Anda di halaman 1dari 28

Bagian Ilmu BTKV Mini Cex

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

PNEUMOTHORAX SINISTRA +
MULTIPLE FRAKTUR COSTA SINISTRA

Disusun oleh:
Mayshia Prazitiya Shakti
1410029050

Pembimbing:
dr. Ivan Joalsen, Sp. BTKV

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
RSUD ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pneumothoraks merupakan keadaan dimana udara bebas terdapat dalam
kavum pleura. Udara bebas yang terdapat dalam rongga ini dapat menimbulkan
penekanan terhadap organ paru sehingga pengembangan organ paru menjadi tidak
maksimal. Pneumothoraks diklasifikasikan menjadi dua, yaitu pneumotoraks
spontan dan pneumotoraks traumatik. Pneumotoraks spontan itu sendiri dapat
bersifat primer dan sekunder. Pneumotoraks sekunder berarti ada penyakit yang
menyertai, sedangkan pada pneumotoraks primer tidak. Sedangkan pneumotoraks
traumatik dapat bersifat iatrogenik dan non iatrogenik. Iatrogenik berarti berkaitan
dengan tindakan atau manuver diagnostik, sedangkan non iatrogenik berarti tidak
berhubungan dengan manuver diagnostik (Guyton et al., 2007).
Kejadian pneumotoraks tidak mudah untuk diketahui dikarenakan perjalanan
klinisnya tidak banyak diketahui. Pneumotoraks sering terjadi pada penderita yang
berusia sekitar 40 tahun. Wanita lebih jarang daripada laki-laki, dengan
perbandingan 1:5. Risiko pneumotoraks spontan pada laki-laki akan meningkat
pada perokok berat dibanding golongan non perokok. Pneumotoraks spontan
sering terjadi pada usia muda, dengan insidensi puncak dekade ketiga kehidupan
(20-40 tahun). Pneumotoraks dapat terjadi sebagai komplikasi dari penyakit
pernapasan lain (Alsgaff et al., 2009).
Melihat fakta bahwa pneumotoraks sulit diprediksi, terjadi di usia muda,
memiliki insidensi yang tinggi, dan dapat mengakibatkan kematian maka penyakit
ini sangat layak untuk dibahas dan dipahami secara menyeluruh. Penulis
bermaksud menuliskan gambaran penyakit secara komprehensif.

1.2 Tujuan
Minicex ini bertujuan untuk mempelajari keadaan pasien dan kemudian
disesuaikan dengan teori yang ada.

2
BAB 2
STATUS PASIEN

Pasien MRS pada tanggal 5 Maret 2017 melalui IGD RSUD Abdul Wahab
Sjahranie Samarinda

Primary Survey
Airway and C-spine control : bicara jelas (+), snorring (-), gurgling (-) Airway
patent.
Breathing and ventilation : RR 36x/menit, SpO2 : 90%, trakea di tengah, dada
tidak simetris kiri dan kanan (dada kiri tertinggal),
penurunan suara napas pada dada kiri gangguan
breathing.
Circulation and hemorrhage control : Nadi 110 kali/menit, tekanan darah
80/palpasi, perdarahan aktif (+), pelvic
stable, akral dingin gangguan sirkulasi.
- Guyur RL 2000 cc TD : 80/palpasi,
N : 98 kali/menit, lemah, urin output :
(-)
- Guyur RL 1000 cc TD : 90/palpasi,
N : 95 kali/menit, adekuat, urin output :
20 cc
- Gelofusin 500 cc TD : 100/60, N :
92 kali/menit, adekuat, urin output : 50
cc
Disability : GCS E3V5M6, pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya +/+
Exposure : terdapat vulnus laceratum regio frontal, jejas regio thorak
anterior, edema dan deformitas regio brachii dekstra.
Problem : gangguan breathing

3
Secondary Survey
Identitas Pasien
Nama : Tn. M
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 45 tahun
Alamat : Surya Baku No. 24 Loa Janan
Pekerjaan : Petani
Suku : Bugis
Pendidikan terakhir : SD
MRS : 5 Maret 2017

Keluhan utama
Sesak napas sejak 3 jam SMRS

Riwayat penyakit sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD AWS dengan keluhan sesak napas disertai nyeri
dada dirasakan tiba-tiba sejak 3 jam SMRS. Berdasarkan penuturan dari anak
kandung pasien, sebelumnya pasien mengalami kecelakaan lalu lintas tertabrak
mobil dari arah kiri. Posisi pasien saat itu sedang duduk di atas sepeda motor yang
sedang parkir, dan setelah itu pasien tidak sadarkan diri. Mekanisme kejadian
secara lengkap tidak diketahui. Tidak ada riwayat muntah hebat ataupun kejang.

Riwayat penyakit dahulu


Belum pernah mengalami kejadian serupa. Alergi obat, hipertensi, DM, TB, dan
asma disangkal. Keluarga pasien mengaku pasien tidak sedang mengkonsumsi
obat-obatan.

Riwayat penyakit keluarga


Alergi obat, hipertensi, DM, dan asma dalam keluarga disangkal.

Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : GCS E3V5M6

4
Tanda-tanda Vital : Tekanan darah 100/60 mmHg
Nadi 92x/menit, regular, adekuat
Laju pernapasan 36x/menit
Suhu 36,4 0C
K/L : anemis (-), ikterik (-) sianosis (-), pembesaran KGB (-)
Paru :
Inspeksi : Gerak napas asimetris (gerak dada kiri tertinggal)
Palpasi : Gerakan dada asimetris (gerak dada kiri tertinggal), fremitus
raba asimetris (fremitus dada kiri menurun)
Perkusi : Sonor pada paru kanan/hipersonor pada paru kiri
Auskultasi : vesikuler/suara napas kiri menurun, Rhonki (-/-), Wheezing
(-/-)
Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis teraba di sela iga V midclavicular line
Perkusi : Batas atas : sela iga III sternal line kiri
Batas kanan : sela iga IV parasternal line kanan
Batas kiri : sela iga V midclavicular line kiri
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), organomegali (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising Usus (+) normal
Ekstremitas : akral hangat (+), CRT <2, edema (-/-)

Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap (5 Maret 2017)
Leu 36.140 Na 139 Ur 44,9
Hb 12,2 K 3,9 Cr 1,7
HCT 35,6 % Cl 112 BT 3
Tro 305.000 GDS 177 CT 8

5
Darah Lengkap (6 Maret 2017)
Leu 7.950
Hb 9,0
HCT 27,0 %
Tro 143.000

Analisa Gas Darah (5 Maret 2017)


pH 7,34
pCO2 48
pO2 195
BE -0,2

Ro Thorax AP
Kesan : tampak ground glass opasiti pada hemithorax kiri curiga suatu
hematothorax. Fraktur pada os clavicula kiri, costa IV-IX kiri lateral.

6
Ro Brachii Sinistra AP
Kesan : tampak fraktur pada humerus 1/3 distal sinistra

Ro Genu Sinistra AP/Lateral


Kesan : tampak fraktur pada condylus lateral tibia serta pada 1/3 proksimal fibula
sinistra

7
Diagnosis Kerja
Pneumothorax + multiple fraktur costa + fraktur clavicula + fraktur condylus
lateral tibia + fraktur fibula 1/3 proksimal + fraktur humerus 1/3 distal

Penatalaksanaan
Co dr. Isti Sp. B
- Guyur RL 3000 cc + gelofusin 500cc
- Cek lab
- Rontgen thorax cito bed
- BGA
Co dr. Ivan Sp. BTKV
- Pro chest tube
- Observasi ketat
- Cek BGA/ 6 jam
Co dr. Gregorius Sp. OT
- Pro ORIF elektif
Co dr. Satria Sp. An
- ACC masuk ICU

Prognosis
Dubia

8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 PNEUMOTHORAK
3.1.1 Definisi
Pneumotoraks merupakan keadaan dimana terdapat udara di dalam kavum
pleura. Adanya udara di dalam ruangan antara pleura visceral dan parietal tersebut
dapat mengganggu ventilasi dan oksigenasi (Noppen, 2010). Terdapat 2 jenis
pneumotoraks, yaitu jenis spontan dan traumatik. Pneumotoraks jenis spontan
terbagi menjadi pneumotoraks primer dan sekunder. Primer berarti tidak ada
penyakit yang menyertai seseorang sebelum terkena pneumotoraks, sedangkan
pneumotoraks sekunder merupakan komplikasi dari penyakit lain yang mendasari,
seperti asma, emfisema, atau fibrosis interstisial. Pneumotoraks jenis traumatik
dibagi menjadi iatrogenik dan non iatrogenik. Jenis iatrogenik berkaitan dengan
manuver terapi atau diagnostik, sedangkan non iatrogenik disebabkan hal-hal
diluar manuver dan terapi diagnostik (Martin, 2007).

3.1.2 Epidemiologi
Didapatkan dari literatur lain Pneumothorax lebih sering terjadi pada
penderita dewasa yang berumur sekitar 40 tahun. Laki-laki leih sering daripada
wanita. Pneumothorax sering dijumpai di RSUD Dr. Soetomo, lebih kurang 55%
kasus pneumothorax disebabkan oleh penyakit (2). dasar seperti tuberculosis paru
aktif, tuberkulosis paru disertai fibrosis atau emfisema lokal, bronkitis kronis dan
emfisema. Selain karena penyakit tersebut di atas, pneumothorax pada wanita
dapat terjadi saat menstruasi dan sering berulang. Keadaan ini disebut
pneumothorax katamenial yang disebabkan oleh endometriosis di pleura.
Kematian akibat pneumothorax lebih kurang 12%.

3.1.3 Etiologi
Etiologi trauma thorax kebanyakan diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas
yang umumnya berupa trauma tumpul. Trauma tajam terutama disebakan oleh
tikaman dan tembakan. Trauma pada bagian ini juga sering disertai dengan cedera

9
pada tempat lain misalnya abdomen, kepala, dan ekstremitas sehingga merupakan
cedera majemuk. Tersering disebabkan oleh ruptur spontan pleura visceralis yang
menimbulkan kebocoran udara ke rongga thorax. Pneumothorax dapat terjadi
berulang kali. Udara dalam kavum pleura ini dapat ditimbulkan oleh:
a. Robeknya pleura visceralis sehingga saat inspirasi udara yang berasal dari
alveolus akan memasuki kavum pleura. Pneumothorax jenis ini disebut
sebagai closed pneumothorax. Apabila kebocoran pleura visceralis
berfungsi sebagai katup, maka udara yang masuk saat inspirasi tak akan
dapat keluar dari kavum pleura pada saat ekspirasi. Akibatnya, udara
semakin lama semakin banyak sehingga mendorong mediastinum kearah
kontralateral dan menyebabkan terjadinya tension pneumothorax.
b. Robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga terdapat hubungan
antara kavum pleura dengan dunia luar. Apabila lubang yang terjadi lebih
besar dari 2/3 diameter trakea, maka udara cenderung lebih melewati
lubang tersebut disbanding traktus respiratorius yang seharusnya.
Sehingga udara dari luar masuk ke kavum pleura lewat lubang tadi dan
menyebabkan kolaps pada paru ipsi lateral. Saat ekspirasi, tekanan rongga
dada meningkat, akibatnya udara dari kavum pleura keluar melalui lubang
tersebut, kondisi ini disebut sebagai open pneumothorax (5,7).

