Anda di halaman 1dari 13

PENGEMBANGAN WILAYAH DENGAN

PENDEKATAN AGROPOLITAN
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada hakekatnya pengembangan merupakan upaya untuk memberi nilai tambah dari apa
yang dimiliki untuk meningkatkan kualitas hidup dan meningkatakan kekayaan. Tetapi bukan
berarti bahwa kekayaan itu tidak relevan. Pengembangan juga merupakan produk belajar,
bukan hasil
produksi; yaini belajar memanfaatkan kemampuan yang dimiliki dan bersandar pada
lingkungan sekitar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pada dasarnya proses pengembangan itu juga merupakan proses belajar. Hasil yang dapat di
peroleh dari proses tersebut, yaitu kualitas hidup meningkat, akan dipengaruhi oleh instrument
yang digunakan. Mengacu pada dasar tersebut maka pengembangan wilayah merupakan upaya
memberdayakan di suatu wilayah, terutama dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan
lingkungan di wilayah tersebut.
Salah satu alternatif pengembangan wilayah yang diharapkan dapat mengatasi dampak
negatif dari suatu pembangunan adalah dengan pengembangan kawasan agropolitan. Dalam
pengembangan, wilayah harus di dasarkan atas keunggulan komparatif lokasi, dengan
demikian produk-produk pertanian yang mempunyai karakteristik khusus serta harus
mempunyai orientasi pengembangan yang lebih baik.

*) Makalah ini dibawakan dalam Forum Seminar 1/Proposal Jurusan Sosial


Ekonomi Fakultas Pertanian Unsrat pada tanggal 6 Juni 2014
**) Mahasiswa Sosial Ekonomi Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian
UNSRAT, dengan Komisi Pembimbing Ir. Juliana R. Mandei, MSi., Dr.Ir Noortje
M. Benu, MS., dan Ir Mex Sondakh, MSi.

Istilah agropolitan telah mengemuka dalam tataran konsep atau teori serta implementasi
kebijakan. Perjalanan pembangunan agropolitan di stimulasi oleh otonomi daerah maupun
program-program pembangunan wilayah antara lain Kawasan Pengembangan Ekonomi
Terpadu, Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan, Kawasan Ekonomi Khusus, kawasan
perbatasan/tertinggal, Minapolitan, atau ekowisata.
Keberhasilan pelaksanaan program pengembangan agropolitan akan memberikan
dampak teknis dan ekonomis secara nyata terhadap pembangunan wilayah, dalam bentuk: (a)
Harmonisasi dan keterkaitan hubungan yang saling menguntungkan antara daerah pedesaan
dan perkotaan; (b) Peningkatan produksi, diversifikasi, dan nilai tambah pengembangan
agribisnis yang dinikmati secara bersama-sama oleh masyarakat dalam kawasan
pengembangan agropolitan; (c) Peningkatan pendapatan, pemerataan kesejahteraan, perbaikan
penanganan lingkungan, dan keberlanjutan pembangunan pertanian dan pedesaan; dan (d)
Dalam konteks regional dan nasional akan terjadi efisiensi pemanfaatan sumberdaya,
peningkatan keunggulan komparatif wilayah, perdagangan antar daerah, dan pemantapan
pelaksanaan desentralisasi pembangunan. (Nasution, 1998 dan Rusastra et al., 2002)

1.2 Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui tentang
pengembangan wilayah dengan melakukan pendekatan agropolitan.

