Anda di halaman 1dari 13

Syok Hipovolemik et causa Pendarahan Intra Abdomen

Lisa Sari

102012129

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara NO. 6 Jakarta Abrat 1150

___________________________________________________________________________

Pendahuluan

Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan
metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang
adekuat ke organ-organ vital tubuh. Hal ini muncul akibat kejadian pada hemostatis tubuh
yang serius seperti pendarahan yang masif, trauma atau luka bakar yang berat (syok
hipovolemik), infark miokard luas atau emboli paru (syok kardiogenik), sepsis akibat bakteri
yang tak terkontrol (syok septik), tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok neurogenik) atau
akibat respons imun (syok anafilatik).1

Sedangkan trauma, menduduki tingkat keempat sebagai penyebab kematian di


Amerika Serikat ini. Lebih dari 140.000 kematian terjadi setiap tahun diakibatkan karena
kecelakaan, dan diperkirakan terdapat 140 juta kelumpuhan setiap tahunnya. Pusat
pemantauan penyakit menemukan bahwa lebih dari 4 juta tahun masa produktif hilang setiap
tahunnya akibat cedera dibanding dengan 2,1 juta akibat penyakit jantung dan 1,7 juta
diakibatkan kanker.2

Anamnesis

Riwayat trauma sangat penting untuk menilai penderita yang cedera. Misalnya dalam
tabrakan kendaraan bermotor meliputi kecepatan kendaraan, mechanism of injury nya,
posisi dan keadaan penderita saat dan setelah kejadian, dan sebagainya. Setelah itu secara
anamnesis dilakukan evaluasi, baik pada penderita sendiri yang sadar, atau pada keluarga dan
orang lain (bisa petugas medis, saksi mata) bila penderita tidak sadar.

Informasi-informasi yang harus diketahui dari anamnesis singkat berhubung ini


merupakan kasus kegawatdaruratan adalah identitas pribadi (bisa diketahui dari kartu tanda
pengenal) dan kronologis kejadian kecelakaan (waktu kejadian, kecelakaannya bagaimana,
ketabrak apa, pakai alat pelindung diri seperti safety belt / helm atau tidak, dan sebagainya).3

Pemeriksaan

Pemeriksaan fisik

Observasi keadaan umum

sakit ringan / sedang / berat

sirkulasi (sianosis, suhu akral, isi denyut, kehilangan darah)

jalan nafas terhalang / tidak

laju pernafasan cepat / lambat / sulit?

warna kulit (pucat, sianosis)

Observasi tanda-tanda vital

Tekanan darah

laju pernafasan

Denyut jantung

suhu3

Tingkat kesadaran (Skala Koma Glasgow)

Tabel 1. Skala Koma Glasgow

Parameter Respon Pasien Skor


E membuka secara spontan 4
membuka dengan rangsangan suara 3
Respon
membuka dengan rangsangan nyeri 2
membuka tidak ada respon 1
mata terbaik
M melakukan perintah dengan benar 6
gerakan terarah untuk merespon rasa nyeri 5
Respon
menarik anggota badan dari rangsang nyeri 4
motorik hanya dapat melakukan fleksi 3
terbaik hanya dapat melakukan ekstensi 2
tidak ada respon 1
V orientasi baik 5
kata-kata baik, kalimat baik, tapi isi percakapan 4
Respon
membingungkan
verbal
mengungkapkan kata-kata tidak jelas 3
terbaik kata-kata tidak dapat dimengerti, hanya mengerang 2
tidak ada respon 1

Cara penulisannya berurutan E-V-M sesuai nilai yang didapatkan. Pasien yang sadar
sepenuhnya (compos mentis) mempunyai skor GCS 15 (4-5-6), sedangkan pasien yang dalam
keadaan koma dalam mempunyai skor GCS 3 (1-1-1). Berikut merupakan intepretasi dari
skor GCS:

Skor 14-15 : compos mentis (dapat berorientasi dan komunikasi)

Skor 12-13 : apatis (tidak bisa tidur, acuh tak acuh, tidak bicara dan pandangan hampa)

Skor 11-12 : somnolen (dapat digugah dengan berbagai stimulasi, bereaksi secara
motorik / verbal kemudian terlelap lagi)

Skor 8-10 : stupor ( gerakan spontan, menjawab secara refleks terhadap rangsangan
nyeri, pendengaran dengan suara keras dan penglihatan kuat. Verbalisasi mungkin terjadi
tapi terbatas pada satu / dua kata saja. Non verbal dengan menggunakan kepala)

Skor <5 : koma (tidak bereaksi terhadap stimulus)1

Observasi keseluruhan

Lakukan inspeksi kepala untuk mencari laserasi, hematoma dan nyeri tekan. Periksa
tulang wajah untuk mencari krepitasi atau instabilitas. Periksa mata untuk melihat adanya
benda asing dan cedera langsung. Lihat gendang telinga untuk mencari adanya ruptur
aatau darah.

