PENDAHULUAN
Imunisasi diperkirakan dapat mencegah 2,5 juta kasus kematian anak per tahun
di seluruh dunia. Di Indonesia, imunisasi merupakan kebijakan nasional melalui
program imunisasi yang masih sangat diperlukan untuk melakukan pengendalian
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I), seperti Tuberkulosis (TB),
dipteri, pertusis (penyakit pernapasan), campak, tetanus, polio dan hepatitis B.
Program imunisasi sangat penting agar tercapai kekebalan masyarakat (population
immunity). Program Imunisasi di Indonesia dimulai pada tahun 1956 dan pada tahun
1990, Indonesia telah mencapai status Universal Child Immunization (UCI), yang
merupakan suatu tahap dimana cakupan imunisasi di suatu tingkat administrasi telah
mencapai 90% atau lebih. Saat ini Indonesia masih memiliki tantangan mewujudkan
100% UCI Desa/Kelurahan (Hadinegoro, 2002).
Faktor terpenting yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan vaksin
imunisasi adalah keseimbangan antara imunitas yang akan dicapai dengan reaksi
yang tidak diinginkan yang mungkin timbul. Untuk mencapai imunogenisitas yang
tinggi, vaksin harus berisi antigen yang efektif untuk merangsang respons imun
protektif resipien dengan nilai antibodi di atas ambang pencegahan untuk jangka
waktu yang cukup panjang. Sebaliknya antigen harus diupayakan mempunyai sifat
reaktogenisitas yang rendah sehingga tidak menimbulkan efek samping yang berat,
dan yang jauh lebih ringan apabila dibandingkan dengan komplikasi penyakit yang
bersangkutan secara alami. Pada kenyataannya, tidak ada satu jenis vaksin pun yang
sempurna. Namun dengan kemajuan di bidang bioteknologi saat ini telah dapat dibuat
vaksin yang relatif efektif dan aman (Gunawan,dkk,2000)
Seiring dengan cakupan imunisasi yang tinggi, maka penggunaan vaksin juga
meningkat sehingga reaksi vaksinasi yang tidak diinginkan juga meningkat. Hal yang
penting dalam menghadapi reaksi vaksinasi yang tidak diinginkan ialah: Apakah
kejadian tersebut berhubungan dengan vaksin yang diberikan? Ataukah bersamaan
dengan penyakit lain yang telah diderita sebelum pemberian vaksin (koinsidensi)?
1
Seringkali hal ini tidak dapat ditentukan dengan tepat sehingga oleh WHO
digolongkan dalam kelompok adverse events following immunisation (AEFI) atau
kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI). (Hadinegoro, 2002)
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) adalah semua kejadian sakit dan
kematian yang terjadi dalam masa 1 bulan setelah imunisasi. Untuk mengetahui
hubungan antara pemberian imunisasi dengan KIPI diperlukan pelaporan dan
pencatatan semua reaksi yang tidak diinginkan yang timbul setelah pemberian
imunisasi. Adanya kasus KIPI dapat mengancam kepercayaan masyarakat terhadap
program imunisasi. Surveilans KIPI sangat membantu program imunisasi, khususnya
untuk memperkuat keyakinan masyarakat akan pentingnya imunisasi sebagai upaya
pencegahan penyakit yang paling efektif. (Ranuh, dkk, 2011).
