering didapatkan pada anak-anak baik yang terkena meningitis ataupun tidak.

Tanda dan gambaran klinis sangat bervariasi tergantung umur pasien, lama sakit di

rumah sebelum diagnosis dan respon tubuh terhadap infeksi.1


13

Meningitis pada bayi baru lahir dan prematur sangat sulit didiagnosis,

gambaran klinis sangat kabur dan tidak khas. Demam pada meningitis bayi baru

lahir hanya terjadi pada dari jumlah kasus. Biasanya pasien tampak lemas dan

malas, tidak mau makan, muntah-muntah, kesadaran menurun, ubun-ubun besar

tegang dan membonjol, leher lemas, respirasi tidak teratur, kadang-kadang disertai

ikterus kalau sepsis. Secara umum apabila didapatkan sepsis pada bayi baru lahir

kita harus mencurigai adanya meningitis.1

Bayi berumur 3 bulan-2 tahun jarang memberi gambaran klasik

meningitis. Biasanya manifestasi yang timbul hanya berupa demam, muntah,

gelisah, kejang berulang, kadang-kadang didapatkan pula high pitch cry (pada

bayi). Tanda fisik yang tampak jelas adalah ubun-ubun tegang dan membonjol,

sedangkan tanda Kernig dan Brudzinsky sulit di evaluasi. Oleh karena insidens

meningitis pada umur ini sangat tinggi, maka adanya infeksi susuan saraf pusat

perlu dicurigai pada anak dengan demam terus menerus yang tidak dapat

diterangkan penyebabnya.1

Pada anak besar dan dewasa meningitis kadang-kadang memberikan

gambaran klasik. Gejala biasanya dimulai dengan demam, menggigil, muntah dan

nyeri kepala. Kadang-kadang gejala pertama adalah kejang, gelisah, gangguan

tingkah laku. Penurunan kesadaran seperti delirium, stupor, koma dapat juga

terjadi. Tanda klinis yang biasa didapatkan adalah kaku kuduk, tanda Brudzinski

dan Kernig. Nyeri kepala timbul akibat inflamasi pembuluh darah meningen,

sering disertai fotofobia dan hiperestesi, kaku kuduk disertai rigiditas spinal

disebabkan karena iritasi meningen serta radiks spinalis.1


14

Kelainan saraf otak disebabkan oleh inflamasi lokal pada perineurium,

juga karena terganggunya suplai vaskular ke saraf. Saraf saraf kranial VI, VII,

dan IV adalah yang paling sering terkena. Tanda serebri fokal biasanya sekunder

karena nekrosis kortikal atau vaskulitis oklusif, paling sering karena trombosis

vena kortikal. Vaskulitis serebral menyebabkan kejang dan hemiparesis.1

Manifestasi Klinis yang dapat timbul adalah:1,4

1 Gejala infeksi akut.

a Lethargy.

b Irritabilitas.

c Demam ringan.

d Muntah.

e Anoreksia.

f Sakit kepala (pada anak yang lebih besar).

g Petechia dan Herpes Labialis (untuk infeksi Pneumococcus).

2 Gejala tekanan intrakranial yang meninggi.

a Muntah.

b Nyeri kepala (pada anak yang lebih besar).

c Moaning cry /Tangisan merintih (pada neonatus)

d Penurunan kesadaran, dari apatis sampai koma.

e Kejang, dapat terjadi secara umum, fokal atau twitching.

f Bulging fontanel /ubun-ubun besar yang menonjol dan tegang.

g Gejala kelainan serebral yang lain, mis. Hemiparesis, Paralisis,

Strabismus.
15

h Crack pot sign.

iPernafasan Cheyne Stokes.

j Hipertensi dan Choked disc papila N. optikus (pada anak yang lebih

besar).

3 Gejala ransangan meningeal.

a Kaku kuduk positif.

b Kernig, Brudzinsky I dan II positif. Pada anak besar sebelum gejala di atas

terjadi, sering terdapat keluhan sakit di daerah leher dan punggung.

