Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

AL - IJAROH

Diajukan Untuk Memenuhi Dan Melengkapi Tugas


Pada Mata Kuliah Desain Produk Ekonomi Islam

Dosen Pengampu:
WIWIK DAMAYANTI

DISUSUN OLEH :
1. ALDI SETIAWAN
2. ESI YULVITA

FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI DIII PERBANKAN SYARIAH
SEMESTER IV

INSTITUT AGAMA ISLAM MAARIF (IAIM) NU


METRO LAMPUNG
1438 H / 2017 M

i
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr Wb
Alhamdulillah segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang mana pada
kesempatan ini penulis masih diberi Rahmat, Taufiq, Hidayat, serta Inayah-Nya
untuk menulis atau menyelesaikana makalah ini sebagai Tugas Mandiri pada mata
kuliah Desain Produk Ekonomi Islam.
Adapun Penyusun Makalah ini bertujuan sebagai salah satu syarat
pemenuhan tugas Mata Kuliah Desain Produk Ekonomi Islam.
Penulis hanyalah orang biasa akan tetapi dengan bantuan dari berbagai-
pihak yang telah membantu kami sehingga kami bisa menyelesaikan penyusunan
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik
dari bentuk penyusunan maupun materinya. Maka dari itu kritik konstrutif dari
pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir
kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat amin.

Wassalamuallaikum Wr Wb.

Metro, 15 mei 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Hal
HALAMAN JUDUL ................................................................................ i
KATA PENGANTAR .............................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan ............................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Al Ijarah ........................................................................... 2
B. Dasar Hukum Ijarah ........................................................................... 4
C. Kaidah Dan Syarat Dalam Ijarah ....................................................... 5
D. Rukun Ijarah ...................................................................................... 5
E. Ketentuan Obyek Ijarah ..................................................................... 6
F. Syarat Pembayaran ........................................................................... 8
G. Berakhirnya ijarah ............................................................................. 8
H. pengembalian sewaan ........................................................................ 9
I. pengaplikasian ijarah kontemporer .................................................... 9

BAB III PENUTUP


A.. Kesimpulan ...................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fiqih muamalah merupakan aturan yang membahas tentang hubungan
manusia dengan manusia lainnya dalam sebuah masyarakat. Segala tindakan
manusia yang bukan merupakan ibadah termasuk kedalam kategori ini.
Didalamnya termasuk kegiatan perekonomian masyarakat. Salah satu jenis
transaksi ekonomi yang dibahas dalamfiqih muamalah ialah ijarah.
Ijarah merupakan salah satu bentuk transaksi muamalah yang banyak
dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Didalam
pelaksanaan ijarah ini yang menjadi objek transaksinya adalah manfaat yang
terdapat pada sebuah zat. Untuk lebih jelasnya, didalam makalah ini akan
dibahas permasalahan ijarah yang meliputi pengertian, dasar hukumnya,
rukun dan syaratnya, al-ijarah al-muntahia bittamlik, serta perbedaan ijaroh
dan Jualah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian ijarah dan dasar hukumnya ?
2. Apa syarat dan rukun ijarah?
3. Bagaimanakah penerapan ijarah pada masa kini ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian ijarah dan dasar hukumnya
2. Untuk mengetahui Syarat dan Rukun Ijarah
3. Untuk mengetahui Pengertian al-Ijarah al-Muntahia Bittamlik

