Anda di halaman 1dari 8

SEJARAH JURNALISTIK DI INDONESIA

Tokoh pers nasional, Soebagijo Notodidjojo dalam bukunya PWI di Arena Masa (1988) menulis,
Tirtohadisoerjo atau Raden Djokomono (1875-1918), pendiri mingguan Medan Prijaji yang sejak tahun
1910 berkembang jadi harian sebagai pemrakarsa pers nasional. Artinya dialah yang pertama kali
mendirikan penerbitan yang dibiayai modal nasional dan pemimpinnya orang Indonesia.

Dalam perkembangan selanjutnya, pers Indonesia menjadi salah satu alat perjuangan kemerdekaan
bangsa ini. Haryadi Suadi menyebutkan , salah satu fasilitas yang pertama kali direbut pada masa awal
kemerdekaan adalah fasilitas percetakan milik perusahaan Koran Jepang seperti Soeara Asia (Surabaya),
Tjahaja (Bandung), dan Sinar Baroe (Semarang).

Menurut Haryadi, kondisi pers Indonesia semakin menguat pada akhir 1945 dengan terbitnya beberapa
koran yang mempropagandakan kemerdekaan Indonesia seperti, Soeara Merdeka (Bandung), Berita
Indonesia (Jakarta).

Jurnalistik Indonesia Sebelum Merdeka

Di Indonesia pers mulai dikenal pada abad 18, tepatnya pada tahun 1744, ketika sebuah surat kabar
bernama Bataviasche Nouvelles diterbitkan dengan perusahaan orang-orang Belanda. Surat kabar yang
pertama sebagai bacaan untuk kaum pribumi dimulai tahun 1854 ketika majalah Bianglala diterbitkan,
disusul oleh Bromartani pada tahun 1885, kedua-duanya di Weltevreden, pada tahun 1856 Soerat Kabar
Bahasa Melajoe di Surabaya. Sejak itu bermunculanlah berbagai surat kabar dengan pemberitaan bersifat
informatif, sesuai dengan situasi dan kondisi pada zaman penjajahan itu.

Sejarah pers pada abad 20 ditandai dengan munculnya koran pertama milik Bangsa Indonesia. Modal dari
bangsa Indonesia dan untuk bangsa Indonesia, yakni Medan Prijaji yang terbit di Bandung. Medan Prijaji
yang dimiliki dan dikelola oleh Tirto Hadisuryo alias Raden Mas Djokomono ini pada mulanya, yakni tahun
1907 berbentuk mingguan, kemudian pada tahun 1910 diubah menjadi harian.

Tirto Hadisuryo ini dianggap sebagi pelopor yang meletakkan dasar jurnalistik modern di Indonesia, baik
dalam cara pemberitaan, pemuatan karangan, iklan dan lain-lain. Setelah Boedi Oetomo lahir yang diikuti
oleh gerakan-gerakan lainnya, baik yang berasaskan kebangsaan maupun yang berdasarkan keagamaan,
jumlah surat kabar yang dikelola Indonesia semakin bertambah karena organisasi-organisasi tersebut
menyadari bahwa untuk menyebarluaskan misinya diperlukan media massa, yang pada waktu itu hanya
surat kabar-lah yang dapat dipergunakan.

Ditinjau dari sudut jurnalistik salah seorang tokoh bernama Dr. Abdoel Rivai dianggap sebagai wartawan
yang paling terkenal karena tulisannya yang tajam dan pedas terhadap kolonialisme Belanda. Oleh
Adinegoro, Dr. Rivai diberi julukan Bapak Jurnalistik Indonesia dan diakui oleh semua wartawan pada
waktu itu sebagai kolumnis Indonesia yang pertama.