1.2 Manfaat
Manfaat penulisan ini di harapkan memberikan informasi tentang bagaimana
pengembangan wilyah dapat dilakukan dengan pendekatan agropolitan.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Wilayah dan Pusat Pertumbuhan


2.1.1 Konsep Wilayah
Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah
ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang
batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.
Menurut Rustiadi, et al. (2006) wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan
batas-batas spesifik tertentu dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain
saling berinteraksi secara fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik
dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis. Komponen-komponen wilayah mencakup
komponen biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia serta bentukbentuk
kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan
sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu.
Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey, 1977 dalam Rustiadi et al., 2006)
mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu:
(1) wilayah homogen (uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3)
wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Sejalan dengan klasifikasi
tersebut, (Glason, 1974 dalam Tarigan, 2005) berdasarkan fase kemajuan perekonomian
mengklasifikasikan region/wilayah menjadi : 1). fase pertama yaitu wilayah formal yang
berkenaan dengan keseragaman/homogenitas. Wilayah formal adalah suatu wilayah geografik
yang seragam menurut kriteria tertentu, seperti keadaan fisik geografi, ekonomi, sosial dan
politik. 2). fase kedua yaitu wilayah fungsional yang berkenaan dengan koherensi dan
interdependensi fungsional, saling hubungan antar bagian-bagian dalam wilayah tersebut.
Kadang juga disebut wilayah nodal atau polarized region dan terdiri dari satuan-satuan yang
heterogen, seperti desa-kota yang secara fungsional saling berkaitan. 3). fase ketiga yaitu
wilayah perencanaan yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan
ekonomi.
Menurut Saefulhakim, dkk (2002) wilayah adalah satu kesatuan unit geografis yang
antar bagiannya mempunyai keterkaitan secara fungsional. Wilayah berasal dari bahasa Arab
wala-yuwali-wilayah yang mengandung arti dasar saling tolong menolong, saling
berdekatan baik secara geometris maupun similarity. Contohnya: antara supply dan demand,
hulu-hilir. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah
pendelineasian unit geografis berdasarkan kedekatan, kemiripan, atau intensitas hubungan
fungsional (tolong menolong, bantu membantu, lindung melindungi) antara bagian yang satu
dengan bagian yang lainnya. Wilayah Pengembangan adalah pewilayahan untuk tujuan
pengembangan/pembangunan/development. Tujuan-tujuan pembangunan terkait dengan lima
kata kunci, yaitu: (1) pertumbuhan; (2) penguatan keterkaitan; (3) keberimbangan; (4)
kemandirian; dan (5) keberlanjutan.
2.1.2 Wilayah Perencanaan
Sedangkan konsep wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan
kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun non
alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah
perencanaan. Pembangunan merupakan upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk
menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian
aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Sedangkan menurut Anwar (2005),
pembangunan wilayah dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan wilayah yang
mencakup aspek-aspek pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan yang berdimensi lokasi
dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial ekonomi wilayah. Pengertian pembangunan
dalam sejarah dan strateginya telah mengalami evolusi perubahan, mulai dari strategi
pembangunan yang menekankan kepada pertumbuhan ekonomi, kemudian pertumbuhan dan
kesempatan kerja, pertumbuhan dan pemerataan, penekanan kepada kebutuhan dasar (basic
need approach), pertumbuhan dan lingkungan hidup, dan pembangunan yang berkelanjutan.
2.2 Agropolitan
Pengembangan agropolitan, seperti redistribusi tanah, prasarana dan sarana pada
dasarnya memberikan pelayanan perkotaan di kawasan perdesaan sehingga masyarakat petani
tidak perlu pergi ke kota untuk mendapatkan pelayanan yang berkaitan dengan produksi,
pemasaran, sosial budaya dan kehidupan setiap hari (Syahrani, 2001).
Dalam pembangunan perdesaan yang berimbang tidak hanya membentuk suatu permukiman
secara individu tapi juga sangat penting untuk membangun sibiotik generator keterkaitan desa-
kota yaitu melalui pengembangan agropolitan (Prayitno, 2004).
2.2.1 Pengertian Agropolitan
Pendekatan pembangunan perdesaan ditujukan untuk mewujudkan kemandirian
pembangunan perdesaan yang didasarkan pada potensi wilayah itu sendiri, dimana
ketergantungannya dengan perekonomian kota harus bisa diminimalkan. Agropolitan menjadi
