Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

KOMPLIKASI DIABETES MELITUS PADA MATA

Oleh :
Imelda Herman
1218011078

Perseptor :
dr. Yuda Saputra, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT MATA


RUMAH SAKIT UMUM AHMAD YANI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
2017
BAB. I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes melitus atau biasa dikenal sebagai penyakit kencing manis adalah
suatu penyakit yang disebabkan karena peningkatan kadar gula dalam darah
akibat kekurangan hormon insulin baik absolut maupun relatif. Absolut berarti
tidak ada insulin sama sekali sedangkan relatif berarti jumlahnya cukup atau
memang sedikit tinggi atau daya kerjanya berkurang.1 Diabetes Melitus
merupakan penyakit kronis yang dapat membutuhkan intervensi obat-obatan
seumur hidup terutama untuk mengelola penyakit dan mencegah komplikasi lebih
lanjut sehingga diabetes merupakan penyakit yang mahal. Menurut data WHO,
Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penderita Diabetes
Mellitus di dunia. Pada tahun 2000, terdapat sekitar 5,6 juta penduduk Indonesia
yang mengidap diabetes. Namun, pada tahun 2006 diperkirakan jumlah penderita
diabetes di Indonesia meningkat tajam menjadi 14 juta orang, dimana baru 50
persen yang sadar mengidapnya dan di antara mereka baru sekitar 30 persen yang
datang berobat teratur. Berkat kemajuan dalam penatalaksanaan diabetes mellitus
angka harapan hidup penderita diabetes meningkat secara tajam.2
Penyakit diabetes dapat menyebabkan komplikasi pada indera penglihatan
yaitu mata meliputi abnormalitas kornea, glaukoma, nevaskularisasi iris, katarak,
dan neuropati, dan retinopati.2 Diabetes mellitus sering dihubungkan dengan
komplikasi mikrovaskuler seperti retinopati nefropati dan neuropati
perifer. Salah satu komplikasi tersebut dapat mengenai kornea yang disebut
keratopathy neurotropik.3 Selain pada kornea, diabetes juga dapat menyebabkan
oklusi pada pembuluh darah vena yang mengakibatkan terjadinya peningkatan
tekanan bola mata atau lebih dikenal sebagai glaucoma neovaskular.5,6 Diabetes
Mellitus juga merupakan salah satu faktor resiko terjadinya katarak. Penderita
katarak di Indonesia merupakan yang terbesar se-Asia, dimana diabetes menjadi
salah satu pemicu adanya katarak ini.7

2
Dari semua itu komplikasi akibat diabetes pada mata yang paling fokal
menyebabkan kebutaan ialah retinopati diabetik. Penyakit Retinopati ini mulai
menyerang penglihatan mata pada penderita diabetes tipe 1 atau yang sedikitnya
telah mengidap diabetes selama kurang lebih 20 tahun. Awalnya sebagian besar
penderita retinopati, "hanya" mengalami masalah penglihatan ringan. Namun,
semakin lama akan semakin berkembang dan mengancam penglihatan.10

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Melitus dan Komplikasinya

Diabetes melitus atau biasa dikenal sebagai penyakit kencing manis adalah
suatu penyakit yang disebabkan oleh karena peningkatan kadar gula dalam darah
akibat kekurangan hormon insulin baik absolut maupun relatif. Diabetes mellitus
merupakan penyakit kronis yang membutuhkan pengobatanyang terkontrol. Tanpa
didukung oleh pengelolaan yang tepat, diabetes dapat menyebabkan beberapa
komplikasi. Komplikasi yang disebabkan dapat berupa:2
1. Komplikasi Akut
a. Hipoglikemi
Hipoglikemi ditandai dengan menurunnya kadar glukosa
darah hingga mencapai <60 mg/dL. Gejala hipoglikemia terdiri dari
gejala adrenergik (berdebar, banyak keringat, gemetar, rasa lapar) dan
gejala neuroglikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai
koma).
b. Ketoasidosis diabetik
Keadaan ini berhubungan dengan defisiensi insulin, jumlah
insulin yangterbatas dalam tubuh menyebabkan glukosa tidak dapat
digunakan sebagai sumber energi sehingga tubuh melakukan
penyeimbangan dengan memetabolisme lemak. Hasil dari
metabolisme ini adalah asam lemak bebasdan senyawa keton.
Akumulasi keton dalam tubuh inilah yang menyebabkanterjadinya
asidosis atau ketoasidosis. Gejala klinisnya dapat berupa kesadaran
menurun, nafas cepat dan dalam (kussmaul) serta tanda-tanda
dehidrasi.Selain itu, seseorang dikatakan mengalami ketoasidosis jika
hasil pemeriksaan laboratoriumnya
Hiperglikemia (glukosa darah >250 mg/dL
Na serum <140 meq/L
4
Asidosis metabolik (pH <7,3; bikarbonat <15 meq/L)
Ketosis (ketonemia dan atau ketonuria)c.
c. Hiperosmolar non ketotik
Riwayat penyakitnya sama dengan ketoasidosis diabetik,
biasanya berusia> 40 tahun. Terdapat hiperglikemia disertai
osmolaritas darah yang tinggi(>320).

2. Komplikasi Kronis (Menahun)


a. Makrovaskular:
Penyakit jantung koroner
Penyakit pembuluh darah perifer
Stroke
b. Mikrovaskular
Retinopati diabetik
Nefropati diabetik
Neuropati diabetik
c. Komplikasi dengan mekanisme gabungan
Rentan infeksi, contohnya tuberkolusis paru, infeksi saluran
kemih,infeksi kulit dan infeksi kaki.
Disfungsi ereksi
Komplikasi pada indera penglihatan yaitu mata meliputi
abnormalitas kornea, glaukoma, nevaskularisasi iris, katarak, dan
neuropati, dan retinopati. Dari semua itu komplikasi akibat diabetes pada
mata yang paling fokal menyebabkan kebutaan ialah retinopati diabetik.2

B. Komplikasi Diabetes Melitus Pada Mata

1. Keratopathy Neurotropik Diabetik


Definisi
Keratopathy neurotropik adalah penyakit kornea degeneratif yang jarang
dan disebabkan oleh gangguan inervasi nervus trigeminus kornea yang
mengakibatkan terjadinya penurunan atau tidak adanya sensasi kornea.4
5
Keratitis neurotropik juga diartikan sebagai keratitis yang terjadi akibat palsi
nervus oftalmikus trigeminal.3

Etiopatogenesis
Penyakit sistemik seperti diabetes dapat menurunkan sensasi nervus atau
merusak serat sensorik neuron yang mengakibatkan terjadinya anestesi kornea.
Epitel kornea merupakan target utama yang berubah akibat anestesi kornea,
yakni terjadi distrofi dan menurunnya kemampuan sembuh jika terjadi lesi.
Penyakit dapat progresif hingga membentuk ulkus, kemudian terjadi perforasi.4
Peningkatan metabolisme poliol dalam sel epitel kornea dilaporkan
sebagai mekanisme keratopathy diabetes. Kornea merupakan jaringan tubuh
yang sangat kaya akan inervasi saraf. Saraf sensoris kornea berperan dalam
mengatur fungsi dan integritas kornea. Hilangnya inervasi sensoris kornea
mengakibatkan penurunan vitalitas, metabolisme, dan mitosis sel epitel
sehingga terjadi degenerasi epitel. Ketebalan epitel kornea menurun dan terjadi
edem intraseluler pada epitel, hilangnya mikrovili, dan produksi abnormal dari
sel lamina basalis. Perubahan pada konjungtiva yang terjadi berupa perubahan
kepadatan sel goblet dan hilangnya mikroplika permukaan sel.3,4