Periksa leher untuk mencari pembengkakan, hematoma dan ketidaksejajaran prosesus

spinosus posterior. Lakukan palpasi laring untuk mencari krepitus, nyeri tekan dan
stabilitasnya.

Periksa ulang dada untuk melihat gerakan dinding dada, krepitus (emfisema bedah),
nyeri tekan dan simetri bunyi nafas dan perkusi.
Periksa jantung untuk menentukan posisi denyut apeks, ketinggian JVP, murmur dan
bunyi jantung teredam

Perut bagian depan dan belakang harus diobservasi secara teliti apabila ada goresan,
robekan, hematom, atau jejas-jejas yang lain, dan apabila terlihat bertambah kembung atau
tidak. Periksa abdomen untuk melihat distensi, bising usus dan nyeri tekan.

Lakukan palpasi pinggang untuk melihat nyeri tekan dan isi, kemudian tekan panggul
untuk menemukan nyeri tekan atau krepitus. Periksa integritas simfisis pubis dan lakukan
evaluasi skrotum serta perineum untuk mencari hematoma dan pembengkakan. Lakukan
pemeriksaan rektal dan periksa meatus utetra untuk mencari darah.

Lakukan inspeksi dan palpasi lengan dan tungkai untuk mencari adanya deformitas,
pembengkakan dan cedera kulit. Periksa fungsi motorik dan sensasi kulit jika tingkat
kesadaran pasien memungkinkan.

Gulingkan (log-roll) pasien sehingga bisa memeriksa punggung.3

Pemeriksaan penunjang

Radiologi

Dengan trauma tumpul abdomen, maka cara diagnostik lain bisa bermanfaat. Tetapi
bila diminta pemeriksaan radiologi tambahan, maka dokter harus menyertai pasien ke deretan
radiologi serta dipersiapkan untuk menggagalkan tes diagnostik lebih lanjut bila pasien
memperlihatkan tanda pemburukan klinik yang memerlukan intervensi bedah segera.

Kebanyakan pasien trauma abdomen yang luas akan memerlukan rontenografi rutin
atas pelvis untuk menyingkirkan adanya fraktura pelvis yang luas. Fraktura pelvis sering
disertai dengan pendarahan vena retroperitoneal bermakna yang terbaik diterapi dengan cara
non bedah. Pada umumnya, rontgenogram polos abdomen tidak diindikasikan, karena mereka
mempunyai sensitivitas relatif rendah dan kurangnya spesifisitas dengan memperhatikan
diagnosis trauma abdomen. Kadang-kadang rontgenogram yang ditambah dengan kontras
bisa diindikasikan bila ruptura diaphragma dicurigai atau dokter sangat mencurigai cedera
duodenum atau genitourinarius.

Ultrasonografi (USG)
Beberapa dokter telah menganjurkan USG untuk menyelidiki abdomen bagi trauma
abdomen. Tetapi pengalaman dengan USG setelah trauma tumpul abdomen cukup terbatas
serta memerlukan adanya teknikus dan interpreter yang berpengalaman. Ia pemeriksaan yang
sama sekali non invansi yang memerlukan hanya 10-15 menit untuk mencapai layar seluruh
abdomen, tetapi sensitivitas keseluruhan metode ini belum diketahui pada saat sekarang.
Kerugian lebih lanjut dari penggunaan USG adalah sering adanya gas usus yang berlebihan
setelah trauma abdomen yang menggangu pemeriksaan sonografi.

