Anda di halaman 1dari 112

DATA TEKNIS 4

URAIAN PENDEKATAN, METODOLOGI


DAN PROGRAM KERJA

A. PENDEKATAN TEKNIS DAN METODOLOGI


A.1. TUJUAN KEGIATAN
Dalam merumuskan kegiatan, selain identifikasi masalah,
sangat perlu menetapkan tujuan Masterplan Rumah Sakit Umum
Daerah Srengat di Kabupaten Blitar ini, yang meliputi:
1. Salah satu strategi pembangunan kesehatan nasional untuk
mewujudkan Indonesia. Untuk mengkaji berbagai aspek, mulai
aspek regulasi, pangsa sasaran/kelompok masyarakat calon
pengguna jasa perawatan rumah sakit, pelayanan dan teknologi
yang perlu disediakan, aspek ekonomi keuangan, aspek
lingkungan yang berkaitan dengan rencana pengembangan dan
pembangunan rumah sakit, hingga lokasi yang layak dikembangkan
menjadi rumah sakit yang berkaitan dengan pendirian Rumah
Sakit Umum Daerah Srengat;
2. Untuk menetapkan tahapan pembangunan yang
diproyeksikan sebelumnya.

A.2. LINGKUP PEMBAHASAN DAN JASA KONSULTANSI YANG


DIPERLUKAN
Masterplan merupakan pemindai keadaan eksternal maupun
internal yang menunjukkan seberapa baik kondisi di luar dan seberapa
siap potensi yang ada di dalam untuk dikelola, terhadap rencana
Pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah Srengat tipe C Kabupaten
Blitar.
Hasil pemindaian tersebut didasarkan atas analisis data serta
asumsi yang bisa dipertanggungjawabkan. Hasil Masterplan diharapkan
bisa menjadi dasar pengambilan keputusan terhadap Pembangunan
Rumah Sakit Umum Daerah Srengat tipe C Kabupaten Blitar.
Adapun beberapa aspek yang menjadi lingkup pembahasan pada
Masterplan ini meliputi:
1. Pendahuluan;
2. Tinjauan Lokasi Obyek Studi;
3. Evaluasi Masterplan sebelumnya;
4. Konsep Perancangan; dan
5. Rencana Pentahapan.

A.3. METODOLOGI MASTERPLAN


Masterplan ini bersifat induktif, yaitu obyek studi akan menjadi
pangkal pengetahuan bagi suatu bangunan pengetahuan yang akan
dibangun, dengan kata lain konsultan akan menarik kesimpulan dari hasil
studi yang akan dilakukan. Pada studi ini menggunakan metodologi
Grounded Theory, yaitu penelitian berdasarkan sebuah teori untuk
mencari atau memunculkan sebuah teori dengan pendekatan
fenomenologi. Studi ini tergolong Studi Kualitatif yang dimulai dengan
pengumpulan informasi lapangan dengan dan/atau kerangka yang
terstruktur. Berdasarkan informasi yang diperoleh sesuai kaidah studi
kualitatif, konsultan kemudian menyimpulkan suatu teori yang dapat
menjelaskan atau memberikan pemahaman atas fenomena yang terjadi
di lapangan (theory after). Oleh karena itu, studi kualitatif ini disebut
juga sebagai pendekatan induktif.
Metode yang dipakai pada studi ini adalah studi kasus untuk
mendapatkan informasi yang spesifik mengenai obyek yang diteliti. Jenis
penjelasan studi yang dipakai adalah deskriptif, yaitu menggambarkan
keadaan, perilaku dan peristiwa apa saja yang terjadi di dalam setting.
Pada proses studi ini, konsultan tidak mengontrol sampel yang terdapat di
lapangan, melainkan mengobservasi setting yang sudah ada. Metode ini
juga dipadukan dengan cara observasi yang menggunakan recording
device secara mapping.

A.3.1. Lokasi Masterplan


Kecamatan Srengat Kabupaten Blitar.

A.3.2. Fokus Studi


Studi ini difokuskan pada analisis aspek-aspek kelayakan
pendirian sebuah Rumah Sakit, berdasarkan paradigma legalitas,
environmental, behavioral, teknikal hingga finansial.
A.3.3. Waktu Studi
Penetapan waktu studi dilakukan dengan tujuan hasil Masterplan
yang terarah dan sesuai dengan data yang dibutuhkan. Studi dilakukan
selama 120 (seratus dua puluh) hari. Masa kompilasi data dilakukan
selama kurang lebih 3 (tiga) minggu.
Durasi studi untuk pengamatan dilakukan pada hari aktif, yaitu
Hari Senin hingga Sabtu, juga pada hari Minggu dan Hari Libur Nasional
untuk melihat animo masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan
sarana-prasarananya.

A.3.4. Unit Amatan dan Unit Analisis Studi


Unit amatan penelitian ini adalah hasil amatan pada saat grand
touring, atau observasi awal. Kemudian dari unit amatan akan
didapatkan unit informasi, yaitu unit-unit dari unit amatan yang
memungkinkan untuk dijadikan objek analisis atau focusing. Dari unit
informasi dapat mengerucut menjadi unit analisis. Baik Unit Amatan
maupun Unit Analisis meliputi Lingkungan Fisik, Lingkungan non-Fisik, dan
Pelaku.
Penentuan pelaku ini dilakukan dengan menggunakan accidental
sampling yang termasuk dalam Non Probability Sampling. Accidental
Sampling ini adalah teknik pengambilan sampel sumber data yang
ditemui pada saat grand touring (observasi awal) dengan pertimbangan
tertentu untuk dijadikan sampel.
Obyek pengamatan atau pelaku yang diamati berjumlah minimal
100 orang. Pelaku akan diambil dari seluruh Kecamatan di Kabupaten
Blitar, dengan variabilitas latar belakang pendidikan, pekerjaan, usia,
jenis kelamin yang beragam.

A.3.5. Tahapan Studi


Studi ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu Tahap Persiapan, Tahap
Pengumpulan Data, dan Tahap Analisis Data.
A.3.5.1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan dalam studi ini meliputi perijinan dan survey
awal obyek penelitian. Setelah melalui survey dan perijinan obyek
penelitian ditetapkan pada wilayah Kabupaten Blitar.
A.3.5.2. Tahap Pengumpulan Data
A. Kebutuhan Data
1. Dokumen:
a. Masterplan Fisik RSUD Srengat Kabupaten Blitar (TA
sebelumnya)
b. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Blitar
c. Proposal Usulan Rumah Sakit Umum Daerah Srengatdari
Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar
d. Profil Kesehatan Kabupaten Blitar 2009-2013
e. Kabupaten Blitar dalam Angka 2009-2013
f. Pustaka terkait
2. Observasi
3. Wawancara terstruktur
B. Metode Pengumpulan
Metode pengumpulan data pada penelitian adalah observasi dan
wawancara terstruktur-tidak terstruktur. Pengumpulan data ini
juga untuk menemukan unit amatan hingga unit analisis
penelitian.
1. Observasi
Tahapan observasi ini dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Observasi Awal (grand touring) meliputi observasi
lingkungan dan kriteria sampel pengamatan. Observasi ini
dilakukan untuk mengetahui kondisi fisik unit amatan
penelitian serta dasar pemilihan sampel. Observasi ini
dilakukan secara secret outsider juga dengan menggali
sedikit informasi dari masyarakat Kabupaten Blitar. Dari
observasi ini didapatkan unit amatan penelitian kemudian
didapatkan unit informasi dan dengan unit informasi tersebut
muncul unit analisis.
b. Observasi Lingkungan dengan mengumpulkan data-data
terkait dengan kondisi setting penelitian. Observasi ini
dilakukan dengan didampingi pihak Pejabat Pembuat
Komitmen yang bertujuan untuk kejelasan lingkungan atau
area mana saja yang disediakan untuk dijadikan area studi.
Observasi ini juga dibantu dengan adanya physical map dan
cognitive map dari lingkungan fisik tersebut.
c. Observasi Perilaku untuk mengidentifikasikan perilaku yang
muncul pada saat menggunakan fasilitas kesehatan
sekaligus kriterianya. Observasi ini dilakukan secara secret
outsider dengan menggunakan map dari wilayah Kabupaten
Blitar.
Observasi dilakukan pada lokasi penelitian untuk mengetahui
kondisi eksisting dan pengaruhnya terhadap perilaku penunggu
pasien operasi. Metode yang dipakai untuk observasi ini yaitu
dengan recording atau perekaman menggunakan behavior
mapping.
a. Metode recording behavior mapping yaitu place centered
map. Place centered map yaitu dengan membuat sketsa
awal lokasi atau menggunakan denah yang ada kemudian
menentukan titik lokasi pengamatan ataupun alur yang
ditempuh konsultan. Metode ini dilakukan dengan konsultan
memposisikan diri sebagai secret outsider dan marginal
participant. Secret outsider, kehadiran peneliti tidak disadari
oleh sampel yang diteliti. Hal ini untuk mengetahui perilaku
pengguna ruang tunggu secara alami. Bentuk secret
outsider ini dilakukan dengan meletakkan kamera
tersembunyi (jika memungkinkan) atau konsultan hanya
berkeliling di wilayah studi dengan mencatat perilaku
dengan sketsa yang dibuat untuk metode place centered
map. Sedangkan untuk marginal participant, konsultan
berperan sebagai bagian dari masyarakat Kabupaten Blitar.
b. Metode recording behavior mapping yaitu person centered
map. Person centered map juga digunakan pada saat
observasi. Penggunaan metode ini bertujuan untuk
mengetahui pola perilaku masyarakat Blitar. Metode ini
dilakukan dengan cara mengamati sampel yang dipilih
secara random, kemudian mengamati pola pergerakan dan
perilaku sampel. Konsultan mengikuti dan mengamati pola
pergerakan yang dilakukan masyarakat ke manapun. Dalam
kondisi ini, konsultan memposisikan diri sebagi secret
outsider.
c. Foto
Foto digunakan untuk merekam data visual yang berkaitan
dengan kondisi eksisting unit amatan dan unit analisis serta
merekam data visual aktivitas masyarakat Kabupaten Blitar
pada saat menggunakan fasilitas kesehatan yang ada.
d. Video
Perilaku yang muncul pada saat pengamatan direkam
dengan video yang diambil tanpa sepengetahuan obyek
pengamatan.
2. Wawancara terstruktur dan tidak terstruktur
Pada studi ini, konsultan melakukan pendekatan dengan
percakapan informal dan kuesioner yang diisi oleh surveyor.
Hal ini dilakukan agar konsultan dapat lebih mengetahui
karakteristik masyarakat Kabupaten Blitar dalam berinteraksi
dengan fasilitas kesehatan berupa Rumah Sakit atau lainnya.
Wawancara ini dilakukan disaat konsultan berperan sebagai
marginal participant, yaitu pada saat tahap akhir pengamatan.
Sebelumnya dilakukan pengamatan tanpa melibatkan
masyarakat atau konsultan hanya diam, mengamati dan
mencatat perilaku, selanjutnya dilakukan pendekatan pada
masyarakat dengan wawancara ini.

A.3.5.3. Tahap Pengolahan Data


Dari data yang didapatkan berdasarkan observasi awal (grand
touring) di lapangan akan didapatkan unit amatan dan gambaran sampel
yang diamati. Unit amatan pada penelitian ini yaitu lingkungan fisik yang
dimanfaatkan oleh masyarakat Kabupaten Blitar beserta aktivitasnya.
Dari unit amatan tersebut memunculkan sebuah unit informasi, sesuai
dengan aktivitas dan keadaan yang terjadi sebenarnya di lapangan.
Berdasarkan pola-pola unit amatan dan unit informasi tersebut akan
menghasilkan sebuah unit analisis.
A.3.5.4. Tahap Analisis Data
Analisis yang dilakukan dalam studi setelah data-data yang
dibutuhkan oleh Konsultan terkumpul, meliputi:
1. Analisis Kondisi Eksisting lokasi penelitian (setting) yang dipilih.
Analisis ini meliputi aspek-aspek fisik dan non-fisik yang berhubungan
dengan hukum, kondisi geografis, penduduk, tenaga kerja,
pendidikan, kesehatan, sosial-budaya, pertanian, industri,
perdagangan, perhubungan, dan ekonomi masyarakat.
2. Analisis Pola Perilaku sebagai hasil dari interaksi dengan setting.
Perilaku masyarakat berbeda-beda, perbedaan perilaku yang terjadi
pada setting tersebut dianalisis dengan menggunakan kriteria
behavior setting antara lain pelaku, standing pattern of behavior,
millieu, spatio, synomorphic dan temporal. Behavior setting tersebut
dianalisis dengan menggunakan metode place centered mapping dan
person centered mapping. Place centered mapping digunakan pada
analisis mengenai millieu dan spatio sedangkan person centered
mapping digunakan pada analisis mengenai pelaku, aktivitas,
hubungan antara aktivitas dan tata lingkungannya (millieu) serta
temporal.
Place centered mapping untuk mengetahui bagaimana individu
atau sekelompok individu menggunakan, memanfaatkan atau
mengakomodasi perilakunya pada situasi tempat dan waktu tertentu.
Hal ini dilakukan dengan membuat sketsa dari setting yang diamati
dengan menggambarkan elemen fisik apa saja yang ada pada setting.
Elemen fisik yang ada yang berpengaruh pada aktivitas penggunanya
yaitu tempat duduk, pembatas ruang seperti dinding, pagar, kaca
serta lantai. Dari hasil place centered mapping ini kemudian
dianalisis mengenai millieu dan spationya.
Person centered mapping ini tidak jauh berbeda dengan proses
place centered mapping. Dibuat sketsa awal dari setting yang diamati
kemudian dilakukan pemetaan dengan pengkodean tiap pelaku dan
alurnya. Dari data person centered mapping tersebut dianalisis
mengenai Sumber Daya Manusia, Pemasaran, Tata Bangunan dan
Lingkungan.
A.3.6. Instrumen Studi
Instrumen Masterplan Rumah Sakit Umum Daerah Srengattipe B
Kabupaten Blitar ini adalah sebagai berikut :
1. Pejabat Pembuat Komitmen, yang berperan besar mulai dari pemilihan
topik, hingga output yang diharapkan dari studi ini.
2. Konsultan, yang melaksanakan pekerjaan, mulai dari pengumpulan data,
analisis dan interpretasi hingga mewujudkan rekomendasi dan
proyeksi studi.
3. Masyarakat, yang menjadi obyek pengamatan dari Konsultan untuk
mengidentifikasi perilaku, yang akhirnya dianalisis menjadi aspek-
aspek penunjang kelayakan Rumah Sakit.

A.4. URAIAN DETIL MENGENAI KELUARAN


Rumah Sakit yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan yang
ada, kini telah banyak tersedia. Disamping milik pemerintah kini telah
banyak pula fasilitas pelayanan kesehatan yang didirikan oleh pihak
swasta, mulai dari balai pengobatan hingga rumah sakit berskala
internasional. Jumlah kunjungan pasien ke berbagai fasilitas tersebut
juga menunjukkan kecenderungan yang positif. Ini mengindikasikan
bahwa kesadaran masyarakat terhadap kesehatan dan pelayanan medis
makin meningkat. Kesehatan menjadi suatu hal yang penting untuk
diperhatikan, karena merupakan modal dasar bagi suatu bangsa untuk
maju dan berkembang. Hal ini sudah menjadi perhatian pemerintah
Indonesia, yang tercermin dalam visi Indonesia Sehat 2020. Untuk
mendukung visi tersebut, tiap propinsi dan Kabupaten/kota
mengembangkan strateginya masing-masing dengan target-target
tertentu yang diharapkan dapat menjadi titik awal tercapainya visi
tersebut.
Meskipun demikian, perlu disadari bahwa ada keterbatasan
sumber daya yang dimiliki dalam berbagai upaya pengembangan
tersebut, antara lain :
a. Fasilitas infrastruktur baik pembangunan jalan maupun sarana
komunikasi dan telekomunikasi;
b. Fasilitas transportasi dan akomodasi;
c. Kemudahan perijinan lokasi;
d. Kuantitas dan kualitas sumber daya manusia;
e. Ketersediaan dana.
Pengembangan pelayanan kesehatan sangat terkait dan
dipengaruhi oleh berbagai aspek baik demografi, pertumbuhan ekonomi,
tingkat pendidikan, serta perkembangan lingkungan fisik dan biologi
khususnya epidemiologi penyakit. Dari sisi demografi, saat ini
kecenderungan yang tampak adalah bergesernya piramida penduduk dari
muda ke dewasa dan tua. Ini menunjukkan bahwa angka kelahiran
semakin menurun dan angka harapan hidup yang semakin meningkat.
Sementara itu, gaya hidup masyarakat cenderung makin konsumtif.
Meskipun krisis multi dimensi menyebabkan keterpurukan ekonomi
masyarakat, di sisi lain cukup banyak kelompok masyarakat
berpenghasilan tinggi dan dapat meneruskan pola hidup konsumtif.
Dengan gaya hidup tidak seimbang, mengakibatkan dari segi
epidemiologi terjadi pergeseran pola penyakit. Meskipun angka kejadian
penyakit infeksi sebagai tipikal penyakit di negara tropis masih tinggi,
namun kini sudah banyak masyarakat yang menderita penyakit-penyakit
tipikal negara industri dan maju. Pergeseran ini tentunya akan sangat
berpengaruh pada penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, teknologi
kedokteran yang harus dikuasai dan disediakan serta kecukupan tenaga
kesehatan terlatih. Faktor mutu dan manajemen pelayanan kesehatan
khususnya rumah sakit turut memegang peran penting dalam
penyediaan layanan kesehatan yang berkualitas. Kedua faktor tersebut
sangat dipengaruhi oleh jumlah dan jenis tenaga kesehatan, anggaran
dana, obat, dan sistem pelayanan kesehatan secara makro. Salah satu
fasilitas pelayanan kesehatan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat
adalah rumah sakit. Ini terlihat dari makin meningkatnya utilisasi fasilitas
di rumah sakit dari tahun ke tahun.
Kondisi tersebut diatas menjadi semakin komplek akibat pengaruh
faktor utama yaitu kemiskinan masyarakat. Secara nyata masyarakat
miskin berada pada status kesehatan terendah. Angka kesakitan dan
kematian karena penyakit menular atau infeksi masih tinggi serta dilain
pihak angka kesakitan akibat penyakit degeneratif sudah mulai
meningkat. Dari kenyataan tersebut, penting kiranya Pemerintah
Kabupaten Blitar berperan serta terhadap peningkatan kesehatan
masyarakat melalui upaya:
1. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan
2. Mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat
3. Memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu,
merata dan terjangkau.
Dengan berbagai perubahan kondisi demografis, pola penyakit
dan perkembangan teknologi, diperlukan suatu perencanaan rumah sakit
yang benar-benar berbasis pada kondisi lingkungan yang dihadapi. Hal
ini penting untuk menghindari suatu investasi yang sia-sia karena
berbeda dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini
perlu dilakukan suatu studi khusus untuk meneliti perubahan lingkungan
tersebut, dalam rangka mengantisipasi berbagai kemungkinan yang akan
terjadi. Dan kegiatan/pekerjaan kali ini pun merupakan cerminan dari
prinsip-prinsip tersebut. Sehingga Masterplan pun akhirnya menjadi
pijakan awal alternatif solusi dari permasalahan yang ada.
Hasil pekerjaan yang diharapkan dalam pekerjaan Masterplan
Pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah SrengatKabupaten Blitar,
meliputi:
1. Informasi kelayakan awal pembangunan dan latar belakang kegiatan.
2. Kajian analisis dalam rangka menentukan kelayakan (kuantitas)
seberapa besar kemungkinan dibangunnya Rumah Sakit Umum Daerah
Kabupaten Blitar.
Adapun tinjauan aspek yang menjadi tolok ukur kelayakan
didirikannya sebuah Rumah Sakit, adalah seperti yang telah disebutkan
pada sub-bab Lingkup Pembahasan dan Jasa Konsultansi yang diperlukan.
Dan penjabarannya adalah seperti dijelaskan di bawah ini.

A.4.1. Tinjauan Obyek Studi


A.4.1.1. Kondisi Geografis
Studi ini dilakukan dengan mengambil lokasi di seluruh
kecamatan di Kabupaten Blitar. Kondisi topografi terdiri dari dataran
rendah dan pegunungan yang dilalui aliran Sungai Brantas yang
membelah dari Selatan ke Utara. Pada tahun 2008, tingkat curah hujan
rata-rata sekitar 20,31 mm per hari.
Secara keseluruhan luas wilayah Kabupaten Blitar sekitar 138.605
hektar, terdiri dari lahan sawah 47.320 hektar, lahan non-sawah 91.285
hektar.
A.4.1.2. Pemerintahan
Data ini dipergunakan untuk mengidentifikasi posisi Rumah Sakit
Umum Daerah Srengatdalam struktur organisasi pemerintahan di
Kabupaten Blitar. Bisa juga dipergunakan untuk memperkirakan dispersi
pelayanan kesehatan yang dapat dicapai oleh Rumah Sakit.
A.4.1.3. Penduduk
Data ini dipergunakan untuk memproyeksikan jumlah sarana dan
prasarana yang harus disediakan oleh Rumah Sakit Umum Daerah
Srengatdalam kurun waktu tertentu.
A.4.1.4. Tenaga Kerja
Data ini dipergunakan untuk mengidentifikasi potensi Sumber
Daya Manusia yang dimiliki oleh Kabupaten Blitar. Sehingga dalam
perencanaan kuantitatif maupun kualitatif, data tersebut membantu
proyeksi tenaga kerja pada Rumah Sakit Umum Daerah Hadji Srengat.
A.4.1.5. Pendidikan
Data ini dipergunakan untuk menganalisis tingkat pendidikan
masyarakat, sehingga menentukan jenis-jenis kegiatan atau program
kesehatan yang dapat diupayakan oleh Rumah Sakit Umum Daerah Hadji
Srengat. Berkaitan pula dengan Analisa Pasar dan Pemasaran yang akan
dianalisis.
A.4.1.6. Kesehatan
Data ini dipergunakan untuk mengidentifikasi jumlah Tenaga
Kesehatan yang berada di Kabupaten Blitar. Disamping itu, Analisis
SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) yang berkaitan dengan
kunjungan pasien juga memerlukan data seperti tersebut diatas.
A.4.1.7. Sosial
Data ini dipergunakan untuk menentukan program dan pengguna
fasilitas kesehatan di Kabupaten Blitar. Hal tersebut sangat erat
kaitannya dengan Aspek Pasar dan Pemasaran.
A.4.1.8. Perdagangan
Data ini dipergunakan untuk menentukan alternatif peluang
kerjasama yang mungkin dapat ditawarkan dengan menggunakan sistem
health insurance dengan beberapa perusahaan di Kabupaten Blitar.
A.4.1.9. Perhubungan
Data ini dipergunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan
prasarana fisik, terkait dengan lahan parkir; serta analisa aksesibilitas
untuk kendaraan bermotor, khususnya mobil.
A.4.1.10. Keuangan Daerah
Data ini dipergunakan untuk menilai aspek kelayakan investasi,
dalam kaitannya dengan Pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah Hadji
Srengat.