Diagnosis
Pasien akan mengeluhkan kemerahan pada mata, tajam penglihatan
menurun, kotoran mata yang semakin banyak, silau, dan nyeri. Mata akan
memberikan gejala jarang berkedip karena hilangnya refleks berkedip. Selain
itu, palpebral dapat edem dan disertai sensasi seperti ada benda asing di mata.
Refleks berkedip merupakan salah satu pertahanan terbaik kornea terhadap
degenerasi,ulserasi, dan infeksi. Refleks berkedip sangat nyata menurun jika
keratitis neurotropik bilateral terjadi.3,4
Pada pemeriksaan oftalmologi didapatkan adanya kekeruhan kornea
yangtidak sensitif disertai kekeringan kornea, injeksi siliar, infiltrat dan vesikel
padakornea. Selain itu, terlihat terbentuknya deskuamasi epitel seluruh
permukaan kornea yang dimulai pada bagian tengah dan meninggalkan sedikit
lapisan epitel kornea yang sehat di dekat limbus.4

6
Secara klinis, keratitis neurotropic dibagi menjadi 5 stadium sebagai
berikut (a) keratopati punctate interpalpebra dengan iregularitas epitel, opasitas
dan edema kornea dengan defek kecil (b), persisten defek pada epitel disertai
sedikit penebalan (c), perluasan defek epitel disertai infiltrate dan edem
stroma,mencairnya stroma kornea (d), perforasi kornea.3
Pemeriksaan oftalmologi yang akurat harus dilakukan. Uji
sensitivitaskornea dapat dilakukan dengan menyentuh pusat dan perifer kornea
dengan ujungkapas. Alternatif pemeriksaan dengan aesthesiometer Cochet-
Bonnet dapat digunakan untuk melokalisir dan menghitung hilangnya
sensitivitas kornea, untuk melihat respon pasien terhadap sentuhan benang
nilon (antara 0 dan 6 cm). Umumnya, tingkat keparahan dari keratitis
neurotropik berhubungan dengan tingkat keparahan penurunan sensorik
kornea. Tingkat berkedip secara nyata menurun jika terjadi keratitis
neurotropik bilateral.4
Tes Schirmer harus dilakukan pada keratitis neurotropik, karena produksi
air mata dapat dipengaruhi oleh tingkat sensitivitas kornea, penurunan
sensitivitas kornea menyebabkan penurunan produksi air mata. Pewarnaan
dengan fluorescein, menunjukkan perubahan epitel kornea dan konjungtiva.
Pemeriksaan mikrobiologi juga dapat dilakukan untuk menyingkirkan bakteri,
fungi, dan virus sebagai penyebab terbentuknya ulkus kornea. Pemeriksaan
fundoskopi dilatasi dapat mengungkapkan adanya retinopati diabetes.4

Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah progresivitas kerusakan
kornea dan meningkatkan kesembuhan epitel kornea. Tatalaksana dilaksanakan
begitu diagnosis dan stadium klinis ditegakkan.
Pada stadium 1 penggunaan air mata buatan membantu melindungi
permukaan kornea. Penggunaannya dilakukan 8x1hari. Tujuan terapi pada
stadium ini adalah meningkatkan kualitas epitel dan tranparansinya serta
mencegah kerusakan epitel. Penyakit diabetes melitus yang mendasari
terjadinya keratitis neurotropik juga harus dilakukan tatalaksana. Selain itu
dapat juga diberikan tetrasiklin per oral dengan dosis 2x250 mg, atau

7
doksisiklin 1x100 mg pada malam hari, keduanya dapat mengurangi produksi
mucus. Penutupan punctum lakrimal dapat dipertimbangkan. Pada stadium 1
dilakukan follow up pada pasien secara rawat jalan 3-7 hari sekali.3
Pada stadium 2, tujuan terapi berupaya untuk mencegah terbentuknya
ulkus kornea, meningkatkan kesembuhan epitel, dan mencegah rekurensi
kerusakan epitel. Tatalaksana dengan diberikan air mata buatan. Kontak lens
kornea atau sclera untuk terapeutik dapat digunakan, tetapi memiliki efek
samping infeksi sekunder dan dapat mengakibatkan hipopion steril. Pada ulkus
kornea yang tidak berespon terhadap air mata buatan maupun kontak lens,
tarsoraphy dapat dilakukan. Selain itu, dapat juga digunakan membrane
amnion tranplan untuk menutupi kerusakan pada epitel kornea. Penggunaan
tetrasiklin topical dikatakan dapat meningkatkan proses penyembuhan defek
epitel. Jika terjadi peradangan pada bilik mata depan, maka dapat diberikan
siklopegik topical seperti atropine 1% atau skopolamin 0,25% 1x1 hari. Pada
stadium 2 dilakukan follow up ketat tiap 1-2 hari sekali hingga tampak
kemajuan terapi, setelah itufollow up dilakukan tiap 3-5 hari sekali.3
Pada stadium 3, tujuan terapi untuk meningkatkan kesembuhan kornea dan
mencegah melting dan perforasi. Pasien pada stadium ini harus dirawat inap
sehingga dapat dilakukan follow up yang lebih signifikan. Pemberian air mata
buatan harus dilakukan juga pada stadium ini. Jika terjadi melting pada stroma,
maka dapat diberikan inhibitor kolagenase seperti N-asetilsistein, tetrasiklin,
atau medroksiprogesteron. Terapi sistemik doksisiklindan minoksiklin juga
dapat mencegah melting. Suplementasi omega 3 sebanyak 3tablet per hari
membantu stabilisasi tear film. Tarsoraphy dan flap konjunctiva merupakan
prosedur terapi bedah yang meningkatkan kesembuhan epitel tetapi dapat
memberikan efek samping kosmetik yang jelek. Pada defek yang kecil
diberikan salep antibiotic seperti eritromisin atau bacitrasin 4-8x per hari
selama 3-5 hari atau sampai defek sembuh. Pada yang telah menjadi ulkus dan
belum perforasi diberikan salep antibiotic, tetes mata sikloplegik, dan bebat
tekan selama 24 jam. Prosedur ini diulang tiap hari hingga sembuh. Perforasi
kecil diterapi dengan lem sianoakrilat diikuti dengan kontak lens soft. Defek
yang lebih besar memerlukan keratoplasti lamellar atau penetrasi.3

8
2. Glaukoma Neovaskular

Definisi
Glaukoma neovaskuler merupakan salah satu komplikasi dari diabetes
melitus dimana terjadi oklusi pembuluh darah vena yang mengakibatkan
terjadinya peningkatan tekanan bola mata. Glaukoma neovaskular diklasifikasikan
sebagai bagian dari glaukoma sekunder.5

Epidemiologi
Sepertiga pasien dengan rubeosis iridis terdapat pada penderita retinopati
diabetika. Frekuensi timbulnya rubeosis pada pasien retinopati diabetika
dipengaruhi oleh adanya tindakan bedah. Insiden terjadinya rubeosis iridis
dilaporkan sekitar 25-42% setelah tindakan vitrektomi, sedangkan timbulnya
glaukoma neovaskuler sekitar 10-23% yang terjadi 6 bulan pertama setelah
dilakukan operasi. Oklusi vena sentralis retina dilaporkan dapat menimbulkan
iridis sekitar 60% setelah 3-6 bulan timbulnya gejala. Rubeosis iridis dan
glaukoma neovaskuler dapat juga berhubungan dengan oklusi arteri sentralis
retina, meskipun lebih sedikit jika dibandingkan dengan oklusi vena sentralis
retina. 5,6