3.1.4 Klasifikasi
Beberapa literatur menyebutkan klasifikasi pneumothoraks menjadi 2
yaitu, pneumotoraks spontan dan pneumotoraks traumatik. Ada juga yang
mengklasifikasikannya berdasarkan etiologinya seperti Spontan pneumotoraks
(spontan pneumotoraks primer dan spontan pneumotoraks sekunder),
pneumotoraks traumatik, iatrogenik pneumotoraks. Serta ada juga yang
mengklasifikasinya berdasarkan mekanisme terjadinya yaitu, pneumotoraks
terbuka (open pneumotoraks), dan pneumotoraks terdesak (tension
pneumotoraks).
Seperti dikatakan diatas pneumotoraks dapat diklasifikasikan sesuai
dengan dasar etiologinya seperti Spontan pneumotoraks, dibagi menjadi 2 yaitu,
Spontan Pneumotoraks primer (Primary Spontan Pneumothorax) dan Spontan

10
Pneumotoraks Sekunder (Secondary Spontan Pneumothorax), pneumotoraks
trauma, iatrogenik pneumotoraks.
1) Pneumotoraks Spontan Primer (Primary Spontaneous Pneumothorax)
Dari kata primer ini dapat diketahui penyebab dari pneumotoraks belum
diketahui secara pasti, banyak penelitian dan terori telah di kemukakan untuk
mencoba menjelaskan tentang apa sebenarnya penyebab dasar dari tipe
pneumotoraks ini. Ada teori yang menyebutkan, disebabkan oleh faktor
kongenital, yaitu terdapatnya bula pada subpleura viseral, yang suatu saat akan
pecah akibat tingginya tekanan intra pleura, sehingga menyebabkan terjadinya
pneumotoraks.
Bula subpleura ini dikatakan paling sering terdapat pada bagian apeks paru
dan juga pada percabangan trakeobronkial. Pendapat lain mengatakan bahwa PSP
ini bisa disebabkan oleh kebiasaan merokok. Diduga merokok dapat menyebabkan
ketidakseimbangan dari protease, antioksidan ini menyebabkan degradasi dan
lemahnya serat elastis dari paru-paru, serta banyak penyebab lain yang kiranya
dapat membuktikan penyebab dari pneumotoraks spontan primer.
2) Pneumotoraks Spontan Sekunder (Secondary Spontaneus Pneumothorax)
Pneumotoraks spontan sekunder merupakan suatu pneumotoraks yang
penyebabnya sangat berhubungan dengan penyakit paru-paru, banyak penyakit
paru-paru yang dikatakan sebagai penyebab dasar terjadinya pneumotoraks tipe
ini. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD), infeksi yang disebabkan
oleh bakteri pneumocity carinii, adanya keadaan immunocompromise yang
disebabkan oleh infeksi virus HIV, serta banyak penyebab lainnya, disebutkan
penderita pneumotoraks tipe ini berumur diantara 60-65 tahun.
3) Pneumotoraks Trauma
Pneumotoraks trauma adalah pneumotoraks yang disebabkan oleh trauma
yang secara langsung mengenai dinding dada, bisa disebabkan oleh benda tajam
seperti pisau,atau pedang, dan juga bisa disebabkan oleh benda tumpul.
Mekanisme terjadinya pneumotoraks trauma tumpul, akibat terjadinya
peningkatan tekanan pada alveolar secara mendadak, sehingga menyebabkan
alveolar menjadi ruptur akibat kompresi yang ditimbulkan oleh trauma tumpul
tersebut, pecahnya alveolar akan menyebabkan udara menumpuk pada pleura

11
visceral, menumpuknya udara terus menerus akan menyebabkan pleura visceral
ruptur atau robek sehingga menimbulkan pneumotorak.3,4
Jika pada mekanisme terjadinya pneumotoraks pada trauma tajam
disebabkan oleh penetrasi benda tajam tersebut pada dinding dada dan merobek
pleura parietal dan udara masuk melalui luka tersebut ke dalam rongga pleura
sehingga terjadi pneumotoraks.
4) Iatrogenik Pneumotoraks
Banyak penyebab yang dilaporkan mendasari terjadinya pneumotoraks
iatrogenic, penyebab paling sering dikatakan pemasangan thransthoracic needle
biopsy. Dilaporkan juga kanalisasi sentral dapat menjadi salah satu penyebabnya.
Dasarnya dikatakan ada dua hal yang menjadi faktor resiko yang menyebabkan
terjadinya pneumotoraks iatrogenic yaitu pertama adalah dalamnya pemasukan
jarum pada saat memasukannya dan kedua, ukuran jarum yang kecil, menurut
sebuah penelitian kedua itu memiliki korelasi yang kuat terjadinya pneumotoraks.
Berdasarkan mekanisme dari terjadinya pneumotoraks dapat
diklasifikasikan menjadi pneumotoraks terdesak (tension pneumotoraks), dan
pneumutoraks terbuka (open pneumothorax).
5) Tension Pneumothorax
Suatu pneumotoraks yang merupakan salah satu kegawatdaruratan pada
cedera dada. Keadaan ini terjadi akibat kerusakan yang menyebabkan udara
masuk kedalam rongga pleura dan udara tersebut tidak dapat keluar, keadaan ini
disebut dengan fenomena ventil (one way-valve). 1,3,5,9
Akibat udara yang terjebak didalam rongga pleura ssehingga menyebabkan
tekanan intrapleura meningkat akibatnya terjadi kolaps pada paru-paru, hingga
menggeser mediastinum ke bagian paru-paru kontralateral, penekanan pada aliran
vena balik sehingga terjadi hipoksia.
Banyak literatur masih memperdebatkan efek dari pneumotoraks dapat
menyebabkan terjadinya kolaps pada sistem kardiovaskular. Dikatakan adanya
pergeseran pada mediastinum menyebabkan juga penekanan pada vena kava
anterior dan superior, disebutkan juga hipoksia juga menjadi dasar penyebabnya,
hipoksia yang memburuk menyebabkan terjadinya resitensi terhadap vaskular dari
paru-paru yang diakibatkan oleh vasokonstriksi. Jika gejala hipoksia tidak