A.4.2. Aspek Regulasi


A.4.2.1. Landasan Hukum
Selain beberapa landasan hukum seperti yang telah disebutkan
dalam KAK, maka diperlukan beberapa landasan yang bersifat perijinan
yang harus dipenuhi oleh Rumah Sakit Umum Daerah Hadji Srengat.
Perijinan yang harus dilengkapi adalah :
a. Ijin Gangguan atau HO
b. Ijin Mendirikan Rumah Sakit
1. Ijin mendirikan rumah sakit diterbitkan oleh Kanwil Departemen
Kesehatan Propinsi Jawa Timur. Lama berlakunya ijin 2 (dua)
tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali dengan lama berlaku 1
(satu) tahun.
2. Permohonan izin diajukan oleh calon pemilik rumah sakit dan
ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan
Provinsi Jawa Timur dengan tembusan disampaikan kepada Dinas
Kesehatan Kabupaten Blitar dan Direktorat Jenderal Pelayanan
Medik.
3. Berkas atau data-data yang harus dilampirkan dalam pengajuan
permohonan ijin mendirikan rumah sakit adalah :
a) Rekomendasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten setempat.
b) Masterplan dan Master Plan yang meliputi :
Analisis kebutuhan pelayanan dan rencana
pengembangan;
Analisis keuangan;
Program fungsi;
Kebutuhan ruang;
Kebutuhan peralatan;
Kebutuhan tenaga dan rencana mendapatkannya;
Rencana kelas rumah sakit.
c) Salinan atau fotokopi yang sah dari akte notaris pendirian
yayasan atau badan hukum pemohon.
d) Salinan atau fotokopi yang sah sertifikat tanah atau surat
penunjukkan penggunaan lokasi atas nama pemohon dari
instansi yang berwenang atau akte notaris penggunaan tanah
dan bangunan di atasnya dari pemilik.
e) Izin lokasi dari Pemerintah Daerah atau Pemerintah Kabupaten
Blitar.
f) Surat pernyataan di atas kertas bermaterai cukup dari
pemohon bahwa pemohon akan tunduk serta patuh pada
peraturan perundang- undangan yang berlaku dalam bidang
penyelenggaraan rumah sakit.
g) Upaya pemantauan atau pengelolaan limbah sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
4. Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Provinsi setempat
berdasarkan analisis kebutuhan pelayanan kesehatan di
wilayahnya, harus sudah menetapkan permohonan tersebut
ditolak atau dikabulkan paling lambat 25 (dua puluh lima) hari
kerja setelah diterimanya surat permohonan dari calon pemilik
rumah sakit, yang ditembuskan kepada Direktur Jenderal
Pelayanan Medik.
5. Rumah sakit harus mulai dibangun, selambat-Iambatnya 1 (satu)
tahun setelah izin mendirikan diterima.
6. Apabila sebelum habis masa berlakunya izin, rumah sakit telah
memenuhi persyaratan untuk dapat melaksanakan kegiatannya,
maka pemilik rumah sakit dapat mengajukan permohonan izin
menyelenggarakan rumah sakit kepada Direktur Jenderal
Pelayanan Medik disertai hasil berita acara pemeriksaan dari
Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Propinsi setempat.
c. Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). IMB dikeluarkan oleh Pemerintah
Kabupaten Blitar.
d. Ijin Menyelenggarakan Rumah Sakit
1. Ijin ini diberikan untuk menyelenggarakan (operasional) rumah
sakit selama rumah sakit dapat melaksanakan kegiatannya dan
memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
2. ljin diajukan kepada Direktur Jenderal Pelayanan Medik oleh
pemohon setelah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a) Telah selesainya bangunan rawat jalan, rawat inap, rawat
darurat, kamar operasi, ruang laboratorium, ruang farmasi,
ruang radiologi dan ruang perkantoran yang sesuai dengan
kelas dan persyaratan bangunan rumah sakit;
b) Telah adanya Direktur rumah sakit yang penuh waktu, tenaga
medis, paramedis dan non medis sesuai dengan kelas dan
persyaratan ketenagaan rumah sakit;
c) Telah adanya peralatan dan perlengkapan medik untuk rawat
jalan, rawat inap, gawat darurat dan kamar operasi,
laboratorium, farmasi dan perkantoran sesuai dengan kelas
dan persyaratan rumah sakit.
3. Ijin menyelenggarakan rumah sakit diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Pelayanan Medik berdasarkan hasil berita acara
pemeriksaan dari Dinas Kesehatan Propinsi setempat bahwa
rumah sakit tersebut telah memenuhi persyaratan operasional.
4. Pemberian ijin menyelenggarakan rumah sakit dilakukan secara
bertahap sesuai dengan pemenuhan kelengkapan :
a) Ijin berlaku selama 5 (lima) tahun untuk yang sudah lengkap
(memenuhi semua persyaratan) dan dapat diperpanjang lagi
setiap habis masa berlakunya.
b) Rumah sakit yang harus memenuhi persyaratan minimal
operasional diberi ijin uji coba menyelenggarakan selama 2
(dua) tahun.
A.4.2.2. Kebijakan Daerah
Kebijakan Daerah Kota Blitar dalam hal ini adalah kebijakan yang
berkaitan dengan aspek ketataruangan dan aspek kesehatan.
A.4.2.3. Peran Berbagai Pihak dalam Pembangunan
Rumah Sakit
Peran Ditjen Bina Pelayanan Medik adalah:
1. Membuat kebijakan dan standar, pedoman sarana dan prasarana
kesehatan rujukan;
2. Fasilitasi, Advokasi dan Sosialisasi kepada Dinas Kesehatan Provinsi
dan Kabupaten/Kota.
Peran Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur adalah:
1. Mengkoordinasikan kesinambungan kebijakan oleh pusat dengan
implementasi standar, pedoman bangunan rumah sakit, laboratorium
kesehatan dan sarana kesehatan di daerah;
2. Pemantauan, pengawasan dan pengendalian standar mutu bangunan
rumah sakit laboratorium kesehatan dan sarana kesehatan lainnya di
daerah;
3. Fasilitasi dan koordinasi kepada rumah sakit swasta.
Peran Pemerintah Daerah Kabupaten Blitar adalah:
1. Sebagai regulator dengan tetap menjaga agar pelaksanaan perijinan
dan pelayanan selalu berjalan dengan baik. Pembangunan Rumah
Sakit Umum Daerah Srengatharus dilengkapi dengan:
a. Feasibility Study, Studi AMDAL dan Master Plan serta penyediaan
lahan siap bangun;
b. Sarana penunjang pelayanan rumah sakit/ laboratorium
kesehatan (Iistrik, air, telepon dan lain-lain);
c. Penyediaan sarana dan fasilitas dokter spesialis;
d. Penyiapan ijin pendirian rumah sakit, ijin operasional dan
kelembagaan rumah sakit.
2. Pemenuhan sarana dan peralatan rumah sakit harus sesuai
kebutuhan pelayanan masyarakat setempat;
Penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan rumah sakit antara lain
pelayanan kebersihan (cleaning service) untuk menjamin citra Rumah
Sakit tertib dan bersih.

A.4.3. Kajian Aspek Pasar dan Pemasaran


Kajian aspek pasar dan pemasaran merupakan bagian penting
dari analisis lingkungan eksternal sebagai dasar dalam menetapkan
strategi pengembangan rumah sakit. Analisis aspek pasar dan
pemasaran dilakukan dengan mengevaluasi intensitas persaingan saat ini
dengan gambaran faktor yang mempengaruhi, yaitu aspek pembeli,
pesaing baru, pemasok dan produk pengganti. Hasil analisis memberikan
gambaran posisi rumah sakit dalam konstelasi persaingan jasa pelayanan
kesehatan dan perkembangan ke depan yang menjadi pertimbangan
penting dalam strategi pengembangan dan pemasaran rumah sakit.
Analisis pasar menunjukkan potensi pasar yang menjadi syarat dalam
pengembangan suatu rumah sakit. Kajian tersebut harus dilengkapi
dengan analisis lingkungan internal. Potensi pasar yang didukung
dengan kemampuan internal rumah sakit menjadi alasan strategi
pengembangan atau perluasan. Sebaliknya potensi pasar yang tidak
didukung kemampuan internal menuntut strategi penguatan produk.
Sebagai pelengkap juga disajikan analisis tren berbagai faktor lingkungan
yang mempengaruhi rumah sakit.
A.4.3.1. Kondisi Potensi dan Persaingan Pasar Fasilitas
Kesehatan di Kabupaten Blitar
Potensi pasar atau pangsa pasar pelayanan kesehatan rumah
sakit diperhitungkan dengan memperhatikan jumlah dan komposisi
penduduk serta proyeksi angka kesakitan. Rumah sakit merupakan
pelaksana pelayanan kesehatan perorangan strata kedua yang menjadi
rujukan dari pelayanan kesehatan strata pertama, yaitu Puskesmas,
Perawat dan Dokter Praktek Swasta. Pelayanan yang diberikan lebih
bersifat individu dengan berfokus pada kuratif (pengobatan). RSUD
Srengat merupakan rumah sakit pada tingkat Kabupaten yang
bertanggungjawab pada kesehatan masyarakat Kabupaten Blitar.
Rujukan dari RSUD Srengat adalah RSUD Ulin di Banjarmasin, sebagai
rumah sakit rujukan Propinsi.

Tingkat efektifitas pelayanan rumah sakit dapat dilihat dari


indikator kinerja rumah sakit seperti BOR, TOI dan BTO. Indikator
tersebut mencerminkan efektifitas penyerapan atau penggunaan layanan
kesehatan yang disediakan oleh masyarakat. Gambaran indikator kinerja
selama 5 tahun terakhir akan menunjukkan ada atau tidaknya
peningkatan kinerja rumah sakit.

Gambaran ini juga akan dapat menunjukkan besar atau tidaknya


potensi pasar sekaligus kuatnya porsi pasar (market share) yang diraih
RSUD Srengat. Termasuk keberadaan market loss, jika RSUD Srengat
merupakan provider tunggal RS di Kabupaten Blitar. Jika muncul market
loss di RSUD Srengat, dapat disebabkan oleh faktor kompetitor. Pada
pelayanan rawat jalan kompetitor rumah sakit adalah dokter praktek
swasta, klinik dan pelayanan alternatif serta puskesmas. Kompetitor lain
yang mungkin adalah pelayanan rawat jalan di rumah sakit lain yang
potensial. Analisis konstelasi rujukan menunjukkan potensi pesaing dari
beberapa rumah sakit swasta di Banjarmasin. Kelengkapan dan
kemudahan transportasi menjadi faktor yang mempengaruhi munculnya
rumah sakit lain di luar area geografis sebagai potensial kompetitor.

RSUD Dr. Mardi


Waluyo

RSUD Srengat

Puskesma Dokter
Praktek

GAMBAR 4.2. POLA RUJUKAN

Survei pemasaran nantinya akan dilakukan pada masing-masing


100 responden pasien dan masyarakat Kabupaten Blitar yang diambil
secara purposive selama satu minggu. Berdasarkan survei tersebut,
biasanya faktor yang paling dipertimbangkan adalah kualitas, diikuti
dengan faktor kemudahan transportasi dan biaya. Pada TABEL 4.1. dapat
dilihat beberapa faktor yang biasanya mempengaruhi masyarakat dalam
memilih Rumah Sakit.

TABEL 4.1. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMILIHAN RS


Prosentas
No Faktor
e
Kelengkapan 43,5
Mutu 38,9
Biaya 9,3
Jarak 18,1
Transportasi 7,3
Keahlian Dokter 10,9
Keramahan Perawat 7,3
Sumber: Hasil survey 2010
Akses pelayanan disamping mutu dan kelengkapan terbukti
menjadi faktor penting yang dipertimbangkan masyarakat pengguna.
Oleh karena itu rencana pengembangan RSUD Srengatbila harus
melakukan pemindahan lokasi juga harus memperhatikan aspek
keterjangkauan dari sisi jarak, transportasi dan biaya. Hasil survei
menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat lebih memilih
pengembangan RSUD Srengat dengan syarat pemenuhan kelengkapan
fasilitas, peningkatan mutu dan keramahan pelayanan.
Kemudahan akses yang dicerminkan dengan jarak, tidak adanya
sarana transportasi, keamanan lingkungan sekitar serta belum adanya
fasilitas umum pendukung seperti pasar, warung merupakan alasan
utama keberatan masyarakat. Akses pelayanan kesehatan memegang
kunci tidak hanya karena kemudahan, tetapi mempengaruhi kecepatan
penanganan dan kesembuhan.
A.4.3.2. Faktor Pembeli (Pasien)
Faktor pembeli dalam analisis pemasaran rumah sakit dibedakan
menjadi dua, yaitu pasien sebagai konsumen dan pasien serta
perusahaan asuransi atau mitra perusahaan rumah sakit sebagai
pembayar.
Pasien sebagai pelanggan eksternal utama pelayanan kesehatan
menjadi bagian penting kajian dari aspek intensitas penggunaan
pelayanan kesehatan dan karakteristik pasien. Intensitas penggunaan
ditinjau dari komposisi kunjungan lama dan baru. Proporsi kunjungan
lama dan baru dapat menggambarkan secara tidak langsung
pertumbuhan kebutuhan pelayanan dan kesetiaan pelanggan.
Selain RSUD Srengat, beberapa Puskesmas juga memberikan
pelayanan rawat inap disamping rawat jalan. Puskesmas merupakan
provider pelayanan kesehatan strata I, namun dengan pertimbangan
keterjangkauan lokasi beberapa Puskesmas dapat mengembangkan
pelayanan rawat inap.
Faktor karakteristik pasien penting untuk dikaji karena
menggambarkan kebutuhan pelayanan kesehatan. Analisis karakteristik
pasien ditinjau dari data morbiditas, demografi dan sosio-ekonomi.
Jumlah pasien rawat inap di Puskesmas menunjukkan peningkatan dari
tahun ke tahun. Besarnya kunjungan di Puskesmas menjadi potensi pasar
rujukan bagi RSUD Srengat.
A. Morbiditas dan Mortalitas
Angka kesakitan (morbiditas) pada masyarakat maupun RSUD
Srengatdapat menjadi acuan dalam menganalisis pola kesakitan dan
kebutuhan masyarakat terhadap sarana pelayanan kesehatan rumah
sakit.
Perkembangan gambaran 10 besar penyebab rawat inap dalam
lima tahun terakhir dapat dijadikan indikator. Dominasi penyakit dalam
kasus rawat inap menentukan jenis layanan yang disediakan.
B. Demografi
Secara grafis, kondisi demografis dari tahun ke tahun akan
menunjukkan gambaran populasi dengan dominasi penduduk usia di
segmen tertentu. Gambaran pelanggan menurut usia mempengaruhi
angka kesakitan (morbiditas) yang membutuhkan pelayanan.
Pertumbuhan demografi masyarakat Kabupaten Blitar menunjukkan
pertumbuhan positif. Dengan komposisi demografi yang menonjol pada
pertumbuhan kelompok usia tua Pemerintah dan RSUD perlu
mengantisipasi peningkatan morbiditas penyakit degenerative, seperti
stroke dan decompensasi kordis, sesuai dengan pergeseran penyakit
pada pelayanan rawat inap. Di sisi lain, pertumbuhan usia bayi dan balita
juga tetap meningkat, sehingga morbiditas pada anak yang didominasi
penyakit menular terutama Diare perlu diwaspadai. Dengan kata lain
masyarakat saat ini mengalami masa transisi epidemiologi.
Jika laju pertumbuhan penduduk rata-rata di Kabupaten Blitar
menunjukkan trend meningkat dengan tingkat pertumbuhan yang
relative stabil, maka data ini menunjukkan potensi pasar yang terus
berkembang dan sejalan dengan data peningkatan BOR rumah sakit
meskipun setelah penambahan kapasitas TT.
Jika rasio jenis kelamin dan angka ketergantungan menunjukkan
rasio yang berimbang dan relatif tetap dari tahun ke tahun, maka rasio
jenis kelamin dan angka ketergantungan secara tidak langsung akan
mempengaruhi status sosial ekonomi masyarakat. Angka
ketergantungan yang tinggi menunjukkan beban perekonomian yang
tinggi pada keluarga, terutama pada keluarga dengan budaya keluarga
batih yang kuat seperti di Indonesia. Lansia dan anak-anak menjadi
tanggungjawab kelompok usia produktif, yang pada saat yang sama juga
mengalami peningkatan kebutuhan. Angka ketergantungan yang cukup
seimbang menunjukkan beban ekonomi yang tidak terlalu besar. Tetapi
sejalan dengan pertumbuhan penduduk kelompok lanjut usia, Pemerintah
perlu mengantisipasi dengan skema jaminan sosial dan kesehatan bagi
kelompok lanjut usia. Skema jaminan sosial ini perlu disiapkan
mengingat lansia mengalami peningkatan resiko gangguan kesehatan
bersamaan dengan penurunan kemampuan ekonomi, dan tidak semua
lansia memiliki tunjangan pensiun atau hari tua.
C. Sosio-ekonomi
Segmentasi pasar merupakan informasi yang penting sebagai
dasar pengembangan dan fokus pelayanan. Segmentasi pasar dikaji
dengan melihat tingkat pendapatan pelanggan, dan lapangan pekerjaan.
Berdasarkan gambaran pendapatan dan kelompok pekerjaan akan
dapat disimpulkan pelanggan RSUD Srengat sebagian besar berada pada
status sosial ekonomi tertentu. Meskipun demikian, dapat juga dilihat
potensi untuk meraih dominasi pangsa pasar lainnya.
D. Kebutuhan Pelayanan berdasarkan Demografi,
Sosioekonomi dan Morbiditas
Gambaran kondisi demografi, sosio-ekonomi dan morbiditas di
masyarakat menjadi dasar dalam mengidentifikasi kebutuhan pelayanan
kesehatan.
A.4.3.3. Faktor Pembeli (Pembayar)
Analisis ini dibutuhkan untuk mengidentifikasi ability to pay dan
willingness to pay. Komposisi pembayar di RSUD Srengat nantinya akan
menunjukkan dominasi masyarakat umum yang membayar langsung
ataukah pembayar terjamin (Askes, Jamkesmas) atau dapat pula asuransi
perusahaan; baik pada pelayanan rawat jalan maupun rawat inap. Oleh
karena itu, rumah sakit perlu mengembangkan strategi pemasaran yang
tepat untuk mengalihkan kemauan membayar pada kebutuhan tersier
menjadi belanja kesehatan.

Di sisi lain besarnya kelompok dengan pembayaran langsung (out


of pocket) menunjukkan besarnya ketidakpastian pelanggan yang mampu
membayar. RSUD dan Pemerintah Daerah perlu melakukan strategi
pelayanan dan pemasaran yang tepat untuk meraih pelanggan tetap
dengan membangun sistem pembayaran di depan (pre-paid) dengan
sistem kapitasi berbasis perusahaan maupun masyarakat.
Untuk meningkatkan kepastian RSD perlu meraih pelanggan
dengan pembayaran terjamin melalui kerjasama dengan perusahaan.
Data perusahaan di Kabupaten Blitar menunjukkan potensi pelanggan
yang besar. Pengembangan kerjasama pembayaran berbasis perusahaan
cukup potensial untuk dikembangkan mengingat sektor industri
pertanian, dan perdagangan menjadi penopang utama perekonomian
daerah secara tetap dari tahun ke tahun.

A.4.3.4. Potensi Pengembangan Sistem Kapitasi


Pelanggan potensial RSUD Srengatsebagian besar berada pada
golongan sosial ekonomi menengah ke bawah. Pada kelompok ini
mengindikasikan kelompok borderline atau antara dengan kemampuan
ekonomi yang cukup tetapi pada umumya tidak dapat menanggung
beban finansial kesakitan yang serius. Kelompok borderline sebenarnya
potensial sebagai pasar asuransi bila dapat diyakinkan faktor resiko
kesakitan dan kepastian perlindungan asuransi.
Untuk mengkaji potensi pengembangan sistem asuransi berbasis
masyarakat dilakukan survei pada pengguna dan calon pengguna jasa
rumah sakit. Survei dilakukan untuk menilai kemauan masyarakat
terhadap sistem asuransi dan kemauan membayar premi. Kemauan
masyarakat terhadap sistem asuransi dipengaruhi oleh persepsi
masyarakat terhadap besar resiko sakit dan resiko finansial yang harus
ditanggung. Bila persepsi kesakitan rendah dan resiko finansial masih
dapat dikelola maka kebutuhan asuransi tidak dirasakan oleh masyarakat.
Faktor lain yang dipertimbangkan adalah tingkat sosial ekonomi
masyarakat yang akan mempengaruhi kemampuan untuk membayar
premi atau biaya.
A.4.3.5. Faktor Pendatang Baru
Munculnya pendatang baru tentunya akan meningkatkan
intensitas kompetisi yang harus diwaspadai oleh RSUD Srengat.
Mengingat masih rendahnya market share RSUD, adanya kompetitor baru
dapat semakin mengurangi potensi pasar. Meskipun demikian rumah
sakit harus tetap mewaspadai potensial munculnya kompetitor baru
seperti klinik bersama dengan laboratorium, klinik bersalin yang menjadi
kompetitor pada sebagian jenis layanan kesehatan rumah sakit. Klinik
bersama dan klinik bersalin pada umumnya didirikan oleh Dokter
Spesialis setempat yang sudah memiliki pasar yang loyal. Hal ini sesuai
dengan fakta penelitian bahwa rujukan oleh dokter menjadi pintu masuk
utama pelayanan di rumah sakit.
Untuk mengantisipasi munculnya kompetitor baru rumah sakit
harus meningkatkan daya saing atau dengan meningkatkan porsi captive
market dengan menjalin kerjasama asuransi. Peningkatan daya saing
dapat dilakukan dengan strategi keunggulan dari jenis dan kualitas
pelayanan maupun keunggulan harga. Sebagai rumah sakit yang
memberikan pelayanan pada strata II, harus memiliki jenis pelayanan
yang didukung provider dan teknologi yang tidak dimiliki oleh kompetitor.
Secara institusi RSUD Srengat mempunyai dukungan dari pemegang
kebijakan (pemerintah) untuk meningkatkan kompetensi teknologinya.
Keunggulan mutu pelayanan dapat dicapai dengan sistem manajemen
yang meningkatkan respon pelayanan, keramahan dan jaminan mutu
pelayanan didukung dengan desain fasilitas yang memberikan
kenyamanan.
A.4.3.6. Faktor Pemasok
Pemasok pada pelayanan kesehatan di rumah sakit dapat dibagi
menjadi pemasok pasien (perujuk) dalam hal ini Puskesmas, Dokter
Umum dan Dokter Spesialis, serta pemasok alat kesehatan. Analisis
pemasok dapat dilakukan dengan membandingkan posisi tawar rumah
sakit terhadap masing-masing pemasok. RSUD Srengatpada umumnya
memiliki posisi tawar yang relatif kuat terhadap pemasok alat kesehatan.
Penyedia alat kesehatan lebih memiliki kepentingan untuk menjadi
rekanan RSUD Srengatkarena luasnya pangsa pasar, dan RSUD
Srengatmenjadi tempat berkumpulnya para provider yaitu dokter
spesialis. Dengan posisi demikian RSUD Srengatmempunyai pilihan
sehigga dapat menentukan pemasok dengan mutu dan harga yang
bersaing. Permasalahan yang sering muncul adalah birokrasi proses
pengadaan yang menuntut rekanan dengan kapabilitas khusus dan waktu
pengadaan yang panjang sehingga menambah biaya pengadaan yang
pada akhirnya dapat mempengaruhi biaya dan marjin keuntungan rumah
sakit.
Bila dihadapkan pada pemasok pasien (perujuk) dan provider jasa
medis rumah sakit memiliki posisi tawar yang relatif rendah. Posisi tawar
rumah sakit terhadap perujuk termasuk kuat bila perujuk berasal dari
institusi pemerintah seperti Puskesmas, karena sistem rujukan
memastikan jalur tersebut. Meskipun demikian, pelanggan Puskesmas
pada umumnya berasal dari golongan sosial ekonomi menengah ke
bawah yang memiliki daya beli rendah. Konsumen dengan daya beli
tinggi kebanyakan dirujuk oleh Dokter praktek swasta (umum dan
spesialis) yang memiliki kebebasan memiliih RS rujukan. Fakta penelitian
menunjukkan bahwa rujukan dokter menjadi alasan utama pasien
memilih rumah sakit bila dibandingkan dengan kualitas pelayanan rumah
sakit. Secara umum RSD di Indonesia terutama di daerah dengan jumlah
dokter terbatas sangat tergantung pada dokter sebagai pembawa pasien.
Kuatnya posisi tawar provider medis dapat menyulitkan RS dalam
mengendalikan standar mutu pelayanan dan biaya.

Untuk mengelola kuatnya posisi tawar provider jasa medis, RSUD


Srengat dapat mengembangkan dua strategi. Strategi pertama dilakukan
dengan menyediakan pelayanan dengan fasilitas unggul sesuai dengan
perkembangan profesi sehingga menjadi pilihan semua perujuk. Strategi
tersebut harus diikuti dengan pelibatan Dokter dalam sistem manajemen
pelayanan klinis, misalnya dengan mengembangkan Clinical Pathway dan
menekankan aspek keuntungan atau bagi pengembangan ilmu juga
kesejahteraan. Pada intinya strategi tersebut harus mampu menjadikan
RSD sebagai rumah yang nyaman bagi dokter dan pasien namun tetap
dapat mengendalikan mutu dan biaya.

