Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit tuberkulosis masih merupakan masalah kesehatan dunia. Tuberkulosis (TB)


masih merupakan penyakit menular yang paling sering menyebabkan morbiditas dan
mortalitas. Pada tahun 2004, WHO memperkirakan setiap tahunnya muncul 115 orang
penderita tuberkulosis paru menular (BTA positif) pada setiap 100.000 penduduk. Saat ini
Indonesia masih menduduki urutan ke 3 di dunia untuk jumlah TB setelah India dan China.1
Merujuk pada angka kejadian yang tinggi, Indonesia bekerjasama dengan World
Health Organization (WHO) menggalang strategi penanggulangan TB di Indonesia yang
kemudian disebut strategi Directly Observed Treatment Short Course (DOTS). Salah satu
programnya adalah melaksanakan pengobatan TB degan Obat Anti Tuberkulosis (OAT).
Pengobatan tuberkulosis terbagi terbagi menjadi 2 fase, yakni fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan (4 atau 7 bulan). Obat lini pertama yang digunakan adalah isoniazid, rifampisin,
pirazinamid, streptomisin dan etambutol. Obat lini pertama inilah yang paling sering digunakan
dan menimbulkan beragam efek samping. Waktu pemakaina yang lama tentu saja dapat
menimbulkan efek samping, efek samping yang hampir dimiliki oleh semua jenis OAT lini
pertama adalah hepatitis.1,2
Hepatitis imbas OAT adalah peradangan pada organ hati yang diakibatkan oleh reaksi
OAT. Setiap individu memiliki kerentanan yang berbeda, sehingga efek samping berupa
gangguan fungsi hati juga beragam waktu timbulnya. Biasanya efek samping hepatitis imbas
OAT akan timbul 1-2 bulan setelah konsumsi OAT. Hal lain yang mempengaruhi adalah faktor
resiko yang dimiliki oleh para pasien sendiri diantaranya adalah umur, jenis kelamin, status
gizi, riwayat penyakit hati sebelumnya, memiliki penyakit infeksi lain seperti HIV, konsumsi
alkohol, karier hepatitis B atau hepatitis C, pemakaina obat yang tidak sesuai aturan dan status
asetilatornya.3

ATLI 1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberculosis
Tuberculosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh kuman dari
kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk
batang, tidak berspora, dan tidak berkapsul dengan dinding yang sangat kompleks yang
membuat bakteri ini tahan asam pada pemeriksaan atau biasa disebut Basil Tahan Asam
(BTA). Umumnya M. tuberculosis menyerang paru, tetapi pada sepertiga kasus
menyarang organ lain seperti kelenjar limfe, tulang, meningens, dan ain-lain yang biasa
disebut TB ekstra paru.1,4
Tuberkulosis merupakan penyakit dengan angka kejadian yang sangat tinggi,
hamper sepertiga penduduk dunia terkena TB. Setiap tahunnya, 1.000 dari 100.000
penduduk terinfeksi TB dan 10% diantaranya akan menjadi sakit TB. Angka indsidens
yang begitu tinggi tersebut berbanding lurus dengan angka kematian. Angka kematian
akibat TB diperkirakan setiap harinya 8000 setiap harinya. Karena data tersebut, WHO
menjadikan TB sebagai Global Emergency dengan strategi DOTS sebagai
penanggulangannya.1,4
Diagnosis TB ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan bakteriologis, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Gejala klinis yang dapat timbul dibagi menjadi dua, gejala local dan gejala sistemik. Pada
pasien TB paru, gejala local yang timbul yaitu gejala respiratorik terdiri dari batuk lebih
dari 3 minggu, kadang disertai darah, sesak nafas, dan nyeri dada. Sedangkan untuk TB
ekstraparu, gejala lokal tergantung pada organ yang terkena. Gejala sistemik yaitu
penurunan berat badan, malaise, keringat malam, tidak nafsu makan dan demam. Pada
pemeriksaan fisik, kelainan dijumpai tergantung dari organ yang terkena. Pada TB paru
dapat ditemukan suara nafas bronkial amforik, suara nafas melemah, ronki basah, tanda-
tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum. Pemeriksaan bakteriologik
merupakan diagnosis pasti TB, yaitu menemukan kuman M. tuberculosis. Bahan
pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari berbagai sumber tergantung TB jenis
apa. Umumnya untuk TB paru, bahan pemeriksaannya berasal dari dahak dengan cara
pengambilan SPS (Sewaktu Pagi Sewaktu). Untuk TB ekstraparu dapat berasal dari
cairan pleura, liquor cerebrospinal (LCS), urin, feses, dan jaringan biopsy. Pemeriksaan

ATLI 2
radiologic yang umunya digunakan untuk TB adalah foto toraks. Diagnosis ditegakkan
jika ditemukan lesi perkapuran di apeks paru. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan
tetapi jarang adalah pemeriksaan BACTEC, PCR (Polymerase Chain Reaction), ICT
(Immunochromatographic Tuberculosis), dan lain-lain.4
2.2. Pengobatan Tuberkulosis
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri yang tumbuh lebih lambat dari
bakteri lain, oleh karena itu antibiotik yang sangat efektif untuk sel yang sedang tumbuh
tidak cukup efektif untuk bakteri ini. Selain itu, Mycobacterium tuberculosis juga mampu
menjadi dorman sehingga semakin sulit untuk diobati atau dapat terbunuh namun lambat.
Dinding sel Mycobacterium tuberculosis juga kaya akan lipid dan tidak permeable
terhadap banyak obat. Hal-hal tersebut membuat Mycobacterium tuberculosis mampu
membentuk resistensi dan karena bakteri ini lama berespon terhadap kemoterapi maka
diberikan selama bulanan hingga tahunan.4,5
Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. OAT tidak diberikan monoterapi melainkan dikombinasi beberapa jenis obat dimana
jumlah dan dosisnya disesuaikan dengan kategori pengobatan. OAT KDT lebih
menguntungkan dan sangat direkomendasikan.4
2. Adanya PMO (Pengawas Minum Obat).4,5
3. Diberikan dalam 2 tahap, yaitu intensif (awal) dan tahap lanjutan.
Tahap intensif (awal) : pengobatan diberikan setiap hari. Panduan pengobatan pada
tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang
ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang
mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan
tahap awal pada semua pasien baru harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya
dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah
sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu.6
Tahap lanjutan : pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting untuk
membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya kuman persisten
sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan.6
Panduan obat yang digunakan terdiri dari panduan obat utama (lini 1) dan tambahan.
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:1
Rifampisin (R)
Isoniazid (H)