Scanning radionuklida

Scanning radionuklida juga telah digunakan untuk penyaringan diagnostik spesiik


setelah trauma tumpul abdomen. Koloid ditandai Teknesium 99m digunakan untuk
melakukan pemeriksaan isotop noninvasif yang cepat atas limpa, hati atau ginjal.
Pemeriksaan demikian memerlukan sekitar 20 menit dan sangat bermanfaat bagi pasien
berikut dengan trauma hati, limpa atau ginjal yang didiagnosis tak bermakna sebelumnya.

Kerugian scanning radionuklida mencakup fakta bahwa cacat ini agak non spesifik serta
infark organ, abses, neoplasma dan pseudokista sering tampak serupa dengan lesi yang dapat
disebabkan oleh trauma. Lebih lanjut, metode ini tidak dapat mendeteksi cedera pada organ
tidak padat, seperti perforasi usus halus. Sehingga tak dapat mencapai penyaringan lengkap
atas abdomen bagi cedera traumatik seperti yang bisa didapat dengan bilas atau CT scanning.

CT scanning

Selama setengah dasawarsa yang lalu, gambaran CT telah lebih luas digunakan dalam
penyaringan abdomen setelah trauma tumpul. CT scan sangat spesifik untuk cedera pada
limpa, hati, ginjal, pancreas, duodenum, diaphragma dan retroperineum. Banyak ahli pada
pusat trauma di Amerika Serikat sekarang mengusulkan agar CT terutama menggantikan bilas
peritoneum sebagai metode terpilih untuk mengevaluasi trauma tumpul abdomen. Hasil
negatif palsu dapat ditimbulkan oleh artifak bergerak, sehingga teknik ini kurang bermanfaat
dalam pasien yang cemas atau mabuk. Harus ditekankan bahwa jika digunakan CT scanning,
masa bilas peritoneum tidak boleh dilakukan sebelum scanning, karena cairan bilas yang
tertahan bisa dikelirukan bagi darah intraperitoneum. Juga penguatan kontras bisa diperlukan
untuk membedakan hematoma dari organ parenkim, yang relatif isodens.
Tindakan ini memerlukan sekitar 20-30 menit serta mempunyai angka ketepatan 90%
bila tersedia pengintepretasi yang berpengalaman. Keuntungan CT mencakup kemampuan
memvisualisasi retroperitoneum dan untuk menilai luas kerusakan ginjal sebelum eksplorasi
bedah. Teknik ini tidak dibatasi oleh gas usus dan ia tidak invasi. Keuntungan utamanya atas
bilas peritoneum terletak dalam fakta bahwa ia tidak hanya sensitif, tetapi spesifik bagi jenis
dan luas cedera visera yang mendasari. Keuntungan utama lain bahwa jumlah pendarahan
intraabdomen dapat dinilai secara kuantitati dan pasien dengan laserasi organ padat ringan
tetapi dengan sedikit hemoperitoneum atau tak ada bisa ditatalaksana secara bukan bedah.
Pendarahan abdomen bisa diklasifikasi sebagai ringan / sedang dan penemuan ini bisa
dikorelasikan dengan penilaian klinik. Hematoma kecil cenderung terkumpul dekat tempat
asal, sedangkan perdarahan intraperitoneal bebeas sering ditunjukan oleh akumulasi darah di
dalam parit pericolica dan pelvis.

Kerugian utama CT scanning untuk deteksi cedera intraabdomen berhubungan dengan


fasilitas dan kemampuan lembaga. Scanner tubuh diperlukan dalam tempat yang sangat dekat
dengan kamar gawat darurat serta interpretasi ahli atas bayangan CT diperlukan berdasarkan
24 jam sehari.

Angiografi

Aortografi flush atau arteriogram renalis, mesenterica dan coeliaca selektif juga telah
dianjurkan untuk mendiagnosis cedera organ intra abdomen spesifik. Metodologi ini dapat
diandalkan untuk mendeteksi cedera hati, limpa dan ginjal yang bermakna serta mempunyai
keuntungan tambahan dalam menilai viabilitas jaringan, karena ia menilai perfusi parenkima
yang rusak.4

