Anda di halaman 1dari 11

STRESS PADA PENYAKIT KARDIOVASKULAR

Objektif:
Analisa bukti hubungan antara stress dan sejumlah penyakit kardiovaskular. Apakah stress
dapat menyebabkan atau memperburuk penyakit kardiovaskular?
Metode:
Fenomena stress diilustrasikan dan dampak stress pada sistem peredaran darah diuji.
Terutama makna stress pada patofisiologi hipertensi, aterosklerosis, penyakit arteri koroner,
infark miokard (dan lain-lain) dijelaskan.
Hasil:
Stress memiliki peran besar dalam berbagai proses (pato)fisiologis yang berhubungan dengan
sistem peredaran darah. Dengan demikian, stress memiliki potensi memperbaiki atau
merugikan. Namun, berkaitan dengan penyakit kardiovaskular, stress paling sering dikaitkan
dengan kerusakan. Hasil akhirnya secara spesifik bergantung pada beberapa variabel (jumlah
stress durasi pengaruh stress, riwayat pasien / predisposisi, komponen genetik - karena factor-
faktor tsb dapat mengubah fungsi dari komponen respon stress dasar: aksis hipotalamus-
hipofisis-adrenal dan sistem medula sympathoadrenal ).
Kesimpulan:
Stress memiliki dampak yang besar pada sistem peredaran darah. Stress memiliki peran
penting dalam kerentanan, perkembangan, dan hasil akhir penyakit kardiovaskular. perbedaan
subjektif atau individual juga harus diperhitungkan. Stress terutama stress akut yang adekuat
- stress yang tidak 'luar biasa' - dapat meningkatkan kinerja dan dengan demikian bermanfaat
pada kasus tertentu. Hubungan erat antara penyakit stress dan kardiovaskular mewakili aspek
penting dari pengobatan modern. strategi terapi baru harus ditetapkan.

1. LATAR BELAKANG: STRES


Dalam dunia modern, sains telah mulai mengevaluasi dan memeriksa kembali konsep
tradisional dan keyakinan tentang stress [1]. Secara khusus, hubungan yang diacukan antara
stress dan proses patofisiologi penyakit telah diteliti secara rinci [1]. Meskipun pada pendapat
umum, hubungan ini masih dipertanyakan secara ilmiah dan hanya dalam dekade terakhir,
konsep stress dan hubungannya dengan restriksi (pembatasan) kesehatan dan penyakit telah
menjadi fokus utama dalam kedokteran [1].
Konsep stress modern didasarkan pada karya fundamental Hans Selye yang telah
mempelajari efek stress pada kesehatan dan hubungan fisiologis organisme biologis [1-3].
Maka dari itu, stress pada masa kini digunakan sebagai istilah yang merangkum efek dari faktor
psikososial dan lingkungan pada kesehatan fisik maupun mental [1,4,5]. Lebih lanjut, stress
dan reaksi stress merupakan dua hal yang berbeda [1,5].
Ketertarikan berbagai bidang medis dan disiplin ilmu pada penyakit dan penelitian yang
berhubungan dengan stress semakin berkembang pesat [1]: Gagasan bahwa rangsangan yang
menantang (stressor) menghasilkan respon stress yang berujung pada penyesuaian fisiologis,
perilaku, dan psikologis yang bertujuan untuk meningkatkan peluang organisme untuk
mengatasi (dan - akhirnya - untuk bertahan hidup), kini diterima secara luas [3,5-7].
Keseimbangan adalah kunci stres: Melalui proses keseimbangan yang sangat rumit yang
disebut homeostasis, semua makhluk hidup mempertahankan kelangsungan hidup mereka
dalam menghadapi rangsangan yang dihasilkan secara eksternal dan internal (stres). harmoni -
atau keseimbangan - ini terus ditantang [8,9]. Dengan demikian, semua bentuk kehidupan
telah mengembangkan mekanisme untuk mengatasi gangguan langsung, mis, respon
pelindung trhadap gangguan [10]. Dikatakan juga bahwa kemampuan untuk mengatasi
gangguan sangat penting untuk kelangsungan hidup dan masa hidup, dikarenakan pesan
molekul yang diteruskan. Maka dari itu, menjaga keseimbangan fisiologis yang dinamis
sepanjang gangguan (lingkungan) merupakan langkah penting untuk mempertahankan
kelangsungan hidup, integritas biologis, dan kesehatan [1,7].
BLA2