Strategi lain yang dapat ditempuh adalah mengurangi


ketergantungan produk pelayanan RSD terhadap Dokter Spesialis dengan
mengembangkan pelayanan yang tidak bergantung dokter, seperti
Nursing Home Care. Nursing Home Care merupakan media antara
pelayanan kesehatan akut di RS dan perawatan mandiri di rumah.
Meningkatnya pola penyakit degenerative menjadi peluang
pengembangan pelayanan Nursing Home Care. Pelayanan ini ditujukan
untuk menyiapkan pasien dan keluarga hingga mampu melakukan
perawatan independen. Sasara pelayanan ini adalah pasien yang telah
melewati fase akut yang tergantung dengan fasilitas di rumah sakit,
namun masih memerlukan fasilitas perawatan profesional oleh perawat.
Tidak tersedianya Nursing Home Care menjadikan hari rawat pasien
memanjang yang meningkatkan biaya bagi pasien namun tidak
memberikan banyak keuntungan bagi rumah sakit. Dengan
mengembangkan fasilitas Nursing Home Care pada satu meringankan
beban pasien, menjamin prinsip pengobatan berkesinambungan sekaligus
menjadi sumber pendapatan bagi pengembangan rumah sakit.
A.4.3.7. Faktor Produk Substitusi
Produk substitusi juga menjadi salah satu pertimbangan dalam
pengembangan rumah sakit. Contoh produk substitusi pelayanan
kesehatan secara umum adalah pengobatan alternatif. Pengobatan
alternatif menjadi pilihan banyak masyarakat karena faktor biaya,
kedekatan psikologis dan keyakinan kesembuhan meskipun data yang
disajikan tidak bersifat ilmiah. Faktor psikologis memberikan pengaruh
yang kuat terhadap kesembuhan. Masyarakat Indonesia termasuk
masyarakat dengan budaya tulis yang lemah sehingga lebih mudah
terprovokasi dengan berita yang disampaikan secara lisan, misalnya
berita kesembuhan yang luar biasa. Dengan gambaran diatas,
pengobatan alternatif memang menjadi faktor produk substitusi yang
penting untuk dicermati.
RSUD Srengatdapat mengelola tantangan produk substitusi
tersebut dengan mengakomodasi karakter pengobatan alternatif dalam
pelayanan kesehatan rumah sakit yang menekankan kedekatan dengan
pasien dan keluarga dan pengobatan berkelanjuta serta memperhatikan
aspek psikologis pasien. Pengembangan Nursing Home Care juga
menjadi pilihan pelayanan yang lebih bersifat holistik dan komprehensif.
Strategi lain adalah dengan bekerjasama atau menjadikan produk
pengobatan alternatif sebagai pelengkap pelayanan di RSUD Srengat.
A.4.3.8. Kesimpulan Analisis Pasar
Analisis pasar yang digunakan pada studi ini menggunakan
pendekatan analisis Porter, yang mengkaji kekuatan dan potensi
kompetisi melalui kajian kekuatan pelanggan/pembayar, pendatang baru,
produk substitusi yang secara skematis disajikan pada GAMBAR 4.3.

Tantangan
Pendatang
Baru
Posisi Intensitas Posisi
Tawar Kompetisi Tawar
Pemasok Pembeli/
Pembayar

Tantangan
Produk
Substitusi

GAMBAR 4.3. ANALISIS KEKUATAN KOMPETISI PASAR

Secara keseluruhan RSUD Srengatmemiliki pangsa pasar yang


luas dengan tingkat kompetisi pada tingkat lokal yang relatif rendah
dengan potensi pesaing dari RS Rujukan. Tantangan produk substitusi
dan pendatang baru hingga saat ini sangat lemah, karena pengembangan
produk baru bila akan ada menghadapi tantangan yang lebih besar.
Gambaran analisis eksternal ini menunjukkan pangsa pasar yang
potensial, dan kompetisi yang sangat memungkinkan untuk dimenangkan
dan dipertahankan oleh RSUD Srengatbila mampu menangkap peluang
dengan meningkatkan kemampuan internal.
A.4.3.9. Proyeksi Pangsa Pasar
Proyeksi pangsa pasar merupakan analisis permintaan atau
kebutuhan pelayanan kesehatan rumah sakit untuk memperhitungkan
besaran volume pelayanan rumah sakit yang dibutuhkan masyarakat.
Proyeksi dilakukan dengan memperhitungkan proyeksi pertumbuhan
penduduk, data kesehatan wilayah disamping pertumbuhan pelayanan
RSUD Pare dalam lima tahun terakhir. Dengan memperhatikan pelayanan
kesehatan rumah sakit yang bersifat komprehensif, analisis pasar
diperhitungkan pada pelayanan rawat inap (secara spesifik di masing-
masing unit rawat inap), rawat jalan, dan pelayanan penunjang medik.
Hasil analisa pasar akan menentukan besaran rencana pengembangan
rumah sakit dan kebutuhan sumberdaya manusia, teknologi serta
lingkungan fisik.

A.4.4. Kajian Aspek Teknis, Teknologi dan Kebutuhan Peralatan


Kajian kedua aspek ini pada dasarnya bertujuan untuk melihat
sampai berapa besar kebutuhan dana pendirian Rumah Sakit Umum
Daerah Srengattersebut. Karena itu, mengacu pada kajian pasar dan
kebutuhan pelayanan kesehatan, maka direncanakan pendirian Rumah
Sakit Kabupaten Blitar mengacu pada standar Rumah Sakit tipe B.
Rumah Sakit tipe B adalah Rumah Sakit yang menyediakan pelayanan
rujukan tingkat pertama yang dilengkapi dengan 8 spesialis besar, yaitu:
Spesialis Penyakit Dalam, Bedah, Kebidanan dan Kandungan, Anak,
Syaraf, Jiwa, THT, Jantung.

A.4.4.1. Lokasi Rumah Sakit


1. Pemilihan lokasi
(1) Aksesibilitas untuk jalur transportasi dan komunikasi
Lokasi harus mudah dijangkau oleh masyarakat atau dekat
ke jalan raya dan tersedia infrastruktur dan fasilitas dengan
mudah.
(2) Kontur Tanah
kontur tanah mempunyai pengaruh penting pada
perencanaan struktur, dan harus dipilih sebelum
perencanaan awal dapat dimulai.
(3) Fasilitas parkir
Perancangan dan perencanaan prasarana parkir di RS sangat
penting, karena prasarana parkir dan jalan masuk kendaraan
akan menyita banyak lahan. Perhitungan kebutuhan lahan
parkir pada RS disarankan 1,5 s/d 2 kendaraan/tempat tidur
(37,5m2 s/d 50m2 per tempat tidur)1 atau menyesuaikan
dengan kondisi sosial ekonomi daerah setempat. Tempat
parkir harus dilengkapi dengan rambu parkir.

1 Ernst Neufert, Data Arsitek Edisi Kedua, Penerbit Erlangga, 1995


(4) Tersedianya utilitas publik
Rumah sakit membutuhkan air bersih, pembuangan air
kotor/limbah, listrik, bahan bakar dan jalur telepon.
Pengembang harus membuat utilitas tersebut selalu
tersedia.
(5) Pengendalian Dampak Lingkungan
Setiap RS harus dilengkapi dengan persyaratan
pengendalian dampak lingkungan antara lain :
Masterplan Dampak Lingkungan yang ditimbulkan oleh
RS terhadap lingkungan disekitarnya.
Fasilitas pengelolaan limbah padat infeksius dan non
infeksius (sampah RT) serta limbah cair (Instalasi
Pengelolaan Air Limbah (IPAL)).
Fasilitas Penjernihan Air Bersih (Water Supply Treatment)
yang menjamin keamanan konsumsi air bersih rumah
sakit.
Fasilitas Pengelolaan Limbah Cair ataupun Padat dari
Instalasi Radiologi.
Fasilitas Pengelolaan Limbah Udara dari fasilitas R.
Isolasi, R. Laboratorium maupun R. Farmasi.
(6) Bebas dari kebisingan, asap, uap dan gangguan lain
Pasien dan petugas membutuhkan udara bersih dan
lingkungan yang tenang.
Pemilihan lokasi sebaiknya bebas dari kebisingan yang
tidak semestinya dan polusi atmosfer yang datang dari
sumber seperti rel kereta api, jalan arteri utama,
bandara, sekolah dan tempat bermain anak-anak.
(7) Pengembangan kedepan
Setiap rumah sakit menghadapi masalah pengembangan
dalam kurun waktu 10 atau 15 tahun kedepan. Hal ini
sebaiknya dipertimbangkan apabila ada rencana
pembangunan bangunan baru.
2. Peruntukan Bangunan
(1) Peruntukan dan Intensitas Bangunan Gedung di RSUD
Srengatharus memperhitungkan jarak antara massa
bangunan dalam RS dengan mempertimbangkan hal-hal
berikut ini :
a. Kemudahan Evakuasi dan Penanggulangan Bencana saat
terjadi Bencana Dalam Lingkungan RS (Hospital Internal
Disaster).
b. Pencahayaan alami cukup dan adanya pergantian
sirkulasi udara alami dengan baik.
c. Kenyamanan visualisasi bagi pasien, pengantar pasien
maupun pekerja RS ke arah luar/halaman bangunan.
(2) Perencanaan RSUD Srengatharus mengikuti Rencana Tata
Bangunan & Lingkungan (RTBL), yaitu :
a. Koefisien Dasar Bangunan (KDB)
b. Koefisien Lantai Bangunan (KLB)
c. Koefisien Daerah Hijau (KDH)
d. Garis Sepadan Bangunan (GSB) dan Garis Sepadan Jalan
(GSJ)
(3) Memenuhi persyaratan Peraturan Daerah setempat (tata
kota yang berlaku).

3. Kebutuhan Total Ruang


(1) Biasanya kebutuhan minimal ruang untuk satu tempat tidur
berikut aksesnya kira-kira 10 m 2. Total luas lantai rumah
sakit diperkirakan 8 (delapan) sampai 10 (sepuluh) kali
kebutuhan luas tempat tidur.
(2) Sebagai contoh, rumah sakit dengan 200 tempat tidur,
kebutuhan luas lantainya adalah sebesar 10 (m 2/tempat
tidur) x ( 8 sampai 10) x 200 tempat tidur = 16.000 m 2
sampai 20.000 m2 .
(3) Dengan perkembangan teknologi yang cepat, ilmu
pengetahuan medik dan administrasi, maka kebutuhan luas
ruangan meningkat. Misalnya ruang uji laboratorium yang
naik hampir dua kali lipat selama 10 (sepuluh) tahun ini.
(4) Beberapa tahun yang lalu, kebutuhan ruangan rumah sakit
antara 45 m2 sampai 55 m2 setiap tempat tidur.
(5) Kebutuhan ruang untuk rumah sakit modern kurang lebih
antara 80 sampai 110 m2 setiap tempat tidur.
(6) TABEL 5.1 menunjukkan bagian-bagian penting dari rumah
sakit umum non pendidikan dan ruangan yang
dibutuhkannya.

TABEL 4.2.
KEBUTUHAN RUANG MINIMAL UNTUK RUMAH SAKIT UMUM NON
PENDIDIKAN. 2)

LUAS (m2) PER TEMPAT


RUANG
TIDUR
1 Administrasi 3 ~ 3,5
2 Unit Gawat Darurat 1 ~ 1,5
3 Poliklinik 1 ~ 1,5
4 Pelayanan sosial 0,1
5 Pendaftaran 0,2
6 Laboratorium Klinis, Patologi 2,5 ~ 3
7 Kebidanan dan kandungan 1,2 ~ 1,5
8 Diagnostik dan Radiologi 3~4
9 Dapur makanan 2,5 ~ 3,0
10 Fasilitas petugas 0,5 ~ 0,8
11 Ruang pertemuan, pelatihan 0,5 ~ 1
Terapi Wicara dan
12 0,1
pendengaran
13 Rumah tangga/kebersihan 0,4 ~ 0,5
14 Manajemen material 0,4 ~ 0,5
15 Gudang pusat 2,5 ~ 3,5
16 Pembelian 0,2
17 Laundri 1 ~ 1,5
18 Rekam medis 0,5 ~ 0,8
19 Fasilitas staf medik 0,2 ~ 0,3
20 Teknik dan pemeliharaan 5~6
21 Pengobatan nuklir 0,4 ~ 0,5
22 Ruang anak 0,4 ~ 0,5
23 Petugas 0,3 ~ 0,4
24 Farmasi 0,4 ~ 0,6
25 Ruang publik 1 ~ 1,5
26 Ruang pengobatan kulit 0,1 ~ 0,2
27 Therapi radiasi 0,8 ~ 1
28 Therapi fisik 1 ~ 1,2
29 Therapi okupasi 0,3 ~ 0,5
30 Ruang bedah 3,5 ~ 5
31 Sirkulasi 10 ~ 15
32 Unit rawat inap 25 ~ 35

2) G.D Kunders, Hospitals, Facilities, Planning and Management,


McGraw-Hill, 2004.
A.4.4.1.Perencanaan Bangunan Rumah Sakit
1. Prinsip Umum
(1) Ketentuan pertama, perlindungan terhadap pasien
merupakan ketentuan utama. Terlalu banyak lalu lintas akan
menggangu pasien, mengurangi efisiensi pelayanan pasien
dan meninggikan risiko infeksi, khususnya untuk pasien
bedah dimana kondisi bersih sangat penting. Jaminan
perlindungan terhadap infeksi merupakan jantung utama
pelayanan terhadap pasien.
(2) Ketentuan kedua adalah merencanakan sependek mungkin
jalur lalu lintas. Kondisi ini membantu menjaga kebersihan
(aseptic) dan mengamankan langkah setiap orang, perawat,
pasien dan petugas rumah sakit lainnya. Rumah sakit
adalah tempat dimana sesuatunya berjalan cepat. Jiwa
pasien sering tergantung padanya. Waktu yang terbuang
akibat langkah yang tidak perlu membuang biaya disamping
kelelahan orang pada akhir hari kerja.
(3) Ketentuan ketiga, pemisahan aktivitas yang berbeda,
pemisahan antara pekerjaan bersih dan pekerjaan kotor,
aktivitas tenang dan bising, perbedaan tipe pasien, (contoh
sakit serius dan rawat jalan) dan tipe berbeda dari lalu lintas
di dalam dan di luar bangunan.
(4) Ketentuan keempat, mengontrol sejumlah tertentu yang
datang dengan pemisahan aktivitas yang berbeda, tetapi
belum cukup.
Pos perawat sebaiknya dalam situasi membantu perawat
dalam melatih pasien di koridor pasien, dan pengunjung
masuk dan ke luar unit. Bayi harus dilindungi dari
kemungkinan pencurian dan dari kuman penyakit yang
dibawa pengunjung dan petugas rumah sakit. Pasien di
ruang ICU harus dijaga terhadap infeksi. Kamar bedah
sebaiknya dilindungi dengan cara serupa.
Dua ilustrasi dari rencana lalu lintas utama ditunjukkan pada
GAMBAR 5.1.A dan GAMBAR 5.1.B. GAMBAR 5.1.C juga
menunjukkan rencana zoning secara fungsional.
2. Prinsip Khusus
(1) Maksimum pencahayaan dan angin untuk semua bagian
bangunan merupakan faktor yang penting. Ini khususnya
untuk rumah sakit yang tidak menggunakan air conditioning.
(2) Jendela sebaiknya dilengkapi dengan kawat kasa untuk
mencegah nyamuk dan binatang terbang lainnya yang
berada dimana-mana di sekitar rumah sakit.
(3) RS minimal mempunyai 3 akses/pintu masuk, terdiri dari
pintu masuk utama, pintu masuk ke Unit Gawat Darurat dan
Pintu Masuk ke area layanan Servis.

GAMBAR 5.1.A. CONTOH RENCANA LOKASI

(4) Pintu masuk untuk service sebaiknya berdekatan dengan


dapur dan daerah penyimpanan persediaan (gudang) yang
menerima barang-barang dalam bentuk curah, dan bila
mungkin berdekatan dengan lif service. Bordes dan
timbangan tersedia di daerah itu. Akses ke kamar mayat
sebaiknya diproteksi terhadap pandangan pasien dan
pengunjung untuk alasan psikologis.
(5) Pintu masuk dan lobi sebaiknya dibuat cukup menarik,
sehingga pasien dan pengantar pasien mudah mengenali
pintu masuk utama.
(6) Alur lalu lintas pasien dan petugas RS harus direncanakan
seefisien mungkin.
(7) Koridor publik dipisah dengan koridor untuk pasien dan
petugas medik, dimaksudkan untuk mengurangi waktu
kemacetan. Bahan-bahan, material dan pembuangan
sampah sebaiknya tidak memotong pergerakan orang.
Rumah sakit perlu dirancang agar petugas, pasien dan
pengunjung mudah orientasinya jika berada di dalam
bangunan.
(8) Alur pasien rawat jalan yang ingin ke laboratorium, radiologi,
farmasi, terapi khusus dan ke pelayanan medis lain, tidak
melalui daerah pasien rawat inap.
(9) Alur pasien rawat inap jika ingin ke laboratorium, radiologi
dan bagian lain, harus mengikuti prosedur yang telah
ditentukan.
GAMBAR 5.1.B. ALUR LALU LINTAS PASIEN DI DALAM RUMAH SAKIT
UMUM
GAMBAR 5.1. C. ALIRAN LALU LINTAS DARI LALU LINTAS DI LUAR

(10) Lebar koridor 2,40 m dengan tinggi langit-kangit


minimal 2,40 m. Koridor sebaiknya lurus. Apabila ramp
digunakan, kemiringannya sebaiknya tidak melebihi 1 :
10 ( membuat sudut maksimal 70).
A.4.4.3. Persyaratan Teknis
1. Atap
Atap harus kuat, tidak bocor, tahan lama dan tidak menjadi
tempat perindukan serangga, tikus, dan binatang pengganggu lainnya.
(1) Penutup atap
(a) Penutup atap dari bahan beton dilapis dengan lapisan tahan air,
merupakan pilihan utama.
(b) Penutup atap bila menggunakan genteng keramik, atau genteng
beton, atau genteng tanah liat (plentong), pemasangannya
harus dengan sudut kemiringan sesuai ketentuan yang berlaku.
(c) Mengingat pemeliharaannya yang sulit, khususnya bila terjadi
kebocoran, penggunaan genteng metal sebaiknya dihindari.
(2) Rangka atap
(a) Rangka atap harus kuat memikul beban penutup atap.
(b) Apabila rangka atap dari bahan kayu, harus dari kualitas yang
baik dan kering, dan dilapisi dengan cat anti rayap.
(c) Apabila rangka atap dari bahan metal, harus dari metal yang
tidak mudah berkarat, atau di cat dengan cat dasar anti karat.
2. Langit-langit
Langit-langit harus kuat, berwarna terang, tidak berbahan asbes
dan mudah dibersihkan.
(a) Tinggi langit-langit di ruangan, minimal 2,70 m, dan tinggi di selasar
(koridor) minimal 2,40 m.
(b) Rangka langit-langit harus kuat.
(c) Langit-langit mungkin harus dari bahan kedap suara.
3. Dinding dan Partisi
Dinding harus keras, tidak porous, tahan api, kedap air, tahan
karat, tidak punya sambungan (utuh), dan mudah dibersihkan.
Disamping itu dinding harus tidak mengkilap.
(1) Pelapisan dinding dengan bahan keras seperti formika, mudah
dibersihkan dan dipelihara. Sambungan antaranya bisa di seal
dengan filler plastik. Polyester yang dilapisi (laminated polyester)
atau plester yang halus dan dicat, memberikan dinding tanpa kampuh
(tanpa sambungan = seamless).
(2) Dinding yang berlapiskan keramik/porselen, mengumpulkan debu dan
mikro organisme diantara sambungannya. Semen diantara
keramik/porselin tidak bisa halus, dan kebanyakan sambungan yang
diplaster cukup porous sehingga mudah ditinggali mikro organisme
meskipun telah dibersihkan.
(3) Keramik/porselin bisa retak dan patah.
(4) Cat epoksi pada dasarnya mempunyai kecenderungan untuk
mengelupas atau membentuk serpihan.
(5) Pelapis lembar/siku baja tahan karat (stainless steel) pada sudut-
sudut tempat benturan membantu mengurangi kerusakan.

4. Lantai
Lantai harus terbuat dari bahan yang kuat, kedap air, permukaan
rata, tidak licin, warna terang, dan mudah dibersihkan.
(1) Lantai yang selalu kontak dengan air harus mempunyai
kemiringan yang cukup ke arah saluran pembuangan.
(2) Pertemuan lantai dengan dinding harus berbentuk
konus/lengkung agar mudah dibersihkan.
(3) Lantai harus cukup konduktif, sehingga mudah untuk
menghilangkan muatan listrik statik dari peralatan dan
petugas, tetapi bukan sedemikian konduktifnya sehingga
membahayakan petugas dari sengatan listrik.
(4) Untuk mencegah menimbunnya muatan listrik pada tempat
dipergunakan gas anestesi mudah terbakar, lantai yang
konduktif harus dipasang.
(5) Lantai yang konduktif bisa diperoleh dari berbagai jenis
bahan, termasuk vinil anti statik, ubin aspal, linolium, dan
teraso. Tahanan listrik dari bahan-bahan ini bisa berubah
dengan umur dan akibat pembersihan.
(6) Tahanan dari lantai konduktif diukur tiap bulan, dan harus
memenuhi persyaratan yang berlaku seperti dalam NFPA
56A.
(7) Permukaan lantai tersebut harus dapat memberikan jalan
bagi peralatan yang mempunyai konduktivitas listrik yang
sedang antara peralatan dan petugas yang berhubungan
dengan lantai tersebut.
(8) Lantai dilokasi anestesi yang tidak mudah terbakar tidak
perlu konduktif. Semacam plastik keras (vinil), dan bahan-
bahan yang tanpa sambungan dipergunakan untuk lantai
yang non konduktif.
(9) Permukaan dari semua lantai tidak boleh porous, tetapi
cukup keras untuk pembersihan dengan penggelontoran
(flooding), dan pemvakuman basah.
5.3.5. Landaian (ramp)
Landaian (ramp) adalah jalur sirkulasi yang memiliki bidang
dengan kemiringan tertentu, sebagai alternatif bagi orang yang tidak
dapat menggunakan tangga.
(1) Kemiringan suatu ramp di dalam bangunan tidak boleh melebihi 7 0,
perhitungan kemiringan tersebut tidak termasuk awalan dan akhiran
ramp (curb ramps/landing).
(2) Panjang mendatar dari satu ramp (dengan kemiringan 70) tidak boleh
lebih dari 900 cm. Panjang ramp dengan kemiringan yang lebih
rendah dapat lebih panjang.
(3) Lebar minimum dari ramp adalah 120 cm dengan tepi pengaman.
Untuk ramp yang juga digunakan sekaligus untuk pejalan kaki dan
pelayanan angkutan barang harus dipertimbangkan secara seksama
lebarnya, sedemikian sehingga bisa dipakai untuk kedua fungsi
tersebut, atau dilakukan pemisahan ramp dengan fungsi sendiri-
sendiri.
(4) Muka datar (bordes) pada awalan atau akhiran dari suatu
ramp harus bebas dan datar sehingga memungkinkan sekurang-
kurangnya untuk memutar kursi roda dan stretcher, dengan ukuran
minimum 160 cm.

GAMBAR 5.2. TIPIKAL RAMP


GAMBAR 5.3. BENTUK-BENTUK RAMP

GAMBAR 5.4. KEMIRINGAN RAMP

GAMBAR 5.5. PEGANGAN RAMBAT PADA RAMP.


GAMBAR 5.6. KEMIRINGAN SISI LEBAR RAMP

GAMBAR 5.7. PINTU DI UJUNG RAMP

(5) Permukaan datar awalan atau akhiran suatu ramp harus memiliki
tekstur sehingga tidak licin baik diwaktu hujan.
(6) Lebar tepi pengaman ramp (low curb) 10 cm, dirancang untuk
menghalangi roda dari kursi roda atau stretcher agar tidak terperosok
atau ke luar dari jalur ramp.
Apabila berbatasan langsung dengan lalu lintas jalan umum atau
persimpangan, harus dibuat sedemikian rupa agar tidak mengganggu
jalan umum.
(7) Ramp harus diterangi dengan pencahayaan yang cukup sehingga
membantu penggunaan ramp saat malam hari. Pencahayaan
disediakan pada bagian ramp yang memiliki ketinggian terhadap
muka tanah sekitarnya dan bagian-bagian yang membahayakan.
(8) Ramp harus dilengkapi dengan pegangan rambatan (handrail) yang
dijamin kekuatannya dengan ketinggian yang sesuai.
6. Tangga
Tangga merupakan fasilitas bagi pergerakan vertikal yang
dirancang dengan mempertimbangkan ukuran dan kemiringan pijakan
dan tanjakan dengan lebar yang memadai.
(1) Harus memiliki dimensi pijakan dan tanjakan yang berukuran
seragam Tinggi masing-masing pijakan/tanjakan adalah 15 17 cm.
(2) Harus memiliki kemiringan tangga kurang dari 60 0.
(3) Lebar tangga minimal 120 cm untuk membawa usungan dalam
keadaan darurat, untuk mengevakuasi pasien dalam kasus terjadinya
kebakaran atau ancaman bom
(3) Tidak terdapat tanjakan yang berlubang yang dapat membahayakan
pengguna tangga.
(4) Harus dilengkapi dengan pegangan rambat (handrail).

GAMBAR 5.8. TIPIKAL TANGGA


GAMBAR 5.9. PEGANGAN RAMBAT PADA TANGGA
(5) Pegangan rambat harus mudah dipegang dengan ketinggian
65~ 80 cm dari lantai, bebas dari elemen konstruksi yang
mengganggu, dan bagian ujungnya harus bulat atau dibelokkan
dengan baik ke arah lantai, dinding atau tiang.
(6) Pegangan rambat harus ditambah panjangnya pada bagian
ujung-ujungnya (puncak dan bagian bawah) dengan 30 cm.
(7) Untuk tangga yang terletak di luar bangunan, harus dirancang
sehingga tidak ada air hujan yang menggenang pada lantainya.

