Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH KEJANG EPILEPSI

Oleh Kelompok 2

Ana Yulia Setiyo Ningrum

Caecilia Rizta Sayoga

Ivana Sri Ulina Munthe

R. Rexsi Chrisdinatha Putera

Yudi Purwanto

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTO BORROMEUS

PADALARANG

2016
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah kejang, convulsive, seizure, atau insult pada anak seringkali merupakan

gejala atau keluhan utama yang menyebabkan orangtua berusaha mendapatkan

pertolongan, antara lain dengan membawa berobat ketempat pelayanan kesehatan.

Keluhan tersebut mungkin disertai dengan keluhan tambahan misalnya demam, sakit

kepala, tidak nafsu makan, batuk, tidak sadar dan lain-lain.


Kejang adalah perubahan aktivitas motorik dan atau perilaku (behavior) yang bersifat

paroximal dalam waktu terbatas (time limited). Akibat dari adanya aktivitas listrik

abnormal dalam otak. Kejang terdapat pada anak dengan frekuensi sampai 10%. Kejang

pada anak umumnya disebabkan oleh provokasi yang berasal dari tubuh sendiri diluar

otak seperti suhu tubuh meningkat, infeksi, sinkop, trauma kepala, hipoksia, toksin,

aritmia jantung atau karena obat. Sepertiga dari kasus kejang disebabkan oleh epilepsi

yaitu kejang yang terjadi karena letupan pelepasan muatan listrik di sel saraf secara

berulang tanpa ada provokasi. Terdapat beberapa keadaan seperti break boalding spells

dan gastroesophageal reflux yang menunjukan gelaja yang menyerupai kejang dan

adapula kasus dengan sebab psikologis yang menunjukan gejala-gejala seperti kejang.

Walaupun demikian setiap anak dengan kejang memerlukan penatalaksanaan menyeluruh

termasuk pemeriksaan investigasi dan terapi adekuat karena mungkin disebabkan oleh

penyakit sistemik atau penyakit sistem saraf yang dapat mengancam keselamatan hidup

pasien.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan makalah yang akan dibahas dan menurut latar belakang di atas maka penulis

telah merumuskan beberapa masalah, antara lain :


1. Apa yang dimaksud dengan kejang epilepsi ?
2. Apa saja etiologi serta patofisiologi dari kejang epilepsi ?
3. Apa saja manifestasi klinik, tes diagnostik dan penatalaksanaan pada kejang epilepsi?
4. Bagaimana asuhan keperawatan pada penderita kejang epilepsi ?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis merumuskan tujuan , antara lain :
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kejang epilepsi
2. Untuk mengetahui apa saja etiologi serta patofisiologi dari kejang epilepsi
3. Untuk mengetahui apa saja manifestasi klinik, tes diagnostik dan penatalaksanaan

pada kejang epilepsi


4. Untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan pada penderita kejang epilepsi

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian
1. Kejang adalah perubahan secara tiba-tiba fungsi neurologi, baik fungsi motorik

maupun fungsi otonomik karena kelebihan pancaran listrik pada otak (Maryuni,

2009).
2. Kejang merupakan keadaan kegawatdaruratan atau tanda bahaya yang sering

terjadi pada neonatus, karena kejang yang berkepanjangan dapat mengakibatkan


hipoksia otak yang cukup berbahaya bagi kelangsungan hidup bayi atau dapat

mengakibatkan gejala sisa dikemudian hari (Maryuni, 2009).


3. Kejang adalah lepasnya aktivitas listrik abnormal dan berlebihan dari jaringan

neuroglia (Marcdante, 2011).


4. Epilepsi didefinisikan sebagai kejang berulang tanpa provokasi (Marcdante,

2011).
5. Epilepsi adalah setiap kelompok sindrom yang ditandai dengan gangguan otak

sementara yang bersifata paroksimal (Betticaca, 2008).

B. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf


1. Otak
Otak, terdiri dari otak besar yang disebut cerebrum, otak kecil disebut

cerebellum dan batang otak disebut brainstem. Otak merupakan jaringan yang

paling banyak menggunakan energy yang didukung oleh metabolism oksidasi

glaukosa. Kebutuhan oksigen dan glukosa otak relative konstan, hal ini

disebabkan oleh metabolism otak yang merupakan proses yang terus menerus

tanpa periode istirahat yang berarti. Bila kadar oksigen dan glukosa kurang dalam

jaringan otak maka metabolism menjadi terganggu dan jaringan saraf akan

mengalami kerusakan. Secara structural, cerebrum terbagi menjadi bagian korteks

yang disebut korteks cerebri dan sub korteks yang disebut structur subkortikal.

