Anda di halaman 1dari 249

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Desa sering diucap dengan sebutan dusun, tanah asal, tanah kelahiran.

Desa merupakan sebutan lawan dari Negara. 1 Sedangkan dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia Desa adalah (1) sekelompok rumah di luarkota yang

merupakan kesatuan kampung, dusun; (2) udik atau dusun dalam arti daerah

pedalaman sebagai lawan Kota; (3) tempat, tanah, daerah. Masyarakat desa

diharapkan juga ikut mengawasi dan menggambil peran aktif melalui

musyawarah desa agar pelaksanaan pembangunan bisa benar-benar efektif dan

tepat sasaran serta dilakukan secara transparan dan akuntabel.


Dimasa depan memiliki sumber daya yang cukup besar untuk

mendukung kemandirian masyarakat. Dana tersebut berasal dari tujuh sumber

pendapatan yakni, APBN, Aplikasi Dana Desa (ADD), bagi hasil, dan retribusi,

bantuan keuangan Propinsi/Kabupaten, dan Kota, hibah dan lain-lain yang sah

dan tidak mengikat. Jika digali dan dikelola dengan benar, kemungkinan Desa

bisa menerima lebih dari 2,5 Milyar, (Rakito, Direktur Dana Perimbangan

Kementerian Keuangan RI dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Ikatan

Pelaku Pemberdayaan Masyarakat Indonesia (IPPMI) di Jakarta, 20 Desember

2014.
Namun masyarakat hanya terfokus pada dana Desa yang bersumber dari

APBN saja. Padahal penganggaran dana yang berasal dari APBN itu masih

1 Hofstede, Geert, Cultures and Organization Software of The Mind, New York, Mc. Grow
hill, 1997.

1
menyisakan berbagai ketidak pastian akibat dari data jumlah Desa yang terus

menerus berubah.
Undang Undang Desa tidak hanya membawa sumber pendanaan

pembangunan bagi Desa, namun juga memberi lensa baru pada masyarakat

untuk mentranformasi wajah Desa. Melalui pemberdayaan masyarakat Desa

yang diharapkan mampu membawa perubahan nyata, sehingga harkat dan

martabat mereka pulih kembali, Pemberdayaan masyarakat merupakan

pendekatan yang memperhatikan seluruh aspek kehidupan masyarakat dengan

sasaran seluruh lapisan masyarakat, pemandirian, sehingga mampu

membangkitkan kemampuan self-help, untuk meningkatkan kualitas hidup

masyarakat (modernisasi) yang mengacu pada cara berfikir, bersikap,

berperilaku untuk maju.


Adapun Kelembagaan perdesaan, merupakan faktor pendorong (push

factor), misalnya berkait makin langkanya sumber daya alam, kurangnya akses

permodalan, rendahnya harga komoditas pertanian yang menyebabkan

kesejahteran petani menurun. Selain itu, berkurangnya lahan pertanian produktif,

industrialisasi produk yang bersifat kearifan lokal tidak berjalan lancar, bahkan

mengalamai kebangkrutan masal, serta terjadinya bencana alam dan sebagainya.


Kelembagaan Komunitas Lokal merupakan lembaga masyarakat lokal

yang dibangun dan diperkuat sesuai kebutuhan masyarakat dalam proses

transformasi sosial yang mengakar, diakui dan diterima masyarakat. Peran

kelembagaan komunitas lokal dalam pemberdayaan masyarakat yaitu salah

satunya berpartisipasi dalam penanggulangan kemiskinan, maka perlu untuk

mengetahui bagaimanakah perannya dari setiap lembaga komunitas lokal dalam

melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat kelurahan. Karena dalam

2
pemberdayaan masyarakat, sasaran utama adalah masyarakat yang tidak berdaya

(miskin) dalam arti luas dan secara nyata sebagian besar yang miskin adalah

daerah perkotaan.
Dalam program pemberdayaan masyarakat selalu didorong untuk pro

poor dan lebih memberikan peluang yang besar terhadap peran masyarakat

dalam pemberdayaan masyarakat khususnya masyarakat miskin di Desa. Secara

umum pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memulihkan atau

meningkatkan keberdayaan suatu komunitas untuk mampu berbuat sesuai

dengan harkat dan martabat mereka dalam melaksanakan hak-hak dan

tanggungjawab mereka sebagai komunitas manusia dan warga Negara. Untuk

dapat memulihkan kembali harkat dan martabat komunitas (warga miskin) atau

menuju masyarakat yang berdaya dan sejahtera, maka penting peran dari

kelembagaan komunitas lokal dalam pemberdayaan masyarakat yang menjadi

pola pendekatan program penanggulangan kemiskinan yang sekarang baru

gencar-gencarnya digalakkan Pemerintah.


Akhirnya keberadaan kelembagaan komunitas lokal sesuai dengan

kepentingan dan kebutuhan masyarakat tersebut dapat menjadi kapital sosial

bagi proses transformasi sosial dari kondisi masyarakat yang tidak berdaya

menjadi masyarakat berdaya, masyarakat mandiri dan masyakat yang madani

yang dicita-citakan bersama.


Untuk mengetahui sejauhmana peran kelembagaaan komunitas lokal

dalam pemberdayaan masyarakat Desa, maka perlu adanya penelitian kasus

peran dari kelembagaan komunitas lokal yaitu LPMD, LPMK, BKM, PKK, dll

dalam pemberdayaan masyarakat Desa di Kabupaten Demak Provinsi Jawa

Tengah.

3
Pembangunan pada dasarnya adalah proses perubahan berbagai aspek

kehidupan menuju kondisi lebih baik. Dalam kontek bernegara, kerja besar

pembangunan diselengarakan oleh para pemaku kepentingan sesuai peraturan

perundangan yang ditetapkan. Sebuah produk hukum, pada hakekatnya adalah

instrumen perubahan sosial menuju tatanan dan kondisi kehidupan berbangsa

dan bernegara yang lebih baik. Dalam Undang-Undang Nomor: 25 Tahun 2004

tetang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) secara legal

menjamin aspirasi masyarakat dalam kontek peningkatan Pemberdayaan

Lembaga Kemasyarakatan Desa dalam Mengentaskan Kemiskinan Berbasis

Nilai Kesejahteraan, upaya mengintegrasikan perencanaan pembangunan

partisipatif menjadi sebuah program kerja yang bersifat strategis. Perencaan

partisipatif yang dikembangkan dalam PNPM Mandiri Perdesaan diintegrasikan

dengan perencanaan partisipasi yang dikembangkan dalam Musyawarah

Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes). Agenda pengintegrasian

program ini merupakan tindak lanjut dari instruksi Presiden Republik Indonesia

Nomor: 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang berkeadilan

utamanya terkait dengan instruksi untuk melaksanakan Integrasi PNPM Mandiri

Perdesaan dengan perencanaan Desa.

Rumusan tindakan dalam rangka integrasi dimaksud meliputi:

1 Menyusun mekanisme penyatuan perencanaan berbasis masyarakat ke

dalam forum yang bersifat partisipatif;

2 Menyusun mekanisme pendampingan agar masyarakat Desa mampu

menyiapkan program jangka menengah;

4
3 Menyusun mekanisme agar program jangka menengah Desa yang

disusun dapat menghasilkan program berbasis masyarakat;

4 Menyusun mekanisme agar aparat Desa dapat mengakomodir dan

memproses program jangka menengah Desa sebagai bahan musrenbang;

5 Menyusun mekanisme pengendalian pelaksanaan program

pembangunan berbasis masyarakat melalui instrumen PNPM Mandiri

Perdesaan.

Ditinjau dari sudut pandang hukum, yang lebih menekankan kepada tata

aturan yang menjadi dasar pengaturan kehidupan masyarakat, desa dipahami

sebagai suatu daerah kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu

masyarakat, yang berkuasa (memiliki wewenang). Pengertian ini sangat

menekankan adanya otonomi untuk membangun tata kehidupan Desa bagi

kepentingan penduduk. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor: 6

Tahun 2014 tentang Desa untuk diterapkan sebagai payung hukum

Penyelengaraan Otonomi Daerah di Indonesia2 dapat memberikan implikasi

yang besar bagi penyelengraan pemerintahan di daerah termasuk juga dalam

Rekonstruksi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri

Perdesaan.

Berdasarkan pemikiran untuk memperkuat aktualisasi Perencanaan

Pembangunan Desa melalui integrasi PNPM Mandiri Perdesaan ke dalam sistem

perencanan pembangunan Desa yang bersifat reguler, maka secara khusus

dirumuskan Panduan Teknis Integrasi. Panduan ini diarahkan sebagai panduan

2 Saddu Wasistono, 2001, Kapita Selekta Manajemen Pemerintahan Daerah, Alqaprint,


Jatinangor Sumedang, hal. 6

5
kerja bagi pelaksana dan pembina Perencanaan Pembangunan Desa, maupun

para pelaksana dan pembina PNPM Mandiri Perdesaan untuk dipedomani dalam

meningkatkan kinerja kegiatan pembangunan Desa.

Suatu perkembangan dalam rangka menuju kesejahteraan masyarakat dan

kemandirian pemerintahan Desa, pemerintah telah mngeluarkan kebijakan yaitu

UU Nomor: 6 Tahun 2014 tentang Desa. Adapun Desa menurut UU Nomor 6

Tahun 2014 adalah Desa dan Desa adat atau yang disebut dengan nama lain,

selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki

batas wilayah yang berwewenang untuk mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan prakarsa

masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati

dalam sistem pemerintahan Negara kesatuan Republik Indonesia.

Dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, salah satu

strategi penting bagi rumah tangga perdesaan yaitu untuk mendapatkan dan

meningkatkan penghasilan. Terlebih pembangunan Desa bertujuan

meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup warga Desa, serta

menanggulangi kemisknan melalui pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat

Desa. Amanat UU.RI Nomor: 6 Tahun 2014 tenatang Desa, Pertama. Membina

dan meningkatkan perekonomian Desa serta mengintegrasikannya. Pemerintah

Desa dituntut melakukan inovasi dan berkreativitas untuk menciptakan sektor

ekonomi produktif pedesaan, seperti budi daya produk-produk yang berbasis

kearifan lokal, antara lain hasil kerajinan industri pangan/minuman tradisional,

produk hasil bumi dan pertanian dan sebagainya. Kedua. Mengembangkan

sumber pendapatan Desa dan perwujudan pembangunan Desa secara partisipasif.

6
Pemerintah Desa harus bisa memanfaatkan dan mendayagunakan aset sebagai

sumber pendapatan yang bisa digunakan untuk membangun sarana dan

prasaranan. Dalam aset desa berupa tanah kas, tanah ulayat, pasar atau pasar

hewan, bangunan Desa, hutan milik Desa, mata air/pemandian umum, dan aset

lain milik Desa. Ketiga. Pembangunan kawasan pedesaan yang meliputi

penggunaan dan pemanfaatan wilayah Desa dalam rangka penetapan kawasan

pembangunan sesuai dengan tata ruang Kabupaten/Kota, membangun

infrastruktur, meningkatkan ekonomi pedesaan, dan pengembangan teknologi

tepat guna, serta pemberdayaan masyarakat Desa untuk meningkatkan akses

terhadap pelayanan dan kegiatan ekonomi (Pasal 79 UU Nomor 6 Tahun 2014).

Keempat. Mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang dikelola

dengan semangat kekeluargaan dan gotong royong. Hasil usaha badan tersebut

dapat dimanfaatkan untuk pengembangan usaha, pembangunan Desa,

pemberdayaan masyarakat, dan membantu masyarakat miskin melalui hibah,

bantuan sosial, atau dana bergulir yang ditetapkan dalam anggaran pendapatan

dan belanja Desa.

Adapun Kelembagaan perdesaan, merupakan faktor pendorong (push

factor), misalnya berkait makin langkanya sumber daya alam, kurangnya akses

permodalan, rendahnya harga komoditas pertanian yang menyebabkan

kesejahteran petani menurun. Selain itu, berkurangnya lahan pertanian produktif,

industrialisasi produk yang bersifat kearifan lokal tidak berjalan lancar, bahkan

mengalamai kebangkrutan masal, serta terjadinya bencana alam dan sebagainya

Dalam pengertian umum Desa sebagai tempat dimana bermukim

penduduk dengan peradaban yang lebih terbelakang ketimbang Kota. Sedang

7
Desa menunjukan ciri: Pertama, bahwa Desa merupakan suatu lokasi

pemukiman di luar Kota, sekaligus bukan Kota. Kedua, Desa adalah komunitas

kesatuan. Sangat jelas ditunjuk bahwa Desa merupakan komunitas yang

homogeny. Dan Ketiga, Desa menunjukan suatu sifat dari lokasi sebagai akibat

dari posisinya yang berada di pedalaman-udik.

Pengertian Sosiologis, Desa digambarkan sebagai suatu bentuk kesatuan

masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu

lingkungan dimana mereka saling mengenal dan corak kehidupan mereka

relative homogen serta banyak bergantung kepada alam. Pada dasarnya

menonjolkan Desa, selain memuat segi-segi dan sifat-sifat yang positif, seperti

kebersamaan dan kejujuran, namun dipandang ula mengandung ciri negatif,

seperti kebodohan dan keterbelakangan. Pada umumnya keterbelakangan, seperti

sebagian buta huruf, masyarakatnya bertani, masih belum mengenai teknologi

tinggi dan masih menggunakan bahasa pengantar bukan Bahasa Indonesia,

menjadi citra Desa dari Desa.

Bahwa dalam pandangan (sosial) ekonomi yang lebih menekankan sisi

produksi, melihat Desa sebagai komunitas masyarakat yang memiliki model

produksi yang khas. Desa mengandung arti sebagai orang hidup dalam ikatan

keluarga dalam suatu kelompok perumahan dengan saling ketergantungan yang

besar di bidang sosial dan ekonomi. Desa biasanya terdiri dari rumah tangga

petani dengan kegiatan produksi, konsumsi dan investasi sebagai hasil keputusan

keluarga secara bersama.

Berbagai program yang diluncurkan Pemerintah, seperti PNPM Mandiri

dan sebagainya merupakan bentuk unsur pemerintah dalam pembangunan, yang

8
diserahkan untuk diurus oleh aktor pembangunan lain. Program PNPM Mandiri

ini dilaksanakan oleh masyarakat dengan pengawasan dari pemerintah daerah.

Masyarakat cukup untuk mengajukan program yang diinginkan untuk kemudian

dieksekusi sendiri oleh masyarakat. Oleh karena itu, peran masyarakat dalam

pembangunan menjadi lebih besar dibanding dahulu. Untuk menggiatkan

program pembangunan ini, pemerintah pun melakukan beberapa revisi fungsi

pada lembaga masyarakat yang sudah ada. LKMD (Lembaga Ketahanan

Masyarakat Desa) diubah namanya menjadi LPMK (Lembaga Pemberdayaan

Masyarakat Kelurahan) Fungsinya pun menjadi berubah, jika dulu LKMD hanya

berfungsi sebagai sebuah lembaga perwakilan desa, saat ini LPMK diposisikan

sebagai mitra kerja pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan di masyarakat.

Adapun peraturan perundangan yang menjadi dasar dan acuan integrasi

program yaitu: Undang-Undang Nomor: 6 Tahun 2014 tentang Desa:

a. Pasal 78 ayat (1) Undang Undang Desa;

b. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 66 Tahun 2007 tentang

Perencanaan Pembangunan Desa;

c. Peraturan Pemerintah Nomor: 43 Tahun 2014 tentang Desa;

d. Surat Menteri Dalam Negeri Nomor: 414.2/3717/PMD Tahun

2008 tentang Petunjuk Teknis Operasional PNPM Mandiri Perdesaan

e. Surat Menteri Dalam Negeri Nomor: 414.2/1408/PMD Tahun

2010 tentang Petunjuk Teknis Perencanaan Pembangunan Desa.

Rencana kerja pembangunan Desa yang selanjutnya disingkat (RKP-

Desa) adalah dokumen perencanaan untuk periode 1 (satu) Tahun merupakan

penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah RPJM Desa yang

9
memuat rancangan kerangka ekonomi Desa, dengan mempertimbangkan

kerangka pendanaan yang dimutahirkan, program prioritas pembangunan Desa,

rencana kerja dan pendanaan serta perkiraan maju baik yang dilaksanakan

langsung oleh pemerintah Desa maupun yang ditempuh dengan mendorong

partisipasi masyarakat dengan mengacu kepada Rencana Kerja Pemerintah

Daerah dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah RPJM Desa. Salah satu

persoalan mendasar dalam penyelenggaraan pembangunan Desa adalah terkait

elemen Perencanaan Pembangunan Desa (RPJM-Desa). Karena RPJM Desa

merupakan dokumen yang menunjukkan arah tujuan dan kebijakan

pembangunan Desa, maka kualitas RPJM Desa menjadi sangat penting untuk

diperhatikan baik dari segi proses penyusunan kualitas dokumen maupun

kesesuaiannya dengan Peraturan Perundangan yang berlaku. Penyusunan RPJM

Desa berdasar pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor: 66

Tahun 2007 adalah untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan pembangunan.

Permendagri dimaksud serta mendorong dan memfasilitasi Pemerintah Desa

menyusun RPJM Desa. Untuk mengakomodasi kepentingan tersebut perlu

disediakan Petunjuk Teknis Penyusunan RPJM Desa, yang merupakan turunan

dari penjabaran secara rinci Permendagri Nomor: 66 Tahun 2007, Serta

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 13 Tahun 2006 tentang Pedoman

Pengelolaan Keuangan Daerah. Sedangkan tujuan penyusunan Rencana

Pembangunan Jangka Menengah RPJM Desa dalam penyelengaraan PNPM

Mandiri Perdesaan yaitu:

1) Merumuskan rencana pembangunan Desa yang sesuai dengan

kebutuhan masyarakat dan keadaan setempat;

10
2) Merumuskan arah tujuan, kebijakan dan srtategi pembangunan Desa;

3) Menyelaraskan rencana kegiatan dan anggaran;

4) Meningkatkan peran serta masyarakat di Desa dalam proses

pembangunan.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 tentang peraturan

pelaksanaan UU Desa, pada Pasal 78 dinyatakan bahwa tujuan dari

pembangunan desa adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan

kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan

kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa, pengembangan

ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara

berkelanjutan. Sedangkan dalam Pasal 83 dinyatakan bahwa Pembangunan

Kawasan Perdesaan dilaksanakan dalam upaya mempercepat dan meningkatkan

kualitas pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat Desa di

Kawasan Perdesaan melalui pendekatan pembangunan partisipatif.

UU Desa juga memberi amanah kepada Pemerintah, Pemda Provinsi, dan

Pemda Kabupaten / Kota untuk memberdayakan masyarakat Desa, yang

dilaksanakan dengan pendampingan dalam perencanaan, pelaksanaan dan

pemantauan pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan (Pasal 122),

pemberdayaan masyarakat Desa dan pendampingan masyarakat Desa diatur

lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 43/2014 khususnya Pasal 126

s.d 131).

Pembangunan Kawasan Perdesaan sesuai amanah UU RI No.6 Th. 2014

tentang Desa dan best practices oleh PNPM Mandiri bisa sejalan dan dapat

bersinergi dengan program unggulan Gubernur Jawa Tengah yaitu Desa

11
Berdikari. Filosofi aktualisasi Desa Berdikari adalah merupakan gerakan

pemberdayaan Desa dengan proses Rembugan warga secara terus

menerus/berkesinambungan, dalam rangka pengelolaan sumberdaya Desa secara

mandiri (produktif) menuju keberdikarian Desa, melalui pendampingan oleh

Kader Desa Berdikari (KDB). Desa Berdikari dicerminkan dengan kemampuan

Desa untuk : (1) Membangun berdasarkan kekuatan dan sumber daya yang ada

di Jateng, agar terhindar dari jebakan ketergantungan dengan pihak eksternal; (2)

Mengekplorasi seluruh potensi, baik ilmu pengetahuan, teknologi, kearifan

lokal, SDA dan lingkungan, serta SDM Jateng dimanapun bermukim, untuk

mendukung dan meningkatkan kekuatan sendiri; (3) Melakukan kerjasama

dengan para pihak, dalam dan luar negeri, secara saling menghormati dan

menguntungkan dalam jangka pendek maupun panjang. Target perwujudan Desa

Berdikari (sesuai RPJMD Provinsi Jateng Tahun 2013 2018) adalah sebanyak

100 Desa pada akhir tahun 2018, dengan rincian 6 desa di Tahun 2015, 30 Desa

di Tahun 2016, 34 Desa di Tahun 2017 dan 30 Desa di Tahun 2018.

Melalui pemberdayaan masyarakat Desa diharapkan mampu membawa

perubahan nyata sehingga harkat dan martabat mereka pulih kembali.

Pemberdayaan masyarakat merupakan pendekatan yang memperhatikan seluruh

aspek kehidupan masyarakat dengan sasaran seluruh lapisan masyarakat,

bermotifkan pemandirian (keberdikarian), sehingga mampu membangkitkan

kemampuan self-help. untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat

(modernisasi) yang mengacu pada cara berpikir, bersikap, berperilaku untuk

maju. Maka bidang pemberdayaan merupakan titik strategis yang harus

diperbarui dan diperluas. Sehingga esensi pemberdayaan masyarakat di pedesaan

12
adalah pendayagunaan sumberdaya (potensi) lokal, meningkatkan partisipasi,

memupuk kepedulian semua pihak untuk kemandirian (berdikari) masyarakat

dan pemberdayaan kelembagaan lokal (Desa).

RPJM Desa pada hakekatnya adalah dokumen yang menterjemahkan

proses pemikiran strategis menjadi kerangka perencanaan pembangunan Desa.

Dengan demikian, mutu rencana pembangunan desa ditentukan sejauh mana

dokumen tersebut dapat menampilkan rumusan pemikiran strategis. Pemikiran

strategis dimaksud berkenaan dengan arah dan tujuan pembangunan Desa yang

selama ini kelihatan dari kaca mata fenomena yang ada, maka contoh dua Desa

yang telah mewakili tiap Kecamatan, yaitu Desa Jogoloyo Kecamatan

Wonosalam mendapat predikat lebih baik dalam Rekonstruksi PNPM MP di

tingkat Kabupaten Demak, di bandingkan Desa Tlogoweru Kecamatan Guntur

mendapat predikat sedang dan Desa Wonoagung Kecamatan Karang Tengah

masih dibawah kategori sedikit memperhatinkan.

Target pencapaian selama periode perencanaan serta cara dan langkah-

langkah mencapai tujuan yang akan dicapai tersebut tidak luput peran serta

swadaya masyarakat setempat. Setelah hampir 4 (empat) Tahun Undang-Undang

Nomor: 6 Tahun 2014 tentang Desa diberlakukan, Rekonstruksi Pemberdayaan

Kelembagaan dengan Program PNPM Mandiri Perdesaan di masing-masing

Desa tentunya berbeda tingkat keberhasilan maupun kendalanya. Sehubungan

dengan hal tersebut penulis sangat tertarik untuk melakukan sebuah penelitian

mengenai Rekonstruksi Pemberdayaan Kelembagaan dengan PNPM Mandiri

Perdesaan tersebut. Hal ini dimaksudkan dengan harapan dapat memberikan

gambaran yang kongkrit bagi Rekonstruksi Pemberdayaan Kelembagaan dengan

13
PNPM Mandiri Perdesaan yang ada di setiap perdesaan pada masa-masa yang

akan datang. Dan penelitian ini mengambil judul REKONSTRUKSI

PEMBERDAYAAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA UNTUK

MENGENTASKAN KEMISKINAN (STUDI KASUS DI KABUPATEN

DEMAK).

Sejarah peradaban manusia mencatat bahwa kemiskinan merupakan suatu

fenomena sosial terbesar yang dialami oleh setiap Negara di berbagai belahan

dunia, baik Negara yang sedang berkembang maupun Negara yang sudah

mempunyai kemapanan di bidang ekonomi. Tragedi kemanusiaan ini pada

dasarnya bukan hanya menjadi masalah lokal, regional dan nasional tetapi telah

menjadi perhatian, isu dan gerakan global. Hal ini dapat dicermati dari : (1)

pertemuan World Summit for Social Development Copenhagen 1995 pada

tanggal 6-12 Maret 1995; (2) pertemuan pada Forum Konferensi Tingkat Tinggi

(KTT) Pangan (World Food Summit) di Roma pada tanggal 12 Juni 2002; (3)

KTT Milenium PBB Tahun 2001; (4) Konferensi KTT mengenai Pembangunan

Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan tanggal 2-3 September 2002; (5)

Seminar Nasional tentang Tantangan Penanggulangan Kemiskinan Dalam Era

Otonomi Daerah; (6) Seminar Internasional tentang Penanggulangan

Kemiskinan di Hanoi, Vietnam tanggal 10-11 Juni 2004; (7) Konferensi 55

negara di PBB tentang Tindakan Memerangi Kelaparan dan Kemiskinan, pada

tanggal 20 September 2004, dan berbagai pertemulan berskala nasional dan

internasional lainnya.

Indonesia yang masuk dalam golongan Negara yang sedang berkembang

juga tak asing dengan fenomena kemiskinan yang melanda seluruh Negara di

14
berbagai belahan dunia. Kemiskinan sesungguhnya bukanlah persoalan baru di

negeri ini. Pada dekade 1976-1996, persentase penduduk miskin di Indonesia

pernah mengalami penurunan yaitu dari 40,1% menjadi 11,3%, namun pada

periode 1996-1998 angka ini menjadi 24,29% atau 49,5 juta jiwa. Bahkan

International Labour Organization (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin

di Indonesia mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3% (BPS, 1999). Pada Tahun

2002, persentase kemiskinan telah mengalami penurunan, namun secara absolut

jumlah mereka masih tergolong tinggi, yaitu 43% atau sekitar 15,6 juta (BPS

dan Depsos 2002). Pada September 2011 mencapai 29,89 juta orang atau sekitar

12,36 % (BPS 2012). Walaupun mengalami penurunan setiap tahunnya namun

angka kemiskinan tersebut mengindikasikan konsep model yang dibangun

belum mampu membentuk sosial ekonomi masyarakat yang tangguh.

Di Indonesia, perang terhadap kemiskinan telah dikumandangkan secara

eksplisit sejak republik ini lahir. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, para founding fathers kita secara tegas

telah menyebutkan bahwa salah satu tujuan pokok dari pembangunan nasional

adalah terwujudnya kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia dan

tujuan ini hanya akan terwujud jika tak ada lagi penduduk negeri ini yang hidup

dalam belenggu kemiskinan. Namun apakah hal ini bisa terwujud, sedangkan

Negara superpower sekalipun belum bisa terhindar dari fenomena global ini.

Untuk memenangkan pertarungan melawan kemiskinan, hal pertama yang

harus dilakukan yaitu mendefinisikan kemiskinan tersebut secara mendalam dan

mengukurnya. Dari pengukuran kemiskinan akan diperoleh ragam statistic (data)

kemiskinan yang dapat menjelaskan tentang berbagai hal, seperti siapa si miskin

15
(profile) dan seberapa banyak jumlahnya (incidence of poverty)baik secara

absolut maupun suatu persentase tertentu dari total penduduk suatu wilayah.

Informasi seperti ini sangat penting bagi pemerintah/institusi untuk menentukan

kebijakan yang harus diambil dan program yang harus dijalankan untuk

mengeluarkan si miskin dari kubangan kemiskinan, sekaligus untuk memonitor

dan mengevaluasi keberhasilan langkah-langkah yang telah ditempuh dalam

upaya mereduksi jumlah penduduk miskin dari waktu ke waktu.

Pada Tahun 2004 jumlah penduduk miskin 36,146 juta jiwa (16,66%) dari

jumlah penduduk Indonesia. Tahun 2005 jumlah penduduk miskin membengkak

menjadi 40 juta jiwa dan kecenderungannya semakin naik karena dampak

program yang tidak mengindahkan pemberdayaan masyarakat antara lain

Bantuan Langsung Tunai (BLT). Menilik pada periode Maret 2014, tingkat

kemiskinan di Jawa Tengah mengalami kenaikan menjadi sebesar 14,46% dari

periode September 2013 sebesar 14,44%. Kenaikan ini disebabkan terjadinya

bencana banjir pada awal Tahun 2014 yang mengakibatkan meningkatnya harga

beras akibat penurunan produksi padi akibat gagal panen dan meningkatnya

harga-harga komoditas kebutuhan pokok masyarakat akibat kenaikan inflasi

dampak tersendatnya distribusi.

Jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah periode Maret 2014 sebanyak

4,836 juta orang (14,46%), mengalami kenaikan sebanyak 25,11 ribu orang

(0,02%) dibandingkan periode September 2013 sebanyak 4.811 juta orang

(14,44%). Kenaikan kemiskinan berada di daerah perkotaan sebanyak 32,21 ribu

orang, sedangkan di daerah perdesaan justru mengalami penurunan sebanyak

7,09 ribu orang. Distribusi jumlah penduduk miskin pada periode Maret 2013

16
sebagian besar berada di daerah perdesaan (59,78%), menurun dibanding

periode September 2013 (60,24%). Capaian persentase penduduk miskin Jawa

Tengah pada periode Maret 2014 sebesar 14,46% ini masih berada di atas

Nasional 11,25%.

Berdasarkan basis data terpadu PPLS 2011, saat ini di Jawa Tengah

terdapat 50 kecamatan (di 15 Kabupaten) dengan tingkat kemiskinan tinggi, 234

Kecamatan (di 27 Kabupaten) dengan tingkat kemiskinan sedang, dan 289

Kecamatan (di 30 Kabupaten/Kota). Dari total 8.578 Desa/Kelurahan di Jawa

Tengah, terdapat 1.479 Desa/Kelurahan (terdiri dari 1.356 Desa dan 123

Kelurahan) masuk kategori tingkat kemiskinan tinggi, 2.235 Desa/Kelurahan

(terdiri dari 2.080 desa dan 155 kelurahan) masuk kategori tingkat kemiskinan

sedang, dan 4.864 Desa/Kelurahan (terdiri dari 4.373 Desa dan 491 Kelurahan)

masuk kategori tingkat kemiskinan rendah.3

Dalam kaitannya dengan peran kelembagaan komunitas lokal dalam

pemberdayaan masyarakat yaitu berpartisipasi dalam penanggulangan

kemiskinan, maka perlu untuk mengetahui bagaimanakah perannya dari setiap

lembaga komunitas lokal dalam melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat

kelurahan. Karena dalam pemberdayaan masyarakat, sasaran utama adalah

masyarakat yang tidak berdaya (miskin) dalam arti luas dan secara nyata

sebagian besar yang miskin adalah daerah perdesaan. Kelembagaan Komunitas

Lokal merupakan lembaga masyarakat lokal yang dibangun dan diperkuat sesuai

3 Paparan Kepala Bappeda Jateng pada workshop Peningkatan Peran Daerah dalam
Penanggulangan Kemiskinan, Semarang 26 Agustus 2014

17
kebutuhan masyarakat dalam proses transformasi sosial yang mengakar, diakui

dan diterima masyarakat.

Maka dalam program pemberdayaan masyarakat selalu didorong untuk pro

poor dan lebih memberikan peluang yang besar terhadap peran masyarakat

dalam pemberdayaan masyarakat khususnya masyarakat miskin di Kelurahan.

Secara umum pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memulihkan

atau meningkatkan keberdayaan suatu komunitas untuk mampu berbuat sesuai

dengan harkat dan martabat mereka dalam melaksanakan hak-hak dan

tanggungjawab mereka sebagai komunitas manusia dan warga Negara. Untuk

dapat memulihkan kembali harkat dan martabat komunitas (warga miskin),

pentingnya peran dari kelembagaan komunitas lokal dalam pemberdayaan

masyarakat yang menjadi pola pendekatan program penanggulangan kemiskinan

yang sekarang baru gencar-gencarnya digalakkan Pemerintah.

Untuk mengetahui sejauhmana peran kelembagaaan komunitas lokal

dalam pemberdayaan masyarakat kelurahan, maka perlu adanya penelitian kasus

peran dari kelembagaan komunitas lokal yaitu LPMD, LPMK, BKM, PKK, dll

dalam pemberdayaan masyarakat Desa di Kabupaten Demak Provinsi Jawa

Tengah.

Penelitian ini konsep manfaat program yang lebih dikedepankan adalah

manfaat yang diterima individu dari program penanggulangan kemiskinan.4 Di

Indonesia pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan selalu melibatkan

partisipasi masyarakat dengan pembentukan kelompok-kelompok. Hal ini sesuai

4 Ancok, Dj., Pemanfaatan Organisasi Lokal untuk Mengentaskan Kemiskinan, dalam


Awan Setya Dewanta dkk., ed, Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia, Aditya Media,
Yogyakarta,1995.

18
dengan misi pemberdayaan individu, kelompok dan masyarakat dan sistem nilai

yang berkembang di masyarakat, yaitu kebersamaan (kolektivisme), solidaritas

kelompok dan kegotong-royongan. Indikator yang menunjukkan kemajuan dan

prestasi kelompok dan masyarakat dalam kaitannya dengan program

penanggulangan kemiskinan perlu diperhatikan. Kemajuan ini dapat dalam

bentuk pembangunan fisik, ekonomi, sosial, maupun budaya masyarakat lokal.

Karena seringkali kepentingan masyarakat lebih diutamakan, seperti halnya

dalam program padat karya (pembangunan fasilitas umum), perlu diperhatikan

juga apakah kemajuan yang dirasakan kelompok dan masyarakat sudah

dirasakan juga oleh individu. Pada umumnya karena kehidupan sosial ekonomi

masyarakat pedesaan cukup merata maka pinjaman dibagi secara merata dan

adil.

Keswadayaan dimaksudkan sebagai suatu kondisi yang memiliki sejumlah

kemampuan untuk mengenali kekuatan dan kelemahan diri sendiri, serta

kemampuan untuk memperhitungkan kesempatan-kesempatan dan ancaman

yang ada di lingkungan sekitar, maupun kemampuan untuk memilih berbagai

alternatif yang tersedia agar dapat dipakai untuk melangsungkan kehidupan yang

serasi dan berlanjut.5 Berswadaya secara individual bagi orang kecil lagi miskin

sulit dilaksanakan, tetapi secara bersama dalam kelompok lebih berprospek.

Karena itu prinsip-prinsip swadaya tersebut dalam rangka pembinaan orang kecil

perlu dilaksanakan dalam wadah kelompok-kelompok swadaya. Betapapun di

dalam masyarakat sudah ada kelompok-kelompok swadaya yang tumbuh dan

5 Ismawan, Bambang., Merajut Kebersamaan untuk Menanggulangi Kemiskinan, Jurnal


Ekora No. 6, September 2003

19
berkembang secara tradisional. Kelompok-kelompok swadaya tersebut

organisasinya sangat sederhana, peraturannya disusun dalam norma-norma yang

tak tertulis, sedangkan penyelenggaraan kelompok tidak mengarah pada

pemupukan modal swadaya. Karena itu kelompok-kelompok tradisional tidak

berkemampuan mengatasi masalah-masalah kemiskinan yang laten. Untuk

mengatasi masalah kemiskinan yang laten diperlukan unsur-unsur modern,

memperkuat komponen yang ada pada kelompok swadaya.

Pada PNPM Mandiri Perdesaan adalah peningkatan kesejahteraan dan

kesempatan kerja masyarakat miskin perdesaan secara mandiri melalui

peningkatan partisipasi masyarakat (terutama masyarakat miskin, kelompok

perempuan dan komunitas/kelompok yang terpinggirkan), meningkatkan

kapasitas kelembagaan masyarakat dan pemerintah, meningkatkan modal sosial

masyarakat serta inovasi dan pemanfaatan teknologi tepat guna. Rekonstruksi

PNPM MP telah mendorong terciptanya perangkat sistem yang bersifat dinamis.

Sistem sosial yang dibangun oleh PNPM MP memungkinkan warga Desa

memperoleh peningkatan kapasitas tidak hanya dalam bentuk kursus dan

pelatihan, tetapi juga pembiasaan cara berfikir dan cara bertidak bagi warga

Desa ketika mereka menjalankan peranannya masing-masing di dalam

pelaksanaan program. Masyarakat dibiasakan memperoleh pengalaman nyata

menjalankan sebuah proses pembangunan Desa yang bersifat partisipatif,

khususnya pembelajaran masyarakat melalui kegiatan Menggagas Masa Depan

Desa (MMDD) telah menghasilkan peningkatan kemampuan masyarakat Desa

dalam menyusun perencanaan pembangunan jangka menengah secara

partisipatif.

20
Pengalaman masyarakat dalam perencanaan pembangunan ini perlu

dihargai dengan mendayagunakan secara nyata rencana pembangunan jangka

menengah Desa hasil MMDD dalam menetapkan usulan rencana kegiatan

PNPM MP maupun rencana kegiatan pembangunan di Desa yang diusulkan

untuk dibiayai dengan dana swadaya dan dana APBD maupun sumber

pembiayaan lainnya. Namun demikian, dinamika proses sosial sebagai dampak

intervensi program ini menghadirkan beberapa kendala yang dihadapi

masyarakat secara nyata. Pertama, dampak diterapkanya pembangunan

partisipatif bersifat ganda yaitu pada satu sisi warga Desa mampu menyusun

rencana pembangunan sesuai dengan kebutuhannya, akan tetapi pada sisi lainnya

warga Desa dihadapkan pada persoalan baru yaitu ketersediaan dana

pembangunan yang disediakan melalui PNPM MP tidak mencukupi untuk

memenuhi usulan-usulan yang sudah dirumuskan secara partisipatif. Kedua,

mekanisme pembangunan partisipatif yang diterapkan dalam PNPM MP belum

terlembagakan serta menjadi dasar pelaksanaan kegiatan pembangunan di Desa

dan antar Desa. Ketiga, belum sepenuhya dana pembangunan Desa dan antar

Desa yang bersumber dari APBN, APBD Provinsi, maupun APBD

Kabupaten/Kota dapat dikelola berdasarkan prinsip dan mekanisme

pembangunan partisipatif.
Optimalisasi tahapan kegiatan menurut adanya dukungan kinerja

manajerial yang memadai. Peningkatan kualitas kinerja pembinaan dan

pengendalian program ini termasuk di dalamnya peningkatan kinerja fasilitator

menjadi prasyarat utama agar Optimalisasi Tahapan Kegiatan PNPM Mandiri

Perdesaan dapat berjalan efisien dan efektif serta tidak melanggar prinsip-prinsip

21
PNPM Mandiri Perdesaan. Peningkatan kinerja manajemen para pelaku dan

fasilitator diharapkan dapat menjamin terciptanya penghargaan para pelaku

program terhadap proses perencanaan masyarakat sebelumnya, serta kebutuhan

pengembangan program yang semakin menjamin keberlanjutan sistem. Pada

akhirnya, diharapkan para pelaku PNPM MP benar-benar membela kepentingan

masyarakat Desa. Sedangkan optimalisasi tahapan kegiatan PNPM MP adalah

sebuah upaya penciptaan akselerasi waktu tahapan dalam proses perencanaan

dan pelaksanaan program dengan memanfaatkan proses dan hasil perencanaan

program yang dikelola oleh masyarakat satu tahun sebelumnya. Adapun maksud

diadakannya optimalisai tahapan kegiatan PNPM MP adalah agar kinerja

pengelolaan program menjadi lebih efisien dan efektif sesuai waktu, kebijakan

dan kondisi lokal yang ada.6


Visi kegiatan PNPM MP adalah terciptanya masyarakat yang berdaya

yang mampu menjalin sinergi dengan pemerintah daerah serta kelompok peduli

setempat dalam rangka menanggulangi kemiskinan dengan efektif, secara

mandiri dan berkelanjutan. Sedangkan Misi kegiatan PNPM MP adalah

memperdayakan masyarakat pedesaan, terutama masyarakat miskin, untuk

menjalin kerjasama sinergis dengan pemerintah daerah dan kelompok peduli

lokal dalam upaya penanggulangan kemiskinan, melalui pengembangan

kapasitas, penyediaan sumberdaya, dan melembagakan budaya kemitraaan antar

pelaku pembangunan. Dari visi dan misi tersebut dapat kita pahami bahwa

pengembangan kapasitas merupakan salah satu aspek dalam upaya

6 Ateng Safrudin, Otonomi dan antisipasi Perkembangan, Suatu bahan Penyegaran


Pemahaman Otonomi daerah, Bina Cipta, Bandung,1998, hal. 5

22
pemberdayaan masyarakat untuk mencapai tujuan utama yaitu menanggulangi

kemiskinan.
Dalam website resmi PNPM, www.pnpm-mandiri.org, dinyatakan bahwa

arah pengembangan lembaga masyarakat termasuk UPK dapat dilakukan dengan

dua langkah kebijakan. Langkah kebijakan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Perumusan dasar hukum bagi eksistensi lembaga pemberdayaan


masyarakat dan perannya dalam pelaksanaan program pemberdayaan
masyarakat. Hal ini ini setidaknya menyangkut tiga hal, yaitu: pilihan
bentuk badan hukum, status kepemilikan aset-aset dan status hukum
penyelenggaraan pinjaman dana bergulir.
b. Penetapan kebijakan kelembagaan dana bergulir masyarakat, termasuk
prosedur dan mekanisme pengelolaannya. Ada dua tujuan dalam kebijakan
penetapan kelembagaan dana bergulir ini, yaitu untuk bisa melayani
sebanyak mungkin warga miskin produktif, dan menjaga keamanan dan
keberlanjutan dana milik masyarakat tersebut.

Namun kenyataannya, sampai saat ini kebijakan kebijakan tentang

pengembangan UPK PNPM MPd di atas ternyata belum juga terlaksana yang

dapat dilihat dari belum adanya kepastian bentuk badan hukum yang akan

dimiliki UPK PNPM MPd.

Seiring dengan berakhirnya pelaksanaan PNPM Mandiri perdesaan di

Tahun 2015, kesadaran akan pentingnya pelestarian hasil program (sistem,

kelembagaan, asset), alih kelola, kejelasan atas status kepemilikan asset dan

pengembangan model pengelolaan UPK, PNPM, MPd menjadi LPMD adalah

kebutuhan yang sangat mendesak dan menjadi isu strategis. Terkait pentingnya

aspek-aspek tadi maka, ada tiga unsur yang harus terlibat dalam persoalan ini

yakni, masyarakat itu sendiri, lembaga-lembaga yang menerima mandat

23
mengelola asset, serta pemerintahan daerah. Peran pemerintah daerah sangat

strategis dalam menjalankan fungsi pembinaan dan penerbitan regulasi yang

menjamin pelestarian dan pengembangan UPK, PNPM, MPd.

Hal ini tentu saja menimbulkan kegelisahan dari UPK dan para pihak yang

berkepentingan ditambah lagi dengan ketidak menentukan tentang keberlanjutan

program PNPM, MPd pasca Tahun 2015 yang dapat berpengaruh terhadap

kelangsungan masa depan UPK, dana perguliran serta pemberdayaan masyarakat

yang ada di Desa.

Disamping itu hal yang sangat penting dan mendesak bagi pengembangan

UPK menjadi LKM adalah adanya ketentuan dalam UU Nomor: 1 Tahun 2013

tentang LKM yang memberikan batas waktu toleransi cukup singkat kepada

lembaga pemberi kredit seperti UPK untuk dapat mentransformasikan dirinya

menjadi LKM yang apabila tidak dilakukan akan beresiko terhadap legalitas dan

keberlanjutan lembaga.

Tujuan Rekonstruksi PNPM Mandiri Perdesaan adalah:


1.Mewujudkan masyarakat Berdaya dan Mandiri, yang mampu mengatasi

berbagai persoalan kemiskinan di wilayah, sejalan dengan kebijakan

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri;


2. Meningkatkan kapasitas Pemerintah Daerah dalam menerapkan model

pembangunan partisipatif yang berbasis kemitraan dengan masyarakat dan

kelompok peduli setempat;


3. Mewujudkan harmonisasi dan sinergi berbagai program pemberdayaan

masyarakat untuk optimalisasi penanggulangan kemiskinan;

24
4. Meningkatkan capaian manfaat bagi masyarakat miskin untuk mendorong

peningkatan Indek Pembangunan Manusia (IPM) dan pencapaian sasaran.


Sasaran Rekonstruksi Pemberdayaan Lembaga Kemasyarakatan Desa adalah:
a. Terbangun lembaga kepemimpinan masyarakat (BKM) yang aspiratif,

reprensentatif, dan akuntabel untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya

partisipasi serta kemandirian masyarakat;


b. Tersedianya PJM Pronangkis sebagai wadah untuk mewujudkan sinergi

berbagai program penangulangan kemiskinan yang komprehensif dan sesuai

dengan aspirasi serta kebutuhan masyarakat dalam rangka pengembangan

lingkungan permikiman yang sehat, serasi, berjati diri dan berkelanjutan;


c. Meningkatkan akses terhadap pelayanan kebutuhan dasar bagi warga

miskin dalam rangka meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

dan pencapaian sasaran.


Pendekatan yang digunakan dalam pencapaian tujuan Rekonstruksi

Pemberdayaan Lembaga Kemasyarakatan Desa sebagai berikut:


1). Melembagakan pola pembangunan partisipatif yang berorientasi

masyarakat miskin dan berkeadilan, melalui pembangunan lembaga

kepemimpinan masyarakat (BKM) yang representatif, akuntabel, dan

mampu menyuarakan kepentinagan masyarakat dalam proses-proses

pengambilan keputusan dan Perencanaan Partisipatif dalam menyusun

PJM-Pronangkis berbasis pada peningkatan IPM;


2). Menyedikan stimulasi BLM secara transparan untuk mendanai kegiatan

penangulangan kemiskinan yang mudah dilakukan oleh masyarakat dan

membuka kesempatan kerja, melalui pembangunan sarana/prasarana

lingkungan, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, pengembangan

ekonomi lokal dengan prasyarat tertentu, memperkuat keberlanjutan

program dengan menumbuhkan rasa memiliki di kalangan masyarakat

25
melalui proses penyadaran kritis, partisipatif, pengelolaan hasil-hasilnya,

dan lainnya;
3). Meningkatkan kemampuan perangkat pemerintah dalam perencanaan,

penganggaran, dan pengembangan pasca program;


4). Meningkatkan efektifitas perencanaan dan penganggaran yang lebih

berorientasi pada masyarakat miskin dan berkeadilan.

B. RUMUSAN MASALAH

Dalam mencapai visi dan misi PNPM Mandiri Perdesaan, strategi yang

dikembangkan PNPM Mandiri Perdesaan yaitu menjadikan rumah tangga

miskin (RTM) sebagai kelompok sasaran, menguatkan sistem pembangunan

partisipatif, serta mengembangkan kelembagaan kerja sama antar Desa.

Berdasarkan visi, misi, dan strategi yang dikembangkan, maka PNPM Mandiri

Perdesaan lebih menekankan pentingnya pemberdayaan sebagai pendekatan

yang dipilih. Melalui PNPM Mandiri Perdesaan diharapkan masyarakat dapat

menuntaskan tahapan pemberdayaan yaitu tercapainya Program Pembangunan

Kecamatan (PPK).7

Dari uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai

berikut:

1. Mengapa Pemberdayaan Lembaga Kemasyarakatan Desa belum

mengurangi angka kemiskinan?

2. Bagaimana kelemahan-kelemahan Lembaga Kemasyarakatan Desa saat

ini?

7 Sumber Saparin, Tata Pemerintahan dan Administrasi Pemerintahan Desa, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1986, hal. 35.

26
3. Bagaimana Rekonstruksi Pemberdayaan Lembaga Kemasyarakatan Desa

untuk mengentaskan kemiskinan?


C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi pendukung serta

penghambat Rekonstruksi Pemberdayaan Lembaga Kemasyarakatan

Desa yang belum menurunkan angka kemiskinan.

2. Untuk Menemukan Kelemahan Pemberdayaan Lembaga

Kemasyarakatan Desa Saat ini.

3. Untuk Menemukan Rekontruksi Pemberdayaan Lembaga

Kemasyarakatan Desa Untuk Mengentaskan Kemiskinan.

D. MANFAAT PENELITIAN

Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat sebagai sumbangsih

pemikiran akademis dan praktisi.

1. Manfaat teoritis

a. Diharapkan membangun teori baru bidang Ilmu Hukum pada

khususnya Ilmu Hukum Administarsi Negara (HAN) yang berkenaan

dengan Rekonstruksi pemberdayaan kelembagaan masyarakat mandiri

untuk mengurangi kemiskinan di Kabupaten Demak.

b. Bagi Pemerintah Daerah, penelitian ini diharapkan dapat

dipergunakan sebagai wacana atau teori baru Pemberdayaan

Kelembagaan masyarakat mandiri untuk memerangi kemiskinan.

2. Manfaat praktis

27
a. Hasil penelitian ini diharapkan mampu

memberikan solusi hukum yang berkaitan dengan Rekonstruksi

Pemberdayaan Kelembagaan Masyarakat mandiri dan pembuatan

peraturan perundang-undangan mengenai pelaksanaan PNPM Mandiri


Pancasila sila ke-5
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Perdesaan.
UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa
b. Memberikan masukan kepada pemerintah

Pusat dan Daerah untuk melakukan evaluasi pelaksanaan PNPM

Mandiri Perdesaan.

c. Penelitian ini adalah untuk memberikan

sumbangan pemikiran bagi Pemberdayaan Kelembagaan khususnya

PNPM Kabupaten Demak dalam mengupayakan pengembangan

kelembagaannya dan mengentaskan kemiskinan pada saat ini dan di

masa depan.

d. Selain itu hasil penelitian yang dilakukan

nantinya diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai tambahan referensi

bagi penelitian lebih lanjut.

E. KERANGKA PEMIKIRAN Pemberdayaan Lembaga K

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat

Penegakan Hukum
Peraturan Perundang-und
DisHarmonis
Asas-asas penemuan huk

Grand28Teori: Teori Kead


Middle Teori : Teori Pen
Applied Teori : Teori Hu
Rekonstruksi
Pemberdayaan
Lembaga
Kemasyarakatan Desa
Untuk Mengentaskan
Kemiskinan

Untuk menganalisis permasalahan Pertama disertasi faktor-faktor apa

saja yang berpengaruh pada pemberdayaan kelembagaan saat ini yang belum

mengentaskan kemiskinan, dianalisis dengan Teori Keadilan, Teori

Kesejahteraan, Teori Penegak Hukum dan Teori Negara Hukum untuk

menganalisis permasalahan Kedua bagaimana kelemahan-kelemahan

Pemberdayaan Kelembagaan Masyarakat Mandiri saat ini dianalisis Teori

Kesejahteraan, sedangkan permasalahan Ketiga rekonstruksi pemberdayaan

kelembagaan masyarakat mandiri untuk mengentaskan kemiskinan dianalisis

dengan Teori Kesejahteraan dan Teori Hukum Progresif.

F. KERANGKA KONSEPTUAL

1.Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan.

Rekonstruksi PNPM MP telah mendorong terciptanya perangkat

sistem yang bersifat dinamis. Sistem sosial yang di bangun oleh PNPM MP

memungkinkan warga Desa memperoleh peningkatan kapasitas tidak hanya

dalam bentuk kursus dan pelatihan, tetapi juga pembiasaan cara berfikir dan

29
cara bertidak bagi warga Desa ketika mereka menjalankan peranannya

masing-masing di dalam pelaksanaan program. Masyarakat di biasakan

memperoleh pengalaman nyata menjalankan sebuah proses pembangunan

Desa yang bersifat partisipatif, khususnya pembelajaran masyarakat melalui

kegiatan Menggagas Masa Depan Desa (MMDD) telah menghasilkan

peningkatan kemampuan masyarakat Desa dalam menyusun perencanaan

pembangunan jangka menengah secara partisipatif. Pengalaman masyarakat

dalam perencanaan pembangunan ini perlu dihargai dengan

mendayagunakan secara nyata rencana pembangunan jangka menengah desa

hasil MMDD dalam menetapkan usulan rencana kegiatan PNPM MP

maupun rencana kegiatan pembangunan di Desa yang diusulkan untuk

dibiayai dengan dana swadaya dan dana APBD maupun sumber pembiayaan

lainnya. Namun demikian, dinamika proses sosial sebagai dampak

intervensi program ini pun menghadirkan beberapa kendala yang di hadapi

masyarakat secara nyata. Pertama, dampak di terapkanya pembangunan

partisipatif bersifat ganda yaitu pada satu sisi warga Desa mampu menyusun

rencana pembangunan sesuai dengan kebutuhannya, akan tetapi pada sisi

lainnya warga Desa di hadapkan pada persoalan baru yaitu ketersediaan

dana pembangunan yang di sediakan melalui PNPM MP tidak mencukupi

untuk memenuhi usulan-usulan yang sudah dirumuskan secara partisipatif.