GAMBAR 5.10. DESAIN PROFIL TANGGA


GAMBAR 5.11. DETAIL PEGANGAN RAMBAT PADA TANGGA

GAMBAR 5.12. DETAIL PEGANGAN RAMBAT PADA DINDING

7. Lift (Elevator)
Lift merupakan fasilitas lalu lintas vertikal baik bagi petugas RS
maupun untuk pasien. Oleh karena itu harus direncanakan dapat
menampung tempat tidur pasien.
(1) Ukuran lift rumah sakit minimal 1,50 m x 2,30 m dan lebar pintunya
tidak kurang dari 1,20 m untuk memungkinkan lewatnya tempat tidur
dan stretcher bersama-sama dengan pengantarnya.
(2) Lift penumpang dan lift service dipisah bila dimungkinkan.
8. Pintu
Pintu adalah bagian dari suatu tapak, bangunan atau ruang yang
merupakan tempat untuk masuk dan ke luar dan pada umumnya
dilengkapi dengan penutup (daun pintu).
(1) Pintu ke luar/masuk utama memiliki lebar bukaan minimal 90 cm
atau dapat dilalui brankar pasien, dan pintu-pintu yang tidak menjadi
akses pasien tirah baring memiliki lebar bukaan minimal 80 cm.
(2) Di daerah sekitar pintu masuk sedapat mungkin dihindari adanya
ramp atau perbedaan ketinggian lantai.
(3) Pintu Darurat
Setiap bangunan RS yang bertingkat lebih dari 3 lantai harus
dilengkapi dengan pintu darurat.
Lebar pintu darurat minimal 100 cm membuka kea rah ruang
tangga penyelamatan (darurat) kecuali pada lantai dasar membuka
ke arah luar (halaman).
Jarak antar pintu darurat dalam satu blok bangunan gedung
maksimal 25 m dari segala arah.
(4) Pintu khusus untuk kamar mandi di rawat inap dan pintu toilet untuk
aksesibel, harus terbuka ke luar (lihat gambar 3.7.1), dan lebar daun
pintu minimal 85 cm.

GAMBAR 5.13. PINTU KAMAR MANDI RUANG RAWAT INAP HARUS KE


ARAH LUAR

9. Toilet (Kamar kecil)


Fasilitas sanitasi yang aksesibel untuk semua orang (tanpa
terkecuali penyandang cacat, orang tua dan ibu-ibu hamil) pada
bangunan atau fasilitas umum lainnya.
(1) Toilet umum
(a) Toilet atau kamar kecil umum harus memiliki ruang gerak yang
cukup untuk masuk dan keluar oleh pengguna.
(b) Ketinggian tempat duduk kloset harus sesuai dengan ketinggian
pengguna ( 36 ~ 38 cm).
(c) Bahan dan penyelesaian lantai harus tidak licin.
(d) Toilet atau kamar kecil umum harus memiliki ruang gerak yang
cukup untuk masuk dan keluar oleh pengguna.
(e) Ketinggian tempat duduk kloset harus sesuai dengan
ketinggian pengguna ( 36 ~ 38 cm).
(f) Bahan dan penyelesaian lantai harus tidak licin.
(g) Pintu harus mudah dibuka dan ditutup.
(h) Kunci-kunci toilet atau grendel dipilih sedemikian sehingga bisa
dibuka dari luar jika terjadi kondisi darurat.
(2) Toilet untuk aksesibilitas
(a) Toilet atau kamar kecil umum yang aksesibel harus dilengkapi
dengan tampilan rambu/simbol "penyandang cacat" pada bagian
luarnya.
(b) Toilet atau kamar kecil umum harus memiliki ruang gerak yang
cukup untuk masuk dan keluar pengguna kursi roda.
(c) Ketinggian tempat duduk kloset harus sesuai dengan ketinggian
pengguna kursi roda sekitar (45 ~ 50 cm)
(d) Toilet atau kamar kecil umum harus dilengkapi dengan pegangan
rambat (handrail) yang memiliki posisi dan ketinggian
disesuaikan dengan pengguna kursi roda dan penyandang cacat
yang lain. Pegangan disarankan memiliki bentuk siku-siku
mengarah ke atas untuk membantu pergerakan pengguna kursi
roda.
(e) Letak kertas tisu, air, kran air atau pancuran (shower) dan
perlengkapan-perlengkapan seperti tempat sabun dan pengering
tangan harus dipasang sedemikian hingga mudah digunakan
oleh orang yang memiliki keterbatasan keterbatasan fisik dan
bisa dijangkau pengguna kursi roda.
(f) Bahan dan penyelesaian lantai harus tidak licin.
(g) Pintu harus mudah dibuka dan ditutup untuk memudahkan
pengguna kursi roda.
(h) Kunci-kunci toilet atau grendel dipilih sedemikian sehingga bisa
dibuka dari luar jika terjadi kondisi darurat.
(j). Pada tempat-tempat yang mudah dicapai, seperti pada daerah
pintu masuk, dianjurkan untuk menyediakan tombol bunyi
darurat (emergency sound button) bila sewaktu-waktu terjadi
sesuatu yang tidak diharapkan.
GAM
BAR 5.14. RUANG GERAK DALAM TOILET UNTUK AKSESIBEL.
A.4.4.2. Persyaratan Keselamatan Bangunan Rumah Sakit
Persyaratan keselamatan bangunan rumah sakit meliputi
persyaratan kemampuan bangunan rumah sakit terhadap beban muatan,
persyaratan kemampuan bangunan rumah sakit terhadap bahaya
kebakaran, persyaratan kemampuan bangunan rumah sakit terhadap
bahaya petir dan persyaratan kemampuan bangunan rumah sakit
terhadap bahaya kelistrikan.
1. Persyaratan Kemampuan Pembebanan Bangunan Rumah
Sakit Terhadap Beban Muatan
(1) Umum
(a) Setiap bangunan rumah sakit, strukturnya harus direncanakan
dan dilaksanakan agar kuat, kokoh, dan stabil dalam memikul
beban/kombinasi beban dan memenuhi persyaratan
keselamatan (safety), serta memenuhi persyaratan kelayanan
(serviceability) selama umur layanan yang direncanakan
dengan mempertimbangkan fungsi bangunan rumah sakit,
lokasi, keawetan, dan kemungkinan pelaksanaan
konstruksinya.
(b) Kemampuan memikul beban diperhitungkan terhadap
pengaruh-pengaruh aksi sebagai akibat dari beban-beban yang
mungkin bekerja selama umur layanan struktur, baik beban
muatan tetap maupun beban muatan sementara yang timbul
akibat gempa, angin, pengaruh korosi, jamur, dan serangga
perusak.
(c) Dalam perencanaan struktur bangunan rumah sakit terhadap
pengaruh gempa, semua unsur struktur bangunan rumah sakit,
baik bagian dari sub struktur maupun struktur gedung, harus
diperhitungkan memikul pengaruh gempa rencana sesuai
dengan zona gempanya.
(d) Struktur bangunan rumah sakit harus direncanakan secara
detail sehingga pada kondisi pembebanan maksimum yang
direncanakan, apabila terjadi keruntuhan, kondisi strukturnya
masih dapat memungkinkan pengguna bangunan rumah sakit
menyelamatkan diri.
(e) Untuk menentukan tingkat keandalan struktur bangunan, harus
dilakukan pemeriksaan keandalan bangunan secara berkala
sesuai dengan Pedoman Teknis atau standar yang berlaku.
(f) Perbaikan atau perkuatan struktur bangunan harus segera
dilakukan sesuai rekomendasi hasil pemeriksaan keandalan
bangunan rumah sakit, sehingga bangunan rumah sakit selalu
memenuhi persyaratan keselamatan struktur.
(g) Pemeriksaan keandalan bangunan rumah sakit dilaksanakan
secara berkala sesuai dengan pedoman teknis atau standar
teknis yang berlaku, dan harus dilakukan atau didampingi oleh
ahli yang memiliki sertifikasi sesuai.
(2) Persyaratan Teknis
(a) Analisis struktur harus dilakukan untuk memeriksa respon
struktur terhadap beban-beban yang mungkin bekerja selama
umur kelayanan struktur, termasuk beban tetap, beban
sementara (angin, gempa) dan beban khusus.
(b) Penentuan mengenai jenis, intensitas dan cara bekerjanya
beban harus sesuai dengan standar teknis yang berlaku,
seperti :
1) SNI 031726-1989 atau edisi terbaru; Tata cara
perencanaan ketahanan gempa untuk rumah dan gedung.
2) SNI 03-1727-1989 atau edisi terbaru; Tata cara
perencanaan pembebanan untuk rumah dan gedung.

2. Persyaratan Kemampuan Struktur Atas Bangunan Rumah


Sakit Terhadap Beban Muatan
Konstruksi atas bangunan rumah sakit dapat terbuat dari
konstruksi beton, konstruksi baja, konstruksi kayu atau konstruksi dengan
bahan dan teknologi khusus
(a) Konstruksi beton
Perencanaan konstruksi beton harus memenuhi standar teknis yang
berlaku, seperti :
1) SNI 032847-1992 atau edisi terbaru; Tata cara perhitungan
struktur beton untuk bangunan gedung.
2) SNI 033430-1994 atau edisi terbaru; Tata cara perencanaan
dinding struktur pasangan blok beton berongga bertulang
untuk bangunan rumah dan gedung.
3) SNI 03-1734-1989 atau edisi terbaru; Tata cara perencanaan
beton dan struktur dinding bertulang untuk rumah dan gedung.
4) SNI 032834 -1992 atau edisi terbaru; Tata cara pembuatan
rencana campuran beton normal.
5) SNI 033976-1995 atau edisi terbaru; Tata cara pengadukan
dan pengecoran beton.
6) SNI 033449-1994 atau edisi terbaru; Tata cara rencana
pembuatan campuran beton ringan dengan agregat ringan.
(b) Konstruksi Baja
Perencanaan konstruksi baja harus memenuhi standar yang berlaku
seperti :
1) SNI 03-1729-1989 atau edisi terbaru; Tata cara perencanaan
bangunan baja untuk gedung.
2) Tata Cara dan/atau pedoman lain yang masih terkait dalam
perencanaan konstruksi baja.
3) Tata Cara Pembuatan atau Perakitan Konstruksi Baja.
4) Tata Cara Pemeliharaan Konstruksi Baja Selama Pelaksanaan
Konstruksi.
(c) Konstruksi Kayu
Perencanaan konstruksi kayu harus memenuhi standar teknis yang
berlaku, seperti:
1) Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu untuk Bangunan
Gedung.
2) Tata cara/pedoman lain yang masih terkait dalam perencanaan
konstruksi kayu.
3) Tata Cara Pembuatan dan Perakitan Konstruksi Kayu
4) SNI 03 2407 1991 atau edisi terbaru; Tata cara
pengecatan kayu untuk rumah dan gedung.

(d) Konstruksi dengan Bahan dan Teknologi Khusus


1) Perencanaan konstruksi dengan bahan dan teknologi khusus
harus dilaksanakan oleh ahli struktur yang terkait dalam bidang
bahan dan teknologi khusus tersebut.
2) Perencanaan konstruksi dengan memperhatikan standar teknis
padanan untuk spesifikasi teknis, tata cara, dan metoda uji
bahan dan teknologi khusus tersebut.
(e) Pedoman Spesifik Untuk Tiap Jenis Konstruksi
Selain pedoman yang spesifik untuk masing-masing jenis konstruksi,
standar teknis lainnya yang terkait dalam perencanaan suatu
bangunan yang harus dipenuhi, antara lain:
1) SNI 03-1735-2000 atau edisi terbaru; Tata cara perencanaan
bangunan dan lingkungan untuk pencegahan bahaya
kebakaran pada bangunan rumah dan gedung.
2) SNI 03-1736-1989 atau edisi terbaru; Tata cara perencanaan
struktur bangunan untuk pencegahan bahaya kebakaran pada
bangunan rumah dan gedung.
3) SNI 03-1963-1990 atau edisi terbaru; Tata cara dasar
koordinasi modular untuk perancangan bangunan rumah dan
gedung.
4) SNI 032395-1991 atau edisi terbaru; Tata cara perencanaan
dan perancangan bangunan radiologi di rumah sakit.
5) SNI 032394-1991 atau edisi terbaru; Tata cara perencanaan
dan perancangan bangunan kedokteran nuklir di rumah sakit.
6) SNI 032404-1991 atau edisi terbaru; Tata cara pencegahan
rayap pada pembuatan bangunan rumah dan gedung.
7) SNI 032405-1991 atau edisi terbaru; Tata cara
penanggulangan rayap pada bangunan rumah dan gedung
dengan termitisida.
3. Persyaratan Kemampuan Struktur Bawah Bangunan
Rumah Sakit Terhadap Beban Muatan
Struktur bawah bangunan rumah sakit dapat berupa pondasi
langsung atau pondasi dalam, disesuaikan dengan kondisi tanah di lokasi
didirikannya rumah sakit.
(a) Pondasi Langsung
1) Kedalaman pondasi langsung harus direncanakan sedemikian
rupa sehingga dasarnya terletak di atas lapisan tanah yang
mantap dengan daya dukung tanah yang cukup kuat dan
selama berfungsinya bangunan tidak mengalami penurunan
yang melampaui batas.
2) Perhitungan daya dukung dan penurunan pondasi dilakukan
sesuai teori mekanika tanah yang baku dan lazim dalam
praktek, berdasarkan parameter tanah yang ditemukan dari
penyelidikan tanah dengan memperhatikan nilai tipikal dan
korelasi tipikal dengan parameter tanah yang lain.
3) Pelaksanaan pondasi langsung tidak boleh menyimpang dari
rencana dan spesifikasi teknik yang berlaku atau ditentukan
oleh perencana ahli yang memiiki sertifikasi sesuai.
4) Pondasi langsung dapat dibuat dari pasangan batu atau
konstruksi beton bertulang.
(b) Pondasi Dalam
1) Dalam hal penggunaan tiang pancang beton bertulang harus
mengacu pedoman teknis dan standar yang berlaku.
2) Dalam hal lokasi pemasangan tiang pancang terletak di daerah
tepi laut yang dapat mengakibatkan korosif harus
memperhatikan pengamanan baja terhadap korosi memenuhi
pedoman teknis dan standar yang berlaku.
3) Dalam hal perencanaan atau metode pelaksanaan
menggunakan pondasi yang belum diatur dalam SNI dan/atau
mempunyai paten dengan metode konstruksi yang belum
dikenal, harus mempunyai sertifikat yang dikeluarkan instansi
yang berwenang.
4) Dalam hal perhitungan struktur menggunakan perangkat lunak,
harus menggunakan perangkat lunak yang diakui oleh asosiasi
terkait).
5) Pondasi dalam pada umumnya digunakan dalam hal lapisan
tanah dengan daya dukung yang cukup terletak jauh di bawah
permukaan tanah, sehingga penggunaan pondasi langsung
dapat menyebabkan penurunan yang berlebihan atau
ketidakstabilan konstruksi.
6) Perhitungan daya dukung dan penurunan pondasi dilakukan
sesuai teori mekanika tanah yang baku dan lazim dalam
praktek, berdasarkan parameter tanah yang ditemukan dari
penyelidikan tanah dengan memperhatikan nilai tipikal dan
korelasi tipikal dengan parameter tanah yang lain.
7) Umumnya daya dukung rencana pondasi dalam harus
diverifikasi dengan percobaan pembebanan, kecuali jika jumlah
pondasi dalam direncanakan dengan faktor keamanan yang
jauh lebih besar dari faktor keamanan yang lazim.
8) Percobaan pembebanan pada pondasi dalam harus dilakukan
dengan berdasarkan tata cara yang lazim dan hasilnya harus
dievaluasi oleh perencana ahli yang memiliki sertifikasi sesuai.
9) Jumlah percobaan pembebanan pada pondasi dalam adalah 1%
dari jumlah titik pondasi yang akan dilaksanakan dengan
penentuan titik secara random, kecuali ditentukan lain oleh
perencana ahli serta disetujui oleh instansi yang bersangkutan.
(c) Keselamatan Struktur
1) Untuk menentukan tingkat keandalan struktur bangunan, harus
dilakukan pemeriksaan keandalan bangunan secara berkala
sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman Teknis Tata Cara
Pemeriksaan Keandalan Bangunan Gedung.
2) Perbaikan atau perkuatan struktur bangunan harus segera
dilakukan sesuai rekomendasi hasil pemeriksaan keandalan
bangunan rumah salikit, sehingga rumah sakit selalu
memenuhi persyaratan keselamatan struktur.
3) Pemeriksaan keandalan bangunan rumah sakit dilaksanakan
secara berkala sesuai klasifikasi bangunan, dan harus dilakukan
atau didampingi oleh ahli yang memiliki sertifikasi sesuai.
(d) Keruntuhan Struktur
Untuk mencegah terjadinya keruntuhan struktur yang tidak
diharapkan, pemeriksaan keandalan bangunan harus dilakukan
secara berkala sesuai dengan pedoman/petunjuk teknis yang
berlaku.
(e) Persyaratan Bahan
1) Bahan struktur yang digunakan harus sudah memenuhi semua
persyaratan keamanan, termasuk keselamatan terhadap
lingkungan dan pengguna bangunan, serta sesuai pedoman
teknis atau standar teknis yang berlaku.
2) Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum
mempunyai SNI, dapat digunakan standar baku dan pedoman
teknis yang diberlakukan oleh instansi yang berwenang.
3) Bahan yang dibuat atau dicampurkan di lapangan, harus
diproses sesuai dengan standar tata cara yang baku untuk
keperluan yang dimaksud.
4) Bahan bangunan prefabrikasi harus dirancang sehingga
memiliki sistem hubungan yang baik dan mampu
mengembangkan kekuatan bahan-bahan yang dihubungkan,
serta mampu bertahan terhadap gaya angkat pada saat
pemasangan/pelaksanaan.
4. Persyaratan Kemampuan Bangunan Rumah sakit Terhadap
Bahaya Kebakaran
1) Sistem Proteksi Pasif
Setiap bangunan rumah sakit harus mempunyai sistem proteksi
pasif terhadap bahaya kebakaran yang berbasis pada desain atau
pengaturan terhadap komponen arsitektur dan struktur rumah sakit
sehingga dapat melindungi penghuni dan benda dari kerusakan fisik
saat terjadi kebakaran.
Penerapan sistem proteksi pasif didasarkan pada fungsi/klasifikasi
resiko kebakaran, geometri ruang, bahan bangunan terpasang,
dan/atau jumlah dan kondisi penghuni dalam rumah sakit.
(1) Rumah sakit harus mampu secara struktural stabil selama
kebakaran.
(2) Kompartemenisasi dan konstruksi pemisah untuk membatasi
kobaran api yang potensial, perambatan api dan asap, agar
dapat:
(a) melindungi penghuni yang berada di suatu bagian
bangunan terhadap dampak kebakaran yang terjadi
ditempat lain di dalam bangunan.
(b) mengendalikan kobaran api agar tidak menjalar ke
bangunan lain yang berdekatan.
(c) menyediakan jalan masuk bagi petugas pemadam
kebakaran
(3) Proteksi Bukaan
Seluruh bukaan harus dilindungi, dan lubang utilitas harus
diberi penyetop api (fire stop) untuk mencegah merambatnya
api serta menjamin pemisahan dan kompartemenisasi
bangunan.
2) Sistem Proteksi Aktif
Sistem proteksi aktif adalah peralatan deteksi dan pemadam yang
dipasang tetap atau tidak tetap, berbasis air, bahan kimia atau gas,
yang digunakan untuk mendeteksi dan memadamkan kebakaran
pada bangunan rumah sakit.
(1) Pipa tegak dan slang Kebakaran
Sistem pipa tegak ditentukan oleh ketinggian gedung, luas per
lantai, klasifikasi hunian, sistem sarana jalan ke luar, jumlah
aliran yang dipersyaratkan dan sisa tekanan, serta jarak
sambungan selang dari sumber pasokan air.
(2) Hidran Halaman
Hidran halaman diperlukan untuk pemadaman api dari luar
bangunan gedung. Sambungan slang ke hidran halaman harus
memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh instansi
kebakaran setempat.
(3) Sistem Sprinkler Otomatis
Sistem sprinkler otomatis harus dirancang untuk memadamkan
kebakaran atau sekurang-kurangnya mampu mempertahankan
kebakaran untuk tetap, tidak berkembang, untuk sekurang-
kurangnya 30 menit sejak kepada sprinkler pecah.
(4) Pemadam Api Ringan (PAR)
Alat pemadam api ringan kimia (APAR) harus ditujukan untuk
menyediakan sarana bagi pemadaman api pada tahap awal.
Konstruksi APAR dapat dari jenis portabel (jinjing) atau beroda,
(5) Sistem Pemadam Kebakaran Khusus
Sistem pemadaman khusus yang dimaksud adalah sistem
pemadaman bukan portable (jinjing) dan beroperasi secara
otomatis untuk perlindungan dalam ruang-ruang dan atau
penggunaan khusus.
Sistem pemadam khusus meliputi sistem gas dan sistem busa.
(6) Sistem Deteksi & Alarm Kebakaran
Sistem deteksi dan alarm kebakaran berfungsi untuk
mendeteksi secara dini terjadinya kebakaran, baik secara
otomatis maupun manual.
(7) Sistem Pencahayaan Darurat
Pencahayaan darurat di dalam rumah sakit diperlukan
khususmya pada keadaan darurat, misalnya tidak berfungsinya
pencahayaan normal dari PLN atau tidak dapat beroperasinya
dengan segera daya siaga dari generator.
(8) Tanda Arah
Bila petunjuk pintu keluar darurat tidak dapat terlihat secara
langsung dengan jelas oleh pengunjung atau pengguna
bangunan, maka harus dipasang tanda penunjuk dengan tanda
panah menunjukkan arah, dan dipasang di koridor, jalan
menuju ruang besar (hall), lobi dan semacamnya yang
memberikan indikasi penunjukkan arah ke pintu keluar darurat
yang disyaratkan.
(9) Sistem Peringatan Bahaya
Sistem peringatan bahaya dapat juga difungsikan sebagai
sistem penguat suara (public address), diperlukan guna
memberikan panduan kepada penghuni dan tamu sebagai
tindakan evakuasi atau penyelamatan dalam keadaan darurat.
Ini dimaksudkan agar penghuni bangunan memperoleh
informasi panduan yang tepat dan jelas.
5. Persyaratan Komunikasi Telepon Dalam Rumah sakit
Persyaratan komunikasi dalam rumah sakit dimaksudkan sebagai
penyediaan sistem komunikasi baik untuk keperluan internal bangunan
maupun untuk hubungan ke luar, pada saat terjadi kebakaran dan/atau
kondisi darurat lainnya. Termasuk antara lain: sistem telepon, sistem tata
suara, sistem voice evacuation, dan sistem panggil perawat.
Penggunaan instalasi tata suara pada waktu keadaan darurat
dimungkinkan asal memenuhi pedoman dan standar teknis yang berlaku.
(a) Sistem instalasi komunikasi telepon dan sistem tata komukasi
gedung, penempatannya harus mudah diamati, dioperasikan,
dipelihara, tidak membahayakan, mengganggu dan merugikan
lingkungan dan bagian bangunan serta sistem instalasi lainnya,
serta direncanakan dan dilaksanakan berdasarkan standar,
normalisasi teknik dan peraturan yang berlaku.
(b) Peralatan dan instalasi sistem komunikasi harus tidak memberi
dampak, dan harus diamankan terhadap gangguan seperti
interferensi gelombang elektro magnetik, dan lain-lain.
(c) Secara berkala dilakukan pengukuran/pengujian terhadap EMC
(Electro Magnetic Campatibility). Apabila hasil pengukuran terhadap
EMC melampaui ambang batas yang ditentukan, maka langka
penanggulangan dan pengamanan harus dilakukan.
(d) Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum mempunyai
SNI, dapat digunakan standar baku dan pedoman teknis yang
diberlakukan oleh instansi yang berwenang
(e) Tempat pemberhentian ujung kabel harus terang, tidak ada
genangan air, aman dan mudah dikerjakan.
(f) Ukuran lubang orang (manhole) yang melayani saluran masuk ke
dalam gedung untuk instalasi telepon minimal berukuran 1,50 m x
0,80 m dan harus diamankan agar tidak menjadi jalan air masuk ke
rumah sakit pada saat hujan dll.
(g) Diupayakan dekat dengan kabel catu dari kantor telepon dan dekat
dengan jalan besar.
(h) Penempatan kabel telepon yang sejajar dengan kabel listrik, minimal
berjarak 0,10 m atau sesuai ketentuan yang berlaku.
(i) Ruang PABX/TRO sistem telepon harus memenuhi persyaratan:
(j) Ruang yang bersih, terang, kedap debu, sirkulasi udaranya cukup
dan tidak boleh kena sinar matahari langsung, serta memenuhi
persyaratan untuk tempat peralatan.
(k) Tidak boleh digunakan cat dinding yang mudah mengelupas.
(l) Tersedia ruangan untuk petugas sentral dan operator telepon.
(m) Ruang batere sistem telepon harus bersih, terang, mempunyai
dinding dan lantai tahan asam, sirkulasi udara cukup dan udara
buangnya harus dibuang ke udara terbuka dan tidak ke ruang
publik, serta tidak boleh kena sinar matahari langsung.
6. Persyaratan Tata Suara Dalam Rumah sakit
(a) Setiap bangunan rumah sakit dengan ketinggian 4 lantai atau 14 m
keatas, harus dipasang sistem tata suara yang dapat digunakan
untuk menyampaikan pengumuman dan instruksi apabila terjadi
kebakaran atau keadaan darurat lainnya.
(b) Sistem peralatan komunikasi darurat sebagaimana dimaksud pada
butir a) di atas harus menggunakan sistem khusus, sehingga apabila
sistem tata suara umum rusak, maka sistem telepon darurat tetap
dapat bekerja.
(c) Kabel instalasi komunikasi darurat harus terpisah dari instalasi
lainnya, dan dilindungin terhadap bahaya kebakaran, atau terdiri
dari kabel tahan api.
(d) Harus dilengkapi dengan sumber/pasokan daya listrik untuk kondisi
normal maupun pada kondisi daya listrik utama mengalami
gangguan, dengan kapasitas dan dapat melayani dalam waktu yang
cukup sesuai ketentuan yang berlaku.
(e) Persyaratan sistem komunikasi dalam gedung harus memenuhi:
1) UU No. 32 tahun 1999, tentang Telekomunikasi.
2) PP No. 52/2000, tentang Telekomunikasi Indonesia.
7. Instalasi Panggilan Perawat (Nurse Call)
(1) Peralatan sistem panggil perawat dimaksudkan untuk memberikan
pelayanan kepada pasien yang memerlukan bantuan perawat, baik
dalam kondisi rutin atau darurat.
(2) Sistem panggil perawat bertujuan menjadi alat komunikasi antara
perawat dan pasien dalam bentuk visual dan audible (suara), dan
memberikan sinyal pada kejadian darurat pasien.
8. Instalasi Proteksi Terhadap Bahaya Petir
Suatu instalasi proteksi petir dapat melindungi semua bagian dari
bangunan rumah sakit, termasuk manusia yang ada di dalamnya, dan
instalasi serta peralatan lainnya terhadap bahaya sambaran petir.
9. Sistem Kelistrikan
(1) Sistem tegangan rendah (TR) dalam gedung adalah 3 fase 220/380
Volt, dengan frekuensi 50 Hertz. Sistem tegangan menengah (TM)
dalam gedung adalah 20 KV atau kurang, dengan frekuensi 50 Hertz,
mengikuti ketentuan yang berlaku.
Untuk Rumah Sakit yang memiliki kapasitas daya listrik tersambung
dari PLN minimal 200 KVA disarankan agar sudah memiliki sistem
jaringan listrik Tegangan Menengah 20 KV (jaringan listrik TM 20 KV),
sesuai pedoman bahwa Rumah Sakit Daerah Blitar mempunyai
Kapasitas daya listrik 300 KVA s/d 600 KVA, dengan perhitungan 3
KVA per Tempat Tidur (TT).
(2) Instalasi listrik tegangan menengah tersebut antara lain :
a. Penyediaan bangunan gardu listrik rumah sakit (ukuran
sesuai standar gardu PLN).
b. Peralatan Transformator (kapasitas sesuai daya terpasang).
c. Peralatan panel TM 20 KV dan aksesorisnya.
d. Peralatan pembantu dan sistem pengamanan (grounding).
(3) Harus tersedia peralatan UPS (Uninterruptable Power
Supply) untuk melayani Kamar Operasi (Central Operating Theater),
Ruang Perawatan Intensif (Intensive Care Unit), Ruang Perawatan
Intensif Khusus Jantung (Intensive Cardiac Care Unit).
a. Harus tersedia Ruang UPS minimal 2 X 3 m2 (sesuai
kebutuhan) terletak di Gedung COT, ICU, ICCU dan diberi
pendingin ruangan.
b. Kapasitas UPS setidaknya 30 KVA.
(4) Sistem Penerangan Darurat (emergency lighting) harus tersedia
pada ruang-ruang tertentu.
(5) Harus tersedia sumber listrik cadangan berupa diesel generator
(Genset). Genset harus disediakan 2 (dua) unit dengan kapasitas
minimal 60% dari jumlah daya terpasang pada masing-masing unit.
Genset dilengkapi sistem AMF dan ATS.
(6) Sistem kelistrikan RS Kelas C harus dilengkapi dengan transformator
isolator dan kelengkapan monitoring sistem IT kelompok 2E minimal
berkapasitas 5 KVA untuk titik-titik stop kontak yang mensuplai
peralatan-peralatan medis penting (life support medical equipment).
(7) Sistem Pembumian (grounding system) harus terpisah antara
grounding panel gedung dan panel alat. Nilai grounding peralatan
tidak boleh kurang dari 0,2 Ohm.
A.4.4.3. Persyaratan Kesehatan Bangunan Rumah Sakit
Persyaratan kesehatan rumah sakit meliputi persyaratan sistem
penghawaan, pencahayaan, sanitasi, dan penggunaan bahan bangunan
rumah sakit.
1. Persyaratan Sistem Penghawaan (Ventilasi)
(a) Setiap bangunan rumah sakit harus mempunyai ventilasi alami
dan/atau ventilasi mekanik/buatan sesuai dengan fungsinya.
(b) Bangunan rumah sakit harus mempunyai bukaan permanen, kisi-kisi
pada pintu dan jendela dan/atau bukaan permanen yang dapat
dibuka untuk kepentingan ventilasi alami.
(c) Jika ventilasi alami tidak mungkin dilaksanakan, maka diperlukan
ventilasi mekanis seperti pada bangunan fasilitas tertentu yang
memerlukan perlindungan dari udara luar dan pencemaran.
(d) Persyaratan teknis sistem ventilasi, kebutuhan ventilasi, mengikuti
Persyaratan Teknis berikut:
1) SNI 03 6572 - 2000 atau edisi terbaru; Tata cara
perancangan sistem ventilasi dan pengkondisian udara pada
bangunan gedung.
2) SNI 03 6390 - 2000 atau edisi terbaru; Konservasi energi
sistem tata udara pada bangunan gedung
2. Persyaratan Sistem Pencahayaan
Setiap rumah sakit untuk memenuhi persyaratan sistem
pencahayaan harus mempunyai pencahayaan alami dan/atau
pencahayaan buatan/ mekanik, termasuk pencahayaan darurat sesuai
dengan fungsinya.
(a) Rumah sakit tempat tinggal, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan
bangunan pelayanan umum harus mempunyai bukaan untuk
pencahayaan alami.
(b) Pencahayaan alami harus optimal, disesuaikan dengan fungsi rumah
sakit dan fungsi masing-masing ruang di dalam rumah sakit.
(c) Pencahayaan buatan harus direncanakan berdasarkan tingkat
iluminasi yang dipersyaratkan sesuai fungsi ruang dalam rumah
sakit dengan mempertimbangkan efisiensi, penghematan energi
yang digunakan, dan penempatannya tidak menimbulkan efek silau
atau pantulan.
(d) Pencahayaan di RS harus memenuhi standar kesehatan dalam
melaksanakan pekerjaannya sesuai standar intensitas cahaya
sebagai berikut :
TABEL 5.2. TABEL INDEKS PENCAHAYAAN MENURUT JENIS RUANG ATAU
UNIT
INTENSITAS
NO KKETERANGA
RUANG ATAU UNIT CAHAYA
. N
(lux)
Ruang pasien
Warna cahaya
1 - saat tidak tidur 100 200
sedang
- saat tidur maks. 50
2 R. Operasi umum 300 500
Warna cahaya
sejuk atau
3 Meja operasi 10.000 20.000
sedang tanpa
bayangan
4 Anastesi, pemulihan 300 500
5 Endoscopy, lab 75 100
6 Sinar X minimal 60
7 Koridor Minimal 100
8 Tangga Minimal 100 Malam hari
9 Administrasi/kantor Minimal 100
10 Ruang alat/gudang Minimal 200
11 Farmasi Minimal 200
12 Dapur Minimal 200
13 Ruang cuci Minimal 100
14 Toilet Minimal 100
R. Isolasi khusus penyakit Warna cahaya
15 0,1 0,5
Tetanus biru
16 Ruang luka bakar 100 200