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijarah
Kata Al-ijarah sendiri berasal dari kata Al ajru yang diartikan sebagai
Al 'Iwadhu yang mempunyai arti ganti, al-kira`, yang mempunyai arti
bersamaan dan al-ujrah yang memiliki arti upah
Pengertian al-ijarah menurut istilah syariat Islam terdapat beberapa
pendapat Imam Mazhab Fiqh Islam sebagai berikut:
1. Para ulama dari golongan Hanafiyah berpendapat, bahwa al-ijarah
adalah suatu transaksi yang memberi faedah pemilikan suatu manfaat
yang dapat diketahui kadarnya untuk suatu maksud tertentu dari
barang yang disewakan dengan adanya imbalan.
2. Ulama Mazhab Malikiyah mengatakan, selain al-ijarah dalam
masalah ini ada yang diistilahkan dengan kata al-kira`, yang
mempunyai arti bersamaan, akan tetapi untuk istilah al-ijarah mereka
berpendapat adalah suatu `aqad atau perjanjian terhadap manfaat dari
al-Adamy (manusia) dan benda-benda bergerak lainnya, selain kapal
laut dan binatang, sedangkan untuk al-kira` menurut istilah mereka,
digunakan untuk `aqad sewa-menyewa pada benda-benda tetap,
namun demikian dalam hal tertentu, penggunaan istilah tersebut
kadang-kadang juga digunakan.
3. Ulama Syafi`iyah berpendapat, al-ijarah adalah suatu aqad atas suatu
manfaat yang dibolehkan oleh Syara` dan merupakan tujuan dari
transaksi tersebut, dapat diberikan dan dibolehkan menurut Syara`
disertai sejumlah imbalan yang diketahui.
4. Hanabilah berpendapat, al-ijarah adalah `aqad atas suatu manfaat
yang dibolehkan menurut Syara` dan diketahui besarnya manfaat
tersebut yang diambilkan sedikit demi sedikit dalam waktu tertentu
dengan adanya `iwadah.

2
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapatlah dikatakan
bahwa dalam hal `aqad ijarah dimaksud terdapat tiga unsur pokok, yaitu
pertama, unsur pihak-pihak yang membuat transaksi, yaitu majikan dan
pekerja. Kedua, unsur perjanjian yaitu ijab dan qabul, dan yang ketiga,
unsur materi yang diperjanjikan, berupa kerja dan ujrah atau upah.1
Al Ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat suatu
barang dengan jalan penggantian. Beberapa contoh kontrak ijarah
(pemilikan manfaat) seperti :
(a) Manfaat yang berasal dari aset seperti rumah untuk ditempati, atau mobil
untuk dikendarai,
(b) Manfaat yang berasal karya seperti hasil karya seorang insinyur bangun-
an, tukang tenun, tukang pewarna, penjahit, dll
(c) Manfaat yang berasal dari skill/keahlian individu seperti pekerja kantor,
pembantu rumah tangga, dll.
Sementara itu, menyewakan pohon untuk dimanfaatkan buahnya,
menyewakan makanan untuk dimakan, dll bukan termasuk kategori ijarah
karena barang-barang tersebut tidak dapat dimanfaatkan kecuali barang-
barang tersebut akan habis dikonsumsi.
Adapun landasan hukum ijarah dari Al-Quran dapat ditemukan antara
lain pada Surah Az-Zuhruf ayat 32, Surah Al-Baqarah ayat 233, dan Surah
Al-Qashash ayat 26 dan 27. Sedangkan landasan hukum yang berasal dari
Hadits Nabi SAW antara lain Hadits Al-Bukhari yang meriwayatkan bahwa
Nabi SAW pernah menyewa seseorang dari Bani Ad-Diil bernama Abdullah
bin Al Uraiqith sebagai petunjuk jalan yang professional.
Dalam Hukum Islam ada dua jenis ijarah, yaitu :
a. Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa, yaitu mempekerjakan jasa
seseorang dengan upah sebagai imbalan jasa yang disewa. Pihak yang
mempekerjakan disebut mustajir, pihak pekerja disebut ajir dan upah
yang dibayarkan disebut ujrah.
b. Ijarah yang berhubungan dengan sewa aset atau properti, yaitu
memindahkan hak untuk memakai dari aset atau properti tertentu
1
Yaya, Rizal dkk. Akuntansi Perbankan Syariah ; teori dan praktik kontemporer. Jakarta:
Salemba Empat. 2009. Hlm 286

3
kepada orang lain dengan imbalan biaya sewa. Bentuk ijarah ini mirip
dengan leasing (sewa) pada bisnis konvensional. Pihak yang menyewa
(lessee) disebut mustajir, pihak yang menyewakan (lessor)
disebutmujir/muajir dan biaya sewa disebut ujrah.
Ijarah bentuk pertama banyak diterapkan dalam pelayanan jasa
perbankan syariah, sementara ijarah bentuk kedua biasa dipakai
sebagai bentuk investasi atau pembiayaan di perbankan syariah.