Kedua, mekanisme pembangunan partisipatif yang diterapkan dalam PNPM

MP belum terlembagakan serta menjadi dasar pelaksanaan kegiatan

pembangunan di Desa dan antar Desa. Ketiga, belum sepenuhya dana

pembangunan Desa dan antar Desa yang bersumber dari APBN, APBD

30
Provinsi, maupun APBD Kabupaten/Kota dapat dikelola berdasarkan

prinsip dan mekanisme pembangunan partisipatif.

Optimalisasi tahapan kegiatan menurut adanya dukungan kinerja

manajerial yang memadai. Peningkatan kualitas kinerja pembinaan dan

pengendalian program ini termasuk di dalamnya peningkatan kinerja

fasilitator menjadi prasyarat utama agar Optimalisasi Tahapan Kegiatan

PNPM Mandiri Perdesaan dapat berjalan efisien dan efektif serta tidak

melanggar prinsip-prinsip PNPM Mandiri Perdesaan. Peningkatan kinerja

manajemen para pelaku dan fasilitator diharapkan dapat menjamin

terciptanya penghargaan para pelaku program terhadap proses perencanaan

masyarakat sebelumnya, serta kebutuhan pengembangan program yang

semakin menjamin keberlanjutan sistem. Pada akhirnya, di harapkan para

pelaku PNPM MP benar-benar membela kepentingan masyrakat desa.

Sedangkan optimalisasi tahapan kegiatan PNPM MP adalah sebuah upaya

penciptaan akselerasi waktu tahapan dalam proses perencanaan dan

pelaksanaan program dengan memanfaatkan proses dan hasil perencanaan

program yang dikelola oleh masyarakat satu tahun sebelumnya. Adapun

maksud di adakannya optimalisai tahapan kegiatan PNPM MP adalah agar

kinerja pengelolaan program menjadi lebih efisien dan efektif sesuai waktu,

kebijakan dan kondisi lokal yang ada.8

a. Meningkatkan kualitas pendampingan terkait tahapan perencanaan

kegiatan PNPM MP;

8 PNPM MP, Op Cit, hal. 1-3.

31
b.Meningkatkan kinerja para pelaku program dalam menerapkan strategi

implementasi tahapan kegiatan;

c. Meningkatkan serapan dana sesuai peraturan yang ada melalui

peningkatan kinerja pendampingan program;

d. Menghargai dan mengakomodasikan proses dan hasil perencanaan

yang telah di lakukan oleh masyrakat satu Tahun sebelumnya,

terutama berupa gagasan dan usulan Desa yang belum terdanai;

e. Mempersiapkan titik masuk pertama dari strategi pengintegrasian

perencanaan program ke dalam perencanaan reguler.

Pengalaman pembangunan di Indonesia yang dijalankan selama

beberapa puluh Tahun dengan menggunakan pola sentralistik terbukti

memiliki banyak kekurangan, terutama dalam memberdayakan masyarakat

dan menempatkan masyarakat sebagai pelaku dalam pembangunan, dari

mulai perencanaan, pelaksanaan dan pengawasannya, sehingga

berkembanglah otonomi daerah di Indonesia yang dimulai sejak Tahun

1999. Hakikat otonomi adalah meletakkan landasan pembangunan yang

tumbuh dan berkembang dari rakyat, diselenggarakan secara sadar dan

mandiri oleh rakyat, sehingga dalam program pembangunan masyarakat

tidak lagi dianggap sebagai objek dari pembangunan, tetapi menjadi

subjek/pelaku dari pembangunan.9

Meskipun tujuan utama yang hendak dicapai dari pembangunan

adalah meningkatkan taraf hidup dan menciptakan masyarakat sejahtera

9 Sumaryadi, I. Nyoman, Perencanaan Daerah Otonom dan Pemberdayaan Nasional,


Jakarta, Citra Utama, 2005, hlm. 84.

32
secara fisik, mental maupun sosial, namun pendekatan yang digunakan

dalam pembangunan harus senantiasa mengutamakan proses daripada hasil.

Pendekatan proses lebih memungkinkan pelaksanaan pembangunan yang

memanusiakan manusia. Dalam pandangan ini pelibatan masyarakat dalam

pembangunan lebih mengarah kepada bentuk partisipasi, bukan dalam

bentuk mobilisasi. Partisipasi masyarakat dalam perumusan program

membuat masyarakat tidak semata-mata berkedudukan sebagai konsumen

program, tetapi juga sebagai produsen karena telah ikut serta terlibat dalam

proses pembuatan dan perumusannya, sehingga masyarakat merasa ikut

memiliki program tersebut dan mempunyai tanggungjawab bagi

keberhasilannya serta memiliki motivasi yang lebih bagi partisipasi pada

tahap-tahap berikutnya.10

Pembangunan partisipatoris harus dimulai dari orang-orang yang

paling mengetahui sistem kehidupan mereka sendiri karena pada pendekatan

ini mereka harus senantiasa menilai dan mengembangkan pengetahuan dan

keterampilan yang mereka miliki, dan memberikan sarana yang perlu bagi

mereka supaya dapat mengembangkan diri, untuk itu diperlukan suatu

perombakan dalam seluruh praktik dan pemikiran serta pola-pola bantuan

pembangunan yang telah ada.11

10 Soetomo, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, JSP Vol. 9 No. 1, Juli 05 Vol. 10 No. 2, Nop
06: Vol. 10 No. 1, Juli 2006. Persoalan Pengembangan Institusi Pemberdayaan Masyarakat.
Yogyakarta: UGM, 2006.

11 Sumaryadi, Nyoman. Efektifitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah. Jakarta: CV


Citra Utama, 2005.

33
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan bisa didapatkan ketika

masyarakat tersebut telah mampu membawa dirinya atau memiliki daya

untuk ikut terlibat dalam pembangunan, sehingga konsep pembangunan

partisipatif harus juga dibarengi dengan pemberdayaan masyarakat. Dalam

pembangunan berbasis partisipasi masyarakat, adakalanya tanpa dibarengi

pemberdayaan masyarakat dimana masyarakat hanya dilibatkan dalam

aspek-aspek teknis tertentu tanpa peran yang lebih luas mengenai

pengambilan keputusan dan sebagainya, namun untuk menuju kepada usaha

pembangunan partisipatif yang sebenarnya, dimana masyarakat diharapkan

mampu untuk mengembangkan komunitasnya menuju ke arah kemajuan,

maka pemberdayaan masyarakat menjadi satu hal yang harus dilaksanakan.

2.Otonomi Daerah

Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam sistem pemerintahannya

menurut Undang-Undang Dasar 1945 memberikan keleluasaan pada daerah

untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Dalam menyelenggarakan

Otonomi Daerah ini diperlukan untuk menekankan pada prinsip-prinsip

demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta

memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Penerapan Undang-

Undang Nomor: 22 Tahun 1999 saat ini masih dipahami oleh masyarakat

dengan berbagai persepsi yang berbeda, sehingga banyak menimbulkan

permasalahan. Masalah yang timbul adalah belum siapnya masyarakat

dalam menerapkan Undang-Undang ini. Masyarakat masih belum terbiasa

dengan berinisiatif dalam mengidentifikasi kebutuhan hidup bersamanya.

Hal ini mungkin diakibatkan dalam pelaksanaan pembangunan selama ini,

34
masyarakat tidak banyak dilibatkan secara aktif atau dengan kata lain

masyarakat cenderung sebagai penerima program.

Akibat kurangnya partisipasi dan inisiatif masyarakat dalam

pembangunan ini maka diperlukan peningkatan peran serta masyarakat

dalam melaksanakan pembangunan dan mengidentifikasi potensi dan

keanekaragaman sumberdaya lokal melalui partisipasi masyarakat dengan

mengembangkan potensi wilayah. Partisipasi masyarakat yang menurun

karena selama ini tidak dibudayakan keterlibatannya dalam perencanaan dan

pengerjaan pembangunan akan semakin menurun jika tidak mendapatkan

bimbingan rutin dan terus-menerus dari pihak lain yang mampu dan

pemerintah serta didampingi oleh bantuan dana atau bahan sebagai stimulan

untuk melaksanakan program yang disusun oleh masyarakat. Untuk

mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui upaya pemberdayaan

(empowering)
Otonomi Daerah menurut Undang-Undang Nomor: 6 Tahun 2014,

disebutkan bahwa hak atau wewenang dan kewajiban daerah otonomi untuk

mengatur dan mengurusi sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat, terutama pemerintahan daerah yang berbasis pada

filosafi keaneka ragaman dalam kesatuan. Fungsi pemberian Otonomi

Dearah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.12 Otonomi Daerah dilaksanakan dalam rangka

menerapkan asas desentralisasi dalam pemerintahan di Indonesia.

Desentralisasi merupakan penyerahan wewenang pemerintahan oleh

12 Nimatul Huda, Otonami Daerah Filosofi Sejarah Perkembangan dan Prpblematik,


Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 1-2.

35
pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Sedangkan yang dimaksud Daerah Otonom merupakan

kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu

berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat

menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dan ikatan Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi diartikan sebagai pemerintah

kebebasan atas kemandirian (zelfztandigheid) bukan kemerdekaan

(onafthankelijkheid), sedangkan konstruksi Otonomi Daerah memiliki

beberapa pengertian sebagai berikut:


1).Adanya kewenangan untuk mengelola urusan pemerintahan yang

menjadi dasar Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus rumah

tangganya;
2). Adanya kelembagaan yang merupakan pewadahan tugas dan

wewenang;
3). Adanya sumber daya manusia, aparatur yang menjalankan urusan

rumah tangga daerah;


4). Adanya sumber keuangan untuk membiayai pelaksanaan Otonomi
Daerah;
5). Adanya masyarakat dan wilayah kerja dengan batas-batas tertentu;
6). Adanya pembinaan dan pengawasan.
Dalam kontek pelaksanaan Otonomi Daerah, bagi pemerintah Desa

di mana keberadaanya berhubungan langsung dengan masyarakat dan

sebagai ujung tombak pembangunan.13 Desa semakin dituntut kesiapannya

baik dalam hal merumuskan kebijakan Desa (Dalam bentuk Perdes),

merencanakan pembanguna Desa yang disesuaikan dengan situasi dan

kondisi, serta dalm memberikan pelayanan rutin kepada masyarakt.

13 Dwipayana Arie, Otonomi Versus Negara, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2000,
hal.9.

36
Demikian pula dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi tumbuh dan

berkembangya kreatifitas dan inovasi masyarakat dalam mengelola dan

menggali potensi yang ada sehingga dapat menghadirkan nilai tambah

ekonomi bagi masyarakatnya. Dengan demikian, maka cepat atau lambat

Desa tersebut diharapkan dapat menjelma menjadi Desa otonom, yakni

masyarakat Desa yang mampu memenuhi suatu kepentingan dan kebutuhan

yang di perlukannya.
Kesuksesan dalam melaksanakan Otonomi Daerah ditandai dengan

semakin mampunya pemerintahan Desa memberikan pelayanan terhadap

masyarakat yang membawa kondisi Desa tersebut kearah kehidupan yang

lebih baik. Dengan terselengaranya Otonomi Daerah, maka hal tersebut

akan menjadi pilar penting Otonomi Desa, dan keberhasilan Otonomi

Daerah sangat ditentukan oleh berhasil tidaknya Otonomi Desa. Melalui

pengertian atau prinsip utama otonomi Desa adalah bagaimana Desa

tersebut dapat menciptakan sebuah ide atau kreatifitas sendiri melalui

semangat kebersamaan yang telah lama dimiliki oleh Desa dalam satu

kesatuan wilayah pedesaan. Pelaksanaan Otonomi Daerah sebagaimana juga

penyelengaran Otonomi Desa yang telah di singgung di atas, juga telah

mengalami pasang surut perjalanan yang cukup melelahkan. Perjalanan

panjang ini di tempuh untuk menemukan tatanan konsep dan idealitas

penyelengaraan Otonomi Desa yang sempurna. Banyak perubahan

mendasar yang telah terjadi semenjak Undang-Undang tentang Otonomi

Daerah pertama kali di perlakukan.


Sejak awal kemerdekaan Negara Indonesia, konsep dasar tentang

kebijakan Otonomi Daerah kepada daerah-daerah telah ditegaskan dalam

37
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesi Tahun 1945, namun

dalam perkembangan sejarahnya kebijakan Otonomi Daerah terbentuk atas

dasar kerangka berfikir yang terdiri atas berbagai hal yang hendak di

wujudkan dalam kehidupan Berbangsa dan Bernegara, yang mana akan di

tuangkan dalam Rekonstruksi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat

Mandiri Perdesaan. Rekonstruksi PNPM Mandiri Pedesaan di dalam

Otonomi Daerah dilaksanakan dalam rangka menerapkan asas Undang-

Undang Nomor: 6 Tahun 2014 dalam Pemerintahan di Indonesia, dalam

kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan pengintegrasian

PNPM Mandiri Pedesaan dengan Musrenbang juga mencakup

menyelaraskan perencanaan partisipatif, teknokratis dan politis.

Perencanaan pembangunan Desa yang diperkuat dengan good practices

PNPM Mandiri Perdesaan diharapkan mampu mengkontektualisasikan

(membumikan) pemberdayaan masyarakat dalam realitas hidup masyarakat

Desa, utamanya terkait dengan dinamika Demokrasi dan Otonomi Daerah.

Terkait dengan era penguatan Otonomi Daerah yang secara empiris sedang

terus berlangsung di Indonesia, maka kerja pemberdayaan masyarakat yang

bersifat kontektual harus mampu memediasikan rakyat dengan pemerintah

daerah melalui prosedur komunikasi pembangunan yang demokratis.

Perencanaan pembangunan partisipatif adalah media atau wahana

penyampean aspirasi rakyat secara demokratis dalam kerangka kerja

Otonomi Daerah.
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor: 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan di Desa serta direalisasikan lagi Undang-Undang Nomor: 6

38
Tahun 2014 Tentang Desa, Otonomi Daerah dan Surat Menteri Dalam

Negeri Nomor: 414.2/3717/PMD Tahun 2008 perihal Petunjuk Teknis

Operasional PNPM Mandiri Perdesaan, seta Subtansi regulasi Rekonstruksi

Pemberdayaan Kelembagaan.
Keberadaan Otonomi Daerah dalam kaitannya pengelolaan kegiatan

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan PNPM

MP melalui pemerintah Desa dilandasi pemikiran keanekaragaman,

partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat

dengan konsep pemberian tugas atau pendelegasian dan pemerintah ataupun

pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu terutama

dalam Rekonstruksi PNPM Mandiri Perdesaan.


Selain itu sebagai bagian dari unsur penyelenggara Pemerintahan

fungsi Rekonstruksi PNPM Mandiri Perdesaan dalam pemenintahan Desa

merupakan subsistem dan sistem penyelenggaraan pemerintahan sehingga

Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan

masyarakatnya di dasarkan dan Penjelasan Umum angka 9 butir 2.

Sedangkan sebagai pelaksanaan fungsi perwujudan demokrasi menurut

Undang-Undang Nomor: 6 Tahun 2014 Pasal 78, menerangkan

Pembangunan Desa atas kerjasama semua masyarakat Desa. Pembangunan

dalam arti luas, yang meliputi semua segi kehidupan dan penghidupan.

Dengan demikian, otonomi daerah lebih condong merupakan kewajiban dari

pada hak. Hal itu berarti bahwa daerah berkewajiban melancarkan jalannya

pembangunan dengan sungguh-sungguh dan penuh rasa tanggungjawab

sebagai sarana untuk mencapai cita-cita bangsa, yaitu masyarakat yang adil

makmur, baik materil maupun spiritual.

39
Melihat tujuan di atas, pemberian otonomi daerah yang selama ini

menjadi bayang-bayang dalam benak masyarakat merupakan suatu

kebebasan dan kemandirian bukan merupakan makna sesungguhnya. Dalam

Negara Kesatuan Indonesia, keterkaitan antara Negara dan Pemerintahan

daerah telah di tentukan dalam Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa: Oleh

karena Negara Indonesia itu suatu enheidstaat, maka Indonesia tidak akan

mempunyai Daerah dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Hal lain

dijelaskan, pemerintahan di daerah merupakan bagian integral dan sistem

politik dan perundang-undangan sehingga garis politik dan perundang-

undangan mengenai pemerintahan di daerah ini harus konsisten dengan

wawasan dan sistem politik nasional. Pendapat itu merupakan hasil

penelitian, itu menunjukkan bahwa antara Negara Kesatuan dan

Pemerintahan Daerah terdapat hubungan hukum atau hubungan

kewenangan.
Hubungan hukum ini tercermin dengan adanya pemberian otonomi

kepada daerah atau penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada

daerah. Dalam sejarah penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia,

masalah otonomi daerah merupakan hal yang hidup dan berkembang

sepanjang masa sesuai dengan kebutuhan dan perkmbangan masyarakat.


Urusan pemerintahan yang di serahkan kepada Pemerintah Daerah

dapat diperluas atau dipersempit tergantung kepada pertimbangan

kepentingan nasional dan kebijaksanaan Pemerintah, yang semuanya

40
menurut prosedur dan ketentuan peraturan-peraturan yang berlaku 14.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan mengenai pemerintahan daerah

yang pernah berlaku, hubungan hukum atau pemberian otonomi kepada

daerah tidak sama. Artinya ada Undang-Undang yang memberikan otonomi

luas dan ada pula yang terbatas. Telah di sebutkan bahwa pemerintah daerah

merupakan bagian integral dan sistem politik nasional, sehingga perubahan

sistem politik nasional secara Iangsung akan mempengaruhi

penyelenggaraan pemerintahan daerah.


Pada Tahun 1998 telah terjadi perubahan sistem Politik Nasional

melalui reformasi. Salah satu akibat reformasi tersebut adalah reformasi di

bidang pemerintahan daerah yaitu dengan di tetapkannya ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998

tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan

Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta Perimbangan

Keuangan antara Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Pasal 1 TAP MPR Nomor XV/MPR/1998

menyebutkan: Penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan memberikan

kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab di daerah secara

proporsional diwujudkan dengan pengaturan pembagian dan pemanfaatan

sesuai dengan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan

keuangan Pusat dan Daerah.


Pada perkembangan selanjutnya mengenai ketentuan tersebut di atas

melalui Tap MPR Nomor IV/MPRI 1999 pada pokok arah kebijakan huruf

14 Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daeroh Di Megara Republik Indonesia, Identifikasi
Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggarannya, Rajawali Pres, Jakarta,1997, hal.7

41
(G) tentang Pembangunan Daerah angka (1) ketentuan umum point (b) yang

menjelaskan bahwa melakukan pengkajian tentang berlakunya Otonomi

Daerah bagi daerah Provinsi, daerah Kabupaten, daerah Kota dan Desa

terutama dalam kebijakan PNPM MP. Ini menunjukkan, Pemerintah Pusat

mempunyai keinginan pelaksanaan Otonomi Daerah benar-benar dilakukan

dengan sungguh dalam koridor ketentuan Negara Kesatuan Republik

Indonesia, terkhusus sesuai dengan pembahasan disertasi ini menyangkut

keberadaan PNPM MP sebagai salah satu unsur pemerintahan terendah

dalam kesatuan Otonomi Daerah.15


Sangatlah jelas berdasar ketentuan mengenai Otonomi Daerah di

atas, yaitu PNPM MP di era reformasi sekarang mempunyai kewenangan

dan diakui sebagai salah satu daerah yang memiliki kekuatan dengan

nama Otonomi Daerah. Dengan adanya kekuatan ini Desa memperoleh

keleluasaan dalam menentukan kebijakan dalam berprakarsa dan berinisiatif

sesuai dengan potensi yang dimiliki, baik sumber daya manusia dan sumber

daya alamnya untuk berkembang sesuai dengan ketentuan peraturan

Perundang-Undangan yang berlaku.


Pernyataan ini tersaji dalam ketentuan pengertian tentang prinsip-

prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, yakni: Prinsip

Otonomi nyata adalah pemberian Otonomi kepada Daerah (Desa)

hendaknya berdasarkan pertimbangan, perhitungan tindakan, dan

kebijaksanaan yang benar-benar dapat menjamin bahwa daerah (Desa) yang

bersangkutan nyata-nyata mampu mengurus rumah tangganya sendiri.

15 Pemerintah RI, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah, Pasal 1
angka (12),2004.

42
Prinsip Otonomi yang bertanggung jawab berarti bahwa pemberian

Otonomi Daerah (Desa) itu benar-benar sesuai dengan tujuannya, yaitu:


1).Lanear dan teraturnya pembangunan di seluruh wilayah Negara;
2). Sesuai atau tidaknya pembangunan dengan pengarahan yang telah di

programkan dalam PNPM MP;


3). Sesuai dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa;
4). Terjaminnya keserasian hubungan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah (Desa); dan


5). Terjaminnya pembangunan dan perkembangan daerah dalam

pelaksanaan PNPM MP.


Dari uraian di atas dapat diberikan gambaran ideal bahwa Otonomi

Daerah merupakan pemberian kewenangan Kepada Daerah (Propinsi,

Kabupaten, Kota serta Desa) dan Pemerintah Pusat untuk menggali segala

potensi, kemampuan dan sumber daya masing-masing wilayah sebagai

tujuan mempercepat kemajuan dan perkembangan wilayah dalam cakupan

yang di namakan otonomi luas, nyata dan bertanggungawab sedangkan bila

dihubungkan dengan keberadaan PNPM MP di dalam Otonomi Daerah

dapat di berikan ilustrasi bahwa:


a). Otonomi Daerah juga mengatur tentang ketentuan Rekonstruksi

PNPM Mandiri Perdesaan karena sebagian besar wilayah Indonesia

merupakan wilayah pedesaan. Ini sesuai dengan bunyi Pasal 18

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

sampai dengan amandemen IV;


b). Otonomi Daerah benar-benar diakui dan diatur dalam aturan hukum

karena selama ini sumber-sumber kekuatan pembentuk Bangsa berada

di wilayah ini, sekaligus dengan memberikan Otonomi kepada Desa

dalam Rekonstruksi PNPM MP kekuatan pondasi dasar Negara

43
akan semakin kuat dengan maksud tujuan Otonomi Daerah akan

terwujud.

Bahwa keterlibatan masyarakat sangat menentukan pelaksanaan dan

keberhasilan program pembangunan terutama proyek perbaikan kampung.

Bagi masyarakat Kuto bedah yang buta huruf, kemiskinan dan

keterbelakangan bukanlah penghalang dalam berpartisipasi dalam

pembangunan, yang terpenting adalah bahwa suatu proyek sesuai dengan

kebutuhan dan kondisi lingkungan masyarakat serta manfaat yang akan

diterimanya sesuai dengan tujuan proyek tersebut.16

Penelitian ini konsep manfaat program yang lebih dikedepankan

adalah manfaat yang diterima individu dari program penanggulangan

kemiskinan.17 Di Indonesia pelaksanaan program penanggulangan

kemiskinan selalu melibatkan partisipasi masyarakat dengan pembentukan

kelompok-kelompok. Hal ini sesuai dengan misi pemberdayaan individu,

kelompok dan masyarakat dan sistem nilai yang berkembang di masyarakat,

yaitu kebersamaan (kolektivisme), solidaritas kelompok dan kegotong-

royongan. Indikator yang menunjukkan kemajuan dan prestasi kelompok

dan masyarakat dalam kaitannya dengan program penanggulangan

kemiskinan perlu diperhatikan. Sejauh mana kemajuan yang dirasakan

kelompok dan masyarakat dapat dijadikan ukuran pembanding dari manfaat

yang diterima individu. Kemajuan ini dapat dalam bentuk pembangunan

fisik, ekonomi, sosial, maupun budaya masyarakat lokal. Karena seringkali

16 Abdul Kahar Muzakir S, dkk, Op.Cit, 199.

17 Ibid, hal. 17.

44
kepentingan masyarakat lebih diutamakan, seperti halnya dalam program

padat karya (pembangunan fasilitas umum), perlu diperhatikan juga apakah

kemajuan yang dirasakan kelompok dan masyarakat sudah dirasakan juga

oleh individu. Temuan dari penelitian juga menunjukkan adanya sistem nilai

masyarakat lokal yang terkait dalam distribusi pinjaman. Pada umumnya

karena kehidupan sosial ekonomi masyarakat pedesaan cukup merata maka

pinjaman dibagi secara merata dan adil.

Keswadayaan dimaksudkan sebagai suatu kondisi yang memiliki

sejumlah kemampuan untuk mengenali kekuatan dan kelemahan diri sendiri,

serta kemampuan untuk memperhitungkan kesempatan-kesempatan dan

ancaman yang ada di lingkungan sekitar, maupun kemampuan untuk

memilih berbagai alternatif yang tersedia agar dapat dipakai untuk

melangsungkan kehidupan yang serasi dan berlanjut.18 Berswadaya secara

individual bagi orang kecil lagi miskin sulit dilaksanakan, tetapi secara

bersama dalam kelompok lebih berprospek. Karena itu prinsip-prinsip

swadaya tersebut dalam rangka pembinaan orang kecil perlu dilaksanakan

dalam wadah kelompok-kelompok swadaya. Betapapun di dalam

masyarakat sudah ada kelompok-kelompok swadaya yang tumbuh dan

berkembang secara tradisional. Kelompok-kelompok swadaya tersebut

organisasinya sangat sederhana, peraturannya disusun dalam norma-norma

yang tak tertulis, sedangkan penyelenggaraan kelompok tidak mengarah

pada pemupukan modal swadaya. Karena itu kelompok-kelompok

18 Ismawan, Bambang, Keuangan Mikro Dalam Penanggulangan Kemiskinan dan


Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, Jakarta: Gema PKM, 2003.

45
tradisional tidak berkemampuan mengatasi masalah-masalah kemiskinan

yang laten. Untuk mengatasi masalah kemiskinan yang laten diperlukan

unsur-unsur modern, memperkuat komponen yang ada pada kelompok

swadaya.

Ditinjau dari sudut pandang hukum, yang lebih menekankan kepada

tata aturan yang menjadi dasar pengaturan kehidupan masyarakat, Desa

dipahami sebagai suatu daerah kesatuan hukum dimana bertempat tinggal

suatu masyarakat, yang berkuasa (memiliki wewenang). 19 Pengertian ini

sangat menekankan adanya otonomi untuk membangun tata kehidupan Desa

bagi kepentingan penduduk.

Menurut UU Nomor: 5 Tahun 1979, tentang Kebijakan Pemerintah

Desa mengatakan: suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk

sebagai kesatuan masyarakat termasuk didalamnya kesatuan masyarakat

hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung

dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri

dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia

Perjalanan waktu peraturan ditinjau kembali, karena perkembangan

desa timbul, UU Nomor: 22 Tahun 1999, desa adalah sebagai berikut:

kesatuan wilayah masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-

usul dan adat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional

dan berada di Daerah Kabupaten

19 Wiradi, Gunawan, Beberapa Butir Dasar Penelitian Sosial, 1988.

46
Suatu perkembangan dalam rangka menuju kesejahteraan masyarakat

dan kemandirian pemerintahan Desa, pemerintah telah mngeluarkan

kebijakan yaitu UU Nomor: 6 Tahun 2014 tentang Desa. Adapun Desa

menurut UU Nomor: 6 Tahun 2014 adalah Desa dan Desa adat atau yang

disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan

masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwewenang untuk

mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat

setempat, berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak

tradisional yang diakui dan dihormati dalam system pemerintahan Negara

kesatuan Republik Indonesia.

Pengertian umum Desa sebagai tempat dimana bermukim penduduk

dengan peradaban yang lebih terbelakang ketimbang kota. Sedang Desa

menunjukan ciri: Pertama, bahwa Desa merupakan suatu lokasi pemukiman

di luar kota, sekaligus bukan kota. Kedua, Desa adalah komunitas kesatuan.

Sangat jelas ditunjuk bahwa Desa merupakan komunitas yang homogeny.

Dan Ketiga, Desa menunjukan suatu sifat dari lokasi sebagai akibat dari

posisinya yang berada di pedalaman-udik.

Pengertian Sosiologis, Desa digambarkan sebagai suatu bentuk

kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal

dalam suatu lingkungan dimana mereka saling mengenal dan corak

kehidupan mereka relative homogen serta banyak bergantung kepada alam.20

Pada dasarnya menonjolkan Desa, selain memuat segi-segi dan sifat-sifat

20 Maschab, Mashuri. Pemerintah Desa di Indonesia. PAU-Studi Sosial. UGM. Jakarta,


1992.

47
yang positif, seperti kebersamaan dan kejujuran, namun dipandang pula

mengandung ciri negatif, seperti kebodohan dan keterbelakangan. Pada

umumnya keterbelakangan, seperti sebagian buta huruf, masyarakatnya

bertani, masih belum mengenai teknologi tinggi dan masih menggunakan

bahasa pengantar bukan Bahasa Indonesia, menjadi citra Desa dari Desa.

Bahwa dalam pandangan (sosial) ekonomi yang lebih menekankan

sisi produksi, melihat Desa sebagai komunitas masyarakat yang memiliki

model produksi yang khas.21 Desa mengandung arti sebagai orang hidup

dalam ikatan keluarga dalam suatu kelompok perumahan dengan saling

ketergantungan yang besar di bidang sosial dan ekonomi. Desa biasanya

terdiri dari rumah tangga petani dengan kegiatan produksi, konsumsi dan

investasi sebagai hasil keputusan keluarga secara bersama.22

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor: 43 Tahun 2014 tentang

peraturan pelaksanaan UU Desa, pada Pasal 78 dinyatakan bahwa tujuan

dari pembangunan Desa adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui

pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa,

pengembangan ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan

lingkungan secara berkelanjutan. Sedangkan dalam Pasal 83 dinyatakan

bahwa Pembangunan Kawasan Perdesaan dilaksanakan dalam upaya

mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan, dan

21 Winardi. Kamus Ekonomi Inggris-Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 1998.

22 Hayami dan Kikuchi. Dilema Ekonomi Desa. Jakarta : Yayasan Obor,1987

48
pemberdayaan masyarakat Desa di Kawasan Perdesaan melalui

pendekatan pembangunan partisipatif.

UU Desa juga memberi amanah kepada Pemerintah, Pemda

Provinsi, dan Pemda Kabupaten / Kota untuk memberdayakan masyarakat

Desa, yang dilaksanakan dengan pendampingan dalam perencanaan,

pelaksanaan dan pemantauan pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan

(Pasal 122), pemberdayaan masyarakat Desa dan pendampingan masyarakat

Desa diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 43/2014

khususnya Pasal 126 s.d 131).

Pembangunan Kawasan Perdesaan sesuai amanah UU RI No.6 Th.

2014 tentang Desa dan best practices oleh PNPM Mandiri bisa sejalan dan

dapat bersinergi dengan program unggulan Gubernur Jawa Tengah yaitu

Desa Berdikari. Filosofi aktualisasi Desa Berdikari adalah merupakan

gerakan pemberdayaan Desa dengan proses Rembugan warga secara terus

menerus/berkesinambungan, dalam rangka pengelolaan sumberdaya Desa

secara mandiri (produktif) menuju keberdikarian Desa, melalui

pendampingan oleh Kader Desa Berdikari (KDB). Desa Berdikari

dicerminkan dengan kemampuan Desa untuk : (1) Membangun berdasarkan

kekuatan dan sumber daya yang ada di Jateng, agar terhindar dari jebakan

ketergantungan dengan pihak eksternal; (2) Mengekplorasi seluruh potensi,

baik ilmu pengetahuan, teknologi, kearifan lokal, SDA dan lingkungan, serta

SDM Jateng dimanapun bermukim, untuk mendukung dan meningkatkan

kekuatan sendiri; (3) Melakukan kerjasama dengan para pihak, dalam dan

luar negeri, secara saling menghormati dan menguntungkan dalam jangka

49
pendek maupun panjang. Target perwujudan Desa Berdikari (sesuai RPJMD

Provinsi Jateng Tahun 2013 2018) adalah sebanyak 100 Desa pada akhir

Tahun 2018, dengan rincian 6 Desa di Tahun 2015, 30 Desa di Tahun 2016,

34 Desa di Tahun 2017 dan 30 Desa di Tahun 2018.

Melalui pemberdayaan masyarakat Desa diharapkan mampu

membawa perubahan nyata sehingga harkat dan martabat mereka pulih

kembali. Pemberdayaan masyarakat merupakan pendekatan yang

memperhatikan seluruh aspek kehidupan masyarakat dengan sasaran seluruh

lapisan masyarakat, bermotifkan pemandirian (keberdikarian), sehingga

mampu membangkitkan kemampuan self-help. untuk meningkatkan kualitas

hidup masyarakat (modernisasi) yang mengacu pada cara berpikir, bersikap,

berperilaku untuk maju. Maka bidang pemberdayaan merupakan titik

strategis yang harus diperbarui dan diperluas. Sehingga esensi

pemberdayaan masyarakat di pedesaan adalah pendayagunaan sumberdaya

(potensi) lokal, meningkatkan partisipasi, memupuk kepedulian semua

pihak untuk kemandirian (berdikari) masyarakat dan pemberdayaan

kelembagaan lokal (Desa).


Kelembagaan Komunitas Lokal merupakan lembaga masyarakat

lokal yang dibangun dan diperkuat sesuai kebutuhan masyarakat dalam

proses transformasi sosial yang mengakar, diakui dan diterima masyarakat.

Banyak lembaga komunitas lokal yang telah dibangun dan diperkuat sesuai

kebutuhan masyarakat seperti BPD, LKMD, LPMK, PKK, BKM, dll.

Lembaga ini diharapkan mencerminkan representasi dari seluruh

masyarakat warga yang paling dapat dipercaya. Lembaga komunitas lokal

50
diharapkan pula menjadi lembaga yang peduli terhadap kemiskinan dan

kesejahteraan dikomunitasnya yang dipercaya oleh masyarakat untuk

berpartisipasi dalam penanggulangan kemiskinan.


Keberadaan kelembagaan komunitas lokal sesuai dengan

kepentingan dan kebutuhan masyarakat tersebut dapat menjadi kapital

sosial bagi proses transformasi sosial dari kondisi masyarakat yang tidak

berdaya menjadi masyarakat berdaya, masyarakat mandiri dan masyakat

yang madani yang dicita-citakan bersama. Lembaga komunitas lokal ini

mengakar diakui dan diterima serta didukung masyarakat sehingga mampu

menggerakkan pemberdayaan masyarakat dengan mendorong partisipasi

masyarakat, senantiasa mengambil keputusan secara kolektif atas dasar

kepentingan seluruh masyarakat dalam rangka menanggulangi kemiskinan

yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Berikut alur

terbentuknya lembaga komunitas.


Unit Pengelola Kegiatan (UPK) Kecamatan dapat dikategorikan ke

dalam organisasi nirlaba yang pada dasarnya memberikan pelayanan publik.

Organisasi ini merupakan sebuah lembaga bentukan Program Nasional

Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan, dimana apabila merujuk

Petunjuk Teknis Operasional (PTO) PNPM MPd Tahun 2008, maka UPK

memiliki peran sebagai unit pengelola dan operasional pelaksanaan kegiatan

antar Desa.

PTO PNPM - MPd Tahun 2008, UPK mendapatkan penugasan

Musyawarah Antar Desa (MAD)/Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD)

untuk menjalankan tugas pengelolaan dana program dan tugas pengelolaan

dana perguliran. Ini berarti bahwa tujuan UPK secara umum tidak lain

51
adalah untuk mengelola dana kegiatan yang ada dan khususnya dana

bergulir yang bersumber dari PNPM Mandiri Perdesaan atau pun PPK.

Dengan pengelolaan dana kegiatan dan dana perguliran secara baik maka

diharapkan tujuan akhir dari program untuk dapat memberdayakan dan

mensejahterakan masyarakat dapat tercapai.

Pemberdayaan adalah proses yang sangat politis, karena

berhubungan dengan upaya mengubah pola kekuasaan dan mereka yang

bekerja dengan kerangka pemberdayaan berarti menantang kelompok pro

status quo yang pastinya tidak begitu saja bersedia melakukan perubahan

(dalam arti power sharing). Proses pemberdayaan selalu memerlukan proses

demokratisasi, atau sebaliknya, proses demokratisasi selalu memerlukan

proses pemberdayaan. Pengembangan demokrasi hanya akan berhasil jika

masyarakat berhasil mengidentifikasi hal-hal yang tidak bersifat demokratis

dan secara bertahap melakukan perubahan terhadapnya agar menjadi lebih

demokratis. Hal ini membutuhkan kesadaran masyarakat mengenai adanya

aktor-aktor yang sangat berkuasa, di berbagai level yang berbeda, yang

memiliki kepentingan dan kemungkinan besar akan menolak usaha-usaha

perubahan tersebut.

Partisipasi masyarakat (community participation) di kalangan

pembangunan lebih sering diartikan sebagai partisipasi sosial daripada

partisipasi politik. Anggapan ini nampaknya menjadikan partisipasi sebagai

pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan, bukan partisipasi untuk

mengembangkan sistem dan struktur baru komunitas yang lebih setara,

partisipatif, dan demokratis. Partisipasi yang tidak mengembangkan

52
perluasan di tingkat komunitas, jelas tidak akan banyak berpengaruh

terhadap demokratisasi komunitas.

Dalam konsep demokrasi, terdapat sejumlah pilar atau prinsip yang

harus ada sehingga bisa dikatakan demokrasi berjalan, yaitu: partisipasi

warga; kesetaraan atau tidak adanya diskriminasi golongan, agama, etnis,

dan gender, toleransi terhadap perbedaan, akuntabilitas pemerintah terhadap

rakyat, transparansi pemerintahan, kebebasan berusaha untuk

mengembangkan ekonomi, kontrol terhadap penyalahgunaan kekuasaan,

jaminan perlindungan hak-hak sipil, perlindungan HAM, serta aturan dan

penegakan hukum. Partisipasi warga (citizen participation) di dalam konsep

demokrasi, diartikan sebagai keterlibatan warga dalam berbagai proses

pemerintahan, antara lain dalam pengembangan kebijakan publik, dalam

mengawasi jalannya pemerintahan, menyampaikan aspirasi dan kepentingan

masyarakat dan dalam mendukung berbagai upaya pembangunan.

Masyarakat (komunitas) partisipatif adalah sebuah keadaan yang

menunjukkan bahwa partisipasi sudah menjadi nilai, sikap-perilaku, dan

budaya di suatu masyarakat, sehingga mereka bisa mengambil peran yang

menentukan, baik dalam proses-proses pembangunan maupun dalam

pemerintahan yang sesuai dengan asas-asas demokrasi.

Menganjurkan penggunaan istilah partisipasi warga yang meliputi

partisipasi sosial dan partisipasi politik dalam arti luas. Partisipasi warga ini

diartikan sebaga keterlibatan warga masyarakat dalam pemerintahan lokal

secara penuh, termasuk dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan,

dalam program-program pembangunan,dalam proses pengambilan

53
keputusan publik tingkat lokal, dalam pemilihan kepemimpinan lokal

(formal maupun informal),dsb, yang merupakan seluruh bagian dari

kehidupan masyarakat (komunitas).23

Peran Lembaga lembaga komuninas sebagai pengembang

program pembangunan juga meliputi peran sebagai pengorganisir rakyat

(community organizer) karena partisipasi warga harus dikembangkan

melalui penguatan lembaga-lembaga masyarakat/rakyat (organisasi sipil)

yang bilsa menjadi kelompok kepentingan dan kelompok penekan tingkat

lokal dan mempengaruhi kebijakan-kebijakan (mempengaruhi lembaga

politik formal melalui legislatif dan eksekutif lokal). Penguatan

kelembagaan masyarakat (organisasi sipil lokal) ini, diperlukan dalam

menopang pemerintahan lokal yang partisipatif (participatory local

governance) atau komunitas yang demokratis (demokratic community).

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan

pada prinsipnya adalah peningkatan kesejahteraan dan kesempatan kerja

masyarakat miskin perdesaan secara mandiri melalui peningkatan partisipasi

masyarakat (terutama masyarakat miskin, kelompok perempuan dan

komunitas/kelompok yang terpinggirkan), meningkatkan kapasitas

kelembagaan masyarakat dan pemerintah, meningkat modal sosial

masyarakat serta inovasi dan pemanfaatan teknologi tepat guna.

Rekonstruksi PNPM-MP telah mendorong terciptanya perangkat sistem

yang bersifat dinamis. Sistem sosial yang di bangun oleh PNPM-MP

23 Antlov, Hans, Negara Dalam Desa; Patronase Kepemimpinan Lokal, Lappera Pustaka Utama,
Yogyakarta, 2002.

54
memungkinkan warga Desa memperoleh peningkatan kapasitas tidak hanya

dalam bentuk kursus dan pelatihan, tetapi juga pembiasaan cara berfikir dan

cara bertidak bagi warga Desa ketika mereka menjalankan peranannya

masing-masing di dalam pelaksanaan program. Masyarakat di biasakan

memperoleh pengalaman nyata menjalankan sebuah proses pembangunan

Desa yang bersifat partisipatif, khususnya pembelajaran masyarakat melalui

kegiatan Menggagas Masa Depan Desa (MMDD) telah menghasilkan

peningkatan kemampuan masyarakat Desa dalam menyusun perencanaan

pembangunan jangka menengah secara partisipatif. Pengalaman masyarakat

dalam perencanaan pembangunan ini perlu di hargai dengan

mendayagunakan secara nyata rencana pembangunan jangka menengah

Desa hasil MMDD dalam menetapkan usulan rencana kegiatan PNPM-MP

maupun rencana kegiatan pembangunan di Desa yang di usulkan untuk di

biayai dengan dana swadaya dan dana APBD maupun sumber pembiayaan

lainnya. Namun demikian, dinamika proses sosial sebagai dampak

intervensi program ini pun menghadirkan beberapa kendala yang di hadapi

masyarakat secara nyata. Pertama, dampak di terapkanya pembangunan

partisipatif bersifat ganda yaitu pada satu sisi warga Desa mampu menyusun

rencana pembangunan sesuai dengan kebutuhannya, akan tetapi pada sisi

lainnya warga Desa dihadapkan pada persoalan baru yaitu ketersediaan dana

pembangunan yang disediakan melalui PNPM MP tidak mencukupi untuk

memenuhi usulan-usulan yang sudah dirumuskan secara partisipatif. Kedua,

mekanisme pembangunan partisipatif yang diterapkan dalam PNPM-MP

belum terlembagakan serta menjadi dasar pelaksanaan kegiatan

55
pembangunan di Desa dan antar Desa. Ketiga, belum sepenuhya dana

pembangunan Desa dan antar Desa yang bersumber dari APBN, APBD

Provinsi, maupun APBD Kabupaten/Kota dapat dikelola berdasarkan

prinsip dan mekanisme pembangunan partisipatif.24


Optimalisasi tahapan kegiatan menurut adanya dukungan kinerja

manajerial yang memadai. Peningkatan kualitas kinerja pembinaan dan

pengendalian program ini termasuk di dalamnya peningkatan kinerja

fasilitator menjadi prasyarat utama agar Optimalisasi Tahapan Kegiatan

PNPM Mandiri Perdesaan dapat berjalan efisien dan efektif serta tidak

melanggar prinsip-prinsip PNPM Mandiri Perdesaan. Peningkatan kinerja

manajemen para pelaku dan fasilitator diharapkan dapat menjamin

terciptanya penghargaan para pelaku program terhadap proses perencanaan

masyarakat sebelumnya, serta kebutuhan pengembangan program yang

semakin menjamin keberlanjutan sistem. Pada akhirnya, diharapkan para

pelaku PNPM MP benar-benar membela kepentingan masyrakat Desa.

Sedangkan optimalisasi tahapan kegiatan PNPM MP adalah sebuah upaya

penciptaan akselerasi waktu tahapan dalam proses perencanaan dan

pelaksanaan program dengan memanfaatkan proses dan hasil perencanaan

program yang dikelola oleh masyarakat satu Tahun sebelumnya. Adapun

maksud diadakannya optimalisai tahapan kegiatan PNPM MP adalah agar

kinerja pengelolaan program menjadi lebih efisien dan efektif sesuai waktu,

kebijakan dan kondisi lokal yang ada.25

24 Ateng Safrudin, Pasang Surut Otonomi Daerah, Bina Cipta, Bandung, 1985, hal. 23.

25 Ateng Safrudin, Otonomi dan antisipasi Perkembangan, Suatu bahan Penyegaran Pemahaman
Otonomi daerah, Bina Cipta, Bandung,1998, hal. 5.

56
Visi kegiatan PNPM-MP adalah terciptanya masyarakat yang

berdaya yang mampu menjalin sinergi dengan pemerintah daerah serta

kelompok peduli setempat dalam rangka menanggulangi kemiskinan dengan

efektif, secara mandiri dan berkelanjutan. Sedangkan Misi kegiatan PNPM

MP adalah memperdayakan masyarakat pedesaan, terutama masyarakat

miskin, untuk menjalin kerjasama sinergis dengan pemerintah daerah dan

kelompok peduli lokal dalam upaya penanggulangan kemiskinan, melalui

pengembangan kapasitas, penyediaan sumberdaya, dan melembagakan

budaya kemitraaan antar pelaku pembangunan. Dari visi dan misi tersebut

dapat kita pahami bahwa pengembangan kapasitas merupakan salah satu

aspek dalam upaya pemberdayaan masyarakat untuk mencapai tujuan utama

yaitu menanggulangi kemiskinan.


Tujuan pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan adalah:
1.Mewujudkan masyarakat Berdayadan Mandiri, yang mampu

mengatasi berbagai persoalan kemiskinan di wilayah, sejalan dengan

kebijakan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)

Mandiri;
2. Meningkatkan kapasitas Pemerintah Daerah dalam menerapkan model

pembangunan partisipatif yang berbasis kemitraan dengan masyarakat

dan kelompok peduli setempat;


3. Mewujudkan harmonisasi dan sinergi berbagai program pemberdayaan

masyarakat untuk optimalisasi penanggulangan kemiskinan;


4. Meningkatkan capaian manfaat bagi masyarakat miskin untuk

mendorong peningkatan Indek Pembangunan Manusia (IPM) dan

pencapaian sasaran.
Sasaran pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan adalah:

57
a. Terbangun lembaga kepemimpinan masyarakat (BKM) yang aspiratif,

reprensentatif, dan akuntabel untuk mendorong tumbuh dan

berkembangnya partisipasi serta kemandirian masyarakat;


b. Tersedianya PJM Pronangkis sebagai wadah untuk mewujudkan

sinergi berbagai program penangulangan kemiskinan yang

komprehensif dan sesuai dengan aspirasi serta kebutuhan masyarakat

dalam rangka pengembangan lingkungan permikiman yang sehat,

serasi, berjati diri dan berkelanjutan;


c. Meningkatkan akses terhadap pelayanan kebutuhan dasar bagi warga

miskin dalam rangka meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia

(IPM) dan pencapaian sasaran.


Pendekatan yang digunakan dalam pencapaian tujuan dari

pelaksanaan PNPM MP adalah sebagai berikut:


1). Melembagakan pola pembangunan partisipatif yang berorientasi

masyarakat miskin dan berkeadilan, melalui pembangunan lembaga

kepemimpinan masyarakat (BKM) yang representatif, akuntabel, dan

mampu menyuarakan kepentinagan masyarakat dalam proses-proses

pengambilan keputusan dan Perencanaan Partisipatif dalam menyusun

PJM-Pronangkis berbasis pada peningkatan IPM;


2). Menyedikan stimulasi BLM secara transparan untuk mendanai kegiatan

penangulangan kemiskinan yang mudah dilakukan oleh masyarakat dan

membuka kesempatan kerja, melalui pembangunan sarana/prasarana

lingkungan, peningkatan kapasitas sumber daya manusia,

pengembangan ekonomi lokal dengan prasyarat tertentu, memperkuat

keberlanjutan program dengan menumbuhkan rasa memiliki di

58
kalangan masyarakat melalui proses penyadaran kritis, partisipatif,

pengelolaan hasil-hasilnya, dan lainnya;


3). Meningkatkan kemampuan perangkat pemerintah dalam perencanaan,

penganggaran, dan pengembangan pasca program;


4). Meningkatkan efektifitas perencanaan dan penganggaran yang lebih

berorientasi pada masyarakat miskin dan berkeadilan.

Model Pembangunan Kawasan Perdesaan sesuai amanah UU Desa

ini sebenarnya sudah dilaksanakan oleh PNPM Mandiri dan melalui

program Master Plan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan

Indonesia (MP3KI) yang merupakan afirmatif kebijakan pembangunan

ekonomi dan memperkuat kebijakan penanggulangan kemiskinan yang telah

ada untuk menjamin kesinambungan program/ kegiatan penanggulangan

kemiskinan yang tengah berjalan dengan menjabarkan perwujudan

penghidupan masyarakat miskin secara berkelanjutan serta penguatan

kelembagaan dan peran para pihak dalam penanggulangan kemiskinan di

masa datang. Misalnya yang telah dilakukan yaitu kebijakan pembangunan

ekonomi di PNPM Mandiri Perdesaan melalui kegiatan dana bergulir

Simpan Pinjam khusus kelompok Perempuan ( SPP ) dan Usaha Ekonomi

Produktif kelompok campuran ( UEP ) di 29 Kabupaten 462 Kecamatan di

Jawa Tengah sampai dengan akhir September 2014 sudah memiliki asset

sebesar 1,9 Trilyun lebih. Asset per Kecamatan bervariasi antara 1 Milyard

sampai tertinggi 8,9 Milyard misalnya di Kabupaten Demak. Dana Abadi

masyarakat ini bisa menjadi motor penggerak pengembangan ekonomi lokal

dalam Pembangunan Kawasan Perdesaan dalam upaya penanggulangan

59
kemiskinan, hal ini belum termasuk PNPM Mandiri Perkotaan dan PNPM

Mandiri pendukung lainnya.

Melalui pemberdayaan masyarakat Desa dengan memperhatikan

seluruh aspek kehidupan masyarakat dengan sasaran seluruh lapisan

masyarakat bermotifkan pemandirian (berdikari), sehingga mampu

membangkitkan kemampuan self-help. untuk meningkatkan kualitas hidup

masyarakat (modernisasi) yang mengacu pada cara berpikir, bersikap,

berperilaku, maka bidang pemberdayaan merupakan titik strategis yang

harus diperbarui dan diperluas. Sehingga esensi pemberdayaan masyarakat

di perdesaan adalah pendayagunaan sumberdaya (potensi) lokal,

meningkatkan partisipasi dan kemandirian (berdikari).

Maka peran penting dari kepedulian semua fihak yaitu masyarakat,

pemerintah, swasta dan termasuk pendidikan tinggi (Perguruan Tinggi)

untuk menyumbangkan pemikiran, teknologinya ataupun tenaganya dalam

menyiapkan insan yang siap mendampingi masyarakat dengan pendekatan

pemberdayaan masyarakat sesuai amanah dalam UU Desa. Lewat Tri

Dharmanya Perguruan Tinggi jelas memiliki kapabilitas dan kapasitas dalam

mendukung percepatan pembangunan Desa yang kita harapkan.

Melihat kondisi Desa yang ada pada saat sekarang secara nasional,

masih perlu ada persiapan ataupun prakondisi dalam rangka implementasi

UU Desa. Maka perlu adanya suatu model pemberdayaan kelembagaan

dalam rangka implementasi UU RI No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Suatu

model pemberdayaan kelembagaan sangat diperlukan di Kabupaten Demak

yaitu dalam rangka:

60
1. Penyiapan Perangkat Desa dan Kelembagaan Desa (Kuantitas dan

kualitas). Secara kuantitas sebagian besar Desa saat ini tidak memiliki

perangkat yang lengkap sebagaimana diatur dalam PP: 43 /2014 Pasal

61-Pasal 64. Sementara itu perangkat yang tersedia kapasitasnya masih

perlu ditingkatkan. Belum ada pelatihan-pelatihan khusus dan sistematis

yang diberikan kepada perangkat Desa maupun kelembagaan Desa (BPD

dll) terkait pelaksanaan (implementasi) UU Desa.