Jurnalistik Indonesia Pasca Kemerdekaan

Seperti juga di belahan dunia lain, pers Indonesia diwarnai dengan aksi pembungkaman hingga
pembredelan. Haryadi Suadi mencatat, pemberedelan pertama sejak kemerdekaan terjadi pada akhir
1940-an. Tercatat beberapa koran dari pihak Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dianggap berhaluan kiri
seperti Patriot, Buruh, dan Suara Ibu Kota dibredel pemerintah. Sebaliknya, pihak FDR membalas dengan
membungkam koran Api Rakjat yang menyuarakan kepentingan Front Nasional. Sementara itu pihak
militer pun telah memberedel Suara Rakjat dengan alasan terlalu banyak mengkritik pihaknya.

Pada tanggal 1 Oktober 1945 terbit Harian Merdeka sebagi hasil usaha kaum Buruh De Unie yang berhasil
menguasai percetakan. Pada saat revolusi fisik itu jurnalistik Indonesia mempunyai fungsi yang khas. Hasil
karya wartawan bukan lagi bermanfaat bagi konsumsi pembaca di daerah pedalaman, tetapi juga berguna
bagi prajurit-prajurit dan laskar-laskar yang berjuang di Front. Berita yang dibuat para wartawan bukan
saja mengobarkan semangat berjuang membela kemerdekaan, tetapi sekaligus sebagai alat pemukul
terhadap hasutan-hasutan pihak Belanda yang disiarkan melalui berbagai media massanya.

Pada tanggal 1 Januari 1950 berlakulah UUD RIS, tetapi pada tanggal 15 Agustus 1950 RIS dibubarkan, dan
Indonesia menjadi Republik Kesatuan dengan UUDS. Pada waktu itu yakni waktu pengakuan kedaulatan
sampai tahun 1959 yaitu munculnya doktrin demokrasi terpimpin yang kemudian disusul dengan ajaran
Manipol Usdek, kebebasan pers banyak digunakan untuk saling mencaci-maki dan memfitnah lawan politik
dengan tujuan agar lawan politiknya itu jatuh namanya dalam pandangan khalayak.

Antara tahun 1955 sampai 1958 dengan UU No. 23 tahun 1954 banyak surat kabar yang dibredel, banyak
pula wartawan yang ditangkap dan ditahan. Tanggal 1 Oktober 1958 dapat dikatakan sebagai tanggal
matinya kebebasan pers Indonesia. Sesudah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, pihak penguasa berturut-
turut mengeluarkan peraturan untuk lebih mengetatkan kebebasan terhadap pers. Persyaratan untuk
mendapatkan SIT diperkeras. Baru beberapa bulan peraturan itu berjalan, kemudahan lahir peraturan baru
yang lebih mempersempit ruang gerak para wartawan yang hendak mengeluarkan pendapatnya dan
pikirannya.

Departemen Penerangan mengeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa surat kabar atau majalah
harus didukung oleh suatu partai politik atau tiga organisasi massa. Surat kabar di daerah yang semula
masih dibenarkan memakai nama berbeda dengan organ resmi dari induk tempat ia berafiliasi di Pusat
harus mengubah namanya sehingga sama dengan organnya di Jakarta. Akibat peraturan itu dapat
dibayangkan bagaimana corak jurnalistik Indonesia pada waktu itu, ruang para wartawan dipersempit,
keterampilan dikekang, daya pikir ditekan. Tahun 1966 bagi sejarah pers Indonesia merupakan tahun
penting karena pada tahun itulah dikeluarkannya UU No. 11 tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan
pokok pers.

Ditinjau dari segi kualitas dan kuantitas, sejarah perkembangan pers dan jurnalistik Indonesia sejak saat
itu menggembirakan dan membanggakan kita. Pada tahun 1988 tercatat ada 263 penerbitan pers, pada
tahun 1992 jumlah tersebut meningkat menjadi 277 penerbitan pers.