2. STRES-TERKAIT PENYAKIT KARDIOVASKULAR


Selama bertahun-tahun, efek klinis yang dapat disebabkan stress pada sistem
kardiovaskular telah dibahas [17]. Namun, sampai saat ini, hanya sedikit penelitian tentang
stress dan dampaknya pada sistem peredaran darah yang telah dilakukan dan bukti yang
didapatkan relatif lemah untuk waktu yang lama. Meskipun intuisi klinis, hubungan yang
mudah dan jelas antara stress dan penyakit kardiovaskular belum dapat digambarkan, dan hal
ini dapat disebabkan karena kompleksitas fenomena stress [3,4,6,7]. Situasi ini agak berubah
ketika konsep pola perilaku yang berbeda dilibatkan dalam kejadian penyakit kardiovaskular
[18].
Pengenalan berbagai jenis - atau pola - perilaku (terutama 'Tipe A') ke dalam analisis
lingkungan / stressor dan dampaknya terhadap penyakit kardiovaskular membantu
menjelaskan sifat stress dan stress yang berhubungan dengan mekanisme patofisiologis - dan
untuk menemukan interdependensi (hub. saling ketergantungan) atau mengukur korelasi
antara stress dan penyakit kardiovaskular [18]. Perilaku Tipe A, misalnya, menggambarkan
orang-orang yang sering stress dan jengkel atau selalu berpindah. Mereka cenderung memiliki
kerentanan yang lebih tinggi terhadap penyakit pada sistem peredaran darah [18]. Namun,
sifat dari hubungan ini tidak sejelas seperti yang tampak prima facie, dan penelitian terbaru
telah menunjukkan bahwa komponen permusuhan dari pola perilaku Tipe A - dikaitkan
dengan risiko kardiovaskular yang lebih besar [19]. Oleh karena itu, permusuhan dan
kemarahan telah menjadi fokus utama dalam konteks faktor stres yang mempermudah
timbulnya masalah kardiovaskular [19] (Gambar 1).
Gambar 1. pola perilaku Tipe A. Pola ini menggambarkan karakteristik strategi perilaku
dalam mengatasi situasi menantang ( 'stressful'). Hal ini diduga terkait dengan
kerentanan yang lebih tinggi terhadap penyakit pada sistem peredaran darah [18,82].
Dalam sejumlah studi terbaru, para peneliti melaporkan tidak ada efek tertentu perilaku
Tipe A pada risiko penyakit jantung koroner atau penyakit kardiovaskular lainnya [83].
Sebagai gantinya, evaluasi terbaru dari literatur epidemiologi mengindikasikan hubungan
yang pasti antara permusuhan (*) dan risiko penyakit kardiovaskular [19,83,84]. risiko
tinggi ini dikaitkan dengan peningkatan aktivitas simpatis [82,84], peningkatan respon
katekolamin / kortisol (respon stres) terhadap perilaku menegangkan, dan peningkatan
kadar kolesterol total serum [82,84].
Meskipun ada banyak jenis stressor potensial (lihat di atas), stress mental dan psikososial
nampaknya lebih kuat dan memberi efek yang lebih dalam pada sistem peredaran darah.
Penelitian tentang efek dari fenomena perilaku terhadap iskemia miokard pada pasien
penyakit jantung koroner telah memberikan contoh patofisiologi guna memahami mekanisme
stress mental yang memicu kejadian klinis kardiovaskular [20]. Aktivasi jalur yang berhubungan
dengan respon stress tampaknya penting dan dapat menyebabkan terjadinya proses kerusakan
jangka panjang: melalui aksi pada sistem saraf pusat dan otonom, stress dapat menghasilkan
kaskade regulasi respon yang dapat menyebabkan iskemia miokard, fibrilasi ventrikel, ruptur
plak, atau trombosis koroner pada individu yang rentan [20].
Lebih lanjut, dukungan sosial dapat menahan efek stress sementara lingkungan sosial
yang terganggu dan tidak stabil meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskular yang
terkait stress [21]. Dalam sebuah studi yang meneliti monyet cynomolgus yang telah
ditempatkan di bawah tekanan sosial (pengenalan monyet asing dalam kelompok empat
monyet yang stabil), manipulasi sosial menghasilkan peningkatan simpatis yang persisten serta
penurunan integritas endotel pada berbagai segmen vaskular, yang mengakibatkan disfungsi
endotel - prekursor aterosklerosis [21]. Menariknya, efek merugikan dari eksperimen stress
psikososial ini dapat dicegah dengan penggunaan beta-adrenergik (simpatik) blocking agents
[21]. Dengan demikian, faktor psikososial, seperti stress lingkungan dan respon terhadap stress
menggambarkan faktor risiko kardiovaskular yang lebih baru, [22] dan non-tradisional
terhadap hubungannya dengan penyakit kardiovaskular [22]. Berikut ini, hubungan tersebut
akan diuji secara detail sehubungan dengan pentingnya dalam penyakit kardiovaskular
tertentu.

