Anda di halaman 1dari 33

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Asma

Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan

banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan

hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa

mengi, sesak napas, dada terasa berat, dan batuk-batuk terutama pada malam

dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan

napas yang luas, bervariasi, dan seringkali bersifat reversibel dengan atau

tanpa pengobatan.

Faktor Risiko

Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu

(host factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu di sini termasuk

predisposisi genetik yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu

genetik asma, alergik (atopi), hipereaktivititas bronkus, jenis kelamin, dan

3
ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan atau

predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya

eksaserbasi, dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap.

1. Faktor Pejamu

Asma adalah penyakit yang diturunkan di mana telah terbukti dari

berbagai penelitian. Predisposisi genetik untuk berkembangnya asma

memberikan bakat atau kecenderungan untuk terjadinya asma. Fenotip

yang berkaitan dengan asma, dikaitkan dengan ukuran subjektif (gejala)

dan objektif (hipereaktiviti bronkus dan kadar IgE serum) dan atau

keduanya. Karena kompleksnya gambaran klinis asma, maka dasar genetik

asma dipelajari dan diteliti melalui fenotip-fenotip perantara yang dapat

diukur secara objektif seperti hipereaktiviti bronkus, alergik/atopi, walau

disadari kondisi tersebut tidak khusus untuk asma.

2. Faktor Lingkungan

Alergen dan sensitisasi bahan lingkungan kerja dipertimbangkan adalah

penyebab utama asma, dengan pengertian faktor lingkungan tersebut pada

awalnya mensensitisasi jalan napas dan mempertahankan kondisi asma

tetap aktif dengan mencetuskan serangan asma atau menyebabkan

menetapnya gejala.

Patofisiologi

Inflamasi berperan dalam peningkatan reaktivitas jalan napas. Mekanisme

yang menyebabkan inflamasi jalan napas cukup beragam dan peran setiap

mekanisme tersebut bervariasi selama perjalanan penyakit (Wong, 2003).

4
Komponen penting asma lainnya adalah bronkosplasma dan obstruksi.

Mekanisme yang menyebabkan gejala obstruktif meliputi: inflamasi dan

udema membran mukosa, akumulasi sekresi yang berlebihan dari kelenjar

mukosa, spasma otot-otot halus, dan bronkiolus yang menurunkan diameter

bronkiolus (Wong, 2003).

Konstriksi bronkus merupakan reaksi normal terhadap stimulus asing,

namun pada penderita asma biasanya sangat parah hingga menyebabkan

gangguan fungsi pernapasan: otot halus berbentuk kumparan spiral di

sekeliling jalan napas, menyebabkan penyempitan dan pemendekan jalan

napas, yang secara signifikan meningkatkan resistensi jalan napas terhadap

aliran udara. Pada saat inspirasi dan berkontraksi, serta memendek selama

ekspresi, menyebabkan kesulitan bernapas lebih berat terjadi selama fase

ekspresi (Wong, 2003).

Peningkatan tahanan dalam jalan napas menyebabkan ekspresi yang

dipaksakan melewati lumen sempit. Volume udara yang terjebak dalam paru

meningkat pada saat jalan napas secara fungsional menutup di titik antara

alveoli dan bronkus lobukus. Gas yang terjebak ini mendorong individu untuk

bernapas pada volume paru yang semakin tinggi. Akibatnya orang yang

menderita asma harus berjuang untuk menginspirasi jumlah udara yang

cukup. Upaya keras untuk bernapas ini akan menyebabkan keletihan,

penurunan efektivitas pernapasan, dan peningkatan konsumsi oksigen (Wong,

2003).

Inspirasi yang terjadi ketika volume paru lebih tinggi akan menginflasi

alveoli secara berlebihan dan menurunkan efektivitas batuk. Jika obstruksi

5
semakin parah, terjadi penurunan ventilasi alveolus disertai retensi karbon

dioksida, hipoksemia, asidosis pernapasan, dan akhirnya gagal napas (Wong,

2003).

Tata laksana

1. Non-Medikamentosa

Program penatalaksanaan asma yang meliputi 7 komponen, yaitu:

a. Edukasi

b. Menilai dan monitor berat asma secara berkala

c. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus

d. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang

e. Menetapkan pengobatan pada serangan akut

f. Kontrol secara teratur

g. Pola hidup sehat

Edukasi yang baik akan menurunkan morbiditi dan mortaliti, menjaga

penderita agar tetap masuk sekolah/kerja dan mengurangi biaya

pengobatan karena berkurangnya serangan akut terutama bila

membutuhkan kunjungan ke unit gawat darurat/perawatan rumah sakit.

2. Medikamentosa

a. Pelega (Reliever)

Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,

memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan

dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada, dan batuk, tidak

memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif

jalan napas.

6
Termasuk pelega adalah :

1) Agonis Beta-2 Kerja Singkat

2) Kortikosteroid Sistemik (Steroid sistemik digunakan sebagai obat

pelega bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal, tetapi

hasil belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan

bronkodilator lain.)

3) Antikolinergik

4) Aminofillin

5) Adrenalin

b. Pengontrol

1) Glukokortikosteroid Inhalasi

2) Glukokortikosteroid Sistemik

3) Kromolin (Sodium Kromoglikat dan Nedokromil Sodium)

4) Metilsantin

5) Agonis Beta-2 Kerja Lama

c. Pelega

1) Agonis Beta-2 Kerja Singkat

2) Antikolinergik

3) Adrenalin

Farmakologi Tiap Golongan

1. Simpatomitetik

a. Mekanisme Kerja

Stimulasi reseptor adrenergik yang mengakibatkan terjadinya

vasokonstriksi, dekongestan nasal, dan peningkatan tekanan darah.

