Anda di halaman 1dari 2

Korupsi merupakan permasalahan mental di mana nilai-nilai agama dan nilai-nilai moral diabaikan dan

lebih dipenuhi oleh masalah-masalah dunia yang cenderung materialistik. Dalam konteks inilah, penting
kiranya menghadirkan (kembali) etika dan religiusitas anti-korupsi. Semua agama menekankan
pentingnya akhlak atau etika. Dalam perspektif Islam misalnya, agama tidak lain dan tidak bukan adalah
etika/akhlak yang baik. Karena itu, etika dan religiusitas anti-korupsi bersumber dan digali pada nilai-nilai
agama itu sendiri seperti kejujuran, kesederhanaan, tanggung jawab, dan keadilan. Setiap agama
mengajarkan semua itu. Setiap manusia yang mengaku beriman kepada Tuhan (baca; beragama)
tentunya tidak akan pernah mengambil sesuatu yang menjadi haknya sekalipun tidak dilihat olehmanusia
lain. Jika dapat diinternalisasikan dengan baik, etika dan religiusitas antikorupsi akan mampu
membentengi sekaligus menjauhkan seseorang dari perilaku koruptif. Etika dan religiusitas anti-korupsi
akan senantiasa relevan untuk dihadirkan (kembali) mengingat secara faktual masyarakat Indonesia
merupakan masyarakat yang agamis. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari penduduk Indonesia yang
menganut beragam agama. Modal sosial semacam ini mestinya dapat dimanfaatkan untuk
mendakwahkan dan membumikan etika dan religiusitas anti-korupsi. Salah satu instrumen yang tepat
dan strategis untuk mendiseminasikan etika dan religiusitas anti-korupsi adalah melalui pendidikan
agama. Menurut Kautsar Azhari Noer, pendidikan agama memiliki posisi penting dan strategis dalam
sistem pendidikan nasional secara keseluruhan karena pendidikan agama pada intinya berujung pada
pendidikan akhlak. Zainal Abidin Bagir dan Irwan Abdullah menuturkan bahwa pendidikan agama
memiliki peluang yang luar biasa untuk menyebarkan kesadaran etis. Pendidikan agama memiliki peran
strategis karena merupakan salah satu pelajaran/mata kuliah wajib yang harus diajarkan di semua
jenjang dan jenis pendidikan. Pada tahun 1999, pemerintah misalnya menerbitkan Surat Keputusan
Bersama (SKB) dua menteri (Mendiknas dan Menteri Agama) N0. 4/U/SKB/99. Isinya adalah orang tua
atau siswa yang ingin menggunakan haknya untuk meminta pendidikan agama sesuai dengan agama
yang dianutnya, maka pihak sekolah wajib memenuhinya. Kemudian, dalam Undang-Undang Sisdiknas
(Sistem Pendidikan Nasional) No. 2 Tahun 2003 disebutkan bahwa pendidikan agama adalah bagian dari
sistem pendidikan nasional. Secara lebih spesifik, dalam Pasal 12, Ayat (1) poin a, UU Sisdiknas No. 2
Tahun 2003, disebutkan bahwa: Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak
mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang
seagama. Selanjutnya, dalam Pasal 37 UU Sisdiknas No. 2 Tahun 2003 disebutkan bahwa pendidikan
agama wajib dimasukkan dalam kurikulum pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. Kehadirannya
menjadi landasan konstitusional bagi penyelenggaraan pendidikan agama di institusi pendidikan di
Indonesia.

Kendati pun demikian, pendidikan agama di Indonesia nyatanya tidak cukup mampu dalam melahirkan
generasi yang bermoral dan berintegritas. Buktinya, hampir semua koruptor adalah orang-orang yang
beragama. Tidak sedikit koruptor yang paham dan taat dalam beragama. Bahkan, banyak di antara
mereka yang berhaji berkali-kali misalnya. Namun nyatanya mereka tetap saja rakus mengembat uang
rakyat. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan agama gagal menunaikan fungsi dan perannya. Kegagalan
pendidikan agama di Indonesia dalam mencetak generasi yang bermoral dan berintegritas antara lain
disebabkan oleh praktik pendidikan agama selama ini lebih banyak menekankan dimensi kognitif
(intelektual) dan psikomotorik (keterampilan) dibanding dimensi afektif (perilaku). Ukuran keberhasilan
peserta didik dalam belajar pun lebih banyak hanya didasarkan pada pencapaian angka-angka, bukan
didasarkan pada sikap dan moralitas peserta didik. Akibatnya, banyak peserta didik yang hanya
mementingkan kelulusan saja. Peserta didik dianggap cerdas manakala mereka mampu memperoleh
nilai tinggi dalam ujian meskipun dilakukan dengan cara-cara yang tidak jujur dan tidak beretika. Kasus
menyontek massal yang dilakukan oleh siswasiswa Sekolah Dasar (SD) 2 Gadel, Surabaya, Jawa Timur,
beberapa tahun silam, merupakan gambaran nyata bagaimana peserta didik rela menghalalkan segala
cara demi memperoleh nilai tinggi dalam ujian.

Karena korupsi di Indonesia telah membudaya dan menjangkiti hampir seluruh sendi kehidupan
masyarakat, maka harus ada langkahlangkah fundamental untuk menanggulanginya. Salah satunya
adalah dengan menghadirkan (kembali) etika dan religiusitas anti-korupsi. Etika dan religiusitas anti-
korupsi bersumber dan digali pada nilai-nilai agama itu sendiri seperti kejujuran, kesederhanaan,
tanggung jawab, dan keadilan. Bilamana dapat diinternalisasikan dengan baik, maka etika dan religiusitas
anti-korupsi akan mampu membentengi sekaligus menjauhkan seseorang dari perilaku koruptif. Oleh
karena itu, urgen kiranya membumikan etika dan religiusitas anti-korupsi di masyarakat. Salah satu
instrumen yang tepat dan strategis Membumikan Etika dan Religiusitas Anti-Korupsi 117 untuk
mendiseminasikan etika dan religiusitas anti-korupsi adalah melalui pendidikan agama. Sebab,
pendidikan agama memiliki posisi penting dan strategis dalam sistem pendidikan nasional secara
keseluruhan karena pendidikan agama pada intinya berorientasi pada pendidikan akhlak/etika. Selain itu,
pendidikan agama menjadi salah satu pelajaran/mata kuliah wajib yang harus diajarkan di semua jenjang
dan jenis pendidikan. Kendati demikian, Kendati pun demikian, pendidikan agama di Indonesia nyatanya
tidak cukup mampu dalam melahirkan generasi yang bermoral dan berintegritas. Buktinya, hamper
semua koruptor adalah orang-orang yang beragama. Karenanya, urgen kiranya merekonstruksi
pendidikan agama di Indonesia agar dapat menghasilkan anak didik berkarakter anti-korupsi.
Rekonstruksi pendidikan agama setidaknya mencakup pembenahan kurikulum, materi pembelajaran,
metode dan media pembelajaran, serta evaluasi pembelajaran. Dengan rekonstruksi tersebut,
pendidikan agama diharapkan dapat menjadi instrumen yang efektif dalam mendakwahkan etika dan
religiusitas anti-korupsi, sehingga ikut berkontribusi dalam menanggulangi korupsi di negeri ini.

Anda mungkin juga menyukai