12
ditangani secepatnya, hipoksia ini akan mengarah pada keadaan asidosis,
kemudian disusul dengan menurunnya cardiac output sampai akhirnya terjadi
keadaan henti jantung.
6) Open Pneumothoraks
Keadaan pneumotoraks terbuka ini tersering disebabkan oleh adanya
penetrasi langsung dari benda tajam pada dinding dada penderita sehingga
meninmbulkan luka atau defek pada dinding dada. Dengan adanya defek tersebut
yang merobek pleura parietal, sehingga udara dapat masuk kedalam rongga
pleura. Terjadinya hubungan antara udara pada rongga pleura dan udara
dilingkungan luar, sehingga menyebabkan samanya tekanan pada rongga pleura
dengan udara di diatmosper. Jika ini didiamkan akan sangat membahayakan pada
penderita. Dikatakan pada beberapa literatur jika sebuah defek atau perlukaan
pada dinding dada lebih besar 2/3 dari diameter trakea ini akan menyebabkan
udara akan masuk melalui perlukaan ini, disebabkan tekana yang lebih kecil dari
trakea. Akibat masuknya udara lingkungan luar kedalam rongga pleura ini,
berlangsung lama kolaps paru tak terhindarkan, dan berlanjut gangguan ventilasi
dan perfusi oksigen kejaringan berkurang sehingga menyebabkan sianosis sampai
distress respirasi.

3.1.5 Patofisiologi
Secara garis besar kesemua jenis pneumothorax mempunyai dasar
patofisiologi yang hampir sama. Pneumothorax spontan terjadi karena lemahnya
dinding alveolus dan pleura visceralis. (8).
Apabila dinding alveolus dan pleura visceralis yang lemah ini pecah, maka
akan ada fistel yang menyebabkan udara masuk ke cavum pleura. Mekanismenya
pada saat inpirasi rongga dada mengembang, disertai pengembangan cavum
pleura yang kemudian menyebabkan paru dipaksa ikut mengembang seperti balon
yang dihisap. Pengembangan paru menyebabkan tekanan intraaveolar menjadi
negatif sehingga udara luar masuk. Pada pneumothorax spontan, paru-paru kolaps,
udara inspirasi bocor masuk ke cavum pleura sehingga tekanan intrapleura tidak
negatif. Pada saat ekspirasi mediastinal ke sisi yang sehat. Pada saat ekspirasi
mediastinal kembali lagi ke posisi semula. Proses yang terjadi ini dikenal dengan

13
mediastinal flutter. Pneumothorax ini terjadi biasanya pada satu sisi, sehingga
respirasi paru sisi sebaliknya masih bisa menerima udara secara maksimal dan
bekerja dengan sempurna (8).
Terjadinya hipereksansi cavum pleura tanpa disertai gejala pre-shock atau
shock dikenal dengan simple pneumothorax. Berkumpulnya udara pada cavum
pleura dengan tidak adanya hubungan dengan lingkungan luar dikenal dengan
closed pneumothorax. Pada saat ekspirasi, udara juga tidak dipompakan balik
secara maksimal karena elastic recoil dari kerja alveoli tidak bekerja sempurna.
Akibatnya bilamana proses ini semakin berlanjut, hipereksansi cavum pleura pada
saat inspirasi menekan mediastinal ke sisi yang sehat dan saat ekspirasi udara
terjebak pada paru dan cavum pleura karena luka yang bersifat katup tertutup
terjadilah penekanan vena cava, shunting udara ke paru yang sehat, dan obstruksi
jalan napas. Akibatnya dapat timbullah gejala pre-shock atau shock oleh karena
penekanan vena cava. Kejadian ini dikenal dengan tension pneumothorax.
Pada open pneumothorax terdapat hubungan antara cavum pleura dengan
lingkungan luar. Open pneumothorax dikarenakan trauma penetrasi. Perlukaan
dapat inkomplit (sebatas pleura parietalis) atau komplit (pleura parietalis dan
visceralis). Bilamana terjadi open pneumothorax inkomplit pada saat inspirasi
udara luar akan masuk kedalam kavum pleura. Akibatnya paru tidak dapat
mengembang karena tekanan intrapleural tidak negatif. Efeknya akan terjadi
hiperekspansi cavum pleura yang menekan mediastinal ke sisi paru yang sehat.
Saat ekspirasi mediastinal bergerser kemediastinal yang sehat. Terjadilah
mediastinal flutter.
Bilamana open pneumothorax komplit maka saat inspirasi dapat terjadi
hiperekspansi cavum pleura mendesak mediastinal kearah yang sehat dan saat
ekspirasi udara terjebak pada cavum pleura dan paru karena luka yang bersifat
katup tertutup. Selanjutnya terjadilah penekanan vena cava, shunting udara ke
paru yang sehat, dan obstruksi jalan nafas. Akibatnya dapat timbullah gejala
pre-shock atau shock oleh karena penekanan vena cava, yang dapat menyebabkan
tension pneumothorax.