1.2 Tujuan
Menggali pengetahuan pasien tentang KIPI dan tatalaksananya
Meningkatkan pengetahuan pasien tentang KIPI
1.3 Manfaat
1. Bagi Puskesmas Sukamakmur
Puskesmas dapat mengetahui adanya KIPI yang dilaporkan dan penanganan
KIPI oleh ibu dan diharapkan Puskesmas Sukamakmur dapat memberikan
promosi kesehatan pada ibu yang membawa bayinya untuk imunisasi
2
2. Bagi Peneliti
Peneliti dapat menerapkan teori penelitian secara langsung dan juga dapat
digunakan sebagai data dasar untuk penelitian selanjutnya
3. Bagi Istitusi pendidikan
Sebagai gambaran serta informasi bagi penelitian selanjutnya
4. Bagi ibu atau masyarakat
Ibu dapat mengetahui tentang kemungkinan adanya kejadian ikutan pasca
imunisasi
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada
antigen yang serupa, tidak terjadi penyakit. Dilihat dari cara timbulnya maka
terdapat dua jenis kekebalan, yaitu kekebalan pasif dan kekebalan aktif.
Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh, bukan
dibuat oleh indivindu itu sendiri. Contohnya adalah kekebalan pada jenis yang
diperoleh dari ibu, atau kekebalan yang diperoleh setelah pemberian suntikan
dimetabolisme oleh tubuh. Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh
tubuh sendiri akibat terpajan pada antigen seperti pada imunisasi, atau
(Hadinegoro, 2002)
pada imunisasi Cacar Variola. Keadaan ini biasanya terjadi pada jenis
4
2.3 Jadwal Imunisasi menurut IDAI
5
waktu 1
minggu
DPT 3 Kali (DPT 4 minggu 211 bulan Anti toksin difteri berfungsi
1,2,3) bayi sebagai pengikat toxin difteri
yang beredar dalam darah
Pertusis toxin memproduksi
eksotoksin untuk mencegah
kerusakan saluran nafas intra
serebral dan menjaga gejala
klinis pada manusia. Anti
tetanus berfungsi sebagai
pencegahan terjadinya
produksi tetanospasmia yang
diakibatkan infeksi tetanus.
sebagai berikut :
a. Memberitahukan secara rinci tentang risiko vaksinasi dan risiko apabila tidak
diimunisasi.
c. Baca dengan teliti informasi tentang produk (vaksin) yang akan diberikan
jangan lupa mengenai persejutuan yang telah diberikan kepada orang tua.
melakukan imunisasi
e. Tinjau kembali apakah ada kontra indikasi terhadap vaksin yang akan
diberikan
6
f. Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik bila diperlukan
g. Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah disimpan dengan
baik
periksa tanggal kadaluwarsa dan cacat hal-hal istimewa, misalnya perubahan warna
j. Berilah petunjuk (sebaiknya tertulis) kepada orang tua atau pengasuh apa
yang harus dikerjakan dalam kejadian reaksi yang biasa atau reaksi ikutan
k. Catat imunisasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan klinis
rinci bervariasi, namun rekomendasi tetap seperti di atas dan berpegang pada
0 0
a. Semua vaksin disimpan pada suhu 2 C sampai dengan 8 C
b. Bagian bawah lemari es diletakkan cool pack sebagai penahan dingin dan
kestabilan suhu
7
c. Peletakan dus vaksin mempunyai jarak antara minimal 1-2 cm atau satu jari
tangan
evaporator
2013).
misalnya:
8
4) Jarum bekas pakai
9
5) Tindakan aseptik dan antiseptik
7) Penyimpanan vaksin
b. Reaksi suntikan
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik
baik langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI.
c. Induksi vaksin
dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi
10
vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik
mendapatkan imunisasi.
Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat
dibagi menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi
lainnya. Pada umumnya makin cepat KIPI terjadi makin cepat gejalanya.
2) Limfadenitis
1) Kelumpuhan akut
11
2) Ensefalopati
3) Ensefalitis
4) Meningitis
5) Kejang
2) Reaksi anafilaksis
3) Syok anafilaksis
5) Episode hipotensif-hiporesponsif
6) Osteomielitis
12
Klinis campak pada resipien 6 bulan
imunokompromais tidak tercatat
Komplikasi akut termasuk kecacatan dan
kematian
dengan cepat dan tepat, mengurangi dampak negatif imunisasi untuk kesehatan
program.
