Anda di halaman 1dari 54

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)


Jl. Arjuna Utara No.6 Kebun Jeruk -Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM BETHESDA LEMPUYANG WANGI

Nama: Naomi Besitimur Tanda tangan


NIM: 112015288
Dr. Pembimbing : dr. Krisma Kurnia Sp.PD

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. K Jenis kelamin:laki-laki
Umur : 78 tahun Suku bangsa : Jawa
Status perkawinan : Menikah Agama : Islam
Pekerjaan : Pensiunan PNS Pendidikan : SLTP
Alamat : Bausasran No. RM : 547xxx

A. ANAMNESIS
Diambil dari : Autoanamnesis. Tanggal : 18 Juli 2016 Jam. 14.00 WIB
Keluhan utama : Pusing sejak 2 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :


Os mengaku pusing dirasakan sejak 2 hari SMRS, yang disertai dengan sakit kepala dan leher
terasa tegang atau kaku. Os memiliki riwayat tekanan darah tinggi sejak 5 terakhir dan sudah 1 bulan
ini tidak minum obat rutin yaitu amlodipin 10 mg.
Os mengaku batuk sejak 1 minggu yang lalu. Batuk disertai dahak dan berwarna putih tidak
disertai darah. Os merasakan nyeri pada tenggorokan dan tidak mengganggu makan dan minumnya.
Os juga mengaku sesak napas sejak 1 minggu SMRS. Sesak dirasakan tidak terlalu berat. Os
mengatakan terbangun karena sesak napas yang berat dan mengganggu tidur malam hari, sementara
untuk tidur os lebih nyaman menggunakan 2 bantal. Pasien juga mengeluh nyeri dada kiri saat
aktivitas berat. Pada 3 bulan terakhir os mengaku BAK sangat sedikit walaupun disertai dengan
kebiasan minum yang cukup yaitu 8 gelas per hari. Sejak dirawat di RS os mengeluh sakit didaerah
kemaluan saat BAK disebabkan karena penggunaan selang kateter, dan yang dikeluhkan yakni nyeri
saat BAK. BAK tidak disertai darah.
Os adalah perokok berat dan telah merokok sejak umur 20 tahun yang lalu. Karena ada
keluhan batuk dan sesak napas yang dirasakan 5 tahun yang lalu, maka os telah berhenti merokok
sejak keluhan dirasakan.
Os pernah dirawat 5 tahun yang lalu di RS, karena adanya keluhan sesak napas, dan
disampaikan oleh dokter bahwa penyakitnya adalah pembengkakan jantung. Keluhan yang dirasakan 5
tahun lalu adalah sesak napas, memberat dengan aktivitas, disertai nyeri dada kiri. Saat ini os disertai
bengkak di kaki, pusing(+), mual(-), muntah(-), keringat malam hari (-), BAK dan BAB dalam batas

1
normal, riwayat penyakit asma disangkal, tidak ada nyeri ketok ginjal dan tidak ada nyeri pinggang,
riwayat penyakit kencing manis disangkal.

Penyakit Dahulu
( - ) Cacar ( - ) Malaria ( - ) Batu ginjal/saluran kemih
( - ) Cacar air ( -) Disentri ( - ) Burut (Hernia)
( - ) Difteri ( -) Hepatitis B ( - ) Penyakit prostat
( - ) Batuk rejan ( -) Tifus abdominalis ( - ) Wasir
( -) Campak ( - ) Skirofula ( - ) Diabetes
( -) Influenza ( - ) Sifilis ( - ) Alergi
( - ) Tonsilitis ( - ) Gonore ( - ) Tumor
( - ) Khorea ( +) Hipertensi ( - ) Penyakit pembuluh
( - ) Demam rematik akut ( - ) Ulkus ventrikuli ( - ) Perdarahan otak
( - ) Pneumonia ( - ) Ulkus duodeni ( - ) Psikosis
( - ) Pleuritis ( - ) Gastritis ( - ) Neurosis
( - ) Tuberkulosis ( - ) Batu empedu
Lain-lain: ( - ) Operasi ( - ) Kecelakaan
Riwayat Keluarga
Keadaan Penyebab
Hubungan Umur (Tahun) Jenis Kelamin
Kesehatan Meninggal
Tidak diketahui Laki-laki
Kakek(Ayah) Meninggal Tidak diketahui
Tidak diketahui Perempuan
Nenek Meninggal Tidak diketahui

Ayah Tidak diketahui Laki-laki Meninggal Sakit


Ibu Tidak diketahui Perempuan Meninggal Sakit

Saudara (1) 70 tahun Perempuan sehat


Anak 43 tahun Perempuan Sehat

Adakah Kerabat yang Menderita ?


Penyakit Ya Tidak Hubungan
Alergi - +
Asma - +
Lambung - +
Tuberkulosis - +
Hipertensi - +
Diabetes - +
Kejang Demam - +
Epilepsi - +

2
ANAMNESIS SISTEM

Kulit
( - ) Bisul ( - ) Rambut ( - ) Keringat malam
( -) Kuku ( - ) Kuning / Ikterus ( - ) Sianosis
( - ) Lain-lain

Kepala
( - ) Trauma ( + ) Sakit kepala
( - ) Sinkop ( - ) Nyeri pada sinus

Mata
( - ) Nyeri ( - ) Radang
( - ) Sekret ( - ) Gangguan penglihatan
( -) Kuning/Ikterik ( - ) Ketajaman penglihatan

Telinga
( - ) Nyeri ( - ) Gangguan pendengaran
( - ) Sekret ( - ) Kehilangan pendengaran
( - ) Tinitus

Hidung
( - ) Trauma ( - ) Gejala penyumbatan
( - ) Nyeri ( - ) Gangguan penciuman
( - ) Sekret ( - ) Pilek
( - ) Epistaksis

Mulut
( - ) Bibir ( -) Lidah kotor
( - ) Gusi ( - ) Gangguan pengecap
( - ) Selaput ( - ) Stomatitis

Tenggorokan
( + ) Nyeri tenggorokan ( - ) Perubahan suara

Leher
( - ) Benjolan ( - ) Nyeri leher

Dada (Jantung/Paru)
( + ) Nyeri dada ( +) Sesak napas

3
( -) Berdebar ( - ) Batuk darah
( + ) Ortopnoe ( + ) Batuk

Abdomen (Lambung/Usus)
( -) Rasa kembung ( - ) Wasir ( -) Perut membesar
( -) Mual ( - ) Mencret
( - ) Muntah ( - ) Tinja darah
( - ) Muntah darah ( - ) Tinja berwarna dempul
( - ) Sukar menelan ( -) Tinja berwarna ter
( -) Nyeri perut ( - ) Benjolan

Saluran Kemih / Alat kelamin


( - ) Disuria ( - ) Kencing nanah
( - ) Stranguria ( - ) Kolik
( - ) Polliuria ( - ) Oliguria
( - ) Polakisuria ( - ) Anuria
( - ) Hematuria ( -) Retensi urin
( - ) Kencing batu ( - ) Kencing menetes
( - ) Ngompol (tidak disadari) ( - ) Penyakit Prostat

Saraf dan Otot


( - ) Anestesi ( - ) Sukar mengingat
( - ) Parestesi ( - ) Ataksia
( - ) Otot lemah ( - ) Hipoesthesi/hiperesthesi
( - ) Kejang ( - ) Pingsan
( - ) Afasia ( - ) Kedutan (Tick)
( - ) Amnesia ( - ) Pusing (vertigo)
( - ) Lain-lain ( - ) Gangguan bicara (Disartri)

Ekstremitas
( +) Bengkak ( - ) Deformitas
( - ) Nyeri sendi ( - ) Sianosis
Berat Badan :
Berat badan rata-rata (kg) : Tidak diketahui
Berat tertinggi kapan (kg) : Tidak diketahui
Berat badan sekarang : 60 Kg

(bila pasien tidak tahu dengan pasti)

4
(+) Tetap ( ) Turun ( )Naik

RIWAYAT HIDUP

Riwayat Kelahiran
Tempat Lahir : (+) di rumah () Rumah Bersalin ( -) R.S Bersalin
Ditolong oleh : ( ) Dokter ( -) Bidan (+) Dukun ( ) lain - lain

Riwayat Imunisasi
(-) Hepatitis (-) BCG (-) Campak (-) DPT (-) Polio (-) Tetanus

Riwayat Makanan
Frekuensi / Hari: 3x/ hari
Jumlah /kali : 1 piring
Nafsu makan : baik

Pendidikan
(- ) SD (+) SLTP (-) SLTA ( ) Sekolah Kejuruan
( ) Akademi (-) Universitas ( ) Kursus () Tidak sekolah

Kesulitan
Keuangan : tidak ada
Pekerjaan : tidak ada
Keluarga : tidak ada
Lain lain : baik

B. PEMERIKSAAN JASMANI
Pemeriksaan Umum
Tinggi Badan : 155 cm
Berat Badan :60 kg
Keadaan Umum : sakit sedang
Tekanan Darah : 200/130 mmHg
Nadi : 91 kali/ menit
Suhu : 37,7 C
Pernafasaan(frekuensi dan tipe) : 28 kali/ menit, reguler, abdominalthorakal
Keadaan gizi : overweight, dengan IMT 24,97 kg/m2

5
Lingkar perut 92 cm
Kesadaran :compos mentis
Sianosis : tidak ada
Habitus : normal
Mobilitas (aktif /pasif ) : aktif

Aspek Kejiwaan
Tingkah Laku : wajar/gelisah/tenang/hipoaktif/hiperaktif
Alam Perasaan : biasa/sedih/gembira/cemas/takut/marah
Proses Pikir : wajar/cepat/gangguan waham/fobia/obsesi

Kulit
Warna : sawo matang Effloresensi :(-)
Jaringan parut : (-) Pigmentasi : merata
Pertumbuhan rambut : merata Pembuluh darah : tidak ada pelebaran
Suhu raba : hangat Lembab/kering : lembab
Keringat : umum Turgor :normal
Lapisan lemak : tebal Ikterus : (-)
Lain-lain : (-) Edema : (-)

Kelenjar Getah Bening


Submandibula : tidak teraba Leher : tidak teraba
Supraklavikula : tidak teraba Ketiak : tidak teraba
Lipat paha : tidak teraba

Kepala
Ekspresi wajah : biasa Simetri muka : simetri
Rambut : hitam Pembuluh darah temporal : teraba

Mata
Exophthalmus : ( - ) Enopthalmus :(-)
Kelopak : normal Lensa : jernih
Konjungtiva : anemis (-/-) Visus : normal
Sklera : ikterik (-/-) Gerakan mata :(N)
Lapangan penglihatan : N Tekanan bola mata :(N)
Deviatio konjungae :(-) Nystagmus :(-)

Telinga
Tuli :(-) Selaput pendengaran : utuh

6
Lubang : normal, lapang Penyumbatan :(-)
Serumen : ( - ) Perdarahan :(-)
Cairan :(-)

Mulut
Bibir : normal Tonsil : T1 T1 tidak hiperemis
Langit-langit : normal Bau pernapasan: tidak tercium
Gigi geligi : karies (-) Trismus: ( - )
Faring : tidak hiperemis Selaput lendir : N
Lidah : kotor

Leher
Tekanan vena jugularis (JVP) : 5 +3 cmH2O
Kelenjar tiroid : tidak teraba
Kelenjar limfe : tidak teraba
Deviasi trachea : ( - )

Dada
Bentuk : Normal, simetris.
Spider naevi : negatif
Pembuluh darah : Tidak terlihat
Buah dada : Normal, tidak membesar

Paru-paru
Depan Belakang
Inspeksi KiriSimetris Simetris
Kanan Simetris Simetris
Palpasi Kiri Benjolan (-), nyeri tekan (-) Benjolan (-), nyeri tekan (-)
Fremitus taktil simetris Fremitus taktil simetris
Kanan Benjolan (-), nyeri tekan (-) Benjolan (-), nyeri tekan (-)
Fremitus taktil simetris Fremitus taktil simetris
Perkusi Kiri hipersonor semua lapang paru hipersonor semua lapang paru
Kanan hipersonor semua lapang paru hipersonor semua lapang paru
Auskultasi Kiri Ronki(+) di basal, Wheezing (-) Ronki(+) di basal, Wheezing (-)
Kanan Ronki(+) di basal, Wheezing (-) Ronki(+) di basal, Wheezing (-)

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis terlihat
Palpasi : teraba ictus cordis, di ICS Iv2 jari lateral linea midclavicula sinistra, kuat angkat

7
Perkusi : Batas atas : ICS II, linea parasternalis sinistra.
Batas kiri : ICS IV, 2 jari lateral midklavikularis sinistra.
Batas kanan : ICS IV, linea parasternalis dextra.
Auskultasi : BJ I-II reguler murni, murmur (-), gallop (-)

Pembuluh darah
Arteri Temporalis :teraba pulsasi
Arteri Karotis :teraba pulsasi
Arteri Brakhialis :teraba pulsasi
Arteri Radialis :teraba pulsasi
Arteri Femoralis : teraba pulsasi
Arteri Poplitea : teraba pulsasi
Arteri Tibialis Posterior :teraba pulsasi
Arteri Dorsalis Pedis :teraba pulsasi