relevan dengan wilayah perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan
sumberdaya alam memang merupakan mata pancaharian utama bagi sebagian besar
masyarakat perdesaan. Dari berbagai alternatif model pembangunan, pendekatan agropolitan
dipandang sebagai konsep yang dapat mengatasi permasalahan ketidakseimbangan
perdesaanperkotaan selama ini.
Agropolitan terdiri dari kata agro = pertanian dan politan = kota, sehingga
agropolitan dapat diartikan sebagai kota pertanian atau kota didaerah lahan pertanian
(departemen pertanian, 2002 dalam Pranoto , 2005). Hasan (2003) mengemukakan bahwa
kegiatan kota tani berbasis budidaya pertanian, konservasi sumberdaya alam dan
pengembangan potensi daerah dengan bingkai pembangunan berwawasan lingkungan, yang
merupakan suatu upaya untuk menghindari kesalahan pembangunan masa lalu.
Menurut (Saefulhakim, 2004) Agro bermakna: tanah yang dikelola atau budidaya
tanaman, yang digunakan untuk menunjuk berbagai aktivitas berbasis pertanian. Sedang
polis bermakna a Central Point or Principal. Agro-polis bermakna : lokasi pusat
pelayanan sistim kawasan sentra-sentra aktivitas ekonomi berbasis pertanian.
Kawasan agropolitan adalah kawasan terpilih dari kawasan agribisnis atau sentra produksi
pertanian terpilih dimana pada kawasan tersebut terdapat kota pertanian (agropolis) yang
merupakan pusat pelayanan (Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian, 2003).
2.2.2 Batas Kawasan Agropolitan
Pendekatan pembangunan perdesaan melalui konsep agropolitan dikembangkan oleh
Friedman dan Douglas (1975). Keduanya bahkan menekankan pentingnya pendekatan
agropolitan dalam pengembangkan perdesaan di kawasan Asia dan Afrika. Pendekatan
agropolitan menggambarkan bahwa pembangunan perdesaan secara beriringan dapat
dilakukan dengan pembangunan wilayah perkotaan pada tingkat lokal. Dalam konteks
pengembangan agropolitan terdapat tiga issu utama yang perlu mendapat perhatian, yaitu: (1)
akses terhadap lahan pertanian dan penyediaan pengairan, (2). desentralisasi politik dan
wewenang administrasi dari tingkat pusat dan tingkat lokal, dan (3) perubahan paradigma atau
kebijakan pembangunan nasional untuk lebih mendukung diversifikasi produk pertanian.
Melihat kota-kota sebagai site utama untuk fungsi-fungsi politik dan administrasi, pendekatan
pengembangan agropolitan di banyak negara lebih cocok dilakukan pada skala kabupaten
(Douglass, 1998).
Menurut Friedman dan douglass (1975), tujuan pembangunan agropolitan adalah menciptakan
cities in the field dengan memasukkan beberapa unsur penting dari gaya hidup kota ke dalam
daerah perdesaan yang berpenduduk dengan kepadatan tertentu. Agropolitan distric merupakan
satuan yang tepat untuk membuat suatu kebijaksanaan pembangunan ruang, melalui
desentralisasi perencanaan dan pengambilan keputusan (decentralized). Agropolitan districts
dapat dikembangkan didaerah perdesaan dengan kepadatan penduduk tinggi atau peri-urban
untuk meningkatkan standart hidup , meningkatkan kesempatan bekerja dan mengurangi
tingkat migrasi ke kota (Friedman, 1996).
Selanjutnya Mercado (2002) mengemukakan bahwa gambaran agropolitan adalah sebagai
berikut: (1) skala geografinya relatif kecil; (2) proses perencanaan dan pengambilan keputusan
berdasarkan partisipasi dan aksi koperatif pada tingkat lokal; (3) diversifikasi tenaga lokal
termasuk pertanian dan kegiatan non pertanian; (4) pemanfaatan teknologi dan sumberdaya
lokal; (5) berfungsi sebagai urban-rural industrial.
Dengan skala luasan kabupaten akan memungkinkan hal-hal sebagai berikut
: (1) akses lebih mudah bagi masyarakat untuk menjangkau kota, (2) cukup luas untuk
meningkatkan dan mengembangkan wilayah pertumbuhan ekonomi dan cukup luas dalam
upaya mengembangkan diversifikasi produk dalam rangka mengatasi keterbatasan
pemanfaatan desa sebagai unit ekonomi, dan (3) pengetahuan lokal akan mudah dimanfaatkan
dalam proses perencanaan jika
proses itu dekat dengan rumah tangga dan produsen perdesaan. Pendekatan pembangunan
perdesaan tersebut ditangani oleh berbagai stakeholders secara terpadu sesuai dengan tanggung
jawab masing-masing. Pendekatan pembangunan harus dilakukan secara komprehensip dan
terpadu untuk meningkatkan produktifitas, meningkatkan kualitas hidup penduduk perdesaan
dan meningkatkan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat. Pendekatan pembangunan
tersebut disarankan agar dilaksanakan melalui enam elemen dasar, yaitu: (1) pembangunan
pertanian dengan padat karya (labour intensif), (2) menciptakan lapangan kerja, (3)
membangun industri kecil / industri rumah tangga pada wilayah pertanian, (4) gotong royong
masyarakat setempat dan partisipasi dalam membuat keputusan, (5) mengembangkan hirarki
pembangunan kota untuk mendukung pembangunan perdesaan, dan (6) kelembagaan yang
tepat untuk koordinasi multisektor.