14
3.1.6 Penatalaksanaan
1. Penatalaksaan pneumothorax (umum). Primary survey dengan
memperhatikan :
a. Airway
b. Breathing
c. Circulation
2. Tindakan bedah emergency
a. Krikotiroidotomi
b. Trakheostomi
c. Tuetorakostomi
d. Torakostomi
e. Eksplorasi vascular
3. Tindakan dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumothorax
yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk
mengurangi tekanan intrapleura dengan membuat hubungan antara cavum
pleura dengan udara luar dengan cara
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura
akan berubah menjadi negative karena mengalir ke luar melalui jarum
tersebut
b. Mempuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
1) Dapat memakai infuse set jarum ditusukkan ke dinding dada
sampai kedalam rongga pleura, kemudian infuse set yang telah
dipotong pada pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang
berisi air
2) Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum
dan kanula. Setelah (2). jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di
dinding thorax sampai menebus ke cavum pleura, jarum dicabut
dan kanula tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan
dengan pipa plastic infuse set. Pipa infuse ini selanjutnya
dimasukkan ke botol yang berisi air

15
3) Pipa water sealed drainage (WSD) pipa khusus (thorax kateter)
steril, dimasukkan ke (2). rongga pleura dengan perantaraan
troakar atau dengan bantuan klem penjempit. Setelah troakar
masuk, maka thorax kateter a pemberian antitusif, berilah laksan
ringan.
4. Pengobatan tambahan
a. Apabila terdapat proses lain diparu, maka pengobatan tambahan
ditujukan terhadap penyebabnya, misalnya : terhadap proses TB paru
diberi OAT, terhadap bronchitis dengan obstruksi saluran nafas diberi
antibiotic dan bronkodilator
b. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat
c. Pemberian antibiotik profilaksis setelah tindakan bedah dapat
diperimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi, seperti
emfiesema
5. Rehabilitasi
a. Penderita yang telah sembuh dari pneumothorax harus dilakukan
pengobatan secara tepat untuk penyakit dasarnya.
b. Untuk sementara waktu penderita dilarang mengejan, batuk, atau
bersin terlalu keras.
c. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif, berilah
laksan ringan
d. Control penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan
batuk, sesak nafas

3.1.7 Komplikasi
1. Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi jantung,
mulai dari basis sampai ke apeks.
2. Emfiesema subkutan, biasanya merupakan kelanjutan dari
pneumomediastinum. Udara yang tadinya terjebak di mediastinum lambat
laun akan bergerak menuju daerah yang lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di
sekitar leher terdapat banyak jaringan ikat yang mudah ditembus udara,
sehingga bila jumlah udara yang terjebak cukup banyak maka dapat

16
mendesak jaringan ikat tersebut, bahkan sampai ke daerah dada dan
belakang.
3. Piopneumothorax : Berarti terdapatnya pneumothorax disertai emfiesema
secara bersamaan pada satu sisi paru.
4. Pneumothorax kronik : menetap selama lebih dari 3bulan. Terjadi bila
fistula bronkopleura tetap membuka.
5. Hidro-pneumothorax : ditemukan adanya cairan dalam pleuranya. Cairan
ini biasanya bersifat serosa, serosanguinea atau kemerahan (berdarah)

3.1.8 Prognosis

3.2 MULTIPEL FRAKTUR COSTA


3.2.1 Definisi
Fraktur dikenal dengan istilah patah tulang biasanya disebabkan oleh
trauma atau tenaga fisik, kekuatan, sudut, tenaga, keadaan tulang, dan jaringan
lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi tersebut
lengkap atau tidak lengkap (Silvia A. Prince, 2000). Multiple fraktur adalah
keadaan dimana terjadi hilangnya kontinuitas jaringan tulang lebih dari satu garis
(Silvia A. Prince, 2000). Berdasarkan beberapa definisi diatas, maka dapat
disimpulkan multiple fraktur adalah keadaan dimana terjadi hilangnya kontinuitas
jaringan tulang lebih dari satu garis yang disebabkan oleh tekanan eksternal yang
di tandai oleh rasa nyeri, pembengkakan, deformitas dan gangguan fungsi pada
area fraktur.

17
Tulang iga terdiri 12 pasang, 7 pasang (iga ke1 sampai ke7) langsung
berhubungan dengan sternum (true ribs), 3 pasang (iga ke8 sampai ke10) di
bagian anterior menyatu di sternum (false ribs) dan 2 pasang (iga ke11 dan ke
12) di bagian anterior bebas, tidak menyatu dengan sternum (floating ribs). Saat
inspirasi iga ke1 relatif tetap tidak bergerak, iga ke2 sampai ke6 bergerak ke
atas dan ke depan (diameter anteroposterior rongga toraks bertambah), iga ke7
sampai ke10 bergerak ke atas dan ke luar (meningkatkan diameter lateral rongga
toraks). Di antara tulang iga terdapat muskulus interkostalis, arteri, vena dan
nervus interkostalis (Gambar 1).
Rongga toraks di bagian puncak (apeks) mengecil (mengerucut) berukuran
lebar 10 cm dan jarak anteroposterior 5cm membentuk suatu kubah (thoracic
inlet). Daerah ini berisi organ penting yang dilindungi oleh tulang iga1 serta
manubrium sterni, vertebra torakal ke1 dan klavikula. Di dalam thoracic inlet
berisi (1) pleksus brakialis, (2) arteri dan vena subklavia, (3) vena kava superior,
(4) nervus frenikus, (5) duktus torasikus, (6) esofagus, dan (7) trakea (Gambar 2).
Tulang iga umumnya patah di daerah terjadinya benturan atau di daerah
yang struktur tulangnya lemah, biasanya di sudut posterior. Tulang iga ke4
sampai ke9 adalah yang paling sering terjadi fraktur. Fraktur iga dapat terjadi
akibat penetrasi yang menyebabkan hematopneumotoraks dan darah yang
dihasilkan oleh setiap patahan tulang iga dapat mencapai 100150mL.
Fraktur iga ke1 dan ke2 dapat terjadi akibat benturan dengan yang besar
karena kedua tulang iga tersebut dilindungi oleh otototot yang cukup tebal.
Tempat yang paling sering terjadi fraktur pada iga ke1 adalah di daerah sulkus
subklavia dan di bagian posterior.
Morbiditas dan mortalitas fraktur iga berhubungan dengan penyebab
cedera dan jumlah tulang iga yang patah dan rerata komplikasi akan meningkat
seiring dengan jumlah tulang iga yang patah. Posisi fraktur iga di dalam rongga
toraks juga menentukan penyebab terjadinya cedera, seperti fraktur iga bawah
lebih banyak menyebabkan gangguan pada organ abdomen dibandingkan
parenkim paru. Fraktur iga bawah kiri dapat merusak limpa (risiko 2228%),
fraktur iga bawah kanan dapat merusak hati (risiko 1956%) dan fraktur iga ke
11 dan ke12 dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal. Fraktur iga merupakan

