Anda di halaman 1dari 13

Asma Bronchiale

Oscar Wiradi Putera

10-2011-404

F6

Pendahuluan

Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting dan merupakan masalah kesehatan
masyakat yang serius di seluruh dunia. Meskipun penyakit ini bukan merupakan penyebab kematian
yang utama tetapi penyakit ini mempunyai dampak sosial yang cukup besar terhadap produktifitas
kerja dan kehilangan angka sekolah yang tinggi serta angka kejadiannya meningkat terus dari waktu
kewaktu. Asma dapat terjadi dalam berbagai usia dengan menifestasi yang sangat bervariasi dan
berbeda-beda antara satu individu dengan individu lainnya. Obstruksi saluran napas pada asma
mempunyai gejala-gejala seperti mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama pada
malam atau dini hari.

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Terusan Arjuna No. 6, Jakarta Barat 11510, No telp: (021) 56942061, Fax: (021) 5631731

E-mail: puteraoscar@yahoo.co.id

1
A. Anamnesis
Anamnesis merupakan wawancara medis yang merupakan tahap awal dari rangkaian
pemeriksaan pasien, baik secara langsung pada pasien atau secara tidak langsung. Tujuan dari
anamnesis adalah mendapatkan informasi menyeluruh dari pasien yang bersangkutan.
Informasi yang dimaksud adalah data medis organobiologis, psikososial, dan lingkungan
pasien, selain itu tujuan yang tidak kalah penting adalah membina hubungan dokter pasien
yang profesional dan optimal.
Data anamnesis terdiri atas beberapa kelompok data penting:
1. Identitas pasien
2. Riwayat penyakit sekarang
3. Riwayat penyakit dahulu
4. Riwayat kesehatan keluarga
5. Riwayat pribadi, sosial-ekonomi-budaya
Identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku, agma, status perkawinan,
pekerjaan, dan alamat rumah.
Riwayat perjalanan penyakit
Lamanya keluhan berlangsung
Bagaimana sifat terjadi gejala: apakah mendadak, perlahan-lahan, terus-menerus,
berupa bangkitan atau serangan, hilang-timbul, apakah berhubungan dengan waktu
(misalnya terjadi waktu pagi, sore, malam)
Untuk keluhan local harus dirinci seperti apakah menetap, cenderung bertambah
berat, cenderung berkurang
Apakah terdapat pada saudara sedarah, orang serumah atau sekeliling pasien yang
menderita keluhan yang sama
Upaya yang telah dilakukan dan bagaimana hasilnya.1

B. Pemeriksaan
Pemeriksaan fisik

Umum
1. Suhu
2. Tekanan darah
3. Nadi
4. Frekuensi napas
5. Kesadaran

Inspeksi
Inspeksi dilakukan untuk mengetahui adanya lesi pada dinding dada, kelainan bentuk
dada, sifat, frekuensi dan pola pernapasan.

2
Kelainan dinding dada, yang biasa didapat yaitu seperti parut bekas operasi, luka
operasi, spider nevi, ginekosmatia tumor, retraksi otot-otot interkostal dll.
Kelainan bentuk dada, yang didapat yaitu seperti barrel chest, kifosis, skoliosis,
pectus excavatum, dan pectus carinatum.
Frekuensi pernapasan. Frekuensi pernapasan normal adalah 14-20 kali per menit.
Pernapasan kurang dari 14 kali per menit disebut bradipnea, misalnya akibat
pemakaian obat-obat narkotik, kelainan serebral. Pernapasan lebih ari 20 kali per
menit disebut takipnea, misalnya pada pneumonia, anksietas, asidosis.
Jenis pernapasan.
- Torakal, misalnya pada pasien sakit tumor abdomen, peritonitis umum.
- Abdominal, misalnya pada pasien PPOK lanjut.
- Torako-abdominal (lebih dominan pada perempuan sehat)
- Abdominal-torakal (lebih dominan pada laki-laki sehat)
Pola pernapasan
- Pernapasan normal: irama pernapasan yang berlangsung secara teratur
ditandai dengan adanya fase-fase inspirasi dan ekspirasi silih berganti
- Takipnea : napas cepat dan dangkal
- Hiperpnea: napas cepat dan dalam
- Bradipnea: napas yang lambat
- Cheyne stokes: irama pernapasan yang ditandai dengan adanya periode apnea
(berhentinya gerakan pernapasan) kemudian disusul periode hiperpnea
(pernapasan mula-mula kecil amplitudonya kemudian cepat membesar dan
kemudian mengecil lagi).
Pernapasan Biot : jenis pernapasan yang yang tidak teratur baik dalam hal
frekuensi maupun amplitudonya.
Sighing respiration : pola pernapasan normal yang diselingi oleh tarikan napas
yang dalam.1,2
Palpasi
Palpasi acak dan terstruktur thoraks anterior dan posterior
Meraba sela iga (melaporkan sela iga yang normal, mencembung/mencekung)
Melaporkan pergerakan thoraks saat keadaan statis dan dinamis (simetris/tidak)
Melakukan pemeriksaan vocal fremitus pada thoraks depan.1,2
Perkusi
Melakukan perkusi acak dan terstruktur
Mengetahui kelainan penyebab perkusi pekak, redup dan hipersonor pada paru1,2
Auskultasi
Mendengar suara nafas dasar
o Trakeal : suara napas yang sangat keras dan kasar, dapat didengarkan pada
daerah trakea.
o Bronchial : suara napas pokok yang keras dan berfrekuensi tinggi, dimana
fase ekspirasi menjadi lebih panjang dari fase inspirasi dan diantaranya