Perut
Inspeksi :Bentuk perut buncit, (membesar), tidak tampak distensi, pembuluh darah (),
caput medusa (-), spider naevi (-).
Auskultasi : Bising usus normal
Palpasi : Dinding perut : supel, nyeri tekan (-)
Hati : tidak teraba
Limpa : tidak teraba
Ginjal :tidak teraba, ballotement ( - ), CVA - / -
Lain-lain :-
Perkusi :Shifting dullness (-)

Alat kelamin (atas indikasi)


Alat Kelamin
Laki-laki
Penis : tidak diperiksa
Skrotum : tidak diperiksa
Testis : tidak diperiksa

Anggota gerak
Lengan
Kanan Kiri
Otot :
Tonus : Normotonus Normotonus

8
Massa : Normal Normal
Sendi : Normal Normal
Gerakan : Aktif Aktif
Kekuatan : +5 +5
Edema : - -
Lain-lain : - -

Tungkai dan kaki


Kanan Kiri
Luka : - -
Varises : - -
Otot (tonus dan massa) : Normal Normal
Sendi : Normal Normal
Gerakan : Aktif Aktif
Kekuatan : +5 +5
Edema : + +
Lain-lain : - -

Refleks
Kanan Kiri
Refleks Tendon + +
Bisep + +
Trisep + +
Patela + +
Achiles + +
Refleks patologis - -

LABORATORIUM & PEMERIKSAAN PENUNJANG LAINNYA


Pemeriksaan Laboratorium tanggal 16 Juli 2016
HEMATOLOGI
Nilai rujukan
Hemoglobin (Hb) : 13,5 g/dL 14-18 g/dL
Hematokrit (Ht) : 44% 42-52 %
Eritrosit : 4,55 juta/mm3 4,5-5,5 juta/mm3
Leukosit : 6000/ uL 4000-10000/uL
Trombosit : 212000/uL 150000-450000/uL
MCV : 86,5 79,0-99,0
MCH : 30,0 27,0-31,0
MCHC : 34,7 33,0-37,0

9
Laboratorium lain
Ureum : 33,4
Kreatinin : 1,54
Asam urat: 8,8
Kalium: 3,8

Hasil rontgen dan EKG

Rontgen:

Corakan bronkovaskular kasar

Susp post bronchitis

Kardiomegali ringan RVH

EKG:
Gelombang R yang dominan pada V1 dan V2 (>7 mm/rasio gelombang R/S >1)
Gelombang S yang dalam pada V5 dan V6
Pelebarang kompleks QRS (umumnya <0,12)
Depresi segmen ST dan inversi gelombang T atau biasa dikenal dengan strain
pattern pada lead V1, V2 dan II, III, aVF
Right axis deviation
Kadang ditemukan Right Atrial Enlargement dan Right Bundle Branch Block yang
inkomplit

10
RESUME
Seorang laki-laki berusia 78 tahun mengeluh pusing 2 hari yang lalu, disertai sakit kepala dan
tegang pada otot leher. Os batuk 1 minggu yang lalu. Os mengeluh batuk disertai dahak berwarna
putih dan disertai nyeri tenggorokan. Os mengaku sesak napas dirasakan sejak 1 minggu lalu. Sesak
menyebabkan pasien sering terbangun malam hari dan sering kambuh pada saat aktivitas berat. Os
tidur lebih nyaman jika menggunakan 2 bantal. Os mempunyai riwayat penyakit jantung 5 tahun lalu,
riwayat hipertensi dan riwayat merokok 20 tahun lalu.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan pada auskultasi paru-paru ronki +/+ di basal, wheezing -/-,
pada jantung didapatkan kardiomegali, hipertensi. Hasil pemeriksaan penunjang didapatkan rontgen
thorax kardiomegali RVH.

Diagnosa kerja dan Dasar Diagnosis kerja


1. Diagnosis Kerja
Hipertensi Emergency
PPOK (penyakit paru obstruktif kronis)
CHF (chronic heart failure)
CKD (chronic kidney disease)

Dasar diagnosis

Hipertensi emergency :
Anamnesis: riwayat hipertensi, pusing, terasa tegang dileher
Pemeriksaan fisik: Tekanan darah 200/130mmHg

PPOK :
Anamnesis: sesak napas, batuk produktif, riwayat merokok
Pemeriksaan fisik: hipersonor semua lapang paru, retraksi sela iga +/+
Pemeriksaan penunjang: rontgen thorax, corakan bronkovaskular meningkat, susp post bronchitis
CHF of II :
Anamnesis: paroxysmal nocturnal dispnea, ortopnoe, sesak napas saat aktivitas berat, pitting edema
Pemeriksaan fisik: peningkatan tekanan vena jugularis, takikardia, kardiomegali
Pemeriksaan penunjang: rontgen thorax, kardiomegali ringan RVH

CKD:
Anamnesis: riwayat oliguri selama 3 bulan terakhir, mual (-), muntah(-)
Pemeriksaan fisik: konjungtiva anemis+/+, hipertensi
Pemeriksaan penunjang: kreatitin 1,54 eGfr 43 kategori CKD G3b

11
Diagnosa Diferensial dan Dasar Diagnosis Diferensial
1. Asma Bronkhial
Dasar yang mendukung:
Anamnesis: Sesak napas, batuk, riwayat alergi
Pemeriksaan fisik: mengi, wheezing +
2. Nefropati urat
Dasar yang mendukung:
Anamnesis: tidak didapatkan klinis
Pemeriksaan penunjang: asam urat 8,8

Pemeriksaan yang dianjurkan


Darah (leukosit, hemoglobin, hematokrit, trombosit)
EKG
Spirometri
Rontgen thoraks

Rencana Pengelolaan
Non farmakologi
a. Berikan O2 nasal 3 L
b. Batasi pemberian cairan harian disesuaikan dengan urin output
Farmakologi

Herbesser drip 5-15mcg/menit/kgBB


PCT 3x500 mg
Amoxicillin 4x250 mg
Nebul combiven Flexotide
Aspilet 1x8 mg
Clopidogrel 1x75 mg
Amlodipin 1x10mg
Losartan 1x50mg
Furosemid 1 amp
Asam folat 1x1 mg
CaCo3 3x250mg
Pantoprazole 1x1 amp

12
Non Medika Mentosa
Bed rest
Diet rendah protein, rendah garam, diet rendah kalium, hentikan merokok

Edukasi: diet rendah garam, diet rendah protein, kurangi BB, kurangi minum dan tampung urin,
menghentikan rokok.

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

FOLLOW UP
17 juli 2016
S:pusing dan nyeri kepala, leher terasa tegang, batuk dahak berwarna putih, sesak napas, nyeri dada
(-)
O: Keadaan umum: TSS
Tekanan Darah: 200/130 mmHg, Nadi: 91x/menit, Nafas: 28x/menit, Suhu: 36,7oC
Paru: Ronki (+/+), Wheezing (-/-)
A: Hipertensi emergency + PPOK + CHF + CKD
P:
Herbesser 5-15mcg/menit/kgBB
PCT 3x500 mg
Nebul combiven Flexotide
Aspilet 1x8 mg
Clopidogrel 1x75 mg
Amoxicillin 4x250 mg
Amlodipin 1x10mg
Losartan 1x50mg
Furosemid 1 amp
Asam folat 1x1 mg
CaCo3 3x250mg
Pantoprazole 1x1 amp

lab: leukosit: 6,11 GDS: 84 mg/dL


Eritrosit: 4,75

13
Hb : 13,4
Ht : 40,3

18 Juli 2016
S: batuk, tenggorokan nyeri, sesak masih dirasakan
O: Keadaan Umum: TSS
Tekanan Darah: 120/70, Nadi: 98x/menit, Nafas: 22 x/menit, Suhu: 38,7oC
Paru: Ronki (+/+), Wheezing (-/-)
A: Hipertensi emergency + PPOK + CHF + CKD
P: Terapi lanjutkan

19 Juli 2016
S: batuk sedikit berkurang, nyeri BAK
O: Keadaan Umum: TSS
Tekanan Darah: 140/80, Nadi: 80x/menit, Nafas: 22 x/menit, Suhu: 36,7oC
Paru: Ronki (+/+), Wheezing (-/-)
A: Hipertensi emergency + PPOK + CHF + CKD
P: Terapi lanjutkan

20 Juli 2016
S: Sesak membaik, masih batuk
O: Keadaan Umum: TSS
Tekanan Darah: 130/70, Nadi: 79x/menit, Nafas: 20 x/menit, Suhu: 36,5oC
Paru: Ronki (+/+), Wheezing (-/-)
A: Hipertensi emergency + PPOK + CHF + CKD
P: Terapi lanjutkan

21 Juli 2016
S: Sesak (-), batuk berkurang
O: Keadaan Umum: TSS
Tekanan Darah: 130/70, Nadi: 84x/menit, Nafas: 20 x/menit, Suhu: 36,6oC
Paru: Ronki (+/+), Wheezing (-/-)
A: Hipertensi emergency + PPOK + CHF + CKD
P: Terapi lanjutkan

14
Definisi Hipertensi
Krisis hipertensi merupakan keadaan klinis dimana tekanan darah meningkat secara progresif
melebihi tekanan diastolik 120 mmHg dengan atau tanpa ancaman kerusakan organ target.
Dikelompokan dalam urgensi dan emergensi atas dasar adanya kerusakan organ target yang
karakteristik pada hipertensi emergensi dan belum terdapat kerusakan organ target pada urgensi.
Sebagian besar keadaan ini dapat dicegah, umumnya disebabkan oleh karena pengobatan hipertensi
yang tidak adekuat.

Hipertensi emergensi adalah peningkatan tekanan darah secara progresif yang disertai kerusakan
organ target dan dalam penanganannya memerlukan penurunan tekanan darah dalam beberapa menit
untuk mencegah berlanjutnya kerusakan organ target tersebut. Keadaan klinis berupa ensefalopati
hipertensif, perdarahan intra-cranial,stroke, angina pectoris tak stabil atau infark miokard akut, payah
jantung kiri dengan edema paru, aneurisma aorta disekan, krisis adrenal, epistaksis yang hebat,
eklampsia.
Hipertensi urgensi adalah peningkatan tekanan darah tanpa adanya kerusakan organ target dan
dalam penaganannya memerlukan penurunan tekanan darah dalam beberapa jam. Keadaan klinis
berupa edema papil akut, sakit kepala yang hebat (severe headache), sesak nafas, pedal edema.
Peningkatan tekanan darah semata (asymptomatic chronic hypertension)tidak merupakan krisis
hipertensi.

Secara praktis krisis hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan perioritas pengobatan, sebagai
berikut :
1. Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD sistolik 180 mmHg dan Diastolik > 120
mmHg, disertai kerusakan berat dari organ sasaran yag disebabkan oleh satu atau lebih
penyakit/kondisi akut . Keterlambatan pengobatan akanmenyebebabkan timbulnya sequele
atau kematian. TD harus diturunkan sampai batas tertentu dalam satu sampai beberapa jam.
Penderita perlu dirawat di ruangan intensive care unit atau (ICU).
2. Hipertensi urgensi (mendesak), TD sistolik 180 dan diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa
kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan dalam 24 jam sampai
batas yang aman memerlukan terapi parenteral.

Krisis hipertensi sering diperkirakan karena masalah sekunder dari keadaan lain, ternyata penyebab
yang tersering adalah tidak adekuatnya pengobatan hipertensi sebelumnya, penyebab lain adalah
hipertensi reno-vaskular, hipertensi reno-parenkim, feokromositoma, hiperaldosteronisme primer .