Jurnalistik Indonesia Zaman Orde Baru

Selama dua dasawarsa pertama Orde Baru, 19651985, kebebasan jurnalistik di Indonesia, memang bisa
disebut lebih banyak bersinggungan dengan dimensi, unsur, nilai, dan roh ekonomi daripada dimensi
politik. Sebagai sarana ekonomi, pers dapat hidup dengan subur tetapi sebagai wahana ekspresi, penyalur
pendapat umum, pengemban fungsi kontrol sosial, pers Indonesia dihadapkan pada berbagai pembatasan
dan tekanan dari pihak penguasa pusat dan daerah. Orde Baru sangat menyanjung ekonomi namun
membenci politik. Sepanjang 1980, fungsi pers masih mengalami penciutan, bersamaan dengan
pengetatan pengendalian oleh pemerintah terhadap kegiatan politik dalam masyarakat. Fungsi utama pers
sebagai komunikator informasi telah mengalami kemunduran sehingga yang lebih menonjol adalah
fungsinya yang lain sebagai sarana hiburan. Pers mengalami kepincangan terutama dalam bidang
pendidikan politik.

Kebebasan jurnalistik, kebebasan pers, dalam dua dari tiga dasawarsa kekuasaan monolitik Orde Baru,
hanya lebih banyak memunculkan kisah sedih daripada kisah sukses yang sejalan dengan amanat para
pendiri bangsa seperti dinyatakan dengan tegas dalam Pasal 28 UUD 1945. Disebut sebagai era pers
tiarap Orde Baru. Hanya dengan tiarap, dengan mengendap-endap pers kita diharapkan bisa tetap
bertahan hidup. Strategi inilah yang dipilih sebagian pers nasional untuk meloloskan diri dari jebakan-
jebakan kematian. Orde Baru pun akhirnya tumbang pada 21 Mei 1998, lahirlah kemudian apa yang
disebut Orde Reformasi.

Jurnalistik Indonesia Zaman Reformasi

Kebebasan jurnalistik berubah secara drastis menjadi kemerdekaan jurnalistik. Terjadi euforia di mana-
mana kala itu.

Secara yuridis, UU Pokok Pers No 21/1982 pun diganti dengan UU Pokok Pers No 40/1999. Dengan undang-
undang baru dan pemerintahan baru, siapa pun bisa menerbitkan dan mengelola pers. Siapa pun bisa
menjadi wartawan dan masuk organisasi pers mana pun. Hal ini ditegaskan pada Pasal 9 ayat (1) UU Pokok
Pers No 40/1999, setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers.
Ditegaskan lagi pada ayat (2), setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.

Kewenangan pers nasional itu sendiri sangat besar. Menurut Pasal 6 Pokok Pers No. 40/1999, pers nasional
melaksanakan peranan: (1) memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, (2) menegakkan nilai-nilai
dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati
kebhinekaan,
(3) mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar, (4) melakukan
pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhdap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, dan (5)
memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Dalam era reformasi, kemerdekaan pers benar-benar dijamin dan diperjuangkan. Semua komponen bangsa
memiliki komitmen yang sama: pers harus hidup dan merdeka. Hidup, menurut kaidah manajemen dan
perusahaan sebagai lembaga ekonomi. Merdeka, menurut kasidah demokrasi, hak asasi manusia, dan
tentu saja supremasi hukum.

HISTORY OF JOURNALISM IN INDONESIA

Prominent national press, Soebagijo Notodidjojo in his PWI in Arena Masa (1988) writes, Tirtohadisoerjo or
Raden Djokomono (1875-1918), founder of the weekly Medan Prijaji that since 1910 evolved into the daily
as the initiator of the national press. That is he who first founded the publishing financed national capital
and the leader of Indonesia.

In a further development, the press Indonesia become one of the nation's independence struggle. Haryadi
Suadi mentioned, one of the facilities were first captured in the early days of independence is printing
facilities owned by Japanese newspapers as Soeara Asia (Surabaya), Tjahaja (Bandung), and Sinar Baroe
(Semarang).

According Haryadi, the Indonesian press conditions intensified in late 1945 with the publication of several
newspapers which propagate the independence of Indonesia such as, Soeara Merdeka (Bandung), News
Indonesia (Jakarta).

