641.542
Ind
RENCANA AKSI NASIONAL
KOLABORASI
TB - HIV
2015 - 2019KATA PENGANTAR
Tuberkulosis atau TB masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang menjadi tantangan global. Indonesia merupakan negara pertama di antara
negara-negara dengan beban TB yang tinggi di wilayah Asia Tenggara yang
berhasil mencapai target Global untuk TB pada tahun 2006, yaitu 70% penemuan
kasus baru TB BTA positif dan 85% kesembuhan. Saat ini Indonesia berada di
urutan kedua di antara negara dengan beban TB tertinggi di dunia. Meskipun
demikian, berbagai tantangan baru yang perlu menjadi perhatian yaitu TB-HIV,
TB-RO, TB pada anak dan masyarakat rentan lainnya. Hal ini memacu
pengendalian TB nasional terus melakukan intensifikasi, akselerasi, ekstensifikasi
dan inovasi program
Epidemi Human Immunodeficiency Virus (HIV) menunjukkan pengaruhnya
tethadap peningkatan epidemi Tuberkulosis (TB) di seluruh dunia yang berakibat
meningkatnya jumlah kasus TB di masyarakat. Epidemi ini merupakan tantangan
terbesar dalam pengendalian TB dan banyak bukti menunjukkan bahwa
Pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan
pengendalian HIV. Sebaliknya TB merupakan salah satu infeksi oportunistik yang
banyak terjadi_ dan penyebab utama kematian pada orang dengan HIV AIDS
(ODHA). Kolaborasi kegiatan bagi kedua program merupakan suatu keharusan
agar mampu menanggulangi kedua penyakit tersebut secara efektif dan efiisien.
Di Indonesia diperkirakan sekitar 3% pasien TB dengan status HIV positif.
Sebaliknya TB merupakan tantangan bagi pengendalian AIDS karena merupakan
infeksi oportunistik terbanyak (49%) pada ODHA. Untuk mencapai target yang
ditetapkan dalam stranas, disusun beberapa Rencana Aksi Nasional salah
satunya adalah Rencana Aksi Nasional Kolaborasi TB-HIV.Dokumen ini ditujukan
kepada seluruh pelaksana program TB dan program HIV di semua tingkatan,
fasilitas dan penyedia pelayanan kesehatan, swasta dan stake holders terkait
Dokumen ini diharapkan dapat mendorong implementasi kegiatan untuk mencapai
target yang telah ditetapkan dalam Strategi dan Rencana Aksi Nasional ProgramPengendalian TB (STRANAS TB) 2015-2019, Rencana Aksi Nasional HIV-AIDS
sektor Kesehatan 2015-2019 dan Rencana Aksi Nasional TB-HIV di Indonesia.
Akhimya kami ucapkan terima kasih kepada penyusun dan semua pihak
terkait yang telah berkontribusi dalam menyelesaikan Rencana Aksi Nasional ini.
Kritik dan saran yang membangun demi perbaikannya pada masa mendatang
sangat diharapkan. Semoga buku ini bermanfaat dalam pengendalian Program TB
dan Pengendalian Program HIV di Indonesia. Mari kita lakukan terobosan dalam
perjuangan melawan TB dan HIV.
Jakarta, November 2015
Direktur Jenderal PP dan PL
Dr. H. M. Subuh, MPPMTIM PENYUSUN
Pengarah
H.M. Subuh
Sigit Priohutomo
Editor
Christina Widaningrum
Siti Nadia Wiweko
Kontributor
‘Amelia Vanda Siagian
Betty Nababan
Chawalit Natpratan
Devi Yuliastanti
Endang Lukitosari
Eddy Lamanepa
Fatcha Nuraliyah
Hardini Utami
Indri Rizkiyani
Joan Tanumihardja
Maria Regina Christian
Merry Samsuri
Miladi Kurniasari
Novayanti Tandirerung
Nurjannah
Rini Palupy
‘Sugeng Wiyana
Tiara M. Nisa
Yoana AnanditaDAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
TIM PENYUSUN
DAFTAR ISI .....
DAFTAR SINGKATAN
PENDAHULUAN....
A. Strategi dan Rencana Aksi Nasional Program Pengendalian TB
(Stranas TB) 2015-2019
°o 9
Rekomendasi Joint External Monitoring Mission (JEMM) 2013...
Road Map untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat HIV
dan memaksimalkan manfaat perluasan akses terhadap ARV, 2013-2015,
D. Strategi dan Rencana Aksi Nasional Program Pengendalian HIV-AIDS.
dan Rencana Aksi Nasional Sektor Kesehatan Program Pengendalian
HIV-AIDS, 2015-2019
ANALISA SITUASLI.........00000
A. Kegiatan membentuk mekanisme kolaborasi TB-HIV..............«
B. Kegiatan menurunkan beban TB pada ODHA.
C. Kegiatan menurunkan beban HIV/AIDS pada pasien TB
TANTANGAN UTAMA
TUJUAN, INDIKATOR DAN TARGET.
RUMUSAN STRATEGI DAN IMPLEMENTASI RENCANA AKSI
NASIONAL TB-HIV
A. Membentuk mekanisme kolaborasi antara program TB dan HIV-AIDS..........
Ad
A.2
AB.
A4
AS.
Memperkuat koordinasi bersama program TB dan HIV di semua
tingkatan.....
Melaksanakan surveilans TB-HIV .
Melakukan perencanaan bersama TB-HIV untuk integrasi layanan
TBHIV..u....
Monitoring dan evaluasi kegiatan TB-HIV...
Mendorong peran serta komunitas dan LSM dalam kegiatan TB-HIV...
15,
18
18
18
20B. Menurunkan beban TB pada ODHA dan inisiasi pemberian ART dini.
B.1. Intensifikasi penemuan kasus TB pada ODHA termasuk pada populasi
kunci HIV dan memastikan pengobatan TB yang berkualitas...
B.2. Memperluas PP INH di Faskes yang memberikan layanan HIV...
B.3. Penguatan PPI TB di faskes yang memberikan layanan HIV, termasuk
Tempat Orang Berkumpul (Lapas/Rutan, Panti Rehabilitasi untuk
Pengguna NAPZA) ssc:
C. Menurunkan beban HIV pada pasien TI
C.1. Menyediakan tes dan konseling HIV pada pasien TB
C.2 Meningkatkan pencegahan HIV untuk pasien TB
C.3 Menyediakan pemberian PPK pada Pasien TB-HIV
C.4 Memastikan perawatan, dukungan dan pengobatan serta
pencegahan HIV pada pasien koinfeksi TB-HIV ...
C.5 Menyediakan ART bagi pasien koinfeksi TB-HIV...
IMPLEMENTAS! RENCANA AKSI NASIONAL TB-HIV ...........00++5
PEMBIAYAAN RENCANA AKSI NASIONAL TB-HIV
DAFTAR PUSTAKA
23
. 23
. 25
. 26
. 26
26
. 27
. 27
. 27
. 28
. 29
. 35
36DAFTAR SINGKATAN
AIDS
ART
ARV
Ditjen
DOTS
Faskes
Forkom
GF ATM
HIV
HBC
STBP
IMS.