18
masalah besar pada paru dengan insidens 8494% yang berupa hemotoraks,
pneumotoraks, dan kontusio paru. Komorbiditas mendapatkan fraktur iga
meningkat sesuai dengan pertambahan umur, seperti pada orang tua dengan umur
lebih dari 65 tahun risiko mortalitinya mencapai 5 kali dan juga meningkatkan
insidens terjadinya pneumonia. Mortalitas dan risiko pneumonia berhubungan
dengan jumlah tulang iga yang patah karena setiap penambahan tulang iga yang
patah akan meningkatkan mortalitas dan pneumonia sekitar 20%. Orang tua
dengan fraktur iga yang disertai penyakit kardiopulmoner akan mudah
mendapatkan komplikasi yang berakibat pada meningkatnya lama masa rawat dan
masuk rumah sakit kembali. Insidens fraktur iga pada anakanak lebih rendah
karena tulang iga anakanak masih cukup lentur dan mekanikme benturan dengan
tenaga besar yang dapat menyebabkan fraktur iga pada anakanak.
Fraktur iga umumya terjadi akibat kompresi pada rongga toraks. Fraktur
seringkali terjadi pada putaran 60 derajat dari sternum karena di daerah ini
merupakan lokasi yang lemah dibandingkan lokasi lainnya. Fraktur iga dapat
terjadi segmental dengan salah satu patahan pada posisi 60 derajat dan lainnya di
bagian posterior.
Fraktur pada iga merupakan kelainan yang sering terjadi akibat trauma
tumpul pada dinding toraks. Trauma tajam lebih jarang mengakibatkan fraktur
iga, oleh karena luas permukaan trauma yang sempit, sehingga gaya trauma dapat
melalui sela iga. Fraktur iga sering terjadi pada iga IV-X. Dan sering
menyebabkan kerusakan pada organ intra toraks dan intra abdomen.
(Sjamsuhidajat, 2005; Brunicardi, 2006). Fraktur pada iga VIII-XII sering
menyebabkan kerusakan pada hati dan limpa. Perlu di curigai adanya cedera
neurovaskular seperti pleksus brakhialis dan arteri atau vena subklavia, apabila
terdapat fraktur pada iga I-III maupun fraktur klavikula (Brunicardi, 2006).

3.2.2 Epidemiologi
Trauma toraks terjadi hampir 50% dari seluruh kasus kecelakaan dan
merupakan penyebab kematian erbesar (25%). Umumnya pada trauma toraks,
trauma tumpul lebih sering terjadi dibandingkan trauma tajam. Meskipun
demikian hanya 15% dari seluruh trauma toraks yang memerlukan tindakan bedah

19
karena sebagian besar kasus (8085%) dapat ditatalaksana dengan tindakan yang
sederhana, seperti pemasangan chest tube. Trauma toraks banyak terjadi pada
pengendara kendaraan bermotor roda dua akibat trauma tumpul toraks. Kelainan
yang sering dijumpai yaitu fraktur iga yang hampir mencapai 50%. Selain itu
penggunaan sabuk pengaman pada kendaraan roda empat atau lebih juga sebagai
penyebab terjadinya trauma toraks berupa fraktur sternum. Fraktur iga baik
tunggal maupun multipel juga terjadi pada orang tua dengan insidens sekitar 12%.
Insidens sesungguhnya fraktur iga masih belum diketahui dan diperkirakan 50%
fraktur iga tidak terdeteksi dengan foto toraks. Morbiditas dan mortalitas yang
disebabkan oleh fraktur iga dan sternum berkaitan erat dengan penyebab cedera,
karena itu identifikasi bahaya yang akan mengancam jiwa merupakan hal penting.
Meskipun fraktur iga cenderung tidak komplit dan tidak membutuhkan
penanganan bedah, tetapi dapat menyebabkan kerusakan paru yang bermakna
karena akan mempengaruhi ventilasi dan menyebabkan rasa nyeri hebat.
Bagaimanapun juga mengatasi nyeri pada pasien dengan trauma toraks tidak
hanya membantu meringankan keluhan tetapi juga mengurangi serta mencegah
komplikasi sekunder.