15
Terjadinya akibat peningkatan secara mendadak resistensi perifer sistemik (systemic vascular
resistance) yang disebabkan oleh terjadinya peningkatan hormone vasokonstriktor sistemik
( angiotensin II, vasopressin, norepinephrin )
Organ yang terlibat karena hipertensi :
Susunan saraf pusat (memiliki peranan autoregulasi )
Ginjal ( punya peranan autoregulasi )
Jantung
Pankreas dan usus

Pendekatan
Bedakan apakah hipertensi emergensi atau urgensi dengan menilai adanya kerusakan
organ target, telusuri riwayat penyakit sebelumnya, adakah hipertensi serta
pengobatannya, penyakit ginjal dan jantung serta kelainan neurology, pemeriksaan fisik
tekanan darah dalam beberapa kali pengukuran, pemeriksaan funduskopi dapat
membedakan keadaan urgensi bila tak ada kelainan pada pembuluh darah retina, tidak ada
spasme maupun eksudat sedangkan pada hipertensi emergensi dijumpai papil edema dan
eksudasi yang berat, pemeriksaan jantung dan aorta , pemeriksaan neurologist.
Tes laboratorium meliputi test terhadap proteinuria, hematuria, darah perifer, faal ginjal
berupa elektrolit dan BUN/SC .
Foto thorak diperlukan untuk mencari kardiomegali atau edema paru.
EKG untuk evaluasi kardiologi

PENANGGULANGAN HIPERTENSI EMERGENSI :

Bila diagnosa hipertensi emergensi telah ditegakkan maka TD perlu segera diturunkan. Langkah-
langkah yang perlu diambil adalah :
Rawat di ICU, pasang femoral intraarterial line dan pulmonari arterial catether (bila ada
indikasi ). Untuk menentukan fungsi kordiopulmonair dan status volume intravaskuler.
Anamnese singkat dan pemeriksaan fisik. - tentukan penyebab krisis hipertensi - singkirkan
penyakit lain yang menyerupai krisis HT - tentukan adanya kerusakan organ sasaran
Tentukan TD yang diinginkan didasari dari lamanya tingginya TD sebelumnya, cepatnya
kenaikan dan keparahan hipertensi, masalah klinis yang menyertai dan usia pasien.
penurunan TD diastolik tidak kurang dari 100 mmHg, TD sistolik tidak kurang dari 160
mmHg, ataupun MAP tidak kurang dari 120 mmHg selama 48 jam pertama, kecuali pada
krisis hipertensi tertentu ( misal : disecting aortic aneurysm ).
Penurunan TD tidak lebih dari 25% dari MAP ataupun TD yang didapat.
Penurunan TD secara akut ke TD normal / subnormal pada awal pengobatan dapat
menyebabkan berkurangnya perfusike ke otak, jantung dan ginjal dan hal ini harus dihindari

16
pada beberapa hari permulaan, kecuali pada keadaan tertentu, misal : dissecting anneurysma
aorta.
TD secara bertahap diusahakan mencapai normal dalam satu atau dua minggu. Pemakaian
obat-obat untuk krisis hipertensi

Obat anti hipertensi oral atau parenteral yang digunakan pada krisis hipertensi tergantung dari
apakah pasien dengan hipertensi emergensi atau urgensi.
Jika hipertensi emergensi dan disertai dengan kerusakan organ sasaran maka penderita dirawat
diruangan intensive care unit, ( ICU ) dan diberi salah satu dari obat anti hipertensi intravena ( IV ).
1. Sodium Nitroprusside : merupakan vasodelator direkuat baik arterial maupun venous. Secara i. V
mempunyai onsep of action yang cepat yaitu : 1 2 dosis 1 6 ug / kg / menit. Efek samping : mual,
muntah, keringat, foto sensitif, hipotensi.
2. Nitroglycerini : merupakan vasodilator vena pada dosis rendah tetapi bila dengan dosis tinggi
sebagai vasodilator arteri dan vena. Onset of action 2 5 menit, duration of action 3 5 menit. Dosis :
5 100 ug / menit, secara infus i. V. Efek samping : sakit kepala, mual, muntah, hipotensi.
3. Diazolxide : merupakan vasodilator arteri direk yang kuat diberikan secara i. V bolus. Onset of
action 1 2 menit, efek puncak pada 3 5 menit, duration of action 4 12 jam. Dosis permulaan : 50
mg bolus, dapat diulang dengan 25 75 mg setiap 5 menit sampai TD yang diinginkan. Efek
samping : hipotensi dan shock, mual, muntah, distensi abdomen, hiperuricemia, aritmia, dll.
4. Hydralazine : merupakan vasodilator direk arteri. Onset of action : oral 0,5 1 jam, i.v : 10 20
menit duration of action : 6 12 jam. Dosis : 10 20 mg i.v bolus : 10 40 mg i.m Pemberiannya
bersama dengan alpha agonist central ataupun Beta Blocker untuk mengurangi refleks takhikardi dan
diuretik untuk mengurangi volume intravaskular. Efeksamping : refleks takhikardi, meningkatkan
stroke volume dan cardiac out put, eksaserbasi angina, MCI akut dll.
5. Enalapriat : merupakan vasodelator golongan ACE inhibitor. Onsep on action 15 60 menit. Dosis
0,625 1,25 mg tiap 6 jam i.v.
6. Labetalol : termasuk golongan beta dan alpha blocking agent. Dosis : 20 80 mg secara i.v. bolus
setiap 10 menit ; 2 mg / menit secara infus i.v. Onset of action 5 10 menit Efek samping : hipotensi
orthostatik, somnolen, hoyong, sakit kepala, bradikardi, dll. Juga tersedia dalam bentuk oral dengan
onset of action 2 jam, duration of action 10 jam dan efek samping hipotensi, respons unpredictable dan
komplikasi lebih sering dijumpai.
7. Methyldopa : termasuk golongan alpha agonist sentral dan menekan sistem syaraf simpatis. Dosis :
250 500 mg secara infus i.v / 6 jam. Onset of action : 30 60 menit, duration of action kira-kira 12
jam. 2004 Digitized by USU digital library 3 Efek samping : Coombs test ( + ) demam, gangguan
gastrointestino, with drawal sindrome dll. Karena onset of actionnya bisa takterduga dan kasiatnya
tidak konsisten, obat ini kurang disukai untuk terapi awal.

17
8.Clonidine : termasuk golongan alpha agonist sentral. Dosis : 0,15 mg i.v pelan-pelan dalam 10 cc
dekstrose 5% atau i.m.150 ug dalam 100 cc dekstrose dengan titrasi dosis. Onset of action 5 10 menit
dan mencapai maksimal setelah 1 jam atau beberapa jam. Efek samping : rasa ngantuk, sedasi,
hoyong, mulut kering, rasa sakit pada parotis. Bila dihentikan secara tiba-tiba dapat menimbulkan
sindroma putus obat.

Penatalaksanaan
Non Farmakologis

Penatalaksanaan non farmakologis sering sebagai pelengkap penatalaksanaan farmakologis,


selain pemberian obat-obatan antihipertensi perlu terapi dietetik dan merubah gaya hidup.

1. Olahraga, karena olahraga menurunkan tekanan darah dengan menurunkan kecepatan denyut
jantung istirahat dan mungkin TR. Olahraga meningkatkan kadar HDL yang dapat mengurangi
timbulnya hipertensi yang terkait aterosklerosis.
2. Teknik relaksasi, dapat mengurangi denyut jantung dan TPR dengan cara menghambat respon
stress ssaraf simpatis.
3. Berhenti merokok jika klien perokok, untuk mengurangi efek jangka panjang hipertensi
karena asap rokok yang dapat meningkatkan kerja jantung.
4. Pasien dan keluarga dengan riwayat hioertensi diberikan nasihat nonfarmakologi.
5. Penatalaksanaan diet
Tujuan dari penatalaksanaan diet :
a. Membantu menurunkan tekanan darah secara bertahap dan mempertahankan tekanan
darah menuju normal.
b. Mampu menurunkan tekanan darah secara multifaktoral
c. Menurunkan faktor risiko lain seperti BB berlebih, tingginya kadar asam lemak,
kolesterol dalam darah.

d. Mendukung pengobatan penyakit penyerta seperti penyakit ginjal, dan DM.

Prinsip diet penatalaksanaan hipertensi :


a. Makanan beraneka ragam dan gizi seimbang

b. Jenis dan komposisi makanan disesuaikan dengan kondisi penderita

c. Jumlah garam dibatasi sesuai dengan kesehatan penderita dan jenis makanan dalam daftar
diet. Konsumsi garam dapur tidak lebih dari - sendok teh/hari atau dapat
menggunakan garam lain diluar natrium.
d. Meningkatkan konsumsi buah dan sayur

18
Farmakologis
Tujuan terapi medis atau obat adalah penggunaan obat secara tunggal atau secara kombinasiuntuk
mengembalikan tekanan darah arteri ke level normal dengan efek samping sekecil mungkin. Sebagian
besar pasien awalnyaa diobati dengan satu obat saja. Jika digunakan secara kombinasi, maka obat
dipilih untuk lokasi yang berbeda. Untuk pasien dengan hipertensi berat memerlukan terapi intensif
dengan sejumlah agen bersamaan.

1. Diuretik Tiazid

Terapi diuretik meningkatkan antihipertensif sebagian besar obat antihipertensi. Tiazid


menghambat reabsorpsi sodium atau natrium dan penurunan volume plasma yang disebabkan
refleks peningkatan sekresi renin dan aldosteron. Mekanisme munculnya efek ini karena agen-
agen antihipertensi menstimulasi reabsorpsi sodium oleh tubulus ginjal sehingga volume
cairan ekstraseluler meningkat. Diuretik dapat mengganggu reabsorpsi sodium, menurunkan
volume cairan ekstraseluler dan memperkuat efek obat anihipertensi. Pada saat yang sama
penurunan volume cairan ekstraseluler dapat mengaktifkan jalur neurohemoral, khususnya
sistem renin angiotensin, sehingga menyebabkan vasokontriksi dan peningkatan resistansi
vaskular sistemis sehingga daya pompa jantung menjadi lebih ringan.
Efek samping obat ini antara lain : Peningkatan eksresi urin oleh diuretik tiazid dapat
mengakibatkan hipokalemia, hiponatriemi, dan hipomagnesiemi, reaksi alergi berupa ruam
kulit, vaskulitis kelemahan otot. Obat-obatan golongan diuretik tiazid adalah
bendroflumetiazid, klorotiazin, klortalidon, HCT.

2. Penyekat (-blocker)

Obat golongan ini bekerja menghambat efek vasokontriktor epinefrin dan


norepinefrin. Efek antihipertensi dari -blocker dapat menurunkan tekanan darah 10/10
mmHg dan meningkatkan kada HDL. Prazosin ada penderita asma memiliki efek sebagai
relaksan ringan pada otot polos bronkus.
Efek samping dari -blocker antara lain hipotensi ortostatik pada dosis awal,
kehilangan kesadaran sesaat, pusing. Obat-obatan golongan -blocker adalah Doksanozin
mesilat, Prazosin HCL, dan Tetrazosin HCL.

3. Penyekat (-blocker)

19
Golongan obat ini dapat menurunkan tekanan darah dan penurunan curah
jantung dan resistansi vaskular perifer. Bekerja pada reseptor beta di jantung. Obat ini tidak
dianjurkan untuk penderita asmaa bronkial.
Efek samping obat antara lain bronkospasme, gagal jantung, hipotensi, diabetes
mellitus, gangguan metabolisme lemak, dan sistem saraf pusat. Obat-obatan golongan ini
adalah Asebutolol, Atenolol, Labetolol, Metoprolol,

4. ACE Inhibitor

Angiotensin Coverting Enzim (ACE) memliki efek dalam penurunan tekanan darah
tanpa disertai dengan perubahan curah jantung, denyut jantung, maupun laju filtrasi
glomerulus. Penurunan tekanan darah melalui penghambatan sistem renin angiotensin
aldosteron (RAA). Obat ACE Inhibitor efektif sebagai antihipertensi pada sekitar 70%
penderita. Penurunan tekanan darah sekitar 10/5 sampai 15/12 mmHg.
Efek samping obat ini antara lain batuk kering, gangguan pengecapan, oedema
angioneuritik, gagal ginjal akut, hiperkalemia. Obat-obatan golongan ini adalah Kaptopril,
Enalapril, Lisinopril, Ramipril, Fosinopril, Benazepril dan Quinapril.
Salah satu contohnya adalah lisinopril yang berperan dalam pengaturan tekanan darah.
Salah satu jenisnya adalah noverten. Noverten adalah penghambat Angiotensin Coverting
Enzim (ACE) yang diindikasikan untuk hipertensi tingkat sedang dan berat. Dapat digunakan
bersama obat hipertensi lain. Dosisi pengobatan awal adalah 10 mg sekali sehari. Untuk dosis
pemeliharaan oral 10-20 mg sekali sehari. Obat diminu pada pagi hari satu jam sebelum
makan. Dosis dapat digunakan sesuai repon klinisnya maksimum 40 mg per hari.

5. Angiotensin Reseptor Angiotensin II

Angiotensin Reseptor Angiotensin II atau A II RA merupakan satu obat yang memengaruhi


jalur sistem renin angiotensin (RAS) selain ACE Inhibitor. Obat ini mampu memblok kerja
Angiotensin II yang terbentuk dan juga menurunkan tekanan darah, peningkatan RBF,
penurunan retensi air dan sodium serta penurunan aktivitas seluler yang merugikan.
Efek samping yang mungkin timbul adalah sakit kepala, pusing, lemas dan mual,
gangguan fungsi ginjal, hiperkalemia. Golongan obat ini misalnya candesartan, losartan.

6. Antagonis Kalium

20
Golongan obat ini menurunkan daya pompa jantung dengan cara menghambat kontraksi
jantung (kontraktilitas). Obat ini bekerja dengan masuknya ion kalsium ke dalam sel otot
polos melalui penghambatan kanal ion kalsium yang bergantung pada tegangan yang nantinya
akan mendilatasi pembuluh darah yang diikuti penurunan tekanan darah.
Efek samping yang mungkin timbul adalah penurunan tekanan darah yang terlalu
besar, angina pektoris pada PJK, efek vasodilatasi. Golongan obat ini misalnya amlodipin,
nifedipin.