INH
JEMM
KAP.
KIE
Kemenkes
KTS
Lapas
LKB
Rutan
LSM
LSL
LBT
MDG
ODHA
PDP
Penasun
PP INH
Pokja
PPI
PPK
Puskesmas
RAN
SEARO.
SITT
Aquired Immuno Deficiency Syndrome
Anti Retroviral Therapy
Anti Retro Viral
Direktorat Jenderal
Daily Observed Treatment Shortcourse
Fasilitas Kesehatan
Forum Komunikasi
Global Fund AIDS, TB, Malaria
Human Immunodeficiency Virus
High Burden Countries
Survei Terpadu Biologis dan Perilaku
Infeksi Menular Seksual
Isoniazid
Joint External TB Monitoring Mission
Key Affected Population
Komunikasi, Informasi dan Edukasi
Kementerian Kesehatan
Konseling dan Tes HIV Sukarela
Lembaga Pemasyarakatan
Layanan Komprehensif Berkesinambungan
Rumah Tahanan Negara
Lembaga Swadaya Masyarakat
Lelaki Seks Lelaki
Laki-laki Berisiko Tinggi
Millennium Development Goal
Orang Dengan HIV AIDS.
Perawatan, Dukungan dan Pengobatan
Pengguna Napza Suntik
Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid
Kelompok Kerja
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol
Pusat Kesehatan Masyarakat
Rencana Aksi Nasional
South East Asia Region
Sistem Informasi Terpadu Tuberkulosis
viSIHA
Subdit
SUFA
TB
TK HIV
TIPK
TEMPO
WHO
WPSL
WPSTL
Sistem Informasi HIV-AIDS
Sub Direktorat
Strategic Use of ARV
Tuberkulosis
Tes dan Konseling HIV
Tes HIV atas Inisiasi Petugas Kesehatan dan
Konseling
Temukan secara aktif, Pisahkan dan Obati
World Health Organization
Wanita Pekerja Seks Langsung
Wanita Pekerja Seks Tidak LangsungPENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
menjadi tantangan global. Indonesia merupakan negara pertama di antara
high burden countries (HBCs) di wilayah regional Asia Tenggara (South
East Region/SEAR) , yang mampu mencapai target global TB untuk deteksi
kasus (70%) dan keberhasilan pengobatan (85%) pada 2005. Pada 2013,
estimasi prevalensi TB adalah sebesar 680.000 (WHO, 2014), sedangkan
estimasi insidensi berjumlah 460.000 kasus baru.
Di satu sisi, Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah kasus HIV
baru yang terus meningkat. Seperti halnya dengan negara Asia lainnya,
epidemi HIV di Indonesia termasuk dalam epidemi terkonsentrasi, kecuali
tanah Papua dengan tingkat epidemi HIV meluas. Hasil STBP (Survei
Terpadu Biologis dan Perilaku) 2013 pada populasi kunci menunjukkan
prevalensi yang terus tinggi pada Pengguna Napza Suntik (Penasun)
39,2%, Lelaki Seks Lelaki (LSL) 13% dan Lelaki Beresiko Tinggi (LBT)
0.2%, serta prevalensi sebesar 7,2% pada Wanita Pekerja Seks Langsung
(WPSL) dan 1.6% pada Wanita Pekerja Seks Tidak Langsung (WPSTL).
Proyeksi dengan menggunakan Asian Epidemic Model (AEM)
menunjukkan epidemi HIV yang terus meningkat dan penularan melalui
hubungan heteroseksual merupakan cara penularan terbanyak
menggantikan penularan melalui penggunaan jarum suntik bersama pada
penasun. Estimasi jumlah ODHA dewasa meningkat dari 545.000 pada
tahun 2011 menjadi 735.000 pada tahun 2015. Demikian pula jumlah
ODHA yang membutuhkan ART meningkat menjadi 305.061 sesuai
dengan pedoman nasional dan Strategic Use of ARV (SUFA) yang
diluncurkan pada tahun 2013.
TB merupakan infeksi oportunistik kKedua yang paling banyak ditemukan
pada kasus AIDS di tahun 2013 setelah kandidiasis, sementara itu
diperkirakan 3,3% pasien TB juga terinfeksi HIV. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk menghadapi situasi epidemi TB maupun HIV. Untuk
memperkuat respons terhadap situasi TB-HIV di Indonesia, Rencana Aksi
Nasional TB-HIV perlu diperbaharui, dengan mengacu pada: Strategi dan
Rencana Aksi Nasional Program Pengendalian TB 2015-2019, Pedoman
TB Nasional cetakan tahun 2014, hasil dan rekomendasi Joint External
Rencana Aksi Nasional Kolaborasi TB - HIV 2015 - 2019 1Monitoring Mission (JEMM) 2013, dokumen roadmap akselerasi testing dan
perluasan ARV untuk terapi dan pencegahan di Indonesia, serta Strategi
dan Rencana Aksi Nasional Program Pengendalian HIV dan AIDS 2015-
2019 serta Rencana Aksi Nasional Sektor Kesehatan di dalam
Pengendalian HIV-AIDS 2015-2019.
A. STRATEGI DAN RENCANA AKSI NASIONAL PROGRAM
PENGENDALIAN TB (STRANAS TB) 2015-2019
Dokumen Stranas TB 2015-2019 disusun berdasarkan capaian dari
Stranas yang lalu dan disesuaikan dengan perubahan-perubahan
global maupun kebijakan nasional_terkini, yang memungkinkan
pembagian tanggung jawab pada tingkat sub-nasional serta
memperkuat pemerintah kota/kabupaten.
Stranas TB 2015-2019 menekankan pada 3 pilar Global TB Strategi
Paska 2015 yang melingkupi :
-Pilar1 : Layanan TB yang berpusat pada pasien dan terintegrasi
pada upaya pencegahan
-Pilar2 : Kebijakan yang tegas, berani, dan memiliki sistem
dukungan yang jelas
-Pilar 3 : Intensifikasi riset dan inovasi baru
Dengan implementasi 3 pilar ini diharapkan angka kematian akibat TB
turun 95% dan angka insidensi TB turun 90% (kurang dari 10/100.000
penduduk) pada tahun 2035 dibandingkan tahun 1990.
B. STRATEGI DAN RENCANA AKSI NASIONAL PROGRAM
PENGENDALIAN HIV-AIDS DAN RENCANA AKSI NASIONAL
SEKTOR KESEHATAN PROGRAM PENGENDALIAN HIV-
AIDS, 2015-2019
Kedua dokumen ini disusun berdasarkan capaian dari SRAN yang lalu
dan disesuaikan dengan perubahan-perubahan global maupun
kebijakan nasional terkini, yang memungkinkan pembagian tanggung
jawab pada tingkat sub-nasional serta memperkuat pemerintah
kota/kabupaten.
Pengembangan SRAN 2015-2019 serta RAN Sektor Kesehatan 2015-
2019 telah melalui pengkajian capaian SRAN/RAN yang lalu serta
2 Rencana Aksi Nasional Kolaborasi TB - HIV 2015 - 2019konsultasi dengan pemangku kepentingan baik di tingkat nasional
maupun sub-nasional.