3. Persyaratan Sanitasi
Persyaratan Sanitasi Rumah Sakit dapat dilihat pada Keputusan
Menteri Kesehatan RI Nomor 1204/MENKES/SK/X/2004, tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.
A) Persyaratan Air Bersih
(1) Harus tersedia air bersih yang cukup dan memenuhi syarat
kesehatan, atau dapat mengadakan pengolahan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
(2) Tersedia air bersih minimal 500 lt/tempat tidur/hari.
(3) Air minum dan air bersih tersedia pada setiap tempat kegiatan
yang membutuhkan secara berkesinambungan.
(4) Tersedia penampungan air (reservoir) bawah atau atas.
(5) Distribusi air minum dan air bersih di setiap ruangan/kamar
harus menggunakan jaringan perpipaan yang mengalir dengan
tekanan positif.
(6) Penyediaan Fasilitas air panas dan uap terdiri atas Unit Boiler,
sistem perpipaan dan kelengkapannya untuk distribusi ke
daerah pelayanan.
(7) Dalam rangka pengawasan kualitas air maka RS harus
melakukan inspeksi terhadap sarana air minum dan air bersih
minimal 1 (satu) tahun sekali.
(8) Pemeriksaan kimia air minum dan atau air bersih dilakukan
minimal 2 (dua) kali setahun (sekali pada musim kemarau dan
sekali pada musim hujan), titik sampel yaitu pada
penampungan air (reservoir) dan keran terjauh dari reservoir.
(9) Kualitas air yang digunakan di ruang khusus, seperti ruang
operasi.
(10) RS yang telah menggunakan air yang sudam diolah seperti
dari PDAM, sumur bor dan sumber lain untuk keperluan operasi
dapat melakukan pengolahan tambahan dengan cartridge filter
dan dilengkapi dengan desinfeksi menggunakan ultra violet.
(11) Ruang Farmasi dan Hemodialisis : yaitu terdiri dari air yang
dimurnikan untuk penyiapan obat, penyiapan injeksi dan
pengenceran dalam hemodialisis.
(12) Tersedia air bersih untuk keperluan pemadaman kebakaran
dengan mengikuti ketentuan yang berlaku.
(13) Sistem Plambing air bersih/minum dan air buangan/kotor
mengikuti persyaratan teknis sesuai SNI 03-6481-2000 atau
edisi terbaru, Sistem Plambing 2000.
B) Sistem Pengolahan dan Pembuangan Limbah
Persyaratan Pengolahan dan Pembuangan Limbah Rumah Sakit
dalam bentuk padat, cair dan gas, baik limbah medis maupun non-
medis dapat dilihat pada Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1204/MENKES/SK/X/2004, tentang Persyaratan Kesehatan
Lingkungan Rumah Sakit.
C) Persyaratan Instalasi Gas Medik
Sistem gas medik dan vakum medik harus direncanakan dan
dipasang dengan mempertimbangkan jenis dan tingkat bahayanya.
(a) Persyaratan ini berlaku wajib untuk fasilitas pelayanan
kesehatan di rumah sakit, rumah perawatan, fasilitas
hiperbarik, klinik bersalin dan fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya.
(b) Bila terdapat istilah gas medik atau vakum, ketentuan tersebut
berlaku wajib bagi semua sistem perpipaan untuk oksigen,
nitrous oksida, udara tekan medik, karbon dioksida, helium,
nitrogen, vakum medik untuk pembedahan, pembuangan sisa
gas anestesi, dan campuran dari gas-gas tersebut. Bila
terdapat nama layanan gas khusus atau vakum, maka
ketentuan tersebut hanya berlaku bagi gas tersebut.
(c) Sistem yang sudah ada yang tidak sepenuhnya memenuhi
ketentuan ini boleh tetap digunakan sepanjang pihak yang
berwenang telah memastikan bahwa penggunaannya tidak
membahayakan jiwa.
(d) Potensi bahaya kebakaran dan ledakan yang berkaitan dengan
sistem perpipaan sentral gas medik dan sistem vakum medik
harus dipertimbangkan dalam perancangan, pemasangan,
pengujian, pengoperasian dan pemeliharaan sistem ini.
(e) Identifikasi dan pelabelan sistem pasokan terpusat (sentral)
harus jelas.
(f) Silinder/tabung dan kontainer yang boleh digunakan harus
yang telah dibuat, diuji, dan dipelihara sesuai spesifikasi dan
ketentuan dari pihak berwenang.
(g) Isi silinder/tabung harus diidentifikasi dengan suatu label atau
cetakan yang ditempelkan yang menyebutkan isi atau
pemberian warna pada silinder/tabung sesuai ketentuan yang
berlaku.
(h) Sebelum digunakan harus dipastikan isi silinder/tabung atau
kontainer dengan memperhatikan warna tabung, keterangan isi
tabung yang diemboss pada badan tabung, label (bila ada).
(i) Label tidak boleh dirusak, diubah atau dilepas, dan fiting
penyambung tidak boleh dimodifikasi.
(j) Pengoperasian sistem pasokan sentral.
1) Harus dilarang penggunaan adaptor atau fiting konversi
untuk menyesuaikan fiting khusus suatu gas ke fiting gas
lainnya.
2) Hanya silinder gas medik dan perlengkapannya yang
boleh disimpan dalam ruangan tempat sistem pasokan
sentral atau silinder gas medik.
3) Harus dilarang penyimpanan bahan mudah menyala,
silinder berisi gas mudah menyala atau yang berisi cairan
mudah menyala, di dalam ruangan bersama silinder gas
medik.
4) Dibolehkan pemasangan rak kayu untuk menyimpan
silinder gas medik.
5) Bila silinder terbungkus pada saat diterima, pembungkus
tersebut harus dibuang sebelum disimpan.
6) Tutup pelindung katup harus dipasang erat pada
tempatnya bila silinder sedang tidak digunakan.
7) Harus dilarang penggunaan silinder tanpa penandaan
yang benar, atau yang tanda dan fiting untuk gas spesifik
tidak sesuai.
8) Unit penyimpan cairan kriogenik yang dimaksudkan
memasok gas ke dalam fasilitas harus dilarang digunakan
untuk mengisi ulang bejana lain penyimpan cairan.
(k) Perancangan dan pelaksanaan
Lokasi untuk sistem pasokan sentral dan penyimpanan gas-gas
medik harus memenuhi persyaratan berikut :
1) Dibangun dengan akses ke luar dan masuk lokasi untuk
memindahkan silinder, peralatan, dan sebagainya.
2) Dijaga keamanannya dengan pintu atau gerbang yang
dapat dikunci, atau diamankan dengan cara lain.
3) Jika di luar ruangan/bangunan, harus dilindungi dengan
dinding atau pagar dari bahan yang tidak dapat terbakar.
4) Jika di dalam ruangan/bangunan, harus dibangun dengan
menggunakan bahan interior yang tidak dapat terbakar
atau sulit terbakar, sehingga semua dinding, lantai, langit-
langit dan pintu sekurang-kurangnya mempunya tingkat
ketahanan api 1 jam.
5) Dilengkapi dengan rak, rantai, atau pengikat lainnya untuk
mengamankan masing-masing silinder, baik yang
terhubung maupun tidak terhubung, penuh atau kosong,
agar tidak roboh.
6) Dipasok dengan daya listrik yang memenuhi persyaratan
sistem kelistrikan esensial.
7) Apabila disediakan rak, lemari, dan penyangga, harus
dibuat dari bahan tidak dapat terbakar atau bahan sulit
terbakar.
(l) Standar dan pedoman teknis.
1) Untuk sistem gas medik pada bangunan gedung, harus
dipenuhi SNI 03-7011-2004, tentang Keselamatan pada
bangunan fasilitas pelayanan kesehatan, atau edisi
terakhir.
2) Dalam hal persyaratan diatas belum ada SNI-nya, dipakai
Standar baku dan ketentuan teknis yang berlaku.

D) Persyaratan Penyaluran Air Hujan


Sistem penyaluran air hujan harus direncanakan dan dipasang
dengan mempertimbangkan ketinggian permukaan air tanah,
permeabilitas tanah, dan ketersediaan jaringan drainase
lingkungan/kota.
(a) Setiap bangunan gedung dan pekarangannya harus dilengkapi
dengan sistem penyaluran air hujan.
(b) Kecuali untuk daerah tertentu, air hujan harus diresapkan ke
dalam tanah pekarangan dan/atau dialirkan ke sumur resapan
sebelum dialirkan ke jaringan drainase lingkungan/kota sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
(c) Pemanfaatan air hujan diperbolehkan dengan mengikuti
ketentuan yang berlaku.
(d) Bila belum tersedia jaringan drainase kota ataupun sebab lain
yang dapat diterima, maka penyaluran air hujan harus
dilakukan dengan cara lain yang dibenarkan oleh instansi yang
berwenang.
(e) Sistem penyaluran air hujan harus dipelihara untuk mencegah
terjadinya endapan dan penyumbatan pada saluran.
(f) Pengolahan dan penyaluran air hujan mengikuti persyaratan
teknis berikut:
1) SNI 03-2453-2002 atau edisi terbaru; Tata cara
perencanaan sumur resapan air hujan untuk lahan
pekarangan.
2) SNI 03-2459-2002 atau edisi terbaru; Spesifikasi sumur
resapan air hujan untuk lahan pekarangan.
3) Tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan
sistem penyaluran air hujan pada bangunan gedung.
A.4.4.4. Persyaratan Kenyamanan Bangunan Rumah Sakit
Persyaratan kenyamanan bangunan rumah sakit meliputi
kenyamanan ruang gerak dan hubungan antarruang,
kenyamanan termal dalam ruang, kenyamanan pandangan
(visual), serta kenyamanan terhadap tingkat getaran dan
kebisingan.
1 Persyaratan Kenyamanan Ruang Gerak dalam Bangunan
rumah sakit
(1) Umum
Persyaratan Kenyamanan Ruang Gerak dan Hubungan Antar
Ruang
(a) Untuk mendapatkan kenyamanan ruang gerak dalam
bangunan rumah sakit, harus mempertimbangkan:
1) fungsi ruang, jumlah pengguna, perabot/peralatan,
aksesibilitas ruang, di dalam bangunan rumah
sakit; dan
2) persyaratan keselamatan dan kesehatan.

(b) Untuk mendapatkan kenyamanan hubungan antarruang


harus mempertimbang kan :
1) fungsi ruang, aksesibilitas ruang, dan jumlah
pengguna dan perabot/ peralatan di dalam
bangunan rumah sakit;
2) sirkulasi antarruang horizontal dan vertikal; dan
3) persyaratan keselamatan dan kesehatan.
(2) Persyaratan Teknis
Dalam hal persyaratan kenyamanan ruang gerak pada
bangunan rumah sakit belum mempunyai SNI, dapat
digunakan standar baku dan pedoman teknis yang
diberlakukan oleh instansi yang berwenang.

2. Persyaratan Kenyamanan Termal Dalam Ruang


(1) Umum
(a) Untuk kenyamanan termal dalam ruang di dalam
bangunan rumah sakit harus mempertimbangkan
temperatur dan kelembaban udara.
(b) Untuk mendapatkan tingkat temperatur dan
kelembaban udara di dalam ruangan dapat dilakukan
dengan alat pengkondisian udara yang
mempertimbangkan :
1) fungsi bangunan rumah sakit/ruang, jumlah
pengguna, letak geografis, orientasi bangunan,
volume ruang, jenis peralatan, dan penggunaan
bahan bangunan;
2) kemudahan pemeliharaan dan perawatan; dan
3) prinsip-prinsip penghematan energi dan ramah
lingkungan
(2) Persyaratan Teknis
Untuk kenyamanan termal pada bangunan gedung harus
memenuhi SNI 03-6572-2001 atau edisi terbaru; Tata cara
perancangan sistem ventilasi dan pengkondisian udara pada
bangunan gedung.
3. Persyaratan Kenyamanan Pandangan (Visual)
(a) Untuk mendapatkan kenyamanan pandangan (visual) harus
mempertimbangkan kenyamanan pandangan dari dalam
bangunan ke luar dan dari luar bangunan ke ruang-ruang
tertentu dalam bangunan rumah sakit.
(b) Kenyamanan pandangan (visual) dari dalam bangunan ke
luar harus mempertimbangkan :
1) gubahan massa bangunan, rancangan bukaan, tata
ruang-dalam dan luar bangunan, dan rancangan bentuk
luar bangunan;
2) pemanfaatan potensi ruang luar bangunan rumah sakit.
(c) Kenyamanan pandangan (visual) dari luar ke dalam
bangunan harus mempertimbangkan :
1) rancangan bukaan, tata ruang-dalam dan luar
bangunan, dan rancangan bentuk luar bangunan rumah
sakit;
2) keberadaan bangunan rumah sakit yang ada dan/atau
yang akan ada di sekitarnya.
3) pencegahan terhadap gangguan silau dan pantulan
sinar.
4. Kenyamanan Terhadap Tingkat Getaran
Kenyamanan terhadap getaran adalah suatu keadaan dengan
tingkat getaran yang tidak menimbulkan gangguan bagi
kesehatan dan kenyamanan seseorang dalam melakukan
kegiatannya.
Getaran dapat berupa getaran kejut, getaran mekanik atau
seismik baik yang berasal dari penggunaan peralatan atau
sumber getar lainnya baik dari dalam bangunan maupun dari luar
bangunan.

5. Persyaratan Kenyamanan Terhadap Kebisingan


(a) Kenyamanan terhadap kebisingan adalah keadaan dengan
tingkat kebisingan yang tidak menimbulkan gangguan
pendengaran, kesehatan, dan kenyamanan bagi seseorang
dalam melakukan kegiatan
(b) Gangguan kebisingan pada bangunan gedung dapat berisiko
cacat pendengaran. Untuk memproteksi gangguan tersebut
perlu dirancang lingkungan akustik di tempat kegiatan
dalam bangunan yang sudah ada dan bangunan baru.
(c) Untuk mendapatkan tingkat kenyamanan terhadap
kebisingan pada bangunan rumah sakit harus
mempertimbangkan jenis kegiatan, penggunaan peralatan,
dan/atau sumber bising lainnya baik yang berada pada
bangunan gedung maupun di luar bangunan rumah sakit.
(d) Setiap bangunan rumah sakit dan/atau kegiatan yang karena
fungsinya menimbulkan dampak kebisingan terhadap
lingkungannya dan/atau terhadap bangunan rumah sakit
yang telah ada, harus meminimalkan kebisingan yang
ditimbulkan sampai dengan tingkat yang diizinkan.
(e) Untuk kenyamanan terhadap kebisingan pada bangunan
rumah sakit harus dipenuhi standar tata cara perencanaan
kenyamanan terhadap kebisingan pada bangunan gedung.
(f) Persyaratan kebisingan untuk masing-masing ruangan/ unit
dalam RS adalah sebagai berikut :
TABEL 5.3. TABEL INDEKS KEBISINGAN MENURUT JENIS RUANG ATAU
UNIT3
MAKSIMUM
NO KEBISINGAN (WAKTU
RUANG ATAU UNIT
. PEMAPARAN 8 JAM
DAN SATUAN dBA)
Ruang pasien
45
1 - saat tidak tidur
40
- saat tidur
2 R. Operasi umum 45
3 Anastesi, pemulihan 45
4 Endoscopy, lab 65
5 Sinar X 40
6 Koridor 40
7 Tangga 45
8 Kantor/Lobi 45
9 Ruang Alat/ Gudang 45
10 Farmasi 45
11 Dapur 78
12 Ruang Cuci 78
13 Ruang Isolasi 40
14 Ruang Poli Gigi 80

A.4.4.5.Persyaratan Kemudahan Bangunan Rumah Sakit


Persyaratan kemudahan meliputi kemudahan hubungan horisontal
dalam rumah sakit, serta melengkapi fasilitas prasarana dalam
pemanfaatan bangunan rumah sakit.
1. Persyaratan Hubungan Horisontal dalam Rumah Sakit
(1) Umum
(a) Kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan
rumah sakit meliputi tersedianya fasilitas dan
aksesibilitas yang mudah, aman, dan nyaman bagi
orang yang berkebutuhan khusus, termasuk
penyandang cacat.
(b) Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas harus
mempertimbangkan tersedianya hubungan horizontal
antarruang dalam bangunan rumah sakit, akses
evakuasi, termasuk bagi orang yang berkebutuhan
khusus, termasuk penyandang cacat.