Diagnosis

Working diagnosis : syok hipovolemik et causa pendarahan intra abdomen

Syok hipovolemik didiagnosis ketika ditemukan tanda berupa ketidakstabilan


hemodinamik dan ditemukan adanya sumber pendarahan. Diagnosis akan sulit bila
perdarahan tak ditemukan dengan jelas atau berada dalam traktus gastrointestinal atau hanya
terjadi penurunan jumlah plasma dalam darah. Setelah perdarahan maka biasanya
hemoglobin dan hematokrit tidak langsung turrun sampai terjadi gangguan kompensasi atau
terjadi penggantian cairan dari luar. Jadi kadar hematokrit di awal tidak menjadi pegangan
sebagai adanya perdarahan. Kehilangan plasma ditandai dengan hemokonsentrasi, kehilangan
cairan bebas ditandai dengan hipernatremia. Temuan terhadap hal ini semakin meningkatkan
kecurigaan adanya hipovolemia. Berikut merupakan klasifikasi syok hipovolemik:1

Tabel 2. Klasifikasi Syok Hipovolemik

Parameter Golongan I Golongan II Golongan III Golongan IV


Kehilangan < 1000 1000-1500 1500-2000 >2000
darah (ml)
Kehilangan < 15 15-30 30-40 >40
darah (%)
TD sistolik Normal Normal Menurun Menurun
TD diastolik Normal Meningkat Menurun Menurun
Nadi 100 >100 >120 >140
Pengisian Normal Dapat lambat Biasanya lambat Lambat
kembali kapiler
Produksi urin > 30 20-30 5-20 0-5
(ml/jam)
Status mental normal teragitasi bingung Obtuned
Pengelolaan Tidak perlu Penggantian Penggantian Penggantian
penggantian volume dengan volume dengan volume dengan
volume cairan kristaloid cairan kristaloid cairan kristaloid
(3x kehilangan) dan darah dan darah

Etiologi

Syok hipovolemik adalah terganggunya sistem sirkulasi akibat volume darah dalam
pembuluh darah yang berkurang. Hal ini bisa terjadi akibat pendarahan yang masif atau
kehilangan darah. Syok hipovolemik bisa disebabkan oleh karena pendarahan (hematoma
subskapular hati, aneurisma aorta pecah, pendarahan gastrointestinal, perlukaan ganda),
kehilangan plasma (luka bakar luas, pankreatitis, deskuamasi kulit, sindrom dumpling), dan
kehilangan cairan ekstraseluler (muntah, dehidrasi, diare, terapi diuretik yang sangat agresif,
diabetes insipidus, insufisensi adrenal).1

Patofisiologi

Pendarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah rata-rata dan


menurunkan aliran balik darah baik ke jantung. Hal ini yang menimbulkan penurunan curah
jantung. Curah jantung yng rendah dibawah normal akan menimbulkan beberapa kejadian
pada beberapa organ:
Mikrosirkulasi

Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan berusaha untuk
meningkatkan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi jantung dan otak melebihi
jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya traktus gastrointestinal. Kebutuhan energi
untuk pelaksanaan metabolisme di jantung dan otak sangat tinggi tetapi kedua sel organ itu
tidak mampu menyimpan cadangan energi. Sehingga keduanya sangat bergantung akan
ketersediaan oksigen dan nutrisi tetapi sangat rentan bola terjadi iskemia yang berat untuk
waktu yang melebihi kemampuan toleransi jantung dan otak. Ketika tekanan arterial rata-rata
(mean arterial pressure / MAP) jatuh hingga 60 mmHg, maka aliran ke organ akan turun
drastis dan fungsi sel di semua organ akan terganggu.

Neuroendokrin

Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptor dan


kemoreseptor tubuh. Kedua reseptor tadi berperan dalam respons autonom tubuh yang
mengatur perfusi serta substrak lain.

Kardiovaskular

Tiga variabel seperti pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan (ejeksi) ventrikel dan
kontraktilitas miokard, bekerja keras dalam mengontrol volume sekuncup. Curah jantung,
penentu utama dalam perfusi jaringan, adalah hasil kali volume sekuncup dan frekuensi
jantung. Hipovolemia menyebabkan penurunan pengisian ventrikel, yang pada akhirnya
menurunkan volume sekuncup. Suatu peningkatan frekuensi jantung sangat bermanfaat
namun memiliki keterbatasan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung.

Gastrointestinal

Akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal, maka terjadi peningkatan
absorpsi endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri gram negatif yang mati di dalam usus. Hal
ini memicu pelebaran pembuluh darah serta peningkatan metabolisme dan bukan
memperbaiki nutrisi sel dan menyebabkan depresi jantung.