Patofisiologi
Secara klinis tiga kondisi um Glaukoma neovaskular adalah kondisi yang
terjadi akibat neovaskularisasi iris (rubeosis iridis). Biasanya disebabkan oleh
iskemi retina yang berat, difus, dan kronis. Jaringan hipoksia retina memproduksi
faktor pertumbuhan guna merevaskularisasi area hipoksia; hal terpenting adalah
vascular endothelial growth factor (VEGF). Selain mempengaruhi
neovaskularisasi retina (retinopati proliferatif) beberapa faktor juga berdifus ke
segmen anterior dan menginisiasi rubeosis iridis dan neovaskularisasi pada sudut
bilik mata anterior. Kemudian menginisiasi gangguan aliran aqueous dengan
munculnya sudut terbuka dan menghasilkan glaukoma sekunder sudut terbuka
yang biasanya sangat berat. um yang bertanggung jawab untuk pembentukan

9
glaukoma neovaskular adalah retinopati diabetik, oklusi vena retina sentral dan
penyakit obstruksi arteri karotis.6

Gambar 1. Pembuluh darah yang


abnormal dapat tumbuh di iris dan
membendung jalan keluar cairan
dari mata. Glaukoma Neovaskular
dapat terjadi dengan resiko
kerusakan saraf dan kebutaan.

Stadium7
Meskipun derajatnya tumpang tindih namun glaukoma neovaskuler dapat
dibagi menjadi 3 tahap :
(a) Rubeosis iridis
(b) Glaukoma sudut terbuka sekunder
(c) Glaukoma sinekia sudut tertutup sekunder

Rubeosis Iridis

Diagnosis
Dalam urutan kronologis rubeosis berkembang sebagai berikut yaitu :
Gumpalan pelebaran pembuluh darah kapiler kecil atau bintik-bintik merah
yang berkembang di tepi pupil dan dapat luput meskipun pemeriksaan iris
dilakukan secara teliti dibawah perbesaran gambar
Pertumbuhan pembuluh darah baru yang melingkar di permukan iris menuju ke
sudut, terkadang diikuti dengan pelebaran pembuluh darah. Pada tahap ini TIO
dapat masih normal dan pembuluh darah baru dapat menghilang secara spontan
atau dengan pengobatan
Neovaskularisasi pada sudut pada pupil dapat terjadi terutama setelah oklusi
vena retina sentralis. Sehingga hal ini penting untuk melakukan pemeriksaan
gonioscopy secara teliti tanpa midriasis dengan resiko tinggi bahkan ketika tepi
pupil tidak terlibat

10
Pengobatan
Panretinal photocoagulation (PRP), jika dilakukan segera, sering berefektif
dalam meregresi pembuluh darah baru dan mencegah progresi dari glaukoma
Intravitreal vascular endothelial growth factor (VEGF) inhibitors seperti
bevacizumab (Avastin) pada dosis 1,25 mg dalam 0,05 ml dapat mengurangi
neovaskularisasi pada tahap ini dan mendukung kontrol TIO, meskipun durasi
kontrol sering terbatas, membutuhkan injeksi lebih lanjut atau kontrol definitif
dengan PRP
Retinal surgery. Jika rubeosis berkembang dan menetap setelah dilakukan
vitrectomy pada pasien diabetes dengan lepasnya residu retina, perlekatan
kembali perlu dilakukan, jika berhasil rubeosis dapat berkurang secara
bertahap. Tambahan panretinal photocoagultion (PRP) dapat memberikan
keuntungan

Glaukoma Sudut Terbuka Sekunder

Diagnosis
Ditandai dengan adanya peningkatan TIO, neovaskular iris yang akan
berlanjut menjadi neovaskular pada sudut bilik mata, adanya proliferasi jaringan
neovaskular pada sudut bilik mata dan terdapat membran fibrovaskular (yang
berkembang sirkumferensial melewati sudut bilik mata dan memblok anyaman
trabekula). Gejala yang timbul adalah visus kabur namun mata tidak merah dan
tidak nyeri. Stadium ini bisa terjadi antara 8-15 minggu.

Pengobatan
Pengobatan seperti pada POAG tetapi dihindari pemberian miotikum, dan
derifat prostaglandin digunakan berhubungan dengan potensi terjadinya
inflamasi. Atrofin topikal 1% dan intensif steroid topikal perlu diberikan
jika inflamasi tampak jelas. Topikal apraclonidine dan/atau acetazolamide
oral dapat dibutuhkan untuk pemberian sementara jangka pendek.
Injeksi intravitreal VEGF inhibitor dapat efektif jika fibrovaskular sudut
tertutup belum terjadi.

11
Cyclodiode perlu dilakukan jika kontrol obat untuk TIO tidak mungkin
diberikan, terutama jika mata terasa tidak nyaman, memiliki pontesi visus
yang baik atau pencegahan edema kornea mencegah penglihatan kornea
yang efektif untuk PRP
PRP harus tetap dilakukan bahkan jika TIO dikontrol dengan medikasi,
meskipun hal ini tidak mengembalikan komponen fibrosa pada membran
fibrovaskular. Jika penglihatan retina buruk, pemeriksan oftamoskopi
indirek dapat memberikan akses yang lebih baik, jika perlu dalam operasi
dengan pengait iris untuk membuka pupil yang kecil akibat sinekia
posterior. Trans-scleral cryotherapy atau laser dioda menjadi pilihan.

Glaukoma Sudut Tertutup Sekunder

Diagnosis
Jika rubeosis lanjut berkembang menjadikan sudut tertutup secara
progresif akibat kontraksi dari jaringan fibrovasklar dengan cara menarik perifer
iris melewati trabekulum. Tertutupnya sudut menyebabkan peningkatan TIO,
gangguan penglihatan berat, kongesti bola mata, dan nyeri. Prognosis untuk
fungsi visus sangat buruk pada tahap ini, walaupun pengobatan yang agresif dapat
memberikan kenyamanan dan mempertahankan fungsi penglihatan pada beberapa
kasus.

Pengobatan
Pengobatan seperti pada tahap sudut terbuka sekunder. Steroid dan atrofin
dapat adekuat jika tidak ada potensi untuk penglihatan.
Intravitreal VEGF inhibitor injection secara umum tidak efektif jika
sinekia sudut tertutup telah muncul.
Cyclodiode dapat dipertimbangkan dalam kondisi seperti di atas.
PRP dilakukan jika fundus secara adekuat terlihat. Mata dengan media
opak dapat diobati dengan trans-scleral cryotherapy atau cyclodiode, jika
sesuai.