B. Dasar Hukum Ijarah


Ijarah sebagai suatu transaksi yang sifatnya saling tolong menolong
mempunyai landasan yang kuat dalam al-Quran dan Hadits.2 Konsep ini
mulai dikembangkan pada masa Khlaifah Umar bin Khathab yaitu ketika
adanya sistem bagian tanah dan adanya langkah revolusioner dari Khalifah
Umar yang melarang pemberian tanah bagi kaum muslim di wilayah yang
ditaklukkan. Dan sebagai langkah alternatif adalah membudidayakan tanah
berdasarkan pembayaran kharaj dan jizyah.

Kebolehan transaksi ijarah didasarkan Al Quran dan hadits


QS. Az-Zukhruf : 32

Artinya :
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah
menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia,
dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain
beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian

2
Ibid.296

4
yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan.

C. Kaidah dan syarat dalam ijarah


Kaidah Ijarah
1. Semua barang yang dapat dinikmati manfaatnya tanpa mengurangi
substansi barang tersebut, maka barang tersebut dapat disewakan.
2. Semua barang yang pemanfaatannya dilakukan sedikit demi sedikit
tetapi tidak mengurangi substansi barang itu seperti susu pada unta
dan air dalam sumur dapat juga disewakan.
3. Uang dari emas atau perak dan tidak dapat disewakan karena barang-
barang ini setelah dikonsumsi menjadi hilang atau habis.

Syarat ijarah
1. Jasa atau manfaat yang akan diberikan oleh aset yang disewakan
tersebut harus tertentu dan diketahui dengan jelas oleh kedua belah
pihak.
2. Kepemilikan aset tetap pada yang menyewakan yang bertanggung
jawab pemeliharaannya, sehingga aset tersebut harus dapat memberi
manfaat kepada penyewa.
3. Akad ijarah dihentikan pada saat aset yang bersangkutan berhenti
memberikan manfaat kepada penyewa. Jika aset tersebut rusak dalam
periode kontrak, akad ijarah masih tetap berlaku.
4. Aset tidak boleh dijual kepada penyewa dengan harga yang ditetapkan
sebelumnya pada saat kontrak berakhir. Apabila aset akan dijual
harganya akan ditentukan pada saat kontrak berakhir.

D. Rukun Ijarah:

1. Mujir dan Mustajir, yaitu orang yang melakukan akad sewa menyewa atau
upah-mengupah. Mujir adalah yang memberikan upah dan yang
menyewakan, sedangkan mustajir adalah orang yang menerima upah untuk

5
melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu.3 Disyaratkan pada mujir
dan mustajir adalah baligh, berakal, cakap melakukan tasharuf
(mengendalikan harta), dan saling meridhai. Allah SWT berfirman:

1. Bagi orang yang berakad ijarah juga disyaratkan mengetahui manfaat


barang yang diakadkan dengan sempurna sehingga dapat mencegah
terjadinya perselisihan.
2. Sighat ijab kabul antara mujir dan mustajir, ijab kabul sewa-
menyewa dan upah-mengupah.
3. Ujrah, disyaratkan deiketahui jumlahnya oleh kedua pihak, baik dalam
sewa menyewa ataupun dalam hal upah-mengupah.
4. Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah-
mengupah, disyaratkan pada barang yang disewakan dengan beberapa
syarat sebagai berikut.
- Barang yang menjadi objek sewa-menyewa dan upah-mengupah
dapat dimanfaatkan kegunaanya.
- Benda yang menjadi objek sewa-menyewa dan upah-mengupah
dapat diserahkan kepada penyewa dan pekerja berikut
kegunaanya (khusus daam sewa-menyewa).
- Manfaat dari benda yang disewa adalah perkara yang mubah
(boleh) menurut syara bukan hal yang dilarang.
- Benda yang disewakan disyaratkan kekal ain (zat) nya hingga
waktu yang ditentukan menurut perjanjian akad.

E. Ketentuan Obyek Ijarah:


1. Obyek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.
2. Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan
dalam kontrak.
3. Manfaat barang atau jasa harus yang bersifat dibolehkan (tidak
diharamkan).

3
Syafei, Rachmat. Fiqh Muamalah. Bandung: CV PUSTAKA SETIA. 2001. Hlm 124

6
4. Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan
syariah.
5. Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk
menghilangkan jahalah (ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan
sengketa.
6. Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka
waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
7. Sewa atau upah adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah
kepada LKS sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat
dijadikan harga (tsaman) dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa
atau upah dalam Ijarah.
8. Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari
jenis yang sama dengan obyek kontrak.
9. Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat
diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.