Journalism Indonesia before Merdeka

In Indonesia, the press began to be known in the 18th century, precisely in 1744, when a newspaper called
"Bataviasche Nouvelles" published by the Dutch company. The newspaper first as a reading for the natives
began in 1854 when the magazine "Ferris" was published, followed by "Bromartani" in 1885, both in
Weltevreden, in 1856 "news Soerat Melajoe Language" in Surabaya. Since the rise of newspapers with
informative news, according to the circumstances in the colonial era.

History of the press in the 20th century was marked by the emergence of the first newspaper belonging to
the Indonesian nation. Capital of the Indonesian nation and for the Indonesian people, the "Terrain Prijaji"
published in Bandung. Terrain Prijaji owned and managed by the alias Raden Mas Tirto Hadisuryo
Djokomono in the beginning, namely 1907 weekly form, then in 1910 changed to daily.

Hadisuryo Tirto is regarded as the pioneer who laid the foundation of modern journalism in Indonesia, both
in the way the news, loading arrangements, advertising and others. After Boedi Utomo born followed by
other movements, both berasaskan nationality or faith-based, number-run newspaper Indonesia increasing
because of these organizations realize that to spread his mission required the mass media, which at that
time only newspaper was the one that can be used.

In terms of journalism one of a character named Dr. Rival Abdoel regarded as a journalist most famous for
his sharp and spicy against Dutch colonialism. By Adinegoro, Dr. Rival given the nickname "Father of
Journalism Indonesia" and is recognized by all the reporters at that time as the first columnist Indonesia.

Journalism Indonesia Post-Independence

As in other parts of the world, the Indonesian press tinged with silencing action until the bans. Haryadi
Suadi noted, first pemberedelan since independence occurred in the late 1940s. Recorded several
newspapers of the Democratic People's Front (FDR) were considered leftist like Patriot, Labour, and Sound
Capital banned by the government. Instead, the FDR responded with silence Fire newspaper People who
voiced the interests of the National Front. Meanwhile, the military may have memberedel Voice of the
People with too many reasons to criticize it.

On October 1, 1945 issue Merdeka Day as a result of the efforts of the Labor De Unie who managed to
control printing. At the time of the physical revolution journalism Indonesia has a distinctive function. The
work of journalists is no longer useful to the readers of consumption in rural areas, but also useful for
soldiers and militias who fought at the Front. News reporters made not only rekindle the spirit of fighting
for independence, but also as a club against the stirring up of the Dutch broadcast through various mass
media.

On January 1, 1950 RIS operator from the Constitution, but on August 15, 1950 RIS disbanded, and the
unitary Republic of Indonesia became the Provisional Constitution. At that time, the timing of the
recognition of sovereignty until 1959 has been the emergence of guided democracy doctrine was followed
by the teachings of the Political Manifesto, freedom of the press is widely used to berate each other and
malign political opponents in order to make it fall in the name of political opponents in the view of the
audience.

Between 1955 to 1958 by Law No. 23 1954 many newspapers were banned, many journalists were
arrested and detained. Date October 1, 1958 can be considered as the date of death of press freedom in
Indonesia. After the Presidential Decree dated July 5, 1959, the authorities issued consecutive tighten the
rules for freedom of the press. Requirements to obtain a hardened SIT. Just a few months the regulation
goes, the ease born of new regulations which further narrows the space for the journalists to be issued
their opinions and thoughts.

Ministry of Information issued a regulation stating that a newspaper or magazine to be supported by a


political party or three mass organizations. Newspaper in the area that originally was justified in the name
differs from the official organ of the mother where he was affiliated at the Centre had to change the name
so closely with his organ in Jakarta. As a result of the regulation can be imagined how the pattern of
journalism Indonesia at the time, space journalists narrowed, skills harnessed, the power of thought is
suppressed. In 1966, for the history of the Indonesian press was an important year for the year that the
issuance of Law No. 11 of 1966 on the basic provisions of the press.