Gambar 2.6 Tanda Brudzinski

Gambar 2.7 Tanda Kernig


16

Gambar 2.8 Manifestasi klinis pada bayi / neonatus

Gambar 2.9 Manifestasi klinis pada anak dan dewasa


17

Gambar 2.10 Opisthotonus dan Blank starring pada M.Meningococcus


18

2.8 Diagnosis

Diagnosis meningitis bakterial tidak dapat dibuat hanya dengan melihat

gejala dan tanda saja. Manifestasi klinis seperti demam, sakit kepala, muntah,

kaku kuduk dan adanya tanda rangsang meningeal kemungkinan dapat pula terjadi

pada meningismus, meningitis TBC dan meningitis aseptic. Hampir semua penulis

mengatakan bahwa diagnosis pasti meningitis hanya dapat dibuat dengan

pemeriksaan cairan serebrospinalis melalui pungsi lumbal. Oleh Karena itu setiap

pasien dengan kecurigaan meningitis harus dilakukan pungsi lumbal.5

Umumnya cairan serebrospinal berwarna opalesen sampai keruh, tetapi

pada stadium dini dapat diperoleh cairan yang jernih. Reaksi Nonne dan Pandy

umumnya didapatkan positif kuat. Jumlah sel umumnya ribuan per milimeter

kubik cairan yang sebagian besar terdiri dari sel polimorphonuclear (PMN). Pada

stadium dini didapatkan jumlah sel hanya ratusan permilimeter kubik dengan

hitung jenis lebih banyak limfosit daripada segmen. Oleh karena itu pada keadaan

sedemikian, pungsi lumbal perlu diulangi keesokan harinya untuk menegakkan

diagnosis yang pasti. Keadaan seperti ini juga ditemukan pada stadium

penyembuhan meningitis purulenta. Kadar protein dalam CSS meninggi. Kadar

gula menurun tetapi tidak serendah pada meningitis tuberkulosa. Kadar klorida

kadang-kadang merendah.6

1. Anamnesis

Seringkali didahului infeksi pada saluran napas atas atau saluran cerna

seperti demam, batuk, pilek, diare dan muntah. Gejala meningitis adalah demam,
19

nyeri kepala, meningismus dengan atau tanpa penurunan kesadaran letargi,

malaise, kejang, dan muntah, merupakan hal yang sangat sugestif meningitis

tetapi tidak ada satu gejala pun yang khas. Banyak gejala meningitis yang

berkaitan dengan usia, misalnya anak kurang dari 3 tahun jarang mengeluh nyeri

kepala. Pada bayi gejala hanya berupa demam, iritabel, letargi, malas minum, dan

high pitched cry.1

2. Pemeriksaan Fisik

Gangguan kesadaran dapat berupa penurunan kesadaran atau iritabilitas,

dapat juga ditemukan di ubun-ubun besar yang membonjol, kaku kuduk, atau

tanda rangsang meningeal lain (Brudzinski dan Kernig), kejang, dan deficit

neurologis fokal. Tanda rangsang meningeal mungkin tidak ditemukan pada anak

berusia kurang dari 1 tahun. Dapat juga ditemukan tanda-tanda peningkatan TIK,

serta cari tanda infeksi di tempat lain (infeksi THT, sepsis, pneumonia).1

3. Pemeriksaan Penunjang1

- Darah perifer lengkap dan kultur darah. Pemeriksaan gula darah dan elektrolit

jika ada indikasi.


- Pungsi lumbal sangat penting untuk menegakkan diagnosis dan menentukan

etiologi:
Didapatkan cairan keruh atau opalesens dengan Nonne (-)/(+) dan Pandy (+)/

(++).
Jumlah sel 100-10.000/m3 dengan hitung jenis predominan polimorfonuklear,

protein 200-500 mg/dl, glukosa <40 mg/dl. Pada stadium dini jumlah sel

dapat normal dengan predominan limfosit.


20

Apabila telah mendapat antibiotik sebelumnya, gambaran LCS dapat tidak

spesifik.
- Pada kasus berat, pungsi lumbal sebaiknya ditunda dan tetap diberikan

pemberian antibiotik empirik (penundaan 2-3 hari tidak mengubah nilai

diagnostik kecuali identifikasi kuman, itupun jika antibiotiknya senstitif)


- Jika memang kuat dugaan kearah meningitis, meskipun terdapat tanda-tanda

peningkatan tekanan intracranial, pungsi lumbal masih dapat dilakukan asalkan

berhati-hati. Pemakaian jarum spinal dapat meminimalkan komplikasi

terjadinya herniasi.
- Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal hanya jika ditemukan tanda dan gejala

peningkatan tekanan intracranial oleh karena lesi desak ruang.