2. Penyiapan Perencanaan Pembangunan Desa (RPJM Desa, RKP Desa dan

APB Desa). Berdasarkan PP: 43 /2014 Pasal 114-115 dan PP: 60 /2014

Passl 20 disebutkan penggunaan Dana Desa mengacu pada Rencana

Jangka Menengah Desa (RKPDes) dan Rencana Kerja Pemerintah Desa

(RKPDes). Saat ini hanya terdapat kurang lebih 53.000 Desa yang

memiliki dokumen RPJMDes yang telah difasilitasi PNPM Mandiri

Perdesaan. Sebagian besar belum memiliki APB Desa dan RKP Desa

Tahun 2015 ini.


3. Penyiapan Peningkatan Kapasitas Pendamping (Fasilitator

Desa/Kecamatan). Untuk Fasilitasi proses perencanaan pembangunan

(point 2) dimungkinkan ditugaskan kembali ex Fasilitator PNPM MPd

dengan penguatan kapasitas khusus dan bisa juga difasilitasi dari aparatur

dengan pelatihan khusus. Dan juga disini fasilitasi dari perguruan tinggi

dalam pelaksanaan Tri Dharmanya di masyarakat Desa dalam rangka

peningkatan kapasitas SDM maupun pemanfaatan secara optimal SDA

nya (Pengembangan Potensi Desa).

4. Penyiapan Regulasi Pendukung Implementasi UU Desa. Dalam rangka

Implementasinya selain PP juga harus segera didorong berupa Peraturan

61
Menteri, Perda, PerBup/PerWali, Petunjuk Pelaksanaan atau pedoman

peraturan lainnya.

Kegiatan PNPM Mandirin Perdesaan di laksanakan melalui suatu

lembaga kepemimpinan masyarakat yang mengakar, representatif dan

dipercaya disebut Lembaga Keswadayaan Masyarakat (secara generik

disebut Badan Keswadayaan Masyarakat atau di singkat BKM), yang di

bentuk melalui kesadaran kritis masyarakat untuk mengali kembali nilai-

nilai luhur kemanusian dan nilai-nilai kemasyarakatan sebagai pondasi

modal sosial (social capital) kehidupan masyarakat.


Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) diharapkan mampu

menjadi wadah perjuangan kaum miskin dalam menyuarakan aspirasi dan

kebutuhan mereka, sekaligus menjadi motor bagi upaya penanggulangan

kemiskinan yang di jalankan oleh masyarakat secara mandiri dan

berkelanjutan, mulai dari proses penentuan kebutuhan, pengambilan

keputusan, proses penyusunan program, pelaksanaan program hingga

pemanfaatan dan pemeliharaan. BKM bersama masyarakat bertugas

menyusun Perencanaan Jangka Menengah Program Penanggulangan

Kemiskinan (yang kemudian lebih dikenal sebagai PJM Pronangkis) secara

partisipatif, sebagai prakarsa masyarakat untuk menanggulangi kemiskinan

diwilayah secara mandiri. Atas fasilitas pemerintah dan prakarsa

masyarakat, BKM-BKM ini mulai menjalin kemitraan dengan berbagai

instansi pemerintah dan kelompok peduli setempat. BKM memiliki unit

pelaksana dibawahnya, yaitu Unit Pelaksana Sosial, Unit Pelaksana

Lingkungan dan Unit Pelaksana Keuangan. Unit-unit pelaksana ini berada

62
di bawah BKM dan bertanggung jawab kepada BKM. BKM juga

bertanggungjawab untuk menjamin keterlibatan semua lapisan masyarakat

dalam proses pengambilan keputusan yang kondusif untuk pengembangan

keswadayaan masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan khususnya dan

pembangunan masyarakat kelurahan pada umumnya.


Lembaga-lembaga partisipatif lainnya yaitu Kelompok Swadaya

Masyarakat (KSM), yang di bentuk di tingkat komunitas atau masyarakat

untuk melakukan agenda kegiatan secara langsung. KSM ini dapat dibentuk

oleh siapa saja atau kelompok masyarakat apabila diperlukan untuk

melaksanakan suatu kegiatan tertentu yang dianggap perlu bagi

pembangunan dalam komunitas tersebut.


KSM ini di organisasikan oleh tim relawan dan dibantu oleh tim

fasilitator terdiri dari warga kelurahan yang memiliki ikatan kebersamaan

(common bond) dan berjuang untuk mencapai tujuan bersama. KSM ini

bukan hanya sekedar pemanfaat pasif melainkan sekaligus sebagai

pelaksana kegiatan terkait dengan penangulangan kemiskinan yang di

usulkan untuk di danai oleh LKM melalui berbagai dana yang mampu

digalang.
Bantuan untuk masyarakat dalam kegiatan PNPM Mandiri

Perdesaan diwujudkan dalam bentuk bantuan pendamping dan bantuan

dana.
a). Bantuan pendamping
Bantuan pendamping ini di wujudkan dalam bentuk penugasan
konsultan dan fasilitator beserta dukungan dana operasional untuk
mendampingi dan memperdayakan masyarakat agar mampu
merencanakan dan melaksanakan program masyarakat untuk
menaggulangi kemiskinan di kelurahan masing-masing;
b). Bantuan Dana

63
Bantuan dana di berikan dalam bentuk dana BLM (dana
Bantuan Langsung Masyarakat). BLM ini bersifat stimulan dan
sengaja di sediakan untuk memberikan kesempatan kepada
masyarakat untuk berlatih dengan mencoba melaksanakan sebagian
rencana kegiatan penanggulangan kemiskinan.
Dana bantuan langsung masyarakat dapat di gunakan untuk
kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam komponen kegiatan
keuangan.

Subtansi dasar proses pemberdayaan masyarakat di titik beratkan

pada memulihkan dan melembagakan kembali kapital sosial yang dimiliki

masyarakat, yakni dengan mendorong masyarakat agar mampu

meningkatkan kepedulian dan kesatuan serta solidaritas sosial untuk bahu-

membahu dan bersatu padu menanggulangi masalah kemiskinan di wilayah

secara mandiri dan berkelanjutan, dengan bertumpu pada nilai universal

kemanusiaan, kemasyarakatan dan pembangunan berkelanjutan. Oleh

karena itu, siklus pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan adalah siklus

kegiatan yang di laksanakan sepenuhnya oleh masyarakat di

Desa/Kelurahan setempat. Peran pendamping pembelajaran agar inisiatif,

prakarsa, komitmen, kepedulian, motivasi, keputusan dan ikhtiar dari

masyarakat berbasis pada nilai-nilai luhur dan kebutuhan masyarakat.


Pada tahapan awal pelaksanaan program di lokasi baru, para

pendamping (fasilitator, konsultan dll) berkewajiban melakukan proses

pembelajaran masyarakat agar mereka mampu melakukan tahapan kegiatan

PNPM Mandiri Perdesaan di wilayahnya atas dasar kesadaran kritis

terhadap subtansi mengapa dan untuk apa suatu kegiatan itu harus

dilakukan. Pada tahapan berikutnya, siklus pelaksanaan kegiatan

64
dilaksanakan sepenuhnya dan dilembagakan oleh masyarakat sendiri secara

berkala dengan difasilitasi pendamping yang dititikberatkan pada menjaga

koridor-koridor kesesuaian dengan nilai luhur, transparansi dan

akuntabilitas.
Inti kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan di masyarakat

Kelurahan/Desa adalah proses menumbuhkembangkan kemandirian dan

keberlanjutan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan dari, oleh dan

untuk masyarakat, melalui proses pembelajaran dan pelembagaan nilai-nilai

universal kemanusiaan (goog governance), serta prinsip-prinsip

pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Tahapan

pelaksanaan kegiatan ini mencakup serangkaian kegiatan yang terdiri dari

siklus rembug kesiapan masyarakat dan kerelawanan, refleksi kemiskinan,

pemetaan swadaya berorientasi IPM, pembentukan BKM, perencanaan

partisipatif menyusun PJM Pronangkis dan pelaksanaan program

penanggulangan kemiskinan oleh masyarakat dengan stimulan BLM oleh

KSM.
Semua tahapan siklus tersebut semestinya bukan hanya terjadi

ketika ada fasilitator PNPM Mandiri Perdesaan, akan tetapi menjadi siklus

yang terus berulang setiap Tahun sebagai daur program penanggulangan

kemiskinan di Kelurahan/Desa sehingga kemiskinan akan berkelanjutan.


Dalam konteks daur program dapat dilihat bahwa Refleksi

Kemiskinan dan Pemetaan Swadaya merupakan Tahapan identifikasi

masalah. Pembangunan BKM/LKM, Pembangunan KSM dan PJM

pronangkis merupakan tahapan Perencanaan (Rencana pemecahan masalah).

Kegiatan pelaksanaan dan rangkaian kegiatan pembangunan kapasitas yang

65
kedua adalah pelaksanaan siklus pemberdayaan yang dimulai dari refleksi

kemiskinan, pemetaan swadaya, pembangunan BKM, penyusunan PJM

Pronangkis, sinergi dengan perencanaan pembangunan daerah, pelaksanaan

dan pemantauan, dan review partisipatif. Jenis kegiatan pengembangan

kapasitas yang ketiga adalah kegiatan-kegiatan pelatihan atau coaching baik

untuk Lurah/Kepala Desa, anggota BKM, pengurus UP, anggota KSM,

relawan, maupun masyarakat tingkat basis. Kegiatan pelatihan yang

dilaksanakan diantaranya pelatihan manajemen organisasi, pelatihan

pengelolaan pembangunan lingkungan, pelatihan pengelolaan keuangan,

pelatihan sosial, dan pelatihan penanggulangan bencana dan palatihan

ketrampilan.

Dalam buku Kebijakan Publik yang Membumi, mengartikan

Kebijakan Publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-

sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau

pemerintah.26 Kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang

dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah demi kepentingan

kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat

hidup dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas.

Mengartikan kebijakan publik sebagai apa yang tidak dilakukan

maupun yang dilakukan oleh pemerintah.27 Selanjutya pengertian tersebut

dikembangkan dan diperbaharui oleh ilmuan-ilmuan yang berkecimpung di

26 Hessel Nogi S. Tangkilisan, Kebijakan Publik yang Membumi, Konsep, Strategi dan
Kasus, Yogyakarta: Lukman Offset dan YPAPI, 2003.

27 Dye, Thomas R, Understanding Public Policy. 3th (Englewood Cliffs, NJ; Prentice, hal,
1981.

66
ilmu kebijakan publik sebagai penyempurnaan karena arti itu jika

diterapkan, maka ruang lingkup studi ini menjadi sangat luas disamping

kajiannya yang hanya terfokus pada Negara sebagai pokok kajian.

Kebijakan publik sebagai kebijakan-kebijakan yang dibangun

oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, dimana implikasi dari

kebijakan tersebut adalah:28

1. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau

mempunyai tindakan tindakan yang berorientasi pada tujuan

2. Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah

3. Kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh

pemerintah , jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan

untuk dilakukan

4. Kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti

merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah

tertentu. Atau bersifat negatif dalam arti keputusan pemerintah

untuk tidak melakukan sesuatu

5. Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif

didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang bersifat

mengikat dan memaksa.

Kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk

memecahkan masalah dimasyarakat, baik secara langsung maupun melalui

28 Anderson, James A, Public Policy Making: Basic Concept in Political Sciences. New
York: Praeger University Series, 1975.

67
berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.29 Konsep

kebijakan publik yang diberikan oleh Anderson, yaitu Public Policies are

those policies developed by governmental bodies and officials. (Kebijakan

publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan

dan pejabat-pejabat pemerintah).30

Dengan melihat teori atau konsep kebijakan publik yang telah

diuraikan tersebut maka UU Nomor: 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan

out put kebijakan publik. Dan sekarang ini harus dimulai tahapan

selanjutnya yaitu implementasi dari kebijakan tersebut. Untuk memulai

(memberlakukan) UU Desa perlu mengetahui kondisi kesiapan Desa terkini,

karena UU Desa ini bisa berjalan dengan baik dan efektif manakala ada

kesiapan dari Desa. Dalam rangka penyiapan Desa tersebut salah satunya

diperlukan suatu model pemberdayaan kelembagaan Desa yang bisa

meningkatkan kapasitas dan kapabilitas kelembagaan Desa dalam

implementasi UU Desa.

3. Kesejahteraan Rakyat

Kunci pokok dalam Negara kesejahteraan adalah isu mengenai

jaminan kesejahteraan rakyat oleh Negara. Mengenai hal ini, C.A. Kulp dan

John W, resiko resiko tersebut dikatagorikan menjadi dua kelompok yaitu

kelompok yang beresiko fundamental dan kelompok beresiko khusus.31

29 Woll, Peter. Constitutional Democracy. Second Edition. Boston-Toronto: Little, Brown


and Company, 1986.

30 Anderson James E, Public Policy Making, New York, Holt, Rinehart and Wiston, 1979,
hal. 46.

31 C.A. Kulp dan John W, ibid, hal.6

68
NKRI juga menganut faham Negara Kesejahteraan, hal ini

ditegaskan oleh para Perintis Kemerdekaan dan para Pendiri Negara

Kesatuan Republik Indonesia bahwa Negara demokrasi yang akan didirikan

adalah Negara Kesejahteraan (walvaarstaat) bukan Negara Penjaga

Malam (nachtwachterstaad). Dalam pilihan terkait konsepsi Negara

kesejahteraan Indonesia ini, Moh. Hatta menggunakan istilah Negara

Pengurus.32 Demikian pula Negara Indonesia harus membenahi tatanan

peninggalan atau benda cagar budaya yang ada untuk menegaskan bahwa

Indonesia mampu mewujudkan cita cita dan/atau harapan para Perintis

Kemerdekaan dan para Pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia.

4. Rekonstruksi
Merenkonstruksi adalah membentuk kembali, membangun kembali

dapat berupa fakta-fakta ataupun ide-ide atau melakukan remodel.

Rekonstruksi berasal dari kata reconstruction yang diberi pengertian tentang

penyusunan kembali, pembangunan kembali atau menata ulang dan dapat

juga diberikan reorganisasi. Pengertian rekonstruksi (reconstruction) adalah

sebagai the act or process of building recreating, reorganizing

something.33
Rekonstruksi ialah kegiatan pemugaran untuk membangun kembali

dan memperbaiki seakurat mungkin bangunan dan lingkungan yang hancur

akibat bencana alam, bencana lainnya, rusak akibat terbengkalai atau

keharusan pindah lokasi karena salah satu sebab yang darurat, dengan

32 M. Yamin, 1959, Naskah Persiapan UUD 1945; Risalah Sidang BPUPKI/PPKI,


Sekretariat Negara RI, Jakarta, hlm. 299.

33 Henry Campbell Black, Blacks Law Dictionary, West Publising Co, Edisi ke-enam,
Minnessotta, 1990, hlm 1272

69
menggunakan bahan yang tersisa atau terselamatkan dengan penambahan

bahan bangunan baru dan menjadikan bangunan tersebut layak fungsi dan

memenuhi persyaratan teknis.34


G. Kerangka Teori Disertasi

1. Grand Teori Sebagai Teori Keadilan

Menurut Jhon Rawls dalam bukunya A Theory of Justice yang

berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial,

sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran, dan sebagai kebajikan

utama umat manusia, kebenaran dan keadilan tidak dapat diganggu gugat. 35

Pertanyaannya adalah Apa itu keadilan? Pertanyaan seputar apa itu

keadilan adalah sebuah pertanyaan yang acap kali kita dengar, namun

pemahaman yang tepat justru rumit dan abstrak, terlebih bila dikaitkan

dengan berbagai kepentingan yang komplek. Oleh karena itu banyak pakar

yang mengemukan pendapat tentang keadilan ini. Keadilan adalah suatu

konsep yang relevan dengan hubungan antar manusia, dan karena itu dia

harus dibahas dalam kontek yang sosial sifatnya.36

Dalam bukunya yang berjudul Nichoma-chean ethik, Aristoteles

mengatakan keadilan artinya berbuat kebajikan atau dengan kata lain keadilan

adalah kebajikan yang utama. Menurut Aristoteles, justice consist in

34 UNESCO, PP, 2005, hlm 36

35 John Rawls, A Theory of Justice, London: Oxford University press, 1973, yang sudah
diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori
Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

36Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil, Problematik Filsafat Hukum, Jakarta:


Grasindo, 1999, hlm 113

70
treating equals equally and unequal unequally, in proportion to their

inequallity. Prinsip ini beranjak dari asumsi untuk hal-hal yang sama

diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga diperlakukan tidak sama,

secara proporsional.37

Ulpianus menggambarkan keadilan sebagai justitia est constan et

perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi (keadilan adalah kehendak

yang terus menerus dan tetap masing -masing apa yang menjadi haknya.) atau

tribuere cuique suumto give everybody his own. Memberikan setiap orang

apa yang menjadi haknya.38

Perumusan ini dengan tegas mengakui hak masing - masing person

terhadap lainnya serta apa yang menjadi bagiannya, demikian pula

sebaliknya. Pengertian ini diambil alih oleh Justinianus dalam Corpus iuris

civilis Juris praecepta sunt haec: honesty vivere, alterum non laedere, suum

cuique tribuere bahwa peraturan - peraturan dasar dari hukum adalah terkait

hidup dengan patut, tak merugikan orang lain dan memberi orang lain apa

yang menjadi bagiannya.

Keadilan adalah keutamaan moral paling utama atau mahkota

kemuliaan semua keutamaan moral. Keadilan adalah prinsip yang

memungkinkan masyarakat dan ikatan bersama dipertahankan. Ketidak adilan

merupakan hal yang fatal bagi kehidupan sosial dan persahabatan manusia

dengan manusia. Itulah sebabnya maka. Tujuan pertama dan utama keadilan

37 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial,
Laksbang Mediatama, Yogyakarta, hlm. 36.

38 K Berten, Pengantar Etika Bisnis, Kanisius, Yogyakarta, 2000, hlm. 86-87.

71
adalah menjaga agar seseorang tidak merugikan orang lain, kecuali jika orang

lain itu telah melakukan kesalahan.39

Secara tradisional dikenal ada tiga macam bentuk keadilan. Ketiga

bentuk keadilan, yaitu Pertama, Keadilan legal. Keadilan legal menyangkut

hubungan antara individu atau kelompok masyarakat dengan Negara. Intinya

adalah semua orang atau kelompok masyarakat diperlakukan secara sama

oleh Negara di hadapan dan berdasarkan hukum yang berlaku. Semua pihak

dijamin untuk mendapat perlakuan yang sama sesuai dengan hukum yang

berlaku. Kedua, Keadilan komutatif. Keadilan ini mengatur hubungan yang

adil atau fair antara orang yang satu dan yang lain atau antara warga Negara

yang satu dan warga Negara lainnya. Dengan kata lain, kalau keadilan legal

lebih menyangkut hubungan vertikal antara Negara dan warga Negara,

keadilan komutatif menyangkut hubungan horizontal antara warga yang satu

dan warga yang lain. Ketiga, Keadilan distribusi. Prinsip dasar keadilan

distributif, atau yang kini dikenal sebagai ekonomi, adalah distribusi ekonomi

yang merata atau yang dianggap adil bagi semua warga Negara. Dengan kata

lain, keadilan distributif menyangkut pembagian kekayaan ekonomi atau hasil

- hasil pembangunan.

Selain ketiga bentuk keadilan tersebut, terdapat beberapa bentuk yang

lain. John Boatright dan Manuel Velasquez mengemukakan tiga bentuk

keadilan, yaitu Pertama, Keadilan Distributif (distributive justice),

mempunyai pola tradisional, dimana benefits and burdens harus dibagi secara

adil. Kedua, Keadilan Retributive (retributive justice), berkaiatan dengan

39 Sonny Keraf, Hukum Kodrat Dan Teori Hak Milik Pribadi, Kanesius, Yogyakarta,1997, hlm.17.

72
terjadinya kesalahan, dimana hukum atau denda dibebankan orang yang

bersalah haruslah bersifat adil. Ketiga, Keadilan kompensatoris

(compensatory justice), menyangkut juga kesalahan yang dilakukan, tetapi

menurut aspek lain, dimana orang mempunyai kewajiban untuk memberikan

kompensasi atau ganti rugi pihak lain yang dirugikan.

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diketahui bahwa inti keadilan

adalah supaya orang tidak dirugikan, kecuali orang itu bersalah atau

merugikan orang lain. Adapun bentuk bentuk keadilan ini bermacam -

macam, ada yang mengatakan orang harus menerima haknya, ada pula yang

mengatakan orang harus diperlakukan sama di depan hukum, dan ada pula

yang mengatakan bahwa orang harus menerima keuntungan dan beban yang

sama. Bentuk bentuk keadilan ini adalah perwujudan dari inti keadilan

dalam kaitannya dengan berbagai macam bentuk hubungan yang terjadi

dalam masyarakat.

2. Teori Kesejahteraan

Kesejahteraan atau sejahtera dapat memiliki empat arti (Kamus Besar

Bahasa Indonesia), dalam istilah umum, sejahtera menunjuk keadaan yang

baik, kondisi manusia di mana orang-orangnya dalam keadaan makmur,

dalam keadaan sehat dan damai. Dalam ekonomi, sejahtera dihubungkan

dengan keuntungan benda. Sejahtera memliki arti khusus resmi atau teknikal

(lihat ekonomi kesejahteraan), seperti dalam istilah fungsi kesejahteraan

sosial. Dalam kebijakan sosial, kesejahteraan sosial menunjuk ke jangkauan

pelayanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Ini adalah istilah yang

digunakan dalam ide Negara sejahtera. Di Amerika Serikat, sejahtera

73
menunjuk ke uang yang dibayarkan oleh pemerintah kepada orang yang

membutuhkan bantuan finansial, tetapi tidak dapat bekerja, atau yang

keadaannya pendapatan yang diterima untuk memenuhi kebutuhan dasar

tidak berkecukupan. Jumlah yang dibayarkan biasanya jauh di bawah garis

kemiskinan, dan juga memiliki kondisi khusus, seperti bukti sedang mencari

pekerjaan atau kondisi lain, seperti ketidakmampuan atau kewajiban menjaga

anak, yang mencegahnya untuk dapat bekerja. Di beberapa kasus penerima

dana bahkan diharuskan bekerja, dan dikenal sebagai workfare.

Konsep kesejahteraan dapat dirumuskan sebagai padanan makna dari

konsep martabat manusia yang dapat dilihat dari empat indikator yaitu:40

1.Kesejahteraan;
2. Rasa Aman;
3. Kebebasan;
4. Jati Diri.

Kesejahteraan sosial adalah mencakup berbagai tindakan yang

dilakukan manusia untuk mencapai tingkat kehidupan masyarakat yang lebih

baik, sedangkan menurut rumusan Undang-Undang Republik Indonesia No. 6

Tahun 1974 tentang ketentuan-ketentuan pokok kesejahteraan sosial Pasal 2

ayat 1, adalah:

Kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan


sosial material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan,
kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi
setiap warga Negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi
diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi
serta kewajiban sesuai dengan Pancasila.

40 Nasikun.1993. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali.

74
Salah satu ciri ilmu kesejahteraan sosial adalah upaya pengembangan

metodologi untuk menangani berbagai macam masalah sosial, baik tingkat

individu, kelompok, keluarga maupun masyarakat.

Hubungan Pemerintah Pusat dengan Daerah dapat dirunut dari alinea

ketiga dan keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Alinea ketiga memuat pernyataan kemerdekaan

bangsa Indonesia. Sedangkan alinea keempat memuat pernyataan bahwa

setelah menyatakan kemerdekaan, yang pertama kali dibentuk adalah

Pemerintah Negara Indonesia yaitu Pemerintah Nasional yang

bertanggungjawab mengatur dan mengurus bangsa Indonesia. Lebih lanjut

dinyatakan bahwa tugas Pemerintah Negara Indonesia adalah melindungi

seluruh bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum

dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut memelihara ketertiban dunia

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Selanjutnya Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara

kesatuan yang berbentuk republik. Konsekuensi logis sebagai Negara

kesatuan adalah dibentuknya pemerintah Negara Indonesia sebagai

pemerintah nasional untuk pertama kalinya dan kemudian pemerintah

nasional tersebutlah yang kemudian membentuk Daerah sesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan. Kemudian Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan

bahwa Pemerintahan Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus

75
sendiri Urusan Pemerintahan menurut Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan

dan diberikan otonomi yang seluas-luasnya.

Nilai-nilai dalam sila-sila Pancasila itu saling berkaitan antara satu

dengan yang lain yang membentuk suatu kesatuan, antara sila pertama, kedua,

ketiga, keempat, dan kelima saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan.

Dalam Pancasila terdapat sila-sila yang harus diamalkan dalam kehidupan

bermasyarakat dalam tulisan ini akan dibahas yaitu sila kelima, keadilan

sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila ini mempunyai makna bahwa

seluruh rakyat Indonesia mendapatkan perlakuan yang adil baik dalam bidang

hukum, politik, ekonomi, kebudayaan, maupun kebutuhan spiritual dan

rohani sehingga tercipta masyarakat yang adil dan makmur dalam

pelaksanaan kehidupan bernegara. Di dalam sila kelima, bahwa adanya

persamaan manusia didalam kehidupan bermasyarakat tidak ada perbedaan

kedudukan ataupun strata didalamnya semua masyarakat mendapatkan hak-

hak yang seharusnya diperoleh dengan adil.

Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat diuraikan

secara singkat sebagai suatu tata masyarakat adil dan makmur sejahtera

lahiriah batiniah, yang setiap warga mendapatkan segala sesuatu yang telah

menjadi haknya sesuai dengan hakikat manusia adil dan beradab. Perwujudan

dari sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat yang merupakan pengamalannya,

setiap warga harus mengembangkan sikap adil terhadap sesama, menjaga

keseimbangan antara hak dan kewajibanya serta menghormati hak-hak orang

lain.

76
Demikian pula perlu dipupuk sikap suka memberikan pertolongan

orang yang memerlukan agar dapat berdiri sendiri dan dengan sikap yang

demikian ia tidak menggunakan hak miliknya untuk usaha-usaha yang

bersifat pemerasan terhadap orang lain, juga tidak untuk hal-hal yang bersifat

pemborosan dan hidup bergaya mewah serta perbuatan-perbuatan lain yang

bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.

Umumnya nilai Pancasila digali oleh nilai nilai luhur nenek moyang

bangsa Indonesia termasuk nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia. Karena digali oleh nilai nilai luhur bangsa Indonesia Pancasila

mempunyai kekhasan dan kelebihan. Dengan sila ke-5 (keadilan sosial bagi

seluruh rakyat Indonesia), manusia Indonesia menyadari hak dan kewajiban

yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat

Indonesia. Dalam hal ini dikembangkan perbuatannya yang luhur yang

mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan gotong royong. Untuk itu

dikembangkan sikap adil sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan

kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain.

Negara modern adalah personifikasi dari tata hukum.41 Artinya,

Negara dalam segala aktifitasnya senantiasa didasarkan hukum yang ada.

Negara dalam konteks ini lazim disebut sebagai Negara hukum. Dalam

perkembangan pemikiran mengenai Negara hukum, dikenal dua kelompok

Negara hukum, yakni Negara hukum formal dan Negara hukum materiil.

41 Hans Kelsen, 2010, Teori Umum Hukum dan Negara: Dasar-Dasar Ilmu Hukum
Normatif Sebagai ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Alih bahasa oleh: Soemardi. Cet, III. Bee
Media Indonesia, Bandung, hlm 225.

77
Negara hukum materiil ini dikenal juga dalam istilah Welfarestate atau

Negara kesejahteraan. Ide Negara kesejahteraan ini merupakan pengaruh dari

faham sosialis yang berkembang abad ke-19, yang populer saat itu sebagai

simbol perlawanan terhadap kaum penjajah yang Kapitalis-liberalis.

Dalam perspektif hukum menurut Wilhelm Lunstedt berpendapat:

Law is nothing but the very life of mindkind in organized groups and the

condition which make possible peaceful co-existence of masses of individuals

and social groups and the cooporation for other ends than more existence

and propagation.42

Pemahaman ini Wilhelm Lunstedt nampak menggambarkan bahwa

untuk mencapai Social Welfare, yang pertama harus diketahui adalah rasa apa

yang mendorong masyarakat yang hidup dalam satu tingkatan peradaban

tertentu untuk mencapai tujuan mereka. Pendapat Lunstedt mengenai social

welfare ini hampir sama dengan pendapat Roscou Pound,43 namum demikian

ia ingin menegaskan bahwa secara faktual keinginan sebagaian besar manusia

yaitu ingin hidup dan mengembangkan secara layak.

Melihat pandangan mengenai social welfare tersebut, dapat ditarik

kesimpulan bahwa bidang social welfare mencakup semangat umum untuk

berusaha dengan dalil-dalilnya dan adanya jaminan keamanan, sehingga dapat

dibuktikan bahwa ketertiban hukum harus didasarkan suatu skala nilai-nilai

tertentu, yang tidak dirumuskan dengan rumus-rumus yang mutlak akan tetapi

42 Lundstedt, Legal thinking revised, My views on law (Stockholm 1956) p. 5 f.

43 Ibid, hlm. 9-10.

78
dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat yang berubah-

berubah mengikuti perubahan zaman, keadaan, dan perubahan keyakinan

bangsa.

Kunci pokok dalam Negara kesejahteraan adalah isu mengenai

jaminan kesejahteraan rakyat oleh Negara. Mengenai hal ini, Jurgen

Haberman berpendapat bahwa jaminan kesejahteraan seluruh rakyat yang

dimaksud diwujudkan dalam perlindungan atas,The risk unemployment,

accident, ilness, old age, and death of the breadwinner must be covered

through welfare provisions of the state.44

Dalam Negara kesejahteraan, kedua kelompok resiko tersebut harus

mendapatkan perhatian untuk diatasi. Alasannya adalah karena resiko

fundamental sifatnya adalah makro kolektif dan dirasakan oleh seluruh atau

sebagaian besar masyarakat sebagaimana resiko ekonomis. Resiko khusus

yaitu resiko yang sifatnya lebih makro individual, sehingga dampaknya

dirasakan oleh perorangan atau unit usaha.45

Dengan demikian, dalam hakekatnya Negara kesejahteraan dapat

digambarkan keberadaannya sebagai pengaruhnya dari hasrat manusia yang

mengharapkan terjaminnya rasa aman, ketentraman dan kesejahteraan agar

tidak jatuh kedalam kesengsaraan. Alasan tersebut dapat digambarkan sebagai

motor penggerak sekaligus tujuan bagi manusia untuk senantiasa

44 Gianfranco Poggi, The Development of the Modern State Sosiological Introduction,


California Stanford University Press, 1992, hlm. 126

45 Ibid, hlm 6-17

79
mengupayakan berbagai cara demi mencapai kesejahteraan dalam

kehidupannya. Sehingga ketika keinginan tersebut telah dijamin dalam

konstitusi suatu Negara, maka keinginan tersebut harus dijamin dan Negara

wajib mewujudkan keinginan tersebut. Dalam konteks ini, Negara ada dalam

tahapan sebagai Negara kesejahteraan.

Negara Kesatuan Republik Indonesia juga menganut faham Negara

Kesejahteraan. Hal ini ditegaskan oleh para Perintis Kemerdekaan dan para

Pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia bahwa Negara demokratis yang

akan didirikan adalah Negara kesejahteraan (walvaarstaat).

Dengan masuknya perihal kesejahteraan dalam UUD NKRI Tahun

1945, Konstitusi Indonesia dapat disebut sebagai konstitusi ekonomi

(economic constitution) dan bahkan konstitusi sosial (social constitution)

sebagaimana juga terlihat dalam konstitusi Negara Rusia, Bulgaria,

Cekoslowakia, Albania, Italia, Belarusia, Iran, Suriah, dan Hongaria. 46

Selanjutnya, sejauh menyangkut corak muatan yang diatur dalam UUD 1945,

nampak dipengaruhi oleh corak penulisan konstitusi yang lazim ditemui

pendapatan asli daerah dan kesejahteraan masyarakat Negara-Negara

sosialis.47

Di dalam UUD 1945, kesejahteraan sosial menjadi judul khusus Bab

XIV yang didalamnya memuat Pasal 33 tentang sistem perekonomian dan

46 Ibid, hlm. 135

47 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press,
Jakarta, 2005, hlm. 124

80
Pasal 34 tentang kepedulian Negara terhadap kelompok lemah (fakir miskin

dan anak terlantar) serta sistem jaminan sosial. Ini berarti, kesejahteraan

sosial sebenarnya merupakan flatform sistem perekonomian dan sistem sosial

di Indonesia. Sehingga, sejatinya Indonesia adalah Negara yang menganut

faham Negara Kesejahteraan (welfare state) model Negara Kesejahteraan

Partisipatif (participatory welfare state) yang dalam literatur pekerjaan

sosial dikenal dengan istilah Pluralisme Kesejahteraan atau welfare pluralism.

Model ini menekankan bahwa Negara harus tetap ambil bagian dalam

penanganan masalah sosial dan penyelenggaraan jaminan sosial (sosial

security), meskipun dalam operasionalisasinya tetap melibatkan masyarakat.48

3. Middle Teori Sebagai Teori Negara Hukum

Teori tentang Negara hukum dikemukakan pertama kali oleh

Lawrence M. Friedman yang membagi Negara hukum menjadi tiga unsur

yakni struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum (kultur hukum).

Tiga unsur dari Negara hukum ini diteorikan Lawrence M. Friedman sebagai

Three Elements of Legal System (tiga elemen dari sistem hukum).49

Sebagaimana yang dinyatakan dalam Achmad Ali, yang dimaksud dengan

unsur-unsur Negara hukum tersebut adalah50 :

48 Departement Sosial, naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Kesejahteran Sosial,


teks 9 Januari 2008, hlm. 34.

49 W. Friedmann. Teori dan Filsafat Hukum. Susunan I. Telaah Kritis Atas Teori Hukum,
RajaGrafindo Persada, Jakarta: 1990. hlm, 1.

50 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence)
Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Media Prenada Jakarta,2009, hlm, 204,

81
1)Struktur hukum, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada

beserta aparatnya, mencakupi antara lain kepolisian dengan para

polisinya, kejaksaan dengan jaksanya, pengadilan dengan hakimnya,

dan lain-lain.

2) Substansi hukum yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan

asas hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, termasuk

putusan pengadilan.

3) Kultur hukum, yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan

(keyakinan-keyakinan), kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan cara

bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga

masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan

dengan hukum.

Dalam hal ini ada beberapa pendapat para ahli tentang pengertian

Regulasi. Menurut Lydia Harlina Martono, Regulasi merupakan pedoman

agar manusia hidup tertib dan teratur. Jika tidak terdapat peraturan, manusia

bisa bertindak sewenang-wenang, tanpa kendali, dan sulit diatur. Joko

Untoro & Tim Guru Indonesia, Regulasi merupakan salah satu bentuk

keputusan yang harus ditaati dan dilaksanakan. Jadi, kita harus menaati

peraturan agar semua menjadi teratur dan orang akan merasa nyaman.

Peraturan adalah tindakan yang harus dilakukan atau yang tidak boleh

dilakukan. I Wawang Setyawan, Regulasi adalah suatu hal yang sangat

mutlak dan bersifat membatasi ruang gerak atau "kemerdekaan" setiap

individu.

Cara lain dalam mengambarkan 3 (tiga) unsur hukum itu oleh

82
Friedman,51 adalah struktur hukum diibaratkan seperti mesin, subtansi hukum

diibaratkan sebagai apa yang dikerjakan dan apa yang dihasilkan mesin

tersebut, sedangkan kultur atau budaya hukum adalah apa saja atau siapa saja

yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu serta

memutuskan bagaimana mesin tersebut digunakan.

Dalam buku yang sama, Achmad Ali menambahkan dua unsur Negara

hukum yakni52 :

a. Profesionalisme, yang merupakan unsur kemampuan dan

keterampilan secara person dari sosok-sosok penegak hukum.

b. Kepemimpinan, juga merupakan unsur kemampuan dan

keterampilan secara person dari sosok-sosok penegak hukum

utamanya kalangan petinggi hukum.

Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan

hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum.

Negara hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen,53 yakni

komponen struktur hukum (legal structure) merupakan kerangka, bagian

yang tetap bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk dan batasan

terhadap keseluruhan instansi-instansi penegak hukum. komponen substansi

hukum (legal substance) merupakan aturan-aturan, norma-norma dan pola

prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu termasuk produk yang

dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup

51http://www.surabayapagi.com, diunduh 5 Desember 2012.

52 Achmad Ali, Op.cit, hlm, 205.

53teknoringan.blogspot.com/2008_06_01_archive.html, diunduh 5 Desember 2012.

83
keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka susun, dan

komponen budaya hukum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-

sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum.

Struktur Hukum yang kemudian dikembangkan di Indonesia terdiri

dari:

1.Kehakiman (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok-pokok

kekuasaan Kehakiman)

2. Kejaksaan (Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan)

3. Kepolisian (Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang KepolisianRI)

4. Advokat (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat)

Struktur berhubungan dengan institusi dan kelembagaan hukum,

bagaimana dengan polisinya, hakimnya, jaksa dan pengacaranya. Semua itu

harus ditata dalam sebuah struktur yang sistemik. Kalau berbicara mengenai

substansinya maka berbicara tentang bagaimana Undang-Undangnya, apakah

sudah perundang-undangannya. Dalam budaya hukum, pembicaraan

difokuskan upaya-upaya untuk membentuk kesadaran hukum masyarakat,

membentuk pemahaman masyarakat memenuhi rasa keadilan, tidak

diskriminatif, responsif atau tidak. Jadi menata kembali materi peraturan

terhadap hukum, dan memberikan pelayanan hukum masyarakat.

4. Appplied Teori Sebagai Teori Hukum Progresif

Hukum progresif yang digagas oleh Satjipto Rahardjo merupakan

pergulatan pemikirannya yang panjang dan galau terhadap penerapan sistem

hukum di Indonesia yang selalu statis, koruptif, dan tidak mempunyai

84
keberpihakan struktural terhadap hukum yang hidup di masyarakat. Hukum di

Indonesia telah kehilangan basis sosialnya, basis multikulturalnya dan

ditegakkan secara sentralistik dalam bangunan sistem hukum. Hukum

kemudian dipaksakan, didesakkan dan diterapkan dengan kekerasan

struktural oleh aparat penegak hukum.54

Bangunan sistem hukum dan kondisi penegakan hukum yang penuh

dengan problematik tersebut di Indonesia akhirnya Satjipto Rahardjo

mendeklasikan pentingnya persatuan kekuatan hukum progresif untuk

melawan kekuatan status quo madzhab hukum yang telah sekian lama

diterapkan dalam sistem hukum di Indonesia. Menurutnya, kekalahan

kekuatan madzhab hukum progresif disebabkan kekuatan hukum progresif

masih tercerai-berai dan belum memiliki platform yang akan membangun

sinergi dan kekuatan. Oleh karena itu mendesak kekuatan hukum progresif

untuk saling bergandeng tangan dalam ide, aksi, dukungan dan lainnya untuk

memperbesar kekuatan madzhab hukum progresif.

Kekuatan hukum progresif sebagaimana Satjipto Rahardjo katakan,

merupakan kekuatan yang menolak dan ingin mematahkan keadaan status

quo. Mempertahankan status quo berarti menerima normatifitas dan sistem

yang ada tanpa ada usaha untuk melihat aneka kelemahan di dalamnya yang

kemudian mendorong bertindak mengatasinya. Hampir tidak ada usaha untuk

melakukan perbaikan, yang ada hanya menjalankan hukum seperti apa

adanya dan secara biasa-biasa saja. Mempertahankan status quo dalam

54 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta : Penerbit Buku


Kompas, 2006)

85
kondisi tersebut akan makin bersifat jahat sekaligus bertahan dalam situasi

korup dan dekaden dalam sistem yang nyata-nyata memiliki

kelemahan. Status quo juga bertahan salah satu alasannya karena doktrin

otonomi hukum, padahal dalam diri hukum sesungguhnya juga benteng

perlindungan bagi orang-orang mapan sehingga pendekatan tujuan keadilan

hanya bisa dicapai dengan menggunakan pendekatan sistem peraturan dan

prosedur obyektif. Pandangan dan pendekatan yang dipaktekkan dalam sistem

rule of law demikian tidak akan pernah mencapai keadilan sosial.

Statemen Satjipto Rahardjo dengan kekuatan hukum progresifnya

merupakan provokasi ilmiah atas kegaluannya atas hegemoni posistivisme

dan sentralisme hukum yang kemudian berdampak terhadap kekerasan

struktural, marjinalisasi masyarakat dan hukumnya serta menjauhkan hukum

dari kehidupan sosial masyarakat yang multikultural. Statemen Satjipto

Raharjo telah menciptakan polemik dan debat konfrontatif dengan paradigma

hukum yang hingga saat ini masih diterapkan di Indonesia. Setidaknya, salah

satu teoritikus yang dilawannya ialah Hans Kalsen yang mengatakan bahwa

norma hukum bukan semata diterapkan oleh organ atau dipatuhi oleh subyek,

tetapi juga menjadi dasar pertimbangan nilai spesifik yang

mengkualifikasikan satu perbuatan dinilai berdasar hukum ataukah tidak

diluar hukum. Validitas penerapan hukum tergantung pada norma-normanya,

primer atau sekunder. Term Sein (ada/fakta) dan sollen (harus/ideal)

merupakan terma yang berbeda. Validitas hukum normatif dan primer ialah

sesuatu yang Sollen (harus/ideal) bukan sesuatu yang Sein (ada/fakta).

86
Dalam diskursus pemikiran hukum di Indonesia, label tentang "hukum

progresif" sudah sangat sering terdengar.55 Salah satu faktor dari cepatnya

penyebaran gaung tersebut tidak lain karena memang eksponen utamanya,

yakni Satjipto Rahardjo, adalah seorang kolumnis yang sangat produktif.

Produktivitas Satjipto Rahardjo, tampaknya berangkat dari motto hidupnya

sebagai intelektual, yakni seorang intelektual adalah orang yang berpikir

dengan tangannya. Faktor lain yang mempopulerkan hukum progresif adalah

munculnya sekelompok orang-orang muda yang "tergoda" dengan corak

berpikir di luar arus utama (mainstream) seperti diajukan Satjipto Rahardjo.

Berkat semangat dan bantuan orang-orang muda inilah karya-karya lama

Satjipto Rahardjo itu dapat dikompilasi dan dikemas ulang untuk kemudian

disajikan kembali para pemerhati dan pegiat hukum di Tanah Air.

Salah satu dari sekian banyak idenya tentang hukum adalah apa yang

disebut pemikiran hukum progresif,56 yaitu semacam refleksi dari perjalanan

inteletualnya selama menjadi musafir ilmu. Esensi utama pemikirannya,

berangkat dari konsep bahwa hukum bukan sebagai sebuah produk yang

selesai ketika diundangkan atau hukum tidak selesai ketika tertera menjadi

kalimat yang rapih dan bagus, tetapi melalui proses pemaknaan yang tidak

pernah berhenti maka hukum akan menampilkan jati dirinya yaitu sebagai

sebuah ilmu. Proses pemaknaan itu digambarkan sebagai sebuah proses

55 Shidarta, Posisi pemikiran Hukum Progresif Dalam Konfigurasi Aliran-aliran Filsafat Hukum.
http://mitrahukum.org/file/bahan_ajar/Posisi%20Pemikiran%20Hukum%20Progresif%20dalam
%20Konfigurasi%20Aliran%20Filsafat%20Hukum%20by%20Shidarta.pdf, diunduh pada 5
Desember 2012.

56 Sidharta, op.cit., hlm 1.

87
pendewasaan sekaligus pematangan, sebagaimana sejarah melalui periodesasi

ilmu memperlihatkan runtuh dan bangunnya sebuah teori, yang dalam

terrminologi kuhn disebut sebagai lompatan paradigmatik.

Keadilan adalah inti atau hakikat hukum. Keadilan tidak hanya dapat

dirumuskan secara matematis bahwa yang dinamakan adil bila seseorang

mendapatkan bagian yang sama dengan orang lain. Demikian pula, keadilan

tidak cukup dimaknai dengan simbol angka sebagaimana tertulis dalam

sanksi-sanksi KUHP, misalnya angka 15 Tahun, 5 Tahun, 7 Tahun dan

seterusnya. Karena keadilan sesungguhnya terdapat dibalik sesuatu yang

tampak dalam angka tersebut (metafisis), terumus secara filosofis oleh

petugas hukum/hakim.

Semua aspek yang berhubungan dengan hukum progresif dalam

konsep progresivisme. Ada beberapa kata kunci yang layak untuk

diperhatikan tak kala kita ingin mengangkat pengertian progresivisme itu.

Kata-kata kunci tersebut dapat pula ditempatkan sebagai postulat yang

melekat pemikiran hukum progresif.

5. Teori Hukum Responsif

Lahirnya teori hukum ini dilatar belakangi dengan munculnya

masalah-masalah sosial seperti protes massal, kemiskinan, kejahatan,

pencemaran lingkungan, kerusuhan kaum urban, dan penyagunaan kekuasaan

yang melanda Amerika Serikat Tahun 1950-an. Hukum yang ada saat itu

ternyata tidak cukup untuk mengatasi keadaan tersebut. Di tengah rangkaian

kritik atas realitas krisis otoritas hukum itulah, Nonet-Zelnick mengajukan

88
model hukum responsif. Perubahan sosial dan keadilan sosial membutuhkan

tatanan hukum yang responsif. Kebutuhan ini sesungguhnya telah menjadi

tema utama dari semua ahli yang sepaham dengan semangat fungsional,

pragmatis, dan semangat purposif (berorientasikan tujuan), sepertinya Roscou

Pound, para penganut paham realisme hukum dan kritikus-kritikus

kontemporer.

Hukum responsif berorientasi tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar

hukum. Dalam hukum responsif tatanan hukum dinegosiasikan, bukan

dimenangkan melalui subordinasi. Apa yang dipikirkan oleh Nonet dan

Zelnick, sebetulnya bisa dikembalikan pertentangan antara analitical

jurisprudence di satu pihak dan sociological jurisprudence di pihak lain.57

Hukum responsif merupakan teori tentang profil hukum yang dibutuhkan

dalam masa transisi. Karena harus peka terhadap situasi transisi di sekitarnya,

maka hukum responsif tidak saja dituntut menjadi sistem yang terbuka, tetapi

juga harus mengandalkan keutamaan tujuan (the souvereignity of purpose),

yaitu tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari

bekerjanya hukum itu.

Di era reformasi sekarang ini yang sudah berjalan lebih dari satu

dekade hukum responsif masih dalam proses. Membutuhkan waktu lama agar

hukum responsif dapat dijalankan sesuai dengan sebenar-benarnya sehingga

demokrasi yang hakiki dapat terwujud demi kemakmuran dan kesejahteraan

masyarakat. Substansi hukum dalam wujudnya sebagai peraturan perundang-

57sosiologihukum-untar5.blogspot.com/2010_05_01_archive.html, diunduh 5 Desember 2012.

89
undangan, telah diterima sebagai instrumen resmi yang memperoleh aspirasi

untuk dikembangkan, yang diorientasikan secara pragmatis untuk

menghadapi masalah-masalah sosial yang kontemporer.

Di Indonesia belum siap untuk menerapkan hukum responsif yang

sesungguhnya karena krisis hukum yang terjadi sudah terlanjur dalam, aksi

massa sudah sangat sulit dikendalikan baik dengan cara yang represif ataupun

responsif sekalipun. Luapan rasa kebebasan yang selama orde baru terkekang

dan mencapai titik kejenuhan akhirnya keluar dan meledak. Adalah hal yang

wajar dalam waktu awal suatu rezim terjadi pergolakan, karena banyak yang

kecewa dengan rezim yang sebelumnya. Setiap orang mempunyai pandangan

dan pendapat serta cara sendiri-sendiri yang intinya memiliki tujuan dan

fungsi yang sama, yaitu membawa perubahan yang lebih baik. Namun karena

perbedaan pandangan dan penafsiran sehingga sangat mungkin akan

terjadinya gesekan satu sama lain. Dalam hal ini pemerintah pun juga belum

mampu mengendalikan situasi, karena mereka yang ada di dalamnya juga

sering silang pendapat bahkan tak jarang terjadi adu mulut atau baku hantam

antar anggota legeslatif.

Cita-cita reformasi yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat

madani selalu mengalami kendala baik dari dalam ataupun dari luar. Dapat

kita lihat intervensi asing dalam dunia usaha di Indonesia begitu

mendominasi, sehingga setiap produk hukum baik itu Undang-Undang,

Perpu, Perda dan produk hukum yang lain selalu berpihak pada pihak asing.

90
Karena pemerintah belum berani meninggalkan campur tangan asing,

mungkin rasa ketergantunagn tersebut sudah terlanjur mendalam.

Reformasi di Negera kita seakan berjalan ditempat, bahkan ada yang

mengatakan lebih parah sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Satjipto

Rahardjo58: Rupanya reformasi sudah mulai menukik terlalu dalam sehingga

tidak hanya sampai akar rumput, tetapi di ibaratkan akuarium. Maka pasir dan

kotoran ikut terobok-obok sampai ke permukaan. Akuarium menjadi keruh.

Sangat menarik kiasan yang diutarakan oleh beliau, memang benar adanya

bahwa saat ini Negara kita sudah walaupun reformasi sudah berjalan satu

decade namun kondisi bangsa kita malah jauh lebih buruk dari sebelemunya

(masa orde baru). Bukan hal-hal yang sifatnya umum (general) saja yang

mengalami kemerosotan, tapi juga hal-hal yang sifatnya urgen seperti

ideology, produk hukum beserta aparat penegaknya ataupun lembaga Negara

baik ekskutif, yudikatif ataupun legeslatif juga sudah amburadul, inilah yang

mungin disebutkan Satjipto Rahardjo sebagai akuarium.

Khusus bagi lembaga yudikatif saat ini kondisinya semakin

memprihatinkan, seolah-olah hukum hanya berpihak mereka-mereka yang

berkompeten di dalamnya, termasuk pihak swasta sebagai pengusaha yang

notabe-nya telah dikuasai pihak asing, yang juga ikut dalam pembuatan

produk hukum tersebut. Yang terjadi saat ini adalah kekerasan dan

premanisme di mana-mana, hal ini terjadi karena kekuasaan dikendalikan

oleh para intelektual-intelektual semua yang berkultur preman dan

58 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif. Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2007, hlm 135.

91
sebenarnya tidak memiliki kompetensi untuk menjadi penguasa. Mereka

hanya mementingkan diri sendiri dan segelintir orang di sekitarnya.

H. Metodelogi Penelitian

Realitas sosial secara garis besarnya diklasifikasikan kedalam 2

golongan, yaitu Realitas Konseptual dan Realitas Penomena. 59 Bertolak dari

pandangan tersebut maka sebagai realitas sosial, terdapat dua komponen dasar

yang dijadikan pandangan dalam penelitian ini, yaitu: Pertama, adalah

perundang-undangan yang menjadi dasar landasan di Desa (realitas Konseptual).

Kedua, adalah proses yang diterapkan sebagai pelaksana dari realitas konseptual,

yaitu Realitas Penomena.

Dua komponen dasar yang dijadikan pedoman untuk melihat landasan


didalam penelitian, yaitu:
Pertama; pendekatan Yurisdis Normative, yaitu analisis yang disandarkan
kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kedua; pendekatan Yurisdis Sosiologis, yaitu analisis yang disandarkan kepada

fakta empiris.

Metode adalah proses prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu

masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksanaan secara hati-hati, tekun dan

tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia, maka

metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara

59 I. S. Susanto, Realitas Sosial, Balai Pustaka, Yojakarta, 1992, hal. 56.

92
untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian. 60

Selanjutnya penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi, yang bertujuan untuk mengungkapkan

kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.

Melalui proses penelitian tersebut perlu diadakan analisis dan konstruksi

terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.61 Di dalam penelitian untuk

memperoleh jawaban tentang kebenaran dari suatu permasalahan diperlukan

suatu kegiatan penelitian dalam rangka mencari data ilmiah sebagai bukti guna

mencari kebenaran ilmiah.

Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Paradigma Penelitian

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah

konstruktivisme, karena penelitian ini menggunakan beberapa teori sebagai

bahan referensi yang akan memperkaya pengetahuan peneliti sebelum turun

ke lapangan. Selain itu dengan mengetahui beberapa konsep dan teori terlebih

dahulu akan membantu peneliti dalam merumuskan panduan wawancara.

Teori yang dipakai sebelumnya memiliki kemungkinan untuk diganti

dengan teori yang lebih relevan dengan temuan di lapangan. Artinya teori

dalam penelitian kualitatif lebih bersifat pasif dan tidak mengintervensi

kenyataan alamiah dari fenomena social yang hendak diteliti.62

60 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press,Jakarta, 1986, hlm. 6.

61 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali
Press, Jakarta, 1985, hlm. 1.

62 Burhan Bungis, Analisis Data Penelitian Kualitatif : Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke
Arah Penguasaan Model Aplikasi, Jakarta Raja Grafindo Persada, 2003 hlm, 45.

93
Paradigma konstruktivisme tercipta atas dasar relativitas ontologism

dimana dipaparkan bahwa terbentuknya realita adalah tergantung dari

bagaimana orang memandangnya, dan tidak ada pandangan orang yang diatur

oleh data-data empiris.63

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

yang pertama metode pendekatan yuridis sosiologis atau socio-legal

research.64 Metode pendekatan yuridis sosiologis dikarenakan permasalahan

yang diteliti menyangkut hubungan antara faktor yuridis dan faktor

sosiologis. Yuridis artinya penelitian yang didasarkan pada teori-teori hukum,

khususnya yang berkaitan dengan Rekonstruksi Pemberdayaan Kelembagaan

Masyarakat Mandiri Untuk mengentaskan Kemiskinan Studi Kasus di

Kabupaten Demak. Dasar-dasar yang terdapat dalam perundang-undangan

tersebut yang digunakan untuk menganalisis masalah. Sosiologis artinya

penelitian yang berhubungan langsung dengan masyarakat, dapat dilakukan

melalui pengamatan (observasi), wawancara ataupun penyebaran angket.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa pendekatan secara yuridis sosiologis adalah

pendekatan penelitian hukum yang didasarkan pada aturan-aturan hukum

yang berlaku dan dilakukan dengan pengamatan (observasi), wawancara

ataupun penyebaran angket. Yang kedua metode penelitian hukum normatif.

63 Michael Quin Patton, Qualitative Research dan Evaluation Methods, 3rd Edition, California, Sage,
2001, hlm, 92.

64 Ronny Hannitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1990, hlm. 14.

94
Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum

kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian

hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.

Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan

untuk mendapatkan hukum obyektif (norma hukum), yaitu dengan

mengadakan penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian

hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum

subjektif (hak dan kewajiban).65


Dalam penelitian ini, objeknya adalah tinjauan yuridis sosiologis dan

yursdis normatif tentang Rekonstruksi Pemberdayaan Kelembagaan

Masyarakat Mandiri Untuk mengentaskan Kemiskinan Studi Kasus di

Kabupaten Demak.

3. Spesifikasi Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan

pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk

mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan

menganalisanya.66 Untuk tercapainya penelitian ini, sangat ditentukan dengan

metode yang dipergunakan dalam memberikan gambaran dan jawaban atas

masalah yang dibahas.

Ditinjau dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis,

yaitu analisis data yang dilakukan tidak keluar dari lingkup permasalahan dan

berdasarkan teori atau konsep yang bersifat umum diaplikasikan untuk

65 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Cetakan ke 11. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009), hal. 1314.

66 Soerjono Soekanto, op. cit;, hlm. 43.

95
menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan komparasi atau

hubungan seperangkat data dengan seperangkat data yang lain. 67 Oleh karena

itu dalam spesifikasi penelitian dalam penulisan disertasi ini berupa penelitian

deskriptif analitis. Deskriptif dalam arti bahwa dalam penelitian ini penulis

bermaksud untuk menggambarkan dan menyampaikan secara rinci, sistematis

dan menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan

pemberdayaan kelembagaan masyarakat mandiri, sedangkan analitis berarti

mengelompokkan, menghubungkan dan memberi tanda pada angka

kemiskinan di Kabupaten Demak.

4. Jenis dan Sumber Data Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian Analisis. Penelitian analisis

adalah suatu jenis penelitian yang tidak di maksudkan untuk menguji

hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan apa adanya tentang suatu

variable, gejala atau keadaan.68


Penelitian ini bermaksud menggambarkan dan mengkaji lebih

mendalam mengenai Rekonstruksi Pemberdayaan Lembaga Kemasyarakatan

Desa Untuk Mengentaskan Kemiskinan di Kabupaten Demak.


a. Data Primer
Yaitu diperoleh melalui data yang langsung dari lapangan yang
merupakan data utama dalam penelitian ini. Data primer ini diperoleh
wawancara dengan Anggota BPD desa Jogoloyo Kecamatan Wonosalam,
Bidang Pemberdayaan Kecamatan Wonosalam dan TIM Pendamping
Desa Kecamatan Wonosalam, serta beberapa pihak terkait yang
menunjang untuk pengumpulan data dalam penelitian ini.

67 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm.
38.

68 Arikunto, Suharsimi, Manajemen Penelitian, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hal. 310.

96
b. Data Sekunder

Yaitu data yang digunakan sebagai pendukung data primer, data


sekunder ini meliputi:
1) Bahan hukum primer;

a) Undang-Undang Nomor: 6 Tahun 2014, tentang Desa;


b) Undang-Undang Nomor: 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah;
c) Surat Menteri Dalam Negeri Nomor: 414.2/3717/PMD Tahun
2008 perihal Petunjuk Teknis Operasional PNPM Mandiri
Perdesaan;
d) Surat Menteri Dalam Negeri Nomor: 414.2/1408/PMD Tahun
2010 perihal Petunjuk Teknis Perencanaan Pembangunan Desa.
2) Bahan hukum sekunder terdiri dari :

a) Berbagai kepustakaan mengenai Rekonstruksi Pemberdayaan

Lembaga Kemasyarakatan Desa;

b) Berbagai hasil kesimpulan seminar dan pertemuan ilmiah lainnya;

c) Hasil-hasil penelitian tentang masalah pemenintahan Desa;

d) Penelitian yang ada hubungannya dengan Rekonstruksi PNPM

Mandiri Perdesaan.

e) Berbagai tabloid dan Surat kabar.

3) Bahan hukum tersier :

a) Kamus istilah hukum;

b) Kamus Inggris - lndonesia;

c) Kamus besar Bahasa Indonesia;

5. Teknik Pengumpulan Data

97
Pendekatan data primer, dilakukan melalui wawancara atau konsultasi

yang bersifat terstruktur maupun tidak terstruktur yang dilakukan secara

mendalam/ depth interview, dan juga dengan FGD (Focus Group Discusion).

Sedangkan data sekunder diperoleh dengan melakukan studi dokumen dan

melalui langkah-langkah penelitian hukum normatif.69


Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian ini,

digunakan alat dan cara sebagai berikut:

a. Studi pustaka; Untuk memperoleh data skunder

1). Perpustakaan
Perpustakaan, yaitu salah satu kumpulan buku-buku bacaan

atau kitab yang dipakai untuk menyusun suatu kerangka penelitian;


b.Data primer diperoleh melalui
2). Observasi
Observasi (pengamatan), yaitu Responden wawancara dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:


Kepala desa di Kabupaten Demak dengan sample 9 (sembilan)

Kepala Desa untuk perwakilan tiap Kecamatan, dengan demikian

jumlah Kepala Desa yang akan di wawancarai, dalam penelitian ini

lebih ditekankan pada Rekonstruksi Pemberdayaan Lembaga

Kemasyarakatan Desa Untuk Mengentaskan Kemiskinan di Desa

Desa Jogoloyo, Kecamatan Wonosalam, Desa Tlogoweru,

Kecamatn Guntur, serta Desa Wonoagung, Kecamatan

Karangtengah, Kabupaten Demak; Perangkat Desa yang berada di

Desa Jogoloyo, Kecamatan Wonosalam, Desa Tlogoweru,

Kecamatan Guntur, dan Desa Wonoagung, Kecamatn

69 Sanapiah Faisal. Penelitian Kwalitatif, Dasar-dasar dan Aplikasi, Yayasan Asih, Asah dan
Asuh, Malang, 1990, hal.62.

98
Karangtengah, Kabupaten Demak; Ketua UPK Desa yang berada di

Desa Jogoloyo, Kecamatan Wonosalam, Desa Tlogoweru,

Kecamatan Guntur, dan Desa Wonoagung, Kecamatn

Karangtengah, Kabupaten Demak; Camat Wonosalam, Camat

Guntur, dan Camat Karangtengah. Kabupaten Demak; Kepala

Bapermas Kabupaten Demak.


3). Wawancara
a). Sifat, menanyakan atau meminta jawaban secara langsung

seputar sub pokok-pokok pertanyaan mengenai Rekonstruksi

Pemberdayaan Lembaga Kemasyarakatan Desa Untuk

Mengentaskan Kemiskinan melalui Program Nasional

Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan.


b). Sampel wawancara di tujukan langsung lewat Kepala Desa,

Perangkat Desa, Ketua UPK, Camat, dan Badan Pemberdayaan

Masyarakat (BAPERMAS).

6. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan metode analisis diskriptif kualitatif.

Metode penelitian kualitatif adalah metode yang bersifat interaktif, 70 yaitu

metode yang lebih menekankan pada pencarian makna sesuai dengan realitas.

Metode ini akan menghasilkan data berupa pernyataan-pernyataan atau data

yang dihasilkan berupa data diskriptif mengenai subjek yang diteliti.71

Dengan demikian rangkaian kegiatan analisis data yang diperlukan

dalam penelitian penulis adalah sebagai berikut: semua data yang telah

70 Miles and Hubberman, Analisis Data Kualitatif, Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru,
Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1992, hlm .15-20.

71Ibid; hlm. 15.

99
diperoleh terlebih dahulu diolah agar dapat memberikan gambaran yang

sesuai dengan kebutuhan, kemudian dianalisis dengan menggunakan metode

analisis kualitatif, dimana data-data yang diperlukan guna menjawab

permasalahan, baik data primer maupun data sekunder, dikumpulkan untuk

kemudian diseleksi, dipilah-pilah berdasarkan kualitas dan relevansinya untuk

kemudian ditentukan antara data yang penting dan data yang tidak penting

untuk menjawab permasalahan. Dipilih dan di sistematisasi berdasar kualitas

kebenaran sesuai dengan materi penelitian, untuk kemudian dikaji melalui

pemikiran yang logis induktif, sehingga akan menghasilkan uraian yang

bersifat deskriptif, yaitu uraian yang menggambarkan permasalahan serta

pemecahannya secara jelas dan lengkap berdasarkan data yang diperoleh dari

penelitian. Hasil analisis tersebut diharapkan dapat menjawab permasalahan

yang diajukan.72
Data yang diperoleh, kemudian di susun secara sistematis dan

dianalisa secara Deskriptif Kualitatif sehingga diperoleh gambaran yang

nyata terkait Rekonstruksi Pemberdayaan Lembaga Kemasyarakatan Desa

untuk Mengurangi Kemiskinan di Kabupaten.


7. Interprestasi, Evaluasi, dan Teknik Pengecekan Keabsahan Data

a. Interpretasi Data

Dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif dengan

logika, deduksi yaitu berpikir dari hal yang umum menuju hal yang lebih

khusus, dengan menggunakan perangkat normatif, yaitu dengan cara

melakukan interpretasi dan konstruksi hukum atas peristiwa hukum

konkrit yang terjadi terutama hal-hal yang berkaitan dengan Rekonstruksi

72 Soerjono Soekanto, op. cit; hlm. 32.

100
Pemberdayaan Kelembagaan Masyarakat Mandiri Untuk Mengentaskan

Kemiskinan studi kasus di Kabupaten Demak.

Dari kegiatan interpretasi data sekunder yang diperoleh diharapkan

dapat menghasilkan kesimpulan yang sesuai dengan permasalahan dan

tujuan penelitian ini.

b. Evaluasi, dan Teknik Pengecekan Keabsahan Data

Evaluasi atau model analisis yang digunakan penelitian ini adalah

model interaktif, yaitu data yang terkumpul akan dianalisis melalui tiga

tahap yang meliputi reduksi data, penyajian data dan menarik kesimpulan.

Selain itu dilakukan pula proses siklus diantara tahap-tahap tersebut,

sehingga data yang dikumpulkan berhubungan satu dengan lainnya secara

sistematis.73

Reduksi data diartikan sebagai proses pemulihan, pemusatan perhatian

pada penyederhanaan, transformasi data kasar yang muncul dari catatan

tertulis di lapangan. Kegiatan reduksi data berupa menajamkan,

menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan

mengorganisasikan data. Penyajian data sebagai suatu kumpulan informasi

yang tersusun dalam kesatuan bentuk yang di sederhanakan, selektif dalam

konfigurasi yang mudah dipakai sehingga memberi kemungkinan adanya

pengambilan kesimpulan. Mengenai penarikan kesimpulan atau verifikasi

dilakukan setelah data tersaji dan terorganisir secara baik.

Untuk menetapkan keabsahan (trustworthiness) data diperlukan

tekhnik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas

73 HB Sutopo, Metode Penelitian Kualitatif, UNS Press,Surakarta, 1999, hlm. 13.

101
sejumlah kriteria tertentu. Ada empat kriteria yang digunakan, yaitu derajat

kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan

(dependability), dan kepastian (confermability).74 Setelah langkah-langkah

tersebut dilakukan, langkah selanjutnya adalah melakukan penyederhanaan

data serta diadakan perbaikan dari segi bahasa maupun sistematikanya

agar dalam pelaporan hasil penelitian tidak diragukan lagi keabsahannya.

I. Orisinalitas Penelitian
Pemahaman mengenai birokrasi secara umum selalu dimaknai sebagai

institusi resmi yang melakukan fungsi pelayanan terhadap kebutuhan

masyarakat, memang telah banyak dibicarakan di dalam berbagai diskusi atau

seminar di kalangan akademisi maupun praktisi. Dalan pengamatan penulis

melalui penelusuran bahan-bahan pustaka, belum ditemukan suatu uraian yang

secara khusus menganalisis tentang Rekonstruksi Pemberdayaan

Kelembagaan Masyarakat Desa Untuk Mengentaskan Kemiskinan Studi

Kasus Di Kabupaten Demak. Namun demikian, terdapat beberapa penelitian

yang memiliki relevansi dengan disertasi ini, sebagai bahan pertimbangan dalam

penelitian ini, akan dicantumkan penelitian terdahulu dalam bentuk Disertasi

yang telah dilakukan oleh peneliti lain.

No Peneliti Judul Penelitian Ringkasan


1 Isfahani ANALISIS Perubahan merupakan sebuah
TRANSFORMASI hal yang terus terjadi dan tidak
UNIT PENGELOLA dapat dihindari. Untuk dapat
KEGIATAN bertahan hidup, sebuah
PROGRAM organisasi harus mampu dengan
74 Lexi J Moleong, Op. Cit, hlm. 324.

102
NASIONAL cerdik mengenali dan
PEMBERDAYAAN menyesuaikan diri dengan
MASYARAKAT perubahan karena sebuah
MANDIRI perubahan dapat saja
PERDESAAN memberikan sebuah ancaman
MENJADI LEMBAGA terhadap kelangsungan
KEUANGAN MIKRO organisasi apabila tidak dikelola
dengan baik. Oleh karena itu
untuk menghadapi perubahan
yang terus terjadi maka sebuah
organisasi harus dapat
melakukan antisipasi dengan
melakukan sebuah perencanaan
atau manajemen strategis.
2 Meity ANALISIS EFISIENSI Sampai saat ini masih banyak
PROGRAM penduduk Indonesia yang
Fransisca
NASIONAL kehidupannya berada dibawah
Go Marani
PEMBERDAYAAN garis kemiskinan yang ditandai
MASYARAKAT dengan kerentanan, ketidak
(PNPM) MANDIRI mampuan, keterisolasian dan
PERDESAAN ketidak mampuan
DI KABUPATEN menyampaikan aspirasinya.
MANOKWARI Secara umum kemiskinan di
PROVINSI PAPUA Indonesia adalah karena kondisi
BARAT di mana seseorang tidak mampu
memenuhi kebutuhan hidupnya
yang layak. Kemiskinan
merupakan permasalahan
kemanusiaan yang bersifat laten
dan sekaligus dapat

103
mempengaruhi permasalahan
Kemanusiaan lainnya, seperti
keterbelakangan, kebodohan dan
lain-lain.
Menurut Badan Pusat Statistik
(BPS) Papua Barat (2014:1)
jumlah penduduk miskin
(Penduduk yang berada di bawah
Garis Kemiskinan) di Papua
Barat kondisi Maret 2013
sebesar 224.273 jiwa (26,67
persen) mengalami kenaikan
pada September 2013 menjadi
234.230 jiwa (27,14 persen).
Secara year-on-year (y-o-y) dari
kondisi September 2012 ke
September 2013, terjadi
peningkatan jumlah penduduk
miskin sebesar 10.989 jiwa atau
meningkat sekitar 0, 10 persen.

Berdasarkan disertasi di atas, disimpulkan Penulis meneliti penelitian ini belum

pernah diteliti orang lain, Peneliti memiliki keabsahan dengan meneliti

rekonstruksi pemberdayaan kelembagaan masyarakat masyarakat mandiri.

104
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kemiskinan

Kemiskinan mempunyai banyak dimensi dan perumusan definisi

kemiskinan merupakan sesuatu yang problematik pada tataran konsep maupun

praktis tentang siapa yang dapat dianggap sebagai penduduk miskin, serta

banyak hal tentang kehidupan masyarakat miskin bahwa mereka memiliki akses

pasar dan kwalitas infrastruktur yang terbatas.75

Kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang,

laki-laki dan perempuan tidak mampu memenuhi hak- hak dasarnya untuk

mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak- hak

dasar tersebut antara lain:

1.Terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan,

perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup.

2. Rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan.

3. Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik.

Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi,

tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi

seseorang atau sekelompok orang dalam menjalankan hidup bermartabat. Hak-

hak dasar tersebut tidak berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama

75 Abhijit Banerjee, L. I. (2007). Public Action for Public Goods. Centre for Economic
Policy Research, hal, 18-19.

105
lain sehingga tidak terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi pemenuhan hak

lainnya.

Kemiskinan didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah

yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau golongan

orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam

masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara

langsung tampak pengaruhnya terhadap tingkat kesehatan, kehidupan moral dan

rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin.76

Kemiskinan juga didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi

standar kebutuhan minimum, yang dikenal sebagai garis batas kemiskinan atau

garis kemiskinan yang terdiri dari dua komponen yaitu: garis kemiskinan

makanan dan non makanan. Nilai standar kebutuhan minimum makanan

mengacu pada harga dan tingkat konsumsi dari 52 jenis bahan makanan dengan

batas kecukupan makanan yang mampu menghasilkan energi 2.100 kalori/kapita

/hari, sedangkan non makanan terdiri dari 27 paket komoditi untuk perkotaan

dan 25 komoditi untuk perdesaan yang dalam hal ini mewakili pola konsumsi

penduduk kelas bawah, dengan batas kecukupan non makanan ditetapkan

sebesar nilai rupiah yang dikeluarkan oleh penduduk kelas bawah untuk

memenuhi kebutuhan pokok minimum non makanan seperti perumahan,

pakaian, kesehatan, pendidikan dan aneka barang jasa lainnya.77

76 Suparlan, Parsudi (ed). 1995. Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

77 BPS dan World Bank Institute, Dasar-dasar Analisis Kemiskinan, Badan Pusat Statistik,
Jakarta.2002.

106
Penduduk miskin atau penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan

adalah individu dengan pengeluaran lebih rendah dari garis kemiskinan. Kriteria

penduduk miskin sebagai berikut:

1)Luas lantai perkapita: 8 m,

2) Jenis lantai tempat tinggal dari tanah/bambu/kayu murahan,

3) Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/bersama-sama dengan rumah

tangga lain,

4) Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah

tangga lain,

5) Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik

6) Sumber air minum/ketersediaan air bersih: air hujan/ sumur / mata air tidak

terlindung,

7) Bahan bakar memasak sehari- hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah,

8) Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu,

9) Hanya membeli satu stel pakaian dalam setahun,

10) Hanya sangggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari,

11) Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik,

12) Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani: dengan luas lahan

500m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan

pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp 600.000 per bulan,

13) Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat

SD/hanya SD,

14) Tidak memiliki tabungan /barang yang mudah dijual dengan nilai minimal

Rp 500.000, - seperti sepeda motor kredit/non kredit, emas, ternak, kapal

107
motor atau barang modal lainnya. Jika minimal 9 variabel terpenuhi maka

dikategorikan sebagai rumah tangga miskin.

Kemiskinan adalah situasi serba kekurangan disebabkan oleh terbatasnya

modal yang dimiliki, rendahnya pengetahuan dan ketrampilan, rendahnya

produktivitas, rendahnya pendapatan, lemahnya nilai tukar hasil produksi orang

miskin dan terbatasnya kesempatan berperan serta dalam pembangunan. Jadi

kemiskinan yaitu suatu kondisi ketidakmampuan dan ketidakberdayaan

seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang layak.

Selanjutnya Sharp, et.al dalam mengidentifikasi penyebab kemiskinan

yaitu: Pertama, secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan

pola kepemilikan sumberdaya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang

timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya dalam jumlah terbatas

dan kualitasnya rendah. Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam

kualitas sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya manusia yang rendah berarti

produktivitasnya rendah yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya

kualitas sumberdaya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang

kurang beruntung, adanya diskriminasi atau karena keturunan. Ketiga,

kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal.

Ketiga penyebab kemiskinan ini bermuara pada teori lingkaran setan

kemiskinan yang dikemukan oleh Ragnar Nurkse, ekonomi pembangunan

ternama Tahun 1953 bahwa a poor country is poor because it is poor.78

Adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar dan kurangnya modal

78 Todaro, MP dan Smith, Stephen C, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Penerbit Erlangga,
Jakarta, 2003.

108
menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya produktivitas mengakibatkan

rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan berimplikasi

pada rendahnya tabungan dan investasi, dan berimplikasi pada keterbelakangan

demikian seterusnya. Adanya lingkaran kemiskinan di suatu daerah di Indonesia

merupakan fenomena penyebab sekaligus akibat sehingga apabila pemerintah

mampu melakukan kebijakan anti kemiskinan yang mencakup sumber daya

manusia, prasarana dasar, struktur perekonomian dan penerimaan di daerah,

memungkinkan adanya peluang daerah untuk keluar dari lingkaran setan

kemiskinan.79

Tingkat kemiskinan tidak dapat diukur dari tingkat pendapatan atau

bahkan dari utilitas seperti pemahaman konvensional; yang paling penting

bukanlah apa yang dimiliki seseorang ataupun kepuasan yang ditimbulkan oleh

barang- barang tersebut, melainkan apakah yang dapat dilakukan oleh seseorang

dengan barang tersebut. Jadi pada intinya untuk dapat memahami konsep

kesejahteraan secara umum dan kemiskinan secara khusus, kita harus berfikir

lebih dari sekedar ketersediaan komoditi- komoditi dan kegunaannya.

Kemiskinan juga diklasifikasikan menjadi lima kelas, yaitu:80

1)Kemiskinan Absolut, selain dilihat dari pemenuhan kebutuhan dasar minimum

yang memungkinkan seseorang hidup layak, juga ditentukan oleh tingkat

pendapatan untuk memenuhi kebutuhan. Kemiskinan absolut merupakan

79 Sumanta, Jaka. Pertumbuhan Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan di Indonesia, Jurnal


Kebijakan Ekonomi, Jakarta, 2005.

80 Gunawan Sumodiningrat, Pemberdayaan Masyarakat dan Jaringan Pengaman Sosial, Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama,1999.

109
kemiskinan yang tidak mengacu atau tidak didasarkan pada garis

kemiskinan.

2) Kemiskinan Relatif, apabila pendapatan sekelompok orang dalam

masyarakat lebih rendah dibandingkan kelompok lain tanpa memperhatikan

apakah mereka termasuk dalam kategori miskin absolut atau tidak.

Penekanannya adalah adanya ketimpangan pendapatan dalam masyarakat

antara yang kaya dan yang miskin atau dikenal dengan istilah adanya

ketimpangan distribusi pendapatan.

3) Kemiskinan Struktural, mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat

yang disebabkan oleh faktor budaya yang tidak mau berusaha untuk

memperbaiki tingkat kehidupan meskipun ada usaha dari pihak luar untuk

membantunya.

4) Kemiskinan Kronis, dibedakan tiga berdasarkan penyebabnya yaitu:

a. Kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup

masyarakat yang tidak produktif.

b. Keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian (daerah- daerah yang kritis

akan sumberdaya alam dan daerah terpencil)

c. Rendahnya derajat pendidikan dan perawatan kesehatan, terbatasnya

lapangan kerja dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti

ekonomi pasar.

5) Kemiskinan Sementara, terjadi akibat adanya: perubahan siklus ekonomi

dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, perubahan yang bersifat

musiman, dan bencana alam atau dampak dari suatu yang menyebabkan

menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.

110
Masyarakat miskin tidak memiliki surplus pendapatan untuk bisa ditabung

bagi pembentukan modal dan pendapatan yang diperoleh hanya cukup untuk

memenuhi kebutuhan konsumsi pokok sehari-hari. Disamping itu faktor lain

yang menyebabkan berbagai program pengentasan kemiskinan menjadi kurang

efektif tampaknya adalah berkaitan dengan kurangnya dibangun ruang gerak

yang memadai bagi masyarakat miskin itu sendiri untuk memberdayakan

dirinya.81

Dari beberapa pengertian kemiskinan diatas, disimpulkan bahwa

kemiskinan adalah suatu kondisi kekurangan/ketidakmampuan memenuhi

kebutuhan yang mendasar dan tidak hanya berkaitan dengan kebutuhan material

semata.

Berbagai pendekatan / konsep digunakan sebagai bahan perhitungan dan

penentuan batas- batas kemiskinan adalah sebagai berikut:

1. United Nation Development Program (UNDP, 2000) meninjau kemiskinan

dari dua sisi yaitu dari sisi pendapatan dan kualitas manusia. Dilihat dari

sisi pendapatan, kemiskinan ekstrim (extreme poverty) atau kemiskinan

absolut adalah kekurangan pendapatan untuk keperluan pemenuhan

kebutuhan dasar atau kebutuhan minimal kalori yang diperlukan. Dari sisi

kualitas manusia, kemiskinan secara umum (overall poverty), atau sering

disebut sebagai kemiskinan relatif adalah kekurangan pendapatan untuk

memenuhi kebutuhan non pangan seperti pakaian, energi, dan tempat

bernaung.

81 Bagong, Suyanto, dan Sutinah. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Kencana,2007.

111
2. Bank Dunia menetapkan batas kemiskinan pada tahun 1992 melalui

ukuran dollar yaitu sebesar $ 98 atau senilai Rp. 203.000,- dan tahun 2000

diubah menjadi $ 470. Karenanya bila seorang individu hanya mampu

memenuhi kebutuhan hidupnya kurang dari satu dollar per hari dapat

dikatakan sebagai dibawah garis kemiskinan dan dengan menggunakan

dollar sebagai mata uang kunci akan dapat diketahui jumlah masyarakat

miskin atau keadaan ekonomi suatu negara.


B. PNPM Mandiri Perdesaan
1. Kelembagaan dalam PNPM Mandiri Perdesaan

Kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan dilaksanakan melalui suatu

lembaga di Desa yang dibentuk melalui musyawarah Desa yang dilakukan

pada tahap awal pelaksanaan. Kelembagaan tersebut adalah sebagai berikut:82

a) Tim Pengelola Kegiatan (TPK)


TPK terdiri dari anggota masyarakat yang dipilih melalui musyawarah
desa sosialisasi yang mempunyai fungsi dan peran untuk
mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan di Desa dan mengelola
administrasi, serta keuangan PNPM Mandiri Perdesaan. TPK sekurang-
kurangnya terdiri dari Ketua, Bendahara, dan Sekretaris. Pada saat
Musyawarah Desa Informasi hasil musyawarah antar Desa (MAD)
keanggotaan TPK dilengkapi dengan Ketua Bidang yang menangani
suatu jenis kegiatan yang akan dilaksanakan.
b) Tim Penulis Usulan (TPU)
TPU berasal dari anggota masyarakat yang dipilih melalui musyawarah
Desa. Peran Tim Penulis Usulan adalah menyiapkan dan menyusun
gagasan-gagasan kegiatan yang telah ditetapkan dalam musyawarah
Desa dan musyawarah khusus perempuan, serta dokumen-dokumen
yang diperlukan untuk musrenbang reguler, termasuk RPJMDes dan
RKPDes. Anggota TPU dipilih oleh masyarakat berdasarkan keahlian
82 Ibid, 2007.

112
dan ketrampilan yang sesuai dengan jenis kegiatan yang diajukan
masyarakat. Dalam menjalankan tugasnya, TPU bekerja sama dengan
kader-kader Desa yang ada.
c) Tim Pemantau
Tim Pemantau menjalankan fungsi pemantauan terhadap pelaksanaan
kegiatan yang ada di Desa. Keanggotaannya berasal dari anggota
masyarakat yang dipilih melalui musyawarah Desa. Jumlah anggota tim
pemantau sesuai dengan kebutuhan dan kesepakatan saat musyawarah.
Hasil pemantauan kegiatan disampaikan saat musyawarah Desa dan
antar Desa (jika diperlukan).
d) Tim Pemelihara
Tim Pemelihara berperan menjalankan fungsi pemeliharaan terhadap
hasil-hasil kegiatan yang ada di Desa, termasuk perencanaan kegiatan
dan pelaporan. Keanggotaannya berasal dari anggota masyarakat yang
dipilih melalui musyawarah Desa perencanaan. Jumlah anggota tim
pemelihara sesuai dengan kebutuhan dan kesepakatan saat musyawarah.
Hasil laporan pemeliharaan disampaikan saat musyawarah Desa dan
antar Desa (jika diperlukan). Dalam menjalankan fungsinya, tim
pemelihara didukung dengan dana yang telah dikumpulkan atau yang
berasal dari swadaya masyarakat setempat.
e) Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa/Kelurahan (KPMD/K)
KPMD/K adalah warga Desa terpilih yang memfasilitasi atau memandu
masyarakat dalam mengikuti atau melaksanakan tahapan PNPM
Mandiri Perdesaan di Desa dan kelompok masyarakat pada tahap
perencanaan, pelaksanaan, maupun pemeliharaan.
Sebagai kader masyarakat yang peran dan tugasnya membantu
pengelolaan pembangunan di Desa, diharapkan tidak terikat oleh waktu.
Jumlah Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa/Kelurahan disesuaikan
dengan kebutuhan Desa dengan mempertimbangkan keterlibatan atau
peran serta kaum perempuan, kemampuan teknik, serta kualifikasi
pendampingan kelompok ekonomi dan sebagainya. Namun jumlahnya
sekurang-kurangnya dua orang, satu laki-laki dan satu perempuan.

113
Kualifikasi kemampuan teknik berguna untuk memfasilitasi dan
membantu TPU membuat penulisan usulan dan membantu pelaksanaan
kegiatan prasarana infrastruktur yang diusulkan masyarakat. Kualifikasi
keterlibatan kader dari perempuan adalah perwujudan kebijakan untuk
lebih berpihak, memberi peran dan akses dalam kegiatan pembangunan
untuk kaum perempuan, terutama meningkatkan mutu fasilitasi
musyawarah khusus perempuan. Kualifikasi kemampuan pemberdayaan
masyarakat terutama untuk memfasilitasi dan membantu FK dalam
tahapan kegiatan dan pendampingan kelompok masyarakat.
f) Kelompok Masyarakat (Pokmas)
Yang dimaksudkan dengan Pokmas adalah kelompok masyarakat yang
terlibat dan mendukung kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan, baik
kelompok sosial, kelompok ekonomi maupun kelompok perempuan.
Termasuk sebagai kelompok masyarakat misalnya kelompok arisan,
pengajian, kelompok ibu-ibu PKK, kelompok SPP, kelompok UEP,
kelompok pengelola air, dan kelompok pengelola pasar Desa.

BKAD adalah organisasi kerja yang mempunyai lingkup wilayah antar

Desa, berperan sebagai lembaga dalam mengelola perencanaan pembangunan

partisipatif, mengembangkan bentuk-bentuk kegiatan kerja sama antar Desa,

menumbuhkan usaha-usaha pengelolaan aset produktif, serta mengembangkan

kemampuan pengelolaan program-program pengembangan masyarakat.

BKAD dibentuk berdasarkan UU: 32/2004, pada awalnya untuk

memenuhi kebutuhan bagi perlindungan dan pelestarian hasil-hasil PPK, sesuai

dengan Surat Edaran Mendagri pada Agustus 2006.

Sesuai PP: 8 Tahun 2016, bidang-bidang yang dapat dikerjasamakan

adalah peningkatan perekonomian masyarakat Desa, peningkatan pelayanan

kesehatan, pendidikan, pemanfaatan sumberdaya alam dan kelestarian

114
lingkungan, serta sosial budaya. Bidang-bidang ini selaras dengan kegiatan

yang selama ini telah dilakukan melalui PPK/PNPM Mandiri Perdesaan.

Penjabaran tugas pokok dan fungsi BKAD di atas dilakukan

berdasarkan hasil-hasil pengalaman PPK/PNPM Mandiri Perdesaan. Hasil-

hasil pengalaman PPK/PNPM Mandiri Perdesaan tidak hanya aset produktif

yang dikelola UPK, akan tetapi meliputi sistem perencanaan, kegiatan antar

Desa, pengembangan aset produktif, serta kemampuan mengelola program

masyarakat.

BKAD juga mempunyai potensi untuk menjadi organisasi kerja yang

mengkoordinasikan fungsi kelembagaan masyarakat ditingkat komunitas.

Konsep pengakaran lembaga yang sudah menjadi komitemen dalam Pedum

PNPM, harus dapat diwujudkan dalam pengembangan lembaga

kemasyarakatan yang memadukan pola hubungan fungsional dan bertumpu

pada akar lembaga komunitas. Lembaga komunitas sebagai basis kekuatan

BKAD ke depan dapat terdiri dari RT/RW/dusun/jurong, nagari dsb. Dalam

kaitan inilah maka BKAD dapat berfungsi untuk menggerakkan kembali

semangat revitalisasi lembaga lokal/adat. Pendekatan pemberdayaan dalam

CDD pada tahapan sekarang sudah mulai memadukan penguatan modal sosial

dan menumbuhkan solidaritas sosial. Penguatan modal sosial dan solidaritas

sosial akan menggerakkan peningkatan kegiatan kerja sama, akses dan jaringan

sosial, menggerakkan fungsi produksi dan reproduksi sosial dan sebaginya.

Pada konteks inilah maka menumbuhkan kembali semangat budaya lokal

menjadi tugas strategis BKAD.

115
Dalam menjalankan tugas pengelolaan perencanaan pembangunan

partisipatif, BKAD juga memerankan diri sebagai komponen penting unsur

masyarakat yang terlibat dalam pembahasan perencanaan di forum SKPD.

Beberapa fungsi yang dijalankan oleh lembaga seperti Tim Penulis

Usulkan, Tim Pengelola Kegiatan,Tim Monitoring, Tim Pemelihara, adalah

fungsi-fungsi yang berjalan dengan relatif baik selama ada program. Pemikiran

untuk menjaga keberlanjutan fungsi didasarkan pada dua peluang. Peluang

pertama dari aspek keberlanjutan kelembagaan dan peluang kedua berasal dari

potensi kerja sama program. Keberlanjutan kelembagaan dipengaruhi di

antaranya oleh ketersediaan perangkat peraturan yang relevan. PP: 8/2016

mengamanatkan tentang penetapan dan pembentukan lembaga

kemasyarakatan. Lembaga kemasyarakatan mewakili ciri utama untuk

mengidentifikasi lembaga lokal yang pada umumnya dibentuk melalui proses

mobilisasi. Fungsi-fungsi yang termasuk dalam lingkup lembaga

kemasyarakatan beberapa di antaranya adalah fungsi yang melekat pada

lembaga bentukan program.

Dalam pengertian inilah maka fungsi-fungsi TPU, TPK, TM, TP, akan

dikuatkan secara kelembagaan baik secara fungsi maupun legitimasi dalam

kerangka lembaga kemasyarakatan Desa. Secara fungsi keberadaan lembaga-

lembaga ini dapat tetap bersifat sementara, justru untuk mengoptimalkan peran

dan fungsi sesuai kebutuhan, tetapi secara legitimasi melekat ke dalam

lembaga permanen yang ada.


Kegiatan PNPM Mandirin Perdesaan dilaksanakan melalui suatu

lembaga kepemimpinan masyarakat yang mengakar, representatif dan

116
dipercaya disebut Lembaga Keswadayaan Masyarakat (secara generik disebut

Badan Keswadayaan Masyarakat atau di singkat BKM), yang dibentuk melalui

kesadaran kritis masyarakat untuk mengali kembali nilai-nilai luhur

kemanusian dan nilai-nilai kemasyarakatan sebagai pondasi modal sosial

(social capital) kehidupan masyarakat. Badan Keswadayaan Masyarakat

(BKM) diharapkan mampu menjadi wadah perjuangan kaum miskin dalam

menyuarakan aspirasi dan kebutuhan mereka, sekaligus menjadi motor bagi

upaya penanggulangan kemiskinan yang dijalankan oleh masyarakat secara

mandiri dan berkelanjutan, mulai dari proses penentuan kebutuhan,

pengambilan keputusan, proses penyusunan program, pelaksanaan program

hingga pemanfaatan dan pemeliharaan. BKM bersama masyarakat bertugas

menyusun Perencanaan Jangka Menengah Program Penanggulangan

Kemiskinan (yang kemudian lebih dikenal sebagai PJM Pronangkis) secara

partisipatif, sebagai prakarsa masyarakat untuk menanggulangi kemiskinan

diwilayah secara mandiri. Atas fasilitas pemerintah dan prakarsa masyarakat,

BKM-BKM ini mulai menjalin kemitraan dengan berbagai instansi pemerintah

dan kelompok peduli setempat. BKM memiliki unit pelaksana di bawahnya,

yaitu Unit Pelaksana Sosial, Unit Pelaksana Lingkungan dan Unit Pelaksana

Keuangan. Unit-unit pelaksana ini berada di bawah BKM dan bertanggung

jawab kepada BKM. BKM juga bertanggung jawab untuk menjamin

keterlibatan semua lapisan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan

yang kondusif untuk pengembangan keswadayaan masyarakat dalam

penanggulangan kemiskinan khususnya dan pembangunan masyarakat

kelurahan pada umumnya.

117
Lembaga-lembaga partisipatif lainnya yaitu Kelompok Swadaya

Masyarakat (KSM), yang dibentuk di tingkat komunitas atau masyarakat untuk

melakukan agenda kegiatan secara langsung. KSM ini dapat dibentuk oleh

siapa saja atau kelompok masyarakat apabila diperlukan untuk melaksanakan

suatu kegiatan tertentu yang dianggap perlu bagi pembangunan dalam

komunitas tersebut. KSM ini diorganisasikan oleh tim relawan dan dibantu

oleh tim fasilitator terdiri dari warga kelurahan yang memiliki ikatan

kebersamaan (common bond) dan berjuang untuk mencapai tujuan bersama.

KSM ini bukan hanya sekedar pemanfaat pasif melainkan sekaligus sebagai

pelaksana kegiatan terkait dengan penangulangan kemiskinan yang diusulkan

untuk didanai oleh LKM melalui berbagai dana yang mampu digalang.
2. Jenis Bantuan di Tingkat Masyarakat
Bantuan untuk masyarakat dalam kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan

diwujudkan dalam bentuk bantuan pendamping dan bantuan dana.


a).Bantuan pendamping
Bantuan pendamping ini diwujudkan dalam bentuk penugasan

konsultan dan fasilitator beserta dukungan dana operasional untuk

mendampingi dan memperdayakan masyarakat agar mampu

merencanakan dan melaksanakan program masyarakat untuk

menaggulangi kemiskinan di kelurahan masing-masing.


b). Bantuan Dana
Bantuan dana diberikan dalam bentuk dana BLM (dana

bantuan langsung masyarakat). BLM ini bersifat stimulan dan sengaja

disediakan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk

berlatih dengan mencoba melaksanakan sebagian rencana kegiatan

penanggulangan kemiskinan. Dana bantuan Langsung masyarakat dapat

118
digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam komponen

kegiatan keuangan.

Dana bantuan langsung masyarakat dapat digunakan untuk kegiatan-

kegiatan yang termasuk dalam komponen-komponen kegiatan lingkungan,

komponen kegiatan sosial, dan komponen kegiatan keuangan.

3. Kegiatan-Kegiatan Dalam Siklus PNPM Mandiri Perdesaan

Alur kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan meliputi tahap perencanaan,

pelaksanaan dan pelestarian kegiatan. Sebelum memulai tahap perencanaan,

hal penting yang harus dilakukan adalah melakukan orientasi atau pengenalan

kondisi yang ada di Desa dan kecamatan. Kegiatan yang dilakukan dalam

rangka pengenalan Desa diantaranya adalah:

1. Mengidentifikasi potensi dan sumber daya yang dapat mendukung

pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan di tingkat Desa, termasuk

pelaku PNPM Mandiri Perdesaan pada tahap sebelumnya;

2. Kondisi kegiatan atau bangunan yang telah dibiayai melalui PNPM

Mandiri Perdesaan tahap sebelumnya;

3. Inventarisasi dokumen rencana pembangunan desa (tahunan atau jangka

menengah);

4. Inventarisasi data kependudukan, program selain PNPM Mandiri

Perdesaan yang akan masuk ke Desa, dll.

Dalam masa pengenalan kondisi Desa sekaligus juga dilakukan

sosialisasi PNPM Mandiri Perdesaan secara informal kepada masyarakat. Pada

tahap ini harus dapat dimanfaatkan oleh seluruh pelaku PNPM Mandiri

Perdesaan di semua tingkatan sebagai upaya untuk mendorong

119
Partisipasi dan pengawasan dari semua pihak, sehingga semua pelaku

PNPM Mandiri Perdesaan memiliki pemahaman atau persepsi yang sama

terhadap program. Pada dasarnya sosialisasi dapat dilakukan pada setiap saat

atau kesempatan oleh pelaku-pelaku PNPM Mandiri Perdesaan.

Sistem kelembagaan lokal dan pertemuan informal masyarakat seperti:

pertemuan keagamaan; (pengajian, yasinan, persekutuan gereja, dll),

pertemuan adat istiadat; (gotong royong, arisan, upacara adat dan lain-lain)

merupakan alternatif untuk menyebarluasan informasi PNPM Mandiri

Perdesaan dan media penerapan prinsip transparansi. Media cetak, seperti

koran dan tabloid, serta media elektronika, seperti radio dan TV, dapat

digunakan untuk menyebarluaskan informasi PNPM Mandiri Perdesaan.

Subtansi dasar proses pemberdayaan masyarakat dititik beratkan pada

memulihkan dan melembagakan kembali kapital sosial yang dimiliki

masyarakat, yakni dengan mendorong masyarakat agar mampu meningkatkan

kepedulian dan kesatuan serta solidaritas sosial untuk bahu-membahu dan

bersatu padu menanggulangi masalah kemiskinan di wilayah secara mandiri

dan berkelanjutan, dengan bertumpu pada nilai universal kemanusiaan,

kemasyarakatan dan pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, siklus

pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan adalah siklus kegiatan yang

dilaksanakan sepenuhnya oleh masyarakat di Desa/Kelurahan setempat. Peran

pendamping pembelajaran agar inisiatif, prakarsa, komitmen, kepedulian,

motivasi, keputusan dan ikhtiar dari masyarakat berbasis pada nilai-nilai luhur

dan kebutuhan masyarakat. Pada tahapan awal pelaksanaan program di lokasi

baru, para pendamping (fasilitator, konsultan dll) berkewajiban melakukan

120
proses pembelajaran masyarakat agar mereka mampu melakukan tahapan

kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan di wilayahnya atas dasar kesadaran kritis

terhadap subtansi mengapa dan untuk apa suatu kegiatan itu harus dilakukan.

Pada tahapan berikutnya, siklus pelaksanaan kegiatan dilaksanakan sepenuhnya

dan dilembagakan oleh masyarakat sendiri secara berkala dengan difasilitasi

pendamping yang dititikberatkan pada menjaga koridor-koridor kesesuaian

dengan nilai luhur, transparansi dan akuntabilitas.


Inti kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan di masyarakat Kelurahan/Desa

adalah proses menumbuh kembangkan kemandirian dan keberlanjutan upaya-

upaya penanggulangan kemiskinan dari, oleh dan untuk masyarakat, melalui

proses pembelajaran dan pelembagaan nilai-nilai universal kemanusiaan (goog

governance), serta prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable

development). Tahapan pelaksanaan kegiatan ini mencakup serangkaian

kegiatan yang terdiri dari siklus rembug kesiapan masyarakat dan kerelawanan,

refleksi kemiskinan, pemetaan swadaya berorientasi IPM, pembentukan BKM,

perencanaan partisipatif menyusun PJM Pronangkis dan pelaksanaan program

penanggulangan kemiskinan oleh masyarakat dengan stimulan BLM oleh

KSM. Semua tahapan siklus tersebut semestinya bukan hanya terjadi ketika

ada fasilitator PNPM Mandiri Perdesaan, akan tetapi menjadi siklus yang terus

berulang setiap tahun sebagai daur program penanggulangan kemiskinan di

Kelurahan/Desa sehingga kemiskinan akan berkelanjutan.


Dalam konteks daur program dapat dilihat bahwa Refleksi Kemiskinan

dan Pemetaan Swadaya merupakan Tahapan identifikasi masalah.

Pembangunan BKM/LKM, Pembangunan KSM dan PJM pronangkis

merupakan tahapan Perencanaan (Rencana pemecahan masalah). Kegiatan

121
pelaksanaan dan rangkaian kegiatan pembangunan kapasitas yang kedua adalah

pelaksanaan siklus pemberdayaan yang dimulai dari refleksi kemiskinan,

pemetaan swadaya, pembangunan BKM, penyusunan PJM Pronangkis, sinergi

dengan perencanaan pembangunan daerah, pelaksanaan dan pemantauan, dan

review partisipatif. Jenis kegiatan pengembangan kapasitas yang ketiga adalah

kegiatan-kegiatan pelatihan atau coaching baik untuk Lurah/Kepala Desa,

anggota BKM, pengurus UP, anggota KSM, relawan, maupun masyarakat

tingkat basis. Kegiatan pelatihan yang dilaksanakan diantaranya pelatihan

manajemen organisasi, pelatihan pengelolaan pembangunan lingkungan,

pelatihan pengelolaan keuangan, pelatihan sosial, dan pelatihan

penanggulangan bencana dan palatihan ketrampilan.


4. Kegiatan Pembangunan Kapasitas

Dalam rangka peningkatan kapasitas masyarakat, lembaga dan

pemerintahan lokal menuju kemandirian, maka:

1. Di setiap Desa dipilih, ditetapkan, dan dikembangkan: Kader

Pemberdayaan Masyarakat Desa/Kelurahan (KPM D/K dengan

kualifikasi teknik dan pemberdayaan),Tim Penulis Usulan (TPU), Tim

Pengelola Kegiatan (TPK), Tim Pemantau, dan Tim Pemelihara.

2. Di kecamatan dibentuk dan dikembangkan: Badan Kerja sama Antar

Desa (BKAD), Tim Verifikasi, UPK, Badan Pengawas UPK (BP-UPK)

dan Pendamping Lokal (PL).

3. Diadakan pelatihan kepada pemerintahan Desa meliputi pemerintah

Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau bentuk kegiatan

lain yang dapat menunjang pelaksanaan fungsi dan tugasnya. Pelatihan

122
yang akan diadakan di antaranya meliputi: penyusunan peraturan Desa,

pengawasan terhadap pelaksanaan, pemerintahan, dan pembangunan,

pengelolaan penanganan masalah dan perencanaan kegiatan

pembangunan yang partisipatif.

4. Dilakukan kategorisasi tingkat perkembangan kelembagaan hasil PPK

di Desa dan kecamatan. Kategorisasi meliputi tahapan pembentukan

dan tahapan pengakaran. Tahapan pembentukan untuk mengetahui

hubungan antara dinamika kolektifitas dan strategi pendampingan.

Tahapan pengakaran untuk mengetahui dinamika kolektifitas dan

statuta.

5. Dilakukan penataan dan pengembangan Kelembagaan Desa serta Antar

Desa.

Organisasi kerja yang dibangun melalui PPK, pada awalnya adalah

lembaga-lembaga di Desa dan antar Desa yang dibentuk untuk kebutuhan

fungsional program. Dalam PNPM Mandiri Perdesaan, organisasi kerja

tersebut diharapkan mampu mengelola secara mandiri atas hasil-hasil program,

baik yang telah dikerjakan melalui PPK maupun yang akan dikerjakan melalui

PNPM Mandiri Perdesaan. Untuk mencapai kemampuan ini perlu dilakukan

kebijakan penataan kelembagaan. Kebijakan penataan menyesuaikan

perkembangan yang terjadi di lapangan dan kebijakan serta peraturan

perundangan yang ada.

Penataan sebagaimana di atas memadukan aspek statuta dan payung

hukum. Statuta menuntaskan status hak milik, keterwakilan dalam delegasi,

serta batas kewenangan. Penguatan kelembagaan kelompok masyarakat

123
(Pokmas) yang dilaksanakan dengan strategi pendampingan yang bersifat

partisipatif, kolektif, dan representatif.

Kegiatan pengembangan kapasitas dalam PNPM Mandiri Perdesaan

terdiri dari tiga rangkaian kegiatan yaitu sosialisasi, pelaksanaan siklus dan

kegiatan pelatihan. Kegiatan sosialisasi meliputi serangkaian loby-loby,

silaturahmi sosial, dan sosialisasi awal program baik kepada perangkat

desa/kelurahan, kelompok strategis di Desa/Kelurahan maupun kepada

masyarakat tingkat basis. Kegiatan sosialisasi selanjutnya adalah sosialisasi

intensif subtansi PNPM Mandiri Perdesaan kepada para relawan, kelompok

perempuan dan kelompok rentan.


5. Organisasi Pelaku PNPM Mandiri Perdesaan di Tingkat Masyarakat
Organisasi penyelengaraan yang diuraikan penulis, adalah khusus

organisasi Rekonstruksi PNPM Mandiri Perdesaan yang berada di tingkat Desa

atau Kelurahan saja dan secara struktur organisasi berada di bawah kendali Tim

Pengendali PNPM Mandiri Nasional.


(1). Lurah atau Kepala Desa
Secara umum peran utama Kepala Kelurahan/Lurah dan Kepala

Desa adalah memberikan dukungan dan jaminan agar pelaksanaan

PNPM Mandiri Perdesaan di wilayah kerjanya dapat berjalan dengan

lancar sesuai dengan aturan yang berlaku sehingga tujuan melalui PNPM

Mandiri Perdesaan dapat tercapai dengan baik. Untuk itu Lurah/Kepala

Desa dapat mengarahkan perangkat Kelurahan atau Desa sesuai dengan

fungsi masing-masing.
(2). Relawan Masyarakat
Kehadiran relawan masyarakat ini sangat dibutuhkan sebagai

konsekwensi logis dari penerapan pembangunan yang berbasis pada

masyarakat dan penerapan konsep membangun dari dalam

124
(Developmen from within) yang membutuhkan pelopor-pelopor pengerak

dari masyarakat sendiri yang mengabdi tanpa pamrih, ikhlas, peduli, dan

memiliki komitmen kuat pada kemajuan masyarakat diwilayahnya. Di

sisi yang lain proses membangun dari dalam tidak akan terlaksana

apabila pelopor-pelopor yang mengerakkan masyarakat tersebut

merupakan individu atau sekumpulan individu yang hanya memiliki

pamrih pribadi dan hanya mementingkan urusan ataupun kepentingan

pribadi serta golongan atu kelompoknya. Dengan kata lain, perubahan

prilaku masyarakat akan sangat ditentukan oleh relawan-relawan yang

memiliki moral yang baik dan mampu menjadi contoh perubahan itu

sendiri sehingga pemilihan relawan tidak boleh semata-mata didasarkan

pada pengalaman, pendidikan, status sosial, dll tetapi lebih pada

kandunagan moral yang dimiliki. Salah satu peran utama relawan adalah

sebagai pengerak masyarakat dalam menjalani seluruh proses PNPM

Mandiri Perdesaan yang memang direncanakan sebagai upaya

pemberdayaan masyarakat atau peningkatan kapasitas, sehingga secara

rinci relawan diharapkan menjadi pelopor dalam siklus program; refleksi

kemiskinan, pemetaan swadaya, pembentukan BKM, pengorganisasian

KSM, perencanaan partisipatif, dan sebagainya.