ATLI 3
Pirazinamid (Z)
Streptomisin (S)
Etambutol (E)
2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination), terdiri dari :1
Empat obat antituberculosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid
75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg
Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75
mg dan pirazinamid 400 mg.
3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2) :1
Kanamisin
Kuinolon
Obat lain yang masih dalam penelitian : makrolid, amoksisilin + asam klavulanat
Derivat rifampisin dan INH
2.2.1. Isoniazid (H)
Isoniazid yang secara struktur mirip piridoksin merupakan obat anti
mikobakterium yang paling efektif dalam terapi tuberculosis namun kurang efektif
untuk mikobakterium atipik. Isoniazid bersifat bakterisid karena mampu
manghambat kebanyakan tuberkel, obat ini juga mampu penetrasi ke dalam intrasel
maupun ekstrasel. Obat ini bekerja dengan cara menghambat sintesis asam mikolat
yang merupakan struktur penting dalam dinding sel mikobakterium.7
Secara farmakodinamik isoniazid diabsorbsi dari saluran cerna dan akan
mencapai kadar puncak dalam plasma dalam 1-2 jam kemudian. Metabolism
isoniazid terutama asetilasi oleh N-asetiltransferase hati dan waktu paruhnya
berkisar antara 1-3 jam dan bentuk metabolit isoniazid terutama diekskresi dalam
urin.7
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi,
kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan
pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg/hari atau dengan vitamin B kompleks.
Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah
menyerupai defisiensi piridoksin (syndrome pellagra). Efek samping berat dapat
berupa hepatitis imbas obat yang terjadi pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi
hepatitis imbas obat atau ikterik, hentkan OAT dan pengobatan sesuai dengan
pedoman TB pada keadaan khusus.8

ATLI 4
2.2.2. Rifampisin (R)
Rifampisin merupakan turunan semisintetik rifamisin, antibiotic yang
dihasilkan oleh Streptomyces mediterranei. Rifampisin bekerja dengan
menghambat sintesis RNA dengan cara berikatan dengan subunit RNA
polymerase dependen-DNA milik bakteri. RNA polymerase manusia tidak dapat
berikatan dengan rifampisin sehingga sintesis RNA tidak terganggu. Rifampisin
merupakan obat antibiotic yang bersifat bakterisid terhadap mikobaterium. Obat
ini mampu penetrasi kedalam sel makrofag dan dapat membunuh organisme yang
sulit dijangkau oleh obat lainnya.7
Secara farmakodinamik rifampisin diabsorbsi dengan baik seluran cerna dan
diekskresi utama oleh hati ke dalam empedu. Rifampisin juga mengalami siklus
enterohepatik, akan dibuang dalam tinja dan sebagian kecil melalui urin.
Rifampisin terdistribusi luas ke dalam cairan dan jaringan tubuh. Rifampisin
bersifat inducer terhadap kebanyakan isoform sitokrom P450 seperti CYP 1A2,
2C9, 2C19, 2D6 dan 3A4 yang meningkatkan eliminasi berbagai obat seperti
metadon, antikoagulan, siklosporin, beberapa antikonvulsan, penghambat protease,
kontrasepsi dan obat lain sehingga menurunkan kadar semua obat tersebut di dalam
plasma.7
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan
simptomatis ialah:8
- Sindrom Flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
- Sindrom dispepsi, berupa sakit perut, mual, anorexia, muntah-muntah kadang
diare.
- Gatal-gatal dan kemerahan
Efek samping yang berat namun jarang terjadi:
- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut, OAT harus distop dulu
dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus.
- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari
gejala ini terjadi, Rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi
walaupun gejalanya telah menghilang.
- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak nafas.
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata
dan air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak

ATLI 5
berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar mereka mengerti dan
tidak perlu khawatir.8
2.2.3. Pirasinamid (P)
Pirazinamid merupakan obat yang tidak aktif pada pH netral, namun pada pH
5,5 obat ini akan diubah menjadi asam pirazinoat yang merupakan bentuk aktif obat
ini oleh pirazinamidase mikobakterium. Pirazinamid akan difagosit oleh makrofag
dan berefek pada mikobakterium dalam lisosom yang bersifat asam.7
Pirazinamid diabsorbsi dengan baik dari saluran cerna, dan akan
didistribusikan secara luas ke seluruh jaringan tubuh. Kadar puncak dalam plasma
dicapai dalam 1-2 jam. Waktu paruhnya 8-11 jam. Dimetabolisme oleh hati dan
metabolit aktifnya dibuang melalui ginjal.7
Efek samping utama adalah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai
pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin)
dan kadang-kadang dapat menyebabkan arthritis gout. Hal ini kemingkinan
disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang
terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.8
2.2.4. Streptomosin (S)
Streptomisin termasuk golongan aminoglikosida yang didapat dari diisolasi
dari galur Streptomyces griseus. Di dalam sel bakteri, obat ini akan berikatan
dengan reseptor pada subunit 30S protein ribosom bakteri. Obat ini akan
menghambat sintesis protein ribosom dengan cara mengganggu inisiasi
pembentukan peptida, menyebabkan misreading mRNA yang menyebabkan
penggabungan asam amino yang salah ke dalam peptida dan menguraikan polisom
menjadi monosom yang tidak berfungsi.7
Streptomisin apabila diberikan secara oral, akan diabsorbsi sedikit oleh
saluran cerna dan kebanyakan secara utuh diekskresi melalui tinja. Apabila
diberikan secara intramuskilar, absorbsi baik dan dan mencapai kadar puncak
dalam darah 30-90 menit. Obat ini biasanya diberikan secara intravena dalam infus
selama 30-60 menit.7
Efek samping utama adalah kelainan syaraf VIII (Nervus
Vestibulocochlearis) yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran.
Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis
yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien

ATLI 6
dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat adalah
telinga berdenging (tinnitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini
dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25 gram.
Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan
menetap.8
Reaksi hipersensitivitas kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba
disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan
ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang
mendenging dapat terjadi segera setalah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu
maka dosis dapat dikurangi 0,25 gram.8
Streptomisisn dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh
diberikan pada perempuan hamil sebab dapat merusak saraf pendengaran janin.1
2.2.5. Etambutol (E)
Etambutol menghambat arabinosil transferase mikobakterium yang berperan
dalam reaksi polymerase arabinoglikan sehingga sintesis dinding sel terhambat.
Etambutol diabsorbsi dengan baik dari usus, dan mencapai kadar puncak dalam
serum 2-4 jam kemudian. Ekstresi utama obat ini adalah melalui ginjal dan sedikit
melalui tinja.7
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya
ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian
keracunan okuler tersebut tergantung dengan dosis yang diapakai, jarang sekali
terjadi pada dosis 15-25 mg/kgBB/hari atau 30 mg/kgBB yang diberikan 3 kali
seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu
setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena
risiko kerusakan okuler untuk dideteksi.8
Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia adalah :6
Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
- Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis
- Pasien TB paru terdiagnosis klinis
- Pasien TB ekstra paru

ATLI 7
Tahap Intensif tiap hari Tahap lanjutan 3 kali
Berat Badan selama 56 hari RHZE seminggu selama 16 minggu
(150/75/400/275) RH (150/150)
30 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
Tabel 1. Dosis PAnduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3.6
Dosis per hari / kali Jumlah
hari/
Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Tablet
kali
Pengobatan Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol
@300 mg
menelan
@450 mg @500 mg @250 mg
obat
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48
Table 2. Dosis PAnduan OAT Kombipak Kategori 1: 2HRZE/4H3R3.6

Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati
sebelumnya (pengobatan ulang):
- Pasien kambuh
- Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya
- Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)

Tahap lanjutan 3
Tahap Intensif tiap hari
Berat kali seminggu RH
RHZE (150/75/400/275) + S
(150/150) + E(400)
Badan
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu

30 37 kg 2 tab 4KDT 2 tablet 4KDT 2 tab 2KDT


+500 mg Streptomisin inj + 2 tab Etambutol

38 54 kg 3 tab 4KDT 3 tablet 4KDT 3 tab 2KDT


+750 mg Streptomisin inj + 3 tab Etambutol

ATLI 8
55 70 kg 4 tab 4KDT 4 tablet 4KDT 4 tab 2KDT
+1000 mg Streptomisin inj + 4 tab Etambutol

71 kg 5 tab 4KDT 5 tablet 4KDT 5 tab 2KDT


+1000 mg Streptomisin inj + 5 tab Etambutol
(> do maks)

Table 3. Dosis Panduan OAT KDT Kategori 2:


2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.6

Etambutol Jumlah
Tahap Lama
Tablet Kaplet Tablet Streptomisi hari/ka
pengobata pengoba Isoniasid Rifampisin Pirazinamid
Tablet Tablet
n injeksi li nelan
n tan @250 @400
@300 mg @450 mg @500 mg
mg mg obat

Tahap awal 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 56


(dosis
harian) 1 bulan 1 1 3 3 - - 28

Tahap
lanjutan
5 bulan 2 1 - 1 2 - 60
(dosis 3x
seminggu)

Tabel 4. Dosis PAnduan OAT Kombipak Kategori 2:


2HRZES/HRZE/5H3R3E3.6

Kategori anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S)/4-10HR


Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat di Indonesia terdiri
dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide,
Sikloserin, Moksifloksasi dan PAS, serta OAT lini-1, yaoitu pirazinamid dan
etambutol.

2.3. Hepatotoksisitas Imbas Obat


2.3.1. Metabolisme Obat
Hati memetabolisme hampir setiap obat atau racun yang masuk ke dalam
tubuh. Sebagian besar obat bersifat lipofilik sehingga mampu menembus
membran sel intestinal. Kemudian obat di ubah menjadi hidrofilik melalui proses
biokimiawi dalam hepatosit, sehingga lebih larut air dan diekskresi dalam urin
atau empedu. Biotransformasi hepatic ini melibatkan jalur oksidatif terutama