Korteks serebri terdiri atas korteks sensorik yang berfungsi untuk mengenal,

interpretasi impuls sensorik yang diterima sehingga individu merasakan,

menyadari adanya suatu sensasi rasa/indra tertentu. Korteks sensorik juga

menyimpan selama manusia hidup. Korteks motoric berfungsi untuk memberi

jawaban atas rangsangan yang diterimanya.


Struktur sub kortikal :
a. Basal ganglia, melaksanakan fungsi motoric dengan merinci dan

mengkoordinasi gerakan dasar, gerakan halus atau gerakan trampil dan sikap

tubuh.
b. Thalamus, merupakan pusat rangsang nyeri
c. Hipotalamus: pusat tertinggi integrasi dan koordinasi system saraf otonom

dan terlibat dalam pengolahan perilaku insting seperti makan, minum, seks

dan motivasi.
d. Hipofise bersama dengan hipotalamus mengatur kegiatan sebagian besar

kelenjar endokrin dalam sintesa dan pekerjaan hormon.

Cerebrum terdiri dari dua belahan yang disebut hemispherium cerebri dan

keduanya dipisahkan oleh fisura longitudinalis. Hemisperium cerebri terbagi

menjadi hemisper kanan dan kiri. Hemisper kanan dan kiri ini dihubungkan oleh

bangunan yang disebut corpus callosum. Hemisper cerebri dibagi menjadi lobus-

lobus yang diberi nama sesuai dengan tulang diatasnya, yaitu :


a. Lobus frontalis, bagian cerebrum yang berada dibawah tulang frontalis.
b. Lobus parietalis, bagian cerebrum yang berada dibawah tulang parietalis.
c. Lobus oksiptalis, bagian cerebrum yang berada dibawah tulang oksipitalis.
d. Lobus temporalis, baian cerebrum yang berada dibawah tulang temporalis.

Cerebrum (otak kecil) terletak di bagian belakang cranium menempati fosa

cerebri posterior di bawah lapisan duramater Tentorium Cerebelli. Di bagian

depannya terdapat batang otak. Berat cerebellum sekitar 150gr atau 8% dari berat

batang otak seluruhnya. Cerebellum dapat dibagi menjadi hemisper cerebelli

kanan dan kiri yang dipisahkan oleh vermis. Fungsi cerebellum pada umumnya

adalah koordinasi gerekan-gerakan otot sehingga gerakan dapat tertalaksana

dengan sempurna.

Batang otak atau brainstern terdiri dari atas diencephalon, mid brain, pons, dan

medulla oblongata. Merupakan tempat berbagai macam pusat vital seperti pusat

pernafasan, pusat vasomotor, pusat pengatur kegiatan jantung dan pusat muntah,

bersin dan batuk.

2. Medulla Spinalis
Medula spinalis merupakan perpanjangan medulla oblongata kearah kaudal di

dalm kanalis vertebralis mulai setinggi cornu vertebralis cervicalis I memanjang

hingga setinggi cornu vertebralis lumbalis I II. Terdiri dari 31 segmen yang

setiap segmennya terdiri dari satu pasang saraf spinal. Dari medulla spinalis

bagian cervical keluar 8 pasang, dar bagian thorakal 12 0pasang, dari bagian

lumbal 5 pasang serta dari coxigeus keluar 1 pasang saraf spinalis. Seperti halnya

otak, medulla spinalis pun terbungkus oleh selaput meningen yang berfungsi

melindungi saraf soinal dari benturan atau cedera.


Gambaran penumpang medulla spinalis memperlibatkan bagian-bagian

substansia grisea dan subsantansi alba. Substansia grisea ini mengelilingi canalis

centralis sehingga membentuk columna dorsalis, columna lateralis dan columna

ventralis. Massa grisea dikelilingi oleh subdtansia alba atau badan putih yang

mengandung serabut-serabu saraf yang siselubungi oleh myelin. Substansi alba

berisi berkas-berkas saraf yang membawa impuls sensorik dari SSP menuju SST.

Substansia grisea berfungsi sebagai pusat koordinasi reflex yang berpusat di

medulla spinalis. Disepanjang medulla spinalis terdapat jaras saraf yang berjalan

dari medulla spinalis yang disebut sebagai jaras desenden. Substansia alba berisi

berkas-berkas saraf yang berfungsi membawa impuls sensorik dari system tepi ke

otak dan impuls motoric dari otak ke saraf tepi. Substansia grisea berfungsi

sebagai pusat koordinasi reflex yang berpusat di medulla spinalis.