2.1. Hipertensi
Etiologi dan patofisiologi hipertensi ialah hal yang kompleks. Selain bentuk primer,
esensial, atau idiopatik, hipertensi simptomatik (sekunder) pun ada. Penuaan, aterosklerosis,
faktor risiko, dan aktivitas sistem saraf simpatik (stres) memainkan peran penting dalam
hipertensi sekunder [23]. Stress telah terbukti penting dalam hipertensi vaskular. Stress dapat
menjadi faktor risiko [24], menyebabkan lonjakan tekanan darah, atau meningkatkan tekanan
darah yang sudah tinggi [16,25,26]. Stress bahkan mungkin dapat menyebabkan atau
berkontribusi terhadap terjadinya onset klinis hipertensi arterial pada kasus tertentu [27-29].
Pada penelitian model hewan, telah digambarkan peran penting dari peningkatan simpatik,
kaitannya dengan stress dalam perkembangan hipertensi [16]. Khususnya, stress akut mampu
meningkatkan tekanan darah arteri secara [25]. Hal ini mungkin dikarenakan vasokonstriksi
yang dipicu oleh peningkatan aktivitas SNS [16] (Gambar 2).
Selain itu, stress kronis dapat menyebabkan hipertensi dan menyebabkan efek samping
berkepanjangan, yang berakhir pada fiksasi lesi vaskular dan mempermudah komplikasi
kardiovaskular [21-23]. Aktivitas merugikan dari simpatik (dan efektor norepinefrin SNS) dan
juga jalur nitrat oksida (NO) terlibat: NO menghambat kontraksi pembuluh darah yang
norepinefrin-dependent dan mampu menurunkan tekanan darah arteri, respon vaskular
terhadap zat kontraktil seperti norepinephrine dapat diturunkan secara signifikan melalui
pelepasan atau paparan terhadap NO [30,31]. Selanjutnya, gangguan sintesis NO (pada tikus)
telah menunjukkan hasil peningkatan sensitivitas efek pressor dari mineralocorticoids dengan
atau tanpa adanya peningkatan asupan garam [32]. Oleh karena itu, NO dapat menurunkan
tekanan darah pada kasus orang yang sensitif mineralokortikoid [32]. Kemungkinan kontribusi
jalur NO terhadap respon adaptif pada kelebihan mineralokortikoid dapat menunjukkan
dampak dari NO pada natriuresis dan tekanan darah [32]. Jadi, fisiologi stress yang terlibat
dalam hipertensi meliputi sistem yang berbeda, mis, SNS dan penambahan jalur NO.
Gambar 2. Stress merangsang axis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) dan sistem saraf
simpatik (SNS). Corticotropin Releasing Hormone (CRH), kortisol, dan katekolamin seperti
norepinefrin (NE) dilepaskan. Dalam sel otot polos (vaskular VSMC), NE dan adenosin
trifosfat (ATP) berinteraksi, yang menyebabkan vasokonstriksi. Dengan demikian, tekanan
darah (BP) meningkat, yang akhirnya menyebabkani hipertensi arteri (referensi lihat teks;
[85]).
Dalam penelitian terbaru tentang hubungan antara stress kerja psikososial dan penyakit
kardiovaskular, menunjukkan bahwa stress mempengaruhi timbulnya komplikasi pada
hipertensi arterial [33]. Selain itu, orang-orang di bawah kondisi kerja yang menekan (seperti
permintaan tinggi, kontrol rendah, banyak stressor emosional dan psikososial, misalnya pada
petugas kesehatan) yang telah memiliki hipertensi sebelumnya, terbukti lebih rentan terhadap
angina pektoris, infark miokard, dan kerusakan serebrovaskular dibandingkan dengan kontrol
[4,33,34]. Dengan demikian, stress tidak hanya mempengaruhi onset, pembentukan, dan
perkembangan hipertensi, tetapi juga sejumlah komplikasi kardiovaskular yang terkait.