Sampai sekarang tiazid merupakan obat utama dalam terapi hipertensi. Berbagai penelitian
besar membuktikan bahwa diuretik terbukti paling efektif dalam menurunkan risiko kardiovaskular.
Beta blocker kurang efektif mengurangi kejadian kardiovaskular mayor, terutama stroke, dibanding
antihipertensi lainnya. Betablocker juga kurang efektif dibanding ACEi atau CCB dihidropiridin
untuk mengurangi resiko diabetes, terutama pada pasien yang mendapat terapi diuretik tiazid. Jika
pasien yang menggunakan betablockermemerlukan antihipertensi lain, maka pilihan yang lebih
dianjurkan diberikan adalah ACEi atau CCB, daripada tiazid

Prinsip Pengobatan Hipertensi

1. Mulailah dengan dosis yang rendah (jika tekanan darah tidak dikendalikan) hanya akan
membaik dengan taraf biasa.
2. Mulai dengan satu obat juga bisa mengobati dan/atau tidak mengganggu suatu kondisi yang
ada.
3. Tambahkan obat kedua dari kelas obat yang berbeda (pelengkap) jika tekanan darah tidak
terkontrol dengan dosis sedan untuk agen pertama.
4. Mulai dengan obat yang mungkin paling mudah untuk ditoleransi oleh pasien. Kepatuhan
jangka panjang berkaitan dengan tolerabilitas dan khasiat obat pertama yang digunakan.
5. Gunakan terapi diuretik jika ada dua obat yang digunakan, berlaku untuk hampir semua kasus.
6. Gunakan diuretik tiazid hanya dengan dosis rendah 25 mg/hari untuk hidroklorotiazida atau
obat yang ekuivalen, kecuali ada alasan yang mendesak.
7. Gunakan terapi kombinasi dosis rendah, jika diperlukan, sebagai terapi awal.
8. Suatu diuretik dengan penyekat , ACE Inhibitor, atau antagonis angiotensin II.
9. Suatu kalsium antagonis dengan ACE Inhibitor atau penyekat .
10. Satu atau dua obat akan mengendalikan tekanan darah pada 90 % pasien hipertensi. Untuk
mendapatkan tekanan darah diastolik < 90 mmHg, sekitar 70% kasus memerlukan dua obat.

Jika terapi dengan dua obat tidak menghasilkan tekanan darah yang diinginkan maka
obat utama mesti ditambah hingga dosis penuh. Jika tekanan darah masih belum terkontrol,

21
maka dianjurkan untuk percarian rinci terhadap penyebab sekunder hipertensi, misal pola
makan. Jika masih belum terkontrol, maka obat utama harus diganti namun tiazid tetap
dipertahankan. Jika tak satupun dari perubahan ini menghasilkan kontrol tekanan darah arteri
yang lebih baik, maka kombinasi antagonis kalsium dan ACE Inhibitor, atau kombinasi tiga
macam obat dengan diuretik, ACE Inhibitor dan hidralazin mungkin efektif.

A. Pencegahan hipertensi
Resiko seseorang untuk mengalami hipertensi (kecuali yang esensial), dapat dikurangi dengan
cara :
Pencegahan Primer :
Tidur yang cukup, antara 6-8 jam per hari.
Kurangi makanan berkolesterol tinggi dan perbanyak aktifitas fisik untuk mengurangi berat
badan.
Kurangi konsumsi alkohol.
Konsumsi minyak ikan.
Suplai kalsium, meskipun hanya menurunkan sedikit tekanan darah tapi kalsium juga cukup
membantu.

Pencegahan Sekunder:
Pola makanam yamg sehat.
Mengurangi garam dan natrium di diet anda.
Fisik aktif.
Mengurangi Akohol intake.
Berhenti merokok.

Pencegahan Tersier:
Pengontrolan darah secara rutin.
Olahraga dengan teratur dan di sesuaikan dengan kondisi tubuh.

Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah sistolik lebih besar dari 140 mmHg dan atau
diastolik lebih besar dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu 5 menit dalam
keadaan cukup istirahat (tenang). Hipertensi didefinisikan oleh Joint National Committee on
Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure sebagai tekanan yang lebih tinggi dari
140 / 90 mmHg.
Hipertensi merupakan penyakit yang timbul akibat adanya interaksi berbagai faktor resiko yang
dimiliki seseorang. Faktor pemicu hipertensi dibedakan menjadi yang tidak dapat dikontrol seperti
riwayat keluarga, jenis kelamin, dan umur. Faktor yang dapat dikontrol seperti obesitas, kurangnya

22
aktivitas fisik, perilaku merokok, pola konsumsi makanan yang mengandung natrium dan lemak
jenuh.
Hipertensi dapat mengakibatkan komplikasi seperti stroke, kelemahan jantung, penyakit jantung
koroner (PJK), gangguan ginjal dan lain-lain yang berakibat pada kelemahan fungsi dari organ vital
seperti otak, ginjal dan jantung yang dapat berakibat kecacatan bahkan kematian. Hipertensi atau yang
disebut the silent killer yang merupakan salah satu faktor resiko paling berpengaruh penyebab
penyakit jantung (cardiovascular).

Klasifikasi Hipertensi
Hipertensi dibedakan menjadi tiga golongan yaitu hipertensi sistolik, hipertensi diastolik, dan
hipertensi campuran.
Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension) merupakan peningkatan tekanan sistolik
tanpa diikuti peningkatan tekanan diastolik dan umumnya ditemukan pada usia lanjut. Tekanan sistolik
berkaitan dengan tingginya tekanan pada arteri apabila jantung berkontraksi (denyut jantung). Tekanan
sistolik merupakan tekanan maksimum dalam arteri dan tercermin pada hasil pembacaan tekanan
darah sebagai tekanan atas yang nilainya lebih besar.
Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) merupakan peningkatan tekanan diastolik tanpa
diikuti peningkatan tekanan diastolik, biasanya ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda.
Hipertensi diastolik terjadi apabila pembuluh darah kecil menyempit secara tidak normal, sehingga
memperbesar tahanan terhadap aliran darah yang melaluinya dan meningkatkan tekanan diastoliknya.
Tekanan darah diastolik berkaitan dengan tekanan arteri bila jantung berada dalam keadaan relaksasi
diantara dua denyutan.
Hipertensi campuran merupakan peningkatan pada tekanan sistolik dan diastolik.

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

1) Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya, disebut juga
hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95 % kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya
seperti genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf simpatis, sistem renin-angiotensin,
defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraseluler, dan faktor-faktor yang
meningkatkan resiko, seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia.
2) Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab spesifiknya
diketahui seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal,
hiperaldosteronisme primer, dan sindrom Cushing, feokromositoma, koartasio aorta,
hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan dan lain-lain.

23
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation,
and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII), klasifikasi hipertensi pada orang dewasa dapat
dibagi menjadi kelompok normal, prehipertensi, hipertensi derajat I dan derajat II. (Tabel )

Tabel. Klasifikasi tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah


darah menurut JNC VII Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Klasifikasi Tekanan
Darah
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120 139 80 89
Hipertensi derajat I 140 159 90 99
Hipertensi derajat II 160 100

Tabel. Klasifikasi tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah


darah menurut WHO / ISH Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Klasifikasi Tekanan
Darah
Hipertensi berat 180 110
Hipertensi sedang 160 179 100 109
Hipertensi ringan 140 159 90 99
Hipertensi perbatasan 120 149 90 94
Hipertensi sistolik 120 149 < 90
perbatasan
Hipertensi sistolik > 140 < 90
terisolasi
Normotensi < 140 < 90
Optimal < 120 < 80

Patofisiologi
Tubuh memiliki sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara akut yang
disebabkan oleh gangguan sirkulasi, yang berusaha untuk mempertahankan kestabilan tekanan darah
dalam jangka panjang reflek kardiovaskular melalui sistem saraf termasuk sistem kontrol yang
bereaksi segera. Kestabilan tekanan darah jangka panjang dipertahankan oleh sistem yang mengatur
jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ terutama ginjal.

1) Perubahan anatomi dan fisiologi pembuluh darah

24
Aterosklerosis adalah kelainan pada pembuluh darah yang ditandai dengan penebalan dan hilangnya
elastisitas arteri. Aterosklerosis merupakan proses multifaktorial. Terjadi inflamasi pada dinding
pembuluh darah dan terbentuk deposit
substansi lemak, kolesterol, produk sampah seluler, kalsium dan berbagai substansi lainnya dalam
lapisan pembuluh darah. Pertumbuhan ini disebut plak. Pertumbuhan plak di bawah lapisan tunika
intima akan memperkecil lumen pembuluh darah, obstruksi luminal, kelainan aliran darah,
pengurangan suplai oksigen pada organ atau bagian tubuh tertentu.
Sel endotel pembuluh darah juga memiliki peran penting dalam pengontrolan pembuluh darah jantung
dengan cara memproduksi sejumlah vasoaktif lokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptida
endotelium. Disfungsi endotelium banyak terjadi pada kasus hipertensi primer

2) Sistem renin-angiotensin
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh
angiotensin I-converting enzyme (ACE). Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam
menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.

a. Meningkatkan sekresi Anti-Diuretic Hormone (ADH) dan rasa haus. Dengan meningkatnya ADH,
sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi
osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara
menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat, yang pada akhirnya akan
meningkatkan tekanan darah.
b. menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler,
aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorbsinya dari tubulus ginjal.
Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan
ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah.

3) sistem saraf simpatis


Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di pusat vasomotor,
pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut kebawah ke
korda spinalis dan keluar dari kolumna medula spinalis ke gangliaspinalis di toraks dan abdomen.
Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf
simpatis ke ganglia simpatis.pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan
merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya
norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah.

Faktor-faktor Risiko Hipertensi

25
Faktor resiko terjadinya hipertensi antara lain:
1) Usia

Tekanan darah cenderung meningkat dengan bertambahnya usia. Pada laki-laki meningkat pada usia
lebih dari 45 tahun sedangkan pada wanita meningkat pada usia lebih dari 55 tahun.

2) Ras/etnik

Hipertensi bisa mengenai siapa saja. Bagaimanapun, biasa sering muncul pada etnik Afrika Amerika
dewasa daripada Kaukasia atau Amerika Hispanik.
3) Jenis Kelamin

Pria lebih banyak kemungkinan menderita hipertensi daripada wanita.


4) Kebiasaan Gaya Hidup tidak Sehat

Gaya hidup tidak sehat yang dapat meningkatkan hipertensi, antara lain minum minuman beralkohol,
kurang berolahraga, dan merokok.

a. Merokok

Merokok merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan hipertensi, sebab rokok mengandung
nikotin. Menghisap rokok menyebabkan nikotin terserap oleh pembuluh darah kecil dalam paru-paru
dan kemudian akan diedarkan hingga ke otak. Di otak, nikotin akan memberikan sinyal pada kelenjar
adrenal untuk melepas epinefrin atau adrenalin yang akan menyempitkan pembuluh darah dan
memaksa jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan darah yang lebih tinggi.
Tembakau memiliki efek cukup besar dalam peningkatan tekanan darah karena dapat menyebabkan
penyempitan pembuluh darah. Kandungan bahan kimia dalam tembakau juga dapat merusak dinding
pembuluh darah.
Karbon monoksida dalam asap rokok akan menggantikan ikatan oksigen dalam darah. Hal tersebut
mengakibatkan tekanan darah meningkat karenajantung dipaksa memompa untuk memasukkan
oksigen yang cukup ke dalam organ dan jaringan tubuh lainnya. Karbon monoksida dalam asap rokok
akan menggantikan ikatan oksigen dalam darah. Hal tersebut mengakibatkan tekanan darah meningkat
karena jantung dipaksa memompa untuk memasukkan oksigen yang cukup kedalam organ dan
jaringan tubuh lainnya.

b. Kurangnya aktifitas fisik

26
Aktivitas fisik sangat mempengaruhi stabilitas tekanan darah. Pada orang yang tidak aktif melakukan
kegiatan fisik cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi. Hal tersebut
mengakibatkan otot jantung bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras usaha otot jantung
dalam memompa darah, makin besar pula tekanan yang dibebankan pada dinding arteri sehingga
meningkatkan tahanan perifer yang menyebabkan kenaikkan tekanan darah. Kurangnya aktifitas fisik
juga dapat meningkatkan risiko kelebihan berat badan yang akan menyebabkan risiko hipertensi
meningkat.
Studi epidemiologi membuktikan bahwa olahraga secara teratur memiliki efek antihipertensi dengan
menurunkan tekanan darah sekitar 6-15 mmHg pada penderita hipertensi. Olahraga banyak
dihubungkan dengan pengelolaan hipertensi, karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan
tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah. Olahraga juga dikaitkan dengan peran obesitas
pada hipertensi
Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ tersebut dapat melalui
akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ , atau karena efek tidak langsung, antara lain
adanya autoantibodi terhadap reseptor angiotensin II, stres oksidatif, down regulation, dan lain-lain.
Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi garam dan sensitivitas terhadap garam berperan
besar dalam timbulnya kerusakan organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat
meningkatnya ekspresi transforming growth factor-.