Reflex-refleks yang berpusat di system saraf pusat yang bukan medulla

spinalis, pusat koordinasinya tidak di substansia grisea medulla spinalis. Pada

umumnya penghantaran impuls sensorik di substansia alba medulla spinalis

berjalan penghantaran impuls sensorik di substansia alba medulla spinalis berjalan

menyilag garis tengah. Impuls sensorik dari tubuh sisi kiri akan dihantarkan ke

otak sisi kanan dan sebaliknya. Demekian juga dengan impuls motoric. Seluruh
impuls motoric dari otak dihantarkan ke saraf tepi melalui medulla spinalis akan

menyilang.
Upper motor neuron (UMN) adalah neuron-neuron motoric yang berasal dari

koeteks motori serebri atau batang otak yang seluruhnya (dengan serat saraf-

sarafnya yang ada di dalam system saraf pusat. Lower motor neuron (LMN)

adalah neuron-neuron motoric yang berasal dari system saraf pusat tetapi serat-

serat sarafnya keluar dari system saraf pusat dan membentuk system saraf tapi dan

berakhir di otot rangka. Gangguan fungsi UMN maupun LMN menyebabkan

kelumpuhan otot rangka, tetapi sifat kelumpuhan UMN berbeda dengan sift

kelumpuhan LMN. Kerusakan LMN menimbulkan kelumpuhan otot yang lemas,

ketegangan otot (tonus) rendah dan sukar untuk merangsang reflex otot rangka

(hiporefleksia). Pada kerusakan UMN, otot lumpuh (paralisa/paresa) dan kaku

(rigid ), ketegangan otot tinggi (hipertonus) dan mudah ditimbulkan reflex otot

rangka (hiperrefleksia). Berkas UMN bagian medial, dibatang otak akan saling

menyilang. Dengan demikian seluruh impuls motoric otot rangka akan menyilang,

sehingga kerusakan UMN diatas batang otak akan menimbulkan kelumuhan pada

otot-otot sisi yang berlawanan.


Salah satu fungsi medul spinalis sebagai system saraf pusat adalah sebagai

pusat reflex. Fungsi tersebut diselenggarakan oleh substansia grisea medulla

spinalis. Reflex adalah jawaban individu terhadap rangsang, melindungi tubuh

terhdap berbagai perubahan yang tidak baik dilingkungan internal maupun di

lingkungan eksternal. Kegiatan reflek terjadi melalui suatu jalur tertentu yang

disebut lengkung reflex.


Fungsi medulla spinalis:
a. Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu motoik atau kanu ventralis.
b. Mengurus kegiatan reflex spinalis dan reflex tungkai
c. Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju cerebellum
d. Mengadaka komunikasi antara otak dengan semua bagian tubuh.
Fungsi lengkung reflex :

a. Reseptor : penerima rangsang


b. Aferen : sel saraf yang mengatarkan impuls dari reseptor ke system saraf

pusat (ke pusat reflex)


c. Pusat reflex : area di system saraf pusat (di medulla spinalis : substansia

grisea), tempat terjadinya sinap (hubungan antara neuron dengan neuron

dimana terjadi pemindahan/penerusan impuls).


d. Eferen : sel saraf yang membawa impuls dari pusat reflex ke sel efektor. Bila

sel efektornya berupa otot, maka eferen disebut juga neurin motoric (sel

saraf/penggerak).
e. Efektor : sel tubuh yang memberikan jawaban terakhir sebagai jawaban

reflex. Dapat berupa sel otot (otot jantung, otot polos atau otot rangka), sel

kelenjar.

3. Sistem Saraf Tepi


Kumpulan neuron diluar jaringan otak dan medulla spinalis membentuk

system saraf tepi (SST). Secara anatomic digolongkan ke dalam saraf-sraf otak

sebanyak 12 pasang dan 31 pasang saraf spinal. Secara fungsional, SST

digolongkan kedalam
a. Saraf sensorik (aferen) somatic: membawa informasi dari kulit, otot rangka,

ke system saraf pusat.


b. Saraf motoric (eferen) somatic : membawa informasi dari dinding visera ke

system saraf pusat ke otot rangka


c. Saraf sensorik (aferen) visceral : membawa informasi dari dinding viser ke

system saraf pusat


d. Saraf motoric (eferen) visceral : membawa informasi dari system saraf pusat

ke otot polos, otot jantung dan kelenjar.

Saraf eferan visceral disebut juga system saraf otonom. System saraf tepi

terdiri atas saraf otak (s. kranial) dan saraf spinal.

C. Etiologi
Terhadap beberapa faktor yang dapat menyebabkan epilepsi, yaitu:
1. Faktor fisiologi
2. Faktor biokimiawi
3. Faktor anatomis
4. Gabungan faktor-faktor di atas, atau
5. Penyakit yang pernah diderita (trauma lahir, trauma kapitis, radanag otak, tumor

otak, gangguan peredaran darah, hipoksia, anomali kongenital otak, degenari

susunan saraf pusat, gangguan metabolisme, gangguan elektrolit, keracunan obat

atau zat kimia, jaringan parut, faktor herediter) (Batticaca, 2008).

D. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala yang mungkin muncul pada klien dengan kejang demam yaitu:
1. Demam tinggi atau peningkatan suhu tubuh secara tiba-tiba

(biasanya lebih dari 38oC)


2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit
3. Kejang timbul dalam 16 jam pertam setelah timbulnya demam
4. Kehilangan kesadaran berlangsung selama 30 detik-15 menit (hampir selalu

terjadi pada anak-anak yag demam)


5. Gerakan tangan, kaki dan muka yang menyentak-menyetak dan kaku
6. Bola mata berputar kearah belakang kepala
7. Mengompol
8. Muntah
9. Gigi atau rahang terkatup rapat
10. Gangguan pernapasan
11. Kulit kebiruan

Serangan kejang terjadi 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat

dengan sifat bangkitan kejang dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau

akinetik, umunya kejang berhent sendiri. Begitu kejang berhenti tidak memberi reaksi

apapun sejenak tapi setelah beberapa detik atau menit anak akan sadar tanpa ada

kelainan saraf.

Di Sub bagian Anak FKUI RSCM Jakarta, kriteria Livingstone dipakai sebagai

pedoman membuat diagnosis kejang demam sederhna, yaitu :

1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 bulan


2. Kejang berlangsung tidak lebih dari 15 menit
3. Kejang bersifat umum
4. Kejang timbul dalam 16 pertama setelah timbulnya demam
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya satu minggu sesudah suhu normal tidak

menunjukkan kelaian
7. Frekuensi kejang bangkitan dalam satu tahun tidak melebihi empat kali.

E. Patofisiologi
Mekanisme tentang timbulnya kejang belum diketahui pasti.

Beberapa faktor fisiologi ikut terlibat dalam berkembang gejala

kejng. Kejang dapat terjadi karena adanya sel neuron yang mampu

menimbulkan letupan lepas muatan, dan gangguan pada sistem

hambatan GABA (y-aminobutyric acid). Kejang dapat timbul dari

daerah dengan sel saraf yang rusak, dan di area ini mendorong

timbulnya sinaps yang rentan rangang (hyperexcitable) yang dapat

mengakibatkan kejang. Lesi di lobus temporalis termasuk glioma,

hamartoma, gliosis, sklerosis hipokampus , malformasi arteriovenus

dapat menyebabkan kejang, dan bila lesi tersebut dihilangkan maka

gejala kejang menjadi hilang. Kejang lebih sering terjadi pada anak

dengan otak yang kurang berkembang dibandingkan dengan yang

normal.
Faktor genetika mempunyai peran pada 20% dari kasus

epilepsi, dan pada kasus-kasus epilepsi pada keluarga telah dapat

diidentifikasi kromosom yang mempunyai hubungan dengan

epilepsi tersebut, seperti kejang benigna, kejang mioklonik juvenilis,

epilepsi mioklonik progresif dan lain lain lagi. Dari adanya data-data

tersebut maka dapat disimpulkan hipotesis terjadinya kejang ialah

bahwa fungsi inhibitor dari el menjadi tidak berjalan akibat adanya

kelainan, kemudian neuron dengan fungsi eksitasi yang masih ada

menjadi hiperfungsi. Hipotesis yang lain ialah terbentuknya aberrant


excitatory circuits sebagai bagian dari mekanisme reorgaanisasi bila

terjadi injuri.
Dampak dari kejang ditentukan oleh intensitasdan ekstensitas

kontraksi otot yang mengalami kejang yang bervariasi tergantung

pada jenis kejang yaitu apakah vokal atau umum dan berapa lama

kejang tersebut berlangsung. Kejang umum dan berlangsung lama

akan memerlukan kalori cuukup besar, yang mula-mula diperoleh

melalui pembakaran hidrat arang, yang pada suatu saat bila hidrat

arang habis maka akan diapakai lemak /protein sebagai sumber

kalori. Oleh karena kejang juga dapat menimbulkan gangguan pada

mekanisme bernafas maka akan terjadi kekurangan oksigenatau

hipoksia dan peningkatan karbondioksida atau hiperkapnia. Keadaan

hipoksia akan menimbulkan gangguan pula pada proses

pembakaran, sehingga produksi kalori akan terlaksana melalui

proses anaerobik, dengan akibat peningkatan asam laktat sebagai

produk sisa metabolisme dan terjadilah asidosis metbolik. Bila

kejang berlangsung lama yaitu 15 menit maka hipoksia,

hiperkarbia, hiperkabnia, dan asidosis yang terjadi dapat

menimbulkan kerusakan pada sel/jaringan saraf berupa nekrosis

dengan menimbulkan gejala sisa bila terjadi penyembuhan. Gejala

sisa tersebut bervariasi antara lain yaitu defisit motorik, retardasi

mental, gangguan bicara, serta hambatan pertumbuhan dan

perkembangan. Gangguan metabolism tersebut juga dapat

mengakibatkan kerusakan atau disfungsi pada berbagai organ atau

sistem kardiovaskuler, ginjal dan paru.