Ginjal

Gagal ginjal akut adalah satu komplikasi dari syok dan hipoperfusi, frekuensi
terjadinya sangat jarang karena cepatnya pemberian cairan pengganti. Yang banyak terjadi
kini adalah nekrosis tubular akut akibat interaksi antara syok, sepsis dan pemberian obat yang
nefrotoksik seperto aminoglikosida dan media kontras angiografi. Secara fisiologi, ginjal
mengatasi hipoperfusi dengan mempertahankan garam dan air. Pada saat aliran darah di
ginjal berkurang, tahanan arteriol aferen meningkat untuk mengurangi laju filtrasi glomerulus
yang bersama-sama dengan aldosteron dan vasopresin bertanggung jawab terhadap
menurunnya produksi urin.1

Manifestasi klinis

Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia, kondisi premorbid,
besarnya volume cairan yang hilang, dan lamanya berlangsung. Kecepatan kehilangan cairan
tubuh merupakan faktor kritis respons kompensasi. Pasien muda dapat dengan mudah
mengkompensasi kehilangan cairan dengan jumlah sedang dengan vasokonstriksi dan
takhikardia. Kehilangan volume yang cukp besar dalam waktu lambat, meskipun terjadi pada
pasien usia lanjut, masih dapat ditolerir juga dibandingkan kehilangan dalam waktu yang
cepat atau singkat.5
Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik akibat non-perdarahan serta
perdarahan adalah sama meski ada sedikit perbedaan dalam kecepatan timbulnya syok.
Respon fisiologi yang normal adalah mempertahankan perfusi terhadap otak dan jantung
sambil memperbaiki volume darah dalam sirkulasi efektif. Di sini akan terjadi peningkatan
kerja simpatis, hiperventilasi, pembuluh vena yang kolaps, pelepasan hormon stress serta
ekspansi besar guna pengisian volume pembuluh darah dengan menggunakan cairan
interstisial, interselular dan menurunkan produksi urin.6
Pada pasien dengan kemungkinan syok akibat hipovolemik, riwayat penyakit penting
untuk menentukan penyebab yang mungkin dan untuk penanganan langsung. Syok
hipovolemik akibat kehilangan darah dari luar biasanya nyata dan mudah didiagnosis.
Perdarahan dalam kemungkinan tidak nyata, seperti pasien hanya mengeluhkan kelemahan,
letargi, atau perubahan status mental. Gejala-gejala syok seperti kelemahan, penglihatan
kabur, dan kebingungan, sebaiknya dinilai pada semua pasien.
Pada pasien trauma, menentukan mekanisme cedera dan beberapa informasi lain akan
memperkuat kecurigaan terhadap cedera tertentu (misalnya, cedera akibat tertumbuk kemudi
kendaraan, gangguan kompartemen pada pengemudi akibat kecelakaan kendaraan bermotor).
Apabila syok telah terjadi, tanda-tandanya akan jelas. Pada keadaan hipovolemia, penurunan
darah lebih dari 15 mmHg dan tidak segera kembali dalam beberapa menit. Adalah penting
untuk mengenali tanda-tanda syok, yaitu:
1. Kulit dingin, pucat, dan vena kulit kolaps akibat penurunan pengisian kapiler selalu
berkaitan dengan berkurangnya perfusi jaringan.
2. Takikardia: peningkatan laju jantung dan kontraktilitas adalah respons homeostasis
penting untuk hipovolemia. Peningkatan kecepatan aliran darah ke mikrosirkulasi
berfungsi mengurangi asidosis jaringan.
3. Hipotensi: karena tekanan darah adalah produk resistensi pembuluh darah sistemik
dan curah jantung, vasokonstriksi perifer adalah faktor yang esensial dalam
mempertahankan tekanan darah. Autoregulasi aliran darah otak dapat dipertahankan
selama tekanan arteri turun tidak di bawah 70 mmHg.
4. Oliguria: produksi urin umumnya akan berkurang pada syok hipovolemik. Oliguria
pada orang dewasa terjadi jika jumlah urin kurang dari 30 ml/jam.
Penatalaksanaan

Pertolongan pertama bagi pasien dengan cedera berat :