Kewajiban pemberi manfaat barang atau jasa:


1. Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan
2. Menanggung biaya pemeliharaan barang.
3. Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.

Kewajiban penerima manfaat barang atau jasa:


1. Membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk menjaga
keutuhan barang serta menggunakannya sesuai akad (kontrak).
2. Menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak
materiil).
3. Jika barang yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari
penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak
penerima manfaat dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas
kerusakan tersebut.

7
F. Syarat Ujrah (fee, bayaran sewa)
1. Harus termasuk dari harta yang halal
2. Harus diketahui jenis, macam dan satuannya
3. Tidak boleh dari jenis yang sama dengan manfaat yang akan disewa
untuk menghindari kemiripan riba fadhl
4. Kebanyakan ulama membolehkan fee ijarah bukan dengan uang tetapi
dalam bantuk jasa (manfaat lain). Misalnya membayar sewa mobil 1
minggu dengan mengajar anaknya matematika selama 1 bulan 8 Kali
pertemuan.4
Pada prinsipnya dalam kontrak ijarah harus dikatakan dengan jelas
siapa yang menanggung biaya pemelihraan asset obyek sewa. Sebagian
ulama menyatakan jika kontrak sewa menyebutkan biaya perbaikan
ditanggung penyewa, maka kontrak sewa itu tidak sah, karena penyewa
menangung biaya yang tidak jelas.

G. Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah


Ijarah adalah jenis akad tidak membolehkan adanya fasakh pada salah
satu pihak, karena ijarah merupakan akad pertukaran, kecuali bila didapati
adanya hal-hal yang mewajibkan fasakh.
Ijarah akan menjadi fasakh (batal) bila terdapat hal-hal sebagai berikut:
- Terdapat cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa.
- Barang yang disewakan hancur atau rusak.
- Rusaknya barang yang diupahkan, seperti baju yang diupahkan untuk
dijahitkan.
- Akad ijarah dihentikan pada saat aset yang bersangkutan berhenti
memberikan manfaat kepada penyewa.
- Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah
ditentukan dan telah selesai pekerjaan.
- Salah satu pihak meninggal dunia (Hanafi); jika barang yang
disewakan itu berupa hewan maka kematiannya mengakhiri akad
ijaroh (Jumhur).
- Kedua pihak membatalkan akad dengan iqolah.

4
http://shariapedia.blogspot.com/2012/08/Landasan-Ijarah.html

8
H. Pengembalian Sewaan
Jika ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan
barang sewaan, jika barang tersebut dapat dipindahkan, ia wajib
menyerahkan kepada pemiliknya, dan jika bentuk barang sewaan adalah
benda tetap, ia wajib menyerahkan kembali dalam keadaan kosong, jika
barang sewaan itu berupa tanah, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya
dalam keadaan kosong dari tanaman, kecuali bila ada kesulitan untuk
menghilangkannya.
Mazhab Hanbali berpendapat bahwa ketika ijarah telah berakhir,
penyewa harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada keharusan
mengembalikan untuk menyerahterimakan seperti barang titipan.

I. Pengaplikasian Ijarah Kontemporer


Ijarah adalah akad untuk memanfaatkan jasa, baik jasa atas barang
ataupun jasa atas tenaga kerja. Bila digunakan untuk mendapatkan manfaat
barang, maka disebut sewa-menyewa.5 Sedangkan jika digunakan untuk
mendapatkan manfaat tenaga kerja, disebut upah-mengupah. Pada ijarah,
tidak terjadi perpindahan kepemilikan objek ijarah. Objek ijarah tetap
menjadi milik yang menyewakan.
Contoh : Pemilik kendaraan bermotor menyewakan kendaraannya dengan
memperoleh imbalan uang sewa. Seorang mandor memperoleh upah dari
manfaat tenaga kerja yang diberikan kepada pemilik proyek.