(3). LKM (Lembaga Keswadayaan Masyarakat)
LKM ini bertanggungjawab menjamin keterlibatan semua lapisan

masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang kondusif untuk

pembangunan keswadayaan masyarakat dalam penangulangan

kemiskinan khususnya dan pembangunan masyarakat kelurahan pada

umumnya. Peran utama LKM adalah:

125
(a). Mengorganisasikan warga secara partisipatif untuk merumuskan

rencana jangka menengah (3 tahun) penanggulangan kemiskinan

(PJM Pronangkis);
(b). Sebagai dewan pengambilan keputusan untuk hal-hal yang

menyangkut pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan;


(c). Mempromosikan dan menegakkan nilai-nilai luhur (jujur, adil,

transparansi, demokratis, dsb) dalam setiap keputusan yang

diambil dan kegiatan pembangunan yang dilaksanakan;


(d). Menumbuhkan berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat miskin

agar mampu meningkatkan kesejahteraan mereka;


(e). Mengembangkan jaringan LKM di tingkat kecamatan,

kota/kabupaten sebagai mitra kerja Pemerintah Daerah dan

wahana untuk menyuarakan aspirasi masyarakat warga yang

diwakilinya;
(f). Menetapkan kebijakan dan mengawasi proses pemanfaatan dana

Bantuan Langsung Masyarakat (BLM), yang sehari-hari di kelola

oleh UPK.
(4). KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat)
KSM ini diorganisasikan oleh tim relawan dan dibantu oleh tim

fasilitator terdiri dari warga kelurahan yang memiliki ikatan kebersamaan

(common bond) dan berjuang untuk mencapai tujuan bersama. KSM ini

bukan hanya sekedar pemanfaat pasif melainkan sekaligus sebagai

pelaksana kegiatan terkait dengan penangulangan kemiskinan yang di

usulkan untuk di danai oleh LKM melalui berbagai dana yang mampu

digalang. Tugas pokok KSM adalah:


(a). Menyusun Usulan kegiatan pembangunan terkait dengan

penangulangan kemiskinan;

126
(b). Mengelola dana yang di perolehnya untuk mendanai kegiatan

pembangunan yang di usulkan;


(c). Mencatat dan membuat laporan kegiatan dan keuangan kegiatan

pembangunan yang diusulkan;


(d). Menerapkan nilai-nilai luhur dalam pelaksanaan pembangunan

yang di tekuninya (transparansi, demokrasi, membangun dengan

mutu, dsb);
(e). Secara aktif menjadi bagian dari kendali social (kontrol social)

pelaksanaan penangulangan kemiskinan di wilayah.

Berdasarkan uraian di atas mengenai PNPM Mandiri Perdesaan

tetap bekerja otonomi sebagai sebuah program nasional dalam

penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan secara legal. Namun

demikian, dalam kerangka kerja pengintegrasian terjadi hubungan timbal

balik yang saling menguntungkan. Pengintegrasian ini membawa good

practices perencanaan partisipatif dalam Rekonstruksi PNPM Mandiri

Perdesaan sebagai upaya memperkuat perencanaan partisipatif yang

bersifat reguler. Sekaligus, good practices perencanaan partisipatif dalam

PNPM MPd mendapat kekuatan legal untuk diterapkan ke dalam

pelbagai program/proyek pembangunan desa dikarenakan masuk dalam

sistem Musrenbangdes. Titik temu antara perencanaan partisipatif yang

bersifat reguler dengan PNPM MPd harus bersifat saling menguatkan.

Oleh sebab itu, melalui proses pengintegrasian program ini terbuka

kemungkinan terjadi penataan ulang prosedur kerja perencanaan

partisipatif di dalam sistem pembangunan reguler maupun PNPM MPd,

yang mempertemukan Perencanaan Pembangunan Partisipatif reguler

127
dengan perencanaan partisipatif dalam PNPM MPd adalah penyusunan

Rencana Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) dan penyusunan Rencana

Kerja Pembangunan Desa (RKP Desa). PNPM Mandiri Perdesaan

memiliki pengalaman nyata dalam menerapkan rencana jangka

menengah Desa melalui dari tahapan penggalian gagasan, serta

pengembangan Musyawarah Desa (Musdes) dan Musyawarah Antar

Desa (MAD) sebagai perumusan perencanaan pembangunan tahunan.

Pengalaman PNPM MPd ini dibawa masuk ke dalam sistem perencanaan

pembangunan Desa yang reguler untuk meningkatkan kualitas RPJM

Desa dan RKP Desa.

C. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD)


Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) adalah Lembaga

Kemasyarakatan yang tumbuh dari, oleh, dan untuk masyarakat, merupakan

wahana partisipasi dan aspirasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan

pengendalian pembangunan yang bertumpu pada masyarakat. Suatu perencanaan

yang baik dalam pembangunan desa maka diperlukannya kemitraan.


Lembaga dan organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok sosial yang

mengendalikan alokasi wewenang dan sumber sumber daya yang

diperlukan oleh lembaga tersebut untuk berfungsi. Dalam kaitannya

memungkinkan menyediakan wewenang untuk bekerja dan mencapai sumber-

sumber daya yang essensial. Kaitan-kaitan yang memungkinkan juga dapat

digunakan untuk melindungi organisasi tersebut terhadap serangan dan untuk

menjamin pencapaiannya ke sumber-sumber daya selama masa yang

kritis sementara ia membangun kemampuan-kemampuannya, tetapi belum

128
cukup kuat untuk menghadapi lingkungan eksternnya atas dasar keinginannya

sendiri.
Dengan sendirinya pemimpin-pemimpin lembaga yang bijaksana akan

mengusahakan kaitan-kaitan yang memungkinkan mereka ini, tetapi tidak

sampai titik di mana mereka merusak atau tidak berhasil membangun

sumber-sumber dukungan dengan dasar yang lebih luas. Kaitan yang

memungkinkan berkisar tentang masalah-masalah (a) apakah lembaga tersebut

akan didirikan atau dipertahankan setelah didirikan dan (b) jenis-jenis sumber

daya apa, kapan dan bagaimana akan diterima secara sah dan dari siapa.

Karenanya, kaitan-kaitan yang memungkinkan ini menghubungkan lembaga ke

badan-badan atau orang-orang yang membawahinya. Karenanya, jenis lembaga-

Iembaga ini pada dirinya sendiri adalah titik pusat analisis bila kita ingin

mengerti suatu lembaga yang menghubunginya dalam arti yang

memungkinkan ini, Hal ini demikian adanya karena lembaga bertanggungjawab

kepada mereka.
Penarikan kembali dukungan tidak hanya akan menyulitkan atau malah

mungkin tidak dapat sama sekali pencapaian dari tujuan-tujuan lembaga, tetapi

juga mengancam identitas dari lembaga tersebut. Lembaga Pemberdayaan

Masyarakat Desa (LPMD) mempunyai Kedudukan Tugas Dan Fungsinya dalam

Menjalankan Pemerintahaan Desa. Pada dasarnya keberadaan LPMD merupakan

unsur penunjang dan penyelenggaraan pemerintahan Desa untuk pembangunan

Desa, yaitu menggerakkan masyarakat agar berpartisipasi aktif dalam

pemerintahan Desa dan pembangunan Desa. Karena tanpa partisipasi

masyarakat, pemerintahan Desa tidak bisa berjalan dan pembangunan Desa tidak

ada artinya bila masyarakat tidak dapat merasakan manfaat pembangunan Desa,

129
sehingga masyarakat harus dilibatkan yaitu dengan pola pemberdayaan

masyarakat yang memposisikan masyarakat sebagai pelaku dan sebagai sasaran

pembangunan Desa. Adapun tugas pokok LPMD, menyusun rencana

pembangunan yang partisipatif, menggerakan swadaya dan gotong royong

masyarakat untuk melaksanakan dan mengendalikan pembangunan Desa.

Sedangakan fungsinya menanamkan dan memupuk rasa pemersatu dan kesatuan

masyarakat Desa, mengkoordinasikan perencanaan pembangunan,

mengkoordinasikan rencana LPMD, merencanakan kegiatan pembangunan

secara partisipatif dan terpadu, penggalian dan pemanfaatan sumber daya alam

untuk pembangunan Desa.


Kedudukan tugas pokok dan fungsi dan peranan LPMD dari segi peran

LPMD partisipasi dan ide gagasan lebih didominnasi juga oleh Kepala Desa dan

para elit Desa tertentu yang sebenarnya harus lebih memberikan ruang

partisipasi masyarakat Desa. Oleh karena itu pola piker atau paradigma dalam

kelembagaan Desa dan perangkat Desa perlu penguatan dalam rangka

menyiapkan implementasi UU Desa yang menggunakan paradigma dan

pendekatan pemberdayaan masyarakat Desa.


Kalau dilihat dari unsur gender (keterwakilan perempuan) dalam BPD

maupun LPMD, belum ada perwakilan perempuan yang duduk dalam

keanggotaan, namun diharapkan dari setiap kegiatan sudah ada responsive

gender. Sehingga aspirasi kebutuhan perempuan dalam pembangunan Desa bisa

terwujud dan tidak menutup kegiatan perempuan justru mendorong kegiatan

yang ditangani oleh perempuan misal bina keluarga, PKK, kesehatan ibu dan

anak, pendidikan anak usia dini dan lainnya. Dari sisi semangat Undang-Undang

Desa tidak membedakan keanggotaan kelembagaan Desa antara laki laki dan

130
perempuan dalam berpartisipasi pada setiap kegiatan desa baik formal maupun

non formal yang ada


Berdasarkan definisi tersebut, jika dikaitkan dengan proses

pelembagaan LPMD, maka kaitan-kaltan yang memungkinkan adalah

kaitan lernbaga LPMD dengan Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Desa

dan lembaga-Iembaga lain yang ada di desa. Kaitan dengan

Pemerintah Kabupaten karena LPMD merupakan implementasi dari

suatu produk kebijakan yaitu Perda Kabupaten Rembang Nomor 5 Tahun

2002 tentang Pedoman Pembentukan Lembaga Pembangunan

Masyarakat Desa Rukun Tetangga dan Rukun Warga sekaligus

Pemerintah menyediakan beberapa sumber daya diantaranya adalah dana.

Kaitan dengan lembaga lain yang ada di desa karena calon-calon

pengurus LPMD sebagaimana dimaksud di atas diusulkan oleh RT dan

dipilih oleh Badan Perwakilan desa, Pernerintah Desa dan RT. Dalam

menjalankan tugas dan fungsinya LPMD tidak rnungkin terlepas dari

Iembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya yang ada di desa.


Dalam hal ini kemitraan yang dilihat adalah kemitraan antara Lembaga

Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) dengan Kepala Desa, baik LPMD

maupun Kepala Desa harus saling bekerja sama dalam proses perencanaan agar

pembangunan yang ini dilaksanakan dapat tercapai. Kemitraan yang dilakukan

oleh LPMD dengan Kepala Desa dalam proses perencanaan pembangunan

bertujuan dilakukan untuk mempromosikan pembangunan ekonomi, sosial dan

kebudayaan daerah pedesaan serta untuk mempromosikan kerjasama antara

organisasi dalam wilayah tersebut agar bisa mempromosikan pembangunan dan

memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat setempat.

131
Secara khusus kaitannya dengan pemerintah, kemitraan adalah kesadaran

dan secara resmi dibuat oleh otoritas lokal yang menekenkan kesetaraan,

kepercayaan, timbal balik dan nilai-nilai bersama dan juga berfokus apa yang

menjadi tujuan dari kemitraan itu sendiri. Oleh karena itu kemitraan yang

dilakukan antara LPMD dengan Kepala Desa saling mengisi posisi masing-

masing berdasarkan tugas-tugasnya agar apa yang diinginkan dengan apa yang

akan direncanakan akan menghasilkan sebuah keputusan yang bermanfaat bagi

masyarakat maupun bagi desa. Sedangkan jika ditinjau dari pola kemitraan,

kemitraan yang digunakan antara Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa

(LPMD) dengan Kepala Desa yaitu menganut pola mutualism partnership.

Seperti yang dijelaskan oleh Sulistiyani (2004:130) Mutualism Partnership

(Kemitraan Mutualistik) adalah persekutuan antar dua belah pihak atau lebih

yang sama-sama menyadari aspek pentingnya melakukan kemitraan, yaitu untuk

saling memberikan manfaat lebih, sehingga akan dapat mencapai tujuan secara

lebih optimal. Sehingga pola kemitraan yang diguna-kan antara LPMD dengan

Kepala Desa dapat saling memberikan manfaat lebih, sehingga akan mencapai

tujuan secara lebih optimal karena antara LPMD dengan Kepala Desa sama-

sama memberikan manfaat di dalam perencanaan pembangunan dengan

melaksanakan tugas dan fungsinya demi terwujudnya pembangunan yang

diharapkan.
Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) yang merupakan

salah satu dari lembaga kemasyarakatan yang ada di desa sebagai mitra

pemerintah desa mempunyai tugas (Perda Kabupaten Demak No. 5 Tahun 2010

Pasal 9):

132
(1) Lembaga kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
mempunyai tugas membantu Pemerintah Desa/ Pemerintah Kelurahan.
(2) Tugas Lembaga Kemasyarakatan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yaitu membantu Pemerintah Desa yang meliputi:
a. menyusun rencana pembangunan secara partisipatif;
b. melaksanakan, mengendalikan, memanfaatkan, memelihara dan
mengembangkan pembangunan secara partisipatif;
c. menggerakkan dan mengembangkan partisipasi, gotong-royong dan
swadaya masyarakat;
d. menumbuhkembangkan kondisi dinamis masyarakat dalam rangka
pemberdayaan masyarakat.
(3) Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai tugas membantu Pemerintah Kelurahan dalam pelaksanaan
urusan pemerintahan, pembangunan, sosial kemasyarakatan dan
pemberdayaan masyarakat.

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9,

Lembaga kemasyarakatan mempunyai fungsi (Pasal 15):

a. penampungan dan penyaluran aspirasi masyarakat dalam pembangunan;


b. penanaman dan pemupukan rasa persatuan dan kesatuan masyarakat dalam
kerangka memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. peningkatan kualitas dan percepatan pelayanan pemerintahan kepada
masyarakat;
d. penyusunan rencana, pelaksanaan, pengelola pembangunan serta
pemanfaatan, pelestarian dan pengembangan hasil-hasil pembangunan
secara partisipasif;
e. penumbuh kembangan dan penggerak prakarsa dan partisipasi, serta
swadaya gotong royong masyarakat;
f. penggali, pendayagunaan dan pengembangan potensi sumberdaya serta
keserasian lingkungan hidup;
g. pengembangan, kreatifitas, pencegahan kenakalan, penyalahgunaan obat
terlarang (narkoba) bagi remaja;
h. pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan keluarga;
i. pemberdayaan hak politik masyarakat; dan
j. pendukung media komunikasi, informasi, sosialisasi antara pemerintah
desa/kelurahan dan masyarakat.

Pelaksanaan perencanaan pembangunan desa LPMD merupakan mitra

kerja dari pemerintah desa. Menurut Perda Kabupaten Demak No. 5 Tahun 2010

Pasal 1 ayat (17) menyebutkan bahwa:

Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa untuk selanjutnya disingkat


LKMD atau Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan, untuk

133
selanjutnya disingkat LPMK adalah lembaga atau wadah yang dibentuk
atas prakarsa masyarakat sebagai mitra Pemerintah Desa dan Lurah
dalam menampung dan mewujudkan aspirasi serta kebutuhan masyarakat
dibidang pembangunan;

BAB III

PEMBERDAYAAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA YANG BELUM


MENGURANGI ANGKA KEMISKINAN SAAT INI

A. Lembaga Kemasyarakat Desa Saat Ini

Pemerintah tampaknya menempuh strategi ganda dalam perencanaan

pembangunan Desa. Di satu sisi pemerintah melancarkan program pembangunan

secara terpusat melaui skema dekonsentrasi, dan di sisi lain sejak Tahun 1982

sebenarnya dikenal perencanaan pembangunan dari bawah (bottom-up

planning), yang dimulai dari Musbangdes di Desa sampai Rakorbang di

Kabupaten/Kota dan berakhir di Jakarta. Di atas kertas, konsep itu mengandung

prinsip desentralisasi dan demokrasi lokal. Prinsip desentralisasi terkait dengan

penempatan Kabupaten/Kota sebagai wilayah pembangunan otonom, yang

mempunyai kewenangan untuk mengelola perencanaan dan pelaksanaan

pembangunan di wilayah yurisdiksinya. Sedangkan prinsip demokrasi, meski

tidak diucapkan, dijabarkan dalam bentuk partisipasi masyarakat dalam setiap

tahapan perencanaan.

134
Tetapi dalam praktiknya, prinsip desentralisasi dan demokrasi lokal itu

betul-betul tidak bermakna dan terjadi banyak distorsi. Pertama, perencanaan

bersifat elitis dan partisipasi sangat terbatas. Dari tingkat bawah, proses dan isi

perencanaan pembangunan masih bersifat elitis, didominasi oleh aktor-aktor

formal. Kepala Desa sangat mendominasi proses perencanaan di tingkat Desa,

dia lebih menentukan apa saja yang bakal tertuang dalam naskah perencanaan

pembangunan Desa sebelum dibawa naik ke level kecamatan. Partisipasi

masyarakat sangat terbatas. Substansinya cenderung sebagai bentuk preferensi

kepala desa beserta elite desa, ketimbang sebagai kebutuhan riil masyarakat.

Biasanya preferensi kades cenderung bias (bukan prioritas) pada pembangunan

prasarana fisik, sebab bidang ini mengandung proyek, sekaligus merupakan

kesempatan baik untuk memobilisasi swadaya masyarakat serta menjadi

indikator artifisial kepemimpinan Kepala Desa.

Kedua, mekanisme perencanaan dari bawah tidak lebih sebagai mata rantai

birokrasi yang membuat desa tergantung pada kabupaten. Secara empirik

maupun formal desa bukanlah wilayah pembangunan otonom, yang menerima

desentralisasi politik, pembangunan dan keuangan. Dalam praktiknya, proses

perencanaan pembangunan di tingkat kabupaten/kota berjalan secara mekanis

yang tidak berbasis pada partisipasi dari desa. Blue print perencanaan

pembangunan tahunan maupun lima tahunan sebenarnya sudah dirumuskan

lebih dulu oleh Bappeda, termasuk perencanaan sektoral dari dinas-dinas teknis,

yang kemudian disosialisasikan kepada pendatang dari desa. Apa yang diusun

dari desa dalam Rakorbang hanya formalitas, sehingga dalam konteks ini terjadi

reduksi dan manipulasi.

135
PNPM Perdesaan merupakan proyek yang telah didanai Pemerintah pusat,

dimana program program untuk pengentasan kemiskinan di desa. Adapun

program royek dilaksanakan melalui:

1. Perbaikan jalan jalan agar masyarakat saat panen akses jalan mudah

dilalui angkutan umum ke jalan raya atau ke Kota.

2. Perbaikan saluran saluran air agar tidak terjadi banjir dan penyakit

pada masyarakat desa.

Mulai Tahun 2015 PNPM Perdesaan di ganti LPMD bersama dengan UPK

untuk mengelola dana desa, dalam rangka melanjutkan pengentasan kemiskinan

melalui: Simpan pinjam ISPP dan Usaha kecil Pendidikan dimana masyarakat

desa dapat meningkatkan taraf hidup dan kemajuan pendidikan melalui UPK

selaku pendamping desa.83

Meskipun dalam Permendagri No. 9 Tahun 1982 dinyatakan bahwa proses

perencanaan pembangunan daerah melibatkan semua stakeholders yang ada di

masyarakat namun dalam kenyataannya peran masyarakat selalu terpinggirkan.

Di tingkat desa misalnya, stakeholders yang terlibat dalam perencanaan

pembangunan masih berkutat pada aktor pemerintahan desa dan lembaga-

lembaga formal di tingkat desa (lurah, BPD, PKK, LPMD, RT, dan RW).

Keterlibatan organisasi-organisasi sektoral, organisasi kemasyarakatan yang lain,

dan kelompok perempuan masih sangat minimalis.

Dalam perencanaan pembangunan di tingkat desa biasanya melibatkan

tokoh masyarakat, LPMD, BPD, dan juga PKK. Desa sudah melaksanakan itu,

83 Heri, Hasil Wawancara, Bidang Pemberdayaan Masyarakat Kec. Wonosalam. Demak,


15 Maret 2016

136
namun untuk keterlibatan perempuan memang belum maksimal. Untuk tingkat

kecamatan yang dilibatkan biasanya adalah Camat, dinas-dinas kabupaten

biasanya bappeda dan Dinas yang mempunyai program ke desa, instansi yang

ada di kecamatan (KUA, Puskesmas, dan sebagainya). Dari desa kita juga selalu

melibatkan tokoh masyarakat, BPD, LPMD, PKK, lurah, dan Ekobang.

Model Pembangunan Kawasan Perdesaan sesuai amanah UU Desa ini

sebenarnya sudah dilaksanakan oleh PNPM Mandiri dan melalui program

Master Plan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan Indonesia

(MP3KI) yang merupakan afirmatif kebijakan pembangunan ekonomi dan

memperkuat kebijakan penanggulangan kemiskinan yang telah ada untuk

menjamin kesinambungan program/ kegiatan penanggulangan kemiskinan yang

tengah berjalan dengan menjabarkan perwujudan penghidupan masyarakat

miskin secara berkelanjutan serta penguatan kelembagaan dan peran para pihak

dalam penanggulangan kemiskinan di masa datang.

Misalnya yang telah dilakukan yaitu kebijakan pembangunan ekonomi di

PNPM Mandiri Perdesaan melalui kegiatan dana bergulir Simpan Pinjam khusus

kelompok Perempuan ( SPP ) dan Usaha Ekonomi Produktif kelompok

campuran ( UEP ) di 29 Kabupaten 462 Kecamatan di Jawa Tengah sampai

dengan akhir September 2014 sudah memiliki asset sebesar 1,9 Trilyun lebih.

Asset per Kecamatan bervariasi antara 1 Milyard sampai tertinggi 8,9 Milyard

misalnya di Kec. Dempet Kab. Demak. Dana Abadi masyarakat ini bisa

menjadi motor penggerak pengembangan ekonomi lokal dalam Pembangunan

Kawasan Perdesaan dalam upaya penanggulangan kemiskinan, hal ini belum

termasuk PNPM Mandiri Perkotaan dan PNPM Mandiri pendukung lainnya.

137
Melalui pemberdayaan masyarakat Desa dengan memperhatikan seluruh

aspek kehidupan masyarakat dengan sasaran seluruh lapisan masyarakat

bermotifkan pemandirian (berdikari), sehingga mampu membangkitkan

kemampuan self-help. untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat

(modernisasi) yang mengacu pada cara berpikir, bersikap, berperilaku, maka

bidang pemberdayaan merupakan titik strategis yang harus diperbarui dan

diperluas. Sehingga esensi pemberdayaan masyarakat di perdesaan adalah

pendayagunaan sumberdaya ( potensi ) lokal, meningkatkan partisipasi dan

kemandirian ( berdikari ).

Maka peran penting dari kepedulian semua pihak yaitu masyarakat,

pemerintah, swasta dan termasuk pendidikan tinggi (Perguruan Tinggi) untuk

menyumbangkan pemikiran, teknologinya ataupun tenaganya dalam menyiapkan

insan yang siap mendampingi masyarakat dengan pendekatan pemberdayaan

masyarakat sesuai amanah dalam UU Desa. Lewat Tri Dharmanya Perguruan

Tinggi jelas memiliki kapabilitas dan kapasitas dalam mendukung percepatan

pembangunan Desa yang kita harapkan.

Melihat kondisi Desa yang ada pada saat sekarang secara nasional, masih

perlu ada persiapan ataupun prakondisi dalam rangka implementasi UU Desa.

Maka perlu adanya suatu model pemberdayaan kelembagaan dalam rangka

implementasi UU RI No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Suatu model

pemberdayaan kelembagaan sangat diperlukan di Desa Jogoloyo, yaitu dalam

rangka:

1. Penyiapan Perangkat Desa dan Kelembagaan Desa (Kuantitas dan

kualitas). Secara kuantitas sebagian besar Desa saat ini tidak memiliki

138
perangkat yang lengkap sebagaimana diatur dalam PP 43 /2014 Pasal 61-

Pasal 64. Sementara itu perangkat yang tersedia kapasitasnya masih perlu

ditingkatkan. Belum ada pelatihan-pelatihan khusus dan sistematis yang

diberikan kepada perangkat Desa maupun kelembagaan Desa (BPD dll)

terkait pelaksanaan (implementasi) UU Desa.

2. Penyiapan Perencanaan Pembangunan Desa (RPJM Desa, RKP Desa dan

APB Desa). Berdasarkan PP 43 /2014 Pasal 114-115 dan PP 60 /2014 Passl

20 disebutkan penggunaan Dana Desa mengacu pada Rencana Jangka

Menengah Desa (RKPDes) dan Rencana Kerja Pemerintah Desa

(RKPDes). Saat ini hanya terdapat kurang lebih 53.000 Desa yang

memiliki dokumen RPJMDes yang telah difasilitasi PNPM Mandiri

Perdesaan. Sebagian besar belum memiliki APB Desa dan RKP Desa

Tahun 2015 ini.

3. Penyiapan Peningkatan Kapasitas Pendamping (Fasilitator

Desa/Kecamatan). Untuk Fasilitasi proses perencanaan pembangunan

( point 2) dimungkinkan ditugaskan kembali ex Fasilitator PNPM MPd

dengan penguatan kapasitas khusus dan bisa juga difasilitasi dari aparatur

dengan pelatihan khusus. Dan juga disini fasilitasi dari perguruan tinggi

dalam pelaksanaan Tri Dharmanya di masyarakat Desa dalam rangka

peningkatan kapasitas SDM maupun pemanfaatan secara optimal SDA nya

(Pengembangan Potensi Desa).

4. Penyiapan Regulasi Pendukung Implementasi UU Desa. Dalam rangka

Implementasinya selain PP juga harus segera didorong berupa Peraturan

139
Menteri, Perda, PerBup/PerWali, Petunjuk Pelaksanaan atau pedoman

peraturan lainnya.

Focus Group Discussion (FGD) tersebut nampak bahwa perencanaan

pembangunan yang berlangsung selama ini masih memusat kepada aktor-aktor

negara. Peran dan partisipasi masyarakat, terutama masyarakat miskin dapat

dikatakan tidak ada. Padahal merekalah yang seharusnya menjadi prioritas

utama program pembangunan.

Dalam hal partisipasi, hasil penelitian tersebut menyebutkan adanya

kecenderungan bahwa semakin tinggi kedudukan seseorang semakin besar pula

perannya dalam proses perencanaan pembangunan daerah. Dan sebaliknya,

semakin rendah kedudukan seseorang dan semakin kecil kewenangan yang

dimilikinya, maka akan semakin kecil pula perannya dalam proses perencanaan

pembangunan daerah. Hal itu terjadi secara organisasional maupun individual.

Dalam perspektif organisasional, semakin tinggi level sebuah organisasi,

maka akan semakin tinggi pula perannya dalam menentukan perencanaan

pembangunan di daerah. Dengan demikian, desa sebagai unit pemerintahan

paling rendah perannya lebih kecil dibandingkan kecamatan. Kecamatan

perannya lebih kecil dibandingkan dengan kabupaten, begitu seterusnya. Dalam

perspektif individual, seorang lurah akan lebih didengar usulnya dibandingkan

dengan masyarakat biasa, lebih-lebih masyarakat yang status sosialnya rendah.

Dari Focus Group Discussion (FGD) dan indepth interview yang sudah

dilakukan, persoalan penentuan skala prioritas hampir selalu menjadi tema

menarik perbincangan peserta. Banyak kisah yang dituturkan oleh masyarakat

tentang ketidaktahuan mereka kenapa program pembangunan yang mereka

140
usulkan tidak ditindaklanjuti oleh kabupaten. Sementara, desa lain yang

mengusulkan program pembangunan yang sama direspons positif oleh

kabupaten. Bagi masyarakat desa penentuan skala prioritas ini ibarat sebuah

misteri yang sampai sekarang belum terpecahkan.

Kenapa hal tersebut bisa terjadi? Jika dilacak lebih jauh lagi, ada beberapa

catatan penting yang mengakibatkan hal tersebut.

1. Pemerintah Kabupaten belum optimal dalam melakukan

sosialisasi RENSTRA-nya. Hal itu berakibat tidak sinkronnya usulan

pembangunan yang dibuat masyarakat melalui forum musbangdes dengan

RENSTRA kabupaten.

2. Dinas-dinas di kabupatan sering kali mengadakan penjaringan

aspirasi sendiri. Hal itu dilakukan karena beberapa Dinas yang bersentuhan

langsung dengan desa menilai hasil musbangdes dan UDKP belum

mengulas secara tajam program-program pembangunan yang terkait

dengan sektor yang menjadi tanggung jawab mereka. Seperti terungkap

dalam indepth interview berikut:

Kalau dalam diskusi UDKP perencanaannya tidak menjangkau


seluruh kepentingan kelompok tani. Maka kami dari dinas pertanian
membuat rencana pembangunan partisipatif sendiri yang mengacu
pada kepentingan kelompok tani, dimana peserta yang mengikuti
diskusi perumusan adalah perwakilan dari kelompok tani seluruh
kecamatan. Kalau perumusan perencanaan pembangunan partisipatif
dalam bidang pertanian mengikuti proses UDKP saja, maka hasilnya
tidak akan maksimal. Soalnya di dalam pertemuan tersebut banyak
kelompok di luar petani, seperti PKK. Menurut kami itu tidak akan
fokus.

Tetapi, secara normatif sebenarnya masyarakat desa sudah memahami

bagaimana skala prioritas harus dilakukan. Bagi masyarakat desa program

141
pembangunan harus memberikan nilai manfaat bagi kehidupan masyarakat

banyak. Karenanya penentuan prioritas pembangunan diharapkan dapat

menjawab kebutuhan masyarakat.

Yang dapat digunakan sebagai patokan penentuan prioritas adalah daya


guna, kebutuhan masyarakat, dan kuantitas yang menggunakan. Jadi
intinya, dalam menentukan patokan prioritas adalah kebutuhan
masyarakat, bukan keinginan;

Indikator yang menjadi pengukur skala prioritas pun dalam pemakaiannya

disepakati melalui musyawarah dan disesuaikan dengan situasi maupun kondisi

daerah.

Penentuan skala prioritas biasanya kita sesuaikan dengan situasi dan

kondisinya. Contoh, di tempat kami bisa memperoleh air dari sumur, kalau mau

menggalinya. Cuma persoalannya, di desa ini ada sumber air yang bisa

disalurkan ke semua warga, ya mending kita usahakan penyalurannya dari pada

tiap orang menggali sumur. Contoh lagi di desa lain, karena di situ jauh dari

sumber mata air, maka yang diprioritaskan pembangunan sumber air yang di situ

dulu. Kalau yang lain masih bisa, ibaratnya memikul dengan jarak 100 meter

masih ada sumber air;

Program pembangunan dapat dikatakan baik jika memenuhi unsur

akuntabilitas atau dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Dengan

demikian sebuah program pembangunan dapat dikatakan memenuhi unsur

akuntabilitas jika program tersebut sesuai dengan aspirasi masyarakat, ada

penanggung jawab yang jelas, dan ada proses pelaporan kepada publik.

142
Dari sisi penanggung jawab pelaksanaan terkadang muncul ketidakjelasan.

Karena pada kenyataannya banyak program pembangunan yang diinisiasi oleh

dinas kabupaten hanya bersifat stimulan. Hal ini biasanya terjadi pada

pembangunan yang bersifat fisik. Setelah kabupaten memberikan stimulan,

selanjutnya penyelesaian atas pembangunan tersebut dilanjutkan dengan

swadaya masyarakat. Dana stimulan untuk desa untuk mendorong partisipasi.

Kalau sudah ada swadaya itu artinya ada partisipasi. Yang diharapkan

masyarakat sebenarnya adalah kalau bisa tidak cuma bersifat stimulan, tapi

bantuan yang sifatnya khusus. Memang ada baiknya untuk merangsang

partisipasi masyarakat, tapi sebenarnya itu belum seimbang dengan yang

dikeluarkan masyarakat bawah. Pembangunan desa itu seyogyanya disinergikan

dengan asa-asas desentralisasi, yaitu otonom dan medebewind. Yang otonom itu

artinya duit diserahkan saja kepada desa, dikelola BPD, LPMD dan Lurah.

Dikerjakan oleh desa. Sehingga security keuangan dan akuntabilitasnya bisa

dijaga. Sedangkan yang medebewind, desa bersama BPD dan LPMD membantu

proyek-proyek yang kewenangan pimpronya di kabupaten. Itu seyogyanya. Dan

untuk itu mestinya tidak perlu ada partisipasi. Tidak perlu ada swadaya

masyarakat.

Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa program-program pembangunan

yang dilakukan oleh dinas dalam bentuk stimulan terkadang justru menjadi

beban bagi masyarakat. Dalam logika ini memang masyarakat jadi terbebani

oleh dua macam pungutan. Pertama pajak yang sudah mereka bayarkan dan

kedua dana pembangunan dalam bentuk swadaya masyarakat. Karena itulah

banyak akademisi yang menyebut Indonesia sebagai welfare society. Bukan

143
negara yang memberikan subsidi kepada masyarakat untuk pembangunan dan

pelayanan publik, tetapi justru masyarakat yang memberikan subsidi

pembangunan kepada negara. Beratnya beban yang dipikul oleh masyarakat

serta rendahnya akuntabilitas perencanaan dan pelaksanaan pembangunan jika

berlangsung secara terus menerus sangat bisa jadi akan mengakibatkan

munculnya ketidak percayaan (distrust) kepada aparat pemerintah pada

khususnya dan pejabat publik pada umunya. Untuk itu, sebuah desai baru yang

bisa mnejawab aspirasi masyarakat adalah sebuah kebutuhan mendesak yang

harus segera diwujudkan.

B. Pemberdayaan Kelembagaan

Sasaran pembangunan desa umumnya masih terfokus pada

penanggulangan kemiskinan melalui investasi infrastruktur dan pemberian

layanan sosial. Lebih parah lagi, di tingkat lokal di Indonesia, pembangunan

desa dipahami dan dipraktikkan sebagai pembangunan fisik semata. Selama ini

tidak ada analisis komprehensif yang dilakukan terhadap dampak intervensi

pemerintah, sebab yang lebih banyak dilakukan adalah menghitung anggaran

yang telah dikeluarkan pemerintah beserta lembaga donor untuk membiayai

pembangunan desa, bukan pada efisiensi, efektivitas dan keberlanjutan hasil-

hasil pembangunan desa. Program-program pembangunan desa lebih

memperhatikan kuantitas jumlah yang dapat diberikan (deliverable)

pemerintah, ketimbang memperhatikan pencapaian dampak kualitatif yang

penting terhadap rakyat desa, misalnya program-program yang memperbaiki

144
kualitas hidup rakyat desa secara berkelanjutan melalui pemerintahan lokal yang

otonom dan demokratis. 84

Berkaitan pula dengan pemberdayaan kelembagaan Desa , kesiapan SDM

maupun SDA Desa dan kesiapan Regulasi Desa juga membutuhkan untuk

diperkuat kapasitas desanya, yaitu ada lima agenda penting yang harus

diperhatikan yaitu:

1. Kapasitas regulasi (mengatur), yaitu kemampuan mengatur kehidupan


Desa beserta isinya (wilayah, kekayaan dan penduduk) dengan peraturan
Desa.
2. Kapasitas ekstra yaitu kemampuan mengumpulkan, mengarahkan dan
mengoptimalkan aset-aset Desa untuk menopang kebutuhan (kepentingan)
pemerintah dan warga masyarakat Desa. Aset yang dimiliki desa (a) aset
fisik (Kantor Desa, balai dusun, jalan Desa, sasaran irigasi, dll), (b) aset
alam (tanah, sawah, hutan, perkebunan, ladang, kolam, dll), (c) aset
manusia (manusia, SDM), (d) aset sosial (kerukunan warga, lembaga-
lembaga sosial, gotong-royong, lumbung Desa, arisan, dll), (e) aset
keuangan (tanah kas Desa, bantuan dari kabupaten, KUD, BUMDes, dll),
dan (f) aset politis (lembaga-lembaga Desa, kepemimpinan, forum warga,
BPD, rencana strategi Desa, peraturan Desa, dll).
3. Kapasitas distributif, yaitu kemampuan pemerintah Desa membagi
sumberdaya Desa secara seimbang dan merata sesuai dengan prioritas
kebutuhan masyarakat Desa.
4. Kapasitas responsif, yaitu kemampuan berupa daya peka dan daya tangkap
terhadap aspirasi/kebutuhan warga masyarakat untuk dijadikan sebagai
basis dalam perencanaan kebijakan pembangunan Desa.
5. Kapasitas jaringan dan kerjasama, yaitu kemampuan pemerintah dan
warga masyarakat Desa mengembangkan jaringan kerjasama dengan
pihak-pihak luar dalam rangka mendukung kapasitas ekstraktif. (Millen
dalam Djaha, 2007)

84 The Government of South Africa, The Integrated Sustainable Rural Development


Strategy, 2000

145
Dalam hubungan dengan kapasitas pemerintah Desa, maka Pendekatan

teknokratis diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan

Desa. Pendekatan teknokratis mengajarkan perlunya birokrasi Desa yang

kapabel dan berkualitas sehingga mendukung tujuan-tujuan efektivitas dan

efisiensi. Gagasan ini paralel dengan isu kapasitas desa sebagai sebuah

kandungan utama dalam otonomi Desa. Otonomi Desa akan lebih bermakna jika

ditopang dengan kapasitas birokrasi Desa dalam hal pendataan, administrasi,

informasi, pelayanan publik, mengembangkan potensi lokal, menyelesaikan

masalah, mengelola perencanaan dll.

Penguatan kapasitas birokrasi Desa ini membutuhkan penataan ulang

mengenai administrasi, data dan informasi, rekrutmen perangkat, sistem karir,

maupun sistem renumerasi. Pada saat yang sama hal itu membutuhkan

tanggungjawab pemerintah dalam melakukan supervisi, fasilitasi dan capacity

building secara komprehensif dan berkelanjutan terhadap birokrasi Desa.

Pembangunan desa lebih dari sekadar penanggulangan kemiskinan, bukan

pula memberikan layanan sosial (pendidikan dan kesehatan) dan merubah wajah

fisik desa. Pembangunan desa merupakan upaya memperbaiki kesempatan hidup

serta well-being individu maupun rumah tangga, khususnya kaum miskin

pedesaan yang selama ini tertinggal di belakang proses pertumbuhan ekonomi.

Karena itu pembangunan desa bersifat multidimensional mengarah pada

perbaikan layanan sosial, membuka kesempatan bagi rakyat desa menggali

pendapatan dan pembangunan ekonomi desa, perbaikan infrastruktur fisik,

146
memperkuat kohesi sosial dan keamanan fisik komunitas warga desa,

memperkuat kapasitas desa mengelola pemerintahan dan pembangunan,

membuat demokrasi dalam proses politik di desa, serta mengatasi kerentanan

(sosial, ekonomi dan politik) masyarakat desa. Konsep ini menaruh perhatian

pada proses memfasilitasi perubahan di komunitas desa yang memungkinkan

rakyat miskin di desa memperoleh lebih, meningkatkan investasi bagi dirinya

sendiri dan komunitasnya, meningkatkan kepemilikan rakyat desa merawat

infrastruktur dan lain-lain. Mengikuti paradigma sustainable livelihood,

pembangunan desa sebenarnya merupakan proses mengubah penghidupan

masyarakat pedesaan dari kondisi yang rentan (vulnerable) menjadi

berkelanjutan (sustainable) dengan mengembangkan aset yang ia miliki dan

dinamika yang ada menjadi mampu ditransformasikan.85

Perencanaan bukanlah sebuah master plan yang dirumuskan secara

komprehensif dan sistematis oleh para ahli (insinyur, teknokrat, ekonom,

administrator, dan lain-lain). Perencanaan dalam konteks pembangunan adalah

sebuah pilihan dan keputusan politik yang mesti mempunyai risiko politik bagi

orang banyak (rakyat). Master plan adalah penjabaran (meterialisasi) dari

keputusan politik itu. Bahkan, sebagai pilihan dan keputusan politik,

perencanaan selalu menjadi medan tempur antara pemerintah pusat dan

pemerintah daerah maupun antara pemerintah dan rakyat. Di Indonesia, kasus

ketegangan antara pusat dan daerah atau kasus pemberontakan daerah terus-

menerus muncul karena pemerintah memaksakan master plan (yang dirumuskan

85 Sheppard, B.; Hartwick, J.; and Warshaw, P. (1988), The Theory of Reason Action: A
Meta- Analysis of Past Research with Recommendations for Modifications and Future
Research, Journal of Consumer Research, Vol. 15, 325-343.

147
secara sentralistik) kepada daerah, atau hanya menempatkan daerah sebagai

obyek perencanaan belaka. Di tempat lain, sejarah juga mencatat bahwa begitu

banyak proyek pembangunan (industri, pertambangan, jalan, waduk, energi

listrik, sampah, dan lain-lain) sering bermasalah, menimbulkan ketegangan yang

serius antara pemerintah dan rakyat, antara lain karena perencanaan hanya

dipahami sebagai master plan yang disusun tanpa mendengarkan aspirasi rakyat

banyak.

Tentu ada banyak solusi untuk mengatasi ketegangan antara pusat dan

daerah maupun antara pemerintah dan rakyat dalam perencanaan. Desentralisasi

merupakan solusi untuk memotong mata rantai sentralisasi, mengurangi

dominasi Pemerintah Pusat, sekaligus mengatasi ketegangan antara Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Daerah dalam perencanaan pembangunan. Sedangkan

demokrasi merupakan jawaban atas ketegangan antara pemerintah dan rakyat.

Demokrasi mengajarkan tentang perlunya perencanaan partisipatif untuk

membuat perencanaan betul-betul relevan dan legitimate di mata rakyat, serta

mengurangi risiko benturan antara pemerintah dan rakyat. Sekarang berkembang

keyakinan baru di banyak kalangan bahwa perencanaan tidak perlu dijadikan

medan tempur, melainkan harus diperlakukan sebagai arena mempertemukan

antara visi-misi besar pemerintah dengan aspirasi dan prakarsa masyarakat.

Perencanaan bukan lagi sebagai sebuah keputusan politik dari pihak yang

memerintah untuk diterapkan kepada yang diperintah, melainkan sebagai arena

bersama untuk membangun kemitraan antara pemerintah dan masyarakat. Sejak

1980-an terus-menrus terjadi revitalisasi pemikiran tentang perencanaan yang

bergerak dari negara ke masyarakat, dari sentralisasi ke desentralisasi, dari pusat

148
ke lokal, dari pembinaan ke pemberdayaan, dari obyek ke subyek, dari otokratis

ke demokratis, dari oligarkhis ke partisipatif, dan dari instruksi ke kemitraan.

Pemerintah lokal umumnya tahu betul tentang kebutuhan dan pilihan lokal

ketimbang Pemerintah Pusat, yang punya kapasitas terbatas untuk

mengumpulkan informasi. Dalam desentralisasi, secara teoretis, monitoring dan

kontrol pelaku lokal oleh komunitas lokal adalah lebih mudah. Pemerintah lokal

mungkin lebih akuntabel, lebih responsif terhadap rakyat miskin dan lebih baik

dalam memberikan ruang partisipasi rakyat miskin dalam proses politik.

Pembuatan keputusan pada tingkat lokal memberikan tanggungjawab,

kepemilikan, menjadi dorongan yang lebih kuat kepada aktor-aktor lokal, dan

informasi lokal dapat sering mengidentifikasi cara-cara penyediaan layanan

publik yang lebih murah dan lebih tepat.

Membuat pendekatan penanggulangan kemiskinan ke dalam dua alternatif:

teknokratik atau institutional. Yang pertama menekankan target dan menyelidiki

bentuk program mobilisasi sumberdaya yang terbatas kepada rakyat miskin.

Pendekatan yang kedua mencatat, bahwa rakyat miskin kekurangan kekuasaan

politik, dan menegaskan bahwa ketidakmampuan birokrasi dan korupsi

mengganggu pelayanan publik. Karena itu penanggulangan kemiskinan butuh

pengembangan institusi, dan perubahan struktur politik, perbaikan tata

pemerintahan, dan perubahan sikap terhadap rakyat miskin. Desentralisasi

mempunyai implikasi untuk dua-duanya dari dua pendekatan yang luas ini.

Desentralisasi memfasilitasi bentuk program teknokratik yang lebih efektif,

seperti target daerah mungkin dipermudah, akuntabilitas birokrasi mungkin

diperkuat, dan pengelolaan program penanggulangan kemiskinan mungkin

149
ditingkatkan. Juga desentralisasi dapat menawarkan kerangka kerja legal dan

bertindak sebagai sebuah alat pendekatan institusi terhadap pengurangan

kemiskinan, seperti desentralisasi mungkin meningkatkan kekuasaan politik

rakyat miskin melalui partisipasi yang meningkat.86

Mengambil dua golongan pendekatan penanggulangan kemiskinan yang

luas ini sebagai sebuah dasar, kita bisa bergerak dari pendukung dan penolak

desentralisasi ke arah sebuah kerangka kerja konseptual. Kami secara esensial

membedakan antara dua rangkaian hubungan: Pertama, pada sebuah latar

ekonomi politik, desentralisasi meningkatkan partisipasi rakyat miskin,

difasilitasi oleh kekuasaan pengawasan yang meningkat dan peningkatan pilihan

investasi pro-poor. Kedua, dari perspektif manajemen ekonomi, desentralisasi

membantu pemerintah lokal memperbaiki efisiensi penyelenggaraan pelayanan

publik kepada rakyat miskin dan efisiensi penargetan program penyerah-

terimaan. Sementara pertimbangan efisiensi dan persamaan digambarkan dalam

posisi independen. Dengan melibatkan rakyat miskin dalam menjalankan,

memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pelayanan publik pada tingkat

lokal, akuntabilitas pemerintah lokal meningkat mengarah pada efisiensi

penyediaan barang publik yang lebih banyak. Desentralisasi adalah sebuah cara

untuk memungkinkan masyarakat sipil ikut serta dalam proses kebijakan dan

dengan demikian, untuk meningkatkan transparansi dan predictability

pembuatan keputusan. Pemerintah lokal umumnya lebih tahu tentang, dan lebih

tanggap terhadap, kebutuhan pilihan penduduk lokal daripada pemerintah pusat.

86 Munandar, Haris dan Ferry Kurniawan. Mencari Hubungan Antara Kebijakan Moneter
dengan Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.2007.

150
Bagi mereka untuk mengidentifikasi dan menjangkau rakyat miskin

selama politik lokal memungkinkan ini. Desentralisasi juga mempunyai

keuntungan utama bahwa pejabat lokal dapat secara lebih mudah diawasi dan

dikendalikan oleh komunitas lokal daripada para pejabat di pemerintah pusat,

jika peraturan hukum ada di tingkat lokal. Di Indonesia, tiga bentuk

desentralisasi itu sudah dilaksanakan berdasarkan UU No. 22/1999.

Kabupaten/kota menjadi basis desentralisasi (otonomi daerah), yang mempunyai

kewenangan seluas-luasnya untuk mengelola rumah tangga sendiri, melakukan

perencanaan sendiri (self-planning), memperoleh dana perimbangan secara

memadai dan beerwenang secara otonom menggunakan anggaran sesuai dengan

kewenangan dan pembangunan yang dikelolanya. Dalam hal pembangunan

misalnya, telah terjadi pemotongan jalur perencanaan dari daerah ke pusat,

sehingga daerah mempunyai kewenangan penuh untuk merencanakan

pembangunan. Alur perencanaan dari bawah (bottom-up planning) tidak perlu

lagi dibawa ke Jakarta, melainkan cukup dihentikan di level kabupaten/kota.

Karena itu, desentralisasi pembangunan tidak hanya mewadahi proses

perencanaan dari bawah (bottom up planning), tetapi juga terjadi lompatan yang

luar biasa menuju desentralized planning atau local-self planning.

Dalam konteks desentralised planning tersebut ada tiga skema pembagian

peran antara pemerintah pusat, daerah dan desa. Pertama, peran pemerintah

pusat dan propinsi. Pemerintah pusat tentu akan keliru besar bila departemen-

departemen di pusat mempunyai proyek (perencanaan, penganggaran dan

pengendalian) tersendiri dalam pembangunan desa. Yang dibutuhkan dari

pemerintah pusat adalah: (1) undang-undang pemerintahan daerah yang

151
menegaskan desentralisasi desa; (2) Kebijakan dan anggaran nasional yang

afirmatif dan responsif terhadap desa; dan (3) visi besar, koordinasi, fasilitasi,

dan supervisi terhadap kabupaten/kota. Pendanaan dari pusat seharusnya

dialokasikan kepada kabupaten/kota, bukan ditangani sendiri secara sentralistik,

sehingga skema desentralisasi bisa berjalan secara efektif. Kedua, peran

pemerintah Kabupaten/Kota. Pemerintah Kabupaten/Kota seharusnya

mempunyai perencanaan sektoral yang terpadu tentang pembangunan desa,

sehingga bisa menghilangkan rebutan dan ketumpangtindihan proyek-proyek

pembangunan desa. Dalam konteks ini perlu dibuat rencana strategis dalam

bentuk keranjang besar program pembangunan desa, yang sesuai dengan batas-

batas kewenangan kabupaten/kota. Keranjang program yang terpadu tersebut

bisa didanai dengan APBD maupun alokasi dana khusus dari pemerintah pusat.

Pendanaan dari pusat ini pun sebenarnya bisa diintegrasikan ke dalam APBD. Di

sisi lain, pemerintah kabupaten/kota seharusnya juga membagi kewenangan

secara proporsional kepada desa yang diikuti juga dengan alokasi dana desa

(ADD). Ketiga, perlunya pengembangan loal self-planning di tingkat desa.

Artinya, desa merencanakan sendiri program pembangunan desa sesuai dengan

batas-batas kewenangan yang didesentralisasikan kepada desa, yang juga

didukung dengan desentralisasi keuangan kepada desa, misalnya melalui skema

alokasi dana desa (ADD). Skema pendanaan pembangunan desa di level desa

(baik yang bersumber dari PADES, ADD maupun dana alokasi khusus dari

pemerintah supradesa) seharusnya dikelola dengan skema budgeter, yakni

dimasukkan dalam APBDES. Tentu saja APBDES ini harus mencerminkan

152
rencana strategis desa yang disusun secara partisipatif dan sesuai dengan

kebutuhan masyarakat.

Di setiap desa sudah lama ada pemilihan kepala desa secara demokratis,

juga sudah ada tradisi musyawarah yang terbatas untuk pengambilan keputusan.

Demokrasi lebih dari itu. Pemerintahan yang demokratis (democratic

governance) mengajarkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan berawal dari

partisipasi masyarakat, dikelola secara akuntabel dan transparan oleh wakil-

wakil yang dipercaya masyarakat, serta dimanfaatkan secara responsif untuk

kebutuhan masyarakat. Dalam memahami demokrasi desa, kita tidak boleh

terjebak pada seremonial, prosedur dan lembaga yang tampak di permukaan.

Prosedur dan lembaga demokrasi memang sangat penting, tetapi tidak

mencukupi. Yang lebih penting dalam demokrasi adalah proses dan hubungan

antara rakyat secara substantif. Pemilihan kepala desa juga penting tetapi yang

lebih penting dalam proses politik sehari-hari yang melibatkan bagaimana

hubungan antara pemerintah desa, perwakilan desa (BPD) dan masyarakat.

Dalam konteks ini, saya memahami dam meletakkan demokrasi (yang

relevan dengan konteks desa) ke dalam empat ranah utama: pengelolaan

kebijakan atau regulasi desa; kepemimpinan dan penyelenggaraan pemerintahan

desa; perwakilan rakyat, serta partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan

pembangunan.