7
Stimulasi reseptor 1 adrenergik sehingga terjadi peningkatan

kontraktilitas dan irama jantung. Stimulasi reseptor 2 yang

menyebabkan bronkodilatasi, peningkatan klirens mukosiliari,

stabilisasi sel mast, dan menstimulasi otot skelet. Menimbulkan

relaksasi otot polos saluran napas, uterus, dan pembuluh darah otot

rangka. Menghambat pembebasan mediator dan menyebabkan tremor

otot rangka sebagai suatu efek toksik (Katzung, 2007).

b. Farmakokinetik

Efektif peroral, masa kerja lama dan selesivitas 2 yang nyata. Jika

diberikan secara inhalasi obat-obat ini menyebabkan bronkodilatasi

yang setara dengan yang dihasilkan oleh isoproterenol. Bronkodilatasi

maksimum dicapai dalam waktu 30 menit dan menetap selama 3-4 jam

(Katzung, 2007).

c. Contoh Obat

Albuterol, Terbutalin, dan Bitolterol

d. Efek Samping Obat

Tremor otot rangka, kegelisahan, dan kadang-kadang kelemahan.

e. Indikasi

Agonis 2 kerja diperlama (seperti salmeterol dan furmoterol)

digunakan, bersamaan dengan obat antiinflamasi, untuk kontrol jangka

panjang terhadap gejala yang timbul pada malam hari. Obat golongan

ini juga dipergunakan untuk mencegah bronkospasmus yang diinduksi

oleh latihan fisik. Agonis 2 kerja singkat (seperti albuterol, bitolterol,

pirbuterol, dan terbutalin) adalah terapi pilihan untuk menghilangkan

8
gejala akut dan bronkospasmus yang diinduksi oleh latihan fisik

(Depkes RI, 2007).

f. Kontraindikasi

Obat simpatomimetik dikontraindikasikan untuk penderita alergi

terhadap obat dan komponennya (reaksi alergi jarang terjadi), aritmia

jantung yang berhubungan dengan takikardia, angina, dan aritmia

ventrikular yang memerlukan terapi inotopik, takikardia, atau blok

jantung yang berhubungan dengan intoksikasi digitalis (karena

isoproterenol), dengan kerusakan otak organik, anestesia lokal di daerah

tertentu (jari tangan, jari kaki) karena adanya risiko penumpukan cairan

di jaringan (udem), dilatasi jantung, insufisiensi jantung,

arteriosklerosis serebral, penyakit jantung organik (karena efinefrin)

pada beberapa kasus vasopresor dapat dikontraindikasikan, glukoma

sudut sempit, syok nonafilaktik selama anestesia umum dengan

hidrokarbon halogenasi atau siklopropan (karena epinefrin dan efedrin)

(Depkes RI, 2007).

g. Dosis

Albuterol

Aerosol : Dewasa dan Anak > 4 tahun (usia 12 tahun dan

lebih untuk pencegahan) 2 inhalasi setiap 4 sampai

6 jam.

Tablet : Dewasa dan Anak (usia 12 tahun dan lebih): dosis

awal 2-4 mg, 3 atau 4 kali sehari (dosis jangan

9
melebihi 32 mg sehari). Anak-anak 6-12 tahun: 2

mg, 3 atau 4 kali sehari.

Tablet : Dewasa dan Anak lebih dari 12 tahun: dosis yang

direkomendasikan adalah 8 mg setiap 12 jam.

Anak-anak 6-12 tahun: dosis yang

direkomendasikan adalah 4 mg setiap 12 jam.

Sirup : Dewasa dan anak lebih dari 12 tahun: dosis umum

adalah 2 atau 4 mg, 3 atau 4 kali sehari. Anak-anak

6-12 tahun: dosis awal adalah 2 mg, 3 atau 4 kali

sehari. Anak-anak 2-6 tahun: mulai dosis dengan

0,1 mg/kg 3 kali sehari (Depkes RI, 2007)

2. Metilxantin

Ada 3 obat golongan metilxantin yang terpenting yaitu teofilin,

teobromin, dan kafein.


a. Mekanisme Kerja
Secara invitro telah diperlihatkan bahwa pada konsentrasi tinggi

obat-obat ini dapat menghambat enzim fosfodiesterase yang

menghidrolisis siklik nukleotida yang menghasilkan konsentrasi cAMP

intraseluler yang tinggi. Menghambat reseptor-reseptor adenosin pada

permukaan sel yang mengatur aktivitas adenilat siklase, dan adenosin

telah terbukti menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas dan

meningkatkan pembebasan histamin dari sel-sel paru (Katzung, 2007).

b. Farmakokinetik
Teofilin dimetabolisme oleh sitokrom P-450 dan kecepatan

metabolisme bervariasi luas di antara subjek-subjek. Karena teofilin

10
mempunyai kisaran terapi yang sempit (10-20mg/l), perlu dilakukan

pemantauan kadar teofilin dalam darah. Teofilin dieliminasi dalam hati

dan diekskresikan dalam urin (Staff Farmakologi UNSRI, 2004).


c. Efek Samping Obat
Reaksi efek samping jarang terjadi pada level serum teofilin yang <

20 mcg/mL. Pada level lebih dari 20 mcg/mL: mual, muntah, diare,

sakit kepala, insomnia, dan iritabilitas.


Pada level yang lebih dari 35 mcg/mL: hiperglisemia, hipotensi,

aritmia jantung, takikardia (lebih besar dari 10 mcg/mL pada bayi

prematur), seizure, kerusakan otak, dan kematian.


Lain-lain: demam, wajah kemerah-merahan, hiperglikemia, sindrom

ketidaksesuaian dengan hormon antiduretik, ruam, dan kerontokan pada

rambut. Etildiamin pada aminofilin dapat menyebabkan reaksi

sensitivitas termasuk dermatitis eksfoliatif dan urtikaria.


Kardiovaskular: palpitasi, takikardia, hipotensi, kegagalan sirkulasi,

dan aritmia ventrikular.


Susunan Saraf Pusat: iritabilitas, tidak bisa instirahat, sakit kepala,

insomnia, kedutan, dan kejang.