Umumnya, hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Kerusakan organ-organ yang umum ditemui pada pasien hipertensi adalah:
1) Jantung
- hipertrofi ventrikel kiri
- angina atau infark miokardium
- gagal jantung
2) Otak

- stroke atau transient ishemic attack


3) Penyakit ginjal kronis

4) Penyakit arteri perifer

Komplikasi Hipertensi Pada Ginjal


Penyakit ginjal kronik dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada kapiler-
kepiler ginjal dan glomerolus. Kerusakan glomerulus akan mengakibatkan darah mengalir ke unit-unit
fungsional ginjal, sehingga nefron akan

27
terganggu dan berlanjut menjadi hipoksia dan kematian ginjal. Pengurangan massa ginjal akan
mengakibatkan nefron yang masih hidup akan melakukan kompensasi yang diperantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Proses maladaptasi ini berlangsung singkat sehingga
terjadi peningkatan LFG mendadak yang akhirnya mengalami penurunan. Hiperfiltrasi yang terjadi
juga akibat peningkatan aktivitas aksis rennin-angiotensin-aldosteron intrarenal. Kerusakan progresif
nefron akan terjadi dan berlangsung lama (kronik). Kerusakan membran glomerulus juga akan
menyebabkan protein keluar melalui urin sehingga sering dijumpai edema sebagai akibat dari tekanan
osmotik koloid plasma yang berkurang. Hal tersebut terutama terjadi pada hipertensi kronik

Definisi PPOK
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang dikarakteristikkan
oleh adanya hambatan aliran udara secara kronis dan perubahan-perubahan patologi pada paru,
dimana hambatan aliran udara saluran nafas bersifat progresif dan reversible parsial atau tidak
sepenuhnya reversibel dan berhubungan dengan respon inflamasi yang abnormal dari paru-paru
terhadap gas atau partikel yang berbahaya.
Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh
hambatan aliran udara disaluran pernapasan yang bersifat progresif non reversible. PPOK dari
bronkitis kronik, empisema atau gabungan keduanya

Etiologi PPOK
Terdapat 3 jenis penyebab yaitu :
1. Infeksi, biasanya infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak kanak berhubungan
dengan rendahnya tingkat fungsi paru maksimal yang bisa dicapai dan peningkatan resiko terkena
PPOK saat dewasa. Infeksi saluran nafas kronis seperti adenovirus dan klamidia mungkin
berperan dalam terjadinya PPOK.Infeksi lain yang memungkinkan seperti : stafilokokus,
sterptokokus, pneumokokus, haemophilus influenzae.
2. Alergi
3. Rangsang : misal asap pabrik, asap mobil, asap rokok.

Klasifikasi PPOK
Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi kronik adalah sebagai berikut:

1) Bronkitis kronik

Bronkitis merupakan definisi klinis batuk-batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran dahak,
sekurang-kuranganya 3 bulan dalam satu tahun dan terjadi paling sedikit selama 2 tahun berturut-
turut.

Terdapat 3 jenis penyebab bronchitis akut, yaitu :

28
- Infeksi : stafilokokus, sterptokokus, pneumokokus, haemophilus influenzae.

- Alergi

- Rangsang : misal asap pabrik, asap mobil, asap rokok dll

Bronchitis kronis dapat merupakan komplikasi kelainan patologik yang mengenai beberapa alat
tubuh, yaitu :

- Penyakit Jantung Menahun, baik pada katup maupun myocardium. Kongesti menahun pada
dinding bronchus melemahkan daya tahannya sehingga infeksi bakteri mudah terjadi.

- Infeksi sinus paranasalis dan Rongga mulut, merupakan sumber bakteri yang dapat
menyerang dinding bronchus.

- Dilatasi Bronchus (Bronchiectasi), menyebabkan gangguan susunan dan fungsi dinding


bronchus sehingga infeksi bakteri mudah terjadi.

Klien dengan bronchitis kronis akan mengalami :

- Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mukus pada bronchi besar, yang mana akan
meningkatkan produksi mukus.

- Mukus lebih kental

- Kerusakan fungsi cilliary sehingga menurunkan mekanisme pembersihan mukus. Oleh


karena itu, mucocilliary defence dari paru mengalami kerusakan dan meningkatkan
kecenderungan untuk terserang infeksi. Ketika infeksi timbul, kelenjar mukus akan menjadi
hipertropi dan hiperplasia sehingga produksi mukus akan meningkat.

- Dinding bronchial meradang dan menebal (seringkali sampai dua kali ketebalan normal) dan
mengganggu aliran udara. Mukus kental ini bersama-sama dengan produksi mukus yang banyak
akan menghambat beberapa aliran udara kecil dan mempersempit saluran udara besar. Bronchitis
kronis mula-mula mempengaruhi hanya pada bronchus besar, tetapi biasanya seluruh saluran nafas
akan terkena.

- Mukus yang kental dan pembesaran bronchus akan mengobstruksi jalan nafas, terutama
selama ekspirasi. Jalan nafas mengalami kollaps, dan udara terperangkap pada bagian distal dari
paru-paru. Obstruksi ini menyebabkan penurunan ventilasi alveolar, hypoxia dan asidosis.

- Klien mengalami kekurangan oksigen jaringan ; ratio ventilasi perfusi abnormal timbul,
dimana terjadi penurunan PaO2. Kerusakan ventilasi dapat juga meningkatkan nilai PaCO 2.

- Klien terlihat cyanosis. Sebagai kompensasi dari hipoxemia, maka terjadi polisitemia
(overproduksi eritrosit). Pada saat penyakit memberat, diproduksi sejumlah sputum yang hitam,
biasanya karena infeksi pulmonary.

29
- Selama infeksi klien mengalami reduksi pada FEV dengan peningkatan pada RV dan FRC.
Jika masalah tersebut tidak ditanggulangi, hypoxemia akan timbul yang akhirnya menuju penyakit
cor pulmonal dan CHF

2). Emfisema Paru

Emfisema paru merupakan suatu definisi anatomik, yaitu suatu perubahan anatomik paru yang
ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminalis, yang
disertai kerusakan dinding alveolus. Sesuai dengan definisi tersebut, maka jika ditemukan kelainan
berupa pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan maka keadaan ini
sebenarnya tidak termasuk emfisema, melainkan hanya sebagai overinflation.

Terdapat 4 perubahan patologik yang dapat timbul pada klien emfisema, yaitu :

- Hilangnya elastisitas paru. Protease (enzim paru) merubah atau merusakkan alveoli dan
saluran nafas kecil dengan jalan merusakkan serabut elastin. Akibat hal tersebut, kantung alveolar
kehilangan elastisitasnya dan jalan nafas kecil menjadi kollaps atau menyempit. Beberapa alveoli
rusak dan yang lainnya mungkin dapat menjadi membesar.

- Hyperinflation Paru Pembesaran alveoli mencegah paru-paru untuk kembali kepada posisi
istirahat normal selama ekspirasi.

- Terbentuknya Bullae Dinding alveolar membengkak dan berhubungan untuk membentuk


suatu bullae (ruangan tempat udara) yang dapat dilihat pada pemeriksaan X ray.

- Kollaps jalan nafas kecil dan udara terperangkap Ketika klien berusaha untuk ekshalasi
secara kuat, tekanan positif intratorak akan menyebabkan kollapsnya jalan nafas

Terdapat tiga tipe dari emfisema yaitu :

- Emfisema Centriolobular. Merupakan tipe yang sering muncul, menghasilkan kerusakan


bronchiolus, biasanya pada region paru atas. Inflamasi berkembang pada bronchiolus tetapi
biasanya kantung alveolar tetap bersisa.

- Emfisema Panlobular (Panacinar). Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan biasanya
termasuk pada paru bagian bawah. Bentuk ini bersama disebut centriacinar emfisema, timbul
sangat sering pada seorang perokok.

- Emfisema Paraseptal. Merusak alveoli pada lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi
dari blebs sepanjang perifer paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari
pneumothorax spontan. Panacinar timbul pada orang tua dan klien dengan defisiensi enzim alpha-
antitripsin. Pada keadaan lanjut, terjadi peningkatan dyspnea dan infeksi pulmoner, seringkali Cor
Pulmonal (CHF bagian kanan) timbul.

30
Asma Bronkhial

Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan
elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-
batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan
napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

Secara umum, faktor risiko asma terbagi menjadi 2, yaitu:


1. Faktor Host
a. Genetik
Hal yang dapat diturunkan adalah bakat alergi pada penderita asma. Meskipun belum
diketahui secara pasti bagaimana cara penurunannya, penderita dengan penyakit alergi
biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga memiliki keluhan serupa. Dengan adanya
bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma jika terpajan dengan faktor
pencetus.
b. Jenis kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma
pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Akan tetapi, menjelang
dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan
lebih banyak.
c. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI) merupakan faktor risiko asma.
Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan
meningkatan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas,
penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma dapat mempengaruhi gejala fungsi
paru, morbiditas, dan status kesehatan.
2. Faktor Lingkungan
a. Alergen
Alergen yang dapat mencetuskan asma terdiri atas beberapa jenis, antara lain alergen
dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, serpihan kulit atau bulu binatang seperti
aning dan kucing, dan lain-lain), alergen luar rumah (serbuk sari dan spora jamur), bahan
yang mengiritasi (parfum, household spray, pembasmi serangga, dan lain-lain)
b. Infeksi
Infeksi pada saluran napas merupakan keadaan yang seringkali muncul berbarengan
dengan serangan asma yang juga dapat memperberat terjadinya serangan asma.
c. Occupational sensitizers

31
Hal ini terjadi pada seseorang yang sebelumnya tidak mengalami asma, kemudian
mengalami serangan asma yang dicetuskan oleh karena terkespos zat yang terdapat di
lingkungan kerjanya. Zat-zat pada lingkungan keja yang berisiko mencetuskan asma
antara lain enzim (deterjen), protein (binatang, tumbuhan), tepung atau gandum, bahan-
bahan kimia, isocyanates (cat semprot, lem), dan lain-lain.
d. Asap rokok
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok sebelum
dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti
meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.

e. Polusi udara
Polusi udara juga merupakan salah satu faktor yang dapat mencetuskan asma. Hal ini
dikarenakan zat yang terkandung dalam polusi udara dapat merangsang reaksi
hipersensitivitas dan mengakibatkan terjadinya serangan asma.
f. Makanan
Makanan pencetus asma pada masing-masing individu tidak sama. Beberapa makanan
yang seringkali menjadi pencetus antara lain susu, telur, kepiting, ikan laut, cokelat, kiwi,
jeruk, bahan penyedap, bahan pengawet, dan pewarna makanan.

Mekanisme terjadinya serangan asma didasari oleh terjadinya hipersensitivitas saluran napas
terhadap suatu pencetus atau biasa disebut dengan antigen. Antigen adalah suatu zat yang merangsang
sistem imun untuk menghasilkan antibodi untuk menghancurkan antigen tersebut karena dianggap
sebagai benda asing dan berbahaya bagi tubuh. Pada saat pasien asma terpajan oleh suatu antigen,
maka sel dendrit akan bertidak sebagai Antigent Presenting Cell (APC) yang akan mempresentasikan
kepada Th 2 bahwa terdapat suatu antigen dalam tubuh. Hal ini membuat Th 2 teraktivasi dan
mensekresikan IL-4 dan IL-5. IL-4 akan merangsang proliferasi limfosit B menjadi IgE, sedangkan
IL-5 akan merangsang degenerasi eusinofil di sumsum tulang dan kemudian beredar ke dalam darah.
IgE akan menduduki reseptor di sel mast dan mengakibatkan terjadinya degranulasi sel mast
yang kemudian diikuti tersekresinya mediator pro inflamasi seperti leukotrien, PG2, dan histamin.
Mediator inflamasi tersebut menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi dan juga hipersekresi mukus
sehingga terjadi penyempitan jalan nafas. Di jalur lain, eusinofil memproduksi protein dasar yang
dapat menyebabkan kerusakan epitel bronkus. Kerusakan ini menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi
yang diikuti dengan terkumpulnya sitokin dan sel inflamasi di tempat terjadinya kerusakan epitel. Hal
ini menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi pada daerah yang rusak sehingga terjadi
microvascular leakage yang bermanifestasi sebagai edema saluran napas. Bronkokonstriksi,

32
hipersekresi mukus, dan edema saluran napas menyebabkan terjadinya penyempitan atau obstruksi
saluran napas yang akan bermanisfestasi sebagai batuk, mengi, dan sesak.
Batuk terjadi sebagai akibat dari hipersekresi mukus yang menimbulkan rangsangan refleks
tubuh untuk mengeluarkan benda asing yang terdapat pada saluran napas. Selain itu, karena adanya
penyempitan saluran napas disertai dengan tertimbunnya mukus pada jalan napas, keadaan ini
menyebabkan turbulensi yang bermanifestasi sebagai suara napas tambahan berupa mengi. Sesak atau
rasa berat pada dada disebabkan oleh terganggunya proses ekspirasi yang umumnya terjadi pada
serangan asma akibat adanya obstruksi jalan napas.
Pada asma terjadi manifestasi klinis akibat obstruksi jalan napas berupa sesak dan mengi yang
umumnya terjadi pada saat ekspirasi. Hal ini dikarenakan tidak seperti proses inspirasi yang bersifat
aktif dengan kontraksi otot M. Intercostalis eksterna dan M. Diaphragma, proses ekspirasi bersifat
pasif dengan adanya proses relaksasi M. Intercostalis eksterna dan M. Diaphragma yang berakibat
terjadinya peningkatan tekanan intrathorakal yang menyebabkan bertambah parahnya obstruksi jalan
napas, sehingga manifestasi sesak dan mengi terjadi pada saat ekspirasi.
Apabila tidak terkontrol dengan baik, reaksi inflamasi yang terjadi pada serangan asma yang
berulang-ulang kali dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur pada jaringan saluran napas.
Efek bronkokonstriksi dapat berdampak pada hipertrofi otot polos bronkus yang menyebabkan
penebalan dan penyempitan lumen bronkus. Selain itu, terjadinya hipersekresi mukus mengakibatkan
terjadinya peningkatan jumlah sel goblet pada mukosa saluran pernapasan. Sedangkan sel epitel, sel
inflamasi, dan makrofag merangsang terbentuknya fibroblas dan miofibroblas diikuti dengan deposisi
kolagen dan proteoglikan yang menyebabkan terbentuknya fibrosis atau jaringan ikat pada submukosa
saluran napas. Ketiga hal tersebut merupakan perubahan struktur yang irreversible dan memperberat
obstruksi jalan napas pada pasien asma.