F. Penatalaksanaan
1. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosa dapat diketahui melalui anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya.


a. Anamnesis
1) Pola serangan kejang (tanyakan apakah ada gejala prodromal, aura)
Keadaan sebelum, selama dan sesudah serangan (tanyakan dimana atau

bagaimana kejang dimulai, bagaimana penjalarannya dan keadaan

sesudah kejang: Parese Todd, nyeri kepala, segera sadar, mengacau,

kesadaran menurun).
2) Lama serangan (durasi masing-masing waktu serangan).
3) Frekuensi serangan.
4) Waktu terjadinya serangan (pagi, siang, malam, waktu tidur, sedang tidur,

mau bangun, sedang bangun).


5) Faktor-faktor dan keadaan yang dapat menimbulkan serangan misalnya:
a) Melihat TV, bernapas dalam, lapar, letih, menstruasi, obat-obatan

tertentu dan sebagainya.


b) Riwayat keluarga (apakah ada anggota keluarga yang mengalami

kejang, penyakit saraf dan penyakit lainnya, hal ini perlu pada saat

mencari faktor herediter).


c) Riwayat masa lampau (keadaan ibu sewaktu hamil misalnya penyakit

yang dideritanya, pendarahan pervaginam, obat yang dimakan).


d) Riwayat kelahiran klien (Apakah letak kepala sungsang, mudah atau

sukar, alat yang digunakan cunam atau vacum, ekstraksi, caesar,

apakah terdapat pendarahan antepartum, ketuban pecah dini,

asfiksia.Penyakit yang pernah diderita seperti trauma kapitis, radang

selaput otak, radang otak, ikterus, reaksi terhadap imunisasi, atau

kelang demam).
e) Bagaimana percakapan mental dan motorik.

b. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah tepi secara rutin.
2) Pemeriksaan lain sesuai indikasi misalnya kadar gula darah, elektrolit.
3) Pemeriksaan CSS (bila perlu) untuk mengetahui tekanan, warna,

kejernihan, xantokrom, jumlah sel, kadar protein, gula, NaCl.


4) Pemeriksaan lain atas indikasi.

c. Pemeriksaan Elektroensefalogram (EEG)


Pemeriksaan EEG berguna untuk membantu menegakkan diagnosis

epilepsi. EEG yang sering dijumpai pada penderita epilepsi berbentuk

epileptiform.
1) Dischargelepileptiform activity misalnya spike dan wive serta paroxismal

slow activity.
2) Dapat menentukan fokus serta jenis epilepsi, apakah fokal, multifokal,

kortikal, subkortikal, misalnya petit mal mempunyai gambaran 3 cps

spike dan wave dan spasme infantil mempunyai gambaran hipsaritmia.


3) Pemeriksaan dilakukan secara berkala.

d. Pemeriksaan Psikologis dan Psikiatri


1) Pada umumnya penderita epilepsi menderita retardasi mental atau tingkat

kecerdasan rendah, gangguan tingkah laku, gangguan emosi, hiperaktif.


2) Penderita epilepsi perlu mendapat perhatian dan melibatkan orangtua

dalam perawatannya serta melibatkan psikiater dan psikolog.

e. Pemeriksaan Radiologi
Hasil foto tengkorak memperlihatkan:
1) Tulang tengkorak simetri
2) Destruksi tulang
3) Kalsifikasi intrakranium yang abnormal (disebkan oleh tumor, hematoma

menahun, tuberous sclerosis, toksoplasmosis, anomali vaskular,

hemangioma), tanda peninggian intrakranial, pelebaran sutura, erusi, sela

tursika.