Saluran Pencernaan: mual, muntah, sakit epigastrik, hematemesis, diare,

iritasi rektum, atau pendarahan (karena penggunaan supositoria

aminofilin). Dosis terapetik teofilin dapat menginduksi refluks

esofageal selama tidur atau berbaring, meningkatkan potensi terjadinya

aspirasi yang dapat memperparah bronkospasmus.


Ginjal: proteinuria dan potensiasi diuresis.
Respiratori: takhipnea dan henti nafas (Depkes RI, 2007).
d. Indikasi
Untuk menghilangkan gejala atau pencegahan asma bronkial dan

bronkospasma reversibel yang berkaitan dengan bronkhitis kronik dan

emfisema.
e. Kontraindikasi

11
Hipersensitivitas terhadap semua xantin, peptik ulser, mengalami

gangguan seizure (kecuali menerima obat-obat antikonvulsan yang

sesuai). Aminofilin: hipersensitif terhadap etilendiamin. Supositoria

aminofilin: iritasi atau infeksi dari rektum atau kolon bagian bawah.
f. Sediaan
Injeksi : 1mg/ml, 2mg/ml, 5mg/ml
Tablet : 100mg, 200mg
Larutan Oral : 105mg/5ml
Supositoria Rectal : 250mg, 500mg
g. Dosis
Pemuatan : IV, 5-6 mg/kg (berikan dalam 20-30 menit) atau per

oral/rectal 6mg/kg. Setiap 0,5 mg/kg teofilin

(0,6mg/kg aminofilin) akan meningkatkan konsentrasi

teofilin 1g/ml.
Pemeliharaan : Infus IV 0,5-1mg/kg/jam dan per oral 2-4mg/kg setiap

6-12 jam.
3. Agen Antimuskarinik
a. Mekanisme Kerja
Menghambat efek asetilkolin pada reseptor-reseptor muskarinik

secara kompetitif. Diperlukan konsentrasi agen antimuskarinik yang

tinggi untuk menghambat kontraksi otot polos saluran napas serta

meningkatkan sekresi mukus yang terdapat dalam respons terhadap

aktivitas vagus (Katzung, 2007).


b. Farmakokinetik
Obat-obat agen antimuskarinik diabsorbsi di mukosa saluran

pernapasan yang kemudian langsung bekerja pada saluran pernapasan,

kemudian akan diekskresikan melalui feses.


c. Contoh Obat
Ipratropium Bromid
d. Efek Samping Obat
Sakit punggung, sakit dada, bronkhitis, batuk, penyakit paru

obstruksi kronik yang semakin parah, rasa lelah berlebihan, mulut

kering, dispepsia, dipsnea, epistaksis, gangguan pada saluran

12
pencernaan, sakit kepala, gejala seperti influenza, mual, cemas,

faringitis, rinitis, sinusitis, infeksi saluran pernapasan atas, dan infeksi

saluran urin (Depkes RI, 2007).

e. Indikasi
Digunakan dalam bentuk tunggal atau kombinasi dengan

bronkodilator lain (terutama beta adrenergik) sebagai bronkodilator

dalam pengobatan bronkospasmus yang berhubungan dengan penyakit

paru-paru obstruktif kronik, termasuk bronkhitis kronik dan emfisema

(Depkes RI, 2007).


f. Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap ipratropium bromida, atropin, dan turunannya

(Depkes RI, 2007).


g. Dosis dan Cara Penggunaan
Aerosol 2 inhalasi (36 mcg) empat kali sehari. Pasien boleh

menggunakan dosis tambahan tetapi tidak boleh melebihi 12 inhalasi

dalam sehari (Depkes RI, 2007).


Larutan Dosis yang umum adalah 500 mcg (1 unit dosis dalam vial),

digunakan dalam 3 sampai 4 kali sehari dengan menggunakan nebulizer

oral, dengan interval pemberian 6-8 jam. Larutan dapat dicampurkan

dalam nebulizer jika digunakan dalam waktu satu jam (Depkes RI,

2007).
4. Kortikosteroid
a. Mekanisme Kerja
Secara tidak langsung kortikosteroid merelaksasi otot polos saluran

napas. Dapat mengurangi obstruksi saluran napas dengan

mempotensiasi efek agonis reseptor-beta, tetapi obat-obat ini juga

bekerja dengan menghambat atau memodifikasi respons peradangan

dalam saluran napas (Katzung, 2007).


b. Contoh Obat

13
Beclometason, metilprednisolon, prednison, triamnolon, budesonid, dan

fluticason.
c. Efek Samping Obat
Lokal : Iritasi tenggorokan, suara serak, batuk, mulut kering,

ruam, pernafasan berbunyi, edema wajah, dan

sindrom flu.
Sistemik : Depresi fungsi Hypothalamic-Pituitary-Adrenal

(HPA). Terjadinya kematian yang disebabkan oleh

insufisiensi adrenal dan setelah terjadinya peralihan

dari kortikosteroid sistemik ke aerosol.


Beclomethason : Efek samping terjadi pada 3% pasien atau lebih,

seperti sakit kepala, kongesti nasal, dismenorea,

dispepsia, rhinitis, faringitis, batuk, infeksi saluran

pernapasan atas, infeksi virus, dan sinusitis (Depkes

RI, 2007).
d. Indikasi
Terapi pemeliharaan dan propilaksis asma, termasuk pasien yang

memerlukan kortikosteoid sistemik, pasien yang mendapatkan

keuntungan dari penggunaan dosis sistemik, terapi pemeliharaan asma

dan terapi profilaksis pada anak usia 12 bulan sampai 8 tahun. Obat ini

tidak diindikasikan untuk pasien asma yang dapat diterapi dengan

bronkodilator dan obat non steroid lain, pasien yang kadang-kadang

menggunakan kortikosteroid sistemik atau terapi bronkhitis non asma

(Depkes RI, 2007).