Faktor Risiko PPOK

Faktor-faktor resiko yang menyebabkan PPOK antara lain:

1. Paparan dari lingkungan di sekitar penderita : Merokok, Lingkungan kerja, Polusi udara,
Infeksi dan Status ekonomi dan social.

2. Faktor pada Penderita: Genetik atau keturunan, Pertumbuhan paru, Hiperresponsivitas saluran,
nafas.

Patofisiologi PPOK

Inhalasi asap rokok atau gas berbahaya lainnya mengaktifkan makrofag dan sel epitel
untuk melepaskan faktor kemotoktik yang merekrut lebih banyak makrofag dan neutrofil.

33
Kemudian, makrofag dan neutrofil ini melepaskan protease yang merusak ekemen struktur pada
paru-paru. Protease sebenarnya dapat diatasi dengan antiprotease endogen namun tidak
berimbangnya antiprotease terhadap dominasi aktivitas protease yang pada akhirnya akan menjadi
predisposisi terhadap perkembangan PPOK. Pembentukan spesies oksigen yang sangat reaktif
seperti superoxide, radikal bebas hydroxyl hydrogen peroxide telah diidentifikasi sebagai faktor
yang berkontribusi terhadap patogenesis karena substansi ini dapat meningkatkan penghancuran
antiprotease.

Inflamasi kronik mengakibatkan metaplasia pada dinding epitel bronkial, hipersekresi


mukosa, peningkatan masa otot halus, dan fibrosis. Terdapat pula disfungsi silier pada epitel,
menyebabkan terganggunya klirens produksi mukus yang berlebihan .Secara klinis, proses inilah
yang bermanifestasi sebagai bronkitis kronis, ditandai oleh batuk produktif kronis.Pada parenkim
paru, penghancuran elemen struktural yang dimediasi protease menyebabkan emfisema.
Kerusakan sekat alveolar menyebabkan berkurangnya elastisitas recoil pada paru dan kegagalan
dinamika saluran udara akibat rusaknya sokongan pada saluran udara kecil non- kartilago.
Keseluruhan proses ini mengakibatkan obstruksi paten pada saluran nafas dan timbulnya gejala
patofisiologis lainnya yang karakteristik untuk PPOK

34
Manifestasi Klinis PPOK

Tanda dan gejalanya adalah sebagai berikut:

1. Kelemahan badan

2. Batuk

3. Sputum putih atau mikoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen

4. Sesak napas

5. Sesak napas saat aktivitas dan napas berbunyi

6. Mengi atau wheeze

7. Ekspirasi yang memanjang

8. Bentuk dada tong (Barrel Chest) pada penyakit lanjut

9. Suara napas melemah

10. Kadang ditemukan pernapasan paradoksal

Pemeriksaan Diagnostik PPOK


1. Pemeriksaan rutin
a. Faal paru
1) Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
a) Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( % ).
Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
b) VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan
memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan,
APE meter walaupun
c) kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan
sore, tidak lebih dari 20%

indikasi pemeriksaan apirometri:

Dispneu
Batuk kronik
Batuk kronik berdahak
Usia > 40 tahun

Sebelum dilakukan pemeriksaan spirometri, maka dilakukan terlebih dahulu cek sputum untuk
memastikan apakah BTA +/-, jika (-) maka dilakukanlah tes spirometri.

b. Uji bronkodilator
1) Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.

35
2) Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat
perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
3) Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
c. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
d. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
e. Pada emfisema terlihat gambaran :
1) Hiperinflasi
2) Hiperlusen
3) Ruang retrosternal melebar
4) Diafragma mendatar
5) Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)
Pada bronkitis kronik :
a) Normal
b) Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

2. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)


a. Faal paru
1) Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KPT),
VR/KRF,VR/KPT meningkat
2) DLCO menurun pada emfisema
3) Raw meningkat pada bronkitis kronik
4) Sgaw meningkat
5) Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
b. Uji latih kardiopulmoner
1) Sepeda statis (ergocycle)
2) Jentera (treadmill)
3) Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
c. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat hipereaktiviti
bronkus derajat ringan
d. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau
metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1
pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan
faal paru setelah pemberian kortikosteroid

36
e. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
1) Gagal napas kronik stabil
2) Gagal napas akut pada gagal napas kronik
f. Radiologi
1) CT - Scan resolusi tinggi
2) Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang tidak
terdeteksi oleh foto toraks polos
3) Scan ventilasi perfusi
4) Mengetahui fungsi respirasi paru
g. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
h. Ekokardiografi
Menilai fungsii jantung kanan
i. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk
mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulng
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
j. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda), defisiensi
antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.

Penatalaksanaan

1. Terapi eksaserbasi akut di lakukan dengan :


a. Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi,
Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S. Pneumonia, maka digunakan
ampisilin 4 x 0.25-0.56/hari atau eritromisin 40.56/hari Augmentin (amoksilin dan asam
klavulanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenza dan B.
Cacarhalis yang memproduksi B. Laktamase Pemberiam antibiotik seperti kotrimaksasol,
amoksisilin, atau doksisiklin pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut terbukti
mempercepat penyembuhan dan membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun
hanya dalam 7-10 hari selama periode eksaserbasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-
tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotik yang kuat.

b. Terapi oksigen

37
diberikan jika terdapat kegagalan pernapasan karena hiperkapnia dan berkurangnya
sensitivitas terhadap CO2
c. Fisioterapi membantu pasien untuk mengelurakan sputum dengan baik.
d. Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk di dalamnya golongan
adrenergik b dan anti kolinergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau
ipratopium bromida 0,25 mg diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25 - 0,56
IV secara perlahan.
2. Terapi jangka panjang di lakukan :
a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin 40,25-0,5/hari dapat
menurunkan kejadian eksaserbasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran napas tiap pasien maka
sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru.

Pencegahan PPOK

1. Mencegah terjadinya PPOK

a. Hindari asap rokok

b. Hindari polusi udara

c. Hindari infeksi saluran napas berulang

2. Mencegah perburukan PPOK

a. Berhenti merokok

b. Gunakan obat-obatan adekuat

c. Mencegah eksaserbasi berulang

Komplikasi PPOK
1. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg, dengan nilai
saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan mood, penurunan
konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.
2. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul
antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
3. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus, peningkatan
rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya aliran
udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.

38
4. Gagal Jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi terutama
pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronchitis
kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.
5. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis respiratory.
6. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial. Penyakit ini sangat
berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak berespon terhadap therapi yang
biasa diberikan.Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher seringkali terlihat.

CHF (Gagal Jantung Kongestif)


Pengertian
Gagal jantung adalah ketidakmampuan kontraktilitas jantung yang menyebabkan menurunnya
cardiac output. Cardiac output / curah jantung adalah jumlah darah yang dipompakan ventrikel dalam
satu menit. Cardiac output merupakan fungsi frekuensi jantung x volume sekuncup (stroke volume).
Frekunsi jantung merupakan fungsi sistem saraf otonom. Sedangkan stroke volume adalah jumlah
darah yang dipompa keluar dari ventrikel setiap kali denyut / kontraksi. Stroke volume dipengaruhi
pre load (beban awal), after load (beban akhir), kontraltilitas.
Klasifikasi Gagal Jantung
New York Heart Association (NYHA) pertama kali membuat klasifikasi gagal jantung yang
berdasarkan pada derajat keterbatasan fungsional. Pembagian fungsional NYHA sering digunakan
untuk menentukan progresifitas gagal jantung. Sistem ini membagi pasien atas 4 kelas fungsional yang
bergantung pada gejala yang muncul, yaitu asimptomatis (kelas I), gejala muncul pada aktifitas ringan
(kelas II), gejala muncul pada saat aktifitas berat (kelas III) dan gejala muncul pada saat istirahat
(kelas IV). Kelas fungsional pada penderita gagal jantung cenderung berubah-ubah. Bahkan perubahan
ini dapat terjadi walaupun tanpa perubahan pengobatan dan tanpa perubahan pada fungsi ventrikel
yang dapat diukur.
ACC/AHA membagi klasifikasi untuk perkembangan dan progresifitas gagal jantung atas 4 stadium
yaitu stadium A adalah beresiko tinggi untuk menjadi gagal jantung tanpa ditemukan adanya disfungsi
jantung, stadium B adalah adanya disfungsi jantung tanpa gejala, stadium C adalah adanya disfungsi
jantung dengan gejala, stadium D adalah adanya gejala yang berat dan refrakter terhadap terapi
maksimal. Pembagian ini mengutamakan pada keberadaan faktor resiko dan abnormalitas struktural
jantung, pengenalan progresifitasnya, dan strategi pengobatan pada upaya preventif. Penderita gagal

39
jantung akan mengalami perjalanan penyakitnya dari stadium A ke D namun tidak dapat kembali lagi
ke stadium A, hal mana dapat terjadi bila menggunakan klasifikasi menurut NYHA
Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiografi, foto toraks,
ekokardiografi-doppler.
Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung yaitu dengan terpenuhinya 2
kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Adapun kriteria Framingham sebagai berikut:

Kriteria Mayor :
o Paroksismal nocturnal dispnu

o Distensi vena leher

o Ronki paru

o Kardiomegali

o Edema paru akut

o Gallop S3

o Peninggian tekanan vena jugularis

o Refluks hepatojugular

Kriteria minor :
o Edema ekstremitas

o Batuk malam hari

o Dispnea deffort

o Hepatomegali

o Efusi pleura

o Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal

o Takikardia (>120 x/menit)

Kriteria mayor atau minor :


o Penurunan BB 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan

Jenis/Klasifikasi
1. Gagal Jantung Kanan
Bila venterikel kanan gagal memompakan darah, maka yang menonjol adalah kongestif visera
dan jaringan perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan jantung tidak mampu mengosongkan volume

40
darah dengan adekuat sehingga tidak dapat mengakomodasi semua darah yang secara normal kembali
dari sirkulasi vena.
Manifestasi klinis yang tampak meliputi edema ekstremitas bawah (edema dependen), yang
biasanya merupakan pitting edema, pertambahan berat badan, hepatomegali (pembesaran hepar),
distensi vena jugularis (vena leher), asites (penimbunan cairan di dalam rongga peritoneal), anoreksia
dan mual, nokturia dan lemah.
2. Gagal Jantung Kiri
Kongestif paru terjadi pada venterikel kiri, karena venterikel kiri tidak mampu memompa darah yang
datang dari paru. Peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru menyebabkan cairan terdorong ke jaringan
paru. Manifestasi klinis yang dapat terjadi meliputi dispnea, batuk, mudah lelah, denyut jantung cepat
(takikardi) dengan bunyi S3, kecemasan dan kegelisahan
Etiologi
Penyebab gagal jantung antara lain infark miokardium, miopati jantung, defek katup,
dan hipertensi kronik. Penyebab gagal jantung kanan adalah gagal jantung kiri, hipertensi
paru dan PPOK
Mekanisme yang mendasari terjadinya gagal jantung kongestif meliputi gangguan
kemampuan konteraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari
curah jantung normal. Tetapi pada gagal jantung dengan masalah yang utama terjadi adalah
kerusakan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan curah jantung normal
masih dapat dipertahankan.
Volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa pada setiap konteraksi
tergantung pada tiga faktor: yaitu preload, konteraktilitas, afterload.
Preload adalah jumlah darah yang mengisi jantung berbanding langsung dengan
tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut otot jantung.
Konteraktillitas mengacu pada perubahan kekuatan konteraksi yang terjadi pada
tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar
kalsium
Afterload mengacu pada besarnya tekanan venterikel yang harus dihasilkan untuk
memompa darah melawan perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh tekanan
arteriol.
Pada gagal jantung, jika salah satu atau lebih faktor ini terganggu, maka curah jantung
berkurang.
Patofisiologi
Jantung yang normal dapat berespon terhadap peningkatan kebutuhan metabolism
dengan menggunakan mekanisme kompensasi yang bervariasi untuk mempertahankan
cardiac output (volume darah yang dipompa oleh ventrikel kiri per menit). Cardiac output

41
dipengaruhi oleh perrputaran denyut jantung dan pengaturan curah sekuncup. Mekanisme
kompensasi sekuncup meliputi :
1. Respon sistem saraf simpatik terhadap baroreseptor atay kemoreseptor
2. Pengencangan dan pelebaran otot jantung untuk menyesuaikan terhadap
peningkatan volume
3. Vasokontriksi arteri renal dan aktivitas sistem rennin angitensin
4. Respon-respon terhadap serum sodium dan regulasi ADH dari reasorbsi cairan

Kegagalan mekanisme kompensasi dapat dipercepat oleh adanya volume darah


sirkulasi yang dipompakan untuk menentang peningkatan resitensi vaskuler oleh
pengencangan jantung. Keepatan jantung memperpendek waktu pengisian ventrikel dan
arteri koronaria, menurunkan cardiac output dan menyebabkan oksigenasi yang tidak
adekuat ke miokardium.
Peningkatan tekanan dinding akibat dilatasi menyebabkan peningkatan tuntutan
oksigen dan pembesaran jantung (Hipertrofi) terutama pada jantung iskemik atau kerusakan
yang menyebabkan kegagalan mekanisme pemompaan. Dengan kata lain, apabila kebutuhan
oksigen tidak terpenuhi maka serat otot jantung semakin hipoksia, sehingga kontratilitis
berkurang
Penurunan kontraksi venterikel akan diikuti penurunan curah jantung yang
selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah (TD), dan penurunan volume darah arteri yang
efektif. Hal ini akan merangsang mekanisme kompensasi neurohurmoral. Vasokonteriksi
dan retensi air untuk sementara waktu akan meningkatkan tekanan darah, sedangkan
peningkatan preload akan meningkatkan kontraksi jantung melalui hukum Starling. Apabila
keadaan ini tidak segera diatasi, peninggian afterload, dan hipertensi disertai dilatasi jantung
akan lebih menambah beban jantung sehingga terjadi gagal jantung yang tidak
terkompensasi.
Dengan demikian terapi gagal jantung adalah dengan vasodilator untuk menurunkan
afterload venodilator dan diuretik untuk menurunkan preload, sedangkan motorik untuk
meningkatkan kontraktilitas miokard.
Manifestasi Klinis
1. Gagal Jantung Kiri
Gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri terjadi karena adanya gangguan
pemompaan darah oleh ventrikel kiri sehingga curah jantung kiri menurun dengan akibat
tekanan akhir diastolic dalam ventrikel kiri dan volum akhir diastolic dalam ventrikel kiri
meningkat.
Gejalanya yakni, perasaan badan lemah, cepat lelah, berdebar-debar, sesak nafas, batuk,
anoreksia, keringat dingin, takikardia, dispnea, paroxysmal nocturnal dyspnea, ronki basah
paru dibagian basal, bunyi jantung III (irama gallop).