3
diselingi jeda. Dalam keadaan normal dapat didengar pada daerah manubrium
sterni.
o Bronkovesikuler : suara napas pokok dengan intesitas dan frekuensi yang
sedang, dimana fase ekspirasi menjadi lebih panjang sehingga hampir
menyamai fase inspirasi dan diantaranya kadang-kadang dapat diselingi jeda.
Dalam keadaan normal bisa didapatkan pada dinding anterior setinggi sela iga
1 dan 2 serta daerah interskapula.
o Vesikuler : suara napas pokok yang lembut dengan frekuensi rendah dimana
fase inspirasi langsung diikuti dengan fase ekspirasi tanpa diselingi jeda,
dengan perbandingan 3:1. Dapat didengarkan pada hampir kedua lapangan
paru.
Mendengar suara nafas tambahan/patologis
o Ronki kering (ronchi)
Suara napas kontinyu, yang bersifat musical, dengan frekuensi yang
relatif rendah, terjadi karena udara mengalir melalui saluran napas
yang menyempit, misalnya karena adanya secret yang kental.
o Ronki basah (rales)
Suara napas tambahan berupa vibrasi berputus-putus (tidak kontinu)
akibat getaran yang terjadi karena cairan dalam jalan napas dilalui oleh
udara, bersifat non musical.
Perlu dibedakan ronki basah halus (dari duktus alveolus, bronkiolus
dan bronkus halus), ronki basah sedang (dari bronkus kecil dan
sedang) dan ronki basah kasar (dari bronkus di luar jaringan paru)3-4
o Wheezing (mengi)
Jenis ronki kering yang frekuensinya tinggi dan panjang yang biasanya
terdengar pada serangan asma.
Mengi lebih sering terdengar pada fase ekspirasi.3,4
o Pleural friction rub
Terjadi karena pleura parietal dan visceral yang meradang saling
bergesekan satu dengan yang lainnya. Pleura yang meradang akan
menebal atau menjadi kasar. Bunyi gesekan ini terdengar pada akhir
inspirasi dan awal ekspirasi.

o Amforik
Suara napas yang didapatkan bila terdapat kavitas besar yang yang
letaknya perifer dan behubungan dengan bronkus, terdengar seperti
tiupan dalam botol kosong.1,2

Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan radiologi asma bronkial


Keadaan klinis yang ditandai dengan penyempitan dari bronchus/ bronchioles yang
bersifat kadang-kadang (paroxysmal) dan reversible

4
Biasanya karena proses alergi
Pada gambaran rontgen foto kadang-kadang tidak
ditemukan kelainan yang mencolok, kecuali
adanya hyperaerasi kedua paru.
Selama serangan asma, paru tampak
Gambar 1 : makroskopik sinar X-ray
mengalami hiperinflasi dan ditemukan bercak-
pada pasien asma
bercak infiltrate yang konsisten dengan
atelektasia segmental
Paru sangat mengembang dan penuh udara, dapat dijumpai daerah atelektasis kecil 2

b. Pemeriksaan sputum

Sputum eusinofil sangat karakteristik untuk asma, sedangkan neutrofil sangat dominan pada
bronchitis kronik. Jumlah eusinofil total dalam darah sering meningkat pada pasien asma. 2,3

c. Uji Kulit (Skin Test)