ATLI 9
melalui system enzim sitokrom P-450. Metabolisme obat terjadi dalam 2 fase.
Pada fase pertama, terjadi reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisis. Semua obat
tidak mungkin menjalani langkah ini, dan beberapa dapat langsung menjalani fase
kedua.9
Sitokrom P-450 mengkatalisis reaksi pada fase pertama (terletak dalam
retikulum endoplasma halus hati). Sebagian besar produk bersifat sementara dan
sangat reaktif. Reaksi ini dapat mengakibatkan pembentukan metabolit yang jauh
lebih beracun daripada substrat induk dan dapat mengakibatkan luka pada hati.
Sebagai contoh, metabolit acetaminophen, N-asetil-p-benzoquinon-imina
(NAPQI), bersifat toksik apalagi jika dikonsumsi dengan dosis tinggi. NAPQI
bertanggung jawab atas luka pada hati dalam kasus keracunan.9
Setidaknya 50 enzim telah diidentifikasi, dan berdasarkan struktur, mereka
dikategorikan ke dalam 10 kelompok, dengan kelompok 1, 2, dan 3 menjadi yang
paling penting dalam metabolisme obat. Sitokrom P-450 dapat memetabolisme
banyak obat. Obat dapat mengalami biotransformasi kompetitif dan menghambat
satu sama lain, sehingga terjadi interaksi obat. Beberapa obat dapat menginduksi
dan menghambat Sitokrom P-450 enzim. Fase kedua dapat terjadi baik di dalam
ataupun di luar hati. Terjadi reaksi konjugasi dengan bagian (yaitu, asetat, asam
amino, sulfat, glutathione, asam glukuronat) sehingga akan meningkatkan
kelarutan obat. Selanjutnya, obat dengan berat molekul tinggi akan dikeluarkan
dalam empedu, sementara ginjal mengeluarkan obat dengan molekul yang lebih
kecil. Obat yang menginduksi dan menghambat sitokrom P-450 enzim adalah
sebagai berikut:9
Inducers
o Phenobarbital
o Phenytoin
o Carbamazepine
o Primidone
o Ethanol
o Glucocorticoids
o Rifampin
o Griseofulvin
o Quinine

ATLI 10
o Omeprazole - Induces P-450 1A2
Inhibitors
o Amiodarone
o Cimetidine
o Erythromycin
o Grape fruit
o Isoniazid
o Ketoconazole

Sebagian besar obat memasuki saluran cerna, dan hati sebagai organ
diantara permukaan absorptif dari saluran cerna dan organ target obat dimana hati
berperan penting dalam metabolisme obat. Sehingga hati rawan mengalami
cedera akibat bahan kimia terapeutik. Hepatotoksisitas imbas obat merupakan
komplikasi potensial yang hampir selalu ada pada setiap obat. Walaupun kejadian
jejas hati jarang terjadi, tapi efek yang ditimbulkan bisa fatal. Reaksi tersebut
sebagian besar idiosinkratik pada dosis terapeutik yang dianjurkan, dari 1 tiap
1000 pasien sampai 1 tiap 100.000 pasien dengan pola yang konsisten untuk
setiap obat dan untuk setiap golongan obat. Sebagian lagi tergantung dosis obat.
Hepatoksisitas imbas obat merupakan alasan paling sering penarikan obat dari
pasaran di Amerika Serikat dan di dalamnya termasuk lebih dari 50 persen kasus
gagal hati akut.10
2.3.2. Mekanisme Hepatotoksisitas
Mekanisme jejas hati imbas obat yang mempengaruhi protein-protein
transport pada membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis
hepatosit imbas empedu. Terjadi penumpukan asam-asam empedu di dalam hati
karena gangguan transport pada kanalikuli yang meghasilkan translokasi
fassitoplasmik ke membrane plasma, dimana reseptor ini mengalami
pengelompokan sendiri dan memicu kematian sel melalui apoptosis. Di samping
itu banyak reaksi hepatoseluler melibatkan system sitokrom P-450 yang
mengandung heme dan menghasilkan reaksi-reaksi energy tinggi yang dapat
membuat ikatan kovalen obat dengan enzim, sehingga menghasilkan ikatan baru
yang tak punya peran. Kompleks obat-enzim ini bermigrasi ke permukaan sel di
dalam vesikel-vesikel untuk berperan sebagai imunogen-imunogen sasaran

ATLI 11
serangan sitolitim ke sel T, merangsang respon imun multifaset yang melibatkan
sel-sel T sitotoksik dan bebagai sitokin. Obat-obat tertentu menghambat fungsi
mitokondria dengan efek ganda pada beta-oksidasi dan enzim-enzim rantai
respirasi. Metabolit-metabolit toksis yang dikeluarkan dalam empedu dapat
merusak epitel saluran empedu. Cedera pada hepatosit dapat terjadi akibat
toksisitas langsung, terjadi melalui konversi xenobiotik menjadi toksin aktif oleh
hati, atau ditimbulkan oleh mekanisme imunologik (biasanya oleh obat atau
metabolitnya berlaku sebagai hapten untuk mengubah protein sel menjadi
immunogen).10
Reaksi obat diklasifikasikan sebagai reaksi yang dapat diduga (intrinsic)
dan yang tidak dapat diduga (idiosinkratik). Reaksi Intrinsik terjadi pada semua
orang yang mengalami akumulasi obat pada jumlah tertentu. Reaksi idiosinkratik
tergantung pada idiosinkrasi pejamu (terutama pasien yang menghasilkan respon
imun terhadap antigen, dan kecepatan pejamu memetabolisme penyebab).10
2.3.3. Implikasi Klinis
Gambaran klinis hepatoksisitas imbas obat sulit dibedakan secara klinis
dengan penyakit hepatitis atau kolesatsis dengan etiologi lain. Riwayat
pemakaian obat-obat atau substansi-substansi hepatotoksiklain harus dapat
diungkap.10
Cedera hati mungkin timbul atau memerlukan waktu beberapa minggu dan
bulan, dan dapat berupa nekrosis hepatosit, kolestasis, disfungsi hati. Gambaran
klinis pada hepatitis kronis akibat virus atau autoimun, tidak dapat dibedakan
dengan hepatitis kronis akibat obat, baik secara klinis maupun histologist,
sehingga pemeriksaan serologis virus sering dipakai untuk mengetahui
perbedaannya.10
Beberapa International Consensus Criteria, maka diagnosis
hepatotoksisitas imbas obat berdasarkan :

1. Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai awitan reaksi
nyata adalah sugestif (5-90 hari dari awal minum obat) atau kompatibel
(kurang dari 5 hari atau lebih dari 90 hari sejak mulai minum obat dan tidak
lebih dari 15 hari dari penghentian obat untuk reaksi hepatoseluler dan tidak