e. Kontraindikasi
Bronkospasma akut yang membaik, terapi utama pada status

asmatikus atau episode asma akut lain yang memerlukan tindakan

intensif, hipersensitif terhadap beberapa komponen, infeksi jamur

14
sistemik, dan kultur sputum menunjukkan hasil positif untuk Candida

albicans (Depkes RI, 2007).


f. Sediaan
Sistemik dan Inhaler
g. Dosis
Prednison : 30-60 mg/hr
Metilprednisolon : 1 mg/kg setiap 6 jam
Beclometason : 10-15 mg/hr
5. Anti IgE
Omalizumab dan kromolin merupakan obat agen biologis yang

dipercaya dalam mengatasi asma yang merupakan antibodi monoklonal

rekombinan. Antibodi Monoklonal Anti-IgE (Immunoglobulin E)

pendekatan pada pengobatan asma yang mengeksploitasi perkembangan

biologi molekuler untuk target antibodi IgE.


a. Mekanisme kerja
Antibodi Monoklonal Anti-IgE menghambat terjadinya ikatan IgE

pada sel mast, tetapi tidak mengaktifkan IgE yang telah terikat pada sel-

sel tersebut dan karenanya tidak memicu terjadinya degranulasi sel

mast. IgE yg terikat omalizumab tidak dapat berikatan dengan reseptor

IgE pada mast cell dan basofil sehingga tidak terjadi reaksi alergi.
b. Farmakokinetik
Absorbsi untuk obat golongan anti IgE ini sangat buruk dengan

pemberian cara apapun dan kerjanya bersifat lokal. Sejumlah kecil

dapat mencapai sirkulasi sistemik setelah inhalasi. Distribusi, karena

hanya sejumlah kecil yang diabsorbsi, maka distribusinya tidak

diketahui. Untuk metabolisme dan ekskresi, sejumlah kecil yang

diabsorbsi diekskresikan dalam empedu dan urin tanpa mengalami

perubahan.
c. Efek Samping Obat
SSP : Sakit kepala, irritabilitas, dan sulit tidur
Mata dan THT : Iritasi hidung, bersin, rasa terbakar pada okuler, rasa

tersengat, dan rasa tidak enak.

15
GI : Diare dan nyeri abdomen (peningkatan asam urat,

nyeri sendi, dan edema).


Respirasi : Iritasi tenggorokan dan trakea, serta batuk.
Derm : Ruam, eritem, dan urtikaria.
d. Kontraindikasi
Dikontraindikasikan pada hipersensitivitas, serangan astma akut,

kehamilan, dan menyusui.


e. Sediaan Obat
Tablet sebear 100mg dan 200mg, sedangkan kapsul sebesar 20 mg.
f. Dosis
Dewasa : 200 mg 4x sehari
Anak anak 2-12 th: 100 mg 4x sehari
Anak < 2 th: 20 mg/kg/hari dalam 4 dosis terbagi
Inhalasi (dewasa dan anak > 5 th): 20 mg kapsul inhaler
6. Kromolin dan Nedokromil
a. Mekanisme Kerja
Kromolin dan nedokromil kemungkinan mempunyai mekanisme

kerja yang sama, yaitu menghambat pembebasan mediator dari sel-sel

mastosit saluran napas dan menghambat munculnya NCF pada waktu

bersamaan. Kemungkinan juga menghambat fosfodiesterase, karena

meningkatkan cAMP intraselular, serta mengubah jalur-jalur neural

yang mempengaruhi tonus otot polos saluran napas (Katzung, 2007).


b. Farmakokinetik
Kromolin akan diabsorbsi di saluran pencernaan atau GIT dan harus

diinhalasi sebagai bentuk mikrotin atau aerosol. Nedokromil

mempunyai bioavailabilitas yang rendah dan hanya tersedia dalam

bentuk aerosol saja.


c. Contoh Obat
Cromolyn sodium dan nedocromil
d. Efek Samping Obat
Efek samping yang paling sering terjadi berhubungan dengan

penggunaan kromolin (pada penggunaan berulang) meliputi saluran

pernapasan: bronkospasme (biasanya bronkospasma parah yang

berhubungan dengan penurunan fungsi paru-paru/FEV1), batuk, edema

16
laringeal (jarang), iritasi faringeal, dan napas berbunyi. Efek samping

yang berhubungan dengan penggunaan aerosol adalah iritasi

tenggorokan atau tenggorokan kering, rasa tidak enak pada mulut,

batuk, napas berbunyi, dan mual (Depkes RI, 2007).


e. Indikasi
Asma bronkial (inhalasi, larutan dan aerosol): sebagai pengobatan

profilaksis pada asma bronkial. Kromolin diberikan teratur, harian pada

pasien dengan gejala berulang yang memerlukan pengobatan secara

reguler. Pencegahan bronkospasma (inhalasi, larutan, dan aerosol):

untuk mencegah bronkospasma akut yang diinduksi oleh latihan fisik,

toluen diisosinat, polutan dari lingkungan, dan antigen yang diketahui

(Depkes RI, 2007).


f. Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap kromolin atau komponen sediaan (Depkes RI,

2007).
g. Sediaan
Cromolyn sodium
Aerosol paru 800 mcg/puff atau 20 mg/2 ml nebulizer
Aerosol hidung 5,2 mg/puff
Oral 100 mg/5 ml
Nedocromil
Oral 8 ml botol

h. Dosis dan Cara penggunaan


Larutan nebulizer : Dosis awal 20 mg diinhalasi 4 kali sehari

dengan interval yang teratur. Efektifitas terapi

tergantung pada keteraturan penggunaan obat.

Pencegahan bronkospasma akut: inhalasi 20 mg

(1 ampul/vial) diberikan dengan nebulisasi

segera sebelum terpapar faktor pencetus

(Depkes RI, 2007).

