Anda di halaman 1dari 10

Tujuan Pembelajaran

1. Mengetahui tentang pengertian dan definisi daripada enteritis

2. Mengetahui enteritis meliputi :

Etiologi, pathogenesis, gejala klinis, perubahan patologis, diagnosa dan prognosa

3. Penanganan dan terapi pada kasus enteritis

PENGERTIAN DAN DEFINISI ENTERITIS

Enteritis adalah proses keradangan usus yang dapat berlangsung akut maupun kronis, yang
akan mengakibatkan kenaikan peristaltik usus, kenaikan jumlah sekresi kelenjar pencernaan serta
penurunan penyerapan atau absorpsi dari lumen usus, baik itu cairan ataupun sari-sari makanan yang
terlarut di dalamnya. Enteritis primer maupun sekunder ditandai dengan penurunan nafsu makan,
menurunnya kondisi tubuh, dehidrasi dan diare. Perasaaan sakit akibat dari radang usus atau enteritis
bervariasi jenisnya, tergantung pada jenis hewan yang menderita serta derajat radang yang di
deritanya. Radang usus yang terjadi bersamaan dengan gastritis disebut sebagai gastroenteritis
(Subronto, 2007).

Radang yang terjadi di bagian usus tertentu di beri nama sesuai dengan bagian usus yang
diderita, misalnya radang dari kolon disebut sebagai colitis, radang pada ileum disebut sebagai ileitis,
radang rektum disebut sebagai proktitis dan sebagainya.

MENGETAHUI TENTANG ENTERITIS

Etiologi

Enteritis dapat disebabkan oleh berbagai agen etiologi, baik yang bekerja secara terpisah atau
bersama-sama. Dibawah ini akan dijelaskan beberapa agen infeksi bagi enteritis

A. Radang oleh virus

Pada sapi-sapi di Indonesia penyakit ingusan merupakan contoh klasik dari enteritis yang
disebabkan oleh virus. Virus lain yang telah dikenal sebagai penyebab radang usus di luar negeri
meliputi rinderpest, bovine viral diarrhea (BVD), blue tongue, reo-virus, corona-virus dan parvo
virus (Subronto, 2007).

1
Rotavirus dan coronavirus merupakan penyebab diare yang paling umum dijumpai.
Menurut (Mason dan Caldoe, 2005) agen paling umum penyebab diare di Skotlandia tahun 2003
dari neonatal enteritis 33% disebabkan oleh rotavirus, 20% oleh coronavirus dan sisanya adalah
agen penyebab lain. Kedua virus itu terdapat pada hewan dewasa tanpa menunjukkan gejala klinis
dan sangat umum ditularkan ke sapi muda. Virus akan menyerang vili pada lapisan sel usus halus
sehingga menggangu proses absorpsi dari lumen usus. Diare yang ditimbulkan bersifat profus,
hampir tak ada tanda demam, depresi ataupun dehidrasi hebat. Biasanya terjadi pada pedet umur
10-14 hari. Kasus ini juga sering terjadi dengan komplikasi dengan infeksi sekunder dari E. coli
( Chotiah, 2008).

B. Radang oleh bakteri

Bakteri-bakteri E. coli, Salmonella spp, Mycobacterium paratubercolosis diketahui paling


sering mengakibatkan radang usus pada berbagai jenis ternak. Oleh karena gangguan
keseimbangan biologik di dalam usus, misalnya oleh pemberian antibiotika berlebihan, bakteri
dan jamur yang hidup secara saprofitik akan berkembang baik dengan cepat hingga mampu
menghasilkan radang infeksi. Jasad renik yang biasanya hidup di dalam usus antara lain Proteus
sp, Pseudomonas sp, Staphylococcus sp, Aspergillus sp, Candida albicans (Subronto, 2007).

E. coli, merupakan bagian dari bakteri flora yang ada dalam usus hewan maupun manusia.
Walaupun demikian beberapa galur bersifat pathogen dan dapat menimbulkan penyakit. E. coli
enteropatogenik (ETEC) yang memiliki antigen perlekatan K 99 ataupun F 41 untuk melekat pada
dinding usus halus dan memproduksi enteroroksin yang mampu menstimulir hipersekresi dari
usus, merupakan strain yang paling umum dijumpai pada kasus diare (Chotiah, 2008).