Tujuan uji kulit adalah untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik dalam tubuh, uji ini hanya
menyokong anamnesis, karena uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma,
demikian pula sebaliknya.2,3

d. Pemeriksaan darah2
Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia,
hiperkapnia, atau asidosis.
Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana
menandakan terdapatnya suatu infeksi.
Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu
serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.

e. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan napas reversible, cara yang paling cepat
dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator.
Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol
(inhaler atau nebulizer) golongan adrenergic beta. Peningkatan VEP1 sebanyak 12%
menunjukkan diagnosis asma. Tetapi respons yang kurang dari 12% tidak berarti bukan
asma. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga
penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Banyak penderita tanpa keluhan
tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.2,3

C. Diagnosis

5
1. Working Diagnosis

Asma bronchial

Asma adalah penyakit paru dengan karakterisitik obstruksi saluran napas yang
reversible baik secara spontan maupun dengan pengobatan, adanya inflamasi saluran napas,
dan peningkatan respons saluran napas terhadap berbagai rangsangan. Obstruksi saluran
napas ini memberikan gejala-gejala asma seperti batuk, mengi, dan sesak napas. Penyempitan
saluran napas pada asma dapat terjadi secara bertahap, perlahan-lahan dan bahkan menetap
dengan pengobatan tetapi dapat pula terjadi mendadak, sehingga menimbulkan kesulitan
bernapas yang akut. Derajat obstruksi ditentukan oleh diameter lumen saluran napas,
dipengaruhi oleh odem dinding bronkus, produksi mukus, kontraksi dan hipertrofi otot polos
bronkus. Diduga baik obstruksi maupun peningkatan respons terhadap berbagai rangsangan
didasari oleh inflamasi saluran napas.2

Diagnosis asma didasarkan pada riwayat penyakit, pemeriksaan fisis, dan


pemeriksaan penunjang. Padariwayat penyakit akan dijumpai keluhan batuk, sesak, mengi,
atau rasa berat di dada. Tetapi kadang-kadang pasien hanya mengeluh batuk-batuk saja yang
umumnya timbul pada malam hari atau sewaktu kegiatan jasmani. Adanya penyakit alergi
yang lain pada pasien maupun keluarganya seperti rhinitis alergi, dermatitis atopic,
membantu diagnosis asma. Gejala asma sering timbul pada malam hari, tetapi dapat pula
muncul sembarang waktu. Adakalanya gejala lebih sering terjadi pada musim tertentu. Yang
perlu diketahui adalah factor-faktor pencetus serangan. Dengan mengetahui factor pencetus,
kemudian menghindarinya, maka diharapkan gejala asma dapat dicegah. Factor- factor
pencetus pada asma yaitu :2

1. Infeksi virus saluran napas: influenza


2. Pemajanan terhadap allergen tungau, debu rumah, bulu binatang
3. Pemajanan tehadap iritan asap rokok, minyak wangi
4. Kegiatan jasmani: lari
5. Ekspresi emosional takut, marah, frustasi
6. Obat-obat aspirin, penyekat beta, anti inflamasi non steroid
7. Lingkungan kerja: uap zat kimia
8. Polusi udara: asap rokok
9. Pengawet makanan: sulfit
10. Lain-lain, misalnya haid, kehamilan, sinusitis

Asthma Bronkial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu2,3

Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus
yang spesifik, seperti : debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan
(antibiotik dan aspirin), dan spora jamur. Asthma ekstrinsik sering dihubungkan
dengan adanya faktor predisposisi genetik terhadap alergi, oleh karena itu jika

6
ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan
terjadi serangan asthma ekstrinsik.
Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergik yang bereaksi terhadap pencetus
yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti : udara dingin, infeksi saluran
pernafasan, latihan, emosi. Serangan Asthma ini lebih berat dan sering sejalan
dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi Bronkhitis Kronik
dan Emfisema.
Asthma Gabungan
Bentuk Asthma yang paling umum. Asthma ini mempunyai karakteristik dari
bentuk alergi dan non alergi.