ATLI 12
lebih dari 30 hari dari penghentian obat dan tidak lebih dari 15 hari dari
penghentian obat.
2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif (penurunan
enzim hati paling tidak 50% dari konsentrasi di atas batas atas normal dalam 8
hari) atau sugestif (pemurunan konsentrasi enzim hati paling tidak 50% dalam
30 hari untuk reaksi hepatoseluler dan 180 hari untuk reaksi kolestatik) dari
reaksi obat.
3. Alternatif sebab lain dari reaksi telah diekslusi dengan pemeriksaan teliti,
termasuk biopsy hati pada tiap kasus
4. Dijumpai respon positif pada pemeriksaan ulang dengan obat yang sama
paling tidak kenaikan dua kali lipat enzim hati

Dikatakan reaksi drug related jika semua tiga kriteria pertama terpenuhi
atau jika dua dari tiga kriteria pertama terpenuhi dengan respon positif pada
pemaparan ulang obat.9 Mengidentifikasikan reaksi obat dengan pasti adalah hal
yang sulit, tetapi kemungkinan sekecil apapun adanya reaksi terhadap obat harus
dipertimbangkan pada setiap pasien dengan disfungsi hati. Riwayat pemakaian
obat harus diungkap dengan seksama termasuk di dalamnya obat herbal atau obat
alternative lainnya. Obat harus selalu menjadi diagnosis banding pada setiap
abnormalitas tes fungsi hati dan/atau histologi. Keterlambatan penghentian obat
yang menjadi penyebab berhubungan dengan risiko tinggi kerusakan hati
persisten. Bukti bahwa pasien tidak sakit sebelum minum obat, menjadi sakit
selama minum obat tersebut dan membaik secara nyata setelah penghentian obat
merupakan hal essensial dalam diagnosis hepatotoksisitas imbas obat.9
Awitan umumnya cepat, gejalanya dapat berupa malaise, ikterus, gagal hati
akut terutama jika masih meminum obat setelah awitan hepatotoksisitas. Apabila
jejas hepatosist lebih dominan maka konsentrasi aminotransferas dapat
meningkat hingga paling tidak lima kali batas atas normal, sedangkan kenaikan
alkali fosfatase dan bilirubin menonjol pada kolestasi. Mayoritas reaksi obat
idiosinkratik melibatkan kerusakan hepatosit seluruh lobul hepatic dengan derajat
nekrosis dan apoptosis bervariasi. Pada kasus ini gejala hepatitis biasanya muncul
dalam beberapa hari atau minggu sejak minum obat dan mungkin terus
berkembang bahkan sesudah obat penyebab dihentikan pemakaiannya.9

ATLI 13
2.3.4. Faktor Resiko Kelainan Hepatoselular Imbas Obat
1. Ras: Beberapa obat tampaknya memiliki toksisitas yang berbeda berdasarkan
ras/suku bangsa. Misalnya, orang kulit hitam dan Hispanik mungkin lebih
rentan terhadap isoniazid (INH). Tingkat metabolisme berada di bawah
kendali sitokrom P-450 dan dapat bervariasi antar individu.
2. Umur: Terlepas dari paparan disengaja, reaksi obat pada hati jarang terjadi
pada anak-anak. Orang tua mempunyai risiko lebih tinggi cedera hati karena
clearance menurun, adanya interaksi antar obat, berkurangnya aliran darah ke
hati, dan menurunnya volume hati. Selain itu, pola makan yang buruk, infeksi,
dan rawat inap yang sering menjadi salah satu alasan penting terjadinya
hepatotoksisitas imbas obat.
3. Seks : Meskipun alasan tidak diketahui, reaksi obat hati lebih sering terjadi
pada wanita.
4. Konsumsi alkohol: orang yang sering mengkonsumsi alkohol rentan terhadap
keracunan obat karena alkohol menyebabkan cedera pada hati yang mengubah
metabolisme obat. Alkohol menyebabkan deplesi penyimpanan glutation
(hepatoprotektif) yang membuat orang lebih rentan terhadap toksisitas obat.
5. Penyakit hati: Secara umum, pasien dengan penyakit hati kronis mengalami
peningkatan risiko cedera hati. Meskipun total sitokrom P-450 berkurang,
beberapa orang mungkin akan terpengaruh lebih dari yang lain. Modifikasi
dosis pada orang dengan penyakit hati harus didasarkan pada pengetahuan
enzim spesifik yang terlibat dalam metabolisme. Pasien dengan infeksi HIV
yang koinfeksi dengan virus hepatitis B atau C akan meningkatkan risiko
untuk efek hepatotoksik apabila diobati dengan terapi antiretroviral. Demikian
pula, pasien dengan sirosis beresiko mengalami peningkatan dekompensasi
dengan obat beracun.
6. Faktor genetik: Sebuah gen yang unik pada pengkodean P-450 protein.
Perbedaan genetik di P-450 enzim dapat menyebabkan reaksi yang abnormal
terhadap obat. Debrisoquine adalah obat antiaritmiayang mengalami
metabolisme yang tidak baik karena ekspresi abnormal P-450-II-D6. Hal ini
dapat diidentifikasi dengan amplifikasi polymerase chain reaction gen mutan.
Hal ini mengakibatkan kemungkinan deteksi masa depan orang-orang yang
dapat memiliki reaksi abnormal terhadap suatu obat.