Di Indonesia strain E.coli K99 telah diisolasi dari pedet penderita diare profus dari daerah
Jawa Barat. Strain lain yang dapat menimbulkan diare dan enteritis pada sapi atau pedet adalah
enterohemorhagic E. coli (EHEC). Starin ini dapat memproduksi verotoksin yang dapat
menyebabkan kerusakan pembuluh darah di daerah kolon, sehingga menyebabkan hemoragik
enterokolinitis yang ditandai dengan adanya feses dalam darah pada feses (Janke dkk, 1990).

Salmonella enterica subspecies enterica serotipe Dublin (S. Dublin ) dan Salmonella
enterica subspecies enterica serotipe thypimurium merupakan serotipe yang umum dijumpai pada
diare anak sapi. Di Indonesia S. thyphimurium telah di isolasi dari sapi dan manusia, sedangkan S.
Dublin telah dapat di isolasi dari sapi perah dan manusia. Sumber infeksi umumnya berasal dari
makanan dan minuman yang tercemar. Beberapa serotipe Salmonella yang ditemukan dari pedet
neonatal di 7 peternakan di Ohio adalah S.dublin, S.thypimurium, S.enteritidias, S. agona, S.
mbandaka dan S. mbandaka dan S. montivideo (Lance dkkl, 1992).
2
Clostridium perfingens dalam kondisi normal ada dalam usus hewan sehat dalam jumlah
sedikit dan setelah dikeluarkan bersama kotoran dapat bertahan hidup di dalam tanah selama
beberapa bulan. Kondisi perubahan cuaca dan perubahan pola pakan secara mendadak yang
menyebabkan proses pencernaan makanan kurang sempura, memperlambat pergerakan usus,
memproduksi gula, protein dan konsentrasi oksigen yang rendah sehingga menyebabkan
lingkungan yang cocok untuk bakteri untuk mempercepat pertumbuhan dan memproduksi toksin.
Terdapat 5 macam toksin yang dihasilkan, yaitu tipe A, B, C, D, dan E, yang semua berpotensi
untuk menimbulkan penyakit pada manusia dan hewan (Chotiah, 2008).

Setiap toksin menyebabkan tipe lesi yang berbeda. Toksin tipe C terutama menyerang
anak sapi neonatal, sedangkan tipe D menyerang yang umurnya lebih tua, umumnya sapi yang
baru di sapih. Penyakit yang terjadi umunya disebut sebagai enterotoksemia atau nekrotik enteritis
atau hemoragik enterotoksemia (Tipe C), sedangkan tipe D disebut juga sebagai overating disease
atau pulpy kidney disease (Chotiah , 2008).

C. Radang oleh protozoa

Cryptosporidium banyak ditemukan hampir disemua kelompok sapi bahkan pada letupan
neonatal enteritis dengan gejala diare di Skotlandia pada tahun 2003 paling tinggi disebabkan oleh
crptosporidia (35%) sedangkan pada koksidia hanya 3%. Protozoa ini memiliki ukuran jauh lebih
kecil daripada koksidia dan memiliki kemampuan untuk melekat pada sel lapisan usus halus dan
merusak mikrovili, akibatnya akan menghambat proses pencernaan. Diare yang disebabkan oleh

3
agen protozoa ini biasanya terjadi pada anak sapi atau pedet pada umur 7 sampai 21 hari
(Chotiah, 2008).

Coccidia sp dapat menyebabkan dapat menyebabkan diare pada pedet umur antara 3
minggu sampai 6 bulan. Infeksi menunjukkan klinis yang beragam dari sakit ringan diare kronis
sampai diare berdarah. Jenis protozoa lain adalah Giardia (Chotiah, 2008).

D, Radang oleh cacing

Cacing-cacing usus yang termasuk dalam family Stringylidae, Oesophagostomum sp,


Cooperia sp, dan Nematodirus sp, dalam jumlah yang cukup banyak akan menyebabkan
kerusakan selaput lendir usus. Cacing lambung Paramphistomum sp di Negara yang beriklim
sedang sering menyebabkan enteritis bila infestasinya cukup berat. Sapi yang menderita panyakit
cacing hati F. hepatica juga sering dijumpai menderita radang usus kataral. Hal tersebut mungkin
diakibatkan dari toksin yang dilepaskan cacing ke dalam usus (Subronto, 2007).