12
Filtration surgery dapat dipertimbangkan jika visus 1/300 atau lebih baik.
Pilihannya adalah trabekulektomi dengan tambahan mitomycin C dan
artificial filtering shunts (perangkat drainase glaukoma)
Retrobulbar alchohol injection berguna dalam menghilangkan nyeri tetapi
dapat menyebabkan ptosis permanen dan tidak menghilangkan kongesti
Enukleasi jika dengan pengobatan yang lain tidak berhasil

3. Katarak Diabetik

Diabetes menyebabkan peningkatan kadar gula darah dan jika tidak


terkontrol hal ini berakibat pula pada mata sehingga lensa akan membengkak
akibat kadar gula darah yang tinggi. Ketika kadar gula darah turun maka
pembengkakan lensa akan berkurang tetapi jika kadar gula darah naik kembali
maka lensa akan membengkak lagi. Hal ini terjadi berulang-ulang sehingga
menyebabkan kekeruhan pada lensa dan disebut dengan katarak.7
Berdasarkan penelitian, pada penderita DM akan terjadi penimbunan
sorbitol akibat produksinya yang terlalu cepat dalam lensa. Penimbunan
sorbitol akan menyebabkan perubahan osmosis pada lensa sehingga terjadi
peningkatan cairan intraselular sebagai respon peningkatan enzim
aldoreduktase yang berperan dalam mereduksi glukosa menjadi sorbitol.
Dengan adanya mekanisme ini lensa akan membengkak dan terjadi perubahan
biokimia dalam lensa yang menyebabkan terbentuknya kekeruhan. Dalam
penelitian lain disebutkan bahwa akumulasi sorbitol mengakibatkan terjadinya
apoptosis sel epitel lensa sehingga meningkatkan perkembangan katarak.7
Keluhan yang akan diutarakan penderita adalah pandangan yang mulai
tidak jelas atau kabur. Semakin hari keluhan akan semakin memburuk dan
penderita akan sering pergi ke optikal untuk memeriksa ketajaman
penglihatannya, tetapi penderita tidak menemukan kacamata yang cocok untuk
membantunya melihat lebih jelas. Katarak akibat diabetes melitus memberikan
gambaran khas, yaitu kekeruhan tersebar halus seperti tebaran kapas di dalam
massa lensa.7

13
Katarak biasanya terjadi karena faktor usia yang semakin tua sehingga
lensa mengalami degenerasi dan menjadi keruh. Namun, pada penderita DM
katarak dapat terjadi pada usia yang lebih muda < 50 tahun. Kedua mata dapat
terkena walaupun dalam waktu yang tidak bersamaan. Kekeruhan lensa ini
menyebabkan cahaya yang masuk tidak sempurna karena terhalang kekeruhan
dan tidak bisa difokuskan tepat di retina sehingga penderita tidak dapat melihat
dengan jelas.7
Katarak dapat dihilangkan dengan tindakan operasi atau pembedahan.
Namun, pada kasus katarak akibat diabetes melitus banyak hal yang harus
diperhatikan. Ketika penderita diabetes melitus ingin melakukan operasi untuk
menghilangkan kekeruhan lensanya maka kadar gula darah harus dalam
keadaan terkontrol. Terapi utama yang harus dilakukan oleh penderita katarak
diabetikum adalah meregulasi gula darahnya.7,8

4. Retinopati Diabetik

Definisi
Diabetik retinopati (DR) adalah suatu mikroangiopati progresif yang
ditandai oleh kerusakan dan sumbatan pembuluh darah halus yang meliputi
arteriol prekapiler retina, kapiler, dan vena. Keadaan ini merupakan komplikasi
dari penyakit diabetes melitus yang menyebabkan kerusakan pada mata dimana
secara perlahan terjadi kerusakan pembuluh darah retina atau lapisan saraf mata.10

Epidemiologi
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2010 melaporkan, 3 persen
penduduk di seluruh dunia menjadi buta akibat retinopati DM. Dalam urutan
penyebab kebutaan secara global, retinopati DM menempati urutan ke-4 setelah
katarak, glaukoma, dan degenerasi makula.10,11
Diperkirakan bahwa jumlah penderita diabetes di seluruh dunia akan
meningkat dari 117 juta pada tahun 2000 menjadi 366 juta tahun 2003. Di Asia
diramalkan diabetes akan menjadi epidemi, disebabkan pola makan masyarakat
Asia yang tinggi karbohidrat dan lemak disertai kurangnya berolahraga.

14
Akibatnya, kebutaan akibat retinopati DM juga diperkirakan meningkat secara
dramatis.10

Etiopatogenesis10
Penyebab pasti DR belum diketahui. Tetapi diyakini bahwa lamanya
terpapar terhadap keadaan hiperglikemia dapat menyebabkan perubahan fisiologis
dan biokimia yang akhirnya menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah.
Perubahan abnormalitas sebagian besar anatomis, hematologi dan biokimia telah
dihubugkan dengan prevalensi dan beratnya retinopati antara lain:
1) Perubahan anatomis
a. Capilaropathy
Degenerasi dan hilangnya sel-sel perisit.
Proliferasi sel endotel.
Penebalan membrana basalis.

b. Sumbatan mikrovaskuler
Arteriovenous shunts
Intraretinal microvaskular abnormalities (IRMA).
Neovaskularisasi
Angiogenic growth factor yang menyebabkan pembentukan pembuluh
darah baru pada retina dan diskus optikus (pada proliferative DR) atau
pada iris (rubeosis iridis).
c. Perubahan hematologi:
Peningkatan sifat agregasi trombosit dan peningkatan agregasi
eritrosit yang meningkatkan abnormalitas serum dan viskositas darah.
Abnormalitas lipid serum
Fibrinolisis yang tidak sempurna
Abnormalitas dari sekresi growth hormone
d. Perubahan biokimia
Jalur poliol
Hiperglikemia yang berlangsung lama akan menyebabkan produksi
berlebihan serta akumulasi dari poliol, yaitu senyawa gula dan alkohol,
15
dalam jaringan termasuk di lensa dan saraf optik. Salah satu sifat dari
senyawa poliol adalah tidak dapat melewati membrana basalis
sehingga akan tertimbun dalam jumlah banyak di dalam sel. Senyawa
poliol menyebabkan peningkatan tekanan osmotik sel dan
menimbulkan gangguan morfologi maupun fungsional sel.14
Glikasi nonenzimatik
Glikasi nonenzimatik terhadap protein dan DNA yang terjadi selama
hiperglikemi dapat menghambat aktivitas enzim dan keutuhan DNA.
Protein yang terglikosilasi membentuk radikal bebas dan akan
menyebabkan perubahan fungsi sel. 14
Protein kinase C
Protein kinase C (PKC) diketahui memiliki pengaruh terhadap
pemeabilitas vaskular, kontraktilitas, sintesis membrana basalis dan
proliferasi sel vaskular. Dalam kondisi hiperglikemia aktivitas PKC di
retina dan sel endotel meningkat akibat peningkatan sintesi de novo
dari diasilgliserol, suatu regulator PKC yang berasal dari glukosa. 14
Faktor lain yang terkait dengan diabetes mellitus yang dapat mempengaruhi
prognosis dari retinopati diabetik seperti;
Arteriosklerosis dan hipertensi
Hipoglikemia atau trauma yang dapat menimbulkan perdarahan mendadak
Hiperlipoproteinemi, mempengaruhi arteriosklerosis, sehingga
mempercapat perjalanan penyakit
Kehamilan pada penderita diabetes juvenile yang tergantung pada insulin
dapat menimbulkan perdarahan dan proliferasi.10,13,14

Patofisiologi
Retina, atau disebut juga tunica nervosa bulbi adalah lapisan terdalam dari
bola mata. Merupakan lapisan yang tipis, halus, bening dan tembus pandang.
Menurut fungsinya retina dibagi menjadi:
Pars optika retinae, merupakan bagian retina yag mempunyai sel khusus
penerima rangsang cahaya