2.2.Aterosklerosis
Patofisiologi aterosklerosis beraneka ragam dan banyak faktor etiologi yang berperan
penting. Misalnya, diet tinggi lemak (mis, tinggi kolesterol, lemak jenuh) dapat menginduksi
aterosklerosis [35,21], dan aterosklerosis yang disebabkan oleh moderate
hyperlipoproteinemia sangat rentan terhadap pengaruh stress psikososial [36]. Karena stress
oksidatif dapat menyebabkan disfungsi dan cedera endotel, dan karena cedera endotel
(penghancuran integritas endotel) telah dianggap sebagai kejadian awal pada atherogenesis
[35], sehingga stress oksidatif / aktivitas radikal bebas juga dapat berkontribusi pada
patofisiologi aterosklerosis [37] .
stress mental atau psikososial berkaitan dengan disfungsi endotel dan atherosclerosis
dalam banyak jalan. Disfungsi endotel terkait aterosklerosis telah terbukti menyebabkan
respon pembuluh darah yang abnormal terhadap stress yang berakibat ke penyempitan
paradoks, terutama pada titik-titik dari stenosis yang sudah ada sebelumnya [38]. Bahkan, pola
respon paradoks ini (konstriksi, bukannya vasodilatasi yang normal dan wajar) menggambarkan
sifat substansial dan berbahaya dari disfungsi endotel.
Stress perilaku atau psikososial dapat menginduksi atau mempengaruhi pembentukan
dan perkembangan aterosklerosis [36,39-41]. Stress psikososial telah terbukti meningkatkan
stress oksidatif [37] dan menginduksi cedera endotel [35] proses yang dimediasi melalui
aktivasi sympathoadrenal (aktivasi beta 1-adrenoceptor) yang menyebabkan aterosklerosis,
khususnya di sekitar cabang aorta desendens (model monyet ) [35,36]. Perkembangan ini
dapat dihentikan dengan terapi beta-blokade, mis, dengan metoprolol [21]. Stress psikososial,
juga digambarkan sebagai asimetri dalam lingkungan psikososial [35,36], yang dapat
menyebabkan (hiper) peningkatan sistem saraf simpatik dan berakibat terhadap disfungsi
endotel [21,41].
stresor psikososial atau perilaku memiliki efek pada aktivitas estrogen (karena stress
mampu menginduksi penurunan hormone tsb) yang penting bagi perkembangan
aterosklerosis premenopausal [41]. Oleh karena itu, kadar estrogen rendah - bersama dengan
hypercortisolemia (ditemukan pada stres) dapat berhubungan dengan percepatan timbulnya
premenopausal aterosklerosis yang langka, dikarenakan estrogen merupakan faktor protektif
yang kuat terhadap aterosklerosis pada monyet betina yang premenopause [41].
stress mental (seperti aritmatika mental yang menantang) dan bahkan stress fisik juga
dapat menyebabkan disfungsi endotel [21,38,42], dan hubungan antara stress mental dan
aterosklerosis telah diuji [21,43]. Maka dari itu, kecenderungan respon kardiovaskular
berlebihan / peningkatan reaktivitas terhadap stressor mental yang (mis, dapat diamati pada
respon tekanan darah berlebih) meningkatkan risiko aterosklerosis secara signifikan [43].
Secara umum, bukti substansial ada guna menyatakan bahwa stress mental atau psikososial
memainkan peran penting dalam proses yang terlibat pada aterosklerosis.

2.3. Penyakit Jantung Koroner


Secara umum, penyakit jantung koroner (CAD) menggambarkan bentuk khusus dari
aterosklerosis yang bermanifesasi di dalam arteri koroner. Maka, kedua sisi tsb menjadi
tumpang tindih dan apa yang telah diilustrasikan pada aterosklerosis mungkin hampir
ditekankan dan diaplikasikan di sini. Namun, aspek-aspek umum tersebut tidak akan
difokuskan secara khusus disini. Melainkan, beberapa fakta tertentu akan diuji.
Stress sangat terkait dengan CAD [15,44,45]. Khususnya stress mental sering menjadi
penyebab berat bagi angina dan dapat secara khusus memperburuk CAD [38,46-48].
Selanjutnya, stress mental dapat menyebabkan iskemia miokard substansial, karena ia mampu
mengaktifkan 'respon iskemik' (yaitu, penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri > atau = 5%, untuk >
atau = 60 detik) dengan cara memprovokasi penurunan yang dinamis dalam suplai koroner
[36,42,46,49-51]. Induksi sebenarnya dari respons iskemik melalui stress mental merupakan
faktor risiko untuk kejadian kardiak di masa depan: iskemia miokard yang berhubungan dengan
stress mental memberi efek buruk terhadap prognosis pasien CAD serta dapat memprediksi
tingkat keparahan yang lebih besar dari CAD dalam perjalanan penyakit itu sendiri [42,49].
Selain itu, permusuhan dan kemarahan juga telah terbukti secara negatif dapat mempengaruhi
fraksi ejeksi dan sirkulasi darah miokard, menunjukkan betapa pentingnya fenomena tersebut
terhadap etiologi CAD [19,52]. Namun, bentuk lain dari stress juga berdampak: Stress
Perilaku / psikososial telah terbukti berpartisipasi dalam pembentukan CAD [36,39], dan efek
ini mungkin terkait dengan mediasi neuroendokrin (mis, aktivasi sympathoadrenal) [36].
Secara umum, sistem saraf simpatik memegang peran penting: Angina / nyeri dada,
sehubungan dengan angiogram koroner yang normal, sering dikaitkan dengan
(hiper)peningkatan simpatik kronis [53]. Oleh karena itu, angina bias saja dikaitkan dengan
jalur simpatik pada kasus tertentu [53]. Pada akhirnya, stress sosial juga dapat mengubah
fungsi dan integritas endotel, dan bahkan dapat menyebabkan cedera endotel yang substansial
(diduga melalui jalur beta-adrenoreseptor), yang berakibat menyebabkan terjadinya disfungsi
koroner [54].