E. Radang oleh keracunan

Keracunan oleh unsur-unsur anorganik jarang ditemukan di Indonesia. Di Negara-negara


industri, keracunan ternak oleh unsur-unsur anorganik seperti timah hitam (Pb), warangan (As),
tembaga (Cu) dan molybden (Mo) sering dilaporkan kejadiannya. Juga mungkin juga keracunan
oleh tanaman beracun dapat menyebabkan enteritis pada ternak yang mengonsumsi tanaman
tersebut (Subronto, 2007).

PATOGENESIS ENTERITIS

Menurut Janke dkk (1990) banyak kondisi yang dapat menyebabkan diare haemorragis,
tetapi sindroma gastroenteritis haemorragika pada anjing muncul dengan gejala klinis unik dan
khas yang membedakannya dengan beberapa faktor penyebab lain. Sindroma gastroenteritis
haemorragika dikarakteristikkan oleh hilangnya integritas mukosa intestinal secara perakut yang
disertai perpindahan darah, cairan, dan elektrolit secara cepat menuju lumen usus. Hal ini
menyebabkan kejadian dehidrasi dan shock terjadi secara cepat. Perpindahan ini juga
menyebabkan perpindahan bakteri dan toksin melalui mukosa intestinal yang rusak sehingga
menyebabkan shock septik atau endotoksik.

Radang yang terbentuk akan bervariasi sifatnya mulai dari radang katar sampai radang
berdarah atau radang berdarah atau nekrotik. Hal tersbut tersebut tergantung pada sifat penyebab
dan intensitas kejadian. Infeksi yang bersifat multiple akan menyebabkan radang yang berat.

4
Rasa nyeri pada radang akan mengakibatkan rangsangan pada ujung-ujung saraf sensoris,
yang selanjutnya akan menaikkan frekuensi usus dan intensitas peristaltik usus. Dengan
meningkatnya peristaltik kesempatan penyerapan di dalam usus menjadi berkurang sehingga sel-
sel selaput lebdir usus banyak yang mengalami kematian dan kelenjar pencernaan lebih
meningkatkan sekresi getah pencernaan. Jumlah air yang tidak terserap menjadi lebih banyak
sehingga konsistensi feses jadi lebih encer dan pasasinya melebihi normal sehingga terjadi diare.
Kehilangan cairan tubuh dalam jumlah yang besar juga dapat menyebabkan dehidrasi (Subronto,
2007).

Pada kasus dengan agen infeksi Clostridium perfringens perubahan komposisi pakan
merupakan hal yang perlu mendapat perhatian. Ada abahan pakan yang merupakan trpsin
inhibitor. Inhibitor ini umumnya tidak tahan terhadap panas, dapat bertahan pada penyimpanan
suhu rendah. Ketika protein yang ada dalam pakan cukup rendah, akan terjadi penurunan produksi
trypsin dalam rumen hewan dan mungkin sama sekali menghentikan produksi chymotrypsin.
Akibatnya, bahan pakan yang mengandung trypsin inhibitor tersebut akan menginduksi terjadinya
enterotoksemia, yang disebabkan tidak adanya trypsin yang biasanya dapat merusak toksin Cl.
perfringens. Pada tahap selanjutnya, terjadi penyerapan toksin Cl perfringens melalui dinding
usus dan penyebaran toksin ke seluruh tubuh hewan, yang berakhir dengan toksemia fatal
(Worral dkk, 1987).

Radang usus yang disertai dengan perdarahan menghasilkan tinja yang bercampur darah
atau melena. Radang usus nekrotik menghasilkan feses yang berbau tajam karena dekomposisi
reruntuhan sel mukosa usus. Pada radang kataral feses tidak berbentuk, bercampur lendir dan
terdiri dari makanan yang tidak tercerna secara sempurna. Pada enteritis yang bersifat kronis
dapat terjadi berulang-ulang dan berlangsung berminggu-minggu atau berbulan-bulan, sehingga
kondisi tubuh menurun secara bertahap. Contohnya adalah John disease (Subronto, 2007).