Pneumoensefalografi dan ventrikulografi dilakukan atas indikasi tertentu,

yaitu:

1) Untuk melihat gambaran sistem ventrikel, sistem sub arachnoid serta

gambaran otak.
2) Adanya atrofi otak, tumor serebri, hidrosefalus, arakhnoiditis.
3) Pada pneumoensefalografi udara (zat kontras dimasukkan melalui lumbal

pungsi) dan pada ventrikulografi udara (zat kontras dimasukkan melalui


pungsi ventrikel/lubang (burr)). Pada klien dengan tekanan intrakranial

tinggi dapat dilakukan ventrikulografi, tetapi bila tidak meninggi dapat

dilakukan pneumoensefalografi.
4) Arteriografi (memasukkan zat kontras kedalam pembuluh darah)

dilakukan untuk melihat keadaan darah di otak, apakah ada penyebaran

(neoplasma, hematoma, abses), penyumbatan (trombosis), peregangan

(hidrosefalus), atau anomali pembuluh darah (malformasi arteri-vena,

hemangioma). Zat kontras dapat dimasukkan melalui suntikan di arteri

karotis interna, arteri vertebralis, arteri brakialis, atau arteri femoralis

(dengan menggunakan kateter).

2. Penatalaksanaan Medis
a. Pengobatan Kuratif (Kausal)
Selidiki adanya penyakit yang masih aktif (tumor otak, hematoma

subdural kronis) pada lesi aktif atau progresif yang belum ada obatnya

(penyakit degeneratif), lesi (idiopatik, kriptogenetik), atau lesi yang sudah

inaktif (sequela karena trauma lahir, meningoensefalitis).


b. Pengobatan Preventif (Rumat)
Klien dengan epilepsi cenderung mengalami serangan kejang secara

spontan, tanpa faktor provokasi yang kuat atau nyata. Pengobatan kejang pada

epilepsi perlu dilakukan untuk mencegah kejang.

3. Terapi
Setiap kasus anak dengan kejang memerlukan perawatan secara intensif untuk

penatalaksanaan yang adekuat. Tindakan yang utama untuk kasus anak dengan

kejang ialah secara simultan mengatasi kejang (simtomatik) yang juga

menghilangkan penyebab penyakit primer (kausatif). Bila penyakit primer sudah

dapat diatasi maka diharapkan gejala kejang akan hilang dan tidak mengalami

eksaserbasi.
a. Tindakan perawatan yang perlu dilakukan pada anak yang sedang dalam

keadaan kejang saat sebelum dan sudah di tempat layanan kesehatan, ialah :
1) Memposisikan anak secara lateral agar sekresi mulut dapat mengalir keluar

dan posisi lidah tidak mengganggu jalan napas.


2) Upayakan agar leher dalam posisi lurus untuk menjaga agar keseluruhan

napas tetap terbuka.


3) Jangan masukan benda apapun kedalam mulut anak yang sedang

mengalami kejang
4) Menjaga agar lidah tidak tergigit dengan memasang batang elastik /

terbungkus kain diantara rahang atas dan bawah


5) Menjaga anak tidak trauma dengan membaringkan di tempat yang aman

dan pakaian dilongkarkan.


6) Membersihkan jalan napas dan memberikan dukungan ventilasi sesuai

dengan kebutuhan anak


7) Tungguilah anak yang kejang dan perhatikan lamanya kejang bila

berlangsung lebih dari 5 menit anak perlu segera mendapat pertolongan


8) Bila kejang berakhir dan anak terlihat tidur maka biarkan anak bangun

dengan sendirinya karena anak merasa kelelahan.


9) Memberikan obat anti kejang ke dalam dubur menurut petunjuk yang telah

dijelaskan oleh dokter yang merawatnya bila sebelumnya anak sudah

pernah mengalami kejang.


b. Obat anti konvulsi dapat diberikan atas indikasi sesuai dengan temuan pada

anamnesis, pemeriksaan fisik termasuk penunjang. Obat dimaksud antara lain

ialah :
1) Benzodiazepine : diazepam dan lorazepam intravena digunakan sebagai

terapi awal untuk status epileptikus


2) Carbamazepine (tetegrol) : untuk terapi kejang umum dan kejang parsial.
3) Ethossuximede : efektif untuk kejang absans tipikal, mioklonik dan

epilepsi akinetik.
4) Gabapentin : biasanya diberikan sebagai tambahan terapi pada kasus

kejang parsial kompleks yang refrakter dan kejang umum tonik-klonik

sekunder.
5) Lamotrigine : diberikan sebagai tambahan terapi pada kejang parsial

kompleks dan kejang umum tonik-klonik.


6) Phenobarbital dan primidone adalah obat yang relatif aman untuk

pengobatan kejang umum tonik klonik.


7) Phenytoin (dilatin) digunakan untuk kejang umum tonik-klonik primer

atau sekunder, kejang parsial dan status epileptikus.


8) Tiagabine : digunakan untuk pengobatan kejang parsial kompleks sebagai

obat tambahan
9) Topiramate : digunakan sebagai obat tambahan pada terapi kejang

kompleks refrakter dengan atau tanpa generalisasi.