16
Pars coeca retinae, merupakan bagian dari retina yang tidak mempunyai
sel khusus. Termasuk disini yaitu:
o Pars ciliaris retinae
o Pars iridis retinae
Batas antara pars optika dan pars coeca adalah ora serata.
Retina dibagi menjadi 10 lapisan, tetapi hanya 3 lapisan neuron retina
yang menerima, mengintegrasikan dan meneruskan signal visual ke otak sebagai
impuls, yaitu sel fotoreseptor (sel kerucut dan batang), sel bipolar, dan sel
ganglion.
1) Epithelium pigmentalis atau stratum pigmenti retinae
2) Stratum coni at bacilli
3) Membrana limitans externa
4) Stratum granularis externa
5) Stratum plexiformis externa
6) Stratum granularis interna
7) Stratum plexiformis interna
8) Stratum ganglionaris
9) Stratum N.optikus
10) Membrana limitans interna.12
Kesehatan dan aktivitas metabolisme retina sangat tergantung pada
jaringan kapiler retina. Kapiler retina membentuk jaringan yang menyebar
keseluruh permukaan retina kecuali pada fovea. Kelainan dasar dari berbagai
bentuk DR terletak pada kapiler retina tersebut.12
Dinding kapiler retina terdiri dari tiga lapisan dari luar ke dalam yaitu sel
perisit, membrana basalis dan sel endotel. Sel perisit dan sel endotel dihubungkan
oleh pori yang terdapat pada membrana sel yang terletak diantara keduanya.
Dalam keadaan normal, perbandingan jumlah sel perisit dan sel endotel kapiler
retina adalah 1:1, sedangkan pada kapiler perifer yang lain perbandingan tersebut
mencapai 20:1.12
Sel perisit berfungsi untuk mempertahankan struktur kapiler, mengatur
kontraktilitas, membantu mempertahankan fungsi barier dan transportasi kapiler
serta mengendalikan proliferasi endotel. Membrana basalis berfungsi sebagai

17
barier dengan mempertahankan permeabilitas kapiler agar tidak terjadi kebocoran.
Sel endotel saling berikatan erat satu sama lain dan bersama-sama dengan matriks
ekstrasel membentuk barier yang bersifat selektif terhadap beberapa jenis protein
dan molekul kecil termasuk bahan kontras fluorosensi yang digunakan untuk
diagnosis penyakit kapiler retina.12,14
Perubahan histopatologis kapiler retina pada DR dimulai dari penebalan
membrana basalis, hilangnya perisit dan proliferasi endotel dimana pada keadaan
lanjut perbandingan antara sel endotel dan sel perisit dapat mencapai 10:1.13
Patofisiologi DR melibatkan 5 proses dasar yang terjadi di tingkat
kapiler:10,14
Pembentukan mikroaneurisma
Peningkatan permeabilitas pembuluh darah
Penyumbatan pembuluh darah
Proliferasi pembuluh darah baru (neovaskularisasi) dan jaringan fibrosa di
retina
Kontraksi dan jaringan fibrosis kapiler dan jaringan vitreus.
Penyumbatan dan hilangnya perfusi menyebabkan iskemia retina,
sedangkan kebocoran dapat terjadi karena peningkatan permeabilitas kapiler itu
sendiri.
Kebutaan akibat DR dapat terjadi melalui beberapa mekanisme berikut:
Edema makula atau nonperfusi kapiler.
Pembentukan pembuluh darah baru pada DR proliferative dan kontraksi
jaringan fibrosis yang menyebabkan ablatio retina (retinal detachment).
Pembuluh darah baru yang terbentuk menimbulkan perdarahan preretina
dan vitreus.
Pembentukan pembuluh darah baru dapat menimbulkan glaukoma.
Mula-mula didapatkan kelainan pada kapiler vena, dimana dindingnya
menebal dan mempunyai afinitas yang besar terhadap fluoresein. Keadaan ini
terjadi dalam waktu yang lama tanpa keluhan mengganggu penglihatan. Dengan
melemahnya dinding kapiler, maka akan mudah terbentuk mikroaneurisma. Mula-
mula keadaan ini terlihat pada daerah kapiler vena sekitar makula, yang tampak
sebagai titik-titik merah (dots) pada oftalmoskopi. Adanya 1-2 mikroaneurisma
18
sudah cukup untuk mendiagnosis DR. Pada keadaan lanjut mikroaneurisma
didapatkan sama banyak pada kapiler retina maupun arteri. Mikroaneurisma
tersebut menimbulkan kebocoran, yang tampak sebagai edema, eksudat,
perdarahan (dots/ blots).10,14
Adanya edema dapat mengancam ketajaman penglihatan jika terdapat
pada daerah makula. Edema yang ringan dapat diabsorbsi, tetapi yang hebat dan
lama dapat menimbulkan degenerasi kistoid. Bila degenerasi kistoid ini ditemukan
pada makula (cystoid macular edema) maka kebutaan yang terjadi adalah
ireversibel.10
Perdarahan selain akibat kebocoran juga disebabkan oleh karena pecahnya
mikroaneurisma. Kebocoran akibat mikroaneurisma dapat disertai dengan
bocornya lipoprotein, yang tampak sebagai eksudat keras (hard exudates),
menyerupai lilin putih kekuning-kuningan berkelompok seperti lingkaran atau
cincin disekitar makula.10
Akibat dari perubahan isi dan dinding pembuluh darah, dapat
menimbulkan penyumbatan yang dimulai di kapiler, ke arteriol, dan pembuluh
darah besar. Akibat dari penyumbatan dapat timbul hipoksia diikuti dengan
adanya iskemi kecil, dan timbulnya pembuluh darah kolateral. Hipoksia
mempercepat timbulnya kebocoran, neovaskularisasi, dan mikroaneurisma yang
baru. Akibat hipoksia, timbul eksudat lunak yang disebut cotton wool spots/ patch
yang merupakan bercak nekrosis.10
Pembuluh darah vena melebar dengan lumen dan diameter yang tidak
teratur. Disini juga terjadi kebocoran dan penyumbatan, sehingga dapat ditemukan
perdarahan disepanjang pembuluh darah vena. Gangguan aliran darah vena juga
merangsang timbulnya pembuluh darah baru yang dapat timbul dari pembuluh
darah yang ada di papil atau lengkung pembuluh darah, tetapi selanjutnya dapat
timbul dimana saja. Bentuknya dapat berupa gulungan atau berupa rete mirabile.
Letaknya intraretina, menjalar menjadi preretina, intravitreal. Neovaskularisasi
preretina dapat diikuti oleh proliferasi sel glia. Dapat juga timbul arterio-venous
shunts yang abnormal akibat pengurangan aliran darah arteri karena obstruksi
arteriol.10

19
Neovaskularisasi disertai dengan tingkat kebocoran yang tinggi, kemudian
diikuti dengan jaringan proliferasi. Bila jaringan fibrovaskuler ini mengkerut
dapat menimbulkan perdarahan dan juga tarikan pada retina sehingga dapat
menyebabkan ablasi retina tipe tarikan, dengan atau tanpa robekan. Hal ini dapat
menimbulkan penurunan ketajaman penglihatan sampai kebutaan.10
Perdarahan yang timbul dalam badan kaca dapat menyebabkan glaukoma
hemoragikum, yang sangat sakit dan cepat menimbulkan kebutaan.
Neovaskularisasi dapat timbul pada iris yang disebut dengan rubeosis iridis, yang
dapat menimbulkan glaukoma sudut terbuka akibat tertutupnya sudut iris oleh
pembuluh darah baru atau dapat juga karena pecahnya rubeoisis iridis.10,13,14

Klasifikasi
Berkaitan dengan prognosis dan pengobatan, DR dibagi menjadi (menurut Early
Treatment Diabetik Retinopati Study):

