KATA Payung yang diberikan untuk nama bangunan suci ini bukanlah diambil
dari lokasi perbukitan yang menyerupai payung. Akan tetapi, pemberian nama ini sangat
terkait dengan perjalanan suci dari Maharesi suci Danghyang Nirartha atau Danghyang
Dwijendra. Berdasarkan pada lontar perjalanan suci (dharmayatra) Maharesi Danghyang
Dwijendra, disebutkan setelah Maharesi datang ke Pura Luhur Uluwatu dan memberikan
nasihat kepada masyarakat sekitar untuk memanfaatkan dan menjaganya, Danghyang
Nirartha kemudian melakukan perjalanan ke arah timur melalui daerah berbukit.
Ketika tiba di sebuah daerah yang sangat indah dan memiliki vibrasi spiritual
yang kuat, tepatnya di sebelah barat daya Bualu (sekarang Desa Adat Kutuh), Danghyang
Nirartha bersama dengan para pengiringnya beristirahat untuk melepas lelah dan
menikmati indahnya pemandangan yang ada di tempat Beliau berpijak tersebut.
Mendengar kedatangan Maharesi, masyarakat sekitar pun datang berbondong-bondong
mengaturkan sembah dan mohon tuntunan agama kepada beliau. Setelah mendengarkan
keluh-kesah warga dan memberikan tuntunan kepada masyarakat sekitar, maka
Danghyang Nirartha berusaha untuk memenuhi permintaan warga.
Sumber air yang berbentuk bulakan kecil sampai saat ini tetap terawat dan
senantiasa tidak pernah kering meskipun musim kemarau panjang melanda. Air dalam
bulakan inilah yang dalam kesehariannya dimanfaatkan sebagai tirta yang diberikan
kepada setiap umat yang mengaturkan bakti ke Pura Dang Kahyangan Bukit Payung.
Bendesa Adat Kutuh, Kuta Selatan Wayan Litra menuturkan, pura ini diempon
oleh krama Desa Adat Kutuh. Dipercaya oleh masyarakat di sana, Pura Dang Kahyangan
Bukit Payung merupakan sumber kehidupan atau sumber kemakmuran krama
Kutuh.Dipercaya, di pura ini berstana manifestasi Sang Hyang Widhi Wasa yakni Batari
Sri dan Batari Danu yang dicirikan dengan gedong linggih. Pamedek yang tangkil ke pura
khususnya saat piodalan datang dari segala penjuru guna nunas kerahayuan kepada
Beliau.