42
2. Gagal Jantung Kanan
Gagal jantung kanan karena gangguan atau hambatan pada daya pompa ventrikel kanan
sehingga isi sekuncup ventrikel kanan menurun tanpa didahului oleh adanya gagal jantung
kiri.
Gejalanya yakni, edema tumit dan tungkai bawah, hati membesar, lunak dan nyeri tekan,
bendungan pada vena perifer (jugularis), gangguan gastrointestinal (perut kembung,
anoreksia dan nausea) dan asites (penimbunan cairan di dalam rongga peritoneal), berat
badan bertambah, penambahan cairan badan, kaki bengkak (edema tungkai), perut
membuncit, perasaan tidak enak pada epigastrium, edema kaki dan hepatomegali.
Penatalaksanaan
Sasaran penatalaksanaan gagal jantung kongestif adalah untuk menurunkan kerja
jantung, menurunkan curah jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard dan untuk
menurunkan retensi garam dan air. Pasien gagal jantung dianjurkan untuk :
1. Tirah baring (istirahat)
2. Menghindari latihan jasmani
3. Terapi oksigen untuk mengurangi kebutuhan jantung
4. Pemberian diuretic untuk menurunkan volume plasma sehingga aliran darah balik
vena dan peregangan terhadap serat-serat otot jantung berkurang
5. Diberikan digitalis untuk meningkatkan kontratilitis, misalnya digoxin, bekerja
secara langsung pada serat-serat jantung untuk meningkatkan kekuatan setiap
kontraksi tanpa bergantung pada serat otot. Hal ini akan menyebabkan
peningkatan curah jantung sehingga volume dan peregangan ruang ventrikel
berkurang.
6. Diberikan penghambat enzim pengubah angiostensin (inhibitor ACE )untuk
menurunkan pembentukan angiostensin II. Hal ini mengurangi after load (TPR)
dan plasma (preload). Nitrat juga diberikan untuk mengurangi after load dan
preload.

Komplikasi
Komplikasi gagal jantung meliputi :
1. Kerusakan atau kegagalan ginjal

Gagal jantung dapat mengurangi aliran darah ke ginjal, yang akhirnya dapat
menyebabkan gagal ginjal jika tidak di tangani. Kerusakan ginjal dari gagal jantung
dapat membutuhkan dialysis untuk pengobatan.
2. Masalah katub jantung

Gagal jantung menyebabkan penumpukan cairan sehingga dapat terjadi kerusakan


pada katup jantung.
3. Kerusakan Hati

43
Gagal jantung dapat menyebabkan penumpukan cairan yang menempatkan terlalu
banyak tekanan pada hati. Cairan ini dapat menyebabkab jaringan parut yang
mengakibatkanhati tidak dapat berfungsi dengan baik.
4. Serangan Jantung dan Stroke

Karena aliran darah melalui jantung lebih lambat pada gagal jantung daripada di
jantung yang normal, maka semakin besar kemungkinan Anda akan mengembangkan
pembekuan darah, yang dapat meningkatkan risiko terkena serangan jantung atau
stroke

Chronic kidney disease (CKD)

Definisi Penyakit Ginjal Kronik (Chronic Kidney Disease) : Adanya kelainan struktural atau
fungsional pada ginjal yang berlangsung minimal 3 bulan, dapat berupa :

Kelainan struktural yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium (albuminuria,


sedimen urin, kelainan elektrolit akibat ginjal), pemeriksaan histologi, pencitraan, atau riwayat
transplantasi ginjal, atau
Gangguan fungsi ginjal dengan laju filtrasi glomerolus (LFG) < 60 mL/menit/1.73m 2 dengan
atau tanpa kerusakan ginjal.
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan dan LFG sama atau lebih dari 60
ml/menit/1,73m, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.
Penyakit ginjal stadium akhir atau End Stage Renal Disease merupakan tahap CKD di mana
akumulasi racun, cairan,dan elektrolit yang biasanya diekskresikan oleh ginjal menghasilkan suatu
kumpulan gejala yaitu disebut sindroma ureum. Sindrom ini dapat menyebabkan kematian kalau
racunnya tidak di hilangkan dengan terapi pengganti ginjal atau renal replacement therapy, yang
menggunakan dialisis atau transplantasi ginjal.
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik (Chronic Kidney Disease)
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat (stage) penyakit dan
atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yaitu
dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut.
LFG (ml/mnt/1,73m2) = (140 Umur) x Berat Badan
*)
72 x Kreatinin Plasma (mg/dl)
*) pada perempuan dikalikan 0,85
Selain itu dapat juga digunakan rumus MDRD ( Modification of Diet in Renal Disease )
LFG (ml/mnt/1,73m2) = 175 x SCr (-1,154) x Usia(-0,203) x (0,742 jika perempuan) x (1,21 jika
berkulit hitam)

44
Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit
Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt/1,73m2)
I Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau 90
II Kerusakan ginjal dengan LFG ringan 60-89
III Kerusakan ginjal dengan LFG sedang 30-59
IV Kerusakan ginjal dengan LFG berat 15-29
V Gagal ginjal < 15 atau dialisis

Etiologi
Penyakit ginjal kronik disebabkan oleh bermacam macam hal :
- Glomerulonefritis, akibat infeksi (endokarditis bakterial, hepatitis C, hepatitis B, HIV) atau
yang bersifat kronis.
- Diabetes melitus menyebabkan nefropati diabetik.
- Hipertensi, penyakit nefrosclerosis
- Uropati obstruktif (batu saluran kemih, tumor, dan lain lain)
- Lupus eritematosus sistemik, amiloidosis, penyakit ginjal polikistik
- Penggunaan obat obatan (obat anti-inflamasi non steroid, antibiotik, siklosporin, tacrolimus)

Faktor Resiko
Penyakit ginjal kronik merupakan multihit process disease. Sekali mengalami gangguan fungsi ginjal,
banyak faktor yang akan memperberat perjalanan penyakit. Faktor tersebut dikenal sebagai faktor
progresivitas penyakit ginjal kronik.
Tabel 5. Faktor faktor yang Berperan dalam Progresivitas Penyakit Ginjal Kronik
Tidak dapat dimodifikasi Dapat dimodifikasi
Usia (usia tua) Hipertensi
Jenis kelamin (laki laki lebih cepat) Proteinuria
Ras (ras Afrika Amerika lebih cepat) Albuminuria
Genetik Glikemia
Hilangnya massa ginjal Obesitas
Disiplidemia
Merokok
Kadar asam urat

Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi
dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal
menyebabkan hipertrofi sisa nefron secara struktural dan fungsional sebagai upaya kompensasi.
Hipertrofi kompensatori ini akibat hiperfiltrasi adaptif yang diperantarai oleh penambahan tekanan
kapiler dan aliran glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat akhirnya diikuti oleh proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan

45
fungsi nefron yang progresif walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan
aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal ikut memberikan konstribusi terhadap terjadinya
hiperfiltrasi, sklerosis dan progesifitas tersebut. Aktivitas jangka panjang aksis renin-angiotensin-
aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor . Beberapa
hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah
albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk
terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial.

Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal
reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara
perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum
merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah,
mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien
memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah,
gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga
mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran
cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan
keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala
dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal ( renal
replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan
sampai pada stadium gagal ginjal.
Retensi Cairan dan Natrium
Ginjal juga tidak mampu untuk mengosentrasikan atau mengencerkan urin secara normal pada
penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan
elektrolit sehari hari, tidak terjadi pasien sering menahan 15 natrium dan cairan,meningkatkan resiko
terjadinya edema, gagal jantung kongesti, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi
aksis renin angiotensin dan kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron.pasien lain
mempunyai kecenderungan untuk kehilangan garam, mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia.
Episode muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium,yang semakin memperburuk status
uremik.
Asidosis
Dengan berkembangnya peyakit renal, terjadi asidosis metabolik seiring ketidakmampuan ginjal
mengesekresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Sekresi asam terutama, akibat ketidakmampuan
tubulus ginjal untuk mensekresi amonia (NH3) dan mengabsorpsi natrium bikarbonat
(HCO3).Penuruna sekresi fosfat dan asam organik lain juga terjadi.

46
Anemia
Anemia terjadi karena akibat eritropoetin yang tidak adekuat, memendeknya usia sel darah
merah,defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat status uremik pasien,
terutama dari saluran gastrointestinal. Eritropoetin, suatu subtansi normal yang diproduksi oleh ginjal
menstimulasi sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah merah. Pada gagal ginjal,produksi
eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi ,disertai keletihan, agina dan nafas sesak.
Ketidakseimbangan Kalsium dan Fosfat
Abnormalitas utama yang lain pada gagal ginjal kronis adalah gangguan metabolisme kalsium dan
fosfat tubuh memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah satunya meningkat yang lain menurun.
Dengan menurunnya filtrasi malalui glumelurus ginjal terdapat peningkatan kadar fosfat serum dan
sebaliknya penurunan kadar serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratoid. Namun
demikian pada gagal ginjal, tubuh tidak berespon secara normal terhadap peningkatan sekresi
parathormon, dan akibatnya, kalsium di tulang menurun, menyebabkan perubahan pada tulang dan
penyakit tulang, selain itu metabolik aktif vitamin D (1,25 dihidrokolekalsiferol) yang secara normal
dibuat di ginjal menurun seiring dengan berkembangnya ginjal.
Penyakit Tulang Uremik
Sering disebut osteodistrofi renal, terjadi dari perubahan komplek kalsium, fosfat dan keseimbangan
parathormon. Laju penurunan fungsi ginjal kronis berkaitan dengan gangguan yang mendasari, ekresi
protein dan urin, dan adanya hipertensi. Pasien yang mengekresikan secara signifikan sejumlah protein
atau mengalami peningkatan tekanan darah cenderung akan cepat memburuk daripada mereka yang
tidak mengalami kondisi ini.

Manifestasi Klinik

Manifestasi klinik penyakit ginjal kronik tidak spesifik dan biasanya ditemukan pada tahap akhir
penyakit. Pada stadium awal, stadium 1-3, tidak mengalami gejala apa apa atau tidak mengalami
gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, endokrin dan metabolik yang tampak secara klinis
(asimtomatik). Gangguan yang tampak secara klinis biasanya baru terlihat pada CKD stadium 4 dan 5.
Tanda dan gejala penyakit ginjal kronik melibatkan berbagai sistem organ. Gejala yang tersering
dirasakan adalah gangguan pada gastrointestinal yaitu mual, muntah, lemas, lelah, anoreksia, dan rasa
pahit di lidah, yang termasuk dalam sindrom uremia. Hipertensi juga sering dijumpai pada pasien
CKD. Selain itu juga didapatkan keluhan oedem perifer, efusi pleura, peningkatan JVP, asites, serta
adanya gangguan elektrolit dan asam basa, yaitu hiperkalemia, asidosis metabolik, hiperfosfatemia.
Pada pasien CKD, kulit terasa gatal, bersisik, kering, dan mengalami pigmentasi. Otot mengalami
kelemahan, fasikulasi, gangguan memori, dan klinis menjadi berat karena adanya ensefalopati
uremikum karena kadar ureum yang tinggi. Pada pasien CKD, tidak jarang didapati anemia, gangguan
hemostasis, gangguan hormon seks, dan gangguan metabolisme glukosa.