3 Kepmenkes RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan


Kesehatan Lingkungan RS.
(c) Kelengkapan prasarana disesuaikan dengan fungsi
bangunan rumah sakit.
(2) Persyaratan Teknis
(a) Setiap bangunan rumah sakit harus memenuhi
persyaratan kemudahan hubungan horizontal berupa
tersedianya pintu dan/atau koridor yang memadai
untuk terselenggaranya fungsi bangunan rumah sakit
tersebut.
(b) Jumlah, ukuran, dan jenis pintu, dalam suatu ruangan
dipertimbangkan berdasarkan besaran ruang, fungsi
ruang, dan jumlah pengguna ruang.
(c) Arah bukaan daun pintu dalam suatu ruangan
dipertimbangkan berdasarkan fungsi ruang dan aspek
keselamatan.
(d) Ukuran koridor sebagai akses horizontal antarruang
dipertimbangkan berdasarkan fungsi koridor, fungsi
ruang, dan jumlah pengguna.
2. Persyaratan Kemudahan Hubungan Vertikal dalam
Bangunan Rumah Sakit
(1) Umum
Setiap bangunan rumah sakit bertingkat harus menyediakan
sarana hubungan vertikal antar lantai yang memadai untuk
terselenggaranya fungsi bangunan rumah sakit tersebut
berupa tersedianya tangga, ramp, lift, tangga
berjalan/eskalator, dan/atau lantai berjalan/travelator.
(2) Persyaratan Teknis
(a) Jumlah, ukuran, dan konstruksi sarana hubungan
vertikal harus berdasarkan fungsi bangunan rumah
sakit, luas bangunan, dan jumlah pengguna ruang,
serta keselamatan pengguna bangunan gedung.
(b) Setiap bangunan rumah sakit dengan ketinggian di atas
lima lantai harus menyediakan sarana hubungan
vertikal berupa lif.
(c) Bangunan rumah sakit umum yang fungsinya untuk
kepentingan publik, baik berupa fungsi keagamaan,
fungsi usaha, maupun fungsi sosial dan budaya harus
menyediakan fasilitas dan kelengkapan sarana
hubungan vertikal bagi orang yang berkebutuhan
khusus, termasuk penyandang cacat.
(d) Jumlah, kapasitas, dan spesifikasi lif sebagai sarana
hubungan vertikal dalam bangunan gedung harus
mampu melakukan pelayanan yang optimal untuk
sirkulasi vertikal pada bangunan, sesuai dengan fungsi
dan jumlah pengguna bangunan rumah sakit.
(e) Setiap bangunan rumah sakit yang menggunakan lif
harus tersedia lif kebakaran yang dimulai dari lantai
dasar bangunan (ground floor).
(f) Lif kebakaran dapat berupa lif khusus kebakaran atau lif
penumpang biasa atau lif barang yang dapat diatur
pengoperasiannya, sehingga dalam keadaan darurat
dapat digunakan secara khusus oleh petugas
kebakaran.
5.7.3 Persyaratan Sarana Evakuasi
(1) Umum
Setiap bangunan rumah sakit harus menyediakan sarana
evakuasi bagi orang yang berkebutuhan khusus termasuk
penyandang cacat yang meliputi :
(a) sistem peringatan bahaya bagi pengguna,
(b) pintu keluar darurat, dan
(c) jalur evakuasi yang dapat menjamin pengguna
bangunan rumah sakit untuk melakukan evakuasi dari
dalam bangunan rumah sakit secara aman apabila
terjadi bencana atau keadaan darurat.
(2) Persyaratan Teknis
(a) Untuk persyaratan sarana evakuasi pada bangunan
rumah sakit harus dipenuhi standar tata cara
perencanaan sarana evakuasi pada bangunan gedung.
(b) Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum
mempunyai SNI, dapat digunakan standar baku dan
pedoman teknis yang diberlakukan oleh instansi yang
berwenang.
4. Persyaratan Aksesibilitas Penyandang Cacat
(1) Umum
Setiap bangunan rumah sakit, harus menyediakan fasilitas
dan aksesibilitas untuk menjamin terwujudnya kemudahan
bagi penyandang cacat dan lanjut usia masuk dan keluar ke
dan dari bangunan rumah sakit serta beraktivitas dalam
bangunan rumah sakit secara mudah, aman, nyaman dan
mandiri.
(2) Persyaratan Teknis
(a) Fasilitas dan aksesibilitas meliputi toilet, tempat parkir,
telepon umum, jalur pemandu, rambu dan marka, pintu,
ram, tangga, dan lif bagi penyandang cacat dan lanjut
usia.
(b) Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas disesuaikan
dengan fungsi, luas, dan ketinggian bangunan rumah
sakit.
5. Persyaratan Prasarana/Sarana Umum
(1) Umum
(a) Guna memberikan kemudahan bagi pengguna
bangunan rumah sakit untuk beraktivitas di dalamnya,
setiap bangunan rumah sakit untuk kepentingan umum
harus menyediakan kelengkapan prasarana dan sarana
pemanfaatan bangunan rumah sakit, meliputi: ruang
ibadah, toilet, tempat parkir, tempat sampah, serta
fasilitas komunikasi dan informasi.
(b) Penyediaan prasarana dan sarana disesuaikan dengan
fungsi dan luas bangunan rumah sakit, serta jumlah
pengguna bangunan rumah sakit
(2) Persyaratan Teknis
Perencanaan sarana dan prasarana dalam bangunan rumah
sakit mengikuti:
(a) SNI 03-1735-2000 atau edisi terbaru; Tata cara
perencanaan akses bangunan dan akses lingkungan
untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan
gedung.
(b) SNI 03-1746-2000 atau edisi terbaru; Tata cara
perencanaan dan pemasangan sarana jalan keluar
untuk penyelamatan terhadap bahaya kebakaran pada
bangunan gedung.
(c) SNI 03-6573-2001 atau edisi terbaru; Tata cara
perancangan sistem transportasi vertikal dalam gedung
(lif).
(d) Ketentuan teknis Kelengkapan Prasarana dan Sarana
bangunan rumah sakit.
(e) Ketentuan teknis Prasarana dan Sarana pemanfaatan
Bangunan rumah sakit dan Kelengkapannya.
(f) Ketentuan teknis Ukuran, Konstruksi, Jumlah Fasilitas
dan Aksesibilitas bagi Penyandang Cacat.
(g) Dalam hal persyaratan di atas belum mempunyai SNI,
dapat digunakan standar baku dan pedoman teknis
yang diberlakukan oleh instansi yang berwenang.
A.4.4.6. Uraian Bangunan Rumah Sakit
1. INSTALASI RAWAT JALAN
Fungsi Instalasi Rawat Jalan adalah sebagai tempat konsultasi,
penyelidikan, pemeriksaan dan pengobatan pasien oleh dokter ahli di
bidang masing-masing yang disediakan untuk pasien yang membutuhkan
waktu singkat untuk penyembuhannya atau tidak memerlukan pelayanan
perawatan. Poliklinik juga berfungsi sebagai tempat untuk penemuan
diagnosa dini, yaitu tempat pemeriksaan pasien pertama dalam rangka
pemeriksaan lebih lanjut di dalam tahap pengobatan penyakit.
Konsep dasar poliklinik pada prinsipnya ditetapkan sebagai berikut :
1. Letak Poliklinik berdekatan dengan jalan utama, mudah dicapai
dari bagian administrasi, terutama oleh bagian rekam medis,
berhubungan dekat dengan apotek, bagian radiologi dan
laboratorium.
2. Ruang tunggu di poliklinik, harus cukup luas. Diusahakan ada
pemisahan ruang tunggu pasien untuk penyakit infeksi dan non
infeksi.
3. Sistem sirkulasi pasien dilakukan dengan satu pintu (sirkulasi
masuk dan keluar pasien pada pintu yang sama).
4. Poli-poli yang ramai sebaiknya tidak saling berdekatan.
5. Poli anak tidak diletakkan berdekatan dengan Poli Paru, sebaiknya
Poli Anak dekat dengan Poli Kebidanan.
6. Sirkulasi petugas dan sirkulasi pasien dipisahkan.
7. Pada tiap ruangan harus ada wastafel (air mengalir).
8. Letak poli jauh dari ruang incenerator, IPAL dan bengkel ME.
9. Bila konsep Rumah Sakit dengan Sterilisasi Sentral, tidak perlu ada
ruang sterilisasi, namun pada beberapa Poliklinik seperti Poli
Gigi/THT/Bedah tetap harus ada ruang sterilisasi, karena alat-alat
yang digunakan harus langsung disterilkan untuk digunakan kembali
(bila pasien banyak).
Alur kegiatan pada instalasi rawat jalan dapat dilihat pada bagan alir
berikut :

Pasien Datang tanpa Rujukan


Pasien Datang dengan Rujukan

Pendaftaran
Awal (pasien baru) / Ulang (& rekam
medik)