BAB III. PEMBAHASAN


PENGEMBANGAN WILAYAH DAN AGROPOLITAN

3.1 Pengembangan Wilayah


Kegiatan pengembangan wilayah adalah suatu kegiatan yang memiliki dua sifat yaitu sifat
akademis dan sifat birokratis dalam mengelola wilayah. Sifat akademis biasanya menggunakan
istilah seyogyanya dan sifat terapan biasanya menggunakan istilah seharusnya. Dengan
demikian, pendekatan geografi, dalam tulisan ini, dapat digunakan dan dapat pula tidak
digunakan dalam kegiatan pengembangan wilayah tergantung kemauan politis pemegang
kekuasaan. Suatu pendekatan yang sudah dipilih dan diputuskan oleh pengambil keputusan
politis maka harus dilaksanakan oleh para pelaksana di lapangan dan tidak boleh
menggunakan yang lain. Produk politik seperti itu biasa disebut Undang Undang atau berbagai
peraturan lainnya. Tulisan ini mencoba melakukan elaborasi sistim pembangunan yang berlaku
saat ini dengan menggunakan pendekatan geografi.
Berbeda dengan sistim pembangunan pada era orde baru yang bertitik tolak dari GBHN yang
berisi garis besar rencana pembangunan yang ditetapkan oleh MPR, sistim pembangunan pada
era reformasi saat ini bertolak dari Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang berisi
rencana pembangunan (lima tahun) yang disusun oleh Presiden yang dipilih secara langsung
oleh rakyat dan setelah mendapatkan persetujuan dari DPR. Saat ini, pemerintah (pemerintah
pusat) dan pemerintah daerah, dalam melaksanakan pembangunan mengacu pada UU nomor
32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah atau dikenal dengan UU Otonomi Daerah sebagai
amandemen dari UU nomor 22 dan 25 tahun 1999. Di samping itu berbagai UU lainnya seperti
UU nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah, UU nomor 25 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU
nomor 2 tahun 1992 tentang Rencana Tata Ruang, UU nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air dan UU lainnya yang telah mendapatkan persetujuan DPR-RI digunakan sebagai
acuan dalam melaksanakan pembangunan.
Namun demikian pada prakteknya sistim pembangunan saat ini tidak berbeda dengan masa
yang lalu karena masih menggunakan istilah pembangunan sektoral dan pembangunan daerah.
Bidang pembangunan dijabarkan dalam sector, program dan proyek pembangunan. Proyek
merupakan jenjang terrendah dari hirarki istilah dalam pembangunan dan pada tahap ini
pelaksanaannya membutuhkan dana dan tanah. Dan dapat dimengerti, hasil pelaksanaan
dari proyek pembangunan tahap inilah yang akan merubah kualitas lingkungan hidup, apakah
semakin baik atau sebaliknya malah banyak menimbulkan masalah baru bagi masyarakat.
Konsepsi pembangunan wilayah pada dasarnya adalah pembangunan proyek proyek
berdasarkan hasil analisa data spasial (Sandy dalam Kartono, 1989). Karena yang disajikan
adalah fakta spasial maka ketersediaan peta menjadi mutlak diperlukan. Karena keseluruhan
proyek berada di tingkat kabupaten/kota maka pemerintah kabupaten/kota mutlak perlu
menyiapkan peta peta fakta wilayah dalam tema tema yang lengkap. Dalam lingkup pekerjaan
inilah antara lain dituntut peran aktif para ahli geografi.
Pengwilayahan data spasial untuk menetapkan proyek pembangunan disebut wilayah
subyektif, sedang wilayah yang ditetapkan untuk suatu bidang kehidupan sebagai tujuan
pembangunan (penetapan wilayah pembangunan) disebut wilayah obyektif. Implementasi
wilayah pembangunan pada umumnya tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. Produk akhir