- Pemeriksaan CT-Scan dengan kontras atau MRI kepala (pada kasus berat atau

curiga ada komplikasi seperti empiema subdural, hidrosefalus dan abses otak)
- Pada pemeriksaan elektroensefalografi dapat ditemukan perlambatan umum.
2.9 Penatalaksanaan
Pemberian terapi dilakukan secepatnya saat diagnosis mengarah ke

meningitis. Idealnya kultur darah dan likuor cerebrospinal (LCS) harus diperoleh

sebelum antibiotik yang diberikan. Peningkatan tekanan intrakranial sekunder

akibat edema serebral jarang pada bayi. Monitor kadar gas darah dengan ketat

untuk memastikan oksigenasi yang memadai dan stabilitas metabolisme.6,7,8

Pada bayi dan anak-anak, Manajemen meningitis bakteri mencakup terapi

antibiotik dan terapi suportif. Terapi cairan dan elektrolit dilakukan dengan

memantau pasien dengan memeriksa tanda-tanda vital dan status neurologis dan

balans cairan, menetapkan jenis yang dan volume cairan, risiko edema otak dapat

diminimalkan. Anak harus menerima cairan cukup untuk menjaga tekanan darah

sistolik pada sekitar 80 mm Hg, output urin 500 mL/m2/hari, dan perfusi jaringan

yang memadai. 6,7,8


21

Bila anak dalam status konvulsivus diberikan diazepam 0,2-0,5 mg/kgBB

secara intravena perlahan-lahan, apabila kejang belum berhenti pemberian

diazepam dapat diulang dengan dosis dan cara yang sama. Apabila kejang

berhenti dilanjutkan dengan pemberian fenobarbital dengan dosis awal 10-

20mg/kgBB IM, 24 jam kemudian diberikan dosis rumatan 4-5mg/kgBB/hari.

Apabila dengan diazepam intravena 2 kali berturut-turut kejang belum berhenti

dapat diberikan fenitoin dengan dosis 10-20mg/kgBB secara intravena perlahan-

lahan dengan kecepatan dalam 1 menit jangan melebihi 50 mg atau

1mg/kgBB/menit. Dosis selanjutnya 5mg/kgBB/hari diberikan 12-24 jam

kemudian. Bila tidak tersedia diazepam, dapat digunakan langsung phenobarbital

dengan dosis awal dan selanjutnya dosis maintenance.1,9

Terapi antibiotik1,9

Penggunaan antibiotik terdiri dari 2 fase, yaitu fase pertama sebelum hasil

biakan dan uji sensitivitas. Pada fase ini pemberian antibiotik secara empirik

yaitu:9

Ampisilin 200 300 mg /kgBB/hari dibagi dalam 6 dosis dan

kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis pada neonatus 50

mg/kgBB/hari. Pada bayi dan anak pengobatan dilakukan selama 10 14

hari, dan neonatus selama 21 hari.

Pemberian antibiotik menurut IDSA 2004 guidelines for management of

bacterial meningitis adalah sebagai berikut :9

N meningitidis : penisilin, kloramfenikol, seftriakson selama 7 hari


22

H influenzae : ampisilin, kloramfenikol, seftriakson, sefotaksim selama 7

hari

S pneumoniae : penisilin, kloramfenikol, seftriakson, vankomisin selama

10-14 hari

Bacil aerob Gram negatif : sefotaksim, septazidim, seftriakson selam 21

hari

Menurut Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak tahun 2004, terapi

empirik untuk neonatus dengan meningitis bakterial sebagai berikut :9

Umur 0-7 hari

- Ampisilin 150 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV + Sefotaksim 100

mg/kgBB/hari setiap 12 jam IV atau

- Seftriakson 50 mg/kgBB/hari setiap 24 jam IV atau

- Ampisilin 150 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV + Gentamisin 5

mg/kgBB/hari setiap 12 ajm IV.

Umur >7 hari

- Ampisilin 200 mg/kgBB/hari setiap 6 jam IV + Gentamisin 7,5

mg/kgBB/hari setiap 12 jam IV atau

- Ampisilin 200 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV atau

- Seftriakson 75 mg/kgBB/hari setiap 24 jam IV.

Menurut Pedoman Pelayanan Medis IDAI tahun 2010, terapi empirik pada bayi

dan anak dengan meningitis bakterial sebagai berikut : 1,9


23

Usia 1 3 bulan :

- Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis +

Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis, atau

- Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2 dosis

Usia > 3 bulan :

- Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 3-4 dosis, atau

- Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi 2 dosis, atau

- Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis +

Kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis

Jika sudah terdapat hasil kultur, pemberian antibiotik disesuaikan dengan

hasil kultur dan resistensi.