2.4. Infark Myokard


infark miokard (MI) menggambarkan suatu peristiwa iskemik tentang penghentian suplai
darah koroner yang akut, biasanya jalan bersama dengan CAD, spasme koroner, tromboemboli,
aritmia, trauma dll [55,56]. Stress jelas memiliki potensi untuk secara aktif memicu serangan
jantung yang mengancam jiwa ini [38,42,57], dan pada hal ini, stress mental tampaknya sangat
berpengaruh [51,57-59]. stress mental jelas memiliki dampak yang mendalam pada peristiwa
kardiak jangka panjang begitu juga dengan hasil akhirnya [50]. Secara khusus, stress mental
dapat menyebabkan konstriksi paradoks pada pasien dengan CAD / aterosklerosis, terutama
pada titik stenosis - respon yang berkorelasi dengan banyaknya aterosklerosis (plak) dan
respon endothelium-dependent sampai pada pemasukan asetilkolin (pembuktian adanya
disfungsi endotel): kegagalan lokal dari dilatasi menyebabkan konstriksi yang tidak bisa dilawan
[38]. Selain itu, stress mental tidak hanya meningkatkan kebutuhan oksigen miokard (melalui
aktivasi sympathoadrenal) tetapi juga melibatkan pengurangan suplai oksigen miokard, yang
akhirnya berakibat fatal [42,59]. Maka dari itu, stress memegang peran penting dalam
terjadinya MI.