Gambar 2.2 Stadium Retinopati Diabetik

1. Retinopati Diabetik Non Proliferatif, atau dikenal juga dengan Background


Diabetik retinopathy. Ditandai dengan: mikroaneurisma, perdarahan retina,
eksudat, IRMA, dan kelainan vena
20
a. Minimal: terdapat 1 tanda berupa dilatasi vena, mikroaneurisma,
perdarahan intraretina yang kecil atau eksudat keras.
b. Ringan-sedang: terdapat 1 tanda berupa dilatasi vena derajat
ringan, perdarahan, eksudat keras, cotton wool spots, IRMA.
c. Berat: terdapat 1 tanda berupa perdarahan dan mikroaneurisma
pada 4 kuadran retina, dilatasi vena pada 2 quadran atau IRMA
pada 1 quadran.
d. Sangat berat: ditemukan 2 tanda pada derajat berat.
2. Retinopati Diabetik Proliferatif. Ditandai dengan neovaskularisasi.
a. Ringan (tanpa risiko tinggi): bila ditemukan minimal adanya
neovaskular pada diskus (NVD) yang mencakup < dari daerah
diskus tanpa disertai perdarahan preretina atau vitreus, atau
neovaskularisasi dimana saja di retina (NVE) tanpa disertai
perdarahan preretina atau vitreus.
b. Berat (risiko tinggi): apabila ditemukan 3 atau 4 dari faktor risiko
sebagai berikut
i. Ditemukan NVE.
ii. Ditemukan NVD.
iii. Pembuluh darah baru yang tergolong sedang atau berat
yang mencakup > daerah diskus.
iv. Perdarahan vitreus
Adanya pembuluh darah baru yang jelas pada diskus optikus
atau setiap adanya pembuluh darah baru yang disertai perdarahan,
merupakan 2 gambaran yang paling seing ditemukan pada
retinopati proliferatif risiko tinggi.11,13

Klasifikasi menurut FKUI


Derajat I: terdapat mikroaneurisma dengan atau tanpa fatty exudates pada
fundus okuli.
Derajat II: terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak dengan
atau tanpa fatty exudates pada fundus okuli.

21
Derajat III: terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak,
neovaskularisasi, proliferasi pada fundus okuli.
Jika gambaran fundus di kedua mata tidak sama, maka penderita tergolong
pada derajat berat.11

Gejala Klinis
Gejala subjektif yang dapat ditemui berupa:
Kesulitan membaca
Penglihatan kabur
Penglihatan tiba-tiba menurun pada satu mata
Melihat lingkaran cahaya
Melihat bintik gelap dan kelap-kelip.11
Gejala objektif yang dapat ditemukan pada retina:
Mikroaneurisma, merupakan penonjololan dinding kapiler terutama daerah
vena dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak dekat
pembuluh darah.
Perdarahan dapat dalam bentuk titik, garis dan bercak yang biasanya
terletak dekat mikroaneurisma di fovea centralis.
o Retinal nerve fiber layer haemorrhage (flame shapped). Terletak
superfisial, searah dengan nerve fiber.
o Intraretinal haemorrhages. Dot-blot haemorrhage terletak pada
end artery, dilapisan tengah.
Dilatasi pembuluh darah dengan lumen yang irreguler dan berkelok-kelok.
Hard exudates yang merupakam infiltrasi lipid kedalam retina.
Gambarannya kekuning-kuningan, pada permulaan eksudat pungtata,
membesar kemudian bergabung. Eksudat ini dapat muncul dan hilang
dalam beberapa minggu.
Soft exudates (cotton wool patches). Pada pemeriksaan oftalmoskopi akan
terlihat becak kuning bersifat difus dan berwarna putih. Biasanya terletak
di bagian tepi daerah nonirigasi dan dihubungkan dengan iskemia retina.
Neovaskularisasi. Terletak pada permukaan jaringan. Tampak sebagai
pembuluh yang berkelok-kelok, dalam, berkelompok, dan irreguler. Mula-
22
mula terletak pada jaringan retina, kemudian berkembang kearah
preretinal, ke badan kaca. Jika pecah dapat menimbulkan perdarahan
retina, perdarahan subhialoid (preretinal) maupun perdarahan badan kaca.
Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah
makula sehingga sangat mengganggu tajam pengelihatan.12

Pemeriksaan Klinis
Anamnesis
Pada tahap awal retinopati DM tidak didapatkan keluhan. Pada tahap
lanjut dari perjalanan penyakit ini, pasien dapat mengeluhkan penurunan
ketajaman penglihatan serta pandangan yang kabur.10

Pemeriksaan oftalmologi
Temuan pemeriksaan oftalmologi pada retinopati DM dapat dibagi menurut
Diabetik Retinopathy Severity Scale :
Tidak tampak adanya tanda-tanda retinopati
Nonproliferative retinopati
Retinopati DM merupakan progressive microangiopathy yang
mempunyai karakteristik pada kerusakan pembuluh darah kecil dan oklusi.
Kelainan patologis yang tampak pada awalnya berupa penebalan membran
basement endotel kapiler dan reduksi dari jumlah perisit.
Mild nonproliferative retinopati ditandai dengan ditemukannya
minimal 1 mikroaneurisma. Pada moderate nonproliferative
retinopati terdapat mikroaneurisma ekstensif, perdarahan intra
retina, venous beading, dan/ atau cotton wool spots..
Severe nonproliferative retinopati ditandai dengan
ditemukannya cotton-wool spots, venous beading, dan
intraretinal microvaskular abnormalities (IRMA). Hal tersebut
didiagnosis pada saat ditemukan perdarahan retina pada 4
kuadran, venous beading dalam 2 kuadran atau IRMA pada 1
kuadran.

23
Proliferative Retinopati
Komplikasi yang terberat dari DM pada mata pada proliferative
diabetik retinopati. Iskemia retina yang progresif menstimulasi
pembentukan pembuluh darah baru yang menyebabkan kebocoran serum
protein yang banyak. Early proliferative diabetik retinopati memiliki
karakteristik munculnya pembuluh darah baru pada papila nervi optikus
atau pada tempat lain di retina. Kategori high-risk ditandai dengan
pembuluh darah baru pada papila yang meluas melebihi satu per tiga dari
diameter papila, pembuluh darah tersebut berhubungan dengan perdarahan
vitreus atau pembuluh darah baru manapun di retina yang meluas melebihi
setengah diameter papila dan berhubungan dengan perdarahan vitreus.
Pembuluh darah baru yang rapuh berproliferasi pada sisi posterior
dari vitreus dan tampak terangkat ketika vitreus mulai menarik retina.
Apabila terjadi perdarahan maka perdarahan vitreus yang masif akan
menyebabkan hilangnya penglihatan yang mendadak. Perkembangan
selanjutnya dari DM pada mata yaitu dapat terjadi kompllikasi: iris
neovaskularization (rubeosis iridis) dan neovaskular glaukoma.
Proliferative diabetik retinopati berkembang pada 50% penderita diabetes
tipe I dalam waktu 15 tahun sejak timbulnya penyakit sistemik. Hal ini
kurang lazim pada penderita diabetes tipe II, tetapi karena ada lebih
banyak pasien dengan diabetes tipe II, lebih banyak pasien dengan
proliferative diabetik retinopati memiliki tipe II dari tipe I diabetes.