Terms of quality and quantity, the historical development of the press and journalism Indonesia since it
was exhilarating and we boast. In 1988, there were 263 press publications, in 1992 that number increased
to 277 press publications.

Journalism Indonesian New Order Age

During the first two decades of the New Order, 1965-1985, journalistic freedom in Indonesia, it can be
called a lot more contact with the dimensions, elements, values and spirit of economic rather than a
political dimension. As the economic means, the press can live with fertile but as a vehicle of expression,
channeling public opinion, bearer of social control, press Indonesia faced various restrictions and pressure
from the central and local authorities. New Order's very flattering but hated political economy. Throughout
1980, the function of the press is shrinking, along with the tightening of control by the government against
political activity in the community. The main function of the press as a communicator of information has
suffered setbacks, so the more prominent is the other functions as a means of entertainment. Press
experiencing lameness, especially in the field of political education.

Journalistic freedom, freedom of the press, in two out of three decades of monolithic power of the New
Order, only raises more sad stories than success stories in line with the mandate of the Founding Fathers
as expressly stated in Article 28 of the Constitution, 1945. Known as the news hit the deck of the New
Order era. Just to get down, to skulk our press is expected to survive. This strategy is chosen in part of the
national press to escape from the traps of death. New Order was finally collapsed on May 21, 1998, was
born then so-called Reform Order.

Journalism Indonesia Age Reform

Freedom of journalism changed drastically to journalistic independence. Euphoria occurs everywhere at the
time.

Legally, the Basic Press Law No. 21/1982 was replaced with Basic Press Law No. 40/1999. With the new law
and a new government, anyone can publish and manage the press. Anyone can be a journalist and go in
any press organization. This is confirmed in Article 9 paragraph (1) Basic Press Law No. 40/1999, every
citizen of Indonesia and of the right to establish a press company. Reaffirmed in paragraph (2), each
company is a legal entity should press Indonesia.
The authority of the national press itself is huge. According to Article 6 of the Basic Press No. 40/1999, the
national press carry out the role: (1) meet the public's right to know, (2) uphold the fundamental values of
democracy, promote the establishment of the rule of law and human rights, and respect diversity,

(3) develop public opinion based on information that is precise, accurate, and true, (4) conducting
surveillance, criticism, corrections, and suggestions terhdap matters relating to the public interest, and (5)
fight for justice and truth.

In this era of reform, press freedom is completely secured and championed. All components of the nation
has the same commitment: to live and independent press. Life, according to the rules of management and
the company as an economic institution. Freedom, according to Qasida democracy, human rights, and of
course the rule of law.

1. Belanda

Awal mula jurnalistik diIndonesia adalah pada jaman belanda. Catatan sejarah yang berkaitan dengan
penerbitan media massa dipicu oleh penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg. Beberapa pejuang
kemerdekaan Indonesia pun menggunakan kewartawanan sebagai alat perjuangan. Di era-era inilah
Bintang Timoer, Bintang Barat, Java Bode, Medan Prijaji, dan Java Bode terbit.

2. Jepang

Pada masa pendudukan Jepang, Jepang mengambil alih kekuasaan, koran-koran ini dilarang. Akan tetapi
pada akhirnya ada lima media yang mendapat izin terbit: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari,
dan Suara Asia.