ATLI 14
7. Komorbiditas lain: penderita AIDS, orang-orang yang kekurangan gizi, dan
orang-orang yang berpuasa mungkin rentan terhadap reaksi obat karena
penyimpanan glutation rendah.
8. Formulasi obat: obat long-acting dapat menyebabkan cedera lebih pendek
dibandingkan obat short-acting
2.4. Hepatotoksisitas Imbas Obat Anti Tuberkulosis
2.4.1. Manifestasi Klinis Hepatotoksisitas Imbas OAT
Presentasi klinis hepatitis akibat Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terkait
mirip dengan hepatitis virus akut. OAT bisa menyebabkan hepatotoksisitas
dengan tingkat gejala yang bervariasi dari asimtomatik hingga simptomatik
seperti mual, muntah, anoreksia, jaundice, dll. Enzim hati transaminase
mengalami kenaikan seperti pada kegagalan hati akut.11
Hepatitis imbas OAT sendiri memiliki definisi beragam menurut beberapa
penelitian, tetapi secara umum definisi hepatotoksisitas adalah peningkatan kadar
ALT 1,5 kali dari kadar normal yang muncul setelah terapi, minimal 4 minggu
tanpa gejala hepatitis.
Jika dalam pasien tuberculosis yang sedang dalam pengobatan OAT dan
memberikan gejala hepatitis akut seperti di bawah ini, maka hal ini dapat
dijadikan acuan diagnose hepatotoksisitas imbas OAT telah terjadi. Individu yang
dijangkiti akan mengalami sakit seperti kuning, keletihan, demam, hilang selera
makan, muntah-muntah, sclera ikterik, jaundice, pusing dan kencing yang
berwarna hitam pekat.
Pasien TB bias dikatakan mengalami hepatitis imbas OAT jika :
1. Nilai fungsi hati dalam batas normal sebelum diberikan terapi OAT
2. Tidak mengkonsumsi alcohol dan zat kimia lainnya minimal 10 hari sebelum
pengobatan TB dimulai
3. Pasien harus mendapatkan obat isoniazid, pirazinamid dan rifampisin dalam
dosis normal baik itu sendiri maupun kombinasi minimal 5 hari sebelum
ditemukan nilai fungsi hati yang abnormal.
4. Ketika sedang mendapatkan terapi OAT terjadi peningkatan nilai fungsi hati
di luar batas normal, dan atau terjadi peningkatan bilirubin total >1,5mg/dL
5. Tidak ada sebab lain yang jelas ketika nilai tes fungsi hati meningkat.

ATLI 15
6. Ketika obat dihentikan, nilai fungsi hati menjadi normal atau menurun dari
nilai yang sebelumnya tinggi.
2.4.2. Efek Hepatoksik OAT
Disfungsi hati dapat didefinisikan sebagai peningkatan enzim hati alanine
transaminase (ALT) hingga 1,5 kali di atas batas atas normal atau paling tidak
terdapat peningkatan dua kali dalam empat minggu pengobatan tuberculosis.
Kenaikan progresif ALT dan kadar bilirubin jauh lebih berbahaya. Beberapa
penulis menyarankan menghentikan obat-obatan hepatotoksik jika tingkat ALT
meningkat tiga kali atau lebih dibandingkan dengan normal, sementara yang lain
merekomendasikan lima kali. Drug-Induced Hepatitis dapat diklasifikasikan
berdasarkan potensi masing-masing OAT yang menyebabkan hepatotoksisitas.11
Tingkat Kemampuan OAT Nama Obat

Tinggi Isoniazid, Rifampisin, Rifabutin,


Pirazinamid

Rendah Streptomisin, Etambutol

Tabel 5. Tingkat Kemampuan OAT dalam Menimbulkan Hepatitis Imbas


OAT.11
2.4.3. Penatalaksanaan Tuberkulosis pada Hepatotoksisitas Imbas Obat
Hepatitis imbas obat adalah kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-
obat hepatotoksik (drug induced hepatitis).
Penatalaksanaan:
- Bila Klinis (+) (Ikterik, gejala mual, muntah), maka OAT distop
- Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali, maka OAT distop
- Bila gejala klinis (-), laboratorium terdapat kelainan (Bilirubin>2), maka OAT
distop
- SGOT dan SGPT >5 kali nilai normal, maka OAT distop
- SGOT dan SGPT> 3 kali, maka teruskan pengobatan dengan pengawasan
Paduan obat yang dianjurkan
- Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
- Setelah itu monitor klinis dan laboratorium, bila klinik dan laboratorium
kembali normal (bilirubin, SGOT dan SGPT), maka tambahkkan Isoniazid (H)
desensitisasi sampai dengan dosis penuh 300 mg. selama itu perhatikan klinis

ATLI 16
dan periksa laboratorium saat Isoniazid dosis penuh. Bila klinis dan
laboratorium kembali normal, tambahkan Rifampicin, desensitisasi sampai
dengan dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga paduan obat menjadi
RHES.
- Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi.1

Pada pasien tuberculosis dengan hepatitis C atau HIV mempunyai risiko


hepatotksisitas terhadap obat aniti tuberculosis lima kali lipat. Sementara pasien
dengan karier HBsAg positif dan HBeAg negative yang inaktif dapat diberikan
obat standard jangka pendek, yakni Isoniazid, Rifampisin, Etambutol, dan/atau
Pirazinamid dengan syarat pengawasan tes fungsi hati paling tidak dilakukan
setiap bulan. Sekitar 10% pasien tuberculosis yang mendapatkan Isoniazid
mengalami kenaikan konsentrasi aminotransferase serum dalam minggu-minggu
pertama terapi yang nampaknya menunjukkan respon adaptif terhadap metabolit
toksik obat. Isoniazid dilanjutkan atau tidak tetap akan terjadi penurunan
konsentrasi aminotransferase sampai batas normal dalam beberapa minggu.
Hanya sekitar 1% yang berkembang menjadi seperti hepatitis viral, 50% kasus
terjadi pada 2 bulan pertama dan sisanya baru muncul beberapa bulan
kemudian.12