3.2.3 Etiologi
Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan,
terutama tekanan membengkok, memutar, dan menarik. Trauma muskuloskeletal
yang dapat mengakibatkan fraktur adalah :
a. Trauma langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi
fraktur pada daerah tekanan. Frakur yang terjadi biasanya bersifat komunitif
dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan. Misalnya karena trauma yang
tiba tiba mengenaii tulang dengan kekuatan dengan kekuatan yang besar dan
tulang tidak mampu menahan trauma tersebut sehingga terjadi patah.
b. Trauma tidak langsung
Disebut trauma tidak langsung apabila trauma dihantarkan kedaerah yang
lebih jauh dari daerah fraktur. Misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat
menyebabkan fraktur pada klavikula. Pada keadaan ini jaringan lunak tetap

20
utuh, tekanan membengok yang menyebabkan fraktur transversal, tekanan
berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblik.
c. Trauma patologis
Trauma patologis adalah suatu kondisi rapuhnya tulang karena proses
patologis. Contohnya :
a) Osteoporosis terjadi karena kecepatan reabsorbsi tulang melebihi
kecepatan pembentukan tulang, sehingga akibatnya tulang menjadi
keropos secara cepat dan rapuh sehingga mengalami patah tulang, karena
trauma minimal.
b) Osteomilitis merupakan infeksi tulang dan sum sum tulang yang
disebabkan oleh bakteri piogen dimana mikroorganisme berasal dari focus
ditempat lain dan beredar melalui sirkulasi darah.
c) Ostheoartritis itu disebabkan oleh rusak/ menipisnya bantalan sendi dan
tulang rawan. (Arif Muttaqin, 2008).

3.2.4 Manifestasi Klinis


Tanda dan gejala dari multiple fraktur antara lain sebagai berikut :
1. Nyeri terus menerus sampai tulang diimobilisasi
2. Setelah terjadi fraktur, bagian bagian yang tidak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap
rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai
menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstermitas yang dapat
diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas yang normal,
ekstermitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
tergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan bawah tempat fraktur.
4. Saat ekstremitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antra fragmen satu dengan
yang lainnya.

21
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal, pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi
setelah beberapa jam atau hari setelah cidera (Smeltzer, Suzanne C. 2001).

3.2.5 Diagnosis
Fraktur iga multipel dapat menyebabkan rasa nyeri, atelektasis dan gagal
napas. Diagnosis klinis fraktur iga didapatkan dari kelainan dada, pergerakan
fragmen, ekimosis dan juga pemeriksaan radiologi. Nyeri timbul pada saat
inspirasi dan pasien berusaha untuk mengurangi gerakan rongga dada yang
berakibat pada hipoventilasi. Mengurangi rasa nyeri juga menyebabkan
berkurangnya batuk dan dan napas dalam yang berakibat pada retensi sputum,
atelektasis dan penurunan kapasitas residu fungsional. Faktorfaktor tersebut
menyebabkan penurunan lung compliance, perubahan V/Q mismatch dan
hipoksemia.
Pemeriksaan foto toraks harus dilakukan, bukan hanya untuk
mengidentifikasi jumlah dan beratnya fraktur iga, tetapi juga untuk menilai
apakah ada pneumotoraks, hemotoraks ataupun efusi pleura. Analgesia yang
adekuat dan fisioterapi merupakan hal yang penting dalam mencegah komplikasi.
Berkurangnya rasa nyeri akan memperbaiki pola pernapasan dan
efektifitas batuk. Jika batuk tidak adekuat maka dapat dibantu dengan aspirasi
kateter atau bronchial toilet dengan bronkoskopi dan jika diperlukan dapat
dilakukan intubasi.

3.2.6 Komplikasi
Komplikasi fraktur meliputi :
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi,
cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas
yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada
yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom

22
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut.
Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan
pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan
pembebatan yang terlalu kuat.
c. Fat Embolism Syndrom Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi
serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi
karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran
darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai
dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena
penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan
adanya Volkmans Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini
biasanya terjadi pada fraktur (Arif Muttaqin, 2008)
2. Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena
penurunan suplai darah ke tulang.
b. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion
ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang

23
membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena
aliran darah yang kurang.
c. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya
tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan
dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik (Arif Muttaqin, 2008).

3.2.7 Penatalaksanaan
Penanganan fraktur iga pada dasarnya masuk dalam penatalaksanaan
trauma toraks. Tahap penilainan keadaan pasien dimulai dari primary survey,
tindakan resusitasi, secondary survey, pemeriksaan penunjang (darah dan foto
toraks) dan penilaian skor trauma. Setelah itu dilakukan penilaian status trauma
toraks, mulai dari pengkajian (saturasi O2, pulse oximetry, endtidal CO, foto
toraks, FAST ultrasound, gas darah arteri), primary survey (obstruksi jalan napas,
pneumotoraks tension, pneumotoraks terbuka, hemotoraks, flail chest, tamponade
jantung), secondary survey (fraktur iga, kontusio paru, kerusakan trakeobronkial,
esofagus, diafragma, aorta dan jantung).
Biasanya penatalaksanaan fraktur iga seperti stabilisasi dengan
pembedahan, tidak langsung pada frakturnya karena fraktur iga cenderung
sembuh dengan hasil yang baik dalam 10 sampai 14 hari. Terapi ditujukan kepada
pencegahan terjadinya masalah gangguan respirasi. Kerusakan paru dapat terjadi
akibat rasa nyeri yang mengganggu pulmonary toilet serta kontusio paru atau
kombinasi keduanya.Terapi isinial yang diberikan berupa mengatasi rasa nyeri
yang timbul, fisioterapi dada dan mobilisasi. Modaliti untuk mengatasi rasa nyeri
berupa terapi sistemik dengan memberikan narkotik, obat antiinflamasi nonsteroid
(OAINS) dan terapi regional seperti blok tulang iga setempat, pemasangan chest
tube dan analgesia epidural.
Rasa nyeri juga dapat diatasi dengan pemberian narkotik intravena, tetapi
dapat menyebabkan sedasi, penekanan batuk dan depresi pernapasan yang
mempengaruhi pulmonary toilet. Hal ini sebaiknya dihindari pemakaiannya pada
orang tua karena dapat menyebabkan pneumonia obstruksi. Analgesia epidural
banyak digunakan sebagai terapi regional untuk mengatasi rasa nyeri pada dinding

24
dada. Meskipun invasif tindakan ini lebih efektif dalam memperbaiki pulmonary
toilet. Modalitas regional lain untuk mengatasi rasa nyeri regional adalah dengan
blok nervus interkostal, analgesia intrapleura melalui chest tube dan blok
paravertebral toraks (Gambar 3).