Di dalam SRAN maupun RAN, implementasi SUFA melalui LKB akan
menjadi strategi utama didalam mengendalikan epidemi HIV, dan akan
diimplementasikan di lebih banyak kota/kabupaten secara bertahap.
Untuk meningkatkan kualitas hidup serta kesehatan ODHA, dukungan
yang komprehensif dan berkelanjutan perlu dipastikan, termasuk
menciptakan lingkungan yang mendukung yang sensitif-gender, serta
bebas stigma dan diskriminasi.
Akses terhadap tes HIV dan ARV akan dipermudah dengan
menambahkan jumlah maupun dengan mendekatkan layanan bagi
yang membutuhkan, melalui desentralisasi dan integrasi layanan HIV
dan ARV di rumah sakit maupun Faskes primer. Kemitraan dengan
komunitas maupun LSM akan diperkuat dalam rangka meningkatkan
testing serta mengurangi kebocoran di sepanjang kaskade perawatan
HIV. Kualitas data serta kapasitas untuk menganalisis di tingkat
provinsi serta kota/kabupaten akan diperkuat melalui pelatihan serta
integrasi sistem-sistem informasi yang ada.
Mengacu pada strategi pengendalian HIV dan AIDS 2015-2019 maka
terdapat 2 strategi utama pengendalian sebagai berikut:
1. Meningkatkan cakupan layanan HIV-AIDS dan IMS melalui LKB:
2. Memperkuat sistem kesehatan nasional dalam _pelaksanaan
Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) HIV-AIDS dan
IMS
Diharapkan melalui dua strategi utama ini tujuan upaya pengendalian
mencapai “Getting to Zero“ pada tahun 2030 dapat dicapai.
Rencana Aksi Nasional Kolaborasi TB - HIV 2015 - 2019 3C. REKOMENDAS! JOINT EXTERNAL MONITORING MISSION
(JEMM) 2013
4
JEMM dilaksanakan pada bulan Februari 2013 oleh tim yang terdiri
atas ahli TB internasional dan nasional, LSM, komunitas dan organisasi
profesi, serta Kementerian Kesehatan RI. Tujuan dari JEMM ini adalah
untuk melihat situasi TB di Indonesia secara independen, komprehensif
dan mendalam, antara lain untuk mengkaji layanan bagi pasien TB
serta untuk memberikan saran dan rekomendasi untuk memperkuat
layanan untuk mencapai tujuan program TB, strategi STOP TB dan
MDGs tahun 2015.
Misi ini melihat kemajuan yang dibuat sejak JEMM 2011 serta melihat
temuan saat kunjungan lapangan ke beberapa provinsi di Indonesia.
Rekomendasi JEMM terkait TB-HIV dipisahkan menjadi rekomendasi
kepada program nasional TB dan HIV Kementerian Kesehatan dan
Kementerian Hukum dan HAM.
Rekomendasi_untuk Program Nasional TB dan HIV _Kementerian
Kesehatan
1. Memberikan dukungan teknis serta alokasi biaya untuk
pembentukan forum/kelompok kerja TB-HIV di 15 provinsi yang
belum memiliki forum ini. Pembentukan forum ditujukan untuk
mengkoordinasikan kegiatan kolaborasi TB-HIV. Aktivitasnya
mencakup pembuatan rencana kerja bersama antara kedua
program, kegiatan untuk memperbaiki pencatatan dan pelaporan
TB-HIV, memulai aktivitas untuk menurunkan beban TB pada
ODHA, serta beban HIV pada pasien TB.
2. Program Nasional TB juga perlu memberikan dukungan untuk
memperbaiki koordinasi serta monitoring dan evaluasi di 18 provinsi
yang saat ini sedang menerapkan kegiatan TB-HIV untuk
memastikan bahwa semua layanan mengikuti pedoman nasional
TB-HIV.
3. Pengelola program TB dan HIV Dinas Kesehatan (Dinkes)
kota/kabupaten serta provinsi secara bersama memastikan adanya
dana yang cukup dan tersedia tepat waktu untuk memperkuat
koordinasi yang disepakati terkait kegiatan kolaborasi TB-HIV di
Rencana Aksi Nasional Kolaborasi TB - HIV 2015 - 2019kota/kabupaten oleh kelompok kerja dan mendukung mentoring dan
supervisi bagi staf yang menerapkan kolaborasi TB-HIV.
4. Kolaborasi antara pengelola program TB dan HIV di Dinas
Kesehatan Kota/Kabupaten untuk memastikan ketersediaan formulir
pencatatan dan pelaporan sesuai dengan panduan nasional, dan
memastikan petugas kesehatan di fasilitas kesehatan mencatat
dengan benar dan melaporkan tepat waktu.
5. Memastikan klinisi menggunakan pedoman ART terbaru
6. Bersama dengan mitra dan pemangku kepentingan _ terkait,
mengembangkan rencana atau strategi untuk memperluas cakupan
KTIP serta memastikan semua pasien dengan koinfeksi TB-HIV
mendapatkan ART dan kotrimoksasol.
7. Memperkuat kapasitas pemberi layanan TB di dalam memberikan
konseling HIV serta memastikan layanan konseling dan tes HIV
dapat diakses dari layanan TB.
8. Diseminasi hasil implementasi pendahuluan PP INH dan pedoman
teknis PP INH untuk ODHA.
9. Mendukung pembuatan rencana pengembangan dan perluasan PP
INH (jika belum ada).
10. Mendekatkan layanan PP INH pada pasien untuk mengurangi beban
biaya.
Rekomendasi untuk Kementerian Hukum dan HAM:
Bersama mitra dan stakeholder terkait, memberikan bantuan teknis
serta dukungan pembiayaan lokal untuk membantu lapas/rutan di dalam
membuat dan menerapkan rencana untuk memulai aktivitas TB-HIV.
- ROAD MAP UNTUK MENURUNKAN ANGKA KESAKITAN DAN
KEMATIAN AKIBAT HIV DAN MEMAKSIMALKAN MANFAAT
PERLUASAN AKSES TERHADAP ARV, 2013-2015
Kementerian Kesehatan bersama dengan mitra telah mengembangkan
suatu model pemberian layanan yang dikenal dengan Layanan
Komprehensif Berkesinambungan (LKB). LKB memastikan layanan
terintegrasi, komprehensif dan terdesentralisasi tersedia di tingkat
kota/kabupaten. LKB bertujuan untuk meningkatkan cakupan serta
kualitas layanan pencegahan dan pengobatan dengan melakukan
desentralisasi layanan ke tingkat Puskesmas. LKB juga meningkatkan
rasa kepemilikan dengan meningkatkan koordinasi antara semua
Rencana Aksi Nasional Kolaborasi TB - HIV 2015 - 2019 §pemberi layanan serta peningkatan partisipasi dari komunitas/LSM di
dalam memberikan layanan sebagai cara untuk meningkatkan cakupan
serta kualitas layanan.