Diagnosis Banding
Diagnosis banding harus menyingkirkan penyakit vaskular retina lainnya
yaitu: retinopati hipertensi adalah suatu kondisi dengan karakteristik perubahan
vaskularisasi retina pada populasi yang menderita hipertensi. Tanda-tanda pada
retina yang diobservasi adalah penyempitan arteriolar secara general dan fokal,
perlengketan atau nicking arteriovenosa, perdarahan retina dengan bentuk
flame-shape dan blot-shape, cotton-wool spots, dan edema papilla.5,10

24
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Glukosa puasa dan Hemoglobin A1c (HbA1c) merupakan tes laboratorium
yang sangat penting yang dilakukan untuk membantu mendiagnosis diabetes.
Kadar HbA1c juga penting pada monitor jangka panjang perawatan pasien dengan
diabetes dan retinopati diabetik. Mengontrol diabetes dan mempertahankan level
HbA1c pada kisaran 6-7% merupakan sasaran pada manajemen optimal diabetes
dan retinopati diabetik. Jika kadar normal dipertahankan, maka progresi dari
retinopati diabetik bisa berkurang secara signifikan.12
Pencitraan
Angiografi fluoresensi fundus (Fundus Fluorescein Angiography (FFA))
merupakan pemeriksaan tambahan yang tidak terhingga nilainya dalam diagnosis
dan manajemen retinopati DM
Mikroaneurisma akan tampak sebagai hiperfluoresensi pinpoint yang tidak
membesar tetapi agak memudar pada fase akhir tes.
Perdarahan berupa noda dan titik bisa dibedakan dari mikroaneurisma
karena mereka tampak hipofluoresen.
Area yang tidak mendapat perfusi tampak sebagai daerah gelap homogen
yang dikelilingi pembuluh darah yang mengalami oklusi. 10

Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan yang utama adalah pengendalian glukosa secara
intensif pada pasien dengan DM tergantung insulin (IDDM) menurunkan
insidensi dan progresi retinopati DM. Faktanya, ADA menyarankan bahwa semua
diabetes (NIDDM dan IDDM) harus mempertahankan level hemoglobin
terglikosilasi kurang dari 7% untuk mencegah atau paling tidak meminimalkan
komplikasi jangka panjang dari DM termasuk retinopati DM.12

Terapi Bedah Fotokoagulasi


Diperkenalkannya fotokoagulasi laser pada tahun 1960an dan awal 1970an
menyediakan modalitas terapi noninvasif yang memiliki tingkat komplikasi yang
relatif rendah dan derajat kesuksesan yang signifikan. Metodenya adalah dengan

25
mengarahkan energi cahaya dengan fokus tinggi untuk menghasilkan respon
koagulasi pada jaringan target. Fotokoagulasi laser dilakukan untuk mengurangi
risiko penurunan penglihatan yang disebabkan oleh retinopati diabetik, dan
bertujuan untuk membatasi kebocoran vaskular pada daerah retina yang
mengalami kerusakan, dapat dilakukan pada edema makula dan daerah yang
mengalami kebocoran yang difus. Pasien dengan NPDR tanpa edema makula
bukan indikasi terapi fotokoagulasi laser. Hal terpenting pada pasien pasien ini
adalah disiplin dalam memonitor kadar gula darah secara teratur tiap 4 6 bulan
sekali.14
Terdapat beberapa teknik fotokoagulasi laser, yaitu :
1. Panretinal photocoagulation (PRP)/Scatter
Pada retinopati diabetik, fotokoagulasi yang digunakan adalah PRP
(Panretinal Photocoagulation), yang dilakukan dalam pola menyebar (
scatter) pada retina, yang berguna untuk regresi neovaskularisasi, tetapi
intensitas dan besarnya bakaran pada PRP bervariasi tergantung dari
setiap kasus dan protokol yang ditetapkan.14
2. Focal dan Grid Laser Photocoagulation
Penatalaksanaan edema makula pada retinopati diabetik dapat
menggunakan dua metoda yang berbeda dengan PRP, yaitu
a) Focal laser photocoagulation
Diarahkan langsung pada pembuluh darah yang abnormal dengan
tujuan mengurangi kebocoran cairan yang kronis.14
b) Grid laser Photocoagulation
Digunakan pada kebocoran difus, dan dilakukan dengan pola grid pada
area yang edema.14
Untuk proliferative retinopati DM biasanya diindikasikan pengobatan
dengan fotokoagulasi panretina laser argon, yang secara bermakna menurunkan
kemungkinan perdarahan masif korpus vitreum dan pelepasan retina dengan cara
menimbulkan regresi dan sebagian kasus dapat menghilangkan pembuluh-
pembuluh baru tersebut. Kemungkinan fotokoagulasi panretina laser argon ini
bekerja dengan mengurangi stimulus angiogenik dari retina yang mengalami
iskemik. Tekniknya berupa pembentukan luka-luka bakar laser dalam jumlah

26
sampai ribuan yang tersebar berjarak teratur di seluruh retina, tidak mengenai
bagian sentral yang dibatasi oeh diskus dan pembuluh vaskular temporal
utama.10,12

Tabel. 2.1 Rekomendasi Terapi Retinopati Diabetik Berdasarkan Beratnya


Retinopati14

Berat Edema makula Follow Panretinal Fluoresein Focal dan/


Retinopati yang bermakna up photocoagulation angiography atau grid
klinis (bulan) lase laser

Normal Tidak ada 12 Tidak


atau Tidak dikerjakan
Tidak dikerjakan
NPDR dikerjakan
minimum

NPDR Tidak ada 6-12 Tidak Tidak


ringan dikerjakan dikerjakan
hingga
Tidak dikerjakan
sedang Ada Biasanya Biasanya

NPDR Tidak ada 2-4 Jarang Tidak


berat Terkadang dikerjakan

Ada Biasanya Biasanya

PDR risiko Tidak ada 2-4 Jarang Tidak


rendah Terkadang dikerjakan

Ada Biasanya Biasanya

PDR risiko Tidak ada 2-4 Jarang Tidak


tinggi Biasanya dikerjakan

Ada Biasanya Biasanya

PDR Tidak ada 6-12 Tidak Biasanya


inaktif Tidak dikerjakan dikerjakan

Ada 2-4 Biasanya

27
Vitrektomi
Vitrektomi dini perlu dilakukan pada pasien yang mengalami kekeruhan
vitreus dan yang mengalami neovaskularisasi aktif. Vitrektomi dapat juga
membantu bagi pasien dengan neovaskularisasi yang ekstensif atau yang
mengalami proliferasi fibrovaskular serta pada pasien dengan ablasio retina, RDP
berat, dan perdarahan vitreus yang tidak mengalami perbaikan.13

Kontrol Hipertensi
Untuk mengetahui pengaruh hipertensi terhadap retinopati diabetik, UK
Prospective Diabetes Study (UKPDS) menganalisis pasien diabetes tipe 2 yang
dilakukan kontrol tekanan darah secara ketat dibanding dengan kontrol tekanan
darah sedang melalui pengamatan selama 8 tahun. Kelompok pasien dengan
kontrol tekanan darah secara ketat mengalami penurunan risiko progresifitas
retinopati sebanyak 34%.13

Diet
Diet makan yang sehat dengan makanan yang seimbang penting untuk
semua orang dan terutama untuk pasien diabetes. Diet seimbang bisa membantu
mencapai pengontrolan berat badan yang lebih baik dan juga pengontrolan
diabetes.10

Aktivitas
Mempertahankan gaya hidup sehat dengan olah raga yang teratur penting
untuk semua individu, terutama individu dengan diabetes. Olah raga bisa
membantu dengan menjaga berat badan dan dengan absorpsi glukosa perifer. Hal
ini dapat membantu meningkatkan kontrol terhadap diabetes, dan dapat
menurunkan komplikasi dari diabetes dan retinopati DM.10