R. Tunggu
Penunjang
Medik:
- Laboratorium Dokter
- Radiologi R. Periksa Perawat
- Fisioterapi, dll Poli umum /
spesialis
Dirujuk ke klinik
spesialis lain/ Alat
RS lain
Pasien
Staf Dirawat di Pulang
Alat Inst. Rawat
Inap
GAMBAR 5.15. ALUR KEGIATAN PADA INSTALASI RAWAT JALAN
2. INSTALASI GAWAT DARURAT
Setiap Rumah Sakit wajib memiliki pelayanan gawat darurat yang
memiliki kemampuan :
Melakukan pemeriksaan awal kasuskasus gawat darurat
Melakukan resusitasi dan stabilisasi
Pelayanan di Unit Gawat Darurat rumah sakit harus dapat memberikan
pelayanan 24 jam secara terus menerus 7 hari dalam seminggu.
Memiliki dokter spesialis empat besar yang siap panggil (on-call), dokter
umum yang siaga di tempat (on-site) dalam 24 jam yang memiliki
kualifikasi pelayanan GELS (General Emergency Life Support) dan atau
ATLS + ACLS dan mampu memberikan resusitasi dan stabilisasi ABC
(Airway, Breathing, Circulation) serta memiliki alat transportasi untuk
rujukan dan komunikasi yang siaga 24 jam.
A. Program Pelayanan pada UGD :
True Emergency (Kegawatan darurat)
1. False Emergency (Kegawatan tidak darurat)
2. Cito Operation.
3. Cito/ Emergency High Care Unit (HCU).
4. Cito Lab.
5. Cito Radiodiagnostik.
6. Cito Darah.
7. Cito Depo Farmasi.
B. Pelayanan Kegawatdaruratan pada UGD :
1. Pelayanan Kegawatdaruratan Bedah
2. Pelayanan Kegawatdaruratan Obgyn
3. Pelayanan Kegawatdaruratan Anak
4. Pelayanan Kegawatdaruratan Penyakit Dalam
5. Pelayanan Kegawatdaruratan Kardiovaskuler
Konsep dasar rawat darurat pada prinsipnya ditetapkan sebagai berikut :
1. Area IGD harus terletak pada area depan atau muka dari tapak RS.
2. Area IGD harus mudah dilihat serta mudah dicapai dari luar tapak
rumah sakit (jalan raya) dengan tanda-tanda yang sangat jelas dan
mudah dimengerti masyarakat umum.
3. Area IGD disarankan untuk memiliki pintu masuk kendaraan yang
berbeda dengan pintu masuk kendaraan ke area Instalasi Rawat
Jalan/Poliklinik, Instalasi rawat Inap serta Area Zona Servis dari rumah
sakit.
4. Untuk tapak RS yang berbentuk memanjang mengikuti panjang jalan
raya maka pintu masuk kearea IGD harus terletak pada pintu masuk
yang pertama kali ditemui oleh pengguna kendaraan untuk masuk
kearea RS.
5. Untuk bangunan RS yang berbentuk bangunan bertingkat banyak
(Super Block Multi Storey Hospital Building) yang memiliki ataupun
tidak memiliki lantai bawah tanah (Basement Floor) maka perletakan
IGD harus berada pada lantai dasar (Ground Floor) atau area yang
memiliki akses langsung.
6. IGD disarankan untuk memiliki Area yang dapat digunakan untuk
penanganan korban bencana massal (Mass Disasster Cassualities
Preparedness Area).
7. Disarankan pada area untuk menurunkan atau menaikan pasien
(Ambulance Drop-In Area) memiliki sistem sirkulasi yang
memungkinkan ambulan bergerak 1 arah (One Way Drive / Pass
Thru Patient System).
8. Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan Inst. Bedah
Sentral.
9. Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan Unit Rawat Inap
Intensif (ICU (Intensive Care Unit)/ ICCU (Intensive Cardiac Care Unit)/
HCU (High Care Unit)).
10.Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan Unit Kebidanan.
11.Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan Inst.
Laboratorium.
12.Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan Instalasi
Radiologi.
3. INSTALASI RAWAT INAP
Lingkup kegiatan di Ruang Rawat Inap rumah sakit meliputi
kegiatan asuhan dan pelayanan keperawatan, pelayanan medis, gizi,
administrasi pasien, rekam medis, pelayanan kebutuhan keluarga pasien
(berdoa, menunggu pasien, mandi, bab, dapur kecil/pantry, konsultasi
medis).
Pelayanan kesehatan di Instalasi Rawat Inap mencakup antara lain :
1). Pelayanan keperawatan.
2). Pelayanan medik (Pra dan Pasca Tindakan Medik).
3). Pelayanan penunjang medik :
Konsultasi Radiologi.
Pengambilan Sample Laboratorium.
Konsultasi Anestesi.
Gizi (Diet dan Konsultasi).
Farmasi (Depo dan Klinik).
Rehab Medik (Pelayanan Fisioterapi dan Konsultasi).
Konsep dasar rawat inap pada prinsipnya ditetapkan sebagai berikut :
Perletakan ruangannya secara keseluruhan perlu adanya
hubungan antar ruang dengan skala prioritas yang diharuskan dekat
dan sangat berhubungan/ membutuhkan.
Kecepatan bergerak merupakan salah satu kunci
keberhasilan perancangan, sehingga blok unit sebaiknya sirkulasinya
dibuat secara linier/lurus (memanjang).
Konsep Rawat Inap yang disarankan Rawat Inap Terpadu
(Integrated Care) untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan ruang.
Apabila Ruang Rawat Inap tidak berada pada lantai dasar,
maka harus ada tangga landai (Ramp) atau Lift Khusus untuk
mencapai ruangan tersebut.
Bangunan Ruang Rawat Inap harus terletak pada tempat
yang tenang (tidak bising), aman dan nyaman tetapi tetap memiliki
kemudahan aksesibilitas dari sarana penunjang rawat inap.
Sinar matahari pagi sedapat mungkin masuk ruangan.
Alur petugas dan pengunjung dipisah.
Masing-masing ruang Rawat Inap 4 spesialis dasar
mempunyai ruang isolasi.
Ruang Rawat Inap anak disiapkan 1 ruangan neonatus.
Lantai harus kuat dan rata tidak berongga, bahan penutup
lantai dapat terdiri dari bahan vinyl yang rata atau terasso keramik
dengan nat yang rata sehingga abu dari kotoran-kotoran tidak
tertumpuk, mudah dibersihkan, bahan tidak mudah terbakar.
Pertemuan dinding dengan lantai disarankan berbentuk
lengkung agar memudahkan pembersihan dan tidak menjadi tempat
sarang debu/kotoran.
Plafon harus rapat dan kuat, tidak rontok dan tidak
menghasilkan debu/kotoran lain.
Tipe R. Rawat Inap adalah VIP, Kelas I (2 tempat
tidur), Kelas II (4 tempat tidur) dan Kelas III (6 tempat tidur)
Khusus untuk pasien-pasien tertentu harus
dipisahkan seperti :
- Pasien yang menderita penyakit menular.
- Pasien dengan pengobatan yang menimbulkan
bau (seperti penyakit tumor, ganggrein, diabetes, dsb).
- Pasien yang gaduh gelisah (mengeluarkan
suara dalam ruangan)
Nurse Station harus terletak di pusat blok yang
dilayani, agar perawat dapat mengawasi pesiennya secara efektif,
maksimum melayani 25 tempat tidur.
Alur kegiatan pada instalasi rawat inap dapat dilihat pada bagan
alir berikut :
4. INSTALASI PERAWATAN INTENSIF (ICU)
Merupakan instalasi untuk perawatan pasien yang dalam keadaan
sakit berat sesudah operasi berat yang memerlukan secara intensif
pemantauan ketat dan tindakan segera. Instalasi ICU (Intensive Care
Unit) merupakan unit pelayanan khusus di rumah sakit yang
menyediakan pelayanan yang komprehensif dan berkesinambungan
selama 24 jam.
1. Letak bangunan instalasi ICU harus berdekatan
dengan instalasi gawat darurat, laboratorium, instalasi radiologi dan
instalasi bedah sentral.
2. Harus bebas dari gelombang elektromagnetik dan
tahan terhadap getaran.
3. Gedung harus terletak pada daerah yang tenang.
4. Temperatur ruangan harus terjaga tetap dingin.
5. Aliran listrik tidak boleh terputus.
6. Harus tersedia pengatur kelembaban udara.
7. Disarankan sirkulasi udara yang dikondisikan
seluruhnya udara segar (fresh air).
8. Perlu disiapkan titik grounding untuk peralatan
elektrostatik.
9. Tersedia aliran Gas Medis (O 2, udara bertekanan dan
suction).
10. Pintu kedap asap & tidak mudah terbakar, terdapat
penyedot asap bila terjadi kebakaran.
11. Terdapat pintu evakuasi yang luas dengan fasilitas
ramp apabila letak instalasi ICU tidak pada lantai dasar.
12. Ruang ICU/ICCU sebaiknya kedap api (tidak mudah
terbakar baik dari dalam/dari luar).
13. Pertemuan dinding dengan lantai dan pertemuan
dinding dengan dinding tidak boleh berbentuk sudut/harus
melengkung agar memudahkan pembersihan dan tidak menjadi
tempat sarang debu dan kotoran.
5. INSTALASI KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN
(OBSTETRI DAN GINEKOLOGI)
Pelayanan yang terdapat pada Fasilitas Kebidanan dan Penyakit
Kandungan Rumah Sakit Umum Daerah Srengattipe B Kabupaten Blitar
meliputi :
1. Pelayanan persalinan.
Pelayanan persalinan meliputi : pemeriksaan pasien baru, asuhan
persalinan kala I, asuhan persalinan kala II (pertolongan persalinan),
dan asuhan bayi baru lahir.
2. Pelayanan nifas.
Pelayanan nifas meliputi : pelayanan nifas normal dan pelayanan
nifas bermasalah (post sectio caesaria, infeksi, pre
eklampsi/eklampsi).
3. Pelayanan gangguan kesehatan reproduksi/penyakit kandungan.
Pelayanan gangguan kesehatan reproduksi penyakit kandungan
meliputi pelayanan keguguran, penyakit kandungan dan kelainan
kehamilan.
4. Pelayanan tindakan/operasi kebidanan
Pelayanan tindakan/operasi kebidanan adalah untuk memberikan
tindakan, misalnya ekserpasi polip vagina, operasi sectio caesaria,
operasi myoma uteri, dll. Kegiatan ini dilakukan pada ruang operasi
yang berada di Instalasi Bedah Sentral dan baru dapat dilaksanakan
pada Instalasi Kebidanan apabila telah memiliki peralatan operasi
yang memadai (misalnya: peralatan anaestesi, meja operasi, monitor
pasien serta lampu operasi).
5. Pelayanan KB (Keluarga Berencana).
Dalam rangka meningkatkan kesehatan ibu dan anak telah ditetapkan
bahwa Sarana Pelayanan Kesehatan Kabupaten/Kota Bahwa 75% RS
di Kab/Kota menyelenggarakan PONEK (penambahan ruangan untuk
Emergency Ibu & Anak).
Konsep dasar instalasi Kebidanan dan Kandungan pada prinsipnya
ditetapkan sebagai berikut :
1. Letak bangunan instalasi kebidanan dan penyakit kandungan harus
mudah dicapai, disarankan berdekatan dengan instalasi gawat
darurat, ICU dan Instalasi Bedah Sentral, apabila tidak memiliki ruang
operasi atau ruang tindakan yang memadai.
2. Bagunan harus terletak pada daerah yang tenang/ tidak bising.
3. Ruang bayi dan ruang pemulihan ibu disarankan berdekatan untuk
memudahkan ibu melihat bayinya, tapi sebaiknya dilakukan dengan
sistem rawat gabung.
4. Memiliki sistem sirkulasi udara yang memadai dan tersedia pengatur
kelembaban udara untuk kenyamanan termal.
5. Terdapat pintu evakuasi yang luas dengan fasilitas ramp apabila letak
instalasi kebidanan dan penyakit kandungan tidak pada lantai dasar.
6. Harus disediakan pintu ke luar tersendiri untuk jenazah dan bahan
kotor yang tidak terlihat oleh pasien dan pengunjung.
6. INSTALASI BEDAH SENTRAL (COT/Central Operation
Theatre)
Instalasi bedah, adalah suatu unit khusus di rumah sakit yang
berfungsi sebagai tempat untuk melakukan tindakan pembedahan secara
efektif maupun akut, yang membutuhkan kondisi steril dan kondisi khusus
lainnya.
1. Jalan masuk barang-barang steril harus terpisah dari jalan keluar
barang-barang & pakaian kotor.
1. Pembagian daerah sekitar kamar bedah:
a. Daerah Publik, artinya daerah yang boleh dimasuki oleh
semua orang tanpa syarat khusus.
Daerah ini misalnya : ruang tunggu, koridor, selasar kamar bedah.
b. Daerah Semi Publik, artinya daerah ini hanya boleh
dimasuki oleh orang-orang tertentu saja, yaitu para petugas, dan
sudah ada pembatasan tentang jenis pakaian yang dipakai
petugas-petugas ini (pakaian khusus atau lepas-sandal/sepatu,
dan sebagainya).
c. Daerah ASEPTIK, yaitu daerah kamar bedah sendiri, yang
hanya boleh dimasuki oleh orang-orang yang langsung ada
hubungannya dengan kegiatan pembedahan saat itu, umumnya
dianggap daerah yang harus dijaga ke-sucihama-annya. Di daerah
ini sering masih ada istilah tambahan: yaitu apa yang disebut
daerah HIGH-ASEPTIC, yaitu dimaksudkan dengan daerah
tempat dilakukannya pembedahan dan sekitarnya (lapangan
bedah).
2. Setiap 2 kamar operasi harus dilayani oleh setidaknya 1 ruang scrub
up.
3. Harus disediakan pintu ke luar tersendiri untuk jenazah dan bahan
kotor yang tidak terlihat oleh pasien dan pengunjung.
4. Persyaratan ruang operasi :
a. Pintu kamar operasi yang ideal harus selalu tertutup selama
operasi.
b. Pergantian udara yang dianjurkan sekitar 18-25 kali/jam.
c. Tekanan udara yang positif di dalam kamar pembedahan, dengan
demikian akan mencegah terjadinya infeksi airborne.
d. Sistem AC Sentral, suhu kamar operasi yang ideal 26 28 0C yang
harus terjaga kestabilannya dan harus menggunakan filter absolut
untuk menjaring mikroorganisme.
e. Kelembaban ruang yang dianjurkan 70% (jika menggunakan bahan
anaestesi yang mudah terbakar, maka kelembaban maksimum
50%).
f. Penerangan alam menggunakan jendela mati, yang diletakkan
dengan ketinggian diatas 2 m.
g. Lantai harus kuat dan rata atau ditutup dengan vinyl yang rata
atau teras sehingga debu dari kotoran-kotoran tidak tertumpuk,
mudah dibersihkan, bahan tidak mudah terbakar.
h. Pertemuan dinding dengan lantai dan dinding dengan dinding
harus melengkung agar mudah dibersihkan dan tidak menjadi
tempat sarang abu dan kotoran.
i. Plafon harus rapat dan kuat, tidak rontok dan tidak menghasilkan
debu/kotoran lain.
j. Pintu harus yang mudah dibuka dengan sikut, untuk mencegah
terjadinya nosokomial.
k. Harus ada kaca tembus pandang di dinding ruang operasi yang
menghadap pada sisi dinding tempat ahli bedah mencuci tangan.
7. INSTALASI FARMASI (PHARMACY)
Unit Farmasi pada Rumah Sakit direncanakan mampu untuk
melakukan pelayanan :
1. Melakukan perencanaan, pengadaan dan
penyimpanan obat, alat kesehatan reagensia, radio farmasi, gas
medik sesuai formularium RS.
2. Melakukan kegiatan peracikan obat sesuai
permintaan dokter baik untuk pasien rawat inap maupun pasien
rawat jalan.
3. Pendistribusian obat, alat kesehatan, regensia
radio farmasi & gas medis.
4. Memberikan pelayanan informasi obat dan
melayani konsultasi obat.
5. Mampu mendukung kegiatan pelayanan unit
kesehatan lainnya selama 24 jam.
Konsep dasar farmasi pada prinsipnya ditetapkan sebagai berikut :
Lokasi instalasi farmasi harus menyatu dengan sistem pelayanan
RS.
Antara fasilitas untuk penyelenggaraan pelayanan langsung
kepada pasien, distribusi obat dan alat kesehatan dan manajemen
dipisahkan.
Harus disediakan penanganan mengenai pengelolaan limbah
khusus sitotoksis dan obat berbahaya untuk menjamin keamanan
petugas, pasien dan pengunjung.
Harus disediakan tempat penyimpanan untuk obat-obatan khusus
seperti Ruang Administrasiuntuk obat yang termolabil, narkotika dan
obat psikotropika serta obat/ bahan berbahaya.
Gudang penyimpanan tabung gas medis (Oksigen dan Nitrogen)
Rumah Sakit diletakkan pada gudang tersendiri (di luar bangunan
instalasi farmasi).
Tersedia ruang khusus yang memadai dan aman untuk menyimpan
dokumen dan arsip resep.
8. INSTALASI RADIOLOGI
Radiologi adalah ilmu kedokteran yang menggunakan teknologi
pencitraan (imaging technologies) untuk mendiagnosa dan pengobatan
penyakit. Merupakan cabang ilmu kedokteran yang berkaitan dengan
penggunaan sinar-X (X-Ray) yang dipancarkan oleh pesawat sinar-X atau
peralatan-peralatan radiasi lainnya dalam rangka memperoleh informasi
visual sebagai bagian dari pencitraan/imejing kedokteran (medical
imaging).
Instalasi Radiologi melakukan pelayanan sesuai kebutuhan dan
permintaan dari unit-unit kesehatan lain di RSU tersebut. Unit Radiologi
dapat pula melayani permintaan dari luar.
Pelayanan Radiologi pada Rumah Sakit Daerah Blitar adalah
memberikan pelayanan radiodiagnostik non invasif dengan dan tanpa
kontras, yaitu :
1. Radiodiagnostik (non invasif)
a. Non Kontras
Tulang-tulang
Toraks
Jaringan lunak
Abdomen
b. Dengan Kontras
IVP
Cholecistografi
Fistulografi
Ceptografi
Histero Salfingografi
Esofagografi
Maag duodenografi
Colon inloop (barium enema)
Cor anaupe
2. Pemeriksaan USG untuk kelainan-kelainan abdominal,
kebidanan dan penyakit kandungan.
3. Mampu mendukung kegiatan unit lainnya selama 24 jam
sehari dan 7 hari dalam seminggu.
Konsep dasar radiologi pada prinsipnya ditetapkan sebagai berikut :
Lokasi ruang radiologi mudah dicapai, berdekatan dengan instalasi
gawat darurat, laboratorium, ICU, dan instalasi bedah sentral.
Sirkulasi bagi pasien dan pengantar pasien disarankan terpisah
dengan sirkulasi staf.
Ruang konsultasi dilengkapi dengan fasilitas untuk membaca film.
Dinding/pintu mengikuti persyaratan khusus sistem labirin proteksi
radiasi.
Ruangan gelap dilengkapi exhauster.
Persyaratan pengkondisian udara :
a. Suhu sejuk dan nyaman lingkungan ialah pada 22 ~ 26 OC
dengan tekanan seimbang.
b. Kelembaban udara pada ruang
radiasi/pemeriksaan/penyinaran ialah antara 45~60%.
Tersedia pengelolaan limbah radiologi khusus.
9. INSTALASI STERILISASI PUSAT (CSSD/CENTRAL SUPPLY
STERILIZATION DEPARTEMEN)
Instalasi Sterilisasi Pusat (CSSD) mempunyai kegiatan mencuci
dan mensterilkan (menghilangkan semua mikroorganisme baik dengan
cara fisik maupun kimiawi) barang/ bahan seperti Instrumen kedokteran,
sarung tangan, kasa/ pembalut/ linen.
Sistem ini merupakan salah satu program pengendalian infeksi di
rumah sakit, dimana merupakan suatu keharusan untuk melindungi
pasien dari kejangkitan infeksi.
Kegiatan yang termasuk dalam lingkup instalasi CSSD adalah
sebagai berikut:
1. Menerima bahan, terdiri dari
a. Barang/linen/bahan perbekalan baru dari
instalasi farmasi yang perlu disterilisasi.
b. Instrumen dan linen yang akan digunakan ulang
(reuse).
2. Mensortir, menghitung dan mencatat volume serta jenis
bahan, barang dan instrumen yang diserahkan oleh ruang/unit
Instalasi Rumah Sakit Umum.
3. Melaksanakan proses sterilisasi.
Dekontaminasi
Proses fisik atau kimia untuk mengurangi dan atau
menghilangkan kontaminasi pada orang, peralatan, bahan, dan
ruang oleh mikroba yang berbahaya bagi kehidupan, sehingga
aman untuk proses-proses selanjutnya.
Pengemasan
Membungkus, mengemas dan menampung alat-alat yang dipakai
untuk sterilisasi, penyimpanan dan pemakaian. Tujuan
pengemasan adalah mnjaga keamanan bahan agar tetap dalam
kondisi steril.
4. Menyerahkan dan mencatat pengambilan barang steril oleh
ruang/unit /Instalasi Rumah Sakit Umum yang membutuhkan.
10. INSTALASI LABORATORIUM
Laboratorium direncanakan mampu melayani tiga bidang keahlian
yaitu patologi klinik, patologi anatomi dan forensik sampai batas tertentu
dari pasien rawat inap, rawat jalan serta rujukan dari rumah sakit umum
lain, Puskesmas atau Dokter Praktek Swasta.
Pemeriksaan laboratorium pada Rumah Sakit Daerah Blitar adalah :
1. Patologi klinik (Hematologi, analisa urine dan tinja,
kimia klinik, serologi/ immunologi, Mikrobiologi (secara terbatas)).
2. Diagnostik patologi, melakukan pemeriksaan lengkap untuk
histopatologi, potong beku, sitopatologi dan sitologi.
3. Forensik dapat melakukan perawatan mayat dan bedah mayat.
Pelayanan laboratorium tersebut dilengkapi pula oleh fasilitas sebagai
berikut:
Blood Sampling dan Bank Darah
Administrasi penerimaan spesimen
Gudang regensia & bahan kimia
Fasilitas pembuangan limbah
Perpustakaan, atau setidaknya rak-rak buku
Konsep dasar laboratorium pada prinsipnya ditetapkan sebagai berikut :
Dinding dilapisi oleh bahan yang mudah dibersihkan, tidak licin dan
kedap air setinggi 1,5 m dari lantai (misalnya dari bahan keramik
atau porselen).
Lantai dan meja kerja laboratorium dilapisi bahan yang tahan
terhadap bahan kimia dan getaran serta tidak mudah retak.
Akses masuk petugas dengan pasien/pengunjung disarankan
terpisah.
Pada tiap-tiang ruang laboratorium dilengkapi sink (wastafel) untuk
cuci tangan dan tempat cuci alat
Harus mempunyai instalasi pengolahan limbah khusus.
11. INSTALASI REHABILITASI MEDIK
Pelayanan Rehabilitasi Medik bertujuan memberikan tingkat
pengembalian fungsi tubuh semaksimal mungkin kepada penderita
sesudah kehilangan/ berkurangnya fungsi dan kemampuan yang meliputi,
upaya pencegahan/ penanggulangan, pengembalian fungsi dan mental
pasien.
Lingkup pelayanan Instalasi Rehabilitasi Medik pada Rumah Sakit
Daerah Blitar mencakup :
1. Rehabilitasi fisik
Rehabilitasi sistem kardiovaskular
Rehabilitasi sistem pernafasan
Rehabilitasi sistem neuromuskuler dan lokomotor
2. Rehabilitasi Mental
3. Rehabilitasi Sosial
Pada dasarnya tata ruang Unit Rehabilitasi Medik ditetapkan atas dasar:
1. Lokasi mudah dicapai oleh pasien, disarankan
letaknya dekat dengan instalasi rawat jalan/ poliklinik dan rawat
inap.
2. Ruang tunggu dapat dicapai dari koridor umum
dan dekat pada loket pendaftaran, pembayaran dan administrasi.
3. Disarankan akses masuk untuk pasien terpisah
dari akses masuk staf.
4. Disarankan menggunakan sistem sirkulasi udara/
ventilasi udara alami.
5. Untuk pasien yang menggunakan kursi roda
disediakan toilet khusus yang memiliki luasan cukup untuk
bergeraknya kursi roda.
12. BAGIAN ADMINISTRASI DAN KESEKRETARIATAN
RUMAH SAKIT
Suatu bagian dari rumah sakit tempat dilaksanakannya
manajemen rumah sakit. Terdiri dari :
Dewan Direksi RS
Komite Medis
Seksi Keperawatan
Seksi Pelayanan
Seksi Keuangan dan Program
Kesekretariatan dan Rekam Medis
Suatu sub-bagian dari Kesekretariatan yang merekam dan
menyimpan berkas-berkas jati diri, riwayat penyakit, hasil
pemeriksaan dan pengobatan pasien. Sistem rekam medik yang
diterapkan di rumah sakit umum adalah sentralisasi, sehingga :
1.Setiap pasien hanya akan memiliki 1 nomor.
2.Tempat penyimpanan berkas rekam medik pasien rawat jalan dan
rawat inap menjadi satu.
Satuan Pengawasan Internal (SPI)
Penempatan Administrasi sedapat mungkin mudah dicapai dan
dapat berhubungan langsung dengan poliklinik.
13. PEMULASARAAN JENAZAH RUMAH SAKIT
Fungsi Ruang Jenazah adalah :
1. Tempat meletakkan/penyimpanan sementara
jenazah sebelum diambil keluarganya.
2. Tempat memandikan/dekontaminasi jenazah.
3. Tempat mengeringkan jenazah setelah dimandikan
4. Otopsi jenazah.
5. Ruang duka dan pemulasaraan.
Konsep dasar pemulasaraan jenasah pada prinsipnya ditetapkan sebagai
berikut :
1. Kapasitas ruang jenazah minimal memiliki
jumlah lemari pendingin 1% dari jumlah tempat tidur (pada umumnya
1 lemari pendingin dapat menampung 4 jenazah) atau tergantung
kebutuhan.
2. Ruang jenazah disarankan mempunyai
akses langsung dengan beberapa instalasi lain yaitu instalasi gawat
darurat, Instalasi Kebidanan dan Penyakit Kandungan, Instalasi Rawat
Inap, Instalasi Bedah Sentral, dan Instalasi ICU/ICCU.
3. Area tertutup, tidak dapat diakses oleh
orang yang tidak berkepentingan.
4. Area yang merupakan jalur jenazah
disarankan berdinding keramik, lantai kedap air, tidak berpori, mudah
dibersihkan.
5. Akses masuk-keluar jenazah menggunakan
daun pintu ganda/double fold.
6. Memiliki sistem pembuangan limbah
khusus.
14. INSTALASI GIZI/DAPUR
Sistem pelayanan dapur yang diterapkan di rumah sakit adalah
sentralisasi kecuali untuk pengolahan formula bayi. Instalasi Gizi/ Dapur
mempunyai fungsi untuk mengolah, mengatur makanan pasien setiap
harinya, serta konsultasi gizi.
Konsep dasar instalasi gizi pada prinsipnya ditetapkan sebagai
berikut :
1. Mudah dicapai, dekat dengan Instalasi Rawat Inap sehingga waktu
pendistribusian makanan bisa merata untuk semua pasien, terutama
pasien rawat inap.
2. Letak dapur diatur sedemikian rupa sehingga kegaduhan (suara) dari
dapur tidak mengganggu ruangan disekitarnya.
3. Tidak dekat dengan tempat pembuangan sampah dan kamar jenazah.
4. Mempunyai jalan dan pintu masuk sendiri.
15. INSTALASI PENCUCIAN LINEN (LAUNDRY)
Laundry adalah tempat pencucian linen yang dilengkapi dengan
sarana penunjangnya berupa mesin cuci, alat dan desinfektan, mesin uap
(steam boiler), pengering, meja, dan mesin setrika.
Kegiatan pencucian linen terdiri dari :
1. Pengumpulan
a. Pemilahan antara linen infeksius dan non-infeksius dimulai
dari sumber dan memasukkan linen ke dalam kantong plastic
sesuai jenisnya serta diberi label.
b. Menghitung dan mencatat linen di ruangan.
2. Penerimaan
a. Mencatat linen yang diterima dan telah
terpilah antara infeksius dan non-infeksius.
b. Linen dipilah berdasarkan tingkat
kekotorannya.
3. Pencucian
a. Menimbang berat linen untuk menyesuaikan
dengan kapasitas mesin cuci dan kebutuhan deterjen dan
desinfektan.
b. Membersihkan linen kotor dari tinja, urin,
darah, dan muntahan kemudian merendamnya dengan
menggunakan desinfektan.
c. Mencuci dikelompokkan berdasarkan tingkat
kekotorannya.
4. Pengeringan
5. Penyetrikaan
6. Penyimpanan
a. Linen harus dipisahkan sesuai dengan jenisnya.
b. Linen baru yang diterima ditempatkan di lemari bagian
bawah.
c. Pintu lemari selalu tertutup.
7. Distribusi dilakukan berdasarkan kartu tanda terima dari
petugas penerima, kemudian petugas menyerahkan linen bersih
kepada petugas ruangan sesuai kartu tanda terima.
8. Pengangkutan
a. Kantong untuk membungkus linen bersih harus dibedakan dengan
kantong untuk membungkus linen kotor.
b.Menggunakan kereta dorong yang berbeda warna dan tertutup
antara linen bersih dan linen kotor. Kereta dorong harus dicuci
dengan desinfektan setelah digunakan mengangkut linen kotor.
c. Waktu pengangkutan linen bersih dan kotor tidak boleh dilakukan
bersamaan.
d.Linen bersih diangkut dengan kereta dorong yang berbeda warna.
e. RS yang tidak mempunyai laundry tersendiri, pengangkutannya
dari dan ke tempat laundry harus menggunakan mobil khusus.
Konsep dasar laundry pada prinsipnya ditetapkan sebagai berikut :
1. Tersedia keran air bersih dengan kualitas dan
tekanan aliran yang memadai, air panas untuk desinfeksi dengan
desinfektan yang ramah terhadap lingkungan. Suhu air panas
mencapai 700C dalam waktu 25 menit (atau 950C dalam waktu 10
menit) untuk pencucian pada mesin cuci.
2. Peralatan cuci dipasang permanen dan
diletakkan dekat dengan saluran pembuangan air limbah serta
tersedia mesin cuci yang dapat mencuci jenis-jenis linen yang
berbeda.
3. Tersedia saluran air limbah tertutup yang
dilengkapi dengan pengolahan awal (; pre-treatment) khusus laundry
sebelum dialirkan ke IPAL RS.
4. Untuk linen non-infeksius (misalnya dari ruang-
ruang administrasi perkantoran) dibuatkan akses ke ruang pencucian
tanpa melalui ruang dekontaminasi.
5. Tidak disarankan untuk mempunyai tempat
penyimpanan linen kotor.
6. Standar kuman bagi linen bersih setelah keluar
dari proses tidak mengandung 6 x 103 spora spesies Bacillus per inci
persegi.
16. INSTALASI PEMELIHARAAN SARANA/BENGKEL MEKANIKAL
DAN ELEKTRIKAL (WORKSHOP)
Tugas pokok dan fungsi yang harus dirangkum unit workshop
adalah, sebagai berikut :
1. Pemeliharaan dan perbaikan ringan pada :
Peralatan medik (Optik, elektromedik, mekanis dll)
Peralatan penunjang medik
Peralatan rumah tangga dari metal/ logam (termasuk tempat
tidur)
Peralatan rumah tangga dari kayu
Saluran dan perpipaan
Listrik dan elektronik
2. Kegiatan perbaikan dilaksanakan dengan prosedur
sebagai berikut :
Laporan dari setiap unit yang mengalami
kerusakan alat
Peralatan diteliti tingkat kerusakannya untuk
mengetahui tingkat perbaikan yang diperlukan kepraktisan teknis
pelaksanaan perbaikannya (apakah cukup diperbaiki ditempatnya,
atau harus dibawa ke ruang workshop)
Analisa kerusakan
Proses pengadaan komponen/suku cadang
Pelaksanaan perbaikan/pemasangan komponen
Perbaikan bangunan ringan
Listrik/ Elektronik
Telepon/Audio Visual.
Terletak jauh dari daerah perawatan dan gedung penunjang
medik, sebaiknya diletakan di daerah servis karena banyak menimbulkan
kebisingan.
A.4.4.8. Evaluasi Pasca Huni Bangunan Rumah Sakit Pare
Fasilitas Bangunan Rumah Sakit Pare sekarang berada dalam
tahap penghunian dan pemanfaatan. Dan karenanya, sesungguhnya
sangat diperlukan evaluasi terhadap fasilitas yang ada sekarang, yang
lazim disebut dengan evaluasi pasca huni atau EPH (post occupancy
evaluation/POE). Tahap evaluasi pasca huni adalah tahap yang sangat
penting untuk melihat kesesuaian antara kondisi sekarang dengan pola-
pola pemanfaatan oleh perilaku manusia.
Kegunaan evaluasi pasca huni terbagi dalam 3 jangka waktu,
yang antara lain adalah:
1. Kegunaan Jangka Pendek; meliputi peningkatan dalam hal-hal seperti:
identifikasi masalah dan solusi dalam manajemen fasilitas,
manajemen fasilitas yang proaktif terhadap aspirasi pengguna,
peningkatan pemanfaatan ruang dan umpan balik terhadap kinerja
bangunan, peningkatan sikap pengguna melalui keterlibatan dalam
proses evaluasi, pemahaman implikasi kinerja dalam kaitannya
dengan ketersediaannya anggaran, serta proses pengambilan
keputusan yang lebih rasional dan objektif.
2. Kegunaan Jangka Menengah; meliputi peningkatan dalam hal-hal
seperti: kemampuan pengembangan fasilitas sesuai dengan
pertumbuhan organisasi, penghematan biaya dalam proses
pemanfaatan dan pemeliharaan bangunan serta peningkatan usia
bangunan, akuntabilitas kinerja bangunan oleh semua bangunan.
3. Kegunaan Jangka Panjang; meliputi peningkatan dalam hal-hal
berikut: kinerja fasilitas dalam jangka panjang, perbaikan basis data,
standar dan kriteria untuk perancangan fasilitas, serta perbaikan
sistem penilaian fasilitas melalui kuantifikasi.
Jenis Kegiatan dalam evaluasi pasca huni akan tergantung pada
interaksi antar komponen dalam proses evaluasi pasca huni:
a) Kriteria Kinerja; yaitu Teknikal, Fungsional dan Behavioral. Terdapat
beberapa kriteria yang perlu diikuti, antara lain Standar Fasilitas
Kesehatan, Standar Arsitektural untuk Fasilitas Kesehatan, khususnya
Fasilitas Kesehatan, maupun hasil-hasil penelitian mengenai fasilitas
kesehatan komunitas seperti Fasilitas Kesehatan.
b) Pengguna; yaitu Individu, Kelompok dan Organisasi. Meliputi
penyedia jasa dalam Fasilitas Kesehatan (pengelola, dokter,
paramedis dan manajemen) maupun pengguna jasa Fasilitas
Kesehatan (individu maupun kelompok masyarakat).
c) Seting; yaitu Ruang, Bangunan dan Fasilitas. Perlu juga ditinjau
komponen-komponen seting Fasilitas Kesehatan yang terdiri atas
berbagai unit, bagian ataupun kelompok fasilitas tertentu.
Selain itu, evaluasi pasca huni juga memiliki tingkatan
kecermatan sesuai dengan kebutuhan penggunanya, yang meliputi:
1) Evaluasi Pasca Huni Indikatif
2) Evaluasi Pasca Huni Investigatif
3) Evaluasi Pasca Huni Diagnostik

A.4.5. Tinjauan Aspek Lingkungan


Tinjauan aspek Iingkungan dalam studi ini akan diarahkan pada
usaha pengidentifikasian berbagai jenis kegiatan yang diduga dapat
berpotensi menimbulkan dampak Iingkungan, serta usaha untuk
mengantisipasi terjadinya dampak yang lebih besar.
Berdasarkan ketetapan pemerintah No 51 tahun 1993 tentang
AMDAL, maka kegiatan pembangunan RSUD SrengatKabupaten Blitar
termasuk dalam klasifikasi wajib menyusun upaya pengelolaan
lingkungan (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan (UPL). Upaya ini
bukanlah merupakan bagian dari analisis AMDAL melainkan diarahkan
langsung oleh instansi teknis yang membidangi dan bertanggung jawab
atas pembinaan usaha tersebut yang dikaitkan dengan dampak yang
ditimbulkan. Oleh karena itu pedoman teknis UKL dan UPL ditetapkan
oleh instansi yang bertanggung jawab (sektoral) untuk setiap jenis usaha
yang bersangkutan.
Adapun peraturan perundangan yang mendasari pelaksanaan
pengelolaan dan pelestarian Iingkungan yang terkait dengan UKL dan UPL
RSUD Blitar adalah:
1. Undang-undang No 1 Tahun 1982, tentang ketentuan-ketentuan
pokok pengelolaan Iingkungan hidup.
2. Peraturan Pemerintah No 51 Tahun 1993, tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL).
3. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No
Kep-23/MENKLH/I/1987, tentang prosedur penanggulangan kasus
pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
4. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No Kep-11IMENKLH/3/94
tentang jenis usaha atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan
AMDAL.
5. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No Kep-12/MENKLH/3/94
tentang pedoman umum upaya pengelolaan lingkungan dan upaya
pemantauan lingkungan.
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 986/1992 tentang persyaratan
kesehatan rumah sakit.
7. Keputusan Dirjen PPM dan PLP No.KH.00.06.6.44 Tahun 1993 tentang
petunjuk teknis tata cara pelaksanaan penyehatan lingkungan rumah
sakit.
8. Keputusan Menteri Kesehatan No 512/MENKES/SK/VI/1990, tentang
AMDAL rumah sakit.

A.4.6. Kajian Aspek Sumberdaya Manusia


Rumah sakit merupakan organisasi yang padat modal, tekhnologi
dan padat karya. Kondisi ini memerlukan perencanaan sumberdaya
manusia yang menjadi inti organisasi secara tepat. Sumberdaya manusia
dalam pelayanan kesehatan rumah sakit merupakan representasi
teknologi dan pelayanan kesehatan. Investasi sumber daya manusia
harus dialokasikan dengan tepat dan dikembangkan secara optimal.
Pelayanan jasa kesehatan oleh rumah sakit terdiri dari pelayanan
medis dan penunjang, pelayanan administratif dan pelayanan hotel.
Dimata pasien, ketiga komponen tersebut diterima sebagai satu kesatuan
yang mempengaruhi kepuasan pasien. Sehingga strategi pengembangan
SDM di rumah sakit harus seimbang dan memperhatikan semua
komponen profesi. Sebagai ilustrasi, kebersihan dan kenyamanan kamar
sering menjadi keluhan pasien, meskipun penilaian terhadap pelayanan
medis bagus. Kerumitan administrasi juga sering menjadi sumber
ketidakpuasan pasien.
A.4.6.1. Analisis Kondisi Sumberdaya Manusia
Kajian kapabilitas sumberdaya manusia dinilai dengan
perbandingan kondisi RSUD SrengatKabupaten Blitar dan kebutuhan SDM
sesuai standar pelayanan rumah sakit tipe B. Pertimbangan lainnya
adalah jenis profesi sumberdaya yang diperlukan sesuai dengan sifat
pelayanan rumah sakit. Pelayanan medis rumah sakit membutuhkan
tenaga dokter spesialis, dokter umum, perawat dan bidan. Pelayanan
penunjang medis membutuhkan tenaga gizi, farmasi, laboratorium dan
radiologi juga sterilisasi. Pelayanan penunjang non medis yang
diperlukan adalah pelayanan sterilisasi dan laundry, pemeliharaan sarana
dan pengelolaan lingkungan. Komponen lain yang juga memberikan
kontribusi adalah kebersihan dan keamanan yang juga memerlukan
tenaga profesional. Disamping aspek fungsional, fungsi administrasi dan
manajemen juga harus dipertimbangkan dalam pengembangan
sumberdaya manusia. Pelayanan penunjang dan administrasi
manajemen meskipun tidak memberikan kontribusi pendapatan
langsung, tetapi merupakan keharusan untuk bisa berjalannya fungsi unit
penghasil pendapatan dalam hal ini pelayanan medis. Secara skematis
sistem pelayanan dan sumberdaya manusia di rumah sakit digambarkan
pada skema berikut.