1. Penatalaksanaan medis
a. Recognisi atau pengenalan adalah riwayat kecelakaan derajat
keparahannya, prinsip pertama yaitu mengetahui dan menilai keadaan
fraktur dengan anamnesis, pemeriksaan klinik dan radiologis
b. Reduksi adalah usaha manipulasi fragmen tulang patah untuk kembali
seperti asalnya, reduksi ada dua macam yaitu reduksi tertutup (tanpa
operasi), contohnya dengan traksi dan reduksi terbuka (dengan operasi),
contohnya dengan fiksasi internal dengan pemasangan pin, kawat,sekrup
atau batangan logam
c. Retensi adalah metode untuk mempertahankan fragmen selama
penyembuhan, dengan fiksasi internal maupun fiksasi eksternal,
contohnya GIPS yaitu alat immobilisasi eksternal yang kaku dan dicetak
sesuai bentuk tubuh yang dipasang.
d. Rehabilitasi dimulai segera dan sesudah dilakukan pengobatan untuk
menghindari kontraktur sendi dan atrofi otot. Tujuannya adalah
mengurangi oedema, mempertahankan gerakan sendi, memulihkan
kekuatan otot, dan memandu pasien kembali ke aktivitas normal
e. ORIF yaitu pembedahan untuk memperbaiki fungsi dengan
mengembalikan stabilitas dan mengurangi nyeri tulang yang patah yang
telah direduksi dengan skrap, paku, dan pin logam
f. Traksi yaitu pemasangan tarikan ke bagian tubuh, beratnya traksi
disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. (Smeltzer, Suzanne C.
2001).
2. Perawatan klien fraktur
a. Fraktur tertutup

25
Tirah baring diusahakan seminimal mungkin latihan segera dimulai
untuk mempertahankan kekuatan otot yang sehat, dan untuk
meningkatkan otot yang dibutuhkan untuk pemindahan mengunakan alat
bantu (tongkat) klien diajari mengontrol nyeri sehubungan fraktur dan
trauma jaringan lunak
b. Fraktur terbuka
Pada fraktur terbuka terdapat risiko infeksi osteomielitis, gas ganggren,
dan tetanus, tujuan perawatan untuk meminimalkan infeksi agar
penyembuhan luka atau fraktur lebih cepat, luka dibersihkan,
didebridemen dan diirigasi (Arif Muttaqin, 2008).
3. Penatalaksanaan kedaruratan
Klien dengan fraktur, penting untuk mengimobilisasi bagian tubuh yang
terkena segera sebelum klien dipindahkan. Daerah yang patah harus di sangga
diatas dan dibawah tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi.
Immobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah dapat juga dilakukan dengan
membebat kedua tungkai bersama. Pada cidera ekstremitas atas lengan dapat
dibebatkan ke dada. Peredaran di distal cidera harus dikaji untuk menentukan
kecukupan perfusi jaringan perifer. Luka ditutup dengan kasa steril (Arif
Muttaqin, 2008).

26
BAB IV
PENUTUP

Meningitis tuberkulosis (TB) merupakan komplikasi hasil dari penyebaran


hematogen dan limfogen bakteri Mycobacterium tuberculosis dari infeksi primer
pada paru ke meningen. Insidensi meningitis TB di Indonesia masih banyak
sehingga diperlukan diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat. Meningitis TB
merupakan penyakit yang mengancam jiwa dan memerlukan penanganan tepat
karena mortalitas mencapai 30%, sekitar 5:10 dari pasien bebas meningitis TB
memiliki gangguan neurologis walaupun telah di berikan antibiotik yang adekuat.
Diagnosis awal dan penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan untuk
mengurangi rIsiko gangguan neurologis yang mungkin dapat bertambah parah
jika tidak ditangani.

27
DAFTAR PUSTAKA

Huldani. 2012. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Meningitis Tuberkulosis. Referat.


Banjarmasin : Universitas Lambung Mangkurat.
Nofareni, 2003. Status Imunisasi BCG dan Faktor Lain yang Mempengaruhi
Terjadinya Meningitis Tuberkulosa. Master. Medan: University of Sumatera
Utara.
R.Sjamsuhidat, Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 2. Jakarta : EGC
(hal 809-810).
Ramalingan. 2016. Gambaran Karakteristik Penderita Meningitis Tuberkulosis
Yang dirawat Di Ruang Rawat Inap Anak RSUP Haji Adam Malik periode
2011-2014. Master. Medan : University of Sumatera Utara.
Saputra, Indra. 2015. Pengaruh Kadar Protein dan Jumlah Sel CSF dengan Angka
Kejadian Malfungsi VP Shunt di Rumah Sakit Haji Adam Malik. Master.
Medan : University of Sumatera Utara
Sidharta, Priguna, 2009. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Edisi Ketujuh.
Jakarta:Dian Rakyat.
Wijaya, Yoppy. 2006. Hidrosefalus. Referat. Surabaya : Universitas Wijaya
Kusuma.

28

Anda mungkin juga menyukai