2.4.4. Rekomendasi Mengelola OAT


Pengelolaan OAT perlu diperhatikan agar kejadian hepatitis imbas obat dapat
diminimalisir sehingga pengobatan TB dapat berjalan efektif. Rekomendasi
Nasional untuk mengelola hepatotoksisitas imbas OAT antara lain:
Jika pasien tediagnosis hepatitis imbas obat OAT, maka pemberian OAT
tersebut harus dihentikan
Tunggu sampai jaundice hilang atau sembuh terlebih dahulu Jika jaundice
muncul lagi, dan pasien belum menyelesaikan tahap intensif, berikan dua
bulan
Streptomisin, INH dan Etambutol diikuti oleh 10 bulan INH dan Etambutol.
Jika pasien telah menyelesaikan tahap intensif, berikan INH dan Etambutol
sampai 8 bulan pengobatan untuk Short Course Kemoterapi (SCC) atau 12
bulan untuk rejimen standar.11

ATLI 17
Rekomendasi British Thoracic Society (BTS) untuk restart terapi pada
pasien hepatotoksisitas:
INH harus diberikan dengan dosis awal 50 mg / hari, dinakikkan perlahan
sampai 300 mg / hari setelah 2-3 hari. Jika tidak terjadi reaksi, lanjutkan.
Setelah 2-3 hari tanpa reaksi terhadap INH, tambahkan Rifampisin dengan
dosis 75 mg/hari lalu naikkan menjadi 300 mg setelah 2-3 hari, dan kemudian
450 mg (<50 kg) atau 600 mg (> 50 kg) yang sesuai untuk berat badan pasien.
Jika tidak ada reaksi yang terjadi, lanjutkan.
Akhirnya, pirazinamid dapat ditambahkan pada dosis 250 mg / hari, meningkat
menjadi 1,0 g setelah 2-3 hari dan kemudian ke 1,5 g (<50 kg) atau 2 g (> 50
kg).11
2.4.5. Strategi Untuk Meminimalisir Terjadinya Hepatotoksisitas OAT
Tes fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan TB dan
sebaiknya dipantau setiap 2 minggu selama awal dua bulan pada kelompok
berisiko seperti pasien dengan gangguan hati yang sudah ada, alkoholik, yang
lansia dan kurang gizi. Hal ini tidak hanya menjadi tanggung jawab para
profesional kesehatan akan tetapi pendidikan kesehatan ini harus dibebankan
kepada semua pasien yang menjalani pengobatan TB secara rinci tidak hanya
mengenai kepatuhan dan manfaat dari OAT tetapi juga efek samping. Para pasien
harus waspada dan melaporkan segera jika terjadi gejala yang mengarah pada
hepatitis seperti hilangnya nafsu makan, mual, muntah, jaundice, yang terjadi
selama pengobatan. Selanjutmya, kondisi klinis pasien harus dinilai tidak hanya
dalam hal pengendalian penyakit tetapi juga dalam gejala dan tanda-tanda
hepatitis pada mereka ikuti. OAT harus dihentikan segera jika ada kecurigaan
klinis reaksi hepatitis. Lalu tes fungsi hati harus diperiksa seperti ALT, AST dan
kadar bilirubin.11
2.4.6. Kriteria yang Dapat Digunakan Untuk Menentukan Perkembangan
Hepatotoksisitas Imbas OAT
1. Periksa kimia normal hati sebelum memulai rejimen obat OAT.
2. Tidak ada penggunaan alkohol atau penyalahgunaan obat sebelum memulai
pemberian OAT.

ATLI 18
3. Pasien harus menerima INH, Rifampicin atau Pirazinamid dengan dosis
standar, sendiri atau dalam kombinasi untuk minimal sebelum pengembangan
kimia hati yang abnormal.
4. Saat menerima pengobatan OAT, harus ada peningkatan ALT dan / atau untuk
AST> 120 IU / L (normal <40 IU / L) dan kadar bilirubin total. 1,5 mg / dl
(normal, 1,5 mg / dl).
5. Tidak ada penyebab jelas lainnya untuk peningkatan chemistries hati.
6. Penghapusan obat mengakibatkan normalisasi atau setidaknya peningkatan
50% dari kimia hati yang abnormal.13
2.4.7. Uji Test OAT Penyebab Hepatotoksisitas
Masalah terbesar dengan pengobatan TB adalah drug-induced hepatitis,
yang memiliki tingkat kematian sekitar 5%. Tiga obat-obatan dapat menyebabkan
hepatitis: Pirazinamid, INH dan Rifampicin (dalam urutan penurunan frekuensi).
Hal ini tidak mungkin untuk membedakan antara tiga penyebab murni
berdasarkan yanda-tanda dan gejala. Tes fungsi hati harus diperiksa pada awal
pengobatan, tetapi, jika normal, tidak perlu diperiksa lagi, pasien hanya perlu
memperingatkan gejala hepatitis. Dalam hal ini, tes hanya perlu dilakukan dua
minggu setelah memulai pengobatan dan kemudian setiap dua bulan selanjutnya,
kecuali ada masalah yang terdeteksi. Peningkatan kadar bilirubin dapat terjadi
akibat pemakaian Rifampicin (blok ekskresi bilirubin) dan namun biasanya
kembali normal setalah 10 hari (peningkatan enzim hati untuk mengimbangi
produksi). Peningkatan pada transaminase hati (ALT dan AST) yang utama di
tiga minggu pertama pengobatan. Jika pasien asimtomatik dan elevasi tidak
berlebihan maka tidak ada tindakan yang perlu diambil. Beberapa ahli
menganggap pengobatan harus dihentikan jika penyakit kuning menjadi bukti
klinis.
Jika hepatitis klinis signifikan terjadi saat pengobatan TB, maka semua obat
harus dihentikan sampai kadar transaminase kembali normal. Jika pengobatan TB
tidak dapat dihentikan, maka dapat diberikan Streptomycin dan Etambuto sampai
kadar transaminase kembali normal (kedua obat tidak berhubungan dengan
hepatitis).
Obat harus kembali diperkenalkan secara individual. Ini tidak dapat
dilakukan dalam suasana rawat jalan, dan harus dilakukan di bawah pengawasan