5
Muhammad Antonio, Bank Syariah. Jakarta: Gema Insani, 2001.

9
1. Ijarah al-Muwazy (Paralel)
Menyewakan barang kepada pihak ketiga, hukumnya dibolehkan,
apabila pemilik barang mengizinkannya. Apabila pemilik asset tidak
mengizinkannya, maka penyewaan kepada pihak ketiga tidak dibolehkan.,
Bank syariah dan BMT dapat menjadikan konsep ini sebagai produk.6

2. Ijarah Munyahiyah bit Tamlik


IMBT merupakan kependekan dari Ijarah Mumtahiya bit Tamlik.
Pembiayaan IMBT tidak sama dengan IMBT, begitupun IMBT tidak sama
dengan sewa beli, dan tidak sama pula dengan leasing. Dalam sewa beli,
lessee otomatis jadi pemilik barang di akhir masa sewa. Dalam IMBT, janji
pemindahan kepemilikan di awal akad ijarah adalah waad (janji) yang
hukumnya tidak mengikat. Bila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada
akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah selesai.
Sedangkan pada leasing, kepemilikan lessee tersebut hanya terjadi bila hak
opsinya dilaksanakan oleh lessee. Pada pembiayaan IMBT, bank sebagai
penyedia uang untuk membiayai transaksi dengan prinsip IMBT paling
tidak mempunyai dua pilihan. Pertama, besarnya angsuran bulanan IMBT
yang harus dibayarkan nasabah kepada bank telah memasukkan komponen
nilai perolehan barang IMBT, sehingga pada akhir masa ijarah nilai
perolehan barang IMBT yang masih tersisa telah nihil. Dalam hal ini,
meskipun secara teori fikih dikatakan hukumnya tidak mengikat untuk
memindahkan kepemilikan barang tersebut, namun secara praktik bisnisnya
barang tersebut akan diserahkan kepemilikannya kepada nasabah. Jadi
dalam hal ini pembiayaan IMBT lebih mirip dengan sewa beli dibandingkan
dengan leasing. Kedua, besarnya angsuran bulanan IMBT yang harus
dibayarkan nasabah kepada tidak memasukkan komponen nilai perolehan
barang IMBT, sehingga pada akhir masa ijarah nilai perolehan barang
IMBT yang masih tersisa tidak nihil (biasanya disebut nilai residu). Dalam

6
http://enggarcz.blogspot.com/2012/05/PSAK-107-tentang-Ijarah.html

10
hal ini, bila nasabah membayar nilai residu tersebut maka bank akan
memindahkan kepemilikannya pada nasabah. Namun bila nasabah belum
membayar nilai residunya, bank belum memindahkan kepemilikan tersebut.
Jadi dalam hal ini pembiayaan IMBT lebih mirip dengan leasing
dibandingkan dengan sewa beli.
Pihak lessor dalam leasing hanya bermaksud untuk membiayai
perolehan barang modal oleh lessee, dan barang tersebut tidak berasal dari
pihak lessor, tapi dari pihak ketiga atau dari pihak lessee sendiri. Pada sewa
beli, lessor bermaksud melakukan semacam investasi dengan barang yang
disewakannya itu dengan uang sewa sebagai keuntungannya. Karena itu,
biasanya barang tersebut berasal dari milik pemberi sewa sendiri. Pada
IMBT keduanya dapat terjadi, menyediakaan barang sewa dengan cara
menyewa, kemudian menyewakannya kembali. Juga dimungkinkan
menyediakan barang sewa dengan membeli kemudian menyewakannya.
Pada pembiayaan IMBT, bank sebagai penyedia uang untuk
membiayai transaksi dengan prinsip IMBT dapat saja membiayai
penyewaan barang kemudian barang tersebut disewakan kembali, dan dapat
pula membiayai pembelian barang kemudian barang tersebut disewakan.
Yang jelas pembiayaan IMBT adalah penyediaan uang untuk membiayai
transaksi dengan prinsip IMBT, bukan akad IMBT itu sendiri. Terakhir,
leasing boleh dilakukan oleh perusahaan pembiayaan sedangkan sewa beli
tidak termasuk kegiatan lembaga pembiayaan. Pembiayaan IMBT boleh
dilakukan oleh bank syariah, sedangkan sewa beli, leasing, IMBT tidak
termasuk kegiatan bank syariah.
Fatwa MUI tentang IMBT
Pihak yang melakukan al-Ijarah al-Muntahiah bi al-Tamlik harus
melaksanakan akad Ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan
kepemilikan, baik dengan jual beli atau pemberian, hanya dapat
dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad Ijarah
adalah wa'd (), yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu

11
ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan
yang dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
Sukuk Ijarah
Sukuk Ijarah merupakan surat berharga yang merepresentasikan
kepemilikan penyertaan atas asset yang disewakan. Sukuk ini memberikan
hak kepada para pemegangnya untuk mendapatkan uang sewa serta hak
untuk mengalihkan kepemilikan berdasarkan penyertaan yang mereka miliki
tanpa mempengaruhi hak si penyewa, dengan kata lain sukuk ini dapat
diperjual belikan.7 Para pemiliki sukuk menanngungg seluruh biaya
perawatan dan kerusakan dari asset yang dimilki berdasarkan proporsi
kepemilikan mereka. (AAOIFI), Secara umum sukuk didefinisikan sebagai
sertifikat pertisipasi Islami yang dapat diperdagangkan berdasarkan
kepemilikan dan pertukaran dari asset yang disepakati bersama
Khusus untuk sukuk ijarah, kontrak yang mendasarinya adalah ijarah
yaitu sewa menyewa (leasing) seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Sebagaimana ketentuan transaksi bisnis syariah yang membedakannya
dengan ketentuan transaksi bisnis konvensional, kegiatan sukuk ijarah tidak
boleh bertentangan dengan syariah seperti : (a) Usaha perjudian dan
permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang; (b) Usaha
lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi
konvensional; (c) Usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta
memperdagangkan makanan dan minuman haram; (d) Usaha yang
memproduksi, mendistribusi, dan atau menyediakan barang-barang ataupun
jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat (Fatwa No. 20 DSN-
MUI/IV/2001). Selain itu, keuntungan yang akan dibagikan oleh penerbit
sukuk ijarah harus bersumber dari hasil usaha/pengelolaan sukuk ijarah itu
sendiri.
Untuk dapat melakukan kontrak sukuk berbasis ijarah, para investor,
penerbit sukuk dan pihak terkait lainnya wajib memenuhi sejumlah
persyaratan tertentu. Pertama, kedua belah pihak yang akan melakukan akad

7
Yaya, Rizal dkk. Akuntansi Perbankan Syariah ; teori dan praktik kontemporer.
Jakarta: Salemba Empat. 2009. Hlm 291

12
harus berkemampuan dan berakal. Kedua, akil baligh sebagaimana yang
disyaratkan oleh Imam Asy Syafi'i dan Hambali. Sehingga berakad dengan
anak kecil dinyatakan tidak sah. Kemudian, agar transaksi berbasis ijarah
tersebut menjadi sah (valid), diperlukan pula sejumlah ketentuan tambahan.
Pertama, adanya kerelaan kedua belah pihak yang melakukan akad
sebagaimana Firman Allah SWT pada Surah An-Nisa ayat 29. Kedua,
mengetahui secara sempurna manfaat dari barang yang menjadi objek akad
antara lain untuk mencegah terjadinya perselisihan. Ketiga, barang atau
asset yang menjadi objek akad dapat dimanfaatkan sesuai dengan kriteria,
realita dan syara. Imam Hanafi menambahkan bahwa menyewakan barang
yang tidak dapat dibagi (tidak dalam keadaan lengkap) tidak dapat
diperbolehkan, sebab manfaat kegunaannya tidak dapat ditentukan.
Keempat, aset tersebut sudah jelas, nyata dan dimiliki penerbit sukuk
sehingga dapat disewakan untuk diambil manfaatnya. Menyewakan
binatang buruan (masih dalam perburuan), tanah tandus atau menyewakan
binatang lumpuh yang tidak dapat diserahkan tidak dibenarkan secara
syariah karena tidak mendatangkan kegunaan yang menjadi obyek dari akad
ini. Terakhir, sewa-menyewa yang dilakukan bukan untuk sesuatu yang
diharamkan. Menyewakan asset yang akan digunakan untuk memproduksi
minuman keras, tempat berjudi, dll tidak dibenarkan dalam syariah dan
kontrak ijarah yang dilakukan menjadi ijarah fasid.
Hal terakhir yang spesifik dan layak diketahui dari sukuk ijarah adalah
kontrak ini dapat diperjualbelikan di pasar modal dengan harga yang
ditentukan oleh kekuatan pasar. Kegiatan ekonomi, investasi serta risiko
yang berhubungan dengan kesanggupan penyewa untuk membayar harga
sewa serta biaya penjaminan dan pemeliharaan asset menentukan harga
sukuk ijarah di pasar keuangan. Namun demikian, sukuk ijarah menawarkan
suatu bentuk surat berharga yang fleksible dan marketable dibandingkan
jenis sukuk lainnya. (Muhammad Fadlillah}
Berikut ini disajikan mengenai skema transfer manfaat atas aset yang
telah tersedia. Pada saat perusahaan merencanakan untuk menerbitkan
sukuk ijarah, perusahaan terlebih dahulu menetapkan aset yang akan