Jalan nafas

Hal pertama dan terpenting dalam keadaan gawat darurat pada penatalaksanaan pasien
dengan cedera berat adalah mengusahakan jalan nafas yang adekuat. Segera setelah jalan
nafas bebas, alat-alat bantu pernafasan seperti ambu atau alat perlengkapan anestesi harus
sudah tersedia, dan diperlukan manset selang endotrakeal, sehingga tekanan positif pada
pernafasan dapat dibuat jika diperlukan resusitasi atau persiapan anestesi. Dan alat pengisap
atau mesin pengisap yang portabel harus tersedia pada unit gawat darurat untuk mengambil
sekret paru, benda-benda asing, dan sering juga untuk menghilangkan darah yang berasal dari
traktus respiratorius bagian atas. Pada dugaan cedera batang servikal, dimana selang
endotrakeal tidak tersedia, mungkin perlu dilakukan krikotiroidotomi atau trakeostomi.

Pernafasan

Segera setelah jalan nafas yang adekuat tersedia, gagal terkembangnya satu atau
kedua sisi dada merupakan tanda dari ventilasi yang membuat pemeriksa curiga adanya
cedera toraks mayor. Jika dicurigai pneumotoraks, dilakukan penusukan jarum suntuk
berukuran 18 ke dada diruang interkostal keda atau ketiga garis aksilaris anterior dan
dilakukan aspirasi untuk membebaskan udara yang ada. Hal ini dilakukan hanya pada pasien
dengan tension pneumotoraks dan dalam keadaan gawat dimana tidak ada waktu untuk
dilakukannya foto rontgen dada.
Perdarahan dan syok

Syok hipovolemik diatasi segera setelah jalan nafas dan gangguan pernafasan pasien
terkontrol. Dua kateter intravena ukuran 18 atau lebih dimasukan di vena perifer dan larutan
garam fisiologis seperti Ringer laktat diberikan sampai hasil cross matching dan tipe darah
diketahui. Syok akibat kehilangan darah sebesar 70 ml biasanya dapat dikoreksi dengan
pemberian 2 L larutan Ringer laktat secara cepat selama 15-20 menit. Kehilangan darah
sebanyak 750 ml biasanya memerlukan pemberian transfusi darah sebagai tambahan larutan
garam fisiologs. Jika pasien menunjukkan respons terhadap pemberian 1-2 L larutan garam
fisiologis maka terlihat peningkatan tekanan darah dan penurunan frekuensi nadi, tetapi
kemudian menjadi hipotensi, sehingga biasanya diperlukan transfusi darah. Pada pasien
dengan banyak kekurangan darah, darah tipe O, Rh negatif tanpa cross match segera
diberikan tanpa ragu-ragu.

Pendarahan eksternal dari ekstremitas, paling baik ditanggulangi melalui penekanan


dengan jari atau dengan pemasangan pembalut tekan pada luka atau pembuluh darah yang
pecah. Torniket secara rutin tidak digunakan di luar kamar operasi. Meskipun sudah
dilakukan pengontrolan sementara, melalui penekanan dengan jari atau pemasangan pembalut
tekan, pasien harus tetap dibawa ke ruang operasi untuk mencegah terjadinya hemostasis.1,2,7

Penanganan lanjutan

Setelah syok ditangani terlebih dahulu, baru kemudian penanganan terhadap trauma
abdomennya dilakukan. Pada kasus dikatakan ada nyeri tekan pada perut bagian kiri atas,
maka dari itu diduga organ yang terkena trauma adalah lien. Cedera viseral paling sering
mengenai lien atau hepar. Foto polos abdomen kadang-kadang membantu diagnosis ruptur
lien. Bahkan robekan yang kecil saja dari lien dapat menimbulkan pendarahan yang terus-
menerus, maka dari itu sekali diagnosis ditegakkan, keputusan mengenai intervensi operatif
merupakan indikasi.8 Intervensi operatif terbagi atas splenektomi total, splenektomi partial,
dan splenoraphy.

Splenoktomi total dilakukan jika terdapat kerusakan parenkim lien yang luas, avulsi lien,
kerusakan pembuluh darah hilum, kegagalan splenorapi dan splenoktomi parsial. Tindakan
splenektomi total tidak perlu diragukan, meskipun ada kemungkinan terjadinya Opsi. Insiden
untuk terjadi opsi lebih berarti bila dibandingkan dengan bahaya maut karena perdarahan
yang hebat. Lebih dari 50% dari semua ruptur lien memerlukan splenektomi total untuk
mengurangi opsi dikemudian hari ada pendapat-pendapat yang menganjurkan :

1). Autotranplantasi/reimplantasi jaringan lien, yaitu jaringan lien yang telah robek di
implantasikan kedalam otot-otot pada dinding perut atau di pinggang di belakang peritoneum.
Caranya ialah : jaringan lien tadi dimasukkan kedalam injeksi spuit dan melalui injeksi spuit
tadi jaringan lien dimasukkan kedalam otot-otot dinding perut.