C. Lembaga Kemasyarakatan Desa Yang Belum Mengurangi Angka

Kemiskinan
1. Pengelolaan Kebijakan Desa

153
Sebuah kebijakan (peraturan desa) yang demokratis apabila berbasis

masyarakat: berasal dari partisipasi masyarakat, dikelola secara

bertanggungjawab dan transparan oleh masyarakat dan digunakan untuk

memberikan manfaat kepada masyarakat. Dari sisi konteks, peraturan desa

berbasis masyarakat (demokratis) berarti setiap perdes harus relevan dengan

konteks kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Dengan kalimat lain, perdes

yang dibuat memang dimaksudkan untuk menjawab kebutuhan masyarakat,

bukan sekadar merumuskan keinginan elite desa atau hanya untuk

menjalankan instruksi dari pemerintah supradesa.

Dari sisi kontens (substansi), prinsip dasarnya bahwa peraturan desa

lebih bersifat membatasi yang berkuasa dan sekaligus melindungi rakyat

yang lemah. Paling tidak, perdes harus memberikan ketegasan tentang

akuntabilitas pemerintah desa dan BPD dalam mengelola pemerintahan

desa.

Dipandang dari manfaat untuk rakyat, perdes dimaksudkan untuk

mendorong pemberdayaan masyarakat: memberi ruang bagi pengembangan

kreasi, potensi dan inovasi masyarakat; memberikan kepastian masyarakat

untuk mengakses terhadap barang-barang publik; memberikan ruang bagi

partisipasi masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan desa.

Sedangkan untuk menciptakan ketertiban dan keseimbangan, perdes harus

bersifat membatasi: mencegah eksploitasi terhadap sumberdaya alam dan

warga masyarakat; melarang perusakaan terhadap lingkungan, mencegah

perbuatan kriminal; mencegah dominasi suatu kelompok kepada kelompok

lain, dan seterusnya.

154
Sesuai dengan logika demokrasi, perdes berbasis masyarakat

(demokratis) disusun melalui proses siklus kebijakan publik yang

demokratis: artikulasi, agregasi, formulasi, konsultasi publik, revisi atas

formulasi, legislasi, sosialisasi, implementasi, kontrol dan evaluasi. Dalam

setiap sequen ini, masyarakat mempunyai ruang (akses) untuk terlibat aktif

menyampaikan suaranya.

Kesiapan kelembagaan Desa dan perangkat desa merupakan syarat

mutlak berhasilnya implementasi UU Desa karena merekalah ujung tombak

pelaksanaan UU Desa tersebut sesaui dengan aturan pelaksanaan yang ada.

Kemampuan (kapasitas) dari Lembaga Desa dan Perangkat Desa dalam

menyikapi dan menyiapkan terkait implementasi UU Desa sangat

menentukan tingkat keberhasilannya. Kesiapan dari Kelembagaan Desa

yaitu antara lain Pemerintah Desa dan Perangkat Desa, Badan

Permusyawaratan Desa (BPD), LPMD/LKMD, PKK, Karangtaruna,

BKM/UPK PNPM, RW, RT dan kelompok masyarakat lainnya mempunyai

persepsi yang sama dalam mendukung implementasi UU Desa sesuai tugas

pokok fungsinya masing-masing. Secara kuantitas sebagian besar Desa saat

ini tidak memiliki perangkat yang lengkap sebagaimana diatur dalam PP

43 /2014 pasal 61-pasal 64. Sementara itu perangkat yang tersedia

kapasitasnya masih perlu ditingkatkan. Belum ada pelatihan-pelatihan

khusus dan sistematis yang diberikan kepada perangkat Desa maupun

kelembagaan Desa (BPD dll) terkait pelaksanaan (implementasi) UU Desa.

Kapasitas merupakan kemampuan individual, organisasi dan sistem

untuk menjalankan dan mewujudkan fungsi-fungsi secara efektif, efisien

155
dan berkelanjutan (Anelli Millen, GTZ dan USAID dalam Eko 2005).

Dalam keberadaan Desa sebagai suatu wilayah, maka kapasitas Desa akan

berhubungan dengan potensi yang dimiliki dalam mendukung

penyelenggaraan pemerintahan (termasuk Otonomi Desa) misalnya sumber

daya manusia, sumber daya alam, sumber keuangan ataupun manajemen

pemerintahan serta partisipasi masyarakat. Dalam hubungan dengan

pemerintahan Desa, maka kapasitas dikaitkan dengan kemampuan

pemerintahan Desa (pemerintah Desa dan perangkatnya serta BPD) dalam

menjalankan tugas dan fungsinya secara efektif dan efisien dengan

memanfaatkan potensi Desa yang ada. Pemerintah Desa diharapkan

memiliki kapasitas yang mendukung pelaksanaan kewenangan-kewenangan

yang menjadi urusan pemerintahan Desa.

Untuk memberikan kepastian pada Kepala Desa dan Perangkat Desa,

dalam hal masa jabatan Kepala Desa, maka dalam UU Desa sekarang

Kepala Desa diberi kesempatan menjabat paling lama 3 (tiga) periode

dengan masa jabatan tiap periode 6 Tahun. Hal ini dapat dilihat daripasal

Pasal 39 ayat (1) Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun

terhitung sejak tanggal pelantikan. Dan ayat (2) Kepala Desa sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa

jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Masa jabatan

perangkat desa dalam menjabat dan diberhentikan / pensiun pada usia 60

Tahun, sesuai Pasal Pasal 53 ayat (2) Perangkat Desa yang diberhentikan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a usia telah genap 60 (enam

puluh) tahun. Dan apabila dalam perda yang berjalan tidak mengatur seperti

156
hal tersebut maka berdasar pada Pasal 118 ayat (5) Perangkat Desa yang

tidak berstatus pegawai negeri sipil tetap melaksanakan tugas sampai habis

masa tugasnya. Dalam hal kesejahteraan Kepala Desa dan perangkat Desa,

didalam UU Desa disebutkan ada penghasilan dari pemerintah pusat sesuai

Pasal 66 yaitu:

1. Kepala Desa dan perangkat Desa memperoleh penghasilan tetap


setiap bulan.
2. Penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bersumber dari dana perimbangan
dalamAnggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diterima oleh
Kabupaten/Kota dan ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
3. Selain penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat(1), Kepala
Desa dan perangkat Desa menerima tunjangan yang bersumber
dariAnggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
4. Selain penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat(1), Kepala
Desa dan perangkat Desa memperoleh jaminan kesehatan dan
dapatmemperoleh penerimaan lainnya yang sah.

Menilik pada hal tersebut maka yang menjadi pertanyaan berikutnya

adalah bagaimana tugas dan tanggungjawab Kepala Desa dan Perangkat

Desa. Dalam penugasan tercantum di UU 32 / 2004 dikenal dengan nama

tugas pembantuan pada Pasal 206, sekarang dalam UU Desa yang tidak ada

lagi dikenal tugas pembantuan dari pemerintah, dan Pemerintah Daerah ke

Pemerintah Desa. Ini mengandung maksud pemerintahan Desa sepenuhnya

dapat menjadi pelaksana perintah tugas dari pemerintah dan pemerintah

daerah. Dan oleh karenanya diatur lebih lanjut tentang hal ini dapat di lihat

dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah turunan UU Desa.

157
Dalam hal kedudukan Sekretaris Desa, sudah tidak lagi diisi PNS

dalam UU Desa, hal ini merujuk pada Pasal 48 yaitu Perangkat Desa terdiri

atas: a sekretariat Desa; b. pelaksana kewilayahan; dan c. pelaksana teknis.

Dilanjutkan dalam Pasal 118 ayat (6) Perangkat Desa yang berstatus sebagai

Pegawai Negeri Sipil melaksanakan tugasnya sampai ditetapkan

penempatannya yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dari sini masih

adanya peluang banyak hal tentang reposisi Sekretaris Desa dengan

mendasar pada Peraturan Pemerintah turunan UU Desa ini.

Merujuk dari hal tersebut sekarang masih perlu peningkatan dan

penguatan terutama pada kesiapan perangkat Desa dalam mendukung

implementasi UU Desa. Hal ini terbukti masih ada beberapa program

kegiatan yang pernah berlangsung di desa ini kurang efektif misalnya

Program Beras Miskin (Raskin) ternyata implementasinya dibagi rata dalam

setiap kawasan RT yang ada di Desa tersebut, dan masyarakat masih punya

pemikiran kalau bantuan untuk orang miskin itu pada dasarnya untuk

semua. Masih ada pola pikir atau paradigma yang membuat program-

program penanggulangan kemiskinan kurang tepat sasaran, karena setiap

wilayah mempunyai kepentingan untuk mendapatkan program yang sama

tanpa melihat prioritas kebutuhan dari kantong-kantong (permasalahan)

kemiskinan yang ada di wilayah tersebut. Masih sangat kelihatan sebagian

besar kegiatan di Desa tersebut di dominasi dan dimotori oleh Kepala Desa

atau tokoh elit tertentu.

158
Kemampuan aparat Desa sangat heterogen dalam menyikapi

permaslahan yang ada di Desa Jogo. Jaringan aspirasi masyarakat terkait

program atau kegiatan Desa yang ada sudah cukup lancar namun masih

terbatas dari jumlah pertemuan maupun masyarakat yang berpartisipasi

aktif. Belum banyak kreasi, inovasi dalam pengelolaan dan pengembangan

Desa menuju Desa yang memiliki keunggulan tetentu misalnya Desa wisata,

Desa wisata kuliner, kerajinan atau home industry dan lain-lain, yang dapat

mendukung peningkatan perekomian masyarakat Desa. Sehingga masih

perlu penguatan dan dorongan untuk membuka wacana dan pola pikir dari

seluruh perangkat yang ada. Hal ini akan majadi kesiapan dari

Pemerintahan Desa Jogoloyo dalam menyikapi tuntutan implementasi UU

Desa berhasil dengan baik.

Kebijakan pemerintah menetapkan arah pengelolaan pemerintahan

menuju tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan

reformasi birokrasi, merupakan pilihan yang rasional (rational choice).

Salah satu agenda besar menuju good governance dan reformasi birokrasi

adalah peningkatan profesionalisme aparatur pemerintah, baik di tingkat

Pusat maupun sampai di tingkat Desa.

Dalam rangka peningkatan profesionalisme aparatur pemerintah Desa,

perlu diperhatikan: pengembangan kapasitas aparatur pemerintah Desa

dengan prioritas peningkatan kemampuan dalam pelayanan public seperti

kebutuhan dasar masyarakat, keamanan dan kemampuan di dalam

menghadapi bencana, kemampuan penyiapan rencana strategis

159
pengembangan ekonomi desa, kemampuan pengelolaan keuangan Desa,

dan pengelolaan kelestarian lingkungan hidup. Untuk itu, aparatur

pemerintah Desa patut memahami peran strategisnya agar belajar

mendalami, menggali serta mengkaji berbagai permasalahan dan tantangan

pelaksanaan good governance dan reformasi birokrasi ke depan, untuk dapat

diterapkan secara optimal di lingkungan kerja masing-masing dan

mensukseskan amanat dari UU Desa yang akan mewujudkan kemandirian

Desa dan kesejahteraan masyarakat Desa.

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa berisi 91

halaman termasuk penjelasan. Peraturan Pelaksanaan UU Desa ini

didalamnya mengatur tentang Penataan Desa, Kewenangan, Pemerintahan

Desa, Tata Cara Penyusunan Peraturan Desa, Keuangan dan Kekayaan

Desa, Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan, Badan

Usaha Milik Desa, Kerjasama Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa dan

Lembaga Adat desa, dan Pembinaan dan Pengawasan Desa oleh Camat atau

sebutan yang lainnya.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

menyebutkan bahwa kewenangan Desa meliputi:

1. Kewenangan berdasarkan hak asal usul;


2. Kewenangan lokal berskala Desa;

160
3. Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, pemerintah daerah
provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota; dan

4. Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah

Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Kepemimpinan dan Kepemerintahan Yang Demokratis

Pemerintahan di Indonesia telah lama tidak menumbuhkan kultur

leadership yang transformatif, melainkan hanya menumbuhkan budaya

priyayi, perhambaan, klientelisme, birokratis dan headship. Masalah ini

merupakan tantangan serius bagi pembaharuan kepemimpinan dan

kepemerintahan desa. Kepemimpinan di desa tidak bisa lagi dimaknai

sebagai priyayi benevolent dan kepemimpinan birokratis, melainkan harus

digerakkan menuju kepemimpinan transformatif. Yaitu para pemimpin desa

yang tidak hanya rajin beranjangsana, melainkan para pemimpin yang

mampu mengarahkan visi jangka panjang, menggerakan komitmen warga

desa, membangkitkan kreasi dan potensi desa. Pemerintah desa, tentu, tidak

lagi merupakan institusi tradisional yang dibingkai dengan tradisi

komunalisme.

Pemerintah desa adalah bagian dari birokrasi negara modern yang

bertugas mengelola barang-barang publik, termasuk melakukan pungutan

pajak pada warga masyarakat. Sebagai institusi modern, pemerintah desa

tidak cukup hanya memainkan legitimasi simbolik dan sosial, tetapi harus

membangun legitimasi yang dibangun dari dimensi kinerja politik dan

161
ekonomi. Legitimasi ini harus melewati batas-batas pengelolaan kekuasaan

dan kekayaan secara personal di tangan kepala desa, seraya dilembagakan

dalam sistem yang impersonal.

Legitimasi pemerintah desa mau tidak mau harus disandarkan pada

prinsip akuntabilitas, transparansi dan responsivitas. Pertama, akuntabilitas

menunjuk pada institusi dam proses checks and balances dalam

penyelenggaraan pemerintahan. Akuntabilitas juga berarti

menyelenggarakan penghitungan (account) terhadap sumber daya atau

kewenangan yang digunakan. Pemerintah desa disebut akuntabel bila

mengemban amanat, mandat dan kepercayaan yang diberikan oleh warga.

Secara gampang, pemerintah desa disebut akuntabel bila menjalankan tugas-

tugasnya dengan baik, tidak melakukan penyimpangan, tidak berbuat

korupsi, tidak menjual tanah kas desa untuk kepentingan pribadi, dan

seterusnya. Kedua, transparansi (keterbukaan) dalam pengelolaan kebijakan,

keuangan dan pelayanan publik. Transparansi berarti terbukanya akses bagi

semua pihak yang berkepentingan terhadap setiap informasi mengenai

kebijakan, keuangan dan pelayanan.

Transparansi dibangun atas pijakan kebebasan arus informasi yang

memadai disediakan untuk dipahami dan dapat dipantau atau menerima

umpan balik dari masyarakat. Transparansi tentu mengurangi tingkat

ketidakpastian dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi

kebijakan desa, termasuk alokasi anggaran desa. Sebagai sebuah media

akuntabilitas, transparansi dapat membantu mempersempit peluang korupsi

di kalangan pamong desa karena terbukanya segala proses pengambilan

162
keputusan oleh masyarakat luas. Ketiga, responsivitas atau daya tanggap

pemerintah desa. Pemerintah desa dan BPD harus mampu dan tanggap

terhadap aspirasi maupun kebutuhan masyarakat, yang kemudian dijadikan

sebagai preferensi utama pengambilan keputusan di desa.

Pendamping desa memiliki tugas mendampingi kegiatan kegiatan

sebagai berikut:

1. Pemerintahan desa.

2. Infrastruktur desa.

3. Pembinaa masyarakat.

4. Pemberdayaan masyarakat.

Pendamping desa tugasnya untuk mengarahkan dan mendampingi

program kerja termasuk pengentasan kemiskinan melalui pendidikan, usaha

kecil, dan perencanaan pembangunan desa.87 Hal tersebut sama dengan yang

disampaikan Muntohar selaku Tim Pendamping Desa.

PNPM dalam pengentasan kemiskinan melalui sarana dan prasarana.

Sarana dan prasarana meliputi jalan / transportasi, talud, dan gedung.

Sedangkan non sarana dan prasarana meliputi SPP dan pelatihan. Dalam UU

Desa, ADD dan DD melaksanakan sarana dan prasarana / non sarana dan

prasarana, pembangunan, dan posyandu.88

Responsif bukan hanya berarti pamong desa selalu siap-sedia

memberikan uluran tangan ketika warga masyarakat membutuhkan bantuan

87 Samuel, Hasil Wawancara, Tim Pendamping Desa Kec. Wonosalam. Demak, 15 Maret
2016.

88 Syaiful Mujab, Hasil Wawancara, Anggota BPD Desa Jogoloyo Kec. Wonosalam.
Demak, 15 Maret 2016.

163
dan pelayanan. Responsif berarti melakukan artikulasi terhadap aspirasi dan

kebutuhan masyarakat, yang kemudian mengolahnya menjadi prioritas

kebutuhan dan memformulasikannya menjadi kebijakan desa. Pemerintah

desa yang mengambil kebijakan berdasarkan preferensi segelintir elite atau

hanya bersandar pada keinginan kepala desa sendiri, berarti pemerintah desa

itu tidak responsif. Apakah betul pembangunan prasarana fisik desa

merupakan kebutuhan mendesak (prioritas) seluruh warga masyarakat?

Apakah rumah tangga miskin membutuhkan jalan-jalan yang baik dan rela

membayar pungutan untuk proyek pembangunan jalan? Karena itu,

pemerintah desa bisa disebut responsif jika membuat kebijakan dan

mengalokasikan anggaran desa secara memadai untuk mengangkat hidup

rumah tangga miskin ataupun mendukung peningkatan ekonomi produktif

rumah tangga.

3. Lembaga Perwakilan Yang Demokratis

Keberadaan Badan Permusyawaratan Desa dalam penyelenggaraan

Pemerintahan Desa setidaknya merupakan bentuk partisipasi aktif dan wujud

gotong-royong masyarakat dalam pembangunan Desa. Serta sebagai alat

control sosial bagi Kepala Desa dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa

dan untuk mewujudkan aspirasi masyarakat Desa secara keseluruhan. Hal ini

sekaligus menningkatkan partisipasi masyarakat Desa, mempercepat

pembangunan Desa, dan kawasan pedesaan dalam ranngka mewujudkan

kesejahteraan masyarakat Desa. Untuk mengetahui lebih jelas tentang

kelembagaan Desa bisa dilihat dalam diagram desain kelembagaan Desa

sebagai berikut:

164
Badan Permusyarawaratan Desa ( BPD ) yang aktif dan dinamis dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan Desa menunjukkan adanya dukungan

aspirasi/kehendak masyarakat (Bottom Up) dan berjalannya fungsi

Pemerintahan Desa yang efektif dalam mencapai kesejahteraan masyarakat

desa. Dengan demikian seluruh komponen/lembaga masyarakat Desa dapat

menjadi pelaku utama dalam pembangunan Desa dengan potensi, kemampuan

yang dimiliki dan berusaha terus meningkatkan kapasitas serta kualitas

menuju kemandirian Desa.


Dalam menjalankan pemerintahan Desa, Badan Permusyawaratan Desa

(BPD) bersama Kepala Desa mempunyai fungsi yaitu (1) mengeluarkan

kebijakan; (2) mengajukan rancangan peraturan Desa (Perdes), (3)

menetapkan peraturan Desa yang telah mendapat persetujuan bersama, (4)

menyusun dan mengajukan rancangan peraturan Desa mengenai Anggaran

165
Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes); (5) membina kehidupan masyarakat

Desa, (6) membina perekonomian Desa, (7) mengkoordinasikan

pembangunan Desa secara partispasitif.


Kedudukan dan peran serta Badan Permusyawarratan Desa dalam

penyelenggaraan pemerintah Desa, pada dasarnya berorientasi dan mengacu

peraturan perundangan Pusat dan peraturan Daerah (PERDA). Dimana

kedudukan dan perannya sebagai mitra Kepala Desa dalam menentukan

haluan Desa dan mempunyai fungsi sangat strategis di Desa Jogoloyo.

Adapun beberapa produk kebijakan (keputusan) dan Peraturan Desa (Perdes)

yaitu antara lain: Perdes tentang APB DESA Jogoloyo, Keputusan Kepala

Desa Tentang Pembentukan Pengurus Pos Pelayan Terpadu (Posyandu)

Tingkat Desa, Keputusan Kepala Desa Tentang Pengankatan Pengurus

Karang Taruna Desa, dan Keputusan Kepala Desa Tentang Pembinaan

Posdaya dan Susunan Pengurus Cahaya Manunggal. Dari produk kebijakan

yang berupa Keputusan Kepala Desa maupun Peraturan Desa di Desa

jogoloyo tersebut masih banyak keputusan /peraturan desa yang belum

dihasilkan.
Dari segi peran BPD ini partisipasi dan ide gagasan lebih didominnasi

oleh Kepala Desa. Hal ini terbukti dari setiap musyawarah dalam

pertemuan/rapat untuk membahas persoalan Desa, misalnya tentang RAPB

DES, tentang pembentukan LEPED, tentang rencana pembanngunan Desa

masih sangat menonjol peran Kepala Desa atau elit desanya. Dengan

berlakunya Undang-Undang Desa maka Desa Jogoloyo harus berbenah diri

untuk mempersiapkan beberapa hal antara lain peningkatan kualitas dan

kapasitas dari keputusan/kebijakan Desa (Peraturan Desa), kesiapan Aparatur

166
Pemerintah Desa dalam pengelolaan dan penggunaan APB Desa, serta

peningkatan fungsi pelayanan masyarakat Desa.

Demokrasi mengajarkan bahwa kekuasaan pemerintahan harus

disebarkan ke dalam lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Di desa,

selain ada kepala desa yang dipilih secara langsung, juga ada lembaga

perwakilan rakyat, yang menurut UU No. 22/1999 disebut sebagai badan

perwakilan desa (BPD), sebuah lembaga legislatif desa yang menggantikan

lembaga korporatis lama, yakni Lembaga Musyawarah Desa. BPD adalah

aktor yang melakukan kontrol untuk mewujudkan akuntabilitas pemerintah

desa. Dalam melakukan kontrol kebijakan dan keuangan, BPD mempunyai

kewenangan dan hak untuk menyatakan pendapat, dengar pendapat, bertanya,

penyelidikan lapangan dan memanggil pamong desa. Ketika ruang BPD ini

dimainkan dengan baik secara impersonal, maka akan memberikan kontribusi

yang luar biasa terhadap akuntabilitas pemerintah desa.

Meskipun tidak ditegaskan dalam perangkat peraturan, menurut standar

proses politik, masyarakat juga mempunyai ruang untuk melalukan kontrol

dan meminta pertanggungjawaban pemerintah desa. Pemerintah desa,

sebaliknya, wajib menyampaikan pertanggungjawaban (Laporan

Pertanggungjawaban- LPJ) tidak hanya kepada BPD, melainkan juga kepada

masyarakat. Ketika kepala desa keliling beranjangsana ke berbagai komunitas

tidak hanya digunakan untuk membangun legitimasi simbolik, tetapi juga

sebagai arena untuk menyampaikan pertanggungjawaban kepada warga.

Keberadaan BPD bisa disebut demokratis bila memenuhi kriteria sebagai

berikut:

167
Representatif, artinya BPD tidak hanya wadah bagi elite desa,

melainkan lebih mewakili berbagai kelompok sosial yang ada di desa:

buruh tani, nelayanan, perempuan, pemuda, dan lain-lain.

Aspiratif, artinya BPD secara proaktif menjaring aspirasi masyarakat

sebagai bahan masukan bagi perumusan kebijakan dan Perdes.

Menjalankan kontrol secara efektif terhadap penyelenggaraan

pemerintahan dan pembangunan desa.

4. Partisipasi Masyarakat

Jika pandangan yang berpusat pada negara memahami demokrasi dari

sisi akuntabilitas, transparansi dan responsivitas penyelenggaraan

pemerintahan, maka pandangan dari masyarakat memahami bahwa pilar

utama demokrasi adalah masyarakat sipil (civil society). Sebuah pandangan

dari masyarakat melihat demokratisasi bukan sekadar sebagai suatu periode

transisi terbatas dari satu set aturan-aturan rezim formal ke satu set lainnya,

tetapi lebih sebagai sebuah proses berkesinambungan, sebuah tantangan

abadi, sebuah perjuangan yang terus berulang. Proses inilah yang menjadi

domain masyarakat sipil.

Masyarakat sipil adalah lingkup kehidupan sosial terorganisir yang

terbuka, sukarela, timbul dengan sendirinya (self-generating), setidaknya

berswadaya secara parsial, otonom dari negara, dan terikat oleh suatu tatanan

legal atau seperangkat nilai-nilai bersama. Masyarakat sipil berbeda dari

"masyarakat" secara umum dalam hal ia melibatkan warga yang bertindak

secara kolektif dalam sebuah lingkup publik untuk mengekspresikan

kepentingan-kepentingan, hasrat, preferensi, dan ide-ide mereka, untuk

168
bertukar informasi. Mencapai sasaran kolektif, untuk mengajukan tuntutan

pada negara, untuk memperbaiki struktur dan perfungsian negara, dan untuk

menekan para pejabat negara lebih akuntabel. Teori demokrasi mengajarkan

bahwa demokratisasi membutuhkan hadirnya masyarakat sipil yang

terorganisir secara kuat, mandiri, semarak, pluralis, beradab, dan partisipatif.

Partisipasi merupakan kata kunci utama dalam masyarakat sipil yang

menghubungkan antara rakyat biasa (ordinary people) dengan pemerintah.

Partisipasi bukan sekadar keterlibatan masyarakat dalam pemilihan

kepala desa dan BPD, tetapi juga partisipasi dalam kehidupan sehari-hari

yang berurusan dengan pembangunan dan pemerintahan desa. Secara teoretis,

partisipasi adalah keterlibatan secara terbuka (inclusion) dan keikutsertaan

(involvement). Keduanya mengandung kesamaan tetapi berbeda titik

tekannya. Inclusion menyangkut siapa saja yang terlibat, sedangkan

involvement berbicara tentang bagaimana masyarakat terlibat. Keterlibatan

berarti memberi ruang bagi siapa saja untuk terlibat dalam proses politik,

terutama kelompok-kelompok masyarakat miskin, minoritas, rakyat kecil,

perempuan, dan kelompok-kelompok marginal lainnya.

Secara substantif partisipasi mencakup tiga hal. Pertama, voice (suara):

setiap warga mempunyai hak dan ruang untuk menyampaikan suaranya

dalam proses pemerintahan. Pemerintah, sebaliknya, mengakomodasi setiap

suara yang berkembang dalam masyarakat yang kemudian dijadikan sebagai

basis pembuatan keputusan. Kedua, akses, yakni setiap warga mempunyai

kesempatan untuk mengakses atau mempengaruhi pembuatan kebijakan,

termasuk akses dalam layanan publik. Ketiga, kontrol, yakni setiap warga

169
atau elemen-elemen masyarakat mempunyai kesempatan dan hak untuk

melakukan pengawasan (kontrol) terhadap jalannya pemerintahan maupun

pengelolaan kebijakan dan keuangan pemerintah. Dalam konteks

pembangunan dan pemerintahan desa, partisipasi masyarakat terbentang

dari proses pembuatan keputusan hingga evaluasi.

Proses ini tidak semata didominasi oleh elite-elite desa (pamong desa,

BPD, pengurus RT maupun pemuka masyarakat), melainkan juga

melibatkan unsur-unsur lain seperti perempuan, pemuda, kaum tani, buruh,

dan sebagainya. Dari sisi proses, keterlibatan masyarakat biasa bukan

dalam konteks mendukung kebijakan desa atau sekadar menerima

sosialisasi kebijakan desa, melainkan ikut menentukan kebijakan desa sejak

awal. Partisipasi dalam pembangunan desa, misalnya, bisa dilihat dari

keterlibatan masyarakat dalam merumuskan kebijakan pembangunan

(rencana strategis desa, program pembangunan dan APBDES, dan lain-lain),

antara lain melalui forum RT, musbangdus, musbangdes maupun rembug

desa. Forum-forum itu juga bisa digunakan bagi pemerintah desa untuk

mengelola akuntabilitas dan transparansi, sementara bagi masyarakat bisa

digunakan untuk voice, access dan control terhadap pemerintah desa.

Kontrol masyarakat terhadap elite lokal merupakan indikator penting dalam

partisipasi, sebagai arena yang memungkinkan elite lokal itu

bertanggungjawab dan tanggap terhadap kepentingan warga.

Kontrol bisa dilakukan dengan hadirnya institusi pemantau (watch

dogs), dan yang lebih penting adalah terlembaganya mekanisme petisi, mosi

tidak percaya, atau recalling terhadap elite lokal oleh masyarakat.

170
Masyarakat pemilih (konstituen), misalnya, bisa menarik diri terhadap wakil

rakyat yang terbukti tidak bertanggungjawab atau tidak menjalankan amanat

rakyat. Tentu saja ruang kontrol masyarakat harus dilegalkan dalam aturan

main baik Undang-Undang, Peraturan Daerah maupun Peraturan Desa.

Membangun civil society maupun masyarakat partisipatif di desa tidak

harus berangkat dari titik nol. Meski sebagian besar organisasi di desa

bersifat korporatis (bentukan dari atas secara seragam), tetapi organisasi itu

bisa dibingkai ulang dengan bersandar pada prinsip partisipasi. Masyarakat

bisa memanfaatkan organisasi-organisasi lokal (RT, RW, LKMD, LPMD,

PKK, arisan, karang taruna, kelompok tani, dan lain-lain), bukan hanya

untuk seremonial atau self-help, tetapi juga bisa digunakan sebagai basis

partisipasi dalam pembangunan dan pemerintahan desa. Persoalannya,

bagaimana manfaat dan relevansi demokrasi desa dalam konteks

pembangunan desa? Apakah demokrasi menghasilkan kesejahteraan atau

kualitas hidup masyarakat, atau apakah demokrasi sanggup mengurangi

kemiskinan desa? Memang hubungan antara demokrasi dan pengurangan

kemiskinan susah direkonstruksi. Di Indonesia, kepercayaan pubik terhadap

relasi antara demokrasi dan pengurangan kemiskinan juga sangat rendah.

Orang sering sering mengatakan, promosi demokrasi di tengah-tengah

kemiskinan adalah suatu utopia yang membahayakan. Bagaimana mungkin

rakyat yang lapar diajak berpikir tentang demokrasi. Apa betul rakyat desa

butuh demokrasi, demikian kira-kira pendapat banyak orang yang sering

saya dengar. Karena itu solusinya, kata banyak orang, mendahulukan

peningkatan kesejahteraan rakyat jauh lebih penting ketimbang membangun

171
demokrasi. Tetapi argumen pragmatis itu sebenarnya lemah dari sisi

pemikiran maupun secara empirik. Orang sering berpikir demokrasi hanya

dalam konteks yang terbatas, yaitu kebebasan rakyat dan hadirnya lembaga

perwakilan rakyat yang kuat. Padahal demokrasi juga bisa dibaca dari sisi

pemerintah, yakni akuntabilitas dan responsivitas pemerintah terhadap

masyarakat. Dari sisi empirik ada banyak bukti yang kuat bahwa kegagalan

kebijakan pembangunan pedesaan selama ini bukan semata karena

kebijakan yang tidak berkualitas, melainkan proses kebijakan yang tidak

dibingkai dalam setting demokrasi.

Pelaksanaan kebijakan yang sering diwarnai dengan praktik-praktik

salah urus, asal-asalan, kebocoran, korupsi, atau salah sasaran karena

lemahnya transparansi, akuntabilitas maupun responsivitas pejabat

pemerintah, serta lemahnya partisipasi (voice, akses, dan kontrol)

masyarakat. Pada level yang lebih tinggi, munculnya raja-raja kecil maupun

praktik korupsi yang merajalela di daerah bukan karena otonomi daerah

sebagai kambing hitamnya, melainkan karena tidak adanya demokrasi

(partisipasi, akuntabilitas, transparansi dan responsivitas) di daerah. Orang

sering sudah puas mengatakan demokrasi kalau sudah ada lembaga-lembaga

demokrasi formal yang dihasilkan oleh pemilihan umum yang demokratis.

Di level desa, orang sering sudah puas mengatakan demokrasi karena

keberadaan kepala desa dan Badan Perwakilan Desa yang dipilih secara

demokratis.

Memang demokrasi tidak secara langsung mengurangi kemiskinan,

apalagi membuat kenyang perut rakyat miskin seketika. Toh pengurangan

172
kemiskinan bukan berarti memberi santunan atau sedekah secara langsung

kepada rakyat miskin, tetapi harus dengan kebijakan yang lebih rumit, yang

memungkinkan orang miskin mempunyai ruang dan akses secara memadai.

Demokrasi (partisipasi, akuntabilitas, transparansi dan responsivitas) tentu

saja akan membuka ruang bagi proses belajar, menciptakan hubungan antara

pejabat dengan rakyat miskin secara lebih manusiawi, membangkitkan

kesadaran dan potensi rakyat miskin, membuka kesempatan akses politik

bagi kaum miskin, membuat pejabat publik lebih bertanggungjawab,

mengurangi praktik-praktik kebocoran dalam alokasi dana yang

memungkinkan program lebih tepat sasaran untuk kaum miskin, dan

seterusnya. Proses kebijakan yang lebih partisipatif dan responsif tentu

memungkinkan lahirnya kebijakan yang relevan dengan kebutuhan kaum

miskin, bukan sekadar kebijakan yang bias preferensi eitee. Proses

membangun demokrasi dan pengurangan kemiskinan sebenarnya bisa

berjalan bersama secara simultan. Pengurangan kemiskinan tidak harus

didahulukan, sementara demokrasi diabaikan. Demikian juga, agenda

pengurangan kemiskinan tidak harus menunggu lahirnya setting demokrasi

yang lebih kondusif. Dalam konteks ini, demokrasi bisa menjadi proses dan

metode yang diterapkan untuk mengelola kebijakan pengurangan

kemiskinan. Yaitu, bagaimana membicarakan dan melaksanakan program-

program pengurangan kemiskinan secara demokratis, melalui proses belajar

bersama antara pemerintah dengan masyarakat.

Lalu bagaimana keterkaitan antara desentralisasi-demokrasi dengan

pengurangan kemiskinan di desa? Dari beberapa pendapat ditemukan

173
hubungan relatif lemah antara desentralisasi-demokrasi dan pengurangan

kemiskinan. Meskipun langkah besar pada pelimpahan kekuasaan kepada

lembaga lokal yang dipilih secara demokratis, desentralisasi di Colombia,

Brazil dan West Bengal tampak mencapai sedikit tentang pengurangan

kemiskinan atau perbaikan perbedaan (disparity) daerah. Kesimpulan

Moore tentang pengalaman di Bolivia, India dan Bangladesh sama-sama

pesimis. Temuan itu meningkatkan sejumlah perhatian tentang viabilitas

mendorong pengurangan kemiskinan melalui desentralisasi-demokrasi:89

1) Mereka mengemukakan bahwa bentuk desentralisasi-demokrasi


paling berhasil pun tidak mampu mengatasi perbedaan (disparity)
ekonomi dan politik, dalam dan antar daerah. Ini, pada gilirannya,
menyoroti persoalan peningkatan pendapatan di wilayah desa, di mana
surplus ekonomi (dan oleh karena itu penghasilan yang dapat dikenai
pajak) cukup jarang. Di sini penting untuk mengakui bahwa program
pembangunan sangat sering merupakan subjek untuk regional bias. Ini
dapat mengambil banyak bentuk, termasuk bias daerah yang relatif
subur dan berkembang dengan baik, bias perkotaan dan bias politik
pada wilayah di mana aktor lokal sangat berpengaruh. Anggapan
bahwa pemerintah serius melakukan pelimpahan kekuasaan kepada
lembaga lokal, kebijakan dasar ini dapat juga secara mendalam
mengancam eitee nasional. Bahkan ketika pemerintah pusat
membiarkan kreasi daerah, mereka masih dapat melaksanakan kontrol
yang besar dengan menetapkan sasaran kinerja, mekanisme pelaporan
dan semacamnya.
2) Mereka menyatakan ketegangan mendasar antara ketimpangan desa
dan demokrasi lokal. Hal penting di sini adalah bahwa kemiskinan
mempunyai pengaruh yang memperlemah kemampuan untuk ikut
89 Moore, Mick and James Putzel, 1999, Politics and Poverty: A Background Paper for The
World Development Report 2000/1. Paper tidak diterbitkan. Diakses tanggal 12 April 2009,
http://www.worldbank.org/poverty/wdrpoverty/dfid/synthes.pdf

174
serta dalam proses politik formal. Sebuah gambaran langsung tentang
ini adalah hubungan antara melek huruf dasar (basic literacy) dan
tindakan politik. Sebagaimana secara kuat memgemukakan,
kemampuan orang untuk memperoleh dan memahami informasi
tentang hukum, kebijakan dan hak-hak seringkali sangat bergantung
pada kemampuan membaca. Ini, pada gilirannya, menyoroti cara
keterwakilan penduduk miskin dalam institusi demokrasi (misal
melalui partai politik, block voting, lobbying, dan sebagainya) dan
kepemilikan alat politik (misal, uang, tenaga, informasi, melek
huruf) untuk mempengaruhi proses demokrasi. Ketika para pemilih
tidak mengetahui platforms partai, kebijakan pemerintah dan hak-hak
mereka, kemampuan mereka untuk mempengaruhi poses demokrasi
sangat terbatas. Demikian juga, ketika para politisi dan partai
berkampanye berdasarkan orientasi jangka-pendek, berlawanan
dengan kebijakan program, hubungan antara kompromi sifat dasar ini
dan akuntabilitas demokrasi dapat benar-benar sangat tipis.
3) Berhubungan dengan ini, adalah dilema mendorong penduduk miskin
untuk menanggung ongkos keterlibatan dalam tindakan politik
langsung. Sebagaimana dikedepankan, institusi agraria mungkin
disusun dalam sebuah cara yang mencegah penduduk miskin untuk
ikut serta dalam rapat umum politik dan sejenisnya. Selanjutnya,
ongkos tindakan politik (misal ongkos perjalanan, dan komunikasi)
mungkin menghalangi mereka dari mengejar atau meneruskan
gerakan politik yang masuk akal. Loyalitas yang bertentangan
mungkin mengurangi solidaritas politik sekitar identitas berbasis-
kelas, seperti petani gurem, tidak berlahan, pekerja upahan, (petani)
penyewa, penerima subsidi pangan, penghuni liar dan sejenisnya.
4) Dan ada persoalan tentang penyerobotan (capture) yang dilakukan eite
lokal. Seperti banyak studi menunjukkan, salah satu bahaya
desentralisasi adalah bahwa desentralisasi mungkin hanya
memberdayakan eite lokal dan, lebih buruk, mengekalkan kemiskinan
dan ketimpangan. Beberapa peneliti meragukan, apakah pengenalan

175
prinsip-prinsip demokrasi akan mengatasi faktor historis dan kultural
yang mengekalkan kesetaraan politik. Gilirannya, menyoroti
tantangan bagaimana mendorong demokrasi di desa di mana jumlah
orang yang besar bergantung pada segelintir eite lokal yang sangat
kuat.
Membuang intervensi pemerintah adalah sangat baik, orang dapat

memperkirakan dengan kepercayaan yang masuk akal bahwa ongkos

penjaminan distribusi yang adil dan pendorongan korupsi lokal akan tinggi.

Ini adalah proyek infrastruktur pedesaan yang benar-benar terkenal, seperti

pembangunan jalan raya atau irigasi, yang di dalamnya pasar input primer,

tenaga kerja dan regulasi publik akan bergantung pada sejumlah faktor:

kemudahan memperoleh keuntungan dari program; jumlah sewa yang

tersedia diambil untuk diri sendiri; kemampuan menghindari deteksi dan

sanksi; dan yang penting, sistem akuntabilitas yang idealnya membeberkan

dan menghukum perilaku jenis ini. Faktor terakhir ini perlu disoroti, karena

ia dapat dipengaruhi oleh kebijakan publik dan karena ia merupakan alokasi

yang salah atau korupsi sumberdaya publik yang seringkali membenarkan

teriakan paling keras untuk desentralisasi-demokrasi.

176
BAB IV

KELEMAHAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA


SAAT INI

A. Kelemahan Pemberdayaan Masyarakat Desa Saat Ini

Berbagai paradigma baru pembangunan desa yang telah dibahas di atas

tentu menyajikan perspektif alternatif dan kritis, yang berupaya membawa isu-

isu keberlanjutan dan menempatkan rakyat sebagai posisi subyek dalam

pembangunan desa. Keyakinan yang berpihak pada desa ini sudah diterima

177
secara luas oleh pemerintah, akademisi, lembaga-lembaga internasional sebagai

perspektif baru dalam pembangunan desa, apalagi belajar dari pengalaman masa

lalu, pembangunan desa terpadu yang dilaksanakan secara sentralistik oleh

pemerintah di desa telah menemui kegagalan. Baik pemerintah maupun

lembaga-lembaga internasional yang bekerja di Indonesia memang sudah

melakukan perubahan karitatif dalam hal strategi/pendekatan pembangunan desa

yang berupaya menempatkan posisi rakyat pada posisi subyek, misalnya

sebagaimana tergambar dalam program-program IDT, PPK, P2MPD, dan lain-

lain.

Tetapi ada sejumlah kelemahan yang perlu dicermati:

1. Pembangunan desa yang berpusat pada rakyat adalah sebuah konsep

akademik yang masih sebatas jargon, yang belum bisa diperasionalkan

secara konkret. Konsep ini sangat mujarab untuk melakukan kritik

model pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan dan

digerakkan pemerintah, tetapi secara empirik konsep itu belum bisa

dioperasionalkan secara konkret dan mampu menyentuh rakyat.

Raksasa birokrasi yang sentralistik dan hirarkhis menjadi sebuah

kendala besar untuk wewujudkan pembangunan desa yang berpusat

pada rakyat.
2. Sasaran pembangunan desa masih terfokus pada penanggulangan

kemiskinan melalui investasi infrastruktur dan pemberian layanan

sosial. Lebih parah lagi, di tingkat lokal, pembangunan desa dipahami

dan dipraktikkan sebagai pembangunan fisik semata. Selama ini tidak

ada analisis komprehensif yang dilakukan terhadap dampak intervensi

178
pemerintah, sebab yang lebih banyak dilakukan adalah menghitung

anggaran yang telah dikeluarkan pemerintah beserta lembaga donor

untuk membiayai pembangunan desa, bukan pada efisiensi, efektivitas

dan keberlanjutan hasil-hasil pembangunan desa. Program-program

pembangunan desa selama ini lebih memperhatikan kuantitas jumlah

yang dapat diberikan (deliverable) pemerintah, ketimbang

memperhatikan pencapaian dampak kualitatif yang penting terhadap

rakyat desa, misalnya program-program yang memperbaiki kualitas

hidup rakyat desa melalui pemerintahan lokal yang otonom dan

demokratis (democratic self-government).


3. Kekakuan sistem penganggaran proyek serta sistim pengawasan

keuangan negara yang sangat kurang fleksibilitasnya dan lebih

berfokus pada aspek administrasi dan pencapaian target fisik semata

tanpa melihat proses yang terjadi. Selain itu pula, kelompok

masyarakat kurang mengontrol penggunaan dana-dana pusat (DIP

sektoral) dan dana transfer (seperti Inpres). Mungkin tidak cukup

dukungan keuangan bagi Pemberdayaan Masyarakat dari sumber-

sumber daya lokal, baik disebabkan oleh rendahnya tingkat

pemungutan pajak, rendahnya tingkat pengendalian 'dana hibah' dari

pusat atau rendahnya tingkat komitmen pemerintah daerah untuk

mengalokasikan sumberdaya pemerintah setempat bagi usaha

Pemberdayaan Masyarakat. Sumberdaya masyarakat sendiri dapat

digerakkan sampai ke tingkat tertentu tapi nampaknya akan

membuktikan rendahnya kualitas penanganan input dan dukungan.

179
4. Ada keprihatinan bahwa kebijakan yang dikembangkan untuk

mendukung Pemberdayaan Masyarakat tidak akan cukup fleksibel

untuk mengakomodasi kondisi geografis, tingkat ekonomi dan budaya

yang berbeda-beda. Harus diperhatikan bahwa kebijakan yang

memungkinkan, tetapi tidak menghalangi proses adaptasi yang

dibutuhkan untuk memastikan strategi Pemberdayaan Masyarakat

yang tepat, diteruskan di tingkat lokal.


5. Program/proyek lain (pada instansi yang sama atau instansi yang

berbeda) sering menggunakan pendekatan yang bertentangan dengan

pendekatan Pemberdayaan Masyarakat, sehingga bisa mempengaruhi

proses implementasi Pemberdayaan Masyarakat di tingkat masyarakat

atau lembaga sendiri.


6. Orientasi Pemberdayaan Masyarakat selama ini selalu diukur dalam

bentuk fisik, komoditas, dan diukur dari sisi input dan kwalitatif,

daripada non-fisik dengan ukuran keberhasilan dari dampak dan

proses. Kebanyakan program Pengembangan Masyarakat berorientasi

fisik dan komoditas. Indikator keberhasilan diukur dari realisasi input

berdasarkan kwantitas daripada orientasi non-fisik dengan ukuran

dampak dan proses.

Dengan demikian, dana yang datang dari pusat adalah dana proyek yang

bersifat nonbudgeter, sehingga dana itu di tingkat lokal berada di luar

perencanaan dan pemerintah lokal tidak perlu membuat akuntabilitas kepada

publik. Karena program pembangunan desa yang terpusat itu tidak

diintegrasikan dalam skema desentralisasi, maka yang terjadi adalah

ketergantungan pemerintah lokal (daerah dan desa) pada program bantuan dari

180
pusat, serta melemahkan kemampuan dan responsivitas lokal dalam melancarkan

program-program pembangunan desa dalam kerangka desentralisasi secara

mandiri dan sesuai dengan preferensi lokal. Dalam benak pikiran pejabat

daerah, pembangunan desa adalah proyek-proyek peningkatan prasarana fisik

desa, kegiatan penyuluhan maupun penyaluran bantuan-bantuan karitatif

(sedekah) kepada rakyat desa. Dengan alasan klasik, minimnya dana, pemda

mengaku tidak mampu membuat kebijakan pembangunan desa yang

komprehensif. Tetapi kalau kita lihat struktur APBD di banyak kabupaten/kota,

anggaran pembangunan desa jauh lebih kecil dibanding dengan program

pengawasan dan pembinaan aparatur pemerintah, apalagi kalau dibandingkan

dengan belanja pegawai. Sementara, karena lemahnya agenda demokratisasi

(akuntabilitas, transparansi dan partisipasi) dalam pembangunan desa, telah

membuat proyek-proyek pembangunan itu digerogoti oleh praktik-prakti korupsi

pejabat lokal (local capture), sering tidak tepat sasaran pada rakyat desa yang

miskin, melemahkan modal sosial masyarakat desa, serta membuat erosi

kepemilikan lokal terhadap hasil-hasil pembangunan sehingga sisi keberlanjutan

sangat lemah.

Kebijakan pemerintah menetapkan arah pengelolaan pemerintahan menuju

tata kelola pemerintahan yang baik (goodgovernance) dan reformasi birokrasi,

merupakan pilihan yang rasional (rationalchoice). Salah satu agenda besar

menuju good governance dan reformasi birokrasiadalah peningkatan

profesionalisme aparatur pemerintah, baik di tingkat pusatmaupun di tingkat

Desa. Dalam rangka peningkatan profesionalisme aparatur pemerintah Desa,

perlu diperhatikan: pengembangan kapasitas aparatur pemerintah Desa dengan

181
prioritas peningkatan kemampuan dalam pelayanan publikseperti kebutuhan

dasar masyarakat, keamanan dan kemampuan di dalam menghadapi bencana,

kemampuan penyiapan rencana strategis pengembangan ekonomi desa,

kemampuan pengelolaan keuangan desa, dan pengelolaan kelestarian lingkungan

hidup. Untuk itu, aparatur pemerintah desa patutmemahami peran strategisnya

agar belajar mendalami, menggali serta mengkaji berbagai permasalahan dan

tantangan pelaksanaan good governance dan reformasi birokrasi ke depan, untuk

dapat diterapkan secara optimal di lingkungan kerja masing-masing.

Disamping hal tersebut diatas ada yang juga penting yaitu pengembangan

pelatihan pemberdayaan masyarakat, pelatihan ini merupakan salah

satu kegiatan penanggulangan kemiskinan yang cukup efektif untuk

mempercepat upaya pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan kapasitas

SDM dan perubahan perilaku secara kolektif aparat pemerintah dan pokmas di

desa. Untuk meningkatkan ketahanan ekonomi masyarakat Desa, menciptakan

masyarakat yang berdaya, yang memiliki kualitas yang unggul dan berperan

sebagai aktor utama pembangunan, pendidikan dan pelatihan tentu merupakan

kunci utama di dalamnya. Rancangan pengembangan pelatihan pemberdayaan

masyarakat ini diharapkan dapat memberi kontribusi yang tinggi terhadap

peningkatan keberdayaan dan kesejahteraan masyarakat Desa.

Pembangunan yang berpusat pada pertumbuhan telah didorong oleh

model-model ilmu ekonomi sistem terbuka yang konvensional, yang

memandang baik orang (manusia) maupun lingkungan sebagai variabel luar.

Manusia ditempatkan sebagai sumberdaya produksi yang dapat dipasarkan, yang

dibeli bila keuntungan marjinalnya bagi perusahaan melebihi biaya marjinalnya

182
dan menyingkirkannya bila tidak menguntungkan. Biaya sosial dan lingkungan

dari keputusan-keputusan perusahaan sebagian besar tidak ditanggungnya, dan

diteruskan kepada kalangan umum, sementara keuntungan diakumulasikan ke

dalam atau menjadi milik pribadi perusahaan.90

Selain itu, model pembangunan tersebut percaya melalui efek tetesan ke bawah

(trickle down effect), yakni bila terjadi akumulasi kapital di kalangan kelas atas

atau pusat, maka kapital itu akan menetes ke bawah. Orang-orang di bawah akan

"kecipratan" kekayaan ini, misalnya dalam bentuk lapangan kerja yang

diciptakan. Macam-macam konsumsi orang kaya juga akan memberikan

penghasilan bagi orang-orang di lapisan bawah.91 Karena itu lewat mekanisme

semacam itu pula perbaikan hidup rakyat pedesaan, yang mayoritas miskin,

diharapkan dapat terwujud. Peter Hagul misalnya mencatat: "Perbaikan taraf

hidup rakyat di pedesaan, seperti halnya perbaikan hidup rakyat pada umumnya

mula-mula diharapkan dari pembangunan ekonomi negara secara keseluruhan.92

Namun sejarah menunjukkan bahwa "trickle down effect" tidak mampu

mengangkat kesejahteraan penduduk miskin. Suatu studi komprehensif antar

bangsa yang meliputi 74 negara yang dilakukan oleh Adelman dan Morris

(1978), menunjukkan bahwa kenaikan GNP cenderung diikuti oleh suatu

penurunan dalam proporsi relatif pendapatan nasional yang diterima penduduk

90Ibid., hal. 270.

91Arief Budiman, op. cit., hal. 124 ff.

92Peter Hagul (ed.), Pembangunan Desa dan Lembaga Swadaya Masyarakat Desa (Jakarta:
Rajawali, 1985), hal. vi.

183
termiskin.93 Dengan demikian efek tetesan ke bawah tidak terjadi. Sebaliknya,

yang terjadi justru penyedotan ke atas (trickle- up effect) atau malahan akan

terjadi penyedotan produksi (production squeeze). Hal ini terjadi karena

program-program pembangunan direncanakan secara terpusat (top down), yang

seringkali tidak sesuai dengan masalah-masalah yang dihadapi dan

kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat bawah yang menjadi

tujuan pembangunan. Selain itu para perencana dan penentu kebijakan yang

menggariskan sasaran pembangunan dan mengalokasikan sumber dana sering

berada di bawah tekanan situasi untuk memprodusir hasil kuantitatif dalam

waktu yang singkat, sehingga mereka condong menekankan sasaran-sasaran

dari atas.94

Secara singkat dapat dikatakan bahwa model pertumbuhan hanya

menjadikan orang kaya menjadi kaya dan orang miskin menjadi lebih miskin.