17
Aerosol : Untuk penanganan asma bronkial pada dewasa

dan anak 5 tahun atau lebih. Dosis awal

biasanya 2 inhalasi, sehari 4 kali pada interval

yang teratur. Pencegahan bronkospasma akut:

dosis umum adalah 2 inhalasi secara singkat

(misalnya dalam 10-15 menit, tidak lebih dari

60 menit) sebelum terpapar faktor pencetus

(Depkes RI, 2007).


Oral : Dewasa dengan dosis 2 ampul, 4 kali sehari, 30

menit sebelum makan dan saat menjelang tidur.

Anak-anak usia 2-12 tahun: satu ampul, 4 kali

sehari, 30 menit sebelum makan dan saat

menjelang tidur (Depkes RI, 2007).

B. Tuberkulosis

1. Prinsip Pengobatan

Tujuan pengobatan TB adalah untuk menyembuhkan pasien, mencegah

kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan, dan

mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Adapun untuk jenis,

sifat, dan dosis OAT adalah sebagai berikut (Kemenkes, 2006):

Tabel 2.1. Jenis, Sifat, dan Dosis OAT

Dosis Rekomendasi (mg/kg)


Jenis OAT Sifat
Harian 3 x Seminggu

18
5 10
Isoniazid (H) Bakterisid
(4-6) (8-12)
10 10
Rifampisin (R) Bakterisid
(8-12) (8-12)
25 35
Pyrazinamide (Z) Bakterisid
(20-30) (30-40)
15 15
Streptomysin (S) Bakterisid
(12-18) (12-18)
15 30
Ethambutol (E) Bakteriostatik
(15-20) (20-35)

Penanganan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai

berikut:

1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,

dalam jumlah cukup, dan dosis tepat sesuai dengan kategori

pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian

OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan

sangat dianjurkan.

2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan

pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh

seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan

lanjutan.

Tahap Intensif

a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu

diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.

b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,

biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu

2 minggu.

19
c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif

(konversi) dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan

a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun

dalam jangka waktu yang lebih lama.

b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga

mencegah terjadinya kekambuhan

2. Panduan Pengobatan

Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan

Tuberkulosis di Indonesia (Kemenkes, 2011):

a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3

b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE).

c. Kategori Anak : 2HRZ/4HR

Panduan OAT Kategori 1 dan Kategori 2 disediakan dalam bentuk paket

berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak

sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT

ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya

disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu

paket untuk satu pasien (Kemenkes, 2006).

Paket kombipak terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket,

yaitu Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol. Paduan OAT ini

disediakan program untuk mengatasi pasien yang mengalami efek samping

OAT KDT. Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan

20
untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan

(kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1)

pasien dalam satu (1) masa pengobatan (Kemenkes, 2006).

KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:

a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin

efektifitas obat dan mengurangi efek samping.

b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan risiko

terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan

resep.

c. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat

menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.

Adapun paduan OAT dan peruntukannya, yaitu:

a. Kategori 1 (2HRZE/4R3H3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

1) Pasien baru TB paru BTA positif

2) Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif

3) Pasien TB ekstra paru

Tabel 2.2. Dosis untuk Paduan OAT KDT Kategori 1

Berat Tahap Intensif Tiap Hari Tahap Lanjutan 3 Kali


Badan Selama 56 Hari RHZE Seminggu Selama 16
(150/75/400/275) Minggu RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

b. Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)

21
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati

sebelumnya:

1) Pasien kambuh

2) Pasien gagal terapi

3) Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus)

Tabel 2.3. Dosis untuk Paduan OAT KDT Kategori 2

Tahap Lanjutan 3
Tahap Intensif Tiap Hari RHZE
Kali Seminggu RH
Berat (150/75/400/275) + S
(150/150) + E (275)
Badan
Selama 28
Selama 56 hari Selama 20 Minggu
Hari
2 tab 4KDT + 500
2 tab 2KDT + 2 tab
30-37 kg mg Streptomisin 2 tab 4 KDT
Etambutol
inj.
3 tab 4KDT + 750
3 tab 2KDT + 3 tab
38-54 kg mg Streptomisin 3 tab 4 KDT
Etambutol
inj.
4 tab 4KDT +
4 tab 2KDT + 4 tab
55-70 kg 1000 mg 4 tab 4 KDT
Etambutol
Streptomisin inj.
5 tab 4KDT +
5 tab 2KDT + 5 tab
71 kg 1000 mg 5 tab 4 KDT
Etambutol
Streptomisin inj.

Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas, dosis maksimal untuk

streptomisin adalah 500 mg tanpa memperhatikan berat badan. Untuk

perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus. Cara

melarutkan Streptomisin vial 1 gram, yaitu dengan menambahkan

aquabidest sebanyak 3,7 ml sehingga menjadi 4 ml (1ml = 250 mg).

c. Obat Sisipan (HRZE)

Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap

intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

22
Tabel 2.4. Dosis Dosis KDT untuk Sisipan

Tahap Intensif Tiap Hari Selama 28 Hari RHZE


Berat Badan
(150/75/400/275)
30-37 kg 2 tablet 4KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT
71 kg 5 tablet 4KDT

3. Pengobatan TB Anak

Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan

diberikan dalam waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik

pada tahap intensif maupun tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan

dengan berat badan anak.

Tabel 2.5. Dosis OAT Kombipak pada Anak

Jenis Obat BB < 10 kg BB 10-20 kg BB 20-32 kg


Isoniasid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampicin 75 mg 200 mg 300 mg
Pirazinamid 100 mg 300 mg 600 mg

Tabel 2.6. Dosis OAT KDT pada Anak

Berat Badan (kg) 2 Bulan Tiap Hari RHZ 4 Bulan Tiap Hari
(75/50/150) RH (75/50)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-19 2 tablet 2 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet

Keterangan:

a. Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit.

b. Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.

c. Anak dengan BB 33 kg, dirujuk ke rumah sakit.