2.5. lain-lain
Dalam non-insulin-dependent diabetes mellitus (NIDDM), yang kausanya dihubungkan
dengan stress (yaitu, dengan respon stress berlebihan, kortikotropin melepaskan
hiperaktivitas hormone) baru-baru ini telah dibahas [60]. Selain itu, stroke telah terbukti
berhubungan dengan stress psikososial [39]. Selanjutnya, kardiomiopati (CM) telah terbukti
berhubungan dengan stress dalam kasus-kasus tertentu [61]. Meskipun demikian, hubungan
yang kuat masih belum jelas dan mekanisme yang mendasarinya belum dipahami dengan baik.
Dalam teori penuaan sistem kardiovaskular, peningkatan aliran norepinefrin ke dalam
plasma sering terjadi, diduga karena reuptake norepinefrin yang berkurang setelah stimulasi
simpatis [62]. Efek ini terutama diamati setelah menjalani atau mengalami stress mental [62].
Dengan demikian, kelebihan norepinefrin dapat muncul secara reguler pada orang tua
[28,62]. Selanjutnya, proses penuaan meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatik manusia
saat istirahat [62], sehingga berpotensi meningkatkan frekuensi dan intensitas respon stress
yang mungkin terjadi [62]. Namun, hal ini dapat dimodifikasi dengan penurunan reaktivitas
SNS secara paralel (seperti yang dibahas pada orang tua) - yang diduga, secara bergantian
mengurangi peningkatan risiko yang terkait dengan (hiper)peningkatan simpatik [62,63].
Namun demikian, stress oksidatif meningkat pada organisme yang lebih tua (respon stress
jalur NO mungkin terlibat, lihat [64]), dan hal ini diduga berkontribusi terhadap patofisiologi
aterosklerosis dan penyakit kronis lainnya yang secara umum terkait dengan penuaan [37].
Oleh karena itu, stress (berkepanjangan) dapat menyebabkan kerusakan jangka panjang / efek
kronis pada sistem kardiovaskular yang menua, karena sifatnya yang berpotensi meningkatkan
aktivitas simpatik dan norepinefrin (lihat di atas). Stress mental yang berujung pada gangguan
depresi mayor dikaitkan dengan penurunan variabilitas denyut jantung (HRV) [65]. Hal ini
berarti bahwa ada terlalu banyak regularitas detak-detak yang biasanya didorong oleh tonus
hiper-simpatik dengan mengorbankan efek parasimpatis. Beberapa peneliti mempercayai hal
ini menjadi sebab depresi berkontribusi terhadap peningkatan relatif risiko penyakit jantung
[65].
Aritmia juga sering dihubungkan dengan stress / rangsangan stres. Misalnya, stress dapat
segera meningkatkan denyut jantung dan menginduksi perubahan reaktivitas denyut jantung
[25,44]. Oleh karena itu, aktivitas SNS bisa saja merupakan mekanisme dasar yang penting.
Stress lebih jauh telah diidentifikasi sebagai kontributor gagal jantung kronis (CHF). Pada hal
ini, (hiper)peningkatan simpatik juga terlibat [66]. Dengan demikian, neuropeptide Y
berdampingan dengan norepinephrine di saraf simpatik dan dilepaskan secara bersamaan
pada aktivasi simpatik: Gagal jantung dikaitkan dengan peningkatan pelepasan norepinefrin
dan neuropeptida Y dari jantung pada saat istirahat - dan saat distimulasi /stres [66].
Selanjutnya, disfungsi endotel adalah kunci dari CHF, berkontribusi terhadap peningkatan
vasokonstriksi perifer dan terganggunya kapasitas latihan (intoleransi olahraga) [67,68]. Seperti
dijelaskan di atas, disfungsi endotel berhubungan dengan stres.
Taken together, stress contributes to the onset, development, and progression of a
variety of cardiovascular diseases. In particular, mental and psychosocial stressors apparently
have a profound impact upon the circulatory system. Individual differences may further play a
role, since susceptibility and reactivity in relation to stress show a subjective component.
However, the SNS activity obviously represents a critical link, a crucial effector of the stress
response and its potentially deteriorating influences on the cardiovascular system.
Secara bersama-sama, stress berkontribusi terhadap timbulnya, pengembangan, dan
perkembangan berbagai penyakit kardiovaskular. Secara khusus, mental dan psikososial stress
tampaknya memiliki dampak yang mendalam pada sistem peredaran darah. perbedaan
individu lebih lanjut dapat memainkan peran, karena kerentanan dan reaktivitas dalam
kaitannya dengan stress menunjukkan komponen subjektif. Namun, aktivitas SNS jelas
merupakan link penting, efektor penting dari respon stress dan pengaruhnya berpotensi
memburuk pada sistem kardiovaskular.
Secara umum, stress berkontribusi terhadap onset, pembentukan, dan perkembangan
berbagai penyakit kardiovaskular. Secara khusus, stressor mental dan psikososial memiliki
dampak yang mendalam pada sistem peredaran darah. perbedaan individual lebih lanjut juga
memegang peran, karena kerentanan dan reaktivitas kaitannya dengan stress menunjukkan
komponen yang subjektif. Namun, aktivitas SNS jelas merupakan faktor penting, sebuah
efektor penting terhadap respon stress dan berpotensi memberi dampak buruk pada sistem
kardiovaskular.