Karena itu kritik dan kecaman terhadap doktrin developmentalisme itu terus

mengalir, mulai dari penganut paradigma kebutuhan pokok, teori ketergantungan

sampai dengan pendekatan dan gerakan baru yang mengarah pada pemberdayaan.

Gerakan pemberdayaan diawali dari munculnya paradigma pembangunan yang

berpusat pada manusia (rakyat), yang konon diakui sebagai pembangunan

alternatif. David Korten, misalnya, menyebut ciri-ciri paradigma pembangunan

berpusat pada rakyat sebagai berikut: Pertama, logika yang dominan dari

paradigma ini adalah logika mengenai suatu ekologi manusia yang seimbang;

93Diadaptasi dari Moeljarto Tjokrowinoto (1987), op. cit., hal. 33.

94Bambang Ismawan, "Pendidikan Yang Diperlukan Untuk Pengembangan Pedesaan", dalam Peter
Hagul (ed.), op. cit., hal. 6.

184
Kedua, sumber daya utama berupa sumber-sumber daya informasi dan prakarsa

kreatif yang tak habis-habisnya; dan Ketiga, tujuan utamanya adalah

pertumbuhan manusia yang didefinisikan sebagai perwujudan yang lebih tinggi

dari potensi manusia.95

Sebagaimana dikemukakan oleh Korten (1988: 374), paradigma ini

memberi peran kepada individu bukan sebagai obyek, melainkan sebagai aktor

"yang menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya, dan mengarahkan

proses yang mempengaruhi kehidupannya." Konsekuensinya, pembangunan

yang berpusat pada rakyat memberikan nilai yang sangat tinggi pada inisisatif

lokal dan sistem-sistem untuk mengorganisasi diri sendiri melalui satuan-satuan

organisasional yang berskala manusiawi dan komunitas-komunitas yang

mandiri. Model pembangunan ini punya perbedaan fundamental di dalam

karakteritik dasarnya dibandingkan dengan strategi pertumbuhan atau strategi

kebutuhan dasar yang selama ini mendominasi agenda pembangunan di Dunia

Ketiga, termasuk Indonesia.

Moeljarto Tjokrowinoto juga memberikan deskripsi mengenai ciri-ciri

pembangunan yang berpusat pada rakyat (manusia): Pertama, prakarsa dan

proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tahap

demi tahap harus diletakkan pada masyarakat sendiri. Meskipun pelbagai

ketentuan secara formal telah mengatur bottom up planning, di dalam realitanya,

LKMD lebih berfungsi sebagai implementor proyek- proyek sektoral dan

regional; Kedua, fokus utamanya adalah meningkatkan kemampuan masyarakat

95David C. Korten, "Pembangunan Yang Berpusat Pada Rakyat: Menuju Suatu Kerangka Kerja",
dalam David C. Korten dan Sjahrir, op. cit., hal. 374.

185
untuk mengelola dan memobilisasikan sumber-sumber yang terdapat di

komunitas untuk memenuhi kebutuhan mereka. Apa yang terjadi pada saat ini,

arus dana yang relatif lancar membatasi upaya untuk mengidentifikasi dan

menggali sumber itu. Counter fund bantuan desa, dan akhir-akhir ini "simpedes",

mungkin menuju ke arah identifikasi dan mobilisasi sumber tadi. Akan tetapi hal

ini tidak boleh merupakan adhocracy, akan tetapi harus melembaga; Ketiga,

pendekatan ini mentoleransi variasi lokal dan karenanya, sifatnya flexible

menyesuaikan dengan kondisi lokal; Keempat, di dalam melaksanakan

pembangunan, pendekatan ini menekankan pada proses social learning yang di

dalamnya terdapat interaksi kolaboratif antara birokrasi dan komunitas mulai

dari proses perencanaan sampai evaluasi proyek dengan mendasarkan diri saling

belajar; kelima, proses pembentukan jaringan (networking) antara birokrasi dan

lembaga swadaya masyarakat, satuan-satuan organisasi tradisional yang mendiri,

merupakan bagian integral dari pendekatan ini, baik untuk meningkatkan

kemampuan mereka mengidentifikasi dan mengelola pelbagai sumber, maupun

untuk menjaga keseimbangan antara struktur vertikal maupun horizontal.

Melalui proses networking ini diharapkan terjadi simbiose antara

struktur-struktur pembangunan di tingkat lokal.96

Maka, dasar interpretasi pembangunan yang berpusat pada rakyat adalah

asumsi bahwa manusia adalah sasaran pokok dan sumber paling strategis.

Karena itu, pembangunan juga meliputi usaha terencana untuk meningkatkan

kemampuan dan potensi manusia serta mengerahkan minat mereka untuk ikut

serta dalam proses pembuatan keputusan tentang berbagai hal yang memiliki

96Moeljarto Tjokrowinoto, op. cit., hal. 26-27.

186
dampak bagi mereka dan mencoba mempromosikan kekuatan manusia, bukan

mengabadikan ketergantungan yang menciptakan hubungan antara birokrasi

negara dengan masyarakat.

Proposisi di atas mengindikasikan pula bahwa inti pembangunan berpusat

pada rakyat adalah pemberdayaan (empowerment) yang mengarah pada

kemandirian masyarakat. Dalam konteks ini, dimensi partisipasi masyarakat

menjadi sangat penting. Melalui partisipasi kemampuan masyarakat dan

perjuangan mereka untuk membangkitkan dan menopang pertumbuhan kolektif

menjadi kuat.97 Tetapi partisipasi di sini bukan hanya berarti keterlibatan

masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan atau masyarakat hanya

ditempatkan sebagai "obyek", melainkan harus diikuti keterlibatan masyarakat

dalam pembuatan keputusan dan proses perencanaan pembangunan, atau

masyarakat juga ditempatkan sebagai "subyek" utama yang harus menentukan

jalannya pembangunan. Karena itu gerakan pemberdayaan menilai tinggi dan

mempertimbangkan inisiatif dan perbedaan lokal.

B. Kelemahan Lembaga Kemasyarakatan Desa

Dalam Undang-Undang Repulik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang

pemerintahan daerah, didalam bagian keempat mengenai lembaga lain yang

terdapat dalam Pasal 211 menyebutkan bahwa didesa dapat dibentuk Lembaga

Kemasyarakatan yang ditetapkan dengan peraturan desa dengan berpedoman

pada peraturan perundang-undangan, kemudian lembaga Kemasyarakatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas membantu Pemerintah Desa dan

merupakan mitra dalam Memberdayakan Masyarakat Desa. Keputusan

97Ibid., hal. 39.

187
Mendagri Repulik Indonesia mengenai kader pemberdayaan masyarakat terdapat

dalam Permendagri Nomor 7 Tahun 2007 bahwa dalam rangka Penumbuh

kembangkan penggerakan prakarsa dan partisipasi serta swadaya gotong royong

masyarakat dalam pembangunan didesa dan kelurahan perlu dibentuk kader

pemberdayaan masyarakat, dan juga kader pemberdayaan masyarakat

merupakan mitra pemerintah desa dan kelurahan yang diperlukan keberadaan

dan perananya dalam pemberdayaan masyarakat dan pembangunan partisipatif

di desa dan kelurahan, dan juga berdasarkan pertimbangan sebagaimana

dimaksud perlu menetapkan peraturan mentri dalam negri tentang kader

pemberdayaan masyarakat.

Tujuan diadakannya atau dibentuk Lembaga pemberdayaan masyarakat

(LPM) didesa/kelurahan anatara lain ialah untuk meningkatkan kesadaran

masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara didalam wadah negara

Kesatuan Republik Indonesia bedasarkan Pancasila dan UUD 1945,

Meningkatkan Partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan

pengendalian pembangunan, Meningkatnya kemampuan masyarakat sebagai

sumber daya manusia, meningkatnya ekonomi kerakyatan dalam upaya

pengentesan kemiskinan menyebutkan bahwa didesa dapat dibentuk Lembaga

Kemasyarakatan yang ditetapkan dengan peraturan desa dengan berpedoman

pada peraturan perundang-undangan, kemudian lembaga Kemasyarakatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas membantu Pemerintah Desa dan

merupakan mitra dalam Memberdayakan Masyarakat Desa.

Keputusan Mendagri Repulik Indonesia mengenai kader pemberdayaan

masyarakat terdapat dalam Peraturan Mendagri Nomor 7 Tahun 2007 bahwa

188
dalam rangka Penumbuh kembangkan penggerakan prakarsa dan partisipasi

serta swadaya gotong royong masyarakat dalam pembangunan didesa dan

kelurahan perlu dibentuk kader pemberdayaan masyarakat, dan juga kader

pemberdayaan masyarakat merupakan mitra pemerintah desa dan kelurahan

yang diperlukan keberadaan dan perananya dalam pemberdayaan masyarakat

dan pembangunan partisipatif didesa dan kelurahan, dan juga berdasarkan

pertimbangan sebagaimana dimaksud perlu menetapkan peraturan menteri dalam

negri tentang kader pemberdayaan masyarakat.

Mandiri didefinisikan sebagai keadaan dimana satu pihak dapat berdiri

sendiri tanpa bergantung pada pihak-pihak lain. Namun, kemandirian

(independence) juga dinyatakan sebagai prespektif yang sama sekali berbeda

dengan saling ketergantungan (interdependence). Kondisi saling ketergantungan

mensyaratkan kolaborasi dan sinergitas multi pihak.

Arah dan ukuran keberhasilan pembangunan sekarang akan sangat

ditentukan seberapa besar sinergi yang dapat dilakukan oleh tiga pihak pelaku

pembangunan (pemerintah, sektor usaha dan masyarakat sipil), dalam kesetaraan

mayarakat yang cukup luas dan begitu kompleksnya permasalahan dan kondisi

yang sesungguhnya kini dihadapi masyarakat.

Dengan dilaksanakan UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, maka sangat

dirasakan kebutuhan akan strategi pemberdayaan masyarakat Desa yang secara

khusus diharapkan mampu merespon kondisi dan permasalahan masyarakat

Desa yang sangat spesifik di masing-masing wilayah. Strategi pemberdayaan

masyarakat yang mampu mendorong terwujudnya konsep desentralisasi

pembangunan dan otonomi daerah dengan membangkitkan dan mempertautkan

189
segenap potensi kemampuan para pihak pada tingkat lokal itu sendiri. Dan juga

memiliki perspektif jangka panjang serta tetap memegang teguh prinsip-prinsip

pembangunan berkelanjutan.

Desa disebut berdaya apabila masyarakatnya mempunyai kekuatan untuk

menentukan arah dan posisi desanya secara sadar dan kritis. Banyak program

yang masuk ke Desa, tetapi apakah program-program tersebut sesuai dengan

kebutuhan masyarakat desanya? Atau hanya karena proyek semata?

Masyarakat seringkali tidak bisa menolak proses pembangunan tersebut.

Pembangunan tersebut (dalam bentuk proyek). Konsekuensi dari proses

pembangunan ini adalah mereka atau masyarakat Desa menjadi penonton

pembangunan di desanya sendiri.

Beberapa Tahun terakhir ini pola pendekatan itu sudah mulai bergeser

dengan adanya program PNPM Perdesaan dengan pola pemberdayaan

masyarakat. Tetapi partisipasi masyarakat Desa dalam menentukan berbagai

program masih sering terbentur pada proyek fisik. Program non fisik yang

banyak dirintis adalah kelompok SPP simpan pinjam khusus perempuan,

selain itu juga ada kegiatan peningkatan kapasitas berupa pelatihan masyarakat

sesuai kebutuhan masyarakat dan untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Awal Tahun 2014, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 6

tentang Desa beserta PP No 43 Tahun 2014. Undang-undang dan Peraturan

Pemerintah ini memberikan tantangan baru dalam pembangunan Desa, yang

menuntut kerja bersama berbagai unsur entitas di dalam Desa sendiri:

pemerintah, sektor swasta maupun kelompok masyarakat sipil dalam melakukan

190
kegiatan / kerja pembangunan Desa. Semua program yang masuk ke Desa diatur

dalam satu pintu, yakni selaras dengan perencanaan Desa yaitu RPJM Desa.

Melalui UU No 6 Tahun 2014, dan PP Nomor 43 tentang Pelaksanaan UU

Desa, Desa mempunyai kewenangan yang luar biasa untuk mengatur

sumberdaya dan arah pembangunannya. Tetapi program pembangunan Desa

perlu diimbangi dengan kemampuan dalam merencanakan, melaksanakan dan

memonitoring program pembangunan, terlebih pada aspek pengelolaan

keuangan Desa. Oleh karena itu, di satu sisi, Desa mempunyai harapan baru

untuk mandiri dengan semua potensi ekonomi, sosial, budaya dan sumber daya,

tetapi di sisi lain terdapat ketidaksiapan tata kelola pemerintahannya. Kondisi

yang bisa mengakibatkan bumerang terutama dalam sisi pertanggungjawaban

keuangan dan program pembangunan.

Alokasi anggaran Desa nantinya akan bersumber dari dua kanal yakni

APBN dan APBD yang diharapkan dapat berdampak positif pada peningkatan

kesejahteraan masyarakat, tetapi juga bisa berdampak pada munculnya masalah-

masalah baru di tingkat Desa. Proses menuju otonomi desa inilah yang

membutuhkan pendampingan guna mewujudkan masyarakat Desa yang berdaya

dan sejahtera.

Strategi pengembangan Desa yang akan mendasari pelaksanaan

keseluruhan intervensi pemberdayaan masyarakat Desa dan penguatan

kelembagaan / pemerintahan Desa; dimana Desa tidak dimaknai semata sebagai

kesatuan wilayah dan pemerintahan saja tapi merupakan entitas masyarakat

multidimensi yang tidak terpisahkan dari lingkungan alamnya. Konsep dasar

dari strategi ini adalah keyakinan bahwa tata kelola pemerintahan desa yang baik

191
akan menjadi syarat utama bagi pengembangan Desa, Desa yang dikelola

berbasis perencanaan pembangunan yang berkelanjutan, mempertimbangkan

keseimbangan capaian aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.

Intervensi dan investasi sosial awal dapat dilakukan melalui upaya

peningkatan kapasitas (capacity development) tentang tata kelola pemerintahan

Desa yang baik. Dalam proses peningkatan kapasitas ini, juga mulai didorong

tumbuhnya kesepakatan atas sistem tata kelola Desa; yang mencakup sistem

perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan/evaluasi hasil, antara lain melalui

proses-proses penyusunan RPJMDes, APBDes, pengembangan BUMDes, dan

pengelolaan potensi Desa.

Untuk menuju tata kelola pemerintahan Desa yang baik sesuai amanat UU

Desa diperlukan upaya peningkatan kapasitas kelembagaan Desa nelalui model

pemberdayaan kelembagaan Desa yang mengarah pada kesejahteraan

masyarakat yaitu Desa yang berdaya dan mandiri (Desa Berdikari). Tata kelola

pemerintah Desa yang baik tercapai manakala dilakukan pemberdayaan

kelembagaan Desa dan pemberdayaan masyarakat desa berjalan seiring dalam

rangka peningkatan kapasitas kelembagaan dan masyarakat Desa, diperlukan

suatu pelatihan kelembagaan maupun pelatihan kebutuhan masyarakat setempat.

Hal ini jelas akan memupuk potensi dan meningkatkan modal sosial masyarakat

serta menambah pertumbuhan ekonomi, infrastruktur dan kegiatan sosial atau

pendidikan masyarakat. Dengan kapasitas kelembagaan dan masyarakat Desa

meningkat akan menjamin keberlanjutan kelembagaan Desa, penanggulangan

kemiskinan akan berlanjut terus, adanya kelestarian lingkungan /infrastruktur

dan adanya kemandirian keuangan Desa.

192
Meningkatkan Partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan,

dan pengendalian pembangunan, Meningkatnya kemampuan masyarakat sebagai

sumber daya manusia, meningkatnya ekonomi kerakyatan dalam upaya

pengentesan kemiskinan. Ada beberapa masalah dalam LPM sehingga

menyebabkan penurunan kinerja:

1. Kurangnya partisipasi masyarakat dalam memberikan diri dalam program-


program LPM;
2. Kurangnya sosialisasi pengurus LPM kepada masyarakat mengenai LPM
itu sendiri dan program-programnya;
3. Kurangnya waktu pertemuan antara pengurus LPM;
4. Kurangnya komunikasi intern dan eksten LPM.

C. Kelemahan Di Substansi Hukum


Ada beberapa peran yang dapat dilakukan petugas pengembangan

masyarakat dalam praktik pengorganisasian dan pengembangan

masyarakat, yaitu:98

a. Peran- peran fasilitatif

1) Animasi social
Keterampilan melakukan animasi sosial menggambarkan

kemampuan pelaku perubahan ataupun pemberdaya masyarakat

untuk membangkitkan energi, inspirasi, antusiasme masyarakat,

termasuk di dalamnya mengaktifkan, menstimulasi, dan

mengembangkan motivasi warga untuk bertindak. Peran pelaku

perubahan ataupun pemberdaya masyarakat disini bukanlah sebagai

seseorang yang akan melaksanakan seluruh kegiatan oleh dirinya

98 Isbandi Rukminto Adi, Intervensi Komunitas. hal. 91

193
sendiri, tetapi lebih ke arah memampukan (enable) warga untuk mau

terlibat aktif dalam proses perubahan di komunitas tersebut.

2) Mediasi dan negoisasi

Pelaku perubahan dalam upaya melakukan intervensi sosial

(perubahan sosial yang terencana) kadangkala bertemu dengan

situasi di mana terjadi konflik minat dan nilai dalam komunitas.

Konflik ini sering kali tidak terhindarkan karena dala m suatu

komunitas tidak jarang terdapat berbagai perbedaan minat dan cara

pandang dari berbagai kelompok yang ada dalam masyarakat

tersebut.

Terkait dengan hal di atas, seorang pemberdaya masyarakat

harus dapat menjalankan fungsi mediasi ataupun menjadi me diator

guna menghubungkan kelompok- kelompok yang sedang

berkonflikagar tercapai sinergi dalam komunitas tersebut. Peran

sebagai mediator ini tentu saja terkait dengan peran sebagai

negoisator karena di tengah kelompok yang sedang berkonflik, tidak

jarang seorang pelaku perubahan harus mampu menengahi dan

mencari titik temu yang dapat dikerjakan bersama oleh kelompok-

kelompok yang sedang berkonflik tersebut tanpa menimbulkan

pertentangan dan perpecahan yang lebih mendalam. Artinya seorang

pemberdaya masyarakat tidak boleh memihak satu diantara kelompok

masyarakat tersebut

3) Pemberi dukungan

194
Salah satu peran dari pemberdaya masyarakat adalah untuk

menyediakan dan mengembangkan dukungan terhadap warga yang

mau terlibat dalam struktur dan aktivitas komunitas tersebut.

Dukungan itu sendiri tidak selalu bersifat materiil, tetapi dapat juga

bersifat seperti pujian, penghargaan dalam bentuk kata- kata,

ataupun sikap dan perilaku yang menunjukkan dukungan dari

pelaku perubahan terhadap apa yang dilakukan warga, seperti

menyediakan waktu bagi warga bila mereka ingin berbicara

dengannya guna membahas permasalahan yang mereka hadapi. 99

4) Fasilitasi kelompok
Banyak waktu yang digunakan oleh pelaku perubahan

dihabiskan dalam kelompok kelompok yang ada dimasyarakat.

Oleh karena itu, keefektifan kerja dari pelaku perubahan

sebagai pemberdaya masyarakat juga akan sangat terkait dengan

keterampilannya untuk berinteraksi dengan kelompok- kelompok

kecil. Disinilah kemampuan memfasilitasi kelompok dari agen

pemberdaya masyarakat ujian Karena keanekaragaman masyarakat.

Kelompok-kelompok yang ada di masyarakat pada dasarnya

merupakan suatu modal sosial karena adanya unsur norma (norms)

dan nilai (values) dalam kelompok tersebut serta adanya kepercayaan

yang merupakan suatu ciri modal sosial. Hal yang menjadi masalah

adalah mampukah si pelaku perubahan memfasilitasi kelompok-

kelompok warga tersebut agar mau bertindak konstruktif dan

99 ibid, hal. 92

195
bersinergi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya secara

lebih utuh dan bukan sekedar membangun satu atau dua kelompok

saja. Dalam beberapa situasi, seorang pemberdaya masyarakat dapat

melakukan peranan fasilitatif dalam kelompok. Dia bisa terlibat

sebagai ketua kelompok atau sebagai anggota kelompok untuk

membantu kelompok tersebut dala m mencapai tujuan secara efektif.

Berbagai diskusi tentang upaya mengembangkan kelompok

selalu terkait dengan peran- peran pelaku perubahan sebagai

pemberdaya masyarakat. Hal pertama yang harus di lakukan adalah

memfokuskan pada membantu kelompok untuk menc apai hasil yang

diinginkan (misalnya, membantu membangun taman bermain atau

membantu merenovasi rumah warga), sedangkan hal yang kedua

lebih mengarah pada bagaimana menciptakan kelompok tersebut.

Dari pandangan Ife, dalam pembangunan suatu komunitas, justru

proses itulah yang lebih memainkan peranan utama di bandingkan

dengan sekedar hasil yang ingin dicapai.

5) Pemanfaatan sumber daya dan keterampilan

Pelaku perubahan sebagai pemberdaya masyarakat harus

dapat mengidentifikasi dan memanfaatkan berbagai keterampilan

dan sumber daya yang ada dalam komunitas maupun kelompok.

Misalnya, ada kelompok yang mempunyai keterampilan membatik,

ada pula kelompok warga yang terampil membuat makanan, seperti

keripik kentang, talas, tempe dan ada juga warga yang terampil

196
membuat kerajinan tangan, seperti kalung dan gelang. Berbagai

kelompok warga ini harus mendapat perhatian dari pelaku

perubahan sehingga dalam pengembangannya meraka bisa

mengoptimalisasikan keterampilan mereka.

Berbagai kelompok ini harus mendapat perhatian dari

pemberdaya masyarakat sehingga dalam pengembangannya mereka

bisa mengoptimalisasikan keterampilan mereka, yang tentu saja disini

dipertimbangkan pula potensi daerah pemasaran dimana produk

tersebut bisa diterima.

b. Peran- peran pendidikan

Jika peran- peran fasilitatif melibatkan petugas perubahan

masyarakat dalam menstimulasi dan mendorong proses - proses

kemasyarakatan, maka peran- peran pendidikan menuntut petugas

pengembangan masyarakat untuk lebih aktif dalam penyusunan

agenda. Petugas pengembangan masyarakat tidak hanya membantu

pelaksanaan, tetapi juga harus lebih berperan aktif dalam memberikan

masukan secara langsung, sebagai hasil dari pengetahuan, keterampilan

dan pengalamannya. 100

1) Peningkatan kesadaran

Peningkatan kesadaran diawali dengan upaya membangun

hubungan antara hubungan personal dengan kepentingan politisi, atau

kepentingan individual dengan kepentingan struktural. Hal

100 Abu Huraerah , Pengorganisasian Dan Pengembangan Masyarakat, hal. 155

197
inibertujuan membantu individu melihat permasalahan, impian,

aspirasi, penderitaan yang dialaminya dalam perspektif sosial dan

politik yang lebih luas.

Hal ini dilakukan karena memisahkan permasalahan yang

bersifat personal dengan struktur sosial dan politik seringkali justru

menjadi penyebab terjadinya ketidakberdayaan. Dalam upaya agar

masyarakat mau dan mampu mengatasi ketidakberuntungan

structural mereka, warga harus mau menjalin hubungan antara satu

dan lainnya. Hal inilah yang menjadi tujuan awal dari penyadaran

masyarakat.

Komponen penting yang lain dari peningkatan kesadaran

masyarakat adalah.101 Pertama, membantu masyarakat untuk dapat

melihat berbagai alternatif yang ada. Masyarakat tidaklah perlu

hanya melihat kehidupan seperti apa adanya saat ini karena dengan

mau melihat dunia ini dari sudut pandang yang lain, seringkali

justru dapat memunculkan beberapa alternatif untuk mengatasi

permasalahan yang ada. Kedua dalam proses penyadaran adalah

menyadarkan masyarakat tentang struktur dan strategi perubahan

sosial di mana warga dapat berpartisipasi dan bertindak secara

efektif.

2) Pemberian informasi
Pelaku perubahan dalam upaya memberdayakan

101 Isbandi Rukminto Adi, Intervensi Komunitas Pengembangan Masyarakat SebagaiUpaya


Pemberdayaan Masyarakat, hal. 98

198
masyarakat tidak jarang juga harus menyampaikan informasi yang

mungkin belum diketahui oleh komunitas sasarannya. Membantu

memberikan informasi yang relevan kepada masyarakat merupakan

satu di antara peran penting seorang pelaku perubahan masyarakat.

Aspek-aspek yang berkaitan dengan informasi demografi dan

indikator-indikator sosial, seperti: struktur usia, tingkat kematian,

tingkat kenakalan remaja, distribusi pendapatan dapat menjadi

informasi penting bagi masyarakat untuk menyusun profil bagi

mereka sendiri.
Dalam kasus yng berbeda, pelaku perubahan juga dapat

memberikan informasi yang berguna antara lain dengan

menggambarkan kesuksesan suatu program yang telah dilaksanakan

di daerah lain dengan situasi dan kondisi yang mempunyai

kemiripan dengan komunitas sasaran. Meskipun mereka

mempunyai perbedaan budaya, kadangkala tetap penting untuk

mengetahui keberhasilan suatu kegiatan di daerah atau negara

lain.102

3) Pelatihan

Pelatihan merupakan peran pendidikan yang paling spesifik

karena secara mendasar dapat memfokuskan pada upaya

mengajarkan komunitas sasaran bagaimana cara melakukan sesuatu

hal yang berguna bagi mereka secara khusus dan lebih luas lagi

bagi komunitasnya. Dalam beberapa kasus, pelaku perubahan belum

102 Ibid , hal. 103

199
tentu bertindak sebagai instruktur dalam suatu pelatihan warga, tetapi

pelaku perubahan lebih banyak berindak sebagai penghubung guna

mencarikan tenaga yang ahli dalam pelatihan tersebut.

Pelatihan pada dasarnya akan lebih efektif bila keterampilan

yang di ajarkan adalah keterampilan yang di inginkan oleh

masyarakat. Dalam arti, masyarakat dilibatkan dalam proses

menentukan pelatihan apa yang mereka inginkan.

Sedangkan peran petugas pengembangan masyarakat

yang di kutip dalam buku Abu Huraerah adalah:103

a) Enabler (pemercepat perubahan). Peran sebagai enabler adalah,

membantu masyarakat agar dapat mengartikulasikan atau

mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan mereka, menjelaskan

dan mengidentifikasikan masalah- masalah mereka dan

mengembangkan kemampuan mereka agar dapat menangani

masalah yang mereka hadapi secara lebih efektif. Peranan

sebagai enabler ini adalah peranan klasik atau

tradisional dari seorang pengembang masyarakat. Fokusnya

adalah menolong masyarakat agar dapat menolong

dirinyasendiri. Ada empat fungsi utama yang dilakukan

pengembang masyarakat sebagai pemercepat perubahan

(enabler), yaitu: membantu masyarakat menyadari dan

melihat kondisi mereka, membangkitkan dan mengembangkan

organosasi dalam masyarakat, mengembangkan relasi yang

103 Abu Huraerah, Pengorganisasian Dan Pengembangan Masyarakat, hal 149

200
baik dan memfasilitasi perencanaan yang baik.
b) Broker (Perantara). Peranan seorang broker adalah,

menghubungkan individu- individu ataupun kelompok dalam

masyarakat yang membutuhkan pertolongan dengan pelayanan

masyarakat, tetapi tidak tahu dimana dan bagaimana

mendapatkan bantuan tersebut dengan lembaga yang

menyediakan layanan masyarakat. Peranan ini dilakukan

seorang broker karena individu atau kelompok tersebut

kerapkali tidak mengetahui dimana dan bagaimana

mendapatkan pertolongan tersebut.


c) Educator (pendidik). Dalam menjalankan peran sebagai

pendidik, pengembang masyarakat diharapkan mempunyai

kemampuan menyampaikan informasi dengan baik dan jelas,

serta mudah ditangkap oleh komunitas yang menjadi sasaran

perubahan. Disamping itu, ia juga harus mempunyai

pengetahuan yang cukup memadai mengenai topik yang akan

dibicarakan. Dalam hal ini, tidak jarang seorang pengembang

masyarakat harus menghubungi rekan dari profesi lain yang

menguasai materi tersebut. Apsek lain yang terkait dengan

peran ini adalah keharusan bagi seorang pengembang

masyarakat untuk selalu belajar.


d) Expert (tenaga ahli). Sebagai seorang expert, pelaku

perubahan berperan menyediakan informasi dan memberikan

saran-saran dalam berbagai area. Seorang expert juga harus

sadar bahwa usulan dan saran yang ia berikan bukanlah

201
mutlak harus di jalankan klien mereka, tetapi usulan dan

saran tersebut lebih merupakan gagasan sebagai bahan pe

rtimbangan masyarakat ataupun organisasi dalam

pengambilan keputusan.
e) Social planner (perencana sosial). Seorang perencana sosial

berperan mengumpulkan fakta-fakta tentang masalah

sosial yang terdapat dalam komunitas serta menyusun

alternatif tindakan dala m menangani masalah tersebut.

Seorang sosial planner lebih lebih memfokuskan pada

keterlibatan dalam tugas-tugas pengembangan dan

pengimplementasian program. Peran expert dan social

planner saling tumpah tindih, dimana seorang expert lebih

memfokuskan pada pemformulasian usulan dan saran yang

terkait dengan isu dan permasalahan yang ada, sedangkan

perencana sosial lebih memfokuskan pada tugas-tugas yang

terkait dengan pengembangan dan pelaksanaan program.


f) Advocate (advokasi). Peranan sebagai advokasi dipinjam dari

profesi hukum. Peranan ini adalah peranan yang aktif dan

terarah, dimana pelaku perubahan melaksanakan fungsinya

sebagai advokat yang mewakili kelompok masyarakat yang

membutuhkan pertolongan ataupun pelayanan, tetapi

institusi yang seharusnya memberikan pertolongan tersebut

tidak memperdulikan ataupun menolak tuntunan masyarakat.


g) Activist (aktivis). Sebagai aktivis, seorang pengembang

masyarakat senantiasa melakukan perubahan yang mendasar

202
dan sering kali tujuannya adalah pengalihan sumber 1daya

atau kekuatan pada kelompok yang kurang mendapatkan

keuntungan. Seorang aktivis biasanya mencoba menstimulasi

kelompok yang kurang diuntungkan tersebut untuk

mengorganisasi diri dan melakukan tindakan melawan struktur

kekuasaan yang ada.

BAB V

REKONSRUKSI PEMBERDAYAAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN


DESA UNTUK MENGENTASKAN KEMISKINAN

A. REKONTRUKSI PEMBERDAYAAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN


DESA UNTUK MENGENTASKAN KEMISKINAN BERDASARKAN
PANCASILA SILA KE-5 DAN UUD NKRI 1945

Dalam kajian tentang pemberdayaan masyarakat, para pakar ilmu social

menggunakan istilah pengembangan masyarakat yang sifatnya bottom up

daripada pembangunan masyarakat yang cenderung bersifat top down untuk

menerjemahkan kata community development. Pengembangan masyarakat

203
dengan demikian merupakan suatu aktivitas pembangunan yang berorientasi

pada kerakyatan. Syarat pembangunan kerakyatan menurut Corten (1990) adalah

tersentuhnya aspek-aspek keadilan, keseimbangan sumberdaya alam dan adanya

partisipasi masyarakat. Dalam konteks seperti itu maka pembangunan

merupakan gerakan masyarakat, seluruh masyarakat, bukan proyek pemerintah

yang dipersembahkan kepada rakyat di bawah. Pembangunan adalah proses di

mana anggota-anggota suatu masyarakat meningkatkan kapasitas perorangan

dan institusional mereka dalam memobilisasi dan mengelola sumberdaya untuk

menghasilkan perbaikan-perbaikan yang berkelanjutan dan merata dalam

kualitas hidup sesuai aspirasi mereka sendiri.

Dalam konsep pembangunan masyarakat juga dikenal istilah

pemberdayaan yang berasal dari kata empowerment. Konsep ini digunakan

sebagai alternatif dari konsep-konsep pembangunan yang selama ini dianggap

tidak berhasil memberikan jawaban yang memuaskan terhadap masalah-masalah

besar, khususnya masalah kekuasaan (power) dan ketimpangan (inequity).

Pemberdayaan adalah suatu proses menolong individu dan kelompok

masyarakat yang kurang beruntung agar dapat berkompetisi secara efektif

dengan kelompok kepentingan lainnya dengan cara menolong mereka untuk

belajar menggunakan pendekatan lobi, menggunakan media, terlibat dalam aksi

politik, memberikan pemahaman kepada mereka agar dapat bekerja secara

sistematik, dan lain-lain (Ife, 1995). Sedangkan Friedman (1992) mengatakan

bahwa pemberdayaan adalah sebuah politik pembangunan alternatif yang

menekankan keutamaan politik sebagai sarana pengambilan keputusan untuk

melindungi kepentingan masyarakat yang berlandaskan pada sumberdaya

204
pribadi, langsung melalui partisipasi, demokrasi, dan pembelajaran sosial

melalui pengamatan langsung.

Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep

pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini

mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat people

centred, participatory, empowering, and sustainable (Chambers, 1995). Konsep

ini lebih luas dari hanya sekedar memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau

menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut.

Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa

yang antara lain oleh Friedman (1992) disebut sebagai alternative development,

yang menghendaki inclusive democracy, appropriate economic growth, gender

equality and intergenerational equaty (Kartasasmita, Ginanjar 1996).

Kaitan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat bahwa

pengembangan masyarakat harus didasarkan pada asumsi, nilai, dan prinsip-

prinsip agar dalam pelaksanaannya dapat memberdayakan masyarakat

berdasarkan inisiatif, kemampuan, dan partisipasi mereka sendiri. Dengan

demikian, konsep pengembangan masyarakat yang di dalamnya terkandung

makna partisipatif harus benar-benar dapat memberdayakan masyarakat yang

ditunjukkan oleh kemampuan mereka menolong diri mereka sendiri (self-help)

dan dapat bersaing secara efektif dengan kelompok masyarakat lainnya.

Pengalaman menunjukkan bahwa masyarakat hendaknya diikutsertakan

dalam upaya pengentasan kemiskinan dengan bantuan dan tuntunan pelaksana

kebijaksanaan. Dalam kondisi ini harapan dan energi sosial berpadu dengan

bimbingan untuk mencapai tujuan. Sikap ini menempatkan masyarakat sebagai

205
mitra pembangunan dan bukan semata-mata sebagai penikmat hasil

pembangunan. Upaya pemberdayaan ekonomi kerakyatan hendaknya menganut

pola kombinasi pendekatan populis bottom-up dan pendekatan paternalistik top-

down dalam konteks tertentu.

Hal ini dimungkinkan karena kebutuhan pembangunan dapat

diprioritaskan sesuai dengan kebutuhan riil. Masyarakat yang diikutsertakan

dalam proses pengambilan keputusan dan implementasinya akan lebih responsif

untuk turut memikul tanggung jawab pengelolaan pelaksanaan kegiatan. Hal ini

akan membantu mengurangi biaya yang disediakan pihak pemerintah. Disamping

itu pengetahuan dan keterampilan lokal (indigenous technical know-how) mampu

diadaptasikan untuk membantu penghematan biaya dan peningkatan keuntungan.

Pemikiran di atas secara eksplisit menggambarkan keikutsertaan

masyarakat sebagai mitra pembangunan, dan bukan lagi sebagai kelompok

sasaran (obyek). Dalam keadaan ini partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan,

terutama dalam bentuk partisipasi yang bersifat mobilisasi spontan yang diartikan

secara positif. Partisipasi merupakan unsur perekat dimana masyarakat

merupakan faktor sentral dalam proses pembangunan desa. Partisipasi

menempatkan masyarakat sekaligus sebagai mitra pembangunan, pemegang

risiko (stakeholders) serta pembuat dan pengambil keputusan yang menyangkut

masa depan masyarakat Desa.

Setiap upaya dan strategi pemberdayaan kelembagaan desa memiliki

keterkaitan kuat dengan kondisi sosial ekonomi Desa, apalagi dalam pelaksanaan

UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Kebijakan pemberdayaan kelembagaan

206
hendaknya mencakup seluruh elemen sosial ekonomi dan potensi yang terdapat

di Desa. Dengan memahami apa yang ada di Desa dan juga apa yang menjadi

tantangannya akan dapat menentukan arah pengembangan Desa sesuai dengan

amanat UU Desa. Sehingga tidak hanya senang Desa bisa mendapatkan dana

Desa akan tetapi bagaimana Desa mampu mengelola keuangan Desa tersebut

dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa menuju Desa berdaya,

mandiri atau berdikari dalam arti sesungguhnya


Bidang pemberdayaan masyarakat di pedesaan adalah pemberdayaan

sumberdaya (potensi) lokal meningkatkan partisipasi, memupuk kepedulian

semua pihak untuk kemandirian (berdikari) masyarakat. Melihat realitas

tersebut, maka perlu adanya. Pemberdayaan Kelembagaan Masyarakat Dalam

Implementasi UU RI Nomor: 6 Tahun 2014 di Kabupaten Demak.


Dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, salah satu

strategi penting bagi rumah tangga perdesaan yaitu untuk mendapatkan dan

meningkatkan penghasilan. Terlebih pembangunan Desa bertujuan

meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup warga Desa, serta

menanggulangi kemisknan melalui pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat

Desa.
Amanat UU.RI Nomor: 6 Tahun 2014 tenatang Desa, Pertama. Membina

dan meningkatkan perekonomian Desa serta mengintegrasikannya. Pemerintah

Desa dituntut melakukan inovasi dan berkreativitas untuk menciptakan sektor

ekonomi produktif pedesaan, seperti budi daya produk-produk yang berbasih

kearifan lokal, antara lain hasil kerajinan industri pangan/minuman tradisional,

produk hasil bumi dan pertanian dan sebagainya.


Kedua. Mengembangkan sumber pendapatan Desa dan perwujudan

pembangunan Desa secara partisipasif. Pemerintah Desa harus bisa

207
memanfaatkan dan mendayagunakan aset sebagai sumber pendapatan yang bisa

digunakan untuk membangun sarana dan prasaranan. Dalam aset Desa berupa

tanah kas, tanah ulayat, pasar atau pasar hewan, bangunan Desa, hutan milik

Desa, mata air/pemandian umum, dan aset lain milik Desa.


Ketiga. Pembangunan kawasan pedesaan yang meliputi penggunaan dan

pemanfaatan wilayah Desa dalam rangka penetapan kawasan pembangunan

sesuai dengan tata ruang Kabupaten/Kota, membangun infrastruktur,

meningkatkan ekonomi pedesaan, dan pengembangan teknologi tepat guna ,

serta pemberdayaan masyarakat Desa untuk meningkatkan akses terhadap

pelayanan dan kegiatan ekonomi pada Pasal 79 UU Nomor: 6 Tahun 2014 yang

berisikan:

Pasal 79

(1)Pemerintah Desa menyusun perencanaan Pembangunan Desa sesuai dengan


kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan
Kabupaten/ Kota.
(2) Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disusun secara berjangka meliputi:
a. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 6
(enam) tahun; dan
b. Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau yang disebut Rencana
Kerja Pemerintah Desa, merupakan penjabaran dari Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 1 (satu)
tahun.
(3) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja
Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan
Peraturan Desa.
(4) Peraturan Desa tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
dan Rencana Kerja Pemerintah Desa merupakan satu-satunya dokumen
perencanaan di Desa.
(5) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja
Pemerintah Desa merupakan pedoman dalam penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(6) Program Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah yang berskala lokal Desa
dikoordinasikan dan/atau didelegasikan pelaksanaannya kepada Desa.

208
(7) Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan salah satu sumber masukan dalam perencanaan pembangunan
Kabupaten/ Kota.

Keempat. Mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang dikelola

dengan semangat kekeluargaan dan gotong royong. Hasil usaha badan tersebut

dapat dimanfaatkan untuk pengembangan usaha, pembangunan Desa,

pemberdayaan masyarakat, dan membantu masyarakat miskin melalui hibah,

bantuan sosial, atau dana bergulir yang ditetapkan dalam anggaran pendapatan

dan belanja Desa.


Peran aktif dari masyarakat juga dirasa sudah cukup baik dan merupakan

modal yang sangat berharga bagi perkembangan pelaksanaan pembangunan

perekonomian desa, namun masih perlu ditingkatkan lagi agar pelaksanaan

pembangunan dapat diperkaya lagi dengan optimal. Sama halnya keterkaitan

antara pemerintah desa baik dari kepala desa, badan permusyawaratan desa

(BPD), lembaga-lembaga kemasyarakatan salah satunya lembaga pemberdayaan

mayarakat desa (LPMD) harus saling berkoordinasi atau bekerja sama dengan

baik, sehingga hasil pembangunan perekonomian desa sesuai dengan apa yang

dibutuhkan desa. Maka untuk mendukung keberhasilan perencanaan

pembangunan perekonomian desa tersebut diperlukan adanya kemitraan antara

lembaga kemasyarakatan yaitu Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa

(LPMD) yang berfungsi sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam

merencanakan dan melaksanakan pembangunan dengan Kepala Desa yang

secara umum mengawasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa.

Kepala Desa bertugas menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan

pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan

209
masyarakat desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang

Desa, bagian kedua Pasal 26 ayat 1.


Kepala Desa juga wajib melindungi membela, meningkatkan

kesejahteraan pengetahuan serta kehidupan penduduk desa. Kepala desa

mempunyai kedudukan sebagai perwakilan desa sebagai badan hukum. Tetapi

didalam melaksanakan tugasnya, terutama dalam urusan yang penting kepala

desa dapat mungkin meminta pertimbangan dari anggota perangkat desa yang

lain. Sehingga melihat kepada pengaruh yang begitu besar dari kepala desa itu

sendiri di dalam menjalankan segala macam bentuk urusan desa, maka kita dapat

mengetahui keberlangsungan kemajuan desa di dalam segala aspeknya.

Sedangkan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) merupakan

lembaga mitra pemerintah desa dan kelurahan dalam menampung dan

mewujudkan aspirasi serta kebutuhan masyarakat di bidang pembangunan.

Terbentuknya Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) sesuai dengan

kebutuhan dan prakarsa masyarakat. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa

berkedudukan di Desa, dan merupakan Lembaga masyarakat yang bersifat lokal

dan berdiri sendiri Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah, Bagian Keempat Pasal 211 ayat 2, pemerintah menetapkan Lembaga

Kemasyarakatan sebagaimana dimaksud ayat 1 bertugas membantu Pemerintah

Desa dan merupakan mitra dalam memberdayakan masyarakat desa.

Pemberdayaan kelembagaan masyarakat mandiri merupakan usaha yang

penting untuk mengentaskan kemiskinan sesuai dengan amanat dari Undang-

Undang No 6 tahun 2014 yang menyebutkan bahwa bahwa Desa memiliki hak

asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan

210
masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan

berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam

berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat,

maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat

dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang

adil, makmur, dan sejahtera.

Terbangunnya nilai kesejahteraan akan membawa tarap hidup masyarakat

menjadi baik sesuai yang terkandung dalam nilai-nilai Sila Kelima, yaitu

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mengandung makna setiap

manusia Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk

menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Untuk itu

dikembangkan perbuatannya luhur yang mencerminkan sikap dan suasana

kekeluargaan dan gotong royong. Untuk itu diperlukan sikap adil terhadap

sesama, menjaga kesinambungan antara hak dan kewajiban serta menghormati

hak-hak orang lain.

Nilai yang terkandung dalam sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat

Indonesia didasari, dan dijiwai oleh Sila Ketuhanan Yang Maha Esa,

Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab , Persatuan Indonesia, serta Kerakyatan

yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan atau

Perwakilan. Dalam sila kelima tersebut terkandung nilai- nilai yang merupakan

tujuan Negara sebagai tujuan dalam hidup bersama. Maka dalam sila ke 5

tersebut terkandung nilai keadilan yang harus terwujud dalam kehidupan

bersama (kehidupan sosial). Keadilan tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat

211
keadilan manusia yaitu keadilan dalam hubungan manusia dengan dirinya

sendiri, manusia dengan manusia lain, manusia dengan masyarakat, bangsa dan

negaranya serta hubungan manusia dengan Tuhannya.

Konsekuensinya nilai-nilai keadilan yang harus terwujud dalam

kehidupan bersama meliputi:

a. Keadilan distributive Aristoteles berpendapat

bahwa keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang sama diperlukan

secara sama dan hal-hal yang tidak sama diperlukan tidak sama (just ice

is done when equelz are treated equally). Keadilan distributive sendiri

yaitu suatu hubungan keadilan antara Negara terhadap warganya, dalam

arti pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk

keadilan membagi, dalam bentuk kesejahteraan, bantuan, subsidi serta

kesempatan dalam hidup bersama yang didasarkan atas hak dan

kewajiban.
b. Keadilan Legal (Keadilan Bertaat) Yaitu suatu

hubungan keadilan antara warga Negara terhadap negara dan dalam

masalah ini pihak wargalah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk

mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam Negara.

Plato berpendapat bahwa keadilan dan hukum merupakan subtansi rohani

umum dari masyarakat yang membuat dan menjadi kesatuannya. Dalam

masyarakat yang adil setiap orang menjalankan pekerjaan menurut sifat

dasarnya paling cocok baginya (the man behind the gun). Pendapat Plato

itu disebut keadilan moral, sedangkan untuk yang lainnya disebut

keadilan legal.

212
c. Keadilan Komulatif Yaitu suatu hubungan

keadilan antara warga satu dengan yang lainnya secara timbal balik.

Keadilan ini bertujuan untuk memelihara ketertiban masyarakat dan

kesejahteraan umum. Bagi Aristoteles pengertian keadilan ini merupakan

ases pertalian dan ketertiban dalam masyarakat. Semua tindakan yang

bercorak ujung ekstrem menjadikan ketidak adilan dan akan merusak

atau bahkan menghancurkan pertalian dalam masyarakat.

B. Perbandingan Pemberdayaan Lembaga Kemasyarakatan Desa Di Berbagai


Negara Asing
1. Negara Afrika

Ekonomi Afrika telah terus meningkat sejak Tahun 2000, karena

faktor-faktor seperti sumber daya alam yang melimpah dan perluasan

perdagangan dan investasi. Dana Moneter Internasional (IMF)

memperkirakan tingkat pertumbuhan di Afrika akan Werner setinggi 5,4%

hingga 2016. Sementara masing-masing negara Afrika menetapkan target

untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan, penerapan politik, Ditujukan

mengubah ekonomi berbasis komoditas menjadi negara industri multifaset

melalui pengembangan industri primer dan sekunder, merupakan hal yang

mendesak. Di sisi lain, Organisasi Buruh Internasional (ILO) menunjukkan

bahwa jumlah pengangguran kaum muda di Afrika telah Mencapai hampir

75 juta, hampir sepertiga dari populasi kaum muda (200 juta) di seluruh

wilayah. Mengingat Ulasan situasi ini, diharapkan bahwa hasil dari

industri nilai tambah dan realisasi produktivitas yang tinggi dari industri di

213
Afrika, akan menyelesaikan masalah karena mereka menghasilkan

kesempatan kerja, dan membawa tentang ekonomi yang lebih stabil. Selain

itu, perusahaan Jepang menunjukkan pengakuan yang kuat dan minat

dalam Afrika makmur.

Pada 5 Tokyo Konferensi Internasional tentang Pembangunan Afrika

(TICAD V), yang diselenggarakan di Yokohama pada Tahun 2013,

Pemerintah Jepang menyatakan kebijakan mempromosikan dukungan

untuk pertumbuhan yang dinamis yang sedang berlangsung di Afrika

dengan kemitraan publik-swasta yang lebih kuat. Dalam sambutannya,

Perdana Menteri Jepang Abe Mengumumkan "African Pendidikan Bisnis

Initiative untuk Pemuda (selanjutnya, Disebut sebagai" ABE Initiative "),

rencana lima tahun strategis menyediakan 1.000 Pemuda di Afrika dengan

kesempatan untuk belajar di universitas di Jepang sebagai serta melakukan

magang di perusahaan-perusahaan Jepang. Sebelum TICAD V, industri

Jepang, Termasuk Federasi Organisasi Ekonomi (Keidanren) dan

pemerintah Jepang, telah membuat rekomendasi bersama untuk TICAD V

di "Dewan Public-Private untuk Promosi TICAD V". Ulasan tubuh ini

menunjukkan bahwa ada kebutuhan untuk pengembangan sumber daya

manusia baik di sektor swasta dan publik Afrika untuk Memupuk jaringan

manusia yang kuat antara Jepang dan Afrika. rekomendasi itu juga

Disebutkan pentingnya meningkatkan jumlah orang-orang Afrika

mengunjungi Jepang, serta meningkatkan kesadaran antara Afrika

mengenai efisiensi teknologi dan sistem perusahaan Jepang. The ABE

Diluncurkan Initiative didasarkan pada rekomendasi ini.

214
Tujuan dari derajat dan magang program ABE Initiative master

adalah untuk mendukung personel muda yang memiliki potensi untuk

berkontribusi pada perkembangan industri di Afrika. Program ini

menawarkan kesempatan bagi laki-laki Afrika dan perempuan muda untuk

belajar di program master di universitas di Jepang sebagai mahasiswa

internasional ( selanjutnya disebut sebagai peserta ) dan pengalaman

magang di perusahaan-perusahaan Jepang . Tujuannya adalah bagi mereka

untuk mengembangkan keterampilan yang efektif agar mereka untuk

berkontribusi berbagai bidang . Melampaui perolehan keterampilan dan

pengetahuan , program ini juga bertujuan untuk menumbuhkan personil

yang sangat baik yang dapat mengenali dan memahami konteks

masyarakat dan sistem perusahaan Jepang Jepang . Hasil yang diharapkan

dari program ini adalah jaringan kontributor potensial untuk

pengembangan industri Afrika yang juga akan memimpin bisnis Jepang

untuk terlibat lebih jauh dalam kegiatan ekonomi di Afrika.

2. Negara Jepang

Jepang banyak memegang peran penting, pendapatan perkapitanya

yang tinggi (mencapai 31.410 US dollar) serta kestabilan mata uangnya

mengantarkan Jepang sebagai salah satu negara maju di kawasan Asia. Di

percaturan dunia, Jepang, Singapura, dan Korea Selatan mendapat julukan

Macan Asia karena kemampuan negara - negara tersebut dalam

memperkukuh pengaruh perekonomiannya di kawasan Asia.

Jepang menganut sistem negara monarki konstitusional yang

sangat membatasi kekuasaan Kaisar Jepang. Sebagai kepala negara

215
seremonial, kedudukan Kaisar Jepang diatur dalam konstitusi sebagai

"simbol negara dan pemersatu rakyat". Kekuasaan pemerintah berada di

tangan Perdana Menteri Jepang dan anggota terpilih Parlemen Jepang,

sementara kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat Jepang. Kaisar

Jepang bertindak sebagai kepala negara dalam urusan diplomatik.

Parlemen Jepang adalah parlemen dua kamar yang dibentuk mengikuti

sistem Inggris. Parlemen Jepang terdiri dari Majelis Rendah dan Majelis

Tinggi. Majelis Rendah Jepang terdiri dari 480 anggota dewan. Anggota

majelis rendah dipilih secara langsung oleh rakyat setiap 4 Tahun sekali

atau setelah majelis rendah dibubarkan. Majelis Tinggi Jepang terdiri dari

242 anggota dewan yang memiliki masa jabatan 6 Tahun, dan dipilih

langsung oleh rakyat. Warganegara Jepang berusia 20 Tahun ke atas

memiliki hak untuk memilih. Sejak periode Meiji (1868-1912), Jepang

mulai menganut ekonomi pasar bebas dan mengadopsi kapitalisme

model Inggris dan Amerika Serikat. Lebih dari 3.000 orang Eropa dan

Amerika didatangkan sebagai tenaga pengajar di Jepang. Pada awal

periode Meiji, pemerintah membangun jalan kereta api, jalan raya, dan

memulai reformasi kepemilikan tanah. Pemerintah membangun pabrik dan

galangan kapal untuk dijual kepada swasta dengan harga murah. Sebagian

dari perusahaan yang didirikan pada periode Meiji berkembang menjadi

zaibatsu, dan beberapa di antaranya masih beroperasi hingga kini.