GEJALA KLINIS

Gejala yang spesifik pada sapi perah dewasa adalah: tiba-tiba hewan menjauhi makanan,
tidak ada nafsu makan sama sekali. Susu yang dihasilkan sedikit atau tidak ada susu sama sekali.
Hewan merasa sakit di bagian abdomennya dan terlihat adanya gejala kembung. Adanya
perdarahan pada usus menyebabkan kotoran yang keluar sangat sedikit kadang berdarah.
Pada anak sapi, Cl. perfringens tipe A, biasanya menyebabkan gejala kembung dengan
kesakitan dan depresi. Nafsu makan juga tidak ada dan kematian dapat cepat terjadi karena ulcer
dalam abomasum, peradangan dan penimbunan gas. Cl. perfringens tipe C menyebabkan necrotic
enteritis pada sapi baru lahir. Biasanya anak sapi dapat mati sebelum terjadi diare. Gejala yang

5
dapat dilihat berupa depresi, lemah, kembung dan kesakitan Cl. perfringens tipe E juga dapat
menyebabkan enteritis pada anak sapi (Chotiah, 2008)/
Rasa sakit pada sapi ditandai dengan adanya kegelisahan. Pada kuda, sering di tandai
dengan danya gejala kolik yang klasik. Diare merupakan gejala yang selalu dijumpai dalam
radang usus. Feses yang cair dengan bau yang tajam mungkin bercampur dengan darah dan lendir
atau reruntuhan mukosa usus. Pada enteritis yang bersifat kronis, kecuali menderita kekurusan,
feses jarang bersifat cair, berisi darah dan lendir, serta reruntuhan mukosa yang mencolok. Oleh
karena kurangnya cairan di dalam usus maka mungkin dapat di jumpai radang usus yang disertai
dengan gejala konstipasi dan feses bersifat kering (Subronto, 2007).
Enteritis akut selalu disertai dengan oliguria dan anuria, dan disertai dengan turunnya
nafsu makan, anoreksia total ataupun parsial. Namun pada radang yang bersifat kronik, nafsu
makan umumnya tidak mengalami penurunan (Subronto, 2007).
Oleh karenya adanya gangguan vasa darah lokal dalam usus maka biasanya dijumpai vasa
injeksi pembuluh darah balik konjungtiva. Pulsus dapat mnegalami sedikit kenaikan atau dalam
batas-batas normal, sehingga suhu tubuh. Auskultasi pada dinding perut akan menghasilkan suara
pindahnya isi usus, cairan dan gas, yang dikenal sebagai borborigmus, yang terjadi karena
peningkatan peristaltik usus. Akibat pengeluaran cairan yang berlebihan maka penderita akan
mengalami tanda dehidrasi yang mencolok. Dehidrasi yang mencapai lebih dari 10% dapat
mengancam kehudupan penderita dalam 1-2 hari (Subronto, 2007).

PERUBAHAN PATOLOGIS
Dalam kasus enterotoksemia, konsidisi hewan yang mengalami perubahan adalah pada
saluran usus dan organ-organ parenkim. Pada pemeriksaan patologis menunjukkan perubahan
mecolok seperti pada usus kecil ditemukan enteritis hemoragika yang parah. Pada abomasum,
omasum, reticulum, usus besar, rektum, dan sekum juga terdpat mukosa hiperemis. Mukosa
saluran pernafasan sianosis, pulmo mengalami oedema, berisi cairan serofibrinous. Jantung
membesar, terkadang ditemukan perdarahan titik (petichae) pada epikardial dan endokardial. Dan
daerah ventral perut umumnya hiperemis (Priadi dkk, 2008).
Pada pemeriksaan histopatologis, terlihat adanya pembendungan pada pulmo. Adanya
infiltrasi limfoist pada usus halus dan pada mukosa usus dapat ditemukan adanya bakteri
berbentuk bacillus dan bersifat gram positif. Terlihat juga adanya pembengkakan lapisan rumen
dan abomasum, disertai ulserasi dan hemoragis. Pada usus besar terlihat adanya nekrosis fokal
dari lapisan otot halus dengan adanya infiltrasi limfosit, neutrophil dan makrofag. Selain itu, ada
degenerasi otot dengan vakuolisasi dan nekrosis. Hati menunjukkan adanya nekrosis degeneratif