2). Polyvaleat pneumococcal vaccine atau pneumovaks dapat dipakai untuk mencegah
terjadinya opsi. Cara-cara dan optimal untuk pemberian suntikan booster belum diketahui.

3). Prophylaksis dengan antibiotika. Pemberian antibiotika (denicilline, erythomycin,


trimethroprim-sulfomethoxazole) setiap bulan dianjurkan, terutama kali ada infeksi yang
menyebabkan demam diatas 38,5C. juga ada laporan mengenai opsi yang disebabkan karena
organisme-organisme yang sensitif penicilin, pada penderita post splenektomi yang telah
diberi penicilin profilaksis.

4). Yang lebih praktis adalah agar setiap penderita post splenektomi dianjurkan supaya segera
memeriksakan ke dokter setiap kali menderita panas. Penderita tersebut supaya langsung
diberi pengobatan antibiotika dan dievaluasi lebih lanjut, untuk mendapat perawatan medis
yang sempurna.

Splenektomi partial dilakukan pada keadaan ruptur lien tidak total sedapat mungkin lien
dipertahankan, maka dikerjakan slpenektomi partial dianggap lebih menguntungkan daripada
splenektomi total. Cara : eksisi satu segmen dilakukan jika ruptur lien tidak mengenai hilus
dan bagian yang tidak cedera masih vital.

Splenoraphy adalah operasi yang bertujuan mempertahankan lien yang fungsional dengan
tehnik bedah. Tindak bedah ini terdiri dari membuang jaringan non vital, mengikat pembuluh
darah yang terbuka dan menjahit kapsul lien yang terluka. Luka dijahit dengan jahitan berat
asam poliglikolat atau polidioksanon atau chromic catgut (0-0, 2-0, 3-0) dengan simple
jahitan matras atau jahitan figure of eight. Jika penjahitan laserasi kurang memadai, dapat
ditambahkan dengan pembungkusan kantong khusus dengan atau tanpa penjahitan omentum.

Kesimpulan
Syok hipovolemik merujuk kepada suatu keadaan di mana terjadi kehilangan cairan
tubuh dengan cepat sehingga terjadinya multiple organ failure akibat perfusi yang tidak
adekuat. Syok hipovolemik ini paling sering timbul setelah terjadi perdarahan hebat (syok
hemoragik). Perdarahan eksternal akut akibat trauma tembus dan perdarahan hebat akibat
kelianan gastrointestinal merupakan 2 penyebab syok hemoragik yang paling sering
ditemukan. Syok hemoragik juga bisa terjadi akibat perdarahan internal akut ke dalam rongga
toraks dan rongga abdomen.

Daftar Pustaka

1. Trisnohadi HR, Rahman AM, Alwi I, Budiman. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta: 2007 ; p205-9; 242-4.
2. Schwartz, Seymour I. Intisari prinsip-prinsip ilmu bedah. EGC. Jakarta; 2001; p65-95.
3. Gleadle, Jonathan. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Erlangga Medical
Series. Jakarta: 2002; p.18-9; 106,7.
4. David C, Buku ajar bedah sabiston. EGC. Jakarta:2000; p227-251.
5. FH Feng, KM Fock. 1996. Pengantar Penuntun Pengobatan Darurat. Yayasan Essentia
Medica - Andi Yogyakarta. Yogyakarta.
6. Sudoyo, Aru. W, Bambang Setyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simabrata K. 2007.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal. 180-181.
7. Kortbeek JB, Kaumann CR, Ali J, Brasel K, Burris D, Cioffi WG, dkk. Advanced
trauma life support for doctors. American College of Surgeons Committee on
Trauma.Chicago: 2008; p62-79; 331-49.
8. Elistam M, Sternbach GL, Bresler MJ. Penuntun kedaruratan medis, Edisi 5. EGC.
Jakarta: 1998;p151-2.

Anda mungkin juga menyukai