3. DISKUSI
Stress menyiratkan tantangan (stimulus) yang membutuhkan keberhasilan perubahan
perilaku, psikologis, dan fisiologis (adaptasi, karena itu dibutuhkan keadaan kewaspadaan
tinggi untuk inisiasi reaksi penangkalan yang dibutuhkan [69]. Keadaan hyperarousal
(waspada) melibatkan mekanisme fisiologis yang dikenal sebagai stress / respon darurat atau
respon fight-or-flight, sebuah set perubahan fisiologis yang terjadi dalam situasi menegangkan
dan mempersiapkan organisme yang tertekan baik itu untuk melawan (fight) - atau lari
(flight). kondisi kewaspadaan klasik yang evolusioner ini pertama kali dijelaskan oleh Walter
Cannon pada paruh pertama abad ke-20 [13,14]. Dengan demikian, perubahan fisiologis yang
mendalam dapat diamati pada stress - yang melibatkan axis HPA dan SNS - memberi efek pada
seluruh organisme. Meskipun tujuan utamanya untuk membantu, stress dapat menyebabkan
onset, pembentukan, atau perkembangan dalam proses patofisiologi sebuah penyakit [1,4,7].
Hal ini terutama berlaku pada stress kronis (atau ketika stressor akut terjadi secara luar biasa),
di mana sumber daya organisme untuk menahan 'tantangan stres' terbukti tidak cukup dalam
jangka panjang atau mungkin berakhir prematur [1,3-5 ]. Oleh karena itu, respon stress itu
sendiri memiliki kapasitas untuk membahayakan diri [7]. Selanjutnya, ketika mekanisme
respon stress tidak cukup untuk memenuhi tujuan utama (penyesuaian untuk menantang atau
melawan stress bertahan), stimulus / stressor asal dapat mengambil alih dalam artian -
organisme menyerah [5]. Organisme tersebut dapat menderita perubahan biologis yang
negatif, sakit, penyakit berat, atau bahkan kematian [5,7]. Kondisi ini telah disebut sebagai
kondisi konservasi-withdrawal (penarikan) atau kondisi menyerah [1].
Apakah stress mempengaruhi sistem peredaran darah dan memicu penyakit
kardiovaskular? Pertanyaan ini telah menjadi kontroversi di masa lalu [4]. Namun, seperti yang
telah ditinjau, stress memiliki dampak yang besar pada sistem kardiovaskular, dan berbagai
penyakit kardiovaskular dipengaruhi oleh stressor dan rangsangan menantang (challenging
stimuli) (lihat di atas). Secara khusus, stressor mental, perilaku, dan psikososial sangat penting.
Temuan ini sesuai dengan hasil yang diperoleh pada penyakit imunologi [7]. Dengan demikian,
efek yang diakibatkan oleh stress dapat berupa efek menguntungkan dan merugikan,
tergantung pada banyak faktor (termasuk tipe stressor tertentu, durasi atau waktu stress, dan
perbedaan kerentanan individu) [1,7]. Pada prinsipnya, stress mungkin memiliki kedua sifat
tersebut (menguntungkan dan merugikan ) [1,4,7]. Namun, berkaitan dengan penyakit
kardiovaskular, stress paling sering menyebabkan efek merusak: Dikarenakan aktivitas sistem
saraf simpatik meningkat pada stress [70] dan sistem peredaran darah jelas / secara alami
sensitif terhadap perubahan pada tingkat aktivitas otonom [23,71-73 ], stress - stress kronis
pada khususnya - secara menyeluruh mampu meningkatkan risiko kardiovaskular secara umum
maupun spesifik [23,70]. Pernyataan ini berlaku untuk subyek sehat yang berisiko terkena
penyakit kardiovaskular serta untuk pasien yang sudah menderita kondisi patologis
kardiovaskular [4,70,72]. Dengan cara yang sama, beberapa efek negatif yang dipicu oleh stress
dalam sistem peredaran darah menyerupai proses inflamasi: Saat stress mempengaruhi sistem
kekebalan tubuh, jalur patofisiologis yang teraktivasi juga dapat terangsang sehingga
memegang peran penting dalam penyakit kardiovaskular tertentu (misalnya, infark miokard,
aterosklerosis / disfungsi endotel) [7,70]. Hal ini menjadi kunci dikarenakan respon imun
seluler yang diprakarsai oleh makrofag penting dalam inisiasi serta perkembangan
aterosklerosis [64]. Selain jalur SNS dan HPA (yang melibatkan norepinefrin dan kortisol) dan
respon imun seluler, sinyal NO juga diduga relevan terhadap penyakit kardiovaskuler yang
berhubungan dengan stress [7,10,15, 16,30-32,74]. Namun, (pato)fisiologi yang kuat, jalur
sinyal autoregulatory molekuler, dan hubungan yang terjadi belum benar-benar dimengerti,
serta penelitian lebih lanjut diperlukan guna mendapatkan gambaran yang lebih lengkap [64].
Konsep keseimbangan/homeostasis - dan sesuai dengan hal ini: allostasis - penting dalam
penelitian tentang stress. Setelah tantangan (stimulus stress, stressor), kelangsungan hidup
dan keseimbangan biasanya dipertahankan dalam batasan yang mantap dan sesuai dengan
mengaktifkan berbagai kaskade autoregulatoritas yang adaptif [1,7]. Mekanisme ini, akhirnya
mengarah ke kondisi yang diinginkan (re-balanced atau teradaptasi), yang melibatkan
perbaikan biologis, psikologis, dan sosiologis [75]. Namun - seperti yang disebutkan
sebelumnya - dalam kasus stress kronis atau berkepanjangan, kondisi keseimbangan yang
'orisinil' diduga tidak dapat dicapai lagi (keseimbangan baru harus ditemukan keseimbangan
yang dinamis), ataupun ada kesehatan yang harus dikorbankan untuk menjaga keseimbangan
yang telah ada. Allostasis mengacu pada teori penuaan dinamis wear and tear atau pakai dan
rusak yang dialami organisme - terutama pada sistem peredaran darah (lihat di atas).
Tingkat stress ternyata masih tinggi dan berkembang di dunia barat [1,23,76-78]. Fakta
ini mungkin dapat menjelaskan peningkatan persepsi - subjektif - tentang stress di negara-
negara industrial (peningkatan persepsi stress akut dan kronis) [1,4], dan risiko tinggi terhadap
perkembangan penyakit pada sistem peredaran darah (lihat di atas). Lifestyle telah menjadi
fokus utama dalam pencegahan [1]. 'Epidemik stress' [1] yang telah terjadi di dunia barat
dalam dekade terakhir berisiko menjadi masalah medis yang kritis: Strategi baru perlu
disiapkan untuk menghentikan dampak merugikan stress terhadap pasien kardiovaskular
[ 4,23,70]. Dengan demikian, manajemen stress, strategi perilaku kognitif, dan penggunaan
teknik respons relaksasi menjadi kepentingan masa depan [1,75].
Mempelajari stress bukanlah usaha yang mudah. Satu masalah yang selalu yakni definisi
yang seragam dari stress - masalah yang kepentingannya menurun selama tahun-tahun
terakhir [1]. Masalah lain adalah pengukuran stress yang sulit dan kompleks [4]. Penciptaan
instrument alat ukur dan metode terbaru yang terstandarisasi kini menjadi sangat membantu.
Pada masa kini, semakin banyak penggunaan skala, skor, dan prosedur eksperimental yang
diterima [1,4,79,80]. Namun, stress lebih kurang dianggap sebagai rubrik atau istilah yang
memayungi makna luas terhadap berbagai dampak faktor psikososial dan lingkungan terhadap
kesejahteraan fisik dan mental [1,3-5,7]. Dengan demikian, gambarkan efek stress pada proses
kesehatan dan / atau penyakit perlu untuk melihat rinciannya. Misalnya, berbagai bentuk
stress dan stressor yang dapat terlibat: Ada rangsangan fisik, kimia, biologis, psikologis, dan
rangsangan lainnya yang mampu menyebabkan stress [5,7]. Dalam sebagian besar kasus yang
dijelaskan dalam literatur medis ilmiah, stress mental/psikologis, psikososial, dan fisiologis/fisik
dibedakan dan semuanya memegang peran yang signifikan kaitannya dengan hubungan stress
dan penyakit. Selain itu, setiap jenis stressor jelas memiliki kapasitas yang sedikit berbeda dan
dapat menyebabkan hasil akhir berupa (pato)fisiologis tertentu. Jumlah stress, durasi
pengaruhnya, dan persepsi atau kognisi (oleh organisme yang terkena dampak) juga
merupakan pertimbangan penting. Selain itu, komponen subjektif lebih lanjut juga harus
diperhitungkan [81]. Secara umum, stress tetap menjadi konstituen yang sangat signifikan
terhadap proses penyakit kardiovaskular. Dengan demikian, seperti disebutkan di atas, stressor
mental, perilaku, dan psikososial perlu difokuskan dalam pendekatan medis (masa depan)
guna mengatasi stress dan hubungannya dengan penyakit kardiovaskular.