6
dan vakuolisasi dari hepatosit. Limpa menunjukkan hemosiderosis berat. Limfoglandula
menunjukkan adanya hipertrofi dan peningkatan jumlah sel reticuloendotelial. Ginjal
menunjukkan adanya degenerasi parenkim dari tubulus renali (Worral dkk, 1987).
Pemeriksaan darah penderita enteritis akut biasanya menunjukkan adanya
hemokonsentrasi karena dehidrasi. Pemeriksaan patologi anatomis ini bervariasi tergantung pada
penyebab ataupun faktor lainnya. Perubahan-perubahan tersebut mungkin hanya terlihat radang
ringan pada mukosa ataupun sampai radang nekrotik, yang mencapai lapisan submukosa.
Kelenjar-kelenjar limfe disekitar usus yang mengalami keradangan biasanya juga membengkak
oedomatous (Subronto, 2007).
Dinding usus pada radang usus, terutama pada radang yang kronik, akan mengalami
penebalan. Gambaran radang yang tersifat mungkin ditemukan sesuai dengan sifat khas penyakit
primernya (Subronto, 2007).

DIAGNOSA
Diagnosa dilakukan berdasarkan pada hasil pengamatan gejala klinis , perubahan patologis
dan konfirmasi hasil isolasi dan identifikasi bekteri ataupun agen infeksi penyebab lainnya yang
dapat ditemukan dalam isi usus ataupun cairan tubuh hewan yang mati.
Diagnosa penyakit umumnya didasarkan atas penemuan toksin penyebab penyakit serta
isolasi agen penyakit. Hal ini umumnya masih dirasakan bagi laboratorium penyakit hewan di
Indonesia, selain itu sampel yang diambil harus segar dan kurang dari 18 jam dari kematian
hewan. Pada kasus dengan agen infeksi Cl prefringens suspensi sampel mukosa di inokulasi ke
dalam Robertsons cooked meat medium (RCMM). Suspensi juga ditanam pada blood agar dan di
inkubasi dalam anaerobic jar. Identifikasi Cl perfringens secara cepat dapat dapat dilakukan
dengan teknik Flourescent Antibody Technique (FAT). Sampel di periksa di bawah mikroskop
fluorescent dan dapat dilihat bakteri berbentuk batang dan berwarna hijau Adanya toksin dari Cl.
perfringens dapat diuji dengan menggunakan mouse protection test. Mencit dapat dilindungi dari
kematian dengan memberikan antitoksin yang spesifik. Dari uji ini dapat diketahui juga tipe dari
Cl perfringens yang menyebabkan kematian (Priadi dkk, 2008).
Identifikasi dari penyebab diare sangat diperlukan untuk menentukan pengobatan,
pencegahan dan strategi pengawasan. Diagnosa uji perlu dilkaukan selama itu di perlukan untuk
keperluan penanggulangan. Pengobatan dan vaksinasi sangat bervariasi tergantung dari agen
pathogen penyebab. Oleh karena itu sangat perlu dilakukan pengambilan sebanyak kurang lebih
15 gram dari setiap ekor hewan yang mengalami gejala diare, minimal apabila terdapat 6 ekor
sapi haruslah diambil sampel dari 3 ekor (Chotiah, 2008).

7
Dalam pemeriksaan darah sindroma ini umumnya hemokensentrasi dengan Pack cell
volume (PCV) lebih dari 60%, terkadang sampai 75%. Sindroma ini juga mengalami stress
leukogram. Pada saat cek feses dengan ELISA untuk parvovirus hasilnya negatif, fecal cytologi
akan menunjukkan banyak sel darah merah dan mungkin spora dari Clostridium perfringens. Pada
hasil Roentgen akan memperlihatkan cairan dan gas mengisi usus halus dan usus besar.
Diferensial diagnosa dari enteritis adalah parvovirus, salmonellosis, obstruksi atau intussuception
intestinal, hypoadrenocorticm, pankreatitis, coagulopathy.
Prognosa pada kasus ini baik (fausta) dan banyak pasien yang sembuh tanpa mengalami
komplikasi. Kematian secara tiba-tiba tidak umum terjadi namun pernah dilaporkan.