3. Perjuangan Kemerdekaan

Saat indonesia merdeka pemerintah menggunakan Radio Republik Indonesia sebagai media komunikasi.
Menjelang penyelenggaraan Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak tahun 1962
inilah Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar hitam putih. Penyebarluasan tentang
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan oleh wartawan-wartawan Indonesia di Domei, di
bawah pimpinan Adam Malik. Berkat usaha wartawan-wartawan di Domei serta penyiar-penyiar di radio,
maka praktisi pada bulan September 19945 seluruh wilayah Indonesia dan dunia luar dapat mengetahui
tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

RRI (Radio Republik Indonesia) terbentuk pada tanggal 11 September 1945 atas prakasa Maladi. Dalam
usahanya itu Maladi mendapat bantuan dari rekan-rekan wartawan lainnya, seperti Jusuf Ronodipuro,
Alamsjah, Kadarusman, dan Surjodipuro. Pada saat berdirinya, RRI langsung memiliki delapan cabang
pertamanya, yaitu di Jakarta, Bandung, Purwokerto, Yogyakarta, Surakarta, dan Surabaya. Surat kabar
Republik I yang terbit di Jakarta adalah Nerita Indonesia, yang terbit pada tanggal 6 September 1945.
Surat kabar ini disebut pula sebagai cikal bakal Pers nasional sejak proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia.

4. Soekarno

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, perkembangan pers republic sangat pesat, meskipun
mendapat tekanan dari pihak penguasa peralihan Jepang dan Sekutu/Inggris, dan juga adanya hambatan
distribusi.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, di Sumatera dan sekitarnya, usaha penyebarluasan
berita dilakukan mula-mula berupa pamflet-pamflet, stensilan, sampai akhirnya dicetak, dan disebar ke
daerah-daerah yang terpencil. Pusat-pusatnya ialah di Kotaraja (sekarang Banda Aceh), Sumatera Utara di
Medan dimana kantor berita cabang Sumatera juga ada di Medan, lalu Sumatera Barat di Padang,
Sumatera Selatan di Palembang. Selain itu, di Sumatera muncul surat kabar-surat kabar kaum republik
yang baru, di samping surat surat kabar yang sudah ada berubah menjadi surat kabar Republik, dengan
nama lama atau berganti nama. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Sulawesi dan
sekitarnya, kalangan pers selalu mendapat tekanan-tekanan, seperti yang dialami Manai Sophiaan yang
mendirikan surat kabar Soeara Indonesia di Ujung Pandang. Di Manado dan sekitarnya (Minahasa) tekanan
dari pihak penguasa pendudukan selalu dialami oleh kalangan pers. Di daerah terpencil, seperti Ternate
yang merupakan daerah yang pertama kali diduduki oleh tentara Sekutu, para pejuang di kalangan pers
tetap mempunyai semangat tinggi.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Jawa dan sekitarnya, pertumbuhan pers paling
subur, bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di wilayah RI ini. Hal itu disebabkan jumlah wartawan
yang lebih banyak dan juga karena pusat pemerintahan RI ada di Jawa. Pusat-pusatnya, adalah di Jakarta,
Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Solo, dan Surabaya.

Sementara itu, para wartawan dan penerbit sepakat untuk menyatukan barisan pers nasional, karena
selain pers sebagai alat perjuangan dan penggerak pembaangunan bangsa. Kalangan pers sendiri masih
harus memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi masa kini dan masa mendatang. Untuk itulah,
maka kalangan pers membutuhkan wadah guna mempersatukan pendapat dan aspirasi mereka. Hal
tersebut terwujud pada tanggal 8-9 Februari 1946, dengan terbentuknya Persatuan Wartawan Indonesia
(PWI) di Solo atau Surakarta.

5. Soeharto

Masa kekuasaan presiden Soeharto, banyak terjadi pembreidelan media massa. Kasus Harian Indonesia
Raya dan Majalah Tempo merupakan dua contoh jelas yang diberikn dalam sensor kekuasaan ini. Kontrol
ini dipegang melalui Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang
kemudian memunculkan Aliansi Jurnalis Independen yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna
Galih, Jawa Barat. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara.