Pertumbuhan ekonomi riil dari Tahun 1960-an hingga 1980-an

sering disebut "keajaiban ekonomi Jepang", yakni rata-rata 10% pada

Tahun 1960-an, 5% pada Tahun 1970-an, dan 4% pada Tahun 1980-an.

216
Dekade 1980-an merupakan masa keemasan ekspor otomotif dan barang

elektronik ke Eropa dan Amerika Serikat sehingga terjadi surplus neraca

perdagangan yang mengakibatkan konflik perdagangan. Jepang adalah

perekonomian terbesar nomor dua di dunia setelah Amerika

Serikat,dengan PDB nominal sekitar AS$4,5 triliun dan perekonomian

terbesar ke-3 di dunia setelah AS dan Republik Rakyat Cina dalam

keseimbangan kemampuan berbelanja. Industri utama Jepang adalah

sektor perbankan, asuransi, realestat, bisnis eceran, transportasi,

telekomunikasi, dan konstruksi. Jepang memiliki industri berteknologi

tinggi di bidang otomotif, elektronik, mesin perkakas, baja dan logam non-

besi, perkapalan, industri kimia, tekstil, dan pengolahan makanan. Sebesar

tiga perempat dari produk domestik bruto Jepang berasal dari sektor jasa.

Hingga Tahun 2001, jumlah angkatan kerja Jepang mencapai 67

juta orang. Tingkat pengangguran di Jepang sekitar 4%. Pada tahun 2007,

Jepang menempati urutan ke-19 dalam produktivitas tenaga kerja. Menurut

indeks Big Mac, tenaga kerja di Jepang mendapat upah per jam terbesar di

dunia. Toyota Motor, Mitsubishi UFJ Financial, Nintendo, NTT DoCoMo,

Nippon Telegraph & Telephone, Canon, Matsushita Electric Industrial,

Honda, Mitsubishi Corporation, dan Sumitomo Mitsui Financial adalah 10

besar perusahaan Jepang pada tahun 2008.Sejumlah 326 perusahaan

Jepang masuk ke dalam daftar Forbes Global 2000 atau 16,3% dari 2000

perusahaan publik terbesar di dunia (data Tahun 2006). Bursa Saham

Tokyo memiliki total kapitalisasi pasar terbesar nomor dua di dunia.

217
Indeks dari 225 saham perusahaan besar yang diperdagangkan di Bursa

Saham Tokyo disebut Nikkei 225.

Dalam Indeks Kemudahan Berbisnis, Jepang menempati peringkat

ke-12, dan termasuk salah satu negara maju dengan birokrasi paling

sederhana. Kapitalisme model Jepang memiliki sejumlah ciri khas.

Keiretsu adalah grup usaha yang beranggotakan perusahaan yang saling

memiliki kerja sama bisnis dan kepemilikan saham. Negosiasi upah

(shunt) berikut perbaikan kondisi kerja antara manajemen dan serikat

buruh dilakukan setiap awal musim semi. Budaya bisnis Jepang mengenal

konsep-konsep lokal, seperti Sistem Nenk, nemawashi, salaryman, dan

office lady. Perusahaan di Jepang mengenal kenaikan pangkat berdasarkan

senioritas dan jaminan pekerjaan seumur hidup.

Jepang adalah negara pengimpor hasil laut terbesar di dunia

(senilai AS$ 14 miliar). Jepang berada di peringkat ke-6 setelah RRC,

Peru, Amerika Serikat, Indonesia, dan Chili, dengan total tangkapan ikan

yang terus menurun sejak 1996. Pertanian adalah sektor industri andalan

hingga beberapa tahun seusai Perang Dunia II. Menurut sensus tahun

1950, sekitar 50% angkatan kerja berada di bidang pertanian. Sepanjang

"masa keajaiban ekonomi Jepang", angkatan kerja di bidang pertanian

terus menyusut hingga sekitar 4,1% pada Tahun 2008. Pada Februari 2007

terdapat 1.813.000 keluarga petani komersial, namun di antaranya hanya

kurang dari 21,2% atau 387.000 keluarga petani pengusaha.

Padi adalah tanaman pangan terpenting di Jepang.

Pemandangan sawah dan hasil panen di Kurihara, Prefektur

218
Miyagi pada musim gugur. Walaupun hanya 12% dari luas

daratan di Jepang yang bisa dipergunakan untuk pertanian,

namun hasilnya termasuk memuaskan. Besarnya hasil

pertanian didukung oleh kesuburan lahan pertanian karena

tanah yang mengandung abu vulkanis. Di samping itu,

penggarapan lahan pertanian dilakukan secara intensif

dengan didukung teknologi maju. Sektor pertanian adalah

sektor yang diproteksi pemerintah dan menerima subsidi

dalam jumlah besar. Hasil pertanian Jepang berupa padi,

kentang, jagung, gandum, kacang, kedelai, dan teh. Hasil

peternakan berupa babi, ayam, telur, sapi dan susu. Sayur-

sayuran berupa lobak, kubis, ketimun, tomat, wortel,

bayam, dan selada. Sedangkan buah-buahan yang banyak

ditanam adalah apel dan jeruk. Apel merupakan produk

unggulan Tohoku dan Hokkaido. Buah pir merupakan

produk pertanian unggulan Prefektur Tottori. Perkebunan

jeruk berada di Shikoku, Shizuoka, dan Kyushu. Tanaman

pir dan jeruk dibawa masuk ke Jepang oleh pedagang

Belanda di Nagasaki pada akhir abad ke-18.

Padi adalah tanaman pangan yang sangat diproteksi

pemerintah Jepang. Beras impor dikenakan bea masuk

490% dan pembatasan kuota sebesar 7,2% dari rata-rata

konsumsi beras tahun 1968 hingga 1988. Impor di luar

219
kuota tidak dilarang, namun dikenakan bea masuk \341 per

kilogram. Tarif bea masuk beras impor yang sekarang

(490%) diperkirakan akan naik menjadi 778% menurut

perhitungan baru yang akan diberlakukan sesuai Putaran

Doha.

Walaupun Jepang biasanya dapat melakukan

swasembada beras (kecuali beras untuk membuat senbei

dan makanan olahan), Jepang harus mengimpor 50% dari

kebutuhan konsumsi serealia dan bergantung pada impor

daging. Jepang mengimpor gandum, sorgum, dan kedelai

dalam jumlah besar, terutama dari Amerika Serikat. Jepang

merupakan pasar terbesar bagi ekspor pertanian Uni

Eropa.

Pertanian di Jepang tergolong maju dan menerapkan

intensifikasi pertanian, sehingga walaupun luas wilayah

Jepang yang dijadikan lahan pertanian kurang dari 15 %

Jepang dapat berswasembada memenuhi kebutuhan

domestiknya. Lain halnya dengan Indonesia yang

dikaruniakan Tuhan banyak sumber alam sampai sekarang

belum mampu berswasembada bahan pangan, ironis

sekali. Pertanian di Jepang kebanyakan menggunakan

sistem hidroponik, aeroponik, pupuk hijau/kompos, mesin

panen dan mesin-mesin pembajak yang modern. 2011 lalu,

220
Jepang berhasil berswasembada atas komoditas beras,

kedelai, kacang tanah, rumput laut, teh, tomat, sayuran,

kubis, pir, jeruk, aprikot, lobak, jagung, kentang, ketan,

gandum, bunga dan wasabi. Meskipun swasembada, untuk

membuat Sanbei, Jepang masih mengimpor beras dari

Vietnam dan Thailand.

Jadi bisa disimpulkan, ekonomi Jepang adalah salah

satu yang terbaik, tersehat, terbesar dan termodern

didunia. Ekonomi Jepang bertumpu pada industri, jasa,

manufaktur dan telekomunikasi yang menyumbang 78 %

GDP-nya. Walaupun sudah menjadi negara yang maju dan

berbasis teknologi, Jepang tidak melupakan bidang usaha

yang lain. Bahkan pemerintah Jepang memberikan insentif

yang besar kepada para petani, nelayan dan peternak,

karena usaha pada bidang pertanian dan peternakan,

Jepang akhirnya berswasembada pangan.

3. Negara Singapura

Singapura dikenal sebagai negara yang memiliki potensi yang

sangat besar dalam bidang bisnis. Ekonomi negara Singapura dianggap

sebagai yang terbaik dalam sektor keuangan. Ribuan karyawan

menjalankan peran dan kontribusinya, baik di perusahaan-perusahaan

multinasional yang memberikan akses Singapura kepada peta persaingan

global, sistem ekonomi pasar dikembangkan dengan sangat baik dalam

bidang ekspor dan impor, karena di dukung lokasinya yang strategis dan

221
perannya sebagai negara pelabuhan, yang merupakan salah satu pelabuhan

tersibuk di dunia yang juga mempunyai peran sebagai pusat

perdagangan foreign exchange (penukaran mata uang asing) terbesar

keempat setelah London, Tokyo dan New York.

Posisi dan peran Singapura yang sangat vibrant dalam

perekonomian baik di kawasan regional ASEAN maupun di dunia

internasional telah menjadikannya masuk dalam daftar Empat macan Asia

yang mengatur pasar di Asia bersama dengan Hong Kong, Korea Selatan

dan Taiwan, yang dihasilkan dari produk industri berkualitas tinggi sebagai

penopang utama ekonomi Singapura dengan industri manufaktur di

seluruh bidang elektronik yang menyumbang hampir 26% terhadap GDP

negara Singapura.

Singapura juga mempekerjakan ribuan tenaga ahli dari seluruh

dunia. Tidak heran, berbagai kebijakan ekonomi yang dicanangkan

pemerintah Singapura salah satunya adalah Knowledge-Based

Economy (KBE) yang diimplementasikan dengan memberikan akses

kepada masyarakat asing dengan melakukan pencarian kompetensi tenaga

kerja yang dapat diasimilasikan dengan keterampilan masyarakat lokal

Singapura, sehingga dapat memberikan dampak positif terhadap

perkembangan ekonomi Singapura sendiri.

Kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh Singapura tersebut tidak

dapat terlepas dari tantangan globalisasi. Singapura sebagai negara kecil

dengan populasi masyarakat yang rendah mengharuskan dirinya untuk

membuka akses besar terhadap masyarakat asing untuk masuk dan ikut

222
serta berkontribusi dalam membangun perekonomian Singapura.

Menuju Knowledge-Based Economy (KBE) Singapura telah berjuang

untuk melakukan berbagai upaya, baik dalam bidang perdagangan sebagai

komoditi utama negara, investasi asing dan pariwisata demi

mempertahankan posisi Singapura dalam pergaulan globalisasi yang

didasarkan atas produktivitas industri dalam negeri, pasokan dan

pengiriman barang-barang melalui kegiatan ekspor impor khususnya

bidang teknologi tinggi.

Namun, bagi Singapura untuk bertahan dalam persaingan

globalisasi dan menjadikan ekonomi didasarkan pada modal intelektual

memerlukan transformasi besar dalam pola pikir dan budaya. Sebagaimana

kita ketahui bahwa dominasi ekonomi dan politik rezim Partai Aksi

Rakyat atau Peoples Action Party (PAP) sejak Tahun 1959 telah

menghasilkan kesuksesan di bidang ekonomi melalui dominasi politik

yang selalu dilakukan oleh partai tersebut.

Dalam perjalanannya, sebetulnya Singapura telah relatif berhasil

mengembangkan sumber daya manusia (SDM) dengan menggabungkan

sistem pendidikan yang modern, pelatihan keterampilan informal yang

terus menerus diperbaharui dan disesuaikan dengan kebutuhan jaman,

serta keterbukaan akses informasi dalam bidang ekonomi guna

meningkatkan partisipasi yang mendorong produktivitas masyarakat

Singapura. Namun demikian, Singapura memiliki tantangan untuk

memiliki tenaga kerja profesional dan teknisi terampil untuk menyerap,

mengolah dan menerapkan pengetahuan dan menerapkanya sebagai upaya

223
menciptakan perekonomian Singapura yang didasarkan atas pengetahuan

atau Knowledge-Based Economy (KBE).

Bagi Singapura industri tetap merupakan sektor pertumbuhan

paling dinamis sebagai penyumbang terbesar bagi pendapatan ekonomi

negara dan merupakan perhatian utama dalam hal produksi, penanaman

modal dan penempatan tenaga kerja. Oleh karena itu, Visi Singapura

sebagai negara industri dan menerapkan perekonomian yang didasarkan

atas pengetahuan atau Knowledge-Based Economy (KBE) terus

dipromosikan dengan memberikan kesempatan kepada para tenaga kerja

asing yang terampil dan profesional untuk bermukim di Singpura serta

dapat mengembangkan potensi mereka yang digunakan sebagai modal

bakat dan memanfaatkannya dalam upaya mewujudkan Singapura sebagai

pusat bisnis internasional. Hal tersebut disertai dengan melakukan

pelatihan, serta melaksanakan pendidikan dan keterampilan berkualitas

bagi masyarakatnya sebagai bentuk layanan ekspor yang diharapkan dapat

memberikan dampak positif terhadap perekonomian Singapura dan

menjaga eksistensi Singapura dalam hubungan internasional.

Meskipun Singapura telah memiliki relatif bakat asing yang cukup

tinggi dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, yang

dilakukan sebagai salah upaya untuk menghubungkannya dengan pusat-

pusat ekonomi global di dunia dalam kaitannya dengan tantangan

globalisasi. Namun, ketergantungan Singapura pada tenaga kerja asing

harus memperhatikan sejumlah kekhawatiran ekonomi politik regional.

Meskipun menjadi kota global, kebijakan migrasi selektif terstruktur

224
berdasarkan prioritas ekonomi haruslah tetap menjadi perhatian untuk

mencegah migrasi yang tidak diinginkan. Di samping itu, kebijakan

Singapura sebagai negara yang melaksanakan ekonomi berbasiskan

pengetahuan perlu juga memperhatikan beberapa aspek lainnya yang juga

memiliki peran sangat penting yang kurang diungkapkan dalam artikel ini,

yaitu beberapa permasalahan yang dihadapi oleh Singapura sendiri.

Sebagai contoh adalah persoalan merosotnya angka kelahiran penduduk di

Singapura, penolakan terhadap imigran asing dari masyarakat Singapura

dan persaingan dengan beberapa negara di kawasan regional sendiri.

Dalam pemikiran saya, dibukanya akses untuk tenaga asing

profesional bekerja di Singapura bukan sepenuhnya upaya terbaik dalam

meningkatkan perekonomian dan produktivitas Singapura dalam

menghadapi tantangan globalisasi.Namun bagaimana pemerintah

Singapura melakukan pemberdayaan masyarakat secara jauh lebih

maksimal dengan harus terus berupaya dalam menghadapi persoalan

penurunan angka kelahiran yang terus berlangsung memperlihatkan batas

pengaruh pemerintah di negara yang disebut nanny state (negara

pengasuh) ini.

Bagi pusat perdagangan dan keuangan global seperti Singapura,

keterbukaan terhadap para tenaga kerja profesional untuk bekerja di

Singapura hanyalah sebagai salah satu alternatif saja dalam menghadapi

tantangan globalisasi. Sebaliknya, pemberdayaan penduduk Singapura

sendiri perlulah menjadi suatu perhatian yang serius. Namun, bagaimana

bisa diberdayakan jika populasi penduduk Singapura sendiri jumlahnya

225
rendah? Angka kesuburan dan kelahiran yang sangat rendah memiliki

implikasi bagi pertumbuhan ekonomi Singapura sendiri, pendapatan pajak,

biaya kesehatan dan kebijakan imigrasi, seiring jumlah penduduk lanjut

usia diperkirakan meningkat tiga kali lipat pada 2030.Saat ini ada 6,3

orang usia bekerja untuk setiap penduduk usia lanjut.

Pada tingkat sekarang ini, angka kelahiran menunjukkan bahwa

penduduk lokal Singapura akan berkurang setengahnya dalam satu

generasi, ujar Sanjeev Sanyal, ahli strategi global dari Deutsche Bank yang

berbasis di Singapura. Oleh karena itu, Para pejabat dan pemerintah

Singapura harus berusaha keras guna meningkatkan jumlah kelahiran di

Singapura yang dapat diimplementasikan dengan pembuatan kebijakan-

kebijakan yang dapat merangsang peningkatan jumlah kelahiran

penduduk.

Meskipun Singapura terbuka terhadap bakat asing yang diperlukan

untuk pertumbuhan ekonomi Singapura dalam menghadap tantangan

globalsasi, hal ini justru akan menjadi sebuah kekhawatiran di masa

depan. Kekhawatiran mungkin meletus jika reaksi terhadap bakat asing

tidak dikelola dengan hati-hati. Hal ini terkait dengan akses penduduk

lokal dalam memperoleh lapangan pekerjaan yang dimasa depan yang

akan bersaing dengan imigran asing, sebagaimana unjuk rasa masyarakat

Singapura yang memprotes rencana pemerintah untuk terus mendatangkan

warga asing untuk menanggulangi masalah populasi. Mereka mengeluhkan

dorongan imigrasi seperti itu telah meningkatkan biaya hidup di

Singapura. Sehingga, penting untuk pemerintah Singapura memberlakukan

226
pengawasan yang lebih ketat terhadap jumlah orang asing yang boleh

masuk dan bekerja ke Singapura, terutama pekerja tidak terampil dan

berupah rendah.

Singapura juga harus memperhatikan persaingan ekonomi dengan

negara-negara di kawasan regional Asia tenggara. Sebagai contoh adalah

Malaysia yang merupakan rival persaingan ekonomi Singapura dalam hal

keuangan perbankan. Juga tantangan ekonomi Cina yang meningkat pesat

dalam bidang perdagangan di kawasan regional Asia Tenggara. Singapura

juga tidak dapat menampik melemahnya kinerja sektor perindustrian dan

ekspor serta kenaikan inflasi yang dialami saat ini yang terjadi akibat

berbagai faktor di dalam negeri, di antaranya biaya transportasi swasta

yang tinggi, mahalnya harga makanan, dan layanan rumah tangga, data

terbaru inflasi di Singapura menunjukkan indeks harga konsumen (IHK)

pada Februari lalu naik 4,9% dibandingkan bulan sama tahun sebelumnya.

Pembuat kebijakan di negara tersebut didesak untuk menyusun skala

prioritas dalam mengatasi tantangan tersebut.

Berkaitan dengan hal tersebut dan kebijakan ekonomi Singapura

yang didasarkan atas pengetahuan atau Knowledge-Based Economy (KBE)

dengan membuka kesempatan seluas-luasnya dan menarik bakat asing

untuk bekerja di Singapura sebagai bentuk dari respon terhadap tantangan

global, hemat saya hanyalah solusi kecil terhadap persoalan dan tantangan

ekonomi Singapura. Di samping itu, ancaman dari dalam seperti

menurunya angka kelahiran, penolakan terhadap imigran asing oleh

masyarakat Singapura, hingga persaingan dengan negara lain di kawasan

227
regional Asia tenggara perlu untuk menjadi perhatian serius pemerintah

Singapura. Karena menarik bakat asing dengan kualitas bagus diperlukan

keberlangsungan sosial politik dan stabilitas yang hanya dapat disediakan

oleh penduduk lokal yang kuat.

4. Negara India

India merupakan Negara miskin yang sedang melakukan perubahan.

Negara dengan 89% enduduk beragama Islam ini mempunyai persoalan

yang mirip dengan Indonesia, ketidakstabilan politik, negera yang buruk,

korupsi, dan reformasi ekonomi yang diwujudkan sangat lambat,

urbanisasi ke perkotaan sangat tinggi. Akhirnya Bangladesh tetap menjadi

miskin, kelebihan penduduk, dan tidak efisien-sistem pemerintahannya.

Meskipun lebih dari PDB dihasilkan melalui sektor jasa, sekitar 45 persen

dari penduduk Bangladesh bekerja di sektor pertanian, dengan beras

sebagai produk tunggal paling penting. Meski demikian Bangladesh saat

ini sedang bergerak dan menjadi negara produsen garmen terbesar di

dunia.

India melakukan program pengentasan kemiskinan yang disebut The

Marginalised Community Empowerment (MCE) Program, yang

difokuskan untuk penduduk migran miskin di wilayah pedesaan yaitu

Himachal Pradesh dan Punjab. Kaum migran ini tidak mempunyai akses

pada pendidikan, kesehatan dan pelayanan sosial lainnya termasuk

kekurangan pangan dan perumahan. Mereka sangat rentan terhadap

penyakit, bencana alam dan lain sebagainya. Tujuan dari pengentasan

228
kemiskinan ini adalah untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat

melalui program-program:

a. Pendidikan kesehatan termasuk informasi dan


pendampingan untuk mengakses fasilitas kesehatan.
b. Usaha mikro dalam format kelompok,
pemahaman tentang permodalan dan proyek usaha mikro.
c. Kesenian termasuk pengembangan kerajinan
dan teater.
d. Kegiatan untuk anak-anak untuk
menumbuhkan kreatifitas dan kebersamaan.
e. Pendidikan seperti pengajaran baca dan tulis,
matematika, bahasa Inggris dan bahasa Hindi.
Pendekatan yang dilakukan adalah memberdayakan masyarakat

dengan membangun jejaring yang kuat untuk membantu masyarakat

tersebut, bukan untuk memutuskan apa yang terbaik atau apa yang

dibutuhkan mereka tetapi untuk memperoleh saling pengertian dan

mendengarkan apa aspirasi dan keinginan serta kebutuhan masyarakat.

Dalam mengatasi kemiskinan, negara ini mempunyai kebijakan

untuk memberikan modal kecil bagi penduduk miskin melalui gramin

bank yang digagas oleh Muhammad Yunus. Gramin bank memudahkan

penduduk memperoleh pinjaman modal dibandingkan dengan bank-bank

konvensional yang memerlukan banyak persyaratan. Keberhasilan dari

sistem ini terletak pada pemberdayaan perempuan dan sistem open source.

Dalam Gramin bank 97 persen dari 25 juta nasabahnya adalah perempuan.

Pemberdayaan terhadap perempuan lebih ditekankan karena perempuan

lebih berorientasi pada keluarga dan pada nilai-nilai kebaikan. Dalam

bertindak nilai-nilai keluarga ini menjadi pertimbangan utama, sehingga

mereka lebih patuh untuk membayar cicilan kredit pinjaman mereka. Ini

229
merupakan salah satu faktor yang menjadikan Gramin bank cukup

berhasil, karena tingkat pengembalian kredit mencapai 97,11%.

Faktor yang kedua adalah penerapan system teknologi informasi

berbasis open source untuk infrastruktur TI, kita pergunakan seadanya dan

semurahmurahnya. Open source adalah pilihan terbaik kami aplikasi

berbasis open source yang menjadi andalan Grameen Bank adalah MIFOS

(Microfinance Opensource). Aplikasi tersebut menerapkan konsep web

based management information sistem.

5. Negara Vietnam

Vietnam dalam masa sesudah kemerdekaan juga menghadapi

masalah kemiskinan yang cukup besar. Namun pemerintah Vietnam

melakukan kebijakan yang menekankan pada peran Pemerintah sebagai

perencana untuk pembangunan infrastruktur di daerah dengan penduduk

miskin dan daerah terpencil untuk meningkatkan akses pada pelayanan,

pasar dan peluang usaha. Pemerintah mendorong keterlibatan penduduk

dengan melibatkan keluarga dan komunitas loal dalam pengembangan

manajemen perencanaan dan manajemen investasi infrastruktur. Adapaun

beberapa langkah yang dilakukan pemerintah Vietnam adalah:

a. Melakukan investasi untuk membangun


infrasruktur sosial terutama untuk masyarakat pedesaan, daerah
terpencil dan daerah tertinggal. Memberikan penyadaran bagi
masyarakat miskin akan pentingnya jalan bagi upaya perekonomian
mereka.
b. Mendorong penduduk miskin untuk
berpartisipasi dalam proyek-proyek pembangunan infrastruktur dasar

230
dengan sistem padat karya yang memberikan mereka pekerjaan dan
pendapatan.
c. Meningkatkan penanggulangan banjir dan
bencana alam lainnya dengan melakukan pembangunan infrastruktur
dan upaya preventif terhadap bencana alam.
d. Menciptakan peluang lebih untuk tempat di
mana komunitas dan daerah miskin untuk mengambil prakarsa dalam
manajemen pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur
pengangkutan pedesaan mereka sendiri.
e. Mendorong masyarakat untuk ambil bagian
dalam pembangunan infrastruktur pedesaan mereka sendiri, terutama
listrik pedesaan, penghematan air, sekolah sekolah, pusat-pusat
kesehatan, pusat aktivitas masyarakat, pasar dan lainnya.

Pada Tahun 2011, karena instabilitas ekonomi, inflasi tinggi beserta

akibat besar yang ditimbulkan bencana alam, bencana banjir, maka

kehidupan rakyat pada umumnya dan terutama kaum miskin menjumpai

banyak kesulitan. Menghadapi situasi itu, Pemerintah Vietnam

memberlakukan Resolusi No.11 tentang solusi-solusi tata laksana

perkembangan sosial-ekonomi dalam situasi baru, diantaranya

melaksanakan kebijakan tahun fiskal yang ketat, memangkas dan

membenahi kembali investasi publik, tetapi, mengutamakan pengarahan

dalam menjamin jaring pengaman sosial dan kesejahteraan sosial,

bersamaan itu terus menggelarkan secara efektif kebijakan-kebijakan

tentang pengurangan yang sedang berlaku. Oleh karena itu, mengakhiri

tahun 2011, prosentase kepala keluarga di seluruh negeri menurun lebih

dari 2 persen, sehingga menjadi hanya tinggal 14 persen. Dengan hasil ini,

pekerjaan mengurangi kemiskinan tahun 2011 menyelesaikan target yang

ditetapkan oleh Majelis Nasional.

231
C. Rekonstruksi Pemberdayaan Lembaga Kemasyarakatan DesaUntuk
Mengentaskan Kemiskinan
Berdasarkan uraian diatas, maka Rekonstruksi Pemberdayaan

Kemasyarakatan Desa adalah mewujudkan Desa yang mandiri, kuat, maju,

demokratis, makmur, dan sejahtera.

Pemerintah pada tanggal 15 Januari 2014 telah menetapkan UU No. 6

Tahun 2014 tentang Desa. Dalam konsideran UU tersebut disampaikan bahwa

Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita

kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945. Kemudian bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan Republik

Indonesia, Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu

dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis

sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan

pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan

sejahtera.

Undang-Undang Nomor: 6 Tahun 2014 menegaskan bahwa

penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan, pembinaan

kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat berdasarkan Pancasila, Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan

Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Undang-Undang Nomor: 6 Tahun 2014 mengatur materi mengenai Asas

Pengaturan, Kedudukan dan Jenis Desa,Penataan Desa, Kewenangan Desa,

Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Hak dan KewajibanDesa dan Masyarakat

232
Desa, Peraturan Desa, Keuangan Desa dan Aset Desa, Pembangunan Desadan

Pembangunan Kawasan Perdesaan, Badan Usaha Milik Desa, Kerja Sama Desa,

Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa, serta Pembinaan dan

Pengawasan. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur dengan ketentuan

khusus yang hanya berlaku untuk Desa Adat sebagaimana diatur dalam Bab

XIII.

Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan

disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa merupakan kerangka hukum

dan kebijakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan Pembangunan

Desa.

Penetapan Peraturan Desa merupakan penjabaran atas berbagai

kewenangan yang dimiliki Desa mengacu pada ketentuan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi. Sebagai sebuah produk hukum, Peraturan Desa

tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan tidak boleh

merugikan kepentingan umum, yaitu:

1) Terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat;


2) Terganggunya akses terhadap pelayanan publik;
3) Terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum;
4) Terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Desa; dan
5) Diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antargolongan,
serta gender.
Sebagai sebuah produk politik, Peraturan Desa diproses secara demokratis

dan partisipatif, yakni proses penyusunannya mengikutsertakan partisipasi

masyarakat Desa. Masyarakat Desa mempunyai hak untuk mengusulkan atau

memberikan masukan kepada Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa

dalam proses penyusunan Peraturan Desa. Peraturan Desa yang mengatur

233
kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan berskala lokal

Desa pelaksanaannya diawasi oleh masyarakat Desa dan Badan

Permusyawaratan Desa. Hal itu dimaksudkan agar pelaksanaan Peraturan Desa

senantiasa dapat diawasi secara berkelanjutan oleh warga masyarakat Desa

setempat mengingat Peraturan Desa ditetapkan untuk kepentingan masyarakat

Desa.

Apabila terjadi pelanggaran terhadap pelaksanaan Peraturan Desa yang

telah ditetapkan, Badan Permusyawaratan Desa berkewajiban mengingatkan dan

menindaklanjuti pelanggaran dimaksud sesuai dengan kewenangan yang

dimiliki. Itulah salah satu fungsi pengawasan yang dimiliki oleh Badan

Permusyawaratan Desa. Selain Badan Permusyawaratan Desa, masyarakat Desa

juga mempunyai hak untuk melakukan pengawasan dan evaluasi secara

partisipatif terhadap pelaksanaan Peraturan Desa.

Di Desa dibentuk lembaga kemasyarakatan Desa, seperti rukun tetangga,

rukun warga, pembinaan kesejahteraan keluarga, karang taruna, dan lembaga

pemberdayaan masyarakat atau yang disebut dengan nama lain. Lembaga

kemasyarakatan Desa bertugas membantu Pemerintah Desa dan merupakan

mitra dalam memberdayakan masyarakat Desa.

Lembaga kemasyarakatan Desa berfungsi sebagai wadah partisipasi

masyarakat Desa dalam pembangunan, pemerintahan, kemasyarakatan, dan

pemberdayaan yang mengarah terwujudnya demokratisasi dan transparansi di

tingkat masyarakat serta menciptakan akses agar masyarakat lebih berperan aktif

dalam kegiatan pembangunan.

Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang desa:

234
Pasal 4
Pengaturan Desa bertujuan:
a. Memberikan pengakuan
dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya
sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. Memberikan kejelasan
status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan
Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia;
c. Melestarikan dan
memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;
d. Mendorong prakarsa,
gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan
Aset Desa guna kesejahteraan bersama;
e. Membentuk
Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta
bertanggung jawab;
f. Meningkatkan pelayanan
publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan
kesejahteraan umum;
g. Meningkatkan ketahanan
sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang
mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;
h. Memajukan
perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan
nasional; dan
i. Memperkuat masyarakat
Desa sebagai subjek pembangunan.

Pasal 86
(1) Desa berhak mendapatkan akses informasi melalui sistem informasi Desa
yang dikembangkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

235
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengembangkan sistem
informasi Desa dan pembangunan Kawasan Perdesaan.
(3) Sistem informasi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi
fasilitas perangkat keras danperangkat lunak, jaringan, serta sumber daya
manusia.
(4) Sistem informasi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi data
Desa, data Pembangunan Desa, Kawasan Perdesaan, serta informasi lain
yang berkaitan dengan Pembangunan Desa dan pembangunan Kawasan
Perdesaan.
(5) Sistem informasi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelola oleh
Pemerintah Desa dan dapat diakses oleh masyarakat Desa dan semua
pemangku kepentingan.
(6) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menyediakan informasi perencanaan
pembangunan Kabupaten/Kota untuk Desa.

Pasal 94
(1) Desa mendayagunakan lembaga kemasyarakatan Desa yang ada dalam
membantu pelaksanaan fungsi penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa.
(2) Lembaga kemasyarakatan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan wadah partisipasi masyarakat Desa sebagai mitra Pemerintah
Desa.
(3) Lembaga kemasyarakatan Desa bertugas melakukan pemberdayaan
masyarakat Desa, ikut serta merencanakan dan melaksanakan
pembangunan, serta meningkatkan pelayanan masyarakat Desa.
(4) Pelaksanaan program dan kegiatan yang bersumber dari Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan
lembaga non-Pemerintah wajib memberdayakan dan mendayagunakan
lembaga kemasyarakatan yang sudah ada di Desa.

Tabel

236
Rekonstruksi Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Pasal- Pasal tentang Desa

Pasal 4 Kelemahan Pasal 4 Rekonstruksi Pasal 4


(h)Memajukan
perekonomian (h) Memajukan, mengembangkan,
masyarakat Desa dan memanfaatkan potensi
serta mengatasi Tidak memajukan perekonomian masyarakat Desa
kesenjangan serta mengatasi kesenjangan
harusnya mengembangkan
pembangunan pembangunan nasional untuk
nasional; serta memanfaatkan kesejahteraan masyarakat Desa;

Kelemahan Pasal 86 ayat


Pasal 86 ayat (2) (2) Rekonstruksi Pasal 86 ayat (2)
Pemerintah dan Pengembangan kurang Pemerintah dan Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah komplek juga tidak adanya wajib mengembangkan dan
wajib langkah selanjutnya untuk melanjutkan sistem informasi Desa
mengembangkan mengembangkan. dan pembangungan Kawasan
sistem informasi Desa Perdesaan untuk mensejahterakan
dan pembangunan taraf hidup masyarakat Desa.
Kawasan Perdesaan.

Kelemahan Pasal 94 ayat


Pasal 94 ayat (3) Rekonstruksi Pasal 94 ayat (3)
(3)
Lembaga Kurang adanya ketegasan Lembaga kemasyarakatan Desa
kemasyarakatan Desa partisipasi dari masyarakat bertugas melakukan pemberdayaan
bertugas melakukan Desa masyarakat Desa, ikut serta
pemberdayaan merencanakan, melaksanakan
masyarakat Desa, ikut pembangunan dengan partisipasi
serta merencanakan masyarakat Desa, serta
dan melaksanakan meningkatkan dan mensejahterakan
pembangunan, serta pelayanan masyarakat Desa.
meningkatkan
pelayanan masyarakat
Desa.

Jika kita pahami dari rekonstruksi hukum terhadap struktur pemerintahan

desa, sebenarnya masih menggunakan konstruksi hukum yang diterapkan selama

ini. Hal ini dapat kita telusuri dari teks hukum pada Pasal 1 angka UU No 6

Tahun 2014 yang menyatakan, bahwa Pemerintahan Desa

237
adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BAB VI
PENUTUP

238
Bertitik tolak dari pemberdayaan Lembaga Kemasyarakatan Desa pada bab

sebelumnya, maka pemberdayaan Lembaga Kemasyarakatan Desa pada bab akhir

penulisan penelitian ini dapat dikemukakan beberapa simpulan dan saran, antara lain:

A. Simpulan
1. Pemberdayaan Lembaga Kemasyarakatan Desa Yang Belum Mengurangi

angka kemiskinan:
a. Lembaga kemasyarakatan desa saat ini belum mampu mengurangi

angka kemiskinan oleh sebab masyarakat dan Pemerintah Daerah

belum mampu berkerjasama dalam program program Pemerintah

Pusat untuk mengentaskan kemiskinan.


b. Pemberdayaan masyarakat melalui pemberdayaan lingkungan, sosial

dan ekonomi secara tidak langsung juga mendorong terlaksananya

pemberdayaan politik, dimana melalui rangkaian pengembangan

kapasitas, masyarakat bisa belajar banyak mengenai kelembagaan,

kepemimpinan dan manajemen komunitas sehingga menjadikan

mereka memiliki tanggungjawab yang lebih besar dalam

pembangunan dan memiliki posisi tawar yang lebih besar dalam

hubungannya dengan pihak lain di luar komunitasnya.


2. Kelemahan Pemberdayaan Lembaga Kemasyarakatan Desa saat ini:
a. Program/proyek lain (pada instansi yang sama atau instansi yang

berbeda) sering menggunakan pendekatan yang bertentangan dengan

pendekatan Pemberdayaan Masyarakat, sehingga bisa mempengaruhi

proses implementasi Pemberdayaan Masyarakat di tingkat masyarakat

atau lembaga sendiri.


b. Sasaran pembangunan desa masih terfokus pada penanggulangan

kemiskinan melalui investasi insfrastruktur dan pemberian layanan

sosial.

239
3. Rekonstruksi Pemberdayaan Lembaga Kemasyarakatan Desa Untuk

Mengentaskan Kemiskinan.
Rekonstruksi pemberdayaan lembaga kemasyarakatan desa dari yang

didasarkan pada Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)

Mandiri Perdesaan kini menjadi Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa

(LPMD) yang didasarkan pada Pemberdayaan masyarakat mandiri untuk

mewujudkan desa yang mandiri, maju, kuat, demokratis, makmur, dan

sejahtera.
Rekonstruksi hukum pemberdayaan kelembagaan masyarakat desa

untuk mengentaskan kemiskinan dengan menyempurnakan Undang-Undang

No. 6 Tahun 2014 tentang Desa: Pasal 4 huruf h yang berbunyi Memajukan,

mengembangkan, dan memanfaatkan potensi perekonomian masyarakat

Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional untuk

kesejahteraan masyarakat Desa. Pasal 86 ayat (2) yang berbunyi Pemerintah

dan Pemerintah Daerah wajib mengembangkan dan melanjutkan system

informasi Desa dan pembangungan Kawasan Perdesaan dengan langkah-

langkah yang sudah diatur. Pasal 94 ayat (3) yang berbunyi Lembaga

kemasyarakatan Desa bertugas melakukan pemberdayaan masyarakat Desa,

ikut serta merencanakan, melaksanakan pembangunan dengan partisipasi

masyarakat Desa.
B. Saran
Melalui tulisan ini, serta berdasarkan uraian diatas maka penulis menyarankan

beberapa hal:
1. Saran yang dapat disampaikan berdasarkan penelitian ini adalah perlu

pemilihan waktu yang tepat terhadap pelaksanaan program agar masyarakat

mampu berpartisipasi secara optimal tanpa harus terbentur waktu untuk

240
mencari nafkah. Rangsangan seorang pemimpin terhadap masyarakat sangat

diperlukan agar kemauan masyarakat untuk melaksanakan kesepakatan

meningkat. Perlu diadakan juga system monitoring secara berkala sehingga

nantinya akan diketahui manfaat yang dirasakan dari selesainya proyek

tersebut. Peran aktif kelembagaan desa juga sangat diperlukan dalam

penentuan program yang diperlukan masyarakat agar program yang

dilaksanakan pemerintah tepat sasaran yaitu dalam pengentasan kemiskinan.


2. Pemerintah dan DPR diharapkan dapat menumbuhkan dan meningkatkan

partisipasi rasa memiliki masyarakat terhadap program dengan cara ikut

melakukan pemantauan dan pengawasan partisipatif masyarakat secara

obyektif terhadap hasil kegiatan yang telah dilaksanakan agar dapat

memberikan manfaat dan dampak positif secara berkelanjutan (sustainable)

terhadap kesejahteraaan masyarakat dan merubah UU No 6 tahun 2004

Pasal 4 huruf h, Pasal 86 ayat 2 dan Pasal 94 ayat 3.


3. Peningkatan Kemandirian di dalam penyediaan sistem dan mekanisme

monitoring, evaluasi, perencanaan dan pengendalian secara partisipatif

diharapkan anggota masyarakat mengetahui dan ikut mengontrol kegiatan

yang direncanakan, sedang berjalan maupun yang sudah selesai

dilaksanakan.
C. Implikasi Kajian Disertasi
1. Implikasi Teoritis
Pemberdayaan Lembaga Kemasyarakatan Desa tidak akan berjalan

dengan baik tanpa adanya partisipasi dari Pemerintah, Pemerintah Daerah,

masyarakat, dan juga kelembagaan terkait. Dengan adanya kebersamaan

tersebut maka akan menjadikan desa lebih berkembang dari sebelumnya,

sekaligus angka kemiskinan bisa terus menurun.


2. Implikasi Praktis

241
Diharapkan hasil penelitian ini memberikan sumbangan pemikiran

bagi Pemberdayaan Lembaga Kemasyarakatan Desa khususnya PNPM MPd

yang telah diganti LPMD di Kabupaten Demak dalam mengupayakan

pengembangan kelembagaannya dan mengentaskan kemiskinan pada saat

ini dan di masa depan.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdul Kahar Muzakir S, dkk, Op.Cit, 1999.

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang
(Legisprudence), Media Prenada Jakarta,2009.
Ancok, Dj., Pemanfaatan Organisasi Lokal untuk Mengentaskan Kemiskinan,
dalam Awan Setya Dewanta dkk., ed, Kemiskinan dan Kesenjangan di
Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta,1995.

Antlov, Hans, Negara Dalam Desa; Patronase Kepemimpinan Lokal, Lappera


Pustaka Utama, Yogyakarta, 2002

Arikunto, Suharsimi, Manajemen Penelitian, Rineka Cipta, Jakarta.2003.

Ateng Safrudin, Pasang Surut Otonomi Daerah, Bina Cipta, Bandung,1985.

242
, Otonomi dan antisipasi Perkembangan, Suatu bahan Penyegaran
Pemahaman Otonomi daerah, Bina Cipta, Bandung,1998.

Berten. K, Pengantar Etika Bisnis, Kanisius, Yogyakarta, 2000.

Buchari, Zainun, Administrasi dan Manajemen Pemerintahan Negara Indonesia


Menurut UU 1945, dan Perubahannya, Gunung Agung, Jakarta,2000.

Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil, Problematik Filsafat Hukum,


Jakarta: Grasindo, 1999.
Christine S.T Kansil, Pemerintahan Daerah Di Indonesia (Hukum Adminstrasi
Daerah), Sinar Grafika, Jakarta,2001.

Dwipayana, Arie, Otonomi Versus Negara. Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta,2000.

Dedy S.B, Solihin D, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Gramedia


Pustaka Utama, Jakarta,2004.

Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 32 Tahun


2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta,2004.

Departement Sosial, naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Kesejahteran


Sosial, teks 9 Januari 2008.

Direkrorat Jendral Pemerintahan Umum Dan Otonomi Daerah Departemen Dalam


Negeri Republik Indonesia, Peraturan Pemerintahan Republik
Indonesia Nomor 64 Tahun 1999 Tentng Pedoman Umum Pengaturan
Mengenai Desa, Semarang,1999.

, Pengaturan Desa dan Kelurahan Berdasarkan Undang-Undang


Nomor 23 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta,1999.

Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif
Sebagai ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Alih bahasa oleh: Soemardi.
Cet,III. Bee Media Indonesia, Bandung,2010.
Hitami, M Adil, Penjelasan Mengenai Peraturan Desa UU Nomor 5 Tahun 1979.
Raja Grafindo Persada, Jakarta1993.

I. S. Susanto,Realitas Sosial, Balai Pustaka, Yogjakarta, 1992.

Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press,
Jakarta,2005.

Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah Di Negara Republik Indonesia,


Identfikasi Beberapa Faktor Yang Mempengaru hi Penyelenggaranya,
Rajawali Pres, Jakarta,1997.

243
Kartohadikusumo, Soetardjo, Desa, Sumur, Bandung, 1984.

Misdyanti dan Kartasapoetra, Fungsi Pemerintahan Daerah Dalam Pembualan


Peraturan Daerah, Bumi Aksara, Jakarta,1993.

Nasikun, Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali,1993.

Nimatul Huda, Otonomi Daerah Filosofi Sejarah Perkembangan dan


Problematik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2005.

Paparan Kepala Bappeda Jateng pada workshop Peningkatan Peran Daerah dalam
Penanggulangan Kemiskinan, Semarang 26 Agustus 2014

Philipus M. Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction


to The Indonesian Administrative Law), Gajahmada University
Press,1994.

Saddu Wasistiono, Pengembangan Otonomi Desa Menurut UndangUndang


menurut UUNomor 1999. Makalah untuk Rapat Evaluasi Pelaksanaan
Otonomi Desa Di Hotel Indonesia, Jakarta,2000.

. Kapita Selekia Manajemen Pemerintahan Daerah, Aiqaprint,


Jatinangor-Sumedang,2001.

Safrudin, Ateng, Pasang Surut Otonomi Daerah, Bina Cipta, Bandung,1985.

.Otonomi dan antisipasi Perkembangan, Suatu bahan Penyegaran


Pemahaman Otonomi daerah, Bandung,1998.

Sanapiah Faisal, Penelitian Kwalitatif, Dasar-dasar dan Aplikasi, Yayasan Asih,Asah


dan Asuh, Malang,1990.

Sekretariat Daerah, Himpunan Peraturan Daerah Kabupaten Demak Tahun 2007,


Bagian Hukum Kabupaten Demak, Demak,2007.

Siti Musdah Mulia, Syarial Islam dan Perspekhf Gender dan Ham, Jakarta,2008.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta,1984.

Soetiksno, Filsafat Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta,1976.

Sonny Keraf, Hukum Kodrat Dan Teori Hak Milik Pribadi, Kanesius,
Yogyakarta,1997.
Sumber Saparin, Tata Pemerintahan dan Administrasi Pemerintahan Desa, Ghalia
Indonesia, Jakarta,1986.

Solly Lubis, Perkembangan Garis Politik Dan Perundang-Undangan


Pemerintahan Daerah, Alumni, Bandung,1983.

244
Shidarta, Posisi pemikiran Hukum Progresif Dalam Konfigurasi Aliran-aliran
Filsafat Hukum.

Swiijat Iman, HukumAdat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta,1981.

Syaukani HR, Menatap Harapan Musa Depan Otonomi Daerah, Gerakan


Pengembangna Pemberdayaan Kutai, Lembaga Ilmu Pengetahuan, Kab.
Kutai Kaltim,2001.

Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesiaa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta,1988.

W. Friedmann. Teori dan Filsafat Hukum. Susunan I. Telaah Kritis Atas Teori
Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta: 1990.

Widara,I, Pokok-Pokok Peinerintahan Daerah, Laporan Pustaka Utama,


Yogyakarta,2001.

Wiradi, Gunawan, Beberapa Butir Dasar Penelitian Sosial, 1988.

Winardi, Kamus Ekonomi Inggris-Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 1998.

Winarna Surya Adisubrata, Otonami Daerah Era Reformasi,


UUP, Yogyakarta, 1991.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Bagian Hukum Dan Perundang-Undangan Sekretariat Daerah Kabupaten


Demak,2006, Peraturan Pemerintah Daerah Republik Indonesia Nomor
72 Thun 2005 TentangKelurahan, Demak.

Biro Pemerintahan Sekretariat Daerah Propinsi Jawa Tengan, 2004, Peraturan


Pemerintahan Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 2001 Tentang
Pedoman Umum Mengenai Desa, Semarang.

Pemerintah Kabupaten Demak, 2000, Perda Kabupaten Demak No. 20 Th 2000


Tentang Pembentukan, Penghapusan, Pemecahan dan Penggabungan
Kelurahan, Bagian Hukum Kabupaten Demak.

Pemerintah Kabupaten Demak, 20007, Demak Dalam Angka, Badan Pusat Statistik
dan BAPPEDA Kabupaten Demak.

Pemerintah RI, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah,


Pasal 1 angka (12).

245
Peraturan Menteri Dalam Negeri, 2007, Peraturan Pemerintah Nomor
414.2/3717/PMD Tahun 2008 Tentang Petunjuk Teknis Operasional
PNPM MP.

Peraturan Menteri Dalam Negeri, Nomor 66 Tahun 2007 Tentang Perencanaan


Pembangunan Desa.

Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Desa.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan


Nasional.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.


Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

C. JURNAL / ARTIKEL TERKAIT

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak


Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta 36.
Anderson James E, Public Policy Making, New York, Holt, Rinehart and Wiston,
1979, 46.

_______________, Public Policy Making: Basic Concept in Political Sciences. New


York: Praeger University Series.1975.

Bhenyamin Hoessen, Berbagai Faktor Yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi


Daerah Tingkat II. Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Dan Segi Ilmu Administrasi Negara. Desertasi untuk Gelar Program
Pasca Sarjana Universitas indonesia, 1993 dan Desentralisasi Dan
Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia, Naskah
Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Ilmu Administrasi Negara pad
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, UI,
Jakarta,1995.

Dye, Thomas R, Understanding Public Policy. 3th (Englewood Cliffs, NJ; Prentice
Hall,1981.

Hayami dan Kikuchi, Dilema Ekonomi Desa. Jakarta : Yayasan Obor.1987.

246
Hessel Nogi S. Tangkilisan, Kebijakan Publik yang Membumi, Konsep, Strategi dan
Kasus, Yogyakarta: Lukman Offset dan YPAPI,2003.
Hofstede, Geert, Cultures and Organization Software of The Mind, New York, Mc.
Grow hill, 1997.

Gianfranco Poggi, The Development of the Modern State Sosiological Introduction,


California Stanford University Press, 1992.

Ismawan, Bambang, Merajut Kebersamaan untuk Menanggulangi Kemiskinan,


Jurnal Ekora No. 6, September 2003

, Keuangan Mikro Dalam Penanggulangan Kemiskinan dan


Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, 2003. Jakarta: Gema PKM,2003.
Lundstedt, Legal thinking revised, My views on law (Stockholm 1956) p. 5 f.

Maschab, Mashuri. Pemerintah Desa di Indonesia. PAU-Studi Sosial. UGM.


Jakarta,1992.

Miles. B. Matthew & Michael A. Huberman. Analisis Data Kualilatif. UI Press.


Jakarta,1992.

Manan, Bagir, Perjaianan Historis Pasal 18 UUD 1945, Unsika, Karawang,1992.


R.Yando Zakaria, Pemulihan Kehidupan Desa dan UU Nomor 22 Tahun 1999
dalam UNISIA No. 46/XXV/111/2002.

Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta, Penerbit Buku


Kompas, 2006.

Sitorus, Edward Berlin, Pemahaman Singkat Tentang Rancangan Undang-


Undang Pemerintahan Daerah Pengganti Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 Dan Pengaturan Mengenai Kecamatan Desa-Kelurahan
serta Pokok-Pokok Pikiran Tentang RPP Mengenai Desa Sebagai
Perubahan Atas PP Nomor 76 Tahun 2001 Tentang Pedoman Umum
Pengaturan Mengenai Desa, makalah yang disajikan didalam forum
sosialisasi Undang-Undang Pemerintahan Daerah sebagai Pengganti
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, yang diselenggarakan oleb
Direktorat Jenderal PMD Departemen Dalam Negeri tanggal 12 Oktober
2004, Direktorat Jenderal PMD, Jakarta, 2004.

Soetomo, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, JSP Vol. 9 No. 1, Juli 05 Vol.
10 No. 2, Nop 06: Vol. 10 No. 1, Juli 2006. Persoalan Pengembangan
Institusi Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: UGM,2006.

Suharsono, Pelaksananaan Otonomi Desa Berdasarkan Undang-Undang Nomor


22 Tahun 1999 Dan Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 Di
Kabupaten Pati, Tesis,2005.

247
Sukadi, Pengaturan Perubahan Pemerintahan Kelurahan Menjadi Pemerintahan
Desa Dalam Sistem Otonomi Daerah DI Kabupaten Banyumas,
Tesis,2002.

Sumaryadi, I. Nyoman, Perencanaan Daerah Otonom dan Pemberdayaan Nasional,


Jakarta, Citra Utama, 2005.

, Efektifitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah. Jakarta, CV Citra


Utama,2005.

Tumpal P Sargih, Kajian Normatif Undang-Undang Pemerintahan Daerah Dan


turunannya, makalah yang di sajikan path pertemuan forum
pengembangan Pertisipasi Masyarakat (FPPM) Tanggal 3-5 Mei 2000 di
Yogyakarta,2001.

Woll, Peter. Constitutional Democracy. Second Edition. Boston-Toronto: Little,


Brown and Company, 1986.

D. WAWANCARA

Heri, Hasil Wawancara, Bidang Pemberdayaan Masyarakat Kec. Wonosalam.


Demak, 15 Maret 2016.

Samuel, Hasil Wawancara, Tim Pendamping Desa Kec. Wonosalam. Demak, 15


Maret 2016.

Syaiful Mujab, Hasil Wawancara, Anggota BPD Desa Jogoloyo Kec. Wonosalam.
Demak, 15 Maret 2016.

E. INTERNET

http://mitrahukum.org/file/bahan_ajar/Posisi%20Pemikiran%20Hukum%20Progresif
%20dalam%20Konfigurasi%20Aliran%20Filsafat%20Hukum%20by
%20Shidarta.pdf
http://www.surabayapagi.com
http://www.worldbank.org/poverty/wdrpoverty/dfid/synthes.pdf
sosiologihukum-untar5.blogspot.com/2010_05_01_archive.html
teknoringan.blogspot.com/2008_06_01_archive.html

248
249

Anda mungkin juga menyukai