28
5. Optik Neuropati

Optik Neuropati Iskemik adalah suatu kondisi dimana asupan darah ke saraf
optik bermasalah, mengakibatkan hilangnya penglihatan. Hal ini merupakan satu
penyebab utama kebutaan atau cacat penglihatan parah di antara populasi usia
menengah dan manula. Kondisi ini sering kali terkait dengan faktor faktor resiko
seperti diabetes, tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi atau kebiasaan merokok
(neuropati iskemik optik non-arteritik) walaupun pada beberapa kasus, mungkin
juga disebabkan oleh peradangan pembuluh darah (neuropati iskemik optik
arteritik)15
Subtipe arteritik umumnya disebabkan oleh masalah kekebalan tubuh. Pada
arteritik, dampak terhadap mata sangatlah tinggi, terapi steroid diperlukan untuk
mencegah hilangnya penglihatan pada mata lainnya. Sedangkan pada kasus non-
arteritik, persentase dampak terjadinya penyakit ini pada mata sebalahnya
diperkirakan berkisar antara 15% hingga 20% dalam 5 tahun. Saat ini, belum ada
terapi yang terbukti efektif untuk mengatasi neuropati iskemik optik non-arteritik
atau mencegah dampaknya terhadap mata sebelahnya.15
Pada neuropati iskemik optik non-arteritik (NAION), pasien biasanya
mengeluh hilangnya penglihatan mata secara mendadak tanpa rasa nyeri, pada
umumnya terjadi saat bangun di pagi hari. Biasanya, daerah pandangan separo
keatas atau kebawah terkena lebih parah. Hingga 40% dari kasus kasus ini
mengalami pemulihan penglihatan seiiring waktu, 30% mengalami penurunan
penglihatan dan 30% mengalami masalah penglihatan yang tidak berubah. Jika
kondisi ini disertai dengan gejala nyeri pada bagian rahang, sakit kepala didaerah
dahi, nyeri kulit kepala atau penurunan berat badan, arteritis sel besar mungkin
menjadi penyebabnya dan pengobatan harus segera dilakukan.15

BAB III
29
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Diabetes melitus adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh karena


peningkatan kadar gula dalam darah (hiperglikemi) akibat kekurangan
hormon insulin baik absolut maupun relative merupakan penyakit
kronis yang dapat membutuhkan intervensi obat-obatan seumur hidup.

Komplikasi diabetes mellitus terdiri atas komplikasi akut dan kronik.


Komplikasi kronik terdiri atas makroangiopati, mikroangiopati, dan
neuropati. Komplikasi pada indera penglihatan termasuk komplikasi
makroangiopati (glaukoma neovaskular), mikroangiopati (retinopati
diabetik), dan neuropati (keratophaty diabetik, optik neuropati dan
kranial neuropati), serta berpengaruh terhadap pembentukan katarak.

Keratopathy neurotropik merupakan suatu kondisi dimana


terdapatnya neuropati dari saraf trigeminal cabang oftalmika.
Termasuk penyakit yang jarang ditemukan dan ditandai mata berair
dan sakit secara mendadak, silau dan sulit membuka mata Pengobatan
dengan pemberian obat tetes agar kornea lembab dan pemakaian
bandage lensa kontak atau anterior stromal puncture, scrapping epitel
kornea atau phototherapeutic keratectomy (PTK)

Glaukoma neovaskular merupakan glaukoma sekunder yang terjadi


akibat oklusi pada pembuluh darah vena yang mengakibatkan
peningkatan tekanan bola mata. Terapi berupa pengontrolan tekanan
intraokular dan mengatasi penyakit yang mendasari apabila mungkin.
Glaukoma sekunder selalu sukar disembuhkan dengan manajemen
farmakologis dan membutuhkan intervensi bedah.

Katarak diabetika terjadi akibat kadar gula darah yang tidak terkontrol
sehingga lensa akan membengkak. Hal ini berhubungan dengan

30
penimbunan sorbitol. Gambaran khas berupa kekeruhan tersebar halus
seperti tebaran kapas di dalam massa lensa. Terapi utama adalah
mengontrol gula darahnya.

Retinopati diabetik terjadi akibat kerusakan pada banyak pembuluh


darah halus yang memberi nutrisi pada retina. Merupakan komplikasi
yang paling sering menyebabkan kebutaan. Gejala dapat bersifat
asimptomatik hingga menimbulkan gangguan penglihatan. Terdiri atas
tipe non-proliferatif dan tipe proliferative. Pengobatan dapat dilakukan
dengan bedah laser, injeksi triamcinolone ke dalam mata dan
vitrectomy.

Optik Neuropati Iskemik merupakan kondisi dimana asupan darah ke


saraf optik bermasalah, mengakibatkan hilangnya penglihatan.
Terbagi atas tipe non-arteritik yang berhubungan dengan faktor faktor
resiko seperti diabetes, tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi atau
kebiasaan merokok dan tpe arteritik yang berhubungan dengan
peradangan pembuluh darah. Belum ada terapi yang terbukti efektif
untuk mengatasi neuropati iskemik

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Price,S, Lorraine MW. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit Edisi ke-6. Jakarta; EGC; 2006.
2. RS Islam Sultan Agung. Diabetes Melitus 2009 Jan 01 (Citied 2017 Jan
29). Available at: http://rsisultanagung.co.id/ diabetik-retinopati-
komplikasi-pandangan-mata
3. Bonini S, Rama P, Olzi D, Lambiase A. Neuthropic keratitis. Eye. 2003;
17:989-95.
4. Lockwood A, Hope-Ross M, Chell P. Neurotrophic keratopathy and
diabetes mellitus 2005 Oct 27 (Citied 2017 Jan 29). Availabe at:
http://www.nature.com/eye/journal/v20/n7/full/6702053a.html
5. Wand, M. Neovascular glaucoma. Principles and Practice of
Ophthalmology lst ed. Philadelphia; WB Saunders co; 1994.
6. Wahyuni N. Glaukoma Neovaskular 2009 Jun 29 (Citied 2017 Jan 29).
Available from: http://ningrumwahyuni.wordpress.com
7. Ariandhita. Diabetes Penyebab Katarak. 2009 (Citied 2017 Jan 29).
Available from: http://m.medicalera.com/index.php?t=15538.
8. Sidartawan S, et al. Diabetes Melitus Penatalaksanaan Terpadu. Jakarta:
FKUI; 2002.
9. Kaji Y. Prevention of catarac diabetic. British Journal of Ophthalmology.
2005; 89: 254-255.
10. JDRF Diabetic Retinopathy Center Group. Journal of American Diabetes
Association. Pennsylvania; 2006.
11. Ilyas SH. Penglihatan Turun Perlahan Tanpa Mata Merah. Ilmu Penyakit
Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2005.
12. Sudiana N . Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Trisakti Press; 1990.
13. Ryder B. Combined Modalities Seem To Provide The Best Opinion.
Screening for Diabetic Retinopathy 1995 Jul 22 (Citied 2017 Jan 29).
Available from: http://www.bmj.com/content/311/6999/207.extract
14. Watkins PJ. Retinopathy. ABC of Diabetes 2003 Apr 26 (Citied 2017 Jan
29). Available from: http://www.bmj.com/content/326/7395/924.full

32
15. Kline LB, Bajandas FJ. Neuro-Ophthalmology Review Mannual 5th ed.
New Jersey; Slack Incorporated; 2001.

33

Anda mungkin juga menyukai