4. KESIMPULAN
Stress memiliki dampak yang besar pada sistem peredaran darah. Selain itu, ditemukan
bukti kuat pentingnya stress dalam proses penyakit yang berhubungan dengan sistem
peredaran darah.
Stress plays a significant role in susceptibility, progress, and outcome of cardiovascular
diseases. In particular, stress may cause or exacerbate disease processes depending on the
type of stressor involved (e.g, physical, chemical, biological, mental, psychosocial etc.) and/or
the duration of its influence on an organism. Thereby, subjective or individual differences have
to be taken into account too. This fact can make it difficult to predict an expected result
following the experience of challenging stimuli (stressors) that are able to evoke the allostatic
stress response and lead to physiological, psychological, and behavioral adjustments.
Nonetheless, stress contributes to the onset, development, and progression of a variety of
cardiovascular diseases. Here, mental and psychosocial stressors have a profound impact, and
in this regard, the sympathetic nervous system represents a generally important effector of the
stress response with potentially deleterious influences on the cardiovascular system.
Stress memegang peran penting dalam kerentanan, kemajuan, dan hasil akhir penyakit
kardiovaskular. Secara khusus, stress dapat menyebabkan atau memperburuk proses penyakit
tergantung pada jenis stressor yang terlibat (mis, fisika, kimia, biologi, mental, psikososial dll)
dan/atau durasi pengaruhnya terhadap organisme. Dengan demikian, perbedaan subjektif atau
individu juga harus diperhitungkan. Hal ini dapat mempersulit dalam memprediksi hasil yang
diharapkan setelah mengalami rangsangan yang menantang (stressor) yang mampu
membangkitkan respon stress allostatic dan menyebabkan penyesuaian fisiologis, psikologis,
dan perilaku. Meskipun demikian, stress berkontribusi terhadap onset, pembentukan, dan
perkembangan berbagai penyakit kardiovaskular. Pada hal ini, stress mental dan psikososial
memiliki dampak yang mendalam, dan dalam hal ini, sistem saraf simpatis merupakan efektor
yang penting atas respon stress dengan pengaruh yang berpotensi merusak sistem
kardiovaskular.

Anda mungkin juga menyukai