Terapi Deksametason

Studi eksperimen mendapatkan bahwa pada hewan dengan meningitis

bakterial yang menggunakan deksametason menunjukkan perbaikan proses

inflamasi, penurunan edema serebral dan tekanan intrakranial dan lebih sedikit

didapatkan kerusakan otak. Dexametason diberikan dengan dosis 0,6

mg/kgBB/hari selama 4 hari. 1,8

Bedah

Umumnya tidak diperlukan tindakan bedah, kecuali jika ada komplikasi seperti

empiema subdural, abses otak, atau hidrosefalus.1,10


24

2.10 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat pengobatan yang tidak sempurna

atau pengobatan yang terlambat. Komplikasi yang mungkin ditemukan antara

lain:1
1 Ventrikulitis
Infeksi pada sistem ventrikel dapat primer atau sekunder penyebaran

mikroorganisme dari ruang subarachnoid karena pasang surut cairan serebrospinal

atau migrasi kuman yang bergerak.


2 Efusi Subdural
Kemungkinan efusi subdural perlu dipikirkan apabila demam tetap ada

setelah 72 jam pemberian antibiotik dan pengobatan suportif yang adekuat, ubun-

ubun besar tetap membonjol, gambaran klinis meningitis tidak membaik, kejang

fokal atau umum, timbul kelainan neurologis fokal dan muntah-muntah.


3 Gangguan Cairan dan Elektrolit
Pada pasien meningitis bakterial kadang disertai dengan hipovolemia

(edema), oliguria, gelisah, iritabel, dan kejang.


4 Tuli
5-30% pasien meningitis bakterial mengalami komplikasi tuli terutama

apabila disebabkan oleh S. Pneumonia. Tuli konduktif disebabkan oleh karena

infeksi telinga tengah yang menyertai meningitis. Yang terbanyak tuli

sensorineural.
2.11 Prognosis
Prognosis pasien meningitis bakterial tergantung dari banyak faktor, antara lain:1
1 Umur pasien
2 Jenis mikroorganisme
3 Berat ringannya infeksi
4 Lamanya sakit sebelum mendapat pengobatan
5 Kepekaan bakteri terhadap antibiotik yang diberikan
Makin muda umur pasien makin jelek prognosisnya; pada bayi baru lahir

yang menderita meningitis angka kematian masih tinggi. Infeksi yang disebabkan

bakteri yang resisten terhadap antibiotik bersifat fatal.


2.12 Pencegahan
25

Melakukan imunisasi Hib (mulai diberikan usia 2 bulan dengan interval 2

bulan, diberikan terpisah atau kombinasi), menjalani kebiasaan hidup sehat,

seperti istirahat yang cukup, tidak kontak langsung dengan penderita lain juga

dapat membantu.9

Pemberian antibiotik profilaksis berupa:9

1 H. Influenzae Type B
Ripamfisin 20 mg/kgBB (maks. 600 mg) dosis tunggal selama 4 hari

diberikan pada semua anak dan dewasa yang tinggal serumah dengan penderita

terutama bila ada anak selain penderita usia < 4 tahun.


2 N. Meningitidis
Anggota keluarga yang tinggal serumah dengan penderita, sebaiknya

dalam waktu 24 jam setelah diagnosis ditegakkan harus mendapatkan profilaksis

antibiotik. Antibiotik yang biasa dipakai adalah sulfadiazine 500-1000 mg 2 kali

sehari selama 3-5 hari atau sulfisuksazol setiap 12 jam dengan dosis 500mg/hari

untuk anak <1 tahun, 1000 mg untuk usia 1-12 tahun, dan 2000 mg untuk >12

tahun dan dewasa. Ripamfisin dapat diberikan selama 4 hari dengan dosis

2x600mg untuk dewasa, 10 mg/kgBB/kali untuk anak usia 1-12 tahun, dan 5

mg/kgBB kali untuk usia 3 bulan sampai 1 tahun. Seftriakson diberikan dengan

dosis 125 mg i.m dosis tunggal untuk anak <12 tahun dan 250 mg untuk anak >12

tahun. Siprofloksazin dapat diberikan pada orang dewasa dengan dosis 500 mg

tiap 12 jam.

Anda mungkin juga menyukai