13
2.6.5 Pelaporan KIPI
1) Identitas : nama anak, tanggal dan tahun lahir, jenis kelamin nama
gejala KIPI
14
2.6.6 Tatalaksana KIPI
15
Reaksi lumpuh layu, Rujuk segera ke RS untuk Pengobatan
Khusus : simetris, perawatan dan pemeriksaan dilakukan oleh
Meningismus
Tidak demam
Peningkatan
protein dalam
cairan
serebrospinal
tanpa pleositosis
Terjadi antara 5
hari sd 6 minggu
setelah imunisasi
Perjalanan
penyakit dari 1
s/d 3-4 hr
Prognosis
umumnya baik.
Neuritis Nyeri dalam Parasetamol Pengobatan
brakialis terus menerus Bila gejala menetap rujuk ke dilakukan oleh
(Neuropati pada daerah RS untuk fisioterapi petugas dan perlu
pleksus bahu dan lengan curiga lumpuh layu
brakialis) atas
Terjadi 7 jam sd
3 minggu setelah
imunisasi
Syok Terjadi Suntikan adrenalin 1:1.000, Pengobatan
anafilaktik mendadak dosis 0,1-0,3, sk/i, atau 0,01 dilakukan oleh
Gejala klasik : ml/kg BB x max dosis 0,05 petugas kesehatan
kemerahan ml/kali
merata, edem Jika pasien mambaik dan
Urtikaria, stabil dilanjutkan dengan
sembab pada suntikan delsametason
kelompok mata, (1ampul) secara
sesak, nafas intravena/intramuskular
16
berbunyi Segera pasang infus NaCI
Jantung berdebar 0,9%
kencang Rujuk ke RS terdekat
Tekanan darah
menurun
Anak pingsan /
tidak sadar
Dapat pula
terjadi langsung
berupa tekanan
darah menurun
dan pingsan
tanpa didahului
oleh gejala lain
Kipi kesalahan
program Gejala Penanganan Keterangan
Abses dingin Bengkak dan keras, nyeri Kompres Pengobatan
daerah bekas suntikan. hangat dilakukan oleh guru
Terjadi karena vaksin Parasetamol UKS dan orang tua
disuntikan masih dingin jika tidak ada
perubahan hubungi
puskesmas terdekat
Sepsis
Tetanus
Kelumpuhan /
kelemahan otot
17
Bengkak disekitar bekas Kompres Pengobatan
suntikan hangat dilakukan orang tua
Demam Parasetamol
Terjadi karena jarum Rujuk ke RS
suntik tidak steril terdekat
Gejala timbul 1 minggu
atau lebih setelah
penyuntikan
Kejang, dapat disertai Rujuk ke RS Pengobatan
dengan demam, anak tetap terdekat dilakukan oleh guru
18
sadar UKS dan orang tua
Lengan sebelah (daerah Rujuk ke RS Pengobatan
yang disuntik ) tidak bisa terdekat untuk dilakukan oleh guru
digerakkan di fisioterapi UKS dan orang tua
Terjadi karena daerah
penyuntikan salah (bukan
pertengahan muskulus
deltoid)
19
Kipi Gejala Penanganan Keterangan
Faktor Penerima
/ Pejamu
Alergi Pembengkakan bibir dan Suntikan Pengobatan
tenggorokan, sesak nafas, dexametason 1 dilakukan oleh
eritema, papula, terasa ampul im/iv petugas kesehatan
gatal Jika berlanjut
Tekanan darah menurun pasanginfus
NACI 0,9%
Faktor Ketakutan Tenangkan Pengobatan
psikologis Berteriak penderita dilakukan oleh guru
Pingsan Beri minuman UKS dan orang tua
Penunjang
- Laboratorium
- Apotek
- Fisioterapi
2. UKM (Unit Kesehatan Masyarakat)
Essensial
- KIA
- Gizi
- Kesling
- Promkes
- Imunisasi
Pengembangan
- Posbindu
- UKS
- Kesehatan Jiwa
- PTM
- PKPR ( Program Kesehatan Reproduksi Remaja)
- Batra ( Pengobatan Tradisional)
BAB III
METODE
3.1 Metode
Metode yang dilakukan pada mini project ini adalah pengambilan data KIPI
dan cakupan imunisasi pada periode waktu tertentu dan dari salah satu pasien
yang mengalami KIPI dilakukan konseling dan pemberian edukasi serta
tatalaksana kepada ibu bayi yang mengalami KIPI. Populasi pada mini project ini
adalah seluruh bayi yang mendapatkan imunisasi di Puskesmas Sukamakmur pada
periode Januari 2013 Februari 2017. Sampel pada mini project ini dipilih dengan
cara Accidental random sampling, yaitu sampel yang bertemu dengan peneliti
pada saat mengunjungi Poli MTBS Puskesmas Sukamakmur.
