Evidance Based Practice-1
Evidance Based Practice-1
Disusun oleh :
Ekalaya yusuf
Rika rahmat
Syarif hidayatulloh
Ucu suparyanti
A. PENDAHULUAN
Fraktur atau sering disebut patah tulang adalah terputusnya
kontinuitas jaringan tulang dan tulang rawan. Kebanyakan fraktur
disebabkan oleh cedera, trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan
pada tulang, baik berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung
(Sjamjuhidajat & Jong, 2005).
Salah satu insiden kecelakaan yang memiliki prevalensi cukup
tinggi yakni insiden fraktur ekstremitas bawah yakni sekitar 46,2% dari
insiden kecelekaan yang terjadi. Penyebab yang berbeda, dari hasil survey
tim Depkes RI didapatkan 25% penderita fraktur yang mengalami
kematian, 45% mengalami cacat fisik, 20% mengalami stress psikologis
dan 10% mengalami kesembuhan dengan baik. (Lukman, 2009).
Pembedahan atau operasi adalah tindakan pengobatan yang menggunakan
cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan
ditangani (Sjamjuhidajat & Jong, 2005).
Sasaran pembedahan yang dilakukan untuk memperbaiki fungsi
dengan mengembalikan gerakan, stabilitas, mengurangi nyeri. Tingkat dan
keparahan nyeri pasca operasi tergantung pada fisiologis dan psikologis
individu dan toleransi yang ditimbulkan nyeri (Smeltzer & Bare, 2002).
Pasien pasca operasi fraktur seringkali mengeluh rasa nyeri, keluhan ini
sebenarnya wajar karena tubuh mengalami luka dan poses
penyembuhannya tidak sempurna. Nyeri yang dirasakan pasien bedah
meningkat seiring dengan berkurangnya pengaruh anastesi. Secara
signifikan nyeri dapat memperlambat pemulihan (Potter & Perry, 2006).
Nyeri adalah suatu sensasi subjektif dan pengalaman emosional yang tidak
menenangkan berkaitan dengan keruasakan jaringan, aktual atau yang
dirasakan dalam kejadian dimana terjadi kerusakan (Potter & Perry, 2006).
Nyeri bersifat subjektif, tidak ada dua individu yang mengalami
nyeri yang sama dan tidak ada dua kejadian nyeri yang sama menghasilkan
respon atau perasaan yang identik pada individu. (Potter & Perry, 2006).
Nyeri bisa timbul hampir pada setiap area fraktur. Bila tidak diatasi dapat
menimbulkan efek yang membahayakan yang akan mengganggu proses
penyembuhan dan dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas,
untuk itu perlu penanganan yang lebih efektif untuk meminimalkan nyeri
yang dialami oleh pasien. Secara garis besar ada dua manajemen untuk
mengatasi nyeri yaitu manajemen farmakologi dan manajemen non
farmakologi.
Manajemen farmakologis yang biasa digunakan adalah analgetik
golongan opioid, tujuan pemberian opioid adalah untuk meredakan nyeri.
(Smeltzer & Bare, 2002). Manajemen non farmakologis untuk mengatasi
nyeri terdiri dari berbagai tindakan penanganan fisik meliputi stimulus
kulit, stimulus elektrik saraf kulit, akupuntur. Intervensi prilaku kognitif
meliputi tindakan distraksi, teknik relaksasi, hypnosis dan sentuhan
terapeutik (Tamsuri, 2006). Metode penatalaksanaan nyeri
nonfarmakologis mempunyai resiko yang sangat rendah.
Dalam hal ini kelompok kami ingin meneliti tentang pengaruh
terapi guided imagery, relaksasi dan musik klasik pada klien dengan
intensitas nyeri post operasi fraktur.
B. ANALISIS JURNAL
C. IMPLEMENTASI
Eksperimen pemberian terapi guided imagery, terapi relaksasi dan
terapi musik klasik ini dilakukan kepada klien An. Agus Dan Akmal
Sesudah terapi
S : klien mengatakan tidak bisa
fokus karena banyak orang
disekitarnya, tapi setelah
memejamkan mata jadi merasa
rileks dan ingin tersenyum
Sesudah relaksasi
S : Klien mengatakan tiap sesudah
tarik nafas ,nyeri nya sedikit
berkurang tetapi tetap tidak bisa
tidur karena tiap merasakan nyeri
harus tarik nafas lagi
Sesudah terapi
S : klien mengatakan lagu nya bikin ngantuk,
D. PEMBAHASAN
Dari hasil evaluasi pada klien dengan intensitas nyeri pada post op
yang dilakukan perawatan dengan menggunakan terapi nonfarmakologis yaitu
dengan menggunakan tehnik terapi guided imagery, terapi relaksasi dan terapi
musik klasik, menunjukan bahwa klien dengan intensitas nyeri post op
dengan menggunakan tehnik musik klasik penanganan nya lebih efektif
dibandingkan dengan terapi guided imagery ataupun terapi relaksasi.
Guided imagery merupakan kegiatan klien membuat suatu bayangan
yang menyenangkan, dan mengonsentrasikan diri pada bayangan tersebut serta
berangsur-angsur membebaskan diri dari perhatian terhadap nyeri (Tamsuri,
2006). Terapi ini dapat menurunkan nyeri karena didalamnya terdapat unsur
terapi yang berfungsi untuk relaksasi atau untuk tujuan proses penyembuhan.