6. Reformasi

Masa titik terang bagi pers muncul ketika presiden BJ Habibie menggantikan Soeharto. Banyak media
massa yang muncul dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi. Kini, Kegiatan
kewartawanan diatur dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang dikeluarkan Dewan Pers
dan Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia
atau KP. Pada massa reformasi, pers bebas tanpa batasan pembaruan izin. SIUPP dihapus sejalan dengan
Departemen Penerangan yang ditiadakan lagi. Dengan kebebasan pers yang diberikan negara, pers
berkembang pesat dari segi ekonomi maupun politik hingga mencapai segementasi pasar kecil sekalipun.

Tidak adanya SIUPP berarti siapa saja bisa membuat sebuah media massa. Ajaran keseimbangan antara
kebebasan dengan tanggung jawab pers di era reformasi tercermin didalam UU Pers. Dalam p[raktiknya
oleh sebagian penerbitan pers justru kebebasan lebih diutamakan dari pada tanggung jawabnya.
Akibatnya ada sebagian penerbitan pe rs terjebak dalam atribsi pers kuning (yellow pers), pers pop
(popular pers) dan pers kebablasan. Namun sebagian lagi tetap mengutamakan mutu jurnalistik.

Mengenai kebijakan media didalam sistem pers pada zaman reformasi sepenuhnya berada di tangan
pemilik media. Kebijakan komunikasi dan pemerintah lebih berupa imbauan kepada media agar mematuhi
rambu-rambu etika dan hukum yang berlaku.

Dalam sistem pers otoriter (Orde baru dan Orde Lama) keredaksian ditentukan oleh pemerintah.
Sedangkan kebijakan Redaksi harus sesuai dengan kebijakan komunikasi pemerintah.

Fenomena pers bebas muncul semenjak keberadaan era reformasi dan terutama semenjak berlakunya UU
No 40 Tahun 1999 tentang pers. Baik secara tegas maupun secara implisit semua konsep pers bebas itu
terdapat didalam sejumlah undang-undang baru antara lain, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU
No 40 Tahun 1999 tentang pers.

Dengan masuknya paradigma kebebasan pers yang sangat luas di Indonesia saat ini ternyata muncul
akses yang cukup besar bahkan rawan. Terjadi banyak pelanggaran terhadap UU Pers dan terhadap kode
etik jurnalistik baik oleh kalangan pers itu sendiri, maupun oleh masyarakat.

1. The Netherlands

Beginning journalism is the era of Dutch companies. The historical records pertaining to the issuance of the
mass media was triggered by the invention of printing by Johannes Gutenberg. Some Indonesian freedom
fighters also use journalism as a tool of struggle. In the eras of Star is Timoer, Western Star, Java Bode,
Medan Prijaji, and Java Bode published.

2. Japan

During the Japanese occupation, the Japanese took power, the newspapers are prohibited. But in the end
there are five media under license issue: Asia King, Tjahaja, New Light, Sunlight, and Sound Asia.

3. Struggle for Independence

When independent Indonesian government uses Radio Republic of Indonesia as a communication medium.
Ahead of the Asian Games IV, the government has included television projects. Since 1962, this is Televisi
Republik Indonesia emerged with a black and white screen technology. Dissemination of the Republic of
Indonesia independence carried out by Indonesian journalists in Domei, under the leadership of Adam
Malik. Thanks to the efforts in Domei journalists and broadcasters in radio, then in September of 19 945
practitioners throughout Indonesia and the outside world know about the Declaration of Independence of
the Republic of Indonesia.

RRI (Radio Republik Indonesia) was formed on September 11, 1945 on the initiative of Maladi. In his efforts
Maladi got help from fellow journalists, such as Jusuf Ronodipuro, Alamsjah, Kadarusman, and Surjodipuro.
At the time of its establishment, direct RRI has eight first branch, namely Jakarta, Bandung, Purwokerto,
Yogyakarta, Surakarta and Surabaya. Czech newspaper first published in Jakarta is Nerita Indonesia,
published on September 6, 1945. This newspaper also referred to as the forerunner to the national press
since the proclamation of Independence of the Republic of Indonesia.

4. Soekarno

After independence of the Republic of Indonesia, a very rapid development of the press republic, despite
pressure from the authorities of Japan and the Allied transition / English, and also their distribution barriers.