BAB IV
HASIL
Ibu pasien sadar dan tau akan pentingnya imunisasi sebagai upaya
untuk mencegah penyakit yang berbahaya bagi anaknya. Ibu pasien
mengetahui kemungkinan terjadinya KIPI namun pasien berpikir hanya
demam saja yang merupakan kejadian setelah imunisasi sedangkan
bengkak pada kaki dan kejang akibat demam yang ditimbulkan, pasien
tidak tahu.
Ketika ditanya ibu pasien sangat khawatir keadaan pasien dan takut
untuk imunisasi kembali
4. Edukasi
- Mengoreksi pengetahuan/ perasaan yang tidak adekuat
- Menambahkan pengetahuan yang kurang tentang imunisasi dan
kemungkinan terjadi KIPI
- Meminta ibu pasien mengulang dengan ringkas apa yang sudah
diketahui setelah diskusi
5. Aksi
- Mengecek ulang perasaan, pengetahuan dan harapan ibu pasien tentang
masalah yang akan diselesaikan
Kecemasan ibu berkurang dan ketika ditanyakan lagi untuk imunisasi selanjutnya
ibu pasien tetap memandang positif program imunisasi sebagai upaya pencegahan
penyakit yang berbahaya bagi anaknya.
BAB V
PEMBAHASAN
Dari tabel temuan kasus KIPI diatas terlihat hanya 4 kasus yang terjadi
dalam 5 tahun terakhir. Jumlah kasus KIPI diatas kemungkinan bukan data yang
sebenarnya. Menurut Committee of the Institute of Medicine (IOM) dari National
Childhood Vaccine Injury Amerika Serikat, kesulitan mendapatkan data KIPI,
terjadi karena (1) kurang difahaminya mekanisme biologis gejala KIPI, (2) data
kasus KIPI yang dilaporkan kurang rinci dan akurat, (3) surveilans KIPI belum
luas dan menyeluruh (4) surveilans KIPI belum dilakukan untuk jangka panjang,
(5) kurang publikasi KIPI dalam jumlah kasus yang besar. Mengingat hal-hal
tersebut di atas, maka sangat sulit menentukan jumlah kasus KIPI yang
sebenarnya.
Dari kasus KIPI yang tercatat di puskesmas sukamakmur sebagian besar
terjadi karena kesalahan pelaksanaan (program). Untuk itu yang paling penting
adalah bagaimana mengkontrol vaksin dan mengurangi programmatic errors,
termasuk cara penggunaan alat suntik dengan baik, alat sekali pakai atau alat
suntik auto-distruct, dan cara penyuntikan yang benar sehingga transmisi patogen
melalui darah dapat dihindarkan. Ditekankan pula bahwa untuk memperkecil
terjadinya KIPI, harus senantiasa diupayakan peningkatan ketelitian, pada
pemberian imunisasi selama program imunisasi dilaksanakan.