47
Diagnosis Penyakit Ginjal Kronik (Chronic Kidney Disease)

Keberadaan CKD harus ditegakkan, berdasarkan adanya kerusakan ginjal dan tingkat fungsi
ginjal (LFG), tanpa memperhatikan diagnosis. Pada pasien dengan CKD, stadium penyakitnya harus
ditentukan berdasarkan tingkat fungsi ginjal menurut klasifikasi CKD. Penghitungan LFG merupakan
pemeriksaan terbaik dalam menentukan fungsi ginjal. Pada banyak pasien LFG harus turun sampai
setengah dari nilai normal, sebelum kreatinin serum meningkat di atas nilai normal sehingga sangat
sulit untuk menilai tingkat fungsi ginjal dengan tepat atau untuk mendeteksi CKD pada stadium awal.
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu
traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain
lain.
b. Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah, nokturia, kelebihan
volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis,
kejang-kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,
asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida).

Pemeriksaan Penunjang
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan
LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak
bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam
urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia,
hipokalemia, asidosis metabolik
Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria

Urinalisis dapat dilakukan untuk menapis pasien yang dicurigai mengalami gangguan pada ginjalnya.
Peningkatan ekskresi protein (proteinuria) persisten umumnya merupakan penanda untuk kerusakan
ginjal. Peningkatan ekskresi albumin (albuminuria) merupakan penanda sensitif CKD yang
disebabkan diabetes, penyakit glomerular, dan hipertensi. Pada banyak kasus, penapisan dengan
menggunakan metode dipstick dapat diterima untuk mendeteksi proteinuria. Pemeriksaan sedimen

48
urin mikroskopis, terutama bersamaan dengan pemeriksaan proteinuria, berguna dalam mendeteksi
CKD dan mengenali jenis penyakit ginjal.
Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya anemia sebagai salah satu
manifestasi klinis kronis CKD. Pemeriksaan kimiawi serum menilai kadar ureum dan kreatinin
sebagai yang terutama dalam diagnosis dan monitoring, sedangkan pemeriksaan kadar natrium,
kalium, kalsium, fosfat, bikarbonat, alkalin fosfatase, hormon paratiroid, kolesterol, fraksi lipid yang
berguna dalam terapi dan pencegahan komplikasi.
Pemeriksaan radiologis penyakit CKD meliputi:
o Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
o Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati filter
glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal
yang sudah mengalami kerusakan
o Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi
o Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis,
adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi
o Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

Penatalaksanaan
Tujuan tatalaksana antara lain untuk menghambat penurunan LFG dan mengatasi komplikasi CKD
stadium akhir (stadium 4 dan 5). Tatalaksana meliputi terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya,
pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid, memperlambat perburukan fungsi ginjal,
pencegahan dan terapi terhadap kardiovaskular, pencegahan dan terapi terhadap komplikasi, terapi
pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Waktu yang paling tepat untuk terapi
penyakit dasar adalah sebelum terjadi penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak
terjadi. Pada ukuran ginjal yang msih normal secara ultrasonografi, biopsi,dan pemeriksaan
histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila
LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasat sudah tidak banyak
bermanfaat. Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien
penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan
pasien. Faktor faktor komorbid antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak
terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat obat nefrotoksik, bahan
radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
Faktor utama penyebab pemburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara
penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah, pembatasan asupan protein. Pembatasan
asupan protein mulai dilakukan pada LFG < 60 ml/mnt, sedangkan diatas nilai tersebut, pembatasan
asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8 kgbb/hari, yang 0,35 0,50 gr

49
diantaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35
kkal/kgBB/hari. Dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi
malnutrisi jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan
karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah dipecah menjadi urea dan
subtansi nitrogen lain, yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet
tinggi protein pada pasien Penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan penimbunan subtansi nitrogen
dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia.
Dengan demikian pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik.
Masalah penting lain adalah asupanprotein berlebih akan mengakibatkan perubahan hemodinamik
ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus, yang akan meningkatkan
progresifitas perburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan
asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu
untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.

Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat anti hipertensi, disamping bermanfaat
untuk memperkecil resiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat pemburukan
kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa
studi membuktikan bahwa pengendalian tekanan darah mempunyai peranyang sama pentingnya
dengan pembatasan asupan protein dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrogi
glomerulus. Disamping itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. Saat
ini diketahui secara luas bahwa, proteinuria merupakan faktor resiko terjadi pemburukan fungsi
ginjaldengan kata lain derajat proteinuria berkaitan dengan proses pemburukan fungsi ginjal pada
penyakit ginjal kronik. Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat Enzim Konverting
Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ACE inhibitor), melalui berbagai studi terbukti dapat
memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai
antihipertensi dan antiproteinuria.

Perencanaan tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya.


Tabel 6. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan Derajatnya
Derajat LFG (ml/mnt/1,73m2) Rencana tatalaksana
I 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi
pemburukan fungsi ginjal, memperkecil resiko
kardiovaskular
II 60-89 Menghambat perburukan fungsi ginjal
III 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
IV 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
V < 15 Terapi pengganti ginjal

Komplikasi

50
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik yaitu :
1. Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolic, katabolisme dan masukan diet
berlebihan.
2. Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah uremik dan
dialisis yang tidak adekuat dan berakhir dengan gagal jantung.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system renin-angiostensin-
aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah, perdarahan
gastrointestinalakibat iritasi oleh toksin dan kehilangan darah selama hemodialisis.
5. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum yang
rendah, metabolism vitamin D abnormal dan peningkatan kadar alumunium

Pencegahan untuk Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik

Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik, disebabkan oleh defisiensi
eritopoitin. Hal hal yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan
darah (misal, pendarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya
hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh subtansi uremik, proses inflamasi
akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g % atau
hematokrit < 30% meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum/serum iron, kapasitas ikat
besi total/ Total Iron Binding Capacity, feritin serum), mencari sumber pendarahan, morfologi eritrosit,
kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya. Penatalaksanaan terutama ditujukan pada
penyebab utamanya, disamping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO)
merupakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini status besi harus selalu mendapat perhatian
karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian tansfusi pada penyakit ginjal
kronik harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat.
Transfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh,
hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal, sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah
11-12 g/dl.

Osteodistrofi Renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi. Penatalaksanaan
Osteodistrofi Renal dilaksanakan dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormone
Kalsitriol (1.25(OH)2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat,
pemberian pengikat fosfat dengan tujuan absorbsi fosfat disaluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada
pasien dengan gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia. Pembatasan asupan
fosfat dengan pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien penyakit ginjal kronik
secara umum yaitu, tinggi kalori, rendah protein dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar
terkandung dalam daging dan produk hewan seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800
51
mg/hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan,untuk menghindari terjadinya
malnutrisi.

Pemberian pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah, garam kalsium, alumunium hidroksida, garam
magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorbsi fosfat yang berasal
dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium.
Pemberian bahan kalsium mimetik (calcium mimetic agent). Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis
obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer
hidrokhlorida. Obat ini disebut juga calcium mimetic agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas
yang sangat baik serta efek samping yang minimal.

Pemberian Kalsitriol untuk mengatasi osteodistrofi renal banyak dilaporkan. Tetapi pemakaiannya
tidak begitu luas, karena dapat meningkatkan absorbsi fosfat dan kalsium disaluran cerna sehingga
dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan barang calcium carbonate dijaringan, yang disebut
kalsifikasi metastatik.Disampingitu juga dapat mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap
kelenjar paratiroid. Oleh karena itu pemakaiannya dibatasi pada pasien dengan kadar fosfatdarah
normal dan kadar hormone paratiroid (PTH)>2,5 kali normal.

Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu dilakukan. Hal ini bertujuan
untuk mencegah terjadinya edem dan komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk kedalam tubuh
dibuat seimbang dengan air yang keluar baik melalui urine maupun insensible water loss. Dengan
berasumsi bahwa air yang keluar melalui insensible water antara 500-800 ml/hari (sesuai dengan luas
permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500-800 ml ditambah jumlah urine. Elektrolit
yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan kalium dilakukan, karena
hiperkalemia dapat mengakibatkan aritnia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat-obat
yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium seperti buah dan sayuran, harus dibatasi
kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/L. Pembatasan natrium dimaksudkan untuk
mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan
tingginya tekanan darah derajat edema yang terjadi.

Terapi pengganti ginjal pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15
ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialysis atau transplantasi
ginjal.

Nefropati urat
Nefropati bentuk akut atau bentuk kronis dan nefrolitiasis yang disebabkan pengendapan
garam urat pada tubulus ginjal.
Kelainan ini terjadi akibat peningkatan konsentrasi asam urat dalam urin. Keadaan ini akan
meningkat menjadi kristal asam urat dan terbentuknya batu asam urat. Selain batu, juga terjadi

52
nefropati obstruktif akibat presipitasi kristal asam urat yang berlebihan di tubulus ginjal. Keadaan ini
bisa menyebabkan nefropati asam urat akut. Akibatnya timbul gagal ginjal akut. Penumpukan asam
urat di tubulus ginjal dalam waktu lama juga menyebabkan kerusakan nefron ginjal yang progresif dan
berakhir dengan penyakit ginjal kronis.
Nefropati asam urat ditandai dengan hiperurisemia > 20 mg/dl, produksi urin sedikit(oliguria)
atau tidak memproduksi urin sama sekali (anuria), dan rasio asam urat urin berbanding kreatinin urin
lebih dari 1,0.

Gejala Klinis
Nefropati akut asam urat
Oliguria atau anuria total setelah terapi sitostatik (parenteral) untuk neoplasma
Gambaran klinik dapat menyerupai sindrom nefrotik akut
Bendungan sirkulasi (kardiomegali, bendungan paru akut, kenaikan tekanan vena jugularis,
bendungan hepar
Gangguan keseimbangan elektrolit (asidosis, hiperkalemia, hiperfosfatemia)
Hipertensi
Oedem

Kesimpulan
Hipertensi emergensi adalah peningkatan tekanan darah secara progresif yang disertai kerusakan
organ target dan dalam penanganannya memerlukan penurunan tekanan darah dalam beberapa menit
untuk mencegah berlanjutnya kerusakan organ target tersebut. Hipertensi emergensi (darurat) ditandai
dengan TD sistolik 180 dan Diastolik > 120 mmHg, disertai kerusakan berat dari organ sasaran yag
disebabkan oleh satu atau lebih penyakit/kondisi akut .
Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) atau Penyakit paru obstruktif menahun adalah penyakit
paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara disaluran pernapasan yang bersifat progresif non
reversible. PPOK dari bronkitis kronik, empisema atau gabungan keduanya.
Secara keseluruhan penyebab terjadinya PPOK tergantung dari jumlah partikel gas yang
dihirup oleh seorang individu selama hidupnya. Partikel gas ini termasuk : asap rokok, perokok aktif,
perokok pasif, polusi udara, polusi diruangan, polusi diluar ruangan, gas buang kendaraan bermotor
dan debu jalanan. Polusi ditempat kerja (bahan kimia, zat iritan, dan gas beracun) dan infeksi saluran
napas bawah berulang.
Gagal jantung kongestif adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung, sehingga
jantung tidak mampu memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolism jaringan. Gagal jantung ditangani dengan tindakan umum untuk mengurangi beban kerja

53
jantung dan manipulasi selektif terhadap ketiga penentu utama dari fungsi miokardium, baik secara
sendiri-sendiri maupun gabungan dari : beban aawal, kontraktilitas dan beban akhir. .
Gagal ginjal kronik Adanya kelainan struktural atau fungsional pada ginjal yang berlangsung
minimal 3 bulan, dapat berupa :Kelainan struktural yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan
laboratorium (albuminuria, sedimen urin, kelainan elektrolit akibat ginjal), pemeriksaan histologi,
pencitraan, atau riwayat transplantasi ginjal, atau Gangguan fungsi ginjal dengan laju filtrasi
glomerolus (LFG) < 60 mL/menit/1.73m2 dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

Daftar Pustaka

1. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2009. Global Strategy for The
Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
Barcelona: Medical Communications Resources. Diakses dari: http://www.goldcopd.orgpada
tanggal 22 Juli 2016
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011. PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik),
Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Diakses
dari:http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdfpada tanggal 22 Juli 2016
3. Alamsyah, Hariman. 2010. Efek latihan pernafasan terhadap faal paru, derajat sesak nafas
dan kapasitas fungsional penderita penyakit paru obstruksi kronik stabil. Thesis. Kota:
Medan. Universitas Sumatra Utara
4. Houn, H. Gray, Keith D. Dawkins, Iain A. Simpson & Jhon M. Morgan. 2014. Lecture notes
kardiologi. Jakarta : Erlangga.
5. Kathleen, Ouimet Perrin. 2009. Understanding the essentials of critical care nurshing.
London : PEARSON
6. Morton, Patricia gonce & Fontaine, Dorrie K. 2012. Critical care nurshing a holistic
approach. USA: Wolters Kluwer Health
7. Suyodo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 5.
Jakarta: Interna Publishing. 2013. Hal : 206
8. Corwin, Elizabeth J. 2000.Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.
9. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2005.Farmakologi dan
Terapi. Jakarta : Gaya Baru. (www.Medicinesia.com)
10. Syamsudin. 2011.Buku Ajar Farmakoterapi Kardiovaskular dan Renal.Jakarta : Salemba
Medika.

54

Anda mungkin juga menyukai