dari analisis data spasial disebut wilayah geografik sedang cakupan ruang muka bumi yang
dianalisis disebut area/geomer/daerah.
Saat ini semakin dapat dirasakan bahwa perkembangan suatu daerah tertentu tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh daerah sekitarnya mulai dari daerah tetangga sampai daerah yang
lebih jauh jaraknya bahkan pengaruh dari bagian bumi lainnya. Dampak globalisasi telah
membuktikan hal itu. Oleh karena itu, wilayah sebagai system spasial dalam lingkup kegiatan
pengembangan wilayah merupakan subsistem spasial dalam lingkup yang lebih luas. Sebuah
kabupaten/kota, dalam kegiatan pengembangan wilayah, di samping menganalisis data spasial
kabupaten/kota yang bersangkutan, juga perlu memperhatikan paling tidak bagaimana
perkembangan daerah sekitarnya (interregional planning). Sebuah kabupaten/kota tidak dapat
hidup sendiri dan oleh karena itu perlu mengadakan kerja sama dengan daerah tetangganya.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, suatu proyek pembangunan daerah dilaksanakan
pada tingkat kabupaten/kota sebagai unit terrendah dalam hirarki pembangunan. Proyek terkait
dengan jenisnya dan dananya. Setelah jenis dan dananya disediakan maka tahap berikutnya
adalah menetapkan di bagian mana dari daerah kabupaten/kota proyek tersebut akan
dilaksanakan. Ada beberapa cara untuk menetapkan proyek pembangunan. Cara penetapan
proyek biasanya dilakukan, pada tahap awal, melalui suatu kajian akademis antara lain
berdasarkan pendekatan geografi, pendekatan ekonomi dan lainnya.
Pendekatan geografi dilakukan melalui tahapan penetapan masalah, pengumpulan data dan
analisis data mulai dari kegiatan penyaringan, pengelompokan, klasifikasi data, kegiatan
pengwilayahan, korelasi dan analogi. Oleh karena adanya keragaman berbagai masalah yang
dihadapi masyarakat, berdasarkan kemampuan keuangan pemerintah dan skala waktu
pelaksanaan, disusun skala prioritas proyek.
Hasil korelasi secara spasial (tumpang tindih atau overlay peta wilayah) dapat ditunjukan
masalah apa sebagai prioritas proyek dan di mana lokasi proyek tersebut dilaksanakan. Dalam
pelaksanaanya, pendekatan geografi tidaklah sesederhana itu.
Beberapa cara lain untuk menetapkan proyek pembangunan dapat disebutkan antara lain
dengan menerapkan teori Economic Base, Multiplier Effect yang berkaitan dengan teori input-
output dan penerapan teori lokasi,(Location Theory), teori pusat (Central Place Theory) dan
penerapan teori Kutub Pengembanngan (Growth Pole Theory). .
Teori Lokasi. Paling tidak ada tiga hal yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan
lokasi proyek pembangunan yaitu (1) pengeluaran terrendah (2) jangkauan pemasaran dan (3)
keuntungan tertinggi.
Teory Pusat Pelayanan. Pola ideal yang diharapkan terbentuk, asumsi homogin dalam hal
bentuk medan, kualitas tanah dan tingkat ekonomi penduduk serta budayanya, Christaller
menyajikan bentuk pola pelayanan seperti jejaring segi enam (hexagonal). Bentuk pola
pelayanan hexagonal ini secara teoritis mampu memperoleh optimasi dalam hal efisiensi
transportasi, pemasaran dan administrasi (Haggett, 2001).
Teori Kutub Pertumbuhan. Berbeda dengan Christaller yang berlatar belakang ahli Geografi,
teori Kutub Pertumbuhan diprakarsai dan dikembangankan oleh para ahli ekonomi. Teori ini
melahirkan konsep ekonomi seperti konsep Industri Penggerak (leading industry), konsep