2. Differential Diagnosis

Emfisema paru
Sesak merupakan gejala utama emfisema sedangkan batuk dan mengi jarang
menyertainya. Pasien biasanya kurus. Berbeda dengan asma, pada emfisema tidak pernah ada
remisi, pasien selalu sesak pada kegiatan jasmani. Pada pemeriksaan fisis ditemukan dada
kembung, peranjakan napas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, dan suara napas sangat
lemah. Pemeriksaan foto dada menunjukkan hiperinflasi.2,3

Bronkitis kronik
Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum 3 bulan
dalam setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Penyebab batuk kronik seperti tuberkulosis,
bronkitis atau keganasan harus disingkirkan dahulu. Gejala utama batuk disertai sputum
biasanya didapatkan pada pasien berumur lebih dari 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya
dimulai dengan batuk pagi hari, lama kelamaan disertai mengi dan menurunnya kemampuan
kegiatan jasmani. Pada stadium lanjut dapat ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor
pulmonal.2,3

Bronkiektasis

Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi (ektasis)
dan distorsi bronkus local yang bersifat patologis dan berjalan kronik, persisten atau
ireversibel. Kelainan bronkus tersebut disebabkan oleh peubahan-perubahan dalam dinding
bronkus berupa destruksi elemen-elemen elastis, otot-otot polos bronkus, tulang rawan dan
pembuluh-pembuluh darah. Bronkus yang terkena umumnya adalah bronkus kecil (medium
size) sedangkan brongkus besar umumnya jarang. Ciri khas penyakit ini adalah adanya batuk

7
kronik disertai produksi sputum, adanya hemoptisis dan pneumonia berulang. Bronkiektasis
yang mengenai bronkus pada lobus atas sering dan memberikan gejala. Diagnosis pasti
bronkiektasis dapat ditegakkan apabila telah ditemukan adanya dilatasi dan nekrosis dinding
bronkus dengan prosedur pemeriksaan bronkografi, melihat bronkogram yang didapatkan dan
CT scan. Bronkografi tidak selalu dapat dikerjakan pada tiap pasien bronkiektasis, karena
terikat oleh adanya ndikasi dan kontraindikasi.2,3

Atelektasis

Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan


saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.
Bronkus adalah dua cabang utama dari trakea yang langsung menuju ke paru-paru. Jika
saluran pernafasan tersumbat, udara di dalam alveoli akan terserap ke dalam aliran darah
sehingga alveoli akan menciut dan memadat. Jaringan paru-paru yang mengkerut biasanya
terisi dengan sel darah, serum, lendir dan kemudian akan mengalami infeksi. Atelektasis
dapat terjadi secara perlahan dan hanya menyebabkan sesak napas yang ringan. Gejalanya
bisa berupa gangguan pernapasan, nyeri dada, batuk. Jika disertai infeksi, bisa terjadi demam
dan peningkatan denyut jantung, kadang-kadang sampai terjadi syok (tekanan darah sangat
rendah). Secara makroskopis paru-paru yang kolaps tampak cekung, berwarna merah
kebiruan, padat dan pleura pada daerah tersebut mengkerut. Secara mikroskopis alveolus
yang menyempit tampak sebagai celah yang memanjang, terdapat sumbatan pada pembuluh
darah septum alveolus.2,3

D. Etiologi

Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya
serangan asma bronkhial.2,3

a. Faktor Predisposisi
- Genetik
Yang diturunkan adalah bakat alergi meskipun belum diketahui bagaimana
cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai
keluarga dekat yang juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat
alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika
terpapar dengan faktor pencetus.
b. Faktor Presipitasi
- Alergen
Alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:

8
a) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan. Contoh: debu, bulu
binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri, dan polusi.
b) Ingestan, yang masuk melalui mulut. Contoh: makanan dan obat-obatan
c) Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit. Contoh: perhiasan,
logam, dan jam tangan.
- Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti musim hujan,
musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin,
serbuk bunga, dan debu.
- Stress
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus asma dan memperberat
serangan asma yang sudah ada. Penderita diberikan motivasi untuk
menyelesaikan masalah pribadinya karena jika stressnya belum diatasi maka
gejala asmanya belum bisa diobati.
- Olah raga/aktivitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita akan mendapat serangan juka melakukan aktivitas
jasmani atau olahraga yang berat.lari cepat paling mudah menimbulkan
serangan asma.
E. Epidemiologi
Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur
pasien, status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan. Pada masa kanak-kanak
ditemukan prevalensi anak laki-laki berbanding perempuan 1,5 : 1, tetapi menjelang dewasa
perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak
dari laki-laki. Umumnya prevalendi asma anak lebih tinggi dari dewasa, tetapi ada pula yang
melaporkan prevalensi dewasa lebih tinggi dari anak. Angka ini juga berbeda-beda antara
satu kota dengan kota lain di negara yang sama. Di Indonesia prevalensi asma berkisar 5-
7%.3
F. Patofisiologi
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus,
sumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat selama
ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini
mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi.