13
diijarah-kan. Kemudian, perusahaan menjual manfaat aset kepada investor.
Atas transfer ini, perusahaan memperoleh pembayaran lumpsum dari
investor dan sebaliknya investor memperoleh sertifikat sukuk ijarah. Pada
tahap ini, perusahaan dan investor menandatangani akad Ijarah, yang
memposisikan perusahaan menjadi lessee dan investor menjadi lessor.
Selanjutnya, investor dan perusahaan menandatangani akad Wakalah,
yang berisi bahwa investor memberikan kuasa kepada perusahaan atas
manfaat aset underlying ijarah. Kuasa tersebut, digunakan oleh perusahaan
untuk mencari end customer yang bermaksud untuk menyewa aset
underlying ijarah. Hal ini dilakukan karena perusahaan memiliki
pengetahuan yang lebih baik dibandingkan investor terhadap industrinya.
Setelah menemukan end customer, perusahaan mentransfer manfaat aset
underlying ijarah. Dalam tahap ini seakan-akan peranan perusahaan
adalah sebagai lessor mewakili investor dan end customer adalah
sebagai lessee. End customer berkewajiban membayar penggunaan asset
underlying ijarah. Pembayaran ini merupakan sumber kupon ijarah yang
akan dibayarkan perusahaan selaku lessee kepada investor selaku lessor.
Skema sukuk ijarah semacam ini dijumpai di Indonesia khususnya
transaksi sukuk ijarah PT Berlian Laju Tanker (BLT) Tbk. PT BLT Tbk
menerbitkan sukuk ijarah untuk mentransfer manfaat kapal tanker kepada
investor. Kemudian PT BLT Tbk membantu investor untuk mencari end
customer yang berminat untuk menyewa kapal tanker PT BLT Tbk tersebut.
Dari transaksi dengan end customer tersebut, PT BLT Tbk memperoleh
secara berkala, fee sewa yang diteruskan kepada investor sebagai kupon
ijarah. Pada skema ini tidak digunakan SPV karena konsep SPV tidak
dikenal dalam rezim hukum di Indonesia.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ijarah sebagai suatu transaksi yang sifatnya saling tolong menolong
mempunyai landasan yang kuat dalam al-Quran dan Hadits. Konsep ini
mulai dikembangkan pada masa Khlaifah Umar bin Khathab yaitu ketika
adanya sistem bagian tanah dan adanya langkah revolusioner dari Khalifah
Umar yang melarang pemberian tanah bagi kaum muslim di wilayah yang
ditaklukkan. Dan sebagai langkah alternatif adalah membudidayakan tanah
berdasarkan pembayaran kharaj dan jizyah.
Ijarah adalah jenis akad tidak membolehkan adanya fasakh pada salah
satu pihak, karena ijarah merupakan akad pertukaran, kecuali bila didapati
adanya hal-hal yang mewajibkan fasakh.

15
DAFTAR PUSTAKA

Ibrahim Anis, et.al., AL-Mujam Al-Wasith Juz 1, Dar Ihya; At-Turats Al-Arabiy,
Kairo, cet 1.
Muhammad Ibnu Rusd Al-qurthubi, Bidayah Al-Mujtahid Wa Nihayah Al-
Muqtashid, Juz 2, Da Al-Fikr, t.t.
Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, Manatan Al-Bukhari Masqul Bihasiyah As-
Sindhi, Juz 2, Dar Al-fikr, Beirut, t.t.
Muhammad syafiI Antonio, bank syariah : dari teori ke praktik (Jakarta : gema
inzani dan tazkia cendekia, 2001).
Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Slamet Wiyono, Cara Mudah Memahami Akuntansi Perbankan Syariah
Berdasarkan PSAK dan PAPSI, PT. Grasindo, Jakarta, 2005.
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh Juz 4, Dar Al-Fikr, Damaskus,
Cet. 3, 1989.

16

Anda mungkin juga menyukai