After independence of the Republic of Indonesia, Sumatra and surrounding areas, news dissemination
efforts carried out initially in the form of pamphlets, mimeographed, until finally printed, and distributed to
remote areas. Fitness-center is in Kotaraja (now Banda Aceh), North Sumatra in Medan Sumatra branch in
which the news agency is also in Medan, Padang and West Sumatra, South Sumatra, Palembang. Moreover,
in Sumatra appeared the newspaper-newspapers of the new republic, in addition to the newspapers that
already turned into a newspaper of the Republic, with the old name or renamed. After independence of the
Republic of Indonesia in Sulawesi and surrounding areas, the press always gets pressures, as experienced
manai sophiaan who founded the newspaper Soeara Indonesia in Ujung Pandang. In Manado and its
surroundings (Minahasa) pressure on the occupying power is always experienced by the press. In remote
areas, such as Ternate which is an area that was first occupied by the Allied forces, the fighters in the press
still has a high spirit.

After independence of the Republic of Indonesia in Java and beyond, the press most fertile growth, when
compared with other areas in the region RI. That is because the more the number of journalists and also
because the central government of Indonesia in Java. Fitness-center, is in Jakarta, Bandung, Semarang,
Yogyakarta, Surakarta, Solo and Surabaya.

Meanwhile, journalists and publishers have agreed to unify the ranks of the national press, because in
addition to the press as a means of struggle and driving pembaangunan nation. The press itself still has to
solve the problems they face today and in the future. For this reason, it is the press need an avenue to
unite their opinions and aspirations. This was achieved on 8-9 February 1946, with the formation of the
Indonesian Journalists Association (PWI) in Solo or Surakarta.

5. Soeharto

The reign of President Suharto, a lot going on the banning of the mass media. Case Harian Indonesia Raya
and Tempo are two clear examples that diberikn in this power sensor. This control is held by the Ministry of
Information and the Indonesian Journalists Association (PWI). This then led to the Alliance of Independent
Journalists who declared themselves in Wisma Tempo Sirna Galih, West Java. Some activists were put in
jail.

6. Reform
Future bright spot for the press appear when the president BJ Habibie succeeded Suharto. Many emerging
mass media and PWI are no longer the only professional organization. Now, journalism activities regulated
by the Press Law No. 40 of 1999 issued by the Press Council and the Broadcasting Act No. 32 of 2002
issued by the Indonesian Broadcasting Commission or KP. In the mass of reform, free press without
limitation license renewal. License was removed in line with the Ministry of Information which eliminated
again. With the freedom of the press given by the state, the press rapidly developing economically and
politically to achieve the smallest market segmentation.

The absence of this license means anyone can create a mass media. Doctrine balance between press
freedom with responsibility in the reform era is reflected in the Press Law. In the p [raktiknya by some
press publications precisely freedom takes precedence over the responsibilities. As a result there were
some issuance pe rs stuck in atribsi yellow press (yellow press), press pop (popular press) and press
"excessive". But some still give priority to quality journalism.

Policy regarding the media in the press at the time of the reform system entirely in the hands of media
owners. Communication and government policy is more of an appeal to the media in order to comply with
ethical guidelines and applicable law.

In the system of authoritarian press (New Order and Old Order) editorship determined by the government.
While Editorial policy must comply with the government communications policy.

The phenomenon emerged in the existence of a free press reform era and especially since the enactment
of Law No. 40 of 1999 concerning the press. Whether explicitly or implicitly all the concept of a free press
was contained in a number of new laws, among others, Law No. 39 of 1999 on Human Rights and Law No.
40 of 1999 concerning the press.

With the inclusion of the paradigm of press freedom are very widespread in Indonesia at this time had
appeared large enough access even vulnerable. There have been many violations of the Press Law and the
journalistic code of ethics by both the press itself, and by society.

Anda mungkin juga menyukai