Pada awal tahun 2013 dilakukan kajian dan konsultasi nasional untuk
menggali informasi guna mengembangkan roadmap sebagai dasar
rencana akselerasi perluasan ARV sebagai terapi dan pencegahan di
Indonesia. Konsultasi nasional diadakan setelah kajian ini, kemudian
Kemenkes meluncurkan inisiatif untuk meningkatkan tes HIV dan
meningkatkan cakupan ART sebagai cara untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas akibat AIDS, dan juga untuk meningkatkan
dampak pencegahan dengan mempromosikan terapi secara dini
terutama untuk kelompok tertentu dan populasi kunci, dikenal dengan
SUFA. Peningkatan cakupan tes HIV dan terapi ARV dilakukan dengan
memanfaatkan dan memperkuat LKB yang berjalan di kota/kabupaten.
Sebagai tindak lanjut, Menteri Kesehatan mengeluarkan Peraturan
Menteri Kesehatan No. 21 tahun 2013 mengenai penanggulangan HIV-
AIDS dan Surat Edaran No. 129 tahun 2013. Di dalam dua kebijakan
ini, pasien TB menjadi kelompok pasien yang penting untuk dilakukan
tes dan perlu dilakukan inisiasi dini ART berapapun jumlah CD4. Di
dalam Surat Edaran No. 129 Tahun 2013 dijelaskan bahwa
pemeriksaan HIV dianjurkan pada semua pasien TB dan beberapa
populasi khusus seperti ibu hamil, pasien IMS, pasien hepatitis,
pasangan ODHA yang negatif serta populasi kunci (LSL, Waria,
Penasun dan Pekerja Seks). Strategi ini diimplementasikan secara
bertahap hingga mencapai 75 kota/kabupaten akan menerapkan SUFA
pada tahun 2015 dan diharapkan pada akhir tahun 2019 semua
kabupaten/kota sudah menerapkan SUFA.
6 Rencana Aksi Nasional Kolaborasi TB - HIV 2015 - 2019ANALISA SITUASI
Pelaksanaan kegiatan kolaborasi TB-HIV di Indonesia dimulai dengan
implementasi skala kecil tahun 2005 di Provinsi DK! Jakarta. Tahun 2006
dilakukan serosurvei prevalensi HIV di antara pasien TB di Provinsi
DI. Yogyakarta untuk melihat gambaran besaran masalah HIV pada pasien
TB.
Sejak tahun 2007 kegiatan kolaborasi TB-HIV mulai dikembangkan sesuai
kebijakan nasional meliputi. pembentukan mekanisme _ kolaborasi,
menurunkan beban TB pada ODHA dan menurunkan beban HIV pada
pasien TB. Kegiatan kolaborasi TB-HIV dimulai sebagai bagian dari upaya
pengendalian TB dan upaya meningkatkan keberhasilan penanggulangan
HIV dan AIDS.
Sebagai pedoman pelaksanaannya telah diterbitkan Kebijakan Nasional
Kolaborasi TB-HIV di Indonesia (tahun 2007), Manajemen Kolaborasi TB-
HIV (tahun 2012), dan Petunjuk Teknis Tata Laksana Klinis Koinfeksi TB-
HIV (tahun 2012). Pada tahun 2014 pedoman-pedoman ini direvisi sesuai
dengan perkembangan situasi TB-HIV terkini menjadi 2 pedoman yaitu
Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV di Indonesia dan
Petunjuk Tata Laksana Klinis Koinfeksi TB-HIV yang terlampir dalam
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) TB.
Sampai dengan tahun 2014, kegiatan kolaborasi TB-HIV ini telah
dilaksanakan di Fasilitas Kesehatan (Faskes) di 33 provinsi di Indonesia,
dengan prioritas pada Faskes yang telah melaksanakan kegiatan TB
DOTS dan layanan Perawatan, Dukungan dan Pengobatan HIV dan AIDS.
Strategi pengembangan kegiatan kolaborasi TB-HIV dimulai dari provinsi
yang mempunyai prevalensi TB dan HIV yang tinggi.
Berikut ini adalah deskripsi analisis situasi pelaksanaan kolaborasi TB-HIV
A. KEGIATAN MEMBENTUK MEKANISME KOLABORASI TB-HIV
Diseminasi_ kolaborasi TB-HIV telah dilakukan di 33 provinsi.
Implementasi dilakukan secara bertahap dimana pada tahun 2013
terdapat 13 provinsi yang baru memulai kegiatan kolaborasi TB-HIV ini
yaitu provinsi Aceh, Bangka Belitung, Bengkulu, Kalimantan Tengah,
Rencana Aksi Nasional Kolaborasi TB - HIV 2015 - 2019 7Kalimantan Selatan, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat,
Sulawesi Tenggara, NTT dan Maluku Utara.
Sampai dengan tahun 2014 sudah terbentuk Kelompok Kerja
(Pokja/Forkom) TB-HIV di 14 provinsi dan 57 kota/kabupaten
Selanjutnya Pokja/Forkom TB-HIV ini bersama Dinas Kesehatan
Provinsi dan Kabupaten/Kota menyusun perencanaan bersama TB-HIV
yang menjadi acuan dalam pelaksanaan maupun perluasan kegiatan
kolaborasi TB-HIV di wilayahnya. Perencanaan bersama_ antara
program TB dan program HIV-AIDS nasional sejak tahun 2011 dengan
menghasilkan keluaran rencana kegiatan TB-HIV tahunan, namun
belum diikuti dengan pertemuan perencanaan di provinsi_ maupun
kota/kabupaten secara rutin.
Koordinasi di tingkat Faskes dilaksanakan sesuai dengan model
kolaborasi yang telah disepakati bersama. Beberapa rumah sakit
menerapkan model pelayanan kolaborasi secara paralel dan beberapa
menggunakan model terintegrasi (pelayanan satu atap).
Surveilans HIV di antara pasien TB pernah dilakukan dengan serosurvei
di 4 provinsi (DI. Yogyakarta pada tahun 2006 dan Bali, Jawa Timur
serta Papua pada tahun 2008). Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV
atas Inisiasi Petugas Kesehatan (KTIP) saat itu dilakukan pada pasien
TB yang mempunyai faktor risiko HIV. Pada bulan Mei tahun 2013
melalui Permenkes No. 21 tahun 2013 telah ditetapkan pelaksanaan
KTIP pada pasien TB tanpa memandang faktor risiko. Dari data rutin
yang dilaporkan ke Kementerian Kesehatan pada kohort 2012 hanya
terdapat 2% pasien TB yang mengetahui status HIV mereka, dan di
antaranya 33% dengan hasil HIV positif.
Penguatan pada sistem monitoring dan evaluasi TB dan HIV juga
dilakukan terkait pencatatan dan pelaporan masing-masing program.
Pembaharuan formulir baik di layanan TB dan HIV yang memuat
kegiatan kolaborasi TB-HIV menyesuaikan dengan perkembangan
situasi terkini. Pencatatan pelaporan program TB menggunakan Sistem
Informasi Terpadu Tuberkulosis (SITT) dan Sistem Informasi HIV AIDS
(SIHA). Walaupun upaya penguatan sudah dilakukan dalam bentuk
workshop pencatatan dan pelaporan TB-HIV bagi pengelola TB dan
8 Rencana Aksi Nasional Kolaborasi TB - HIV 2015 - 2019HIV, namun belum semua Faskes yang melaksanakan kolaborasi TB-
HIV rutin melaporkan data TB-HIV setiap triwulan.