Polarisasi dan konsep penularan (trickle atau spread effect).
Beberapa kelemahan penerapan cara cara di atas dalam penetapan proyek pembangunan
dihadapkan pada factor politis pengambil kebijakan di tingkat kabupaten/kota utamanya pada
era otonomi daerah saat ini, factor ketersediaan dana dan bidang tanah tempat dilaksanakannya
proyek tersebut. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa pendekatan geografi menjadi factor
kunci dalam kegiatan penetapan proyek pembangunan berdasarkan penetapan prioritas secara
tepat.
3.3 Teori-Teori Pengembangan Wilayah :
Secara garis besar, teori perkembangan wilayah di bagi atas 4 (empat) kelompok
yaitu: Kelompok pertamaadalah teori yang memberi penekanan kepada kemakmuran wilayah
(local prosperity). Kelompok kedua menekankan pada sumberdaya lingkungan dan faktor
alam yang dinilai sangat mempengaruhi keberlanjutan sistem kegiatan produksi di suatu daerah
(sustainable production activity). Kelompok ini sering disebut sebagai sangat perduli dengan
pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Kelompok ketiga memberikan
perhatian kepada kelembagaan dan proses pengambilan keputusan di tingkat lokal sehingga
kajian terfokus kepada governance yang bisa bertanggung jawab (resposnsible) dan berkinerja
bagus (good). Kelompok keempat perhatiannya tertuju kepada kesejahteraan masyarakat yang
tinggal di suatu lokasi (people prosperity).
1. Teori Keynes
Teori ini dicetuskan oleh Keynes
Dalam aliran Keynes mengemukakan bahwa karena upah bergerak lamban, sistem kapitalisme
tidak akan secara otomatis menuju keseimbangan penggunaan tenaga secara penuh (full
employment equilibrium). Akibat yang ditimbulkan adalah justru sebaliknya, equilibrium
deemployment yang dapat diperbaiki melalui kebijakan fiskal atau moneter untuk
meningkatkan permintaaan agregat.
2. Teori Neoklasik
Salah satu teori pengembangan wilayah dan kota menyatakan bahwa salah satu pertumbuhan
ekonomi adalah satu proses yang gradual di mana pada satu saat kegiatan manusia semuanya
akan terakumulasi.
3. Teori inter dan intra wilayah oleh Mirdal (Era tahun 1950)
Dalam teori ini terdapat Pengertian backwash effects dan spread effects Backwash effects
contohnya adalah makin bertambahnya permintaan masyarakat suatu wilayah kaya atas hasil-
hasil dari masyarakat miskin berupa bahan makanan pokok seperti beras yang sumbernya dari
pertanian masyarakat wilayah miskin. Sementara Spread effects contohnya adalah makin
berkurangnya kualitas pertanian masyarakat miskin akibat dampak negatif dari polusi yang
disebabkan oleh masyarakat wilayah kaya.
4. Teori Trickle down Effect (Hirschman) EraTahun 1950
Trickle down effects adalah perkembangnan meluasnya pembagian pendapatan. Teori trickle
down effects dari pola pembangunan yang diterapkan di wilayah miskin di negara
berkembang dirasa tidak berhasil memecahkan masalah pengangguran, kemiskinan dan
pembagian pendapatan yang tidak merata, baik di dalam negara berkembang masing maupun
antara negara maju dengan negara berkembang. Misalnya yang terjadi antara negara Indonesia
(dalam hal ini dikategorikan wilayah miskin) dan negara Jepang (wilayah kaya). Indonesia
merupakan salah satu pemasok bahan baku untuk Jepang, sementara kenyataan yang terjadi
Jepang semakin kaya dan Indonesia semakin miskin. Maksudnya, tingkat kemiskinan di
Indonesia lebih tinggi daripada tingkat kemiskinan di Jepang.