ATLI 19
ketat. Seorang perawat harus hadir untuk mengambil nadi pasien dan tekanan
darah pada 15 interval menit selama minimal empat jam setelah tiap dosis uji
diberikan (masalah yang paling akan terjadi dalam waktu enam jam pemberian
dosis uji, (jika mereka akan terjadi). Pasien dapat menjadi sangat tiba-tiba sakit
dan akses ke fasilitas perawatan intensif harus tersedia Obat-obatan yang harus
diberikan dalam urutan ini.:
Hari 1: INH pada 1 / 3 atau 1 / 4 dosis
Hari 2: INH pada 1 / 2 dosis
Hari 3: INH dengan dosis penuh
Hari 4: RMP pada 1 / 3 atau 1 / 4 dosis
Hari 5: RMP jam 1 / 2 dosis
Hari 6: RMP pada dosis penuh
Hari 7: EMB pada 1 / 3 atau 1 / 4 dosis
Hari 8: EMB pada 1 / 2 dosis
Hari 9: EMB pada dosis penuh

Tidak lebih dari satu tes dosis per hari harus diberikan, dan semua obat lain
harus dihentikan sementara dosis uji yang sedang dilakukan. Maka pada hari 4,
misalnya, pasien hanya menerima RMP dan tidak ada obat lain yang diberikan.
Jika pasien melengkapi sembilan hari dosis tes, maka wajar untuk menganggap
bahwa PZA telah menyebabkan hepatitis dan tidak ada dosis uji PZA perlu
dilakukan.
Alasan untuk menggunakan perintah untuk pengujian obat-obatan adalah
karena kedua obat yang paling penting untuk mengobati TB INH dan RMP, jadi
ini adalah diuji pertama: PZA adalah obat yang paling mungkin menyebabkan
hepatitis dan juga merupakan obat yang bisa paling mudah dihilangkan . EMB
berguna ketika pola kepekaan organisme TB tidak diketahui dan dapat
dihilangkan jika organisme diketahui sensitif terhadap INH. Rejimen masing-
masing menghilangkan obat standar tercantum di bawah ini.
Urutan di mana obat yang diuji dapat bervariasi menurut pertimbangan
sebagai berikut:
1. Obat yang paling bermanfaat (INH dan RMP) harus diuji dahulu, karena tidak
adanya obat-obatan dari rejimen pengobatan sangat merusak kemanjurannya.

ATLI 20
2. Obat yang paling mungkin menyebabkan reaksi harus diuji sebagai paling
akhir (dan mungkin tidak perlu diuji sama sekali).11

ATLI 21
BAB III

PENUTUP

Mengidentifikasi reaksi obat dengan pasti adalah hal yang sulit, tetapi kemungkinan
sekecil apa pun adanya reaksi terhadap obat harus dipertimbangkan pada setiap pasien dengan
disfungsi hati. Riwayat pemakaian obat harus diungkap dengan seksama, termasuk didalamnya
obat herbal atau obat alternatif lainnya. Obat harus selalu menjadi diagnosis banding pada
setiap abnormalitas tes fungsi hati dan / atau histologi. Keterlambatan penghentian obat yang
menjadi penyebab berhubungan dengan risiko tinggi kerusakan hati persisten. Bukti bahwa
pasien tidak sakit sebelum minum obat, menjadi sakit selama minum obat tersebut dan
membaik secara nyata setelah penghentian obat merupakan hal esensial dalam diagnosis
hepatotokisitas imbas obat. Secara umum tak ada antidotum spesifik yang dapat dipergunakan
pada pasien ini kecuali pada kasus hepatitis imbas obat karena asetaminofen. Terapi dilakukan
secara konservatif dengan tujuan mengurangi gejala klinik dengan pemberian obat-obatan
maupun cairan intravena. Bisa juga dilakukan pengobatan secara operatif. Prognosis kasus ini
beragam, pada reaksi idiosinkrasi gejala yang terjadi lebih berat.

ATLI 22
Daftar Pustaka

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman diagnosis dan


penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2006
2. WHO Report. Global tuberculosis control: Epidemiology, strategy, financing. 411:1-3-
1. Geneva. 2009
3. Brazilian Thoracic Association. Guidelines on tuberculosis. J, Bras. Pneumol. Vol. 35
no. Sao Paulo Oct. 2009
4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis.
Ed. 2. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2006
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed. 6. Jilid II.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2014
6. Departemen kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional pengendalian
tuberkulosis. 2014
7. Katzung, Bertram G. Basic & clinical pharmacology. 10th ed. McGraw Hill Lange
ebook. San Francisco. 2006
8. Istiantoro YH, Setiabudy R. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Badan Penerbit FKUI:
Jakarta; 2012
9. Mehta, Nilesh MD dkk. Drug-Induced Hepatotoxicity. Department of Gastroenterology
and Hepatology. 2010
10. Bayupurnama, Putut. Hepatotoksisitas Imbas Obat. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Indonesia. Jilid 1. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta. 2006
11. Kishore PV, Palaian S, Paudel R, Mishra P, Prabhu M, Shankar PR. Drug Induced
Hepatitis with Anti-tubercular Chemotherapy: Challenges and Difficulties in
Treatment. Kathmandu University Medical Journal (2007), Vol. 5, No. 2, Issue 18, 256-
260
12. Xial, Yin Yin dkk. Adverse Reactions in China National Tuberculosis Prevention and
Control Scheme Study (ADACS). BMC Public Health 2010, 10:267

13. Jaime, Ungo dkk. Antituberculosis Druginduced Hepatotoxicity The Role of Hepatitis
C Virus and the Human Immunodeficiency Virus. The University of Miami School of
Medicine, Division of Pulmonary Diseases and Critical Care Medicine

ATLI 23

Anda mungkin juga menyukai