. KEGIATAN MENURUNKAN BEBAN TB PADA ODHA
Upaya penguatan kegiatan ini telah dilakukan baik di tingkat pusat,
propinsi, kota/kabupaten maupun Faskes. Di tingkat pusat telah
dilakukan revisi Modul Pelatihan Kolaborasi TB-HIV bagi Petugas HIV
dan Modul Pelatihan bagi Pelatih Kolaborasi TB-HIV pada tahun 2013
yang dilanjutkan dengan pelaksanaan pelatihan bagi pelatih dan
bersama_ provinsi mengadakan pelatihan kolaborasi TB-HIV bagi
petugas HIV di Faskes.
Kegiatan intensifikasi penemuan kasus TB pada ODHA dimulai dari
penerapan kaji status TB pada setiap ODHA baru maupun lama yang
berkunjung ke layanan HIV. Walaupun kegiatan ini merupakan rutinitas
di layanan HIV, namun data tahun 2013 menunjukkan bahwa kaji status
TB pada ODHA baru mencapai 83%. Sesuai dengan model layanan
yang diterapkan, untuk menegakkan diagnosis TB pada ODHA dapat
melalui penegakkan diagnosa di unit TB-HIV terintegrasi atau melalui
jejaring internal maupun eksternal yang dibangun antara kedua unit
Layanan TB-HIV terintegrasi dapat langsung memulai dan atau
meneruskan pengobatan TB, sementara pada model pararel dapat
merujuk pasien ke unit TB untuk memulai pengobatan. Beberapa
kendala yang dijumpai antara lain penegakan diagnosis TB hanya
menggunakan pemeriksaan radiologis dan klinis, pengobatan TB yang
belum sesuai standar DOTS sehingga belum semua ODHA yang
terdiagnosa TB ternotifikasi.
Pada tahun 2012 diperkenalkan pemeriksaan tes cepat TB dengan
menggunakan geneXpert MTB/Rif untuk ODHA terduga TB. Namun
pemanfaatan belum optimal karena masih lemahnya jejaring antara unit
HIV dengan laboratorium rujukan TB yang memiiliki tes cepat tersebut.
Paduan OAT untuk ODHA saat ini masih menggunakan paduan yang
sama dengan OAT untuk pasien TB dengan HIV negatif.
Pada tahun 2012 telah dimulai pendahuluan Pengobatan Pencegahan
dengan INH (PP INH) pada ODHA untuk melakukan penilaian terhadap
Rencana Aksi Nasional Kolaborasi TB - HIV 2015 - 2019 9aspek manajemen keberlangsungan kegiatan di 2 provinsi di Indonesia
(DKI Jakarta dan Jawa Barat). Pada tahun 2014 kegiatan PP INH
diperluas ke RS rujukan ARV di 8 provinsi dan akan dilakukan
pengembangan bertahap ke provinsi lainnya. Hingga saat ini 33
Provinsi sudah melakukan workshop.
Penerapan pengendalian infeksi TB di unit KTHIV/PDP belum maksimal
dilakukan. Sudah ada upaya pembentukan tim pencegahan dan
pengendalian infeksi (PPI) RS melalui pelatihnan petugas yang
diselenggarakan dengan kerjasama antara Subdit TB dengan Subdit RS
Khusus Ditjen Bina Upaya Kesehatan Spesialistik dan Perdalin.
Sedangkan Pengendalian Infeksi di Puskesmas dan Lapas/Rutan
dimulai dengan melakukan assessment dan sosialisasi di 7 provinsi
bekerja sama dengan Subdit Institusi Ditjen Bina Upaya Kesehatan
Dasar dan Ditjen Pemasyarakatan. Tersedianya poster tentang etika
batuk dan bersin dan penyediaan masker untuk klien dan ODHA yang
mempunyai gejala batuk sudah diimplementasikan di beberapa Faskes.
C. KEGIATAN MENURUNKAN BEBAN HIV-AIDS PADA PASIEN
™B
Sebagai upaya menurunkan beban HIV-AIDS pada pasien TB, di tingkat
pusat telah dilakukan revisi Modul Pelatihan Kolaborasi TB-HIV bagi
petugas TB, Modul Pelatihan bagi Pelatih Kolaborasi TB-HIV dan
dilanjutkan dengan pelatihan kolaborasi TB-HIV bagi petugas TB
bersama dengan provinsi dan kota/kabupaten. Materi KTIP telah
dimasukkan dalam modul pelatihan TB-HIV bagi petugas TB sebagai
bagian standar dari inisiasi tes HIV pada pasien TB.
Konseling dan tes HIV pada pasien TB masih berjalan lambat,
meskipun telah disebutkan dalam Permenkes No.21 Tahun 2013.
Sebagian besar unit TB masih bergantung pada unit HIV dalam inisiasi
tes HIV oleh karena petugas TB belum percaya diri dalam
melakukannya. Oleh karena itu juga telah dilakukan penguatan
kapasitas petugas TB dalam workshop KTIP di tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota.
Cakupan pemberian pengobatan pencegahan dengan kotrimoksazol
pada pasien koinfeksi TB-HIV baru mencapai 54%, dan cakupan
10 Rencana Aksi Nasional Kolaborasi TB - HIV 2015 - 2019pemberian ART pada pasien koinfeksi TB-HIV sebesar 51% pada
kohort tahun 2012. Upaya dalam membentuk jejaring antara layanan
TB dan HIV sudah dilakukan di beberapa Faskes namun belum berjalan
optimal.
Pemberian KIE pencegahan HIV dan IMS kepada pasien TB
dilaksanakan di Faskes dengan menggunakan media KIE yang telah
disediakan namun jumlahnya terbatas. Pelibatan peran komunitas /LSM
dalam kegiatan TB-HIV seperti penjangkauan dan pendampingan masih
belum optimal.
Rencana Aksi Nasional Kolaborasi TB - HIV 2015-2019 11TANTANGAN UTAMA
Berbagai upaya baik di dalam membentuk serta memperkuat mekanisme
kolaborasi TB-HIV, menurunkan beban TB pada ODHA, serta menurunkan
beban HIV pada pasien TB telah banyak dilakukan baik di tingkat pusat,
provinsi, kota/kabupaten, serta tingkat Faskes. Capaian_ serta
perkembangan juga sudah dapat terlihat, misalnya banyak provinsi dan
kota/kabupaten sudah membentuk forum kolaborasi TB-HIV, jejaring antara
layanan TB dan HIV juga sudah banyak yang terbentuk dan diperkuat,
banyak Faskes juga sudah melakukan tes HIV pada pasien TB dan
merujuk pasien TB-HIV ke layanan HIV, serta upaya di dalam
meningkatkan kualitas data TB-HIV sudah dilakukan dalam kurun waktu
2010-2014. Selama menerapkan kegiatan kolaboasi TB-HIV, tantangan-
tantangan yang ditemukan bervariasi sehingga capaian-capaian ini juga
berbeda baik antar provinsi, kota/kabupaten maupun antar Faskes.