Melalui guided imagery pasien akan terbantu untuk mengalihkan perhatian
dari nyeri yang dirasakan dengan membayangkan hal-hal yang
menyenangkan. Hal ini sehingga secara bertahap dapat menurunkan persepsi
klien terhadap nyeri yang dirasakan tetapi dalam penerapan nya terapi ini
harus dalam suasana yang nyaman dan tidak terlalu banyak suara yang dapat
mengganggu konsentrasi nya.
Erat kaitan nya terapi musik terhadap nyeri Seperti diketahui bahwa
endorphin memiliki efek relaksasi dalam tubuh (Potter & Perry, 2006).
Endorphin tersebut dapat menimbulkan efek analgesia yang mengeliminasi
neurotransmitter rasa nyeri pada pusa persepsi dan interpretasi sensori dalam
otak. Sehingga efek yang bisa muncul adalah nyeri berkurang (Guyton & Hall,
2008). Menurut Mc Caffrey musik dapat menciptakan suasana nyaman pada
situasi yang tidak nyaman seperti nyeri post operasi. Mc Caffrey telah
melakukan penelitian tentang terapi musik untuk penurunan nyeri pada
osteoartritis, dia mendapatkan hasil bahwa pasien yang diberi terapi musik
selama 20 menit merasakan nyerinya berkurang sebanyak 33% (Jerrad, 2004).
Nilson, dkk (2003) menemukan bahwa terapi musik pada intra operasi dan
post operasi dapat menurunkan nyeri. Mereka menyimpulkan bahwa musik
mempunyai efek langsung jangka pendek dalam menurunkan nyeri.
Musik sebagai gelombang suara diterima dan dikumpulkan oleh
daun telinga masuk ke dalam meatus akustikus eksternus hingga membrana
timpani. Oleh membrana timpani bersama rantai osikule dengan aksi hidrolik
dan mengungkit, energi bunyi diperbesar menjadi 2530 kali (rata-rata 27
kali) untuk menggerakkan medium cair perilimf dan endolimf. Setelah itu
getaran diteruskan hingga organ korti dalam kokhlea dimana getaran akan
diubah dari sistem konduksi ke sistim saraf melalui nervus auditorius (N. VIII)
sebagai impuls elektris. Impuls elektris musik masuk melalui serabut saraf
dari ganglion spiralis Corti menuju ke nukleus koklearis dorsalis dan ventralis
yang terletak pada bagian atas medulla. Pada titik ini semua sinap serabut dan
neuron tingkat dua diteruskan terutama ke sisi yang berlawanan dari batang
otak dan berakhir di nukleus olivarius superior.
Setelah melalui nukleus olivarius superior, penjalaran impuls
pendengaran berlanjut ke atas melalui lemniskus lateralis kemudian berlanjut
ke kolikulus inferior, tempat semua atau hampir semua serabut ini berakhir.
Setelah itu impuls berjalan ke nukleus genikulata medial, tempat semua
serabut bersinap, dan akhirnya berlanjut melalui radiasio auditorius ke korteks
auditorius, yang terutama terletak pada girus superior lobus temporalis. Dari
korteks auditorius yang terdapat pada korteks serebri area, jaras berlanjut ke
sistem limbik, melalui cincin korteks serebral yang disebut korteks limbik.
Korteks yang mengelilingi struktur subkortikal limbik ini berfungsi sebagai
zona transisional yang dilewati sinyal yang dijalarkan dari sisi korteks ke
dalam sistem limbik dan juga ke arah yang berlawanan.
Dari korteks limbik, jaras pendengaran dilanjutkan ke hipokampus,
tempat salah satu ujung hipokampus berbatasan dengan nuklei amigdaloid.
Amigdala yang merupakan area perilaku kesadaran yang bekerja pada tingkat
bawah sadar, menerima sinyal dari korteks limbik lalu menjalarkannya ke
hipotalamus. Di hipotalamus yang merupakan pengaturan sebagian fungsi
vegetatif dan fungsi endokrin tubuh seperti halnya banyak aspek perilaku
emosional, jaras pendengaran diteruskan ke formatio retikularis sebagai
penyalur impuls menuju serat saraf otonom. Serat saraf tersebut mempunyai
dua sistem saraf yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis.
Kedua sistem saraf ini mempengaruhi kontraksi dan relaksasi organ-organ.
Relaksasi dapat merangsang pusat rasa ganjaran sehingga timbul
ketenangan. Sebagai ejektor dari rasa rileks dan ketenangan yang timbul,
midbrain akan mengeluarkan gamma amino butyric acid (GABA), enkephalin,
beta endorphin. Zat tersebut dapat menimbulkan efek analgesia yang akan
mengeliminasi neurotransmitter rasa nyeri pada pusat persepsi dan interpretasi
sensorik somatik otak.
Terapi musik merupakan jenis terapi psikofisika. Artinya, berdampak
langsung pada psikis maupun fisik, dua aspek yang tak terpisahkan satu sama
lain. Sebab, badan dan jiwa merupakan satu kesatuan. Dan, musik sudah sejak
lama dianggap sebagai perangkat misterius yang dapat menyeimbangkan
kerjasama antara tubuh dan jiwa.
E. SIMPULAN
Dari hasil eksperimen terhadap penelitian yang sudah dilakukan, ternyata
terapi musik klasik lebih efektif terhadap intensitas nyeri post op
dibandingkan dengan terapi guided imagery dan relaksasi.
F. SARAN
Tehnik terapi musik klasik dapat diterapkan pada pasien dengan intensitas
nyeri post op fraktur.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayati, Sri Nur. 2005. Terapi Alternatif dan Gaya Hidup Sehat. Pradipta
Publishing: Yogyakarta
lampiran