9
Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF) dan pasien
akan bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan
hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar.
Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu napas.2,3,4
Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara objektif dengan
VEP1 (Volume Ekspirasi Paksa detik pertama) atau APE (Arus Puncak Ekspirasi), sedangkan
penurunan KVP ( Kapasitas Vital Paksa), menggambarkan derajat hiperinflasi paru.
Penyempitan saluran napas dapat terjadi baik pada saluran napas yang besar, sedang, maupun
kecil. Gejala mengi menandakan ada penyempitan di saluran napas besar, sedangkan pada
saluran napas yang kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan dibanding mengi.2,3,4
Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata di seluruh bagian paru. Ada daerah-
daerah yang kurang mendapat ventilasi, sehingga darah kapiler yang melalui daerah tersebut
mengalami hipoksemia. Penurunan PaO2 mungkin merupakan kelainan pada asma sub-klinis.
Untuk mengatasi kekurangan oksigen, tubuh melakukan hiperventilasi, agar kebutuhan
oksigen terpenuhi. Tetapi akibatnya pengeluaran CO2 menjadi berlebihan sehingga PaCO2
menurun kemudian menimbulkan alkalosis respiratorik. Pada serangan asma yang lebih berat
lagi banyak saluran napas dan alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak memungkinkan
lagi terjadinya pertukaran gas. Hal ini menyebabkan hipoksemia dan kerja otot-otot
pernapasan bertambah berat serta terjadi peningkatan produksi CO2. Peningkatan produksi
CO2 yang disertai dengan penurunan ventilasi alveolus menyebabkan retensi CO2
(hiperkapnia) dan terjadi asidosis respiratorik atau gagal napas. Hipoksemia yang
berlangsung lama menyebabkan asidosis metabolik dan konstriksi pembuluh darah paru yang
kemudian menyebabkan shunting yaitu peredaran darah tanpa melalui unit pertukaran gas
yang baik, yang akibatnya memperburuk hiperkapnia. Dengan demikian penyempitan saluran
napas pada asma akan menimbulkan hal-hal sebagai berikut :1) Gangguan ventilasi berupa
hipoventilasi, 2)Ketidakseimbangan ventilasi perfusi di mana distribusi ventilasi tidak setara
dengan sirkulasi paru, 3)Gangguan difusi gas di tingkat alveoli.2,3,4
Ketiga faktor tersebut akan mengakibatkan : hipoksemia, hiperkapnia, asidosis respiratorik
pada tahap yang sangat lanjut.

G. Penatalaksanaan2,5,6
Mencegah ikatan alergen IgE

Menghindari allergen, tampaknya sederhana, tetapi sering sukar dilakukan.

10
Hiposensitisasi, dengan menyuntikkan dosis kecil alergen yang dosisnya makin
ditingkatkan diaharapkan tubuh akan membentuk IgG (blocking antibody) yang akan
mencegah ikatan alergen dengan IgE pada sel mast. Efek hiposensitisasi pada saat ini
masih diragukan.

Mencegah penglepasan mediator

Premedikasi dengan natrium kromolin dapat mencegah spasme bronkus yang


dicetuskan oleh alergen. Natrium kromolin mekanisme kerjanya diduga mencegah
penglepasan mediator dari mastosit. Obat tersebut tidak dapat mengatasi spasme bronkus
yang telah terjadi. Oleh karena itu hanya dipakai sebagai obat profilaktik pada terapi
pemeliharaan.

Natrium kromolin paling efektif untuk asma anak yang penyebabnya alergi, meskipun
juga efektif pada sebagian pasien asma intrinsic dan asma karena kegiatan jasmani. Obat
golongan agonis 2 maupun teofilin selain bersifat sebagai bronkodilator juga dapat mencegah
penglepasan mediator.