A. Tantangan dalam Membentuk Mekanisme Kolaborasi TB-HIV
1. Belum semua provinsi, kota/kabupaten dan Faskes memahami
bahwa forum kolaborasi TB-HIV diperlukan untuk memperkuat
respons terhadap situasi TB-HIV.
2. Forum TB-HIV yang sudah terbentuk belum optimal di dalam
menjalankan fungsinya.
3. Belum semua tingkat membuat perencanaan bersama kegiatan
kolaborasi TB-HIV dan melakukan monitoring terhadap
pelaksanaannya.
4. Koordinasi antara program TB dan program HIV-AIDS di tingkat
nasional, provinsi, kota/kabupaten dan Faskes masih lemah.
5. Belum semua Faskes diberikan informasi mengenai indikator TB-
HIV yang perlu dilaporkan, demikian pula pemahaman tentang
bagaimana mengumpulkan data ini juga masih lemah dan bervariasi
antara satu Faskes dengan Faskes lainnya.
6. Belum ada angka prevalensi HIV di antara pasien TB.
7. Pengetahuan/keterampilan komunitas dan LSM masih terbatas di
dalam memperluas perannya untuk mendukung kegiatan kolaborasi
TB-HIV.
8. Tidak adanya mekanisme untuk memantau perkembangan
keterlibatan dan kolaborasi dengan komunitas dan LSM.
12 Rencana Aksi Nasional Kolaborasi TB - HIV 2015 - 20199. Tidak ada metode yang sistematis untuk mengumpulkan dan
melaporkan kontribusi komunitas dan LSM.
B. Tantangan dalam menurunkan beban TB pada ODHA
1. Belum semua Rumah Sakit ARV menerapkan strategi DOTS
2. Belum semua petugas di layanan HIV (unit KTS/PDP) sudah
tersosialisasi mengenai kegiatan kolaborasi TB-HIV.
3. Petugas kesehatan belum mengetahuilterbiasa dengan alat
diagnosis cepat untuk TB (Xpert MTB/Rif).
4. Terbatasnya akses dan jumlah layanan yang menyediakan tes cepat
TB.
5. Belum semua Faskes mengetahui mengenai PP INH dan belum
semua siap atau ingin memberikannya pada ODHA.
6. Sebagian besar layanan HIV belum memperhatikan pengendalian
infeksi TB.
7. Kurangnya komitmen dari tingkat manajemen di dalam mendukung
penerapan pengendalian infeksi TB.
8. Komunitas dan LSM HIV belum banyak berperan di dalam
memberikan informasi tentang TB pada kelompok dampingannya
dan belum banyak melakukan penapisan dan rujukan bagi yang
bergejala.
C. Tantangan dalam menurunkan beban HIV pada pasien TB
1, Kurangnya keterampilan dan kepercayaan diri pada petugas TB di
Faskes untuk menawarkan pemeriksaan HIV pada pasien TB.
2. Banyak layanan masih melakukan penilaian faktor risiko HIV
sebelum menawarkan tes HIV.
. Terbatasnya jumlah layanan yang dapat melakukan tes HIV.
4. Lemahnya jejaring antara unit TB dan unit HIV yang melakukan tes
HIv.
5. Sebagian besar kader TB belum memiliki pengetahuan dan
keterampilan untuk memberikan KIE tentang TB-HIV.
6. Masih lemahnya pencatatan tentang status HIV pasien TB pada
register TB oleh petugas Faskes.
2
Rencana Aksi Nasional Kolaborasi TB - HIV 2015-2019 13TUJUAN, INDIKATOR DAN TARGET
Tujuan Umum:
Eliminasi kematian akibat TB pada ODHA dan menurunkan beban HIV
pada pasien TB
Tujuan Khusus:
1. Untuk memperkuat kolaborasi TB-HIV di semua tingkatan
2. Untuk menurunkan beban TB pada ODHA dan inisiasi ART secara dini
3. Untuk menurunkan beban HIV pada pasien TB
4. Untuk melibatkan komunitas dan LSM dalam kegiatan kolaborasi TB-
HIV
Indikator & Target
Jumiah PokjalForkom TB-HIV di Provinsi yang
Kit 14 34] 34 | 34 4 34
‘Jumlah Provinsi yang memiliki perencanaan
bersama TB-HIV 2 4 | 4M a 4
‘Adanya prevalensi HIV diantara pasien TB,
dan prevalensi TB di antara ODHA nla mia | Ada ) Ada | Ada | Ada
‘Jumiah KabiKota yang mempunyal jejaring
LSM/komunitas yang mendukung kegiatan 57 90) 142 | 180 | 200 | 223
kolaborasi TB— HIV
Persentase ODHA dikaji TB pada kunjungan
' 83% | 90% | 95% | 100% | 100% | 100%
terakhir
Persentase ODHA dengan TB yang
mendapatkan pengobatan TB sesvai standar | °% | 100% | 100% | 100% | 100% | 100%
Persentase ODHA baru yang menerima PP
INH per tahun NA 10% | 20% | 30% | 40% | 50%
Jumlah layanan perawatan HIV yang
melakukan PPI TB 4 60 | 140 | 215 | 290 324
Persentase pasien TB yang mengetahul status
HIV 2% 20% | 30% | 40% | 50% | 60%
Persentase pasien TB-HIV yang mendapatkan
PPK selama pengobatan TB 54% | 100% | 100% | 100% | 100% | 100%
Persentase pasien TB-HIV yang mendapatkan
ART selama pengobatan TB 49% | 100% | 100% | 100% ) 100% | 100%
14 Rencana Aksi Nasional Kolaborasi TB - HIV 2015 - 2019RUMUSAN STRATEGI DAN IMPLEMENTASI
RENCANA AKSI NASIONAL TB-HIV
Rumusan strategi dalam kolaborasi TB-HIV dibagi menjadi tiga strategi
mencakup aktivitas yang akan dilakukan oleh setiap pihak baik pemerintah
maupun komunitas. Rumusan strategi dan ruang lingkup kegiatan di
strategi kolaborasi TB-HIV dapat dilihat pada gambar 1
A. MEMBENTUK MEKANISME KOLABORASI ANTARA PROGRAM
TB DAN HIV-AIDS
Untuk menjalankan strategi ini terdapat beberapa program intervensi
sebagai berikut :
1. MEMPERKUAT KOORDINASI BERSAMA PROGRAM TB DAN HIV
DI SEMUA TINGKATAN
Penguatan kegiatan ini dilakukan di pusat, provinsi, kabupaten/kota
dan fasilitas kesehatan (Faskes).
a. Pusat
Penguatan koordinasi melalui Forum Komunikasi TB-HIV di pusat
dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut :
- Melakukan pertemuan rutin Forum Komunikasi TB-HIV.
- Melibatkan pemangku kepentingan lain seperti Kementerian
Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia, Kementerian Pertahanan, TNI/POLRI,
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan, dan pihak terkait lainnya.
- Melakukan pertemuan untuk perencanaan bersama kegiatan
dan penganggaran untuk tingkat nasional.
- Melakukan bimbingan teknis terpadu ke provinsi,
Rencana Aksi Nasional Kolaborasi TB - HIV 2015 - 2019 15Gambar 1. Rumusan Strategi Dan Implementasi Kegiatan Kolaborasi TB-HIV
A. Membentuk mekanisme kolaborasi antara program TB dan HIV-AIDS.
‘1. Penguatan koordinasi bersama program TB dan HIV di semua tingkatan
‘A2. Melaksanakan surveilans TB-HIV
A.2.1. Surveilans HIV pada pasien TB
A.2.2. Surveilans TB pada ODHA
‘A.3. Melakukan perencanaan bersama TB-HIV untuk integrasi layanan TB-HIV
4. Monitoring dan evaluasi kegiatan TB-HIV
A.4.1, Memperkuat jejaring SITT dan SIHA di semua tingkatan
A.4.2.Memperkuat monitoring dan evaluasi TB-HIV melalui bimbingan teknis
bersama di semua tingkatan
4.3, Meningkatkan kualitas layanan kolaborasi TB-HIV
‘AS. Mendorong peran serta komunitas dan LSM dalam kegiatan TB-HIV
5.1. Memperkuat koordinasi antara pemangku kepentingan untuk
pelaksanaan TB-HIV.
A.5.2. Mendorong peran serta komunitas dan LSM dalam advokasi untuk
memperoleh dukungan sumber daya lokal
5.3. Mendorong peran serta komunitas dan LSM dalam menyebarluaskan
‘edukasi dan informasi tentang TB dan HIV
5.4. Mendorong peran komunitas dan LSM HIV dalam pendampingan
kepada populasi kunci dan ODHA untuk mendukung kolaborasi TB-HIV
A5.5. Mendorong peran komunitas dan LSM TB dalam pendampingan kepada
pasien TB untuk mendukung kolaborasi TB-HIV
B.__Menurunkan beban TB pada ODHA dan inisiasi pemberian ART dini
B.1 Intensifikasi penemuan kasus TB pada ODHA termasuk pada populasi kunci
HIV dan memastikan pengobatan TB yang berkualitas
B.1.1. Intensifikasi penemuan kasus TB pada ODHA
B.1.2. Meningkatkan penemuan kasus TB secara aktif pada populasi kunci
(Penasun dan pasangannya, WPS, Waria, LSL, dan WBP)
B.1.3.Meningkatkan kualitas pengobatan TB di antara ODHA dengan
memperbaiki layanan DOTS dan layanan HIV di semua RS Rujukan ARV
(termasuk RS TNI/Polri) dan Lapas/Rutan
B.2 Pengobatan pencegahan dengan Isoniazid pada ODHA
B.3 Penguatan pencegahan dan pengendalian infeksi TB di fasilitas kesehatan
yang memberikan layanan HIV, termasuk tempat orang berkumpul
(Lapas/Rutan, panti rehabilitasi untuk pengguna NAPZA)
¢._ Menurunkan beban HIV pada pasien TB
C.1 Menyediakan tes dan konseling HIV pada pasien TB
C.2. Meningkatkan pencegahan HIV untuk pasien TB
.3 Menyediakan pengobatan pencegahan dengan kotrimoksasol untuk pasien TB-
HIV
C.4 Memastikan perawatan, dukungan dan pengobatan serta pencegahan HIV
pada pasien koinfeksi TB-HIV
C.5 Menyediakan ART bagi pasien koinfeksi TB-HIV
16 Rencana Aksi Nasional Kolaborasi TB - HIV 2015 - 2019b. Provinsi dan Kabupaten/kota
Pada provinsi maupun kabupaten/kota yang belum terbentuk
Pokja/Forkom TB-HIV dilakukan pembentukan Pokja/Forkom TB-
HIV untuk dapat melakukan koordinasi program TB-HIV. Serta
memperkuat Pokja/Forkom di provinsi dan kabupaten/kota yang
sudah memilikinya. Pembentukan Pokja/Forkom TB-HIV di
kabupaten/kota mempertimbangkan beban TB dan HIV di wilayah
tersebut. Kegiatan yang dilakukan oleh Pokja/Forkom TB-HIV
adalah pertemuan rutin minimum 2 kali dalam setahun, termasuk
monitoring dan evaluasi kegiatan kolaborasi TB-HIV dan
menghasilkan rekomendasi dari permasalahan TB-HIV di
wilayahnya. Rekomendasi dari Pokja/Forkom TB-HIV digunakan
sebagai panduan Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/kota
dalam melakukan perencanaan dan penganggaran kegiatan
kolaborasi TB-HIV di wilayahnya.
c. Tingkat Faskes
Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut:
- Mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan kolaborasi TB-HIV
dengan memanfaatkan Pokja HIV dan tim DOTS yang sudah
ada di Faskes masing-masing dengan menunjuk satu orang
sebagai koordinator TB-HIV
- Pertemuan rutin tim TB-HIV Faskes untuk perencanaan,
monitoring dan evaluasi kegiatan kolaborasi TB-HIV
Untuk mendukung program intervensi tersebut terdapat perencanaan
sebagai berikut :
Jumlah kabupaten/kota yang
melakukan kolaborasi TB-HIV*
174 | 233 303 373 443 508
* Ditandai dengan adanya pelaporan rutin TB-HIV dari TB dan HIV,
perencanaan bersama TB-HIV di tingkat kota/kabupaten, dan pertemuan
rutin membahas TB-HIV di tingkat kabupaten/kota
Rencana Aksi Nasional Kolaborasi TB - HIV 2015 - 2019 172. MELAKSANAKAN SURVEILANS TB-HIV
Terdapat dua surveilans yang dilakukan, yaitu:
a. Melaksanakan surveilans HIV pada pasien TB
Surveilans HIV pada pasien TB akan dilakukan melalui dua cara.
Pertama dengan melakukan survei dan melalui data rutin mengenai
tes HIV pada pasien TB dari layanan TB. Untuk survei direncanakan
akan mulai dilaksanakan pada tahun 2016.
r
Melaksanakan surveilans TB pada ODHA
Surveilans TB pada pasien HIV akan dilakukan dengan
menggunakan data rutin yang berasal dari layanan HIV mengingat
skrining TB pada pasien HIV sudah menjadi kegiatan rutin di
layanan HIV. Untuk itu akan dilakukan penguatan jejaring SITT dan
SIHA di semua tingkatan. (lihat A.4 poin 1).
3. MELAKUKAN PERENCANAAN BERSAMA_ TB-HIV UNTUK
INTEGRASI LAYANAN TB-HIV
Kegiatan ini merupakan bagian dari poin A.1 untuk mengupayakan
integrasi layanan TB dan HIV (one-stop service) terutama di wilayah
dengan beban TB dan HIV yang tinggi
a, Memperkuat jejaring SITT dan SIHA di semua tingkatan
Berikut adalah beberapa kegiatan untuk memperkuat jejaring antara
SITT dan SIHA di semua tingkatan :
1) Memastikan semua data kegiatan TB-HIV tercatat, baik yang
dilakukan oleh Faskes, komunitas dan LSM.