MEDICAL AND NURSING SERVICE

OUTPATIENT SERVICE

ONE DAY CARE

INPATIENT SERVICE
SUPPORTING SERVICE HOTEL AND PUBLIC SERVICE

ADMINISTRATION SERVICE

GAMBAR 7.1. SKEMA PELAYANAN RUMAH SAKIT

Untuk menggambarkan kondisi sumberdaya manusia disajikan


tabel komposisi sumberdaya manusia berdasarkan kelompok profesi dan
instalasi dengan kualifikasi pendidikan pada kondisi tahun 2004-2009.
Sebagai pembanding disajikan kebutuhan standar sumberdaya manusia
yang diperhitungkan dengan memperhatikan kapasitas pelayanan,
intensitas pekerjaan, dan profesionalisme. Kebutuhan tenaga perawat
dan bidan diperhitungkan dengan menggunakan standar Departemen
Kesehatan yang memperhitungkan beban kerja, jumlah pasien,pelayanan,
shift dan kualifikasi sesuai tingkat profesionalisme pekerjaan. Kebutuhan
tenaga gizi diperhitungkan berdasarkan organisasi pelayanan, volume
kegiatan (jumlah pasien dan menu). Kebutuhan tenaga cleaning service
diperhitungkan dengan mempertimbangkan luas area dan jenis fasilitas
yang harus dibersihkan sedangkan tenaga keamanan
mempertimbangkan jumlah blok gedung dan pintu. Standar kebutuhan
tenaga penunjang lain dihitung dengan mempertimbangkan fungsi,
kapasitas pekerjaan dan pelayanan.

Pelayanan penunjang medik dan non medik juga memegang


peranan yang penting untuk menciptakan mutu pelayanan medik.
Secara keseluruhan didapatkan kekurangan baik dari sisi kuantitas
maupun kualitas. Pada instalasi laboratorium diperlukan kualifikasi setara
SMA, menjadi D3 analis kesehatan serta masih diperlukan staf tambahan
dengan kualifikasi D3 analis kesehatan. Apabila mengacu pada standar
dan perkembangan pelayanan diperlukan tenaga Spesialis Patologi Klinis
yang dapat dipenuhi dengan tugas belajar satu dari staf Dokter Umum
dengan status PNS.
Pelayanan Gizi biasanya sering menjadi keluhan pasien dan
merupakan bagian dari program manajemen terapi, sehingga juga harus
dikelola secara profesional. Setidaknya diperlukan satu orang Kepala
Instalasi dengan kualifikasi S1 Gizi serta penambahan 6 orang sebagai
juru masak dengan kualifikasi setara SMA dengan jurusan Boga atau
kursus Boga.
Tenaga Administrasi dimasing-masing bagian/instalasi memegang
peranan penting yang tidak selalu harus dirangkap oleh tenaga
fungsional sejalan dengan semakin berkembangnya pelayanan. Akurasi
rekaman data pelayanan akan mendukung perencanaan dan
pengembangan. Proses administrasi yang tepat juga mendukung
kecepatan pelayanan secara keseluruhan.
Instalasi pemeliharaan sarana memegang peran penting yang
sering diabaikan mengingat banyaknya peralatan dan teknologi
kedokteran yang memerlukan pemeliharaan khusus. Untuk mengelola
IPS diperlukan satu ahli dengan kualifikasi S1 elektromedik sekaligus
sebagai kepala ditunjang dengan staf teknis yang mampu mengelola
workshop dan perbengkelan yang terdiri dari empat macam yaitu
perkayuan, logam, elektromedik dan penunjang medik lain.
Fungsi penunjang non medik yang masih harus dikembangkan
adalah pelayanan sterilisasi, laundry dan linen. Sejalan dengan
perkembangan pelayanan trauma, OK dan intensif care perlu didukung
dengan sterilitas alat, di samping sanitasi lingkungan yang adekuat.
Menurut proses dan fungsi diperlukan tenaga Kepala Instalasi dan bagian
administrasi, bagian penerimaan, pengolahan sterilisasi, pengemasan
dan distribusi. Organisasi dan fungsi yang mirip juga ditemukan pada
pelayanan laundry yang dapat ditambahkan dengan fungsi
pengembangan linen secara mandiri oleh rumah sakit.
Fungsi penunjang lain yang diperlukan adalah sopir, keamanan
dan kebersihan yang juga perlu diperhatikan. Tenaga sopir terutama
sopir ambulans dan kereta jenazah memberikan pelayanan langsung
kepada masyarakat dengan respon yang cepat. Keamanan memberikan
rasa kenyamanan pada pengguna jasa pelayanan yang bersifat dua puluh
empat jam. Demikian juga dengan pelayanan kebersihan dan taman
yang tidak hanya menunjang keindahan tetapi berperan dalam mencegah
infeksi di rumah sakit. Secara kuantitatif diperlukan tenaga keamanan
sejumlah 10-15 orang dengan penempatan pada pintu masuk bangunan,
dan di setiap gedung. Satpam selain berfungsi untuk keamanan juga
mengatur ketertiban pelayanan sekaligus sumber informasi pertama bagi
pelanggan. Profesionalisme dan pengawasan diperlukan untuk
memastikan kondisi semua ruang dan fasilitas pelayanan di rumah dalam
keadaan bersih selama 24 jam.
Pemenuhan tenaga manajemen dan administrasi secara umum
sudah memenuhi kebutuhan minimal. Sejalan dengan peningkatan mutu
pelayanan masih tetap diperlukan pelatihan dalam bidang stratejik dan
perencanaan serta kepemimpinan. Pelayanan manajemen dan
administrasi perlu ditunjang dengan sistem informasi berbasis komputer
yang adekuat sehingga dapat menunjang fungsi manajemen.

Program pendidikan dan pelatihan secara berjenjang dan


berkelanjutan merupakan keharusan bagi RSUD Srengatyang harus
ditunjang dengan restrukturisasi. Ketimpangan ditemukan pada tenaga
paramedik yang kualifikasinya masih banyak dibawah standar meskipun
secara jumlah sudah memenuhi. RSUD Srengatdan Pemda harus
mengembangkan program Tugas Belajar secara terstruktur dan bertahap.
Dengan memperhitungkan masa pendidikan selama tiga tahun
disarankan pada periode pertama difokuskan memenuhi persyaratan S1
untuk jabatan Kepala Bidang Keperawatan dan Kepala Ruang. Pada
periode berikutnya dapat ditingkatkan dengan program yang sama untuk
2-3 orang secara bertahap.

A.4.6.2. Proyeksi Kebutuhan Sumberdaya Manusia


Proyeksi kebutuhan sumberdaya manusia disusun berdasarkan
proyeksi perkembangan pelayanan yang dibutuhkan oleh masyarakat dari
kajian pasar dan pemasaran. Secara ringkas kajian pasar dan pemasaran
menunjukkan perkembangan kebutuhan pelayanan medik rawat inap dan
rawat jalan sebagai bisnis utama rumah sakit. Peningkatan kebutuhan
pelayanan rawat inap dan rawat jalan tentunya diikuti dengan
peningkatan kebutuhan pelayanan penunjang medis, non medis, fasilitas
penunjang yang tentunya membutuhkan peningkatan kuantitas dan
kualitas sumberdaya manusia.
Peningkatan kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia tentunya
harus disesuaikan dengan kemampuan daerah dan pendapatan RSUD
Srengat nantinya.

A.4.6.3. Strategi Pengembangan Sumberdaya Manusia


Hasil analisis nantinya akan menunjukkan besarnya kebutuhan
pengembangan kapasitas pelayanan yang menuntut peningkatan
kapasitas dan kapabilitas sumberdaya manusia yang pada akhirnya
meningkatkan pembiayaan rutin rumah sakit. Investasi pada SDM harus
dilaksanakan seimbang dengan pengembangan fasilitas pelayanan.
Sebagai industri padat teknologi, investasi pada sumberdaya manusia
bahkan menjadi persyaratan yang harus menjadi prioritas pengembangan
rumah sakit. Di sisi lain keterbatasan anggaran dan fungsi sosial rumah
sakit mengharuskan Direktur dan Pemerintah Daerah harus berhati-hati
dalam mengalokasikan kebutuhan pengembangan sumberdaya manusia.
Strategi pertama yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan
kualifikasi tenaga paramedik non keperawatan, yang pada akhirnya harus
diikuti dengan rekruitmen. Sulitnya rekruitmen tenaga dengan kualifikasi
pendidikan profesional kesehatan dapat dilakukan dengan beasiswa putra
daerah dan kerjasama dengan institusi penyelenggara pendidikan
sebagai pemasok tenaga profesional.
Disamping tenaga medik, tenaga administrasi juga harus
mempunyai kecakapan dibidang masing-masing. Profesi administrasi
kesehatan juga semakin berkembang misalnya tenaga pengelola data
kesehatan, keuangan dan kepegawaian. Pengelola dan pelaksana
pelayanan penunjang medis juga menuntut profesionalisme yang tinggi.
Kualitas pelayanan medik tidak dapat dilepaskan dari kualitas teknologi
kesehatan yang merupakan investasi mahal dan memerlukan
pemeliharaan khusus. Oleh karena itu pengelolaan Instalasi
Pemeliharaan Sarana juga menuntut profesi elektromedis dari sisi praktis
dan manajemen. Pengelolaan lingkungan juga menjadi kunci untuk
pengendalian infeksi nosokomial. Rumah sakit seharunya menjadi
tempat dengan standar kebersihan tertinggi karena mempunyai resiko
tinggi pula. Selain itu, RSUD Srengatjuga harus menyiapkan rencana
pengembangan SDM melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan
sesuai dengan perkembangan profesi dan ilmu pengetahuan serta
teknologi pelayanan kesehatan.
A.4.7. Kajian Aspek Bisnis dan Keuangan
A.4.7.1. Analisis Pendapatan Daerah dan Pembiayaan Rumah
Sakit
RSUD Srengatmerupakan rumah sakit milik pemerintah daerah,
sehingga keberlangsungan usaha rumah sakit sangat dipengaruhi kondisi
keuangan daerah dan sebaliknya. Sebagai unit yang memberikan
pelayanan dasar yaitu kesehatan, mempertahankan keberlangsungan
usaha dan mutu pelayanan rumah sakit merupakan tanggungjawab
bersama pemerintah untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
RSD Srengat merupakan rumah sakit milik pemerintah daerah,
sehingga keberlangsungan usaha rumah sakit sangat dipengaruhi kondisi
keuangan daerah dan sebaliknya. Sebagai unit yang memberikan
pelayanan dasar yaitu kesehatan, mempertahankan keberlangsungan
usaha dan mutu pelayanan rumah sakit merupakan tanggungjawab
bersama pemerintah untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Sumber pembiayaan RSUD Srengat diperoleh dari PAD dan Dana
Perimbangan. Proporsi pendapatan rumah sakit terhadap sumber
pembiayaan rumah sakit cenderung tetap dengan kisaran 12,4%.
Sedangkan proporsi pembiayaan APBD cenderung meningkat seiring
meningkatnya pengeluaran rumah sakit dan menurunnya kontribusi
APBN.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah memberikan kontribusi
terbesar sumber pembiayaan rumah sakit dengan kontribusi sebesar 76%
yang dialokasikan untuk pembelanjaan rutin dan pembangunan. Proporsi
pembelanjaan rutin rumah sakit pada setiap tahun mengalami
peningkatan. Sebaliknya pembelanjaan pembangunan setiap tahun
mengalami penurunan. Bila dibandingkan dengan pendapatan RSUD
Pare, rata-rata belanja rutin mencapai enam (6) kali lipat pendapatan.
Proporsi belanja rutin dan pembangunan tersebut menunjukkan besarnya
beban anggaran pembiayaan rutin rumah sakit.

Gambaran perkembangan sumber pembiayaan dan pengeluaran


rumah sakit menunjukkan adanya peningkatan pengeluaran belanja rutin
dengan sumber biaya yang didominasi APBD dan menurunnya kontribusi
APBN. Meskipun pendapatan RSUD Pare juga mengalami peningkatan,
namun kontribusi besar masih diberikan oleh APBD.
Data realisasi pendapatan daerah menunjukkan masih kecilnya
kemampuan daerah dalam membiayai pembangunan daerah. Oleh
karena setiap bentuk kegiatan belanja pembangunan harus
diperhitungkan dengan sangat hati-hati, termasuk rencana
pengembangan RSUD Srengat. Sebagai institusi publik yang memberikan
pelayanan kesehatan dasar yang menjadi kewajiban pemerintah, sedapat
mungkin harus menghindari pembebanan pada pembiayaan langsung
oleh masyarakat. RSUD Srengatdan Pemerintah Daerah harus mencari
sumber pembiayaan dari Pemerintah Pusat atau sumber pendapatan lain
misalnya dengan kerjasama perusahaan maupun bantuan luar negeri.

A.4.7.2. Proyeksi Pendapatan dan Biaya


Proyeksi Pendapatan dan Biaya ini akan disesuaikan dengan
kesepakatan tentang masa berlaku produk Masterplan ini. Kisaran masa
berlaku produk ini adalah 5-10 tahun ke depan. Apabila lebih lama
daripada itu akan dianggap kurang layak untuk sebuah nilai investasi.

B. PROGRAM KERJA
Dalam pekerjaan ini, konsultan diharuskan melaksanakan
kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
1) Persiapan (mobilisasi pekerjaan), berupa perencanaan yang
dilakukan oleh konsultan, berupa tahapan penetapan alternatif
terpilih dan skenario untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
2) Persiapan Teknik Survey Lapangan, berupa persiapan
administrasi, penyiapan program survey lapangan dan penyiapan
daftar data-data yang diperlukan.
3) Pengumpulan Data Primer dan Sekunder, yang secara kuantitatif
dan visual mampu mendiskripsikan kondisi kawasan yang menjadi
sasaran lokasi pengembangan baru sebagai alternatif lahan (site)
Rumah Sakit.
4) Verifikasi, validasi, dan identifikasi data serta potensi wilayah,
konsultan melaksanakan verifikasi, validasi dan identifikasi data
dengan cara membandingkan data yang diperoleh di lapangan
dengan data aset yang tersedia agar didapat data akurat sebagai
produk pelaksanaan kegiatan ini.
5) Analisis dan Proyeksi potensi Rumah Sakit merupakan identifikasi
dan analisis berdasarkan data yang diperoleh, yang menghasilkan
potensi dan permasalahan dalam pengembangan rumah sakit. Kajian
proyeksi pengembangan rumah sakit yang sesuai juga sangat
diperlukan. Pada bagian ini metodologi dan pendekatan yang
dikembangkan menjadi kunci ketajaman analisis dan aktualisasi
proyeksi yang ditawarkan.
6) Konsep Perancangan, merupakan penetapan alternatif-alternatif
terpilih dan skenario untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Termasuk di dalamnya plotting sumberdaya manusia, program
pemasaran, analisis lingkungan, prognosa investasi dan perencanaan
kegiatan pendukung (sosial ekonomi) serta indikasi program yang
menggambarkan komitmen berbagai stakeholder dalam mewujudkan
pengembangan rumah sakit.
7) Rencana Pentahapan, atau phasing plan, merupakan tahapan
penetapan skenario perkembangan fisik, sesuai dengan kemampuan
domestik dengan tanpa meninggalkan kepentingan operasionalisasi
RSUD sebagai prioritas.
8) Pemaparan dan Sosialisasi, merupakan bagian upaya koreksi dan
masukan dari berbagai pihak, khususnya Tim Teknis Kabupaten Blitar.
Selama proses pekerjaan ini diharuskan dilaksanakan diskusi bersama
Tim Teknis sebanyak 3 (tiga) kali.
9) Persiapan Legalisasi, selain Buku Laporan Pendahuluan, Buku
Laporan Antara, Buku Laporan Akhir dan Buku Laporan Executive
Summary, diperlukan masukan dan juga dukungan draft hukum bagi
pengembangan rumah sakit.
Secara teknis, Pekerjaan Penyusunan Masterplan Pembangunan
Rumah Sakit Umum Daerah SrengatTipe B Kabupaten Blitar memiliki
penjadwalan dari penyusunan pekerjaan melalui tahapan sebagai
berikut :
1. Langkah Kegiatan Persiapan Pekerjaan (Mobilisasi Pekerjaan)
2. Langkah Kegiatan Persiapan Teknik Survey Lapangan
3. Langkah Kegiatan Pengumpulan Data
4. Langkah Kegiatan Verifikasi, Validasi, dan Identifikasi Data serta
Potensi Wilayah
5. Langkah Kegiatan Analisis dan Proyeksi
6. Langkah Kegiatan Perancangan Masterplan
7. Langkah Kegiatan Pemaparan dan Sosialisasi
8. Langkah Kegiatan Persiapan Legalisasi dan Pembuatan Buku
Laporan
Jadwal pelaksanaan kegiatan ini disusun sesuai urutan langkah-
langkah kegiatan sebagai berikut :
1) Kegiatan Persiapan Pekerjaan (Mobilisasi Pekerjaan)
Waktu yang diperlukan lebih kurang 1 minggu.
2) Kegiatan Persiapan Teknik Survey Lapangan
Waktu yang diperlukan lebih kurang 2 minggu.
3) Kegiatan Pengumpulan Data
Waktu yang diperlukan lebih kurang 4 minggu.
4) Kegiatan Verifikasi, Validasi, dan Identifikasi Data serta Potensi
Wilayah
Waktu yang diperlukan lebih kurang 4 minggu.
5) Kegiatan Persiapan Analisis dan Proyeksi
Waktu yang diperlukan lebih kurang 4 minggu.
6) Kegiatan Persiapan Perancangan Masterplan
Waktu yang diperlukan lebih kurang 4 minggu.
7) Kegiatan Persiapan Pemaparan dan Sosialisasi
Waktu yang diperlukan lebih kurang 3 minggu.
8) Kegiatan Persiapan Persiapan Legalisasi dan Pembuatan Buku
Laporan
Waktu yang diperlukan lebih kurang 10 minggu.
TABEL 4.3. JADWAL PELAKSANAAN PEKERJAAN
PENYUSUNAN MASTERPLAN PEMBANGUNAN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SRENGATTIPE B KABUPATEN BLITAR

NO K E G I A T A N BULAN I BULAN II BULAN III BULAN IV


1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Persiapan Pekerjaan (Mobilisasi Pekerjaan)
2 Persiapan Teknik Survey Lapangan
3 Pengumpulan Data
4 Verifikasi, Validasi, dan Identifikasi Data serta Potensi
Wilayah
5 Analisis dan Proyeksi
6 Rekomendasi Konsep Perancangan & Rencana
Pentahapan
7 Pemaparan dan Sosialisasi
8 Persiapan Legalisasi dan Pembuatan Buku Laporan
C. ORGANISASI DAN PERSONIL
Sesuai dengan aturan yang tercantum dalam Kerangka Acuan
Kerja, maka dalam menangani pekerjaan ini, konsultan mengajukan
usulan Susunan Tenaga Ahli antara lain:
1) Tenaga Ahli Bidang Manajemen Rumah Sakit (Team Leader)
2) Tenaga Ahli Bidang Arsitek Sub Bidang Arsitektur
3) Tenaga Ahli Bidang Sipil Sub Budang Teknik Sipil
4) Tenaga Ahli Bidang Kesehatan Masyarakat
5) Tenaga Ahli Bidang Mekanikal
6) Tenaga Ahli Bidang Elektrikal
Selain tenaga ahli tersebut di atas, Susunan Tenaga Pendukung
yang diperlukan meliputi:
1) Asisten Ahli Bidang Arsitek
2) Asisten Ahli Bidang Sipil
3) Asisten Ahli Bidang Kesehatan Masyarakat
4) Asisten Ahli Bidang Mekanikal
5) Asisten Ahli Bidang Elektrikal
6) CAD dan Komputer
7) Administrasi dan Keuangan
TABEL 4.3. JADWAL PELAKSANAAN PEKERJAAN
PENYUSUNAN MASTERPLAN PEMBANGUNAN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SRENGATTIPE B KABUPATEN BLITAR

NO K E G I A T A N BULAN I BULAN II BULAN III BULAN IV


1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
TENAGA AHLI
1 Tenaga Ahli Bidang Manajemen Rumah Sakit (Team Leader)
2 Tenaga Ahli Bidang Arsitek Sub Bidang Arsitektur
3 Tenaga Ahli Bidang Sipil
4 Tenaga Ahli Bidang Kesehatan Masyarakat
5 Tenaga Ahli Bidang Mekanikal
6 Tenaga Ahli Bidang Elektrikal
TENAGA PENDUKUNG
1 Asisten Ahli Bidang Arsitek
2 Asisten Ahli Bidang Sipil
3 Asisten Ahli Bidang Kesehatan Masyarakat
4 Asisten Ahli Bidang Mekanikal
5 Asisten Ahli Bidang Elektrikal
6 CAD dan Komputer
7 Administrasi dan Keuangan
Organisasi kerja yang dimaksud akan menyangkut hubungan
kerjasama antara Pemberi Tugas dengan Penerima atau Pelaksana
Pekerjaan (konsultan). Gambaran mengenai organisasi kerja eksternal
yang menyangkut hubungan antara konsultan dengan pihak pemberi
tugas serta keorganisasian didalam konsultan dapat dijelaskan dalam
bagan berikut:
PEMBERI
TUGAS

KONSULTAN

TEAM LEADER
(TA.
MANAJEMEN
RS)

TENAG TENAG TENAG TENAG TENAG


A A A A A
AHLI AHLI AHLI AHLI AHLI
SIPIL ARSITE KES. MEKAN ELEKTR
KTUR MASYA- IKAL IKAL
RAKAT

ASISTE ASISTE ASISTE ASISTE ASISTE


N N N N N
AHLI AHLI AHLI AHLI AHLI
SIPIL ARSITE KES. MEKA- ELEK-
K-TUR MASYA- NIKAL TRIKAL
RAKAT

TENAGA PENDUKUNG (KOMPUTER DAN ADMINISTRASI)


Sebagai bagian dari kewajiban yang harus dilaksanakan adalah
penyampaian serangkaian laporan kepada pihak Pemberi Tugas. Laporan-
laporan yang akan diserahkan konsultan adalah sebagai berikut :
a. Laporan Pendahuluan (inception report)
Laporan ini berisi pemahaman terhadap KAK (TOR), rencana kegiatan
lapangan, jadwal pelaksanaan dan penempatan personil, berikut
tanggung jawab masing-masing tenaga ahli. Selain itu, secara
substansial juga berisi tentang laporan fakta yang didasarkan kepada
data awal (sekunder). Laporan ini dibuat sebanyak 6 (enam)
eksemplar dan 2 (dua) Cakram Digital sebagai soft copy. Laporan ini
harus dipresentasikan di hadapan Tim Pendamping pekerjaan ini.
b. Laporan Antara (interim report/draft final report)
Laporan ini berisi uraian dan analisis yang didasarkan kepada data
primer dan data sekunder. Laporan ini dibuat sebanyak 6 (enam)
eksemplar dan 2 (dua) Cakram Digital sebagai soft copy. Laporan ini
harus dipresentasikan di hadapan Tim Teknis dari instansi yang
berwenang.
c. Laporan Akhir (final report)
Laporan ini merupakan hasil pemantauan dan analisis yang
menghasilkan sebuah rekomendasi untuk tahap selanjutnya. Laporan
ini dibuat sebanyak 6 (enam) eksemplar dan 2 (dua) Cakram Digital
sebagai soft copy. Laporan ini harus dipresentasikan di hadapan Tim
Teknis dari disahkan oleh instansi yang berwenang.
d. Laporan Eksekutif (executive summary)
Laporan ini merupakan ringkasan materi dan kegiatan dari
keseluruhan proses pekerjaan. Laporan ini dibuat sebanyak 6 (enam)
eksemplar dan 2 (dua) Cakram Digital sebagai soft copy, dan tidak
perlu dipresentasikan.
e. Pemodelan 3 Dimensi (maket)
Produk maket ini merupakan visualisasi dari hasil akhir dan
dibutuhkan sebagai pelengkap laporan. Produk ini cukup dibuat 1
(satu) buah saja dengan skala menyesuaikan.

Secara umum, dimulai dari proses aanwijzing, isi Kerangka Acuan


Kerja yang telah dikeluarkan oleh Panitia Pengadaan Jasa Konsultan
Masterplan Rumah Sakit Umum Daerah Srengat tipe C Kabupaten
Blitar, telah diikuti, dipelajari dan dimengerti dengan baik oleh
Konsultan. Demikian pula mengenai uraian syarat-syarat administrasi,
syarat-syarat teknis, kualifikasi dan penugasan personil, serta ketentuan-
ketentuan lainnya yang dikeluarkan oleh Pihak Panitia Pengadaan Jasa
Konsultan Masterplan Rumah Sakit Umum Daerah Srengat tipe C
Kabupaten Blitar seluruhnya telah dimengerti oleh Konsultan.

Anda mungkin juga menyukai