5. Teori Tempat Sentral oleh Walter Christaller tahun 1933
Pada tahun 1933, Walter Christaller memusatkan perhatianya terhadap penyebaran
pemukiman, desa dan kota-kota yang berbeda-beda ukuran luasnya. Penyebaran tersebut
kadang-kadang bergerombol atau berkelompok dan kadang-kadang terpisah jauh satu sama
lain. Atas dasar lokasi dan pola penyebaran pemukiman dalam ruang ia mengemukakan teori
yang disebut Teori Tempat Yang Sentral (Central Place Theory) (Nursid Sumaatmadja, 1981).
6. Teori Von Thunen
Membahas tentang perbedaan lokasi dari berbagai kegiatan pertanian atas dasar perbedaan
sewa tanah (pertimbangan ekonomi). Asumsi-asumsi dalam model Von Thunen:
a.Wilayah analisis bersifat terisolir sehingga tidak terdapat pengaruh pasar dari kota lain.
b. Tipe pemukiman adalah padat di pusat wilayah (pusat pasar) dan makin berkurang
kepadatannya apabila menjauhi pusat wilayah.
c. Seluruh fasilitas model memiliki iklim, tanah dan topografi yang seragam.
d. Fasilitas pengangkutan adalah primitif (sesuai pada zamannya) dan relatif seragam.
e. Ongkos ditentukan oleh berat barang yang dibawa kecuali perbedaan jarak ke pasar, semua
f. faktor alamiah yang mempengaruhi penggunaan tanah adalah seragam dan konstan.
7. Teori lokasi biaya minimum oleh Max Weber tahun 1929
Teori ini menganalisis lokasi kegiatan industri. Asumsi-asumsi yang digunakan Weber:
a. Unit telaahan adalah suatu wilayah terisolasi, iklim yang homogen, konsumen terkonsentrasi
pada beberapa pusat, dan kondisi pasar adalah persaingan sempurna.
b.Beberapa sumber daya alam seperti air, pasir dan batu bara tersedia dimana-mana dalam
jumlah yang memadai.
c. Material lainnya seperti bahan bakar mineral dan tambang tersedia secara sporadis dan hanya
terjangkau pada beberapa tempat terbatas.
d. Tenaga kerja tidak tersebar merata tapi berkelompok pada beberapa lokasi dan dengan
mobilitas yang terbatas.
8. Teori lokasi pendekatan pasar (Losch)
Teori ini melihat persoalan dan sisi permintaan (pasar). Lokasi penjual sangat berpengaruh
terhadap jumlah konsumen. Makin jauh dari pasar, konsumen enggan karena biaya transportasi
tinggi.
9. Teori polarization effect dan Trickle down effect (Hirchmant)
Dalam teori ini berpandapat bahwa perkembangan suatu wilayah tidak terjadi secara
bersamaan. Dalam teori ini terdapat system polarisasi perkembangan suatu wilayah yang
kemudian akan memberikan efek ke wilayah lainnya, atau dengan kata lain, suatu wilayah yang
berkembang akan membuat wilayah di sekitarnya akan ikut berkembang.
10. Teori pusat pertumbuhan (Friedman)
Teori ini lebih menekankan pada pembentukan hirarki guna mempermudah pengembangan
system pembangunan dengan asumsi bahwa dengan adanya pusat pertumbuhan akan lebih
memudahkan dan pembangunan akan lebih terencana.
11. Teori dari Ir. Sutami tahun 1970
Beliau berpendapat bahwa pembangunan infrastruktur yang intensif untuk mendukung
pemanfaatan potensi sumber daya alam akan mampu mempercepat pengembangan wilayah.
Era transisi meberikan kontribusi lahirnya konsep hirarki kota-kota dan dan hirarki prasarana
jalan melalui orde kota
12. Teori Kutub Pertumbuhan oleh Perroux tahun 1955
Teori ini dikemukakan oleh Perroux pada tahun 1955, atas dasar pengamatan terhadap proses
pembangunan. Perroux mengakui kenyataan bahwa pembangunan tidak terjadi dimana-mana
secara serentak, tetapi muncul ditempat-tempat tertentu dengan intensitas yang berbeda.