Pelaporan TB-HIV dari Faskes dikumpulkan melalui SITT dan
SIHA.
Mengadakan pertemuan evaluasi untuk menganalisa pencapaian
target kolaborasi TB-HIV di semua tingkatan, termasuk yang
didampingi oleh komunitas dan LSM. Kegiatan ini diintegrasikan
melalui bimbingan teknis bersama di semua tingkatan
Membentuk jejaring antara SITT dan SIHA untuk data kolaborasi
TB-HIV. Perlu dilakukan suatu identifikasi variabel data dan
nomor identitas unik untuk sistem jejaring ini, sehingga dapat
2)
2£
4
18 Rencana Aksi Nasional Kolaborasi TB - HIV 2015 - 2019s
2
terbentuk suatu jejaring yang dapat menghubungkan antar data
yang dibutuhkan dari SITT dan SIHA.
Mengimplementasikan jejaring SITT dan SIHA untuk data
kolaborasi TB-HIV di semua tingkatan.
Mengadakan pelatinan penyegaran terkait pencatatan dan
pelaporan TB-HIV di provinsi, kabupaten/kota, dan Faskes
(termasuk SITT dan SIHA).
Memberikan bimbingan teknis rutin kepada _ provinsi,
kabupaten/kota dan Faskes untuk memastikan mereka dapat
menyediakan data yang valid terkait TB-HIV.
2
2
2
Memperkuat monitoring dan evaluasi TB-HIV melalui bimbingan
teknis bersama di semua tingkatan
Upaya untuk memperkuat monitoring dan evaluasi TB-HIV dapat
dituangkan kedalam beberapa kegiatan :
1) Revisi perangkat supervisi terpadu TB-HIV (Data Quality
AssurancelDQA &Quality Assurance Quality Improvement/
QAQI), termasuk pedoman dan daftar tilik.
2) Melakukan supervisi terpadu secara berjenjang dari nasional ke
provinsi, provinsi ke kabupaten/kota, kabupaten/kota ke Faskes.
Meningkatkan kualitas layanan kolaborasi TB-HIV
Kegiatan yang dapat dilakukan adalah
1) Memperbarui pedoman, petunjuk teknis, perangkat monitoring
dan evaluasi termasuk formulir pencatatan dan pelaporan di
tingkat nasional, kemudian mendistribusikan seluruhnya ke
provinsi dan kabupaten/kota serta fasilitas layanan kesehatan
terkait
Melakukan lokakarya/on the job training terkait pedoman,
petunjuk teknis, formulir pencatatan dan pelaporan tersebut yang
diikuti dengan pemberian bimbingan_teknis untuk
implementasinya
3) Provinsi dan kabupaten/kota memastikan bahwa_ kegiatan
kolaborasi TB-HIV berjalan dengan optimal sampai ke tingkat
layanan
4) Melakukan pengkajian mandiri secara berkala terkait kualitas
layanan oleh Faskes, menyusun rencana peningkatan kualitas
2)
Rencana Aksi Nasional Kolaborasi TB - HIV 2015-2019 19layanan, dan membagikan hasilnya kepada Dinas Kesehatan
baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional terutama
untuk hal-hal yang membutuhkan bantuan teknis
Melakukan pengkajian tahunan untuk kualitas layanan ke
beberapa Faskes terpilih oleh tim dari pusat (Forkom TB-HIV)
dan juga ikut serta dalam penyusunan rencana peningkatan
kualitas layanan di beberapa layanan yang membutuhkan
bantuan
2
5. MENDORONG PERAN SERTA KOMUNITAS DAN LSM DALAM
KEGIATAN TB-HIV
Memperkuat koordinasi antara pemangku kepentingan untuk
pelaksanaan TB-HIV
Upaya yang dilakukan antara lain:
a) Melakukan pemetaan komunitas dan LSM yang bergerak di
bidang TB dan HIV oleh Pokja/Forkom TB-HIV di
kabupaten/kota. Data tersebut akan dikompilasi secara
berjenjang ke provinsi dan nasional.
Pelibatan komunitas dan LSM dalam Pokja/Forkom TB-HIV di
provinsi dan kabupaten/kota.
c) Pertemuan koordinasi rutin antara komunitas dan LSM
dengan Faskes tiap triwulan, yang dilakukan pada setiap
bulan kedua di setiap triwulan untuk melakukan monitoring
bersama terhadap pencapaian kegiatan TB-HIV yang
dilakukan.
b
Untuk mendukung program intervensi tersebut terdapat perencanaan
sebagai berikut :
Jumlah kabupaten/kota yang
mempunyai pemetaan
(mapping) yang selalu 57 go | 142 | 180 | 200 | 223
dimutakhirkan (update)
setiap tahun
2) Mendorong peran serta komunitas dan LSM dalam advokasi
untuk memperoleh dukungan sumber daya lokal
20 Rencana Aksi Nasional Kolaborasi TB - HIV 2015 - 2019Komunitas dan LSM memiliki peran penting untuk mendorong
komitmen pemerintah maupun swasta dalam keberlangsungan
alokasi sumber daya manusia, material dan finansial dalam
kegiatan TB-HIV. Upaya memperkuat peran komunitas dan LSM
untuk memperoleh dukungan sumber daya lokal dilakukan
dengan:
a) Melakukan pemetaan sumber daya lokal yang berkaitan
dengan kegiatan kolaborasi TB-HIV
b) Mendukung kegiatan advokasi yang dilakukan organisasi
berbasis masyarakat dengan pemerintah dan sektor swasta
Untuk mendukung program intervensi tersebut terdapat perencanaan
sebagai berikut :
Jumlah kabupaten/kota yang
mempunyai alokasi keuangan
dari pendanaan lokal dan
swasta untuk kegiatan TB-HIV
57 90 141 | 180 | 200 223
3) Mendorong peran serta komunitas dan LSM dalam
menyebarluaskan edukasi dan informasi tentang TB dan HIV
Komunitas dan LSM merupakan salah satu implementer
kegiatan kesehatan yang berhubungan langsung untuk
mendampingi masyarakat. Dalam proses pendampingan
tersebut, komunitas dan LSM bisa menjadi agen untuk
penyebarluasan informasi TB-HIV melalui proses KIE
(Komunikasi, Informasi, Edukasi) yang dilakukan kepada
masyarakat dampingannya.
Untuk mendukung program intervensi tersebut terdapat perencanaan
sebagai berikut :
Jumlah kabupaten/kota dimana
komunitas dan LSM telah memasukkan
KIE TB dan HIV pada kegiatan sv 90 | 142 | 180 | 200 | 223
penjangkauan/pendampingan
4) Mendorong peran serta komunitas dan LSM HIV dalam
pendampingan kepada populasi kunci untuk mendukung
kegiatan kolaborasi TB-HIV
Rencana Aksi Nasional Kolaborasi TB - HIV 2015-2019 21