10) Valproic acid (depakene, depakote) adalah sebagai antikonvulsan
11) Vigabatrin : efektif untuk spasme infaltil dan sklerosis tuberosa dan

sebagai obat tambahan untuk pengobatan kasus kejang yang kurang

respons terhadap pemberian antikonvulsan lain.


c. Terapi diet ketogenik dengan tinggi lemak, relatif rendah karbohidrat dan

pengaturan ketat terhadap kalori, cairan dan protein. Perimbangan diet tersebut

diharapkan menghasilkan keton didalam jumlah yang cukup untuk

mengendalikan terjadinya kejang.


d. Tindakan bedah, ditujukan kepada kasus yang tidak berespon terhadap

pengobatan. Pembedahan meliputi membuang daerah otak yang menyebabkan

timbulnya kejang, dan daerah tersebut bervariasi dari beberapa mm sampai

daerah seluas lobus bahkan separuh dari jaringan otak.


e. Stimulasi saraf vagus (VNS) dibagian kiri dari leher secara intermiten dapat

mengurangi kejang setelah 12 bulan terapi. Rangsangan listrik secara

intermiten dapat dilakukan dengan menanam pacemaker sebagai stimulator

dibawah kulit pada vagian atas dada kiri yang diikat pada kabel yang

ditempatkan di leher. VNS biasanya dilakukan pada anak umur 12 tahun, dan

kadang pada yang lebih muda.


f. Terapi kausal ialah sulih hormon yang dilakukan pada kasus kejang dengan

penyakit defisiensi hormon sebagai penyakit primernya seperti defisiensi

ACTH atau hormon adrenal


g. Terapi lain adalah bersifat suportif, dengan tujuan memperbaiki dan

mempertahankan keadaan umum anak seoptimal mungkin termasuk

memberikan kecukupan akan kebutuhan nutrisi, cairan dan elektrolit, inhalasi

oksigen, dan lain lain yang dilaksanakan dalam perawatan secaar regular

maupun intensif.

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Asuhan Keperawatan Kejang


1. Pengkajian
a. Riwayat Kejang
b. Faktor yang menimbulkan kejang
c. Asupan alkohol
d. Efek epilepsi terhadap gaya hidup
e. Apakah ada keterbatasan yang ditimbulkan oleh kejang
f. Apakah klien mempunyai program rekreasi
g. Kontak sosial
h. Apakah pengalaman kerja positif
i. Mekanisme koping yang digunakan
j. Pengamatan dan pengkajian selama dan setelah kejang

B. Diagnosis Keperawatan
1. Risiko tinggi cedera b.d serangan kejang.
a. Koping individu/keluarga tidak efektif b.d stress akibat epilepsi.
b. Kurang pengetahuan tentang epilepsi dan cara mengontrolnya yang b.d

kurangnya informasi.

C. Rencana Tindakan Keperawatan

No Diagnosa Tujuan (Kriteria


Intervensi Rasional
. Keperawatan Hasil)
1. Risiko tinggi cedera Setelah dilakukan 1. Jaga privasi dan 1. Pada saat kejang,
b.d serangan kejang intervensi lindungi klien dari pakaian klien
Ditandai dengan: keperawatan selama orang lain yang ingin dapat terbuka,
DS: klien/keluarga serangan kejang, tidak tahu selama serangan sehingga perlu
mengatakan sering terjadi cedera, dengan kejang. menjaga
kejang secara kriteria: 2. Amankan klien di privasinya.
mendadak 1. Mengatakan tidak lantai, jika 2. Meletakkan klien
jatuh memungkinkan. di lantai pada saat
DO: 2. Tidak ada luka kejang, mencegah
1. Status Epileptikus risiko trauma
2. Kejang 3. Lindungi kepala jatuh, yang dapat
dengan bantalan mengakibatkan
untuk mencegah trauma kapitis.
cedera. 3. Tujuan melindungi
4. Lepaskan pakaian klien dari trauma
yang ketat. kapitis.
4. Pakaian yang ketat
5. Singkirkan semua akan mengganggu
perabot yang dapat sistem pernafasan.
mencederai klien. 5. Perabotan yang
berada di sekitar
klien yang
6. Singkirkan bantal dan
mengalami
pasang pagar tempat
serangan kejang,
tidur jika klien di
dapat mencederai
tempat tidur.
klien, seperti
7. Masukan spatel lidah
lampu.
yang diberi bantalan
6. Pemasangan pagar
(kapas yang
tempat tidur
dibungkus dengan
mencegah cedera
kasa diletakkan di
jatuh.
antara gigi-gigi, 7. Pada saat terjadi
untuk mencegah kejang lidah dapat
lidah tergigit apabila tergigit.
terdapat aura Memasukkan
mendahului kejang. spatel dengan
8. Jangan memaksa
bantalan
membuka rahang
mencegah lidah
yang terkatup pada
tergigit dan
keadaan spasme
cedera.
untuk memasukkan
sesuatu.
9. Jangan membiarkan
8. Tindakan ini dapat
klien sendirian bila
menyebabkan
berada di dekat
fraktur pada
kolam, sungai, bak
dan/atau sumur. rahang.