BAB IV. PENUTUP


4.1 Kesimpulan
Pengembangan wilayah merupakan bagian penting dari pembangunan suatu daerah
terutama di perdesaan yang sangat rentan dan berat menghadapi perubahan yang berskala
global. Perubahan ini, jika tidak didukung suatu perencanaan wilayah yang baik dengan
mempertimbangkan aspek internal, sosial dan pertumbuhan ekonomi akan berakibat semakin
bertambahnya desa-desa tertinggal.
Karena pada dasarnya kegiatan pengembangan wilayah diarahkan untuk sebesar besarnya
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, lahir dan batin, argument dari sudut pandang ekonomi,
social budaya dan keamanan tidak dapat diabaikan dalam pengembangan wilayah.

Perkembangan sektor pertanian dengan di dukung infrastruktur dan penunjanggnya


pada gilirannya

Daftar Pustaka
Iqbal, M. dan S. A. Iwan. 2009. Rancang Bangun Sinergi Kebijakan Agropolitan dan
pengembangan ekonomi Lokal Menunjang Percepatan Pembangunan Wilayah. Analisis
kebijakan pertanian.Vol. 7 (2) :160-188.
Nasution, L.I. 1998. Pendekatan Agropolitan Dalam Rangka Penerapan Pembangunan
Wilayah Pedesaan. PWD-FPS IPB, Bogor.
Rusastra, I W., P. Simatupang dan B. Rachman. 2002. Pembangunan Ekonomi Pedesaan
Berbasis Agribisnis. Analisis Kebijakan: Pembangunan Pgunaertanian Andalan Berwawasan
Agribisnis (Editor: T. Sudaryanto, et.al., 2002). Monograph Series No.23. Pusat Penelitian
Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Rustiadi E, Hadi S. 2006. Pengembangan Agropolitan Sebagai Strategi Pembangunan
Pedesaan dan Pembangunan Berimbang, dalam Kawasan Agropolitan Konsep Pembangunan
Desa Kota Berimbang, edisi Buku Kawasan Agropolitan : Konsep Pembangunan Desa Kota
Berimbang, Crestpent Press, P4W-LPPM IPB, Bogor.
Tarigan, R. (2005). Perencanaan PEmbangunan Wilayah. Jakarata: Penerbit Bumi Aksara
Anwar, A. 2005. Ketimpangan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan : Tinjauan Kritis.
P4Wpress. Bogor
Syahrani, H.A.H. 2001. Penerapan Agropolitan dan Agribisnis Dalam Pembangunan Ekonomi
Daerah. Frontir (Universitas Mulawarman). Nomor 33, Maret 2001
Pranoto, S. 2005. Pembangunan Perdesaan Berkelanjutan Melalui Model
Pengembangan Agropolitan. Disertasi Program Sekolah Pascasarjana IPB.
Bogor.
Saefulhakim, dkk. 2002. Studi Penyusunan Wilayah Pengembangan Strategis
(Strategic
Development Regions). IPB dan Bapenas. Bogor

Anda mungkin juga menyukai