23
d. Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah.

e. OAT KDT dapat diberikan dengan cara: ditelan secara utuh atau digerus

sesaat sebelum minum.

4. Evaluasi

Evaluasi pasien meliputi beberapa hal, yaitu evaluasi klinis,

bakteriologi, radiologi, efek samping obat, keteraturan obat, dan evaluasi

pasien yang telah sembuh (PDPI, 2006).

a. Evaluasi Klinik

Pertama-tama pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan

pertama pengobatan dan selanjutnya setiap 1 bulan. Evaluasi ini

bertujuan untuk mengetahui respon pengobatan, ada tidaknya efek

samping obat, serta ada tidaknya komplikasi penyakit dengan dilihat

keluhan, berat badan, dan pemeriksaan fisisnya.

b. Evaluasi Bakteriologi (0-2-6/9 Bulan Pengobatan)

Evaluasi ini bertujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi

dahak dengan mikroskopis. Pemeriksaan dan evaluasi ini dilakukan

sebelum pengobatan dimulai, setelah 2 bulan, dan pada akhir

pengobatan.

c. Evaluasi Radiologi (0-2-6/9 Bulan Pengobatan)

Pemeriksaan dan evaluasi foto torak dilakukan pada saat sebelum

penggobatan berlangsung, setelah 2 bulan penggobatan, dan pada akhir

24
pengobatan. Hal ini bisa dilakukan bersamaan dengan evaluasi

bakteriologi.

d. Evaluasi Efek Samping Obat

Evaluasi ini meliputi pemeriksaan fungsi hati (SGOT, SGPT, dan

bilirubin), fungsi ginjal (ureum dan kreatinin), dan darah lengkap yang

awalnya sudah diperiksa terlebih dahulu sebelum dilakukan

pengobatan.

f. Evaluasi Keteraturan Obat

Evaluasi ini sangat penting dilakukan karena apabila OAT tidak

diminum secara teratur dapat menimbulkan resistensi dan peran dari

PMO sangat diperlukan.

Kriteria Sembuh

1. BTA negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan)

dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat.

2. Pada foto torak, gambaran radiologi serial tetap sama/ada perbaikan.

3. Biakan kuman negatif (bila ada).

g. Evaluasi Pasien yang Telah Sembuh

Pasien yang telah sembuh sebaiknya atau dianjurkan untuk tetap

dievaluasi minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini

dimaksudkan untuk mengantisipasi kekambuhan. Dalam hal ini, yang

dievaluasi adalah BTA dahak, foto torak. BTA dahak dilakukan pada

bulan 3, 6, 12, dan 24. Sedangkan foto torak pada bulan 6, 12, dan 24.

5. Farmakologi Obat

25
Isoniazida, rifampisin, parazinamid, etambutol, dan streptomisin

merupakan obat yang paling efektif dan rendah toksisitasnya untuk obat

anti tuberkulosis, namun akan menimbulkan resistensi yang cepat bila

dikonsumsi sebangai obat tunggal. Karena alasan tersebut, obat tersebut

biasa dikonsumsi dalam tiga kombinasi obat. Isoniazid, rifampisin, dan

pirazinamid yang merupakan obat terpenting (Tjay dan Rahardja, 2001).

a. Isoniazid (INH)

Isoniazid atau INH merupakan derivat asam isonikotika yang paling

kuat terhadap M. tuberculosis dalam fase istirahatnya dan bersifat

bakterisid terhadap basil yang sedang tumbuh pesat. Obat ini aktif

terhadap kuman di intraseluler maupun ekstraseluler dan tidak aktif

terhadap bakteri lain.

Mekanisme kerja INH, yaitu dengan mengganggu sintesa Mycolid

acid yang berguna untuk membentuk dinding bakteri. Resorbsi dari

obat ini berada di usus dan prosesnya sangat cepat, difusi ke dalam

jaringan, dan cairan tubuh juga baik bahkan bisa menembus jaringan

yang sudah mengeras. Di hati, INH diasetilasi oleh enzim

asetiltranferase menjadi metabolit inaktif. Ekskresi utama INH melalui

ginjal (75-95% dalam 24 jam) dan sebagian besar sebagai

asetilisoniazid.

Efek samping obat yang ditimbulkan pada dosis normal (200-300

mg/hr) jarang ditemukan, namun jika ditemukan efeknya ringan, yaitu

gatal-gatal, ikterus, letih, lemah, dan anoreksia. Pada dosis melebihi

400 mg sering terjadi efek samping utama, yaitu hepatotoksik dan

26
polineuritis. Untuk menghindari efek samping dari INH bisa diberikan

vitamin B6 (piridoksin) dan vitamin B1 (aneurin).

Kecepatan dari proses asetilasi mempengaruhi kadar obat dalam

plasma dan masa paruh, tergantung banyaknya asetiltransferase pada

masing-masing orang. Obat ini membahayakan bila digunakan oleh

penderita gangguan fungsi hati atau ginjal atau usia lebih dari 45 tahun.

Dosis yang diberikan bisa oral atau i.m pada dewasa sehari 1 dd 300-

400 mg atau single dose ditambah dengan rifampisin, diminum pagi

hari sebelum makan atau setelah makan bila terjadi gangguan lambung.

b. Rifampisin

Obat ini merupakan derivat semisintesis dari rifampisin B yang

dihasilkan oleh Steptomyces mediterranei. Memiliki sifat bakterisid

luas terhadap fase pertumbuhan atau pembelahan M. tuberculosis dan

M. leprae baik di intrasel maupun ekstrasel. Rifampisin penting

diberikan karena mencegah kambunya TBC.

Mekanisme kerja dari rifampisin berdasar pada peringan spesifik

dari ezim bakteri RNA-polymerase sehingga sintesa RNA terganggu.

Dengan penggunaan rifampisin penggobatan yang awalnya 2 tahun bisa

dipercepat menjadi 6-12 bulan.

Resorbsi obat ini berada di usus, kemudian didistribusikan ke

jaringan dan cairan tubuh dengan baik termasuk ke CCS. Hal ini dapat

dilihat dari warna jingga atau merah dari air seni, tinja, ludah, keringat,

dan air mata. Waktu paruh di plasma berkisar 1,5 5 jam dan dapat

meningkat bila ada gangguan fungsi hati atau dapat menurun pada

27
pasien yang bersamaan waktu mengguanakn INH. Di hati, rifampisin di

desasetilasi dengan terbentuknya metebolit-metabolit dengan kegiatan

antibakteriil. Ekskresinya khusus melalui empedu, sedangkan diginjal

secara fakultatif.

Efek samping obat dari rifampisin adalah ikterus, gangguan saluran

cerna seperti mual, muntah, sakit ulu hati, kejang perut, diare, dan

gejala gangguan SSP, serta reaksi hipersensitivitas. Rifampisin juga

mempercepat perombakan obat-obat lain bila diberikan bersamaan

waktu dengan jalan induksi enzim dalam hati, misalnya obat

antikogulansi. Obat ini dapat diberikan pada wanita hamil, namun

pemberian pada minggu-minggu akhir tidak dianjurkan karena dapat

menimbulkan pendarahan postnatal. Untuk pencegahan efek

sampingnya dapat diberikan vitamin K (fitomenadion).

Dosis oral 1 dd 450-600 mg sekaligus pagi hari sebelum makan

karena kecepatan dan kadar resorbsi dihambat oleh lambung.

c. Pirazinamid

Obat ini merupakan analog pirazin dari narkotinamida. Bersifat

bakterisid atau bakteriostatis tergantung pada pH dan kadarnya dalam

darah.

Mekanisme kerjanya berdasar pada pengubahannya menjadi asam

pirazinat oleh enzim pyrazinamidase yang berasal dari basil TBC. Obat

28
ini khusus digunakan pada fase intensif dan pada fase pemiliharaan

apabila terdapat multiresistensi.

Resorbsi pirazinamid cepat dan hampir sempurna. Kadar maksimal

dalam plasma dapat dicapai dalam waktu 1-2 jam dan waktu paruh

plasmanya 9-10 jam. Distribusi ke jaringan dan cairan serebrospinal

baik. Pirazinamid lebih dari 70% diekskresikan lewat urin, sebagian

utuh, dan sebagian besar sebagai produk hidrolisanya yakni asam

pirazinat.

Efek samping obat pirazinamid adalah kerusakan hati dengan ikterus

karena hepatotoksik, hiperurisemia, gout, gangguan lambung dan usus,

fotosensibilitasi dengan reaksi kulit, artalgia, demam, malaise, anemia,

dan hipoglikemia.

Dosis oral 1 dd 30 mg/kg selama 2-4 bulan, maksimal 2 gr/hr.

d. Etambutol

Etambutol merupakan derivat etilendiamin yang bersifat spesifik

terhadap M. tuberculosis dan M. apitis. Memiliki sifat bakteriostatis

sama seperti INH.

Mekanisme kerjanya dengan menghambat sintesa RNA pada kuman

yang sedang membelah dan menghindari terbentuknya mycolid pada

dinding sel. Etembutol memiliki resorbsi baik (75-80%) dan mudah

masuk eritrosit yang berfungsi sebagai depot dan nantinya akan

dilepaskan kembali ke plasma, namun etambutol buruk jika penetrasi ke

CCS. Waktu paruh plasmanya 3-4 jam dan meningkat 8 jam pada

29
orang dengan gangguan ginjal. Ekskresi 80% berada di ginjal, separuh

dalam bentuk utuh, 15% sebagai metabolit non-aktif.

Efek samping obat etambutol adalah neuritis optica dan

hiperurisemia. Obat ini tidak dianjurkan untuk anak-anak karena

memungkinkan gangguan pengelihatan (visus) yang susah di deteksi.

Dosis oral 20-25 mg/kg/hr.

e. Steptomisin

Streptomisin merupakan aminoglikosida dari Sterptomices griseus.

Memiliki sifat bakterisid terhadap baktri gram positif dan negatif. Obat

ini khusus aktif terhadap mycobakterium ekstraseluler yang sedang

aktif membelah dan pesat.

Mekanisme kerjanya melalui penghambatan sintesa protein kuman

dengan jalan pengikatan pada RNA ribosomal. Streptomisin ini toksik

terhadap organ pendengaran dan keseimbangan dan tidak dianjurkan

untuk digunakan dalam jangka waktu yang panjang karena efek

neurotoksik terhadap saraf kranial ke-8 sehingga dapat menimbulkan

ketulian permanen.

Streptomisin memiliki resorbsi diusus buruk sehingga diberikan

lewat injeksi i.m dengan dosis 1 dd 0,5-1 mg tergantung usia dan

maksimum pemberian 2 bulan.

C. Farmakologi Obat Pernapasan Lain

1. Antihistamin

Histamin merupakan salah satu faktor yang menimbulkan kelainan akut

dan kronis. Antihistamin merupakan inhibitor kompetitif terhadap

30
histamin. Antihistamin dan histamin berlomba menempati reseptor yang

sama. Blokade reseptor oleh antagonis H1 menghambat terikatnya

histamin pada reseptor sehingga menghambat dampak akibat histamin,

misalnya kontraksi otot polos, peningkatan permeabilitas pembuluh darah,

dan vasodilatasi pembuluh darah. Antihistamin digolongkan menjadi anti

histamin penghambat reseptor H1, penghambat reseptor H2, dan

penghambat reseptor H3 (Pohan, 2007). Antihistamin secara khusus, yaitu

(FKUI, 2012):

a. Mekanisme kerja: AH1 menghambat efek histamin pada otot polos

bronkus sehingga bronkokonstriksi dapat dihambat. AH1 juga dapat

berperan sebagai antikolinergik. Obat memberikan efek setelah 15-30

menit. AH2 bekerja menghambat sekresi asam lambung (FKUI, 2012).

b. Indikasi: pengobatan simtomatik

c. Efek Samping Obat (FKUI, 2012)

Antihistamin H1, yaitu:

1) Alergi: fotosentivitas, shock anafilaksis, ruam, dan dermatitis.

2) Kardiovaskular: hipotensi postural, refleks takikardia, dan palpitasi.

3) SSP : sedasi, pusing, gangguan koordinasi, dan bingung.

4) Gastrointestinal: rasa pahit, muntah, dan mual.

5) Genitourinari: disuria.

6) Respiratori: dada sesak, mulut kering, dan epitaksis.

Antihistamin penghambat reseptor H2 dan penghambat reseptor H3,

yaitu:

1) Alergi: fotosentivitas, shocks anafilaksis, ruam, dan dermatitis.

31
2) SSP : sedasi, mengantuk, dan sakit kepala.

3) Respiratori: mulut kering.

4) Gastrointestinal: nausea dan abdominal distress.

d. Dosis : klorfeniramin 4-8 mg setiap 4-6 jam per oral, loratadin 10

mg/hari, prometazin 10-25 mg/4-6 jam.

e. Contoh Obat

1) AH1 generasi I: klorfeniramin, prometazin, dimenhidrinat,

karbinoksamin, dan siklizin.

2) AH1 generasi II: loratadin, setirizin, dan astemizol.

2. Antitusif

a. Definisi

Obat batuk untuk batuk kering (batuk non produktif) sering disebut

dengan antitusif. Antitusif adalah senyawa yang bekerja dengan

menekan pusat batuk, digunakan juga untuk batuk akibat teriritasi.

Jangan gunakan obat batuk jenis ekspektoran yang berfungsi

mengeluarkan dahak untuk mengobati batuk kering karena hal ini justru

dapat menimbulkan batuk berdarah pada penderitanya karena dahak

menjadi kental dan susah dikeluarkan. Secara umum berdasarkan

tempat kerja obat antitusif dibagi atas antitusif yang bekerja di perifer

dan antitusif yang bekerja di sentral. Antitusif yang bekerja di sentral

dibagi atas golongan narkotik dan non-narkotik (Roach et al., 2007).

b. Mekanisme Kerja

Obat-obat antitusif ini menghentikan rangsangan batuk, menurunkan

frekuensi dan intensitas dorongan batuk karena refleks batuk ditekan

32
atau dihambat. Cara kerjanya adalah dengan mengurangi sensitifitas

pusat batuk di otak (medulla) terhadap stimulus yang datang (Gutierrez,

2007).

c. Contoh Obat

Menurut Gutierrez (2007), beberapa contoh obat yang termasuk

antitusif adalah:

1) Codein 6) Carbetapentane

2) Dekstrometorfan 7) Caramiphen

3) Noskapin 8) Chlorphedian

4) Prometazin 9) Benzonatate

5) Difenhidramin

d. Farmakokinetik

Obat ini akan dikonsumsi peroral kemudian diabsorpsi melalui

mukosa gastrointestinalis. Setelah itu obat akan berdifusi dan

didistribusikan ke seluruh tubuh terutama di area respiratori oleh

peredaran darah. Obat akan dimetabolisme di liver (hepar) untuk

kemudian diekskresikan secara primer melalui renal (Gutierrez, 2007).

e. Farmakodinamik

Golongan obat ini bekerja sentral pada susunan saraf pusat dengan

cara menekan rangsangan batuk dan menaikkan ambang rangsang

batuk. Dekstrometorfan berbeda dengan l-isomernya, tidak berefek

analgetik atau bersifat adiktif. Zat ini kekuatannya kira-kira sama

dengan kodein, tetapi dekstrometorfan jarang menimbulkan kantuk atau

gangguan saluran cerna. Dalam dosis terapi dekstrometorfan tidak

33
menghambat aktivitas silia bronkus dan efek antitusifnya berjalan 5-6

jam (Nafrialdi, 2007).

f. Efek Samping Obat

Menurut Gutstein et al (2001), beberapa efek samping dari antitusif

adalah:

1) depresi napas 5) rasa kantuk

2) mual 6) menurunkan peristaltis, sehingga

3) muntah menimbulkan konstipasi

4) pusing

34
g. Kontra Indikasi

Kontra indikasi bagi obat ekspektoran menurut Gutstein (2001)

antara lain sebagai berikut:

1) Asma. Untuk penderita asma, penggunaan antitusif tidak disarankan

jika tidak benar-benar diperlukan karena dapat menimbulkan sesak

sementara batuk sendiri diperlukan sebagai suatu refleks dan

mekanisme pertahanan tubuh untuk mengeluarkan benda asing

2) Ibu Hamil

3) Batuk Produktif

4) Gangguan Fungsi Hati

h. Sediaan

Menurut Nafrialdi (2007) beberapa sediaan dan dosis yang dapat

diterapkan bagi obat antitusif adalah:

1) Dekstrometorfan tersedia dalam bentuk tablet 10 mg dan sebagai

sirup dengan kadar 10 mg dan 15 mg/5mL. Dosis dewasa 10-30 mg

diberikan 3-4 kali sehari.

2) Noskapin diberikan 3-4 kali 15-30 mg sehari. Dosis tunggal 60 mg

pernah digunakan untuk batuk paroksismal

3) Difenhidramin diberikan dengan dosis yang dianjurkan sebagai obat

batuk ialah 25 mg setiap 4 jam tidak melebihi 100 mg/hari untuk

dewasa. Dosis untuk anak berumur 6-12 tahun ialah 12,5 mg setiap 4

jam dan tidak melebihi 50 mg/hari, sedangkan untuk anak 2-5 tahun

ialah 6,25 mg setiap 4 jam dan tidak melebihi 25 mg/hari.

Anda mungkin juga menyukai