Adanya kasus KIPI mengancam kepercayaan masyarakat terhadap program
imunisasi. Fase ini sangat berbahaya oleh karena akan menurunkan cakupan
imunisasi. Apabila kasus KIPI dapat diselesaikan dengan baik, yaitu dengan
pelaporan dan pencatatan yang baik, penanganan kasus KIPI segera, dan
konseling yang baik, maka kepercayaan masyarakat akan program imunisasi
timbul kembali. Pada saat ini akan dicapai kembali cakupan imunisasi yang tinggi
dan penurunan insidens penyakit; walaupun kasus KIPI tetap ada bahkan akan
meningkat lagi.
Konseling yang dilakukan pada salah satu kasus KIPI meliputi tahapan-
tahapan dimana dari tahapan tersebut kita mulai dengan menggali pengetahuan
pasien tentang imunisasi dan efek sampingnya sehingga pengetahuan yang kurang
dan kecemasan yang ada dapat kita intervensi pada tahapan edukasi. Pasien diatas
terlihat belum mengetahui beberapa efek dari imunisasi sehingga muncul rasa
khawatir. Namun setelah dilakukan edukasi pasien menyadari akan pentingnya
manfaat imunisasi dan resiko yang terjadi jauh lebih kecil dibandingkan
manfaatnya.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Cakupan imunisasi bayi di puskesmas sukamakmur dari tahun 2013 sampai tahun
2016 belum mencapai UCI (Universal Child Immunization ).
Angka KIPI yang tercatat ada 4 kasus selama 5 tahun terakhir, namun angka ini
kemungkinan bukan angka sebenarnya.
Tidak ada satupun intervensi kesehatan (baik medis-non medis) yang
bebas efek samping. Begitu juga imunisasi, pasti ada efek samping yang
timbul. Namun efek samping tersebut umumnya ringan ( demam, rasa
nyeri, bengkak di bekas suntikan). Efek samping yang bersifat berat
sangatlah jarang. Semua resiko ini sudah diperhitungkan sebelum program
imunisasi diluncurkan. Program imunisasi dilaksanakan karena efek
samping (resiko) tersebut jauh lebih kecil dibandingkan manfaat (benefit)
yang didapatkan (risk-benefit analysis).
Adanya kasus KIPI mengancam kepercayaan masyarakat terhadap
program imunisasi. Fase ini sangat berbahaya oleh karena akan
menurunkan cakupan imunisasi. Apabila kasus KIPI dapat diselesaikan
dengan baik, yaitu dengan pelaporan dan pencatatan yang baik,
penanganan kasus KIPI segera, dan konseling yang baik, maka
kepercayaan masyarakat akan program imunisasi timbul kembali.
6.2 Saran
Dilakukan penyuluhan kepada ibu tentang kemungkinan KIPI pada bayi
yang akan diimunisasi
Pemberian penjelasan yang lengkap dan jelas untuk mengingatkan dan
meningkatkan ketelitian petugas imunisasi dalam melakukan penyuntikan
vaksin guna memperkecil kemungkinan terjadinya
Untuk menanggulangi dan meminimalisasi kejadian maupun dampak KIPI
penting dilakukan pemantauan KIPI oleh surveillance secara aktif
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 2005. Pedoman Pemantauan dan Penanggulangan Kejadian Ikutan
Pasca Imunisasi (KIPI). Depkes RI. Jakarta.
Hadinegoro S.R.S. 2002. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. Sari Pediatri Vol. 2,
No 1. Jakarta
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jadwal Imunisasi IDAI 2014 Available from
http://idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-idai-
2014.html
Probandari, A.N., Handayani, S., Laksono, N.J.D.N. 2013. Modul Field Lab
Keterampilan Imunisasi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Available from : http://fk.uns.ac.id/static/filebagian/Imunisasi.pdf .
Ranuh dkk. 2011. Buku Imunisasi di Indonesia. Satgas Imunisasi IDAI. Jakarta