Melebarkan saluran napas dengan bronkodilator

Simpatomimetik
- Agonis 2, (salbutamol, terbutalin, fenoterol, prokaterol) merupakan obat-obat
terpilih untuk mengatasi serangan asma akut. Dapat diberikan secara inhalasi melalui
MDI (Metered Dosed Inhaler) atau nebulizer.
- Epinefrin, diberikan subkutan sebagai pengganti agonis 2 pada serangan asma yang
berat. Dianjurkan hanya dipakai pada asma anak atau dewasa muda.
Aminofilin dipakai sewaktu serangan asma akut. Diberikan dosis awal, diikuti dengan
dosis pemeliharaan.
Kortikosteroid sistemik. Tidak termasuk obat golongan bronkodilator tetapi secara
tidak langsung, dapat melebarkan saluran napas. Dipakai pada serangan asma akut
atau terapi pemeliharaan asma yang berat.
Antikolinergik (ipatropium bromide) terutama dipakai sebagai suplemen
bronkodilator agonis 2 pada serangan asma.

Fungsi penggunaan obat anti asma antara lain :2,5,6

Pencegah, yaitu obat-obat yang dipakai setiap hari, dengan tujuan agar gejala asma
persisten tetap terkendali. Termasuk golongan ini yaitu obat-obat anti inflamasi dan
bronkodilator kerja panjang (long acting). Obat golongan pencegah yaitu kortikosteroid
hirup, kortikosteroid sistemik, natrium kromolin, natrium nedokromil, teofilin lepas lambat
(TTL), agonis 2 kerja panjang hirup (salmaterol dan formoterol) dan oral, dan obat-obat
anti alergi. Falmaterol, antileukotrien dan anti IgE.

Penghilang gejala, obat penghilang gejala yaitu obat-obat yang dapat merelaksasi
bronkokonstriksi dan gejala-gejala akut yang menyertainya dengan segera. Termasuk dalam
golongan ini yaitu agonis 2 hirup kerja pendek (short acting), kortikosteroid sistemik, anti
kolinergik hirup, teofilin kerja pendek, agonis 2 oral kerja pendek.

11
Agonis 2 hirup (fenoterol, salbutamol, terbutalin, prokaterol) merupakan obat
terpilih untuk gejala asma akut serta bila diberikan sebelum kegiatan jasmani, dapat
mencegah serangan asma karena kegiatan jasmani. Agonis 2 hirup juga dipakai sebagai
penghilang gejala pada asma episodic.

Peran kortikosteroid sistemik pada asma akut adalah untuk mencegah perburukan
gejala lebih lanjut. Obat tersebut secara tidak langsung mencegah atau mengurangi
frekuensi perawatan di ruang gawat darurat atau rawat inap. Antikolinergik hirup atau
ipatropium bromida selain dipakai sebagai tambahan terapi agonis 2 hirup pada asma akut,
juga dipakai sebagai obat alternatif pada pasien yang tidak dapat mentoleransi efek efek
samping agonis 2. Teofilin maupun agonis 2 oral dipakai pada pasien yang secara teknis
tidak bisa memakai sediaan hirup.

H. Prognosis
Asma bronkial bila segera diketahui dan mendapatkan penanganan optimal, maka
akan mengurangi frekuensi serangan dan akan meningkatkan kualitas hidup, jadi
prognosanya akan lebih baik.

Kesimpulan
Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang masih menjadi masalah kesehatan serius di
seluruh dunia. Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang berhubungan
dengan hambatan jalan napas yang reversible, inflamasi alergi dan hiperesponsif jalan napas.
Semua tingkatan umur dapat mengalami gangguan saluran napas ini dan dapat ditemukan
pada negara maju atau berkembang. Untuk mengetahui diagnosis pasti bahwa penyakit yang
diderita pasien adalah asma bronchial haruslah kita melakukan berbagai pemeriksaan dari
mulai anamnesa, pemeriksaan fisik, hingga pemeriksaan penunjang. Asma bronkial sendiri
dapat diobati dengan bermacam obat seperti yang telah dibahas di bab pembahasan, namun
jika tidak diobati asma dapat menimbulkan beberapa komplikasi serta prognosisnya menjadi
buruk jika sudah mengalami komplikasi berat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Edisi 1. Jakarta:


Erlangga.2007.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadribata M, Setiati S. Ilmu penyakit dalam.
Edisi 5 Jilid 1. Jakarta: Interna publishing.2009.

12
3. Sundaru,Heru,Sukamto.Asma Bronkial Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi
V. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009. h.404.

4. Price SA, Wilson LM. Patofisologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta:
EGC.2006.
5. Bertram G Katzung. Farmakologi dasar dan klinik. Jakarta: EGC.2010.
6. Sulistia, Gunawan, Setiabudy R. Nafrialdi, Elysabeth. Farmakologi dan terapi. Edisi
5. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 2009.

13

Anda mungkin juga menyukai