TERAPI DAN PENGOBATAN


Pengobatan terutama ditujukan untuk mengatasi penyebab primernya. Juga perlu untuk
dipertimbangkan pemberian adsorbensia (kaolin, pectin), adstringensia (tannin, tanalbumin) dan
spasmolitika (atropine sulfat, glikopirolat).
Rasa sakit yang terus menerus kadang perlu untuk dikurangi dengan pemberian analgesika
(aspirin, dipyron) atau kadang juga diberikan transquilezer (Klorpromazine). Pemberian sediaan
yang bersifat asam hendaknya dilaukan dengan ahti-hati, karena diare sendiri dapat menyebabkan
derajat asam isi usus menurun. Mutlak untuk penggantian cairan tubuh yang hilang, umumnya
dengan cairan elektrolit (Subronto, 2007).
Adapun apabila enteritis diduga disebabkan oleh karena keracunan, usaha menghentikan
kerja racun harus segera dilakukan, misalkan dengan memberi banyak minum. Penggunaan
laksansia ringan, misalkan misalkan minyak klentik, meskipun hal tersebut bersifat kontra
indikatif, namun tetap diperlukan untuk membebaskan bahan-bahan beracun yang masih
tertinggal (Subronto, 2007).
Pada pengobatan pedet yang menderita diare ditujukan langsung untuk memperbaiki
dehidrasi dan asidosis yang terjadi dan memperkecil kerusakan usus. Beberapa langkah dalam
pengobatan diare yang harsu dilakukan adalah :
1. Jika pedet mengalami dehidrasi berat maka perlu pemberian cairan elektrolit secara
intra vena
2. jika pedet mengalami dehidrasi sedang dan dapat berdiri maka pemberian cairan
elektrolit dilakukan secara per oral
3. pemberian susu dengan pemberian obat tidak dianjurkan jarena akan menyebabkan
diare berlanjut,pemberian susu minimal dilakukan beberapa jam setelah pengobatan.

8
Pada anjing, penanganan kasus gastroenteritis haemoragika menurut Smith dan Tilley
(2000) yaitu dengan pemberian terapi cairan elektrolit sampai 40-60 ml/kg/jam intravena (iv)
sampai nilai PCV kurang dari 50%. Selain itu diberikan terapi antibiotik dengan menggunakan
Ampicillin secara parenteral. Penggunaan Ampicillin yang dikombinasikan dengan Gentamisin
atau Fluroroquinolone baik untuk pasien yang menderita sepsis. Alternatif lain dari Ampicillin
adalah Trimethoprim-sulfa atau Cephalosprorin. Pada anjing yang menderita shock diberikan
Dexamethasone sodium phosphat 0.5-1 mg/kg iv.

DAFTAR PUSTAKA

Chotiah, S. 2008. Diare pada pedet : agen penyebab, diagnose dan penanggulangan. Semiloka
Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020

Janke,B.H, Francis, D.H., Collin, N.C., Neiger, R.D. 1990. Attaching and effacting Escherichia
coli infection as a cause of diarrhea in young calves. JAVMA. 196(6): 897-901
9
Lance, S.E., Miller, G.J., Hancock, D.D., Bartlett,P.C., dan Heider,L.E. 1992. Salmonella
infections in neonatal dairy calves. JAVMA. 201(6): 864-868

Mason, C dan Caldow, G. 2005, The control and management of calf diarrhea in beef herds.
Technical Note (TN) 576. West Mains Road, Edinburgh EH 9 3JG. SAC reseives support
from the Scottish Executive Environment and Rural Affairs Dept.

Priadi, A dan Natalia, L. 2008. Enterotoksemia pada sapi perah di Indonesia. Semiloka Nasional
Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020

Subronto. 2007. Ilmu Penyakit Ternak I-a. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Worral, E.E., Natalia,L., Ronohardjo,P., Partoutomo,S. dan Tarmuji. 1987 Enterotoxaemia in


water buffaloes caused by Clostridium perfringens type A. Vet.Rec. 121: 278-279

10

Anda mungkin juga menyukai