9. Klien dengan
epilepsi daat
mengalami
10. Miringkan klien serangan secara
dengan kepala fleksi mendadak
ke depan pada saat sehingga dapat
serangan kejang. mengakibatkan
luka bakar karena
terjatuh ke dalam
tungku, atau
tenggelam saat
berada di kolam,
sumur, bak atau
sungai.
10. Tindakan ini
memungkinkan
lidah jatuh ke
depan dan
memudahkan
pengeluaran saliva
dan mukus. Jika
disediakan
pengisap, gunakan
jika perlu untuk
membersihkan
sekret.
2. Koping individu/ Setelah dilakukan 1. Kaji perasaan takut, 1. Klien dengan
keluarga tidak efektif intervensi asing, depresi dan status epilepsi
b.d stress akibat keperawatan, koping tidak pasti. biasanya
epilepsi individu/ keluarga diasingkan dari
membaik, dengan 2. Kaji adanya masalah berbagai aktivitas.
Ditandai dengan: kriteria: psikologis seperti 2. Beberapa klien
1. Klien/keluarga skizofrenia dan dengan epilepsi
DS: Keluarga dapat mengatasi impulsif atau perilaku dapat mengalami
mengatakan klien masalah yang cepat marah. masalah
berpenyakit epilepsi. dihadapi. psikologis yang
2. Klien/keluarga disebabkan oleh
DO: dapat memahami kerusakan otak
1. Ketakutan kondisi dan (area yang
berhubungan keterbatasan yang mengontrol pikirn
dengan diakibatkan oleh 3. Lakukan konseling dan emosi),
kemungkinan epilepsi terhadap individu dan Sehingga
yang terjadi 3. Klien dan keluarga keluarga. memerlukan
setelah kejang mau bekerjasama penanganan
2. Ekspresi wajah dengan petugas kesehatan mental
tegang kesehatan. yang
3. Tampak takut komprehensif.
3. Konseling akan
membantu
individu dan
keluarga
memahami
kondisi dan
keterbatasan yang
diakibatkan oleh
epilepsi
3. Kurang pengetahuan Setelah dilakukan 1. Berikan pendidikan 1. Pendidikan
tentang epilepsi dan intervensi mengenai penyebab, epilepsi
cara mengontrolnya keperawatan, pencegahan dan cara bermanfaat untuk
b.d kurangnya pengetahuan klien dan perawatan epilepsi. mengubah
informasi keluarga tentang perilaku klien dan
Ditandai dengan: epilepsi meningkat, 2. Ajarkan keluarga keluarga terhadap
dengan kriteria: cara perawatan bila penyakitnya
DS: Klien/keluarga 1. Klien/keluarga terjadi serangan sendiri.
menanyakan tentang dapat kejang. 2. Dengan
cara pencegahan menyebutkan mengetahui
serangan kejang, gejala, penyebab 3. Beritahukan keluarga perawatan bila
pengobatannya dan dan perawatan untuk melakukan terjadi serangan,
perawatannya epilepsi. kontrol secara teratur dapat mencegah
2. Klien dan keluarga ke unit pelayanan risiko cedera pada
DO: Klien/keluarga dapat bekerja kesehatan. klien.
banyak bertanya sama dengan 3. Kontrol secara
4. Beritahukan klien teratur ke unit
petugas kesehatan
untuk mengkonsumsi pelayanan
selama perawatan.
3. Klien dan keluarga obat yang diresepkan kesehatan dapat
melakukan kontrol dokter. meningkatkan
kesehatan secara status kesehatan
teratur ke unit klien.
pelayanan 4. Dengan
kesehatan. mengkonsumsi
4. Klien obat yang hanya
mengkonsumsi diresepkan dokter
obat yang dapat mencegah
diresepkan oleh klien
dokter. mengkonsumsi
obat yang dapat
beresiko bagi
keamanan
dankeselamatan
pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Batticaca, Fransisca. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.

Jakarta: Salemba Medika

Maryuni, Anik. 2009. Asuhan Kegawatdaruratan dn Penyakit pada Neonatus. Jakarta: Trans

Info Media

Marcdante, Karen J Nelson. 2011. Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Singapura ; Elsevier

Meadow, Sir Roy dan Simon J. Newell. 2005. Pediatrika. Jakarta ; Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai