Anda di halaman 1dari 10

PATOFISIOLOGI

Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut :


Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai
predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T
CD4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya
muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang
memproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih belum
jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan
berbagai macam infeksi.
Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama
terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non histon.
Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan
atau kompleks protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas
autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral
semua jenis sel.
Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan
antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi.
Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat berupa
gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imun
dalam hati, dan penurun uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini
memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear.
Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai maca organ dengan akibat terjadinya
fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang
menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang
menyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti
ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya.
Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme regulasi
yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten.
Secara skematis, hipotesis mengenai patofisiologi SLE dapat dilihat pada skema di
bawah ini.
Genetically susceptible individual

Complement
Additional unidentified
Genes

Enviromental
Trigger (s)
(Unknown)

T-cell driving force


CD4-dependent
(Spesificities unknown)

IgG autoantibody production


Self-antigen driven

Autoantibody-mediated
Clinical manifestations
Gambar 1. Model patofisiologi
Penyakit SLE

E. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul
mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun
dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya sistem imun.
Pada tipe menahun terdapat remisi dan eksaserbasi. Remisinya mungkin berlangsung
bertahun-tahun.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak
dengan sinar matahari, infeksi virus/ bakteri, obat misalnya golongan sulfa, penghentian
kehamilan dan trauma fisis/psikis. Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas
seperti demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, dan
iritabilitas. Yang paling menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.
a. Gejala Muskuloskeletal
Gejala yang sering pada SLE ialah gejala muskuloskeletal, berupa artritis atau
artralgia (93 %) dan acapkali mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering
terkenal ialah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan,
metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki. Selain pembengkakan dan nyeri mungkin
juga terdapat efusi sendi yang biasanya termasuk kelas I (non-inflamasi) ; kadang-kadang
termasuk kelas II (inflamasi). Kaku pagi hari jarang ditemukan. Mungkin juga terdapat
nyeri otot dan miositis. Artritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan deformitas,
kontraktur atau reumatoid. Nekrosis avaskular dapat terjadi pada berbagai tempat, dan
terutama ditemukan pada pasien yang mendapat pengobatan dengan steroid dosis tinggi.
Tempat yang paling sering terkena ialah kaput femoris.

b. Gejala mukokutan
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85 % kasus SLE. Lesi
kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut, subakut, diskoid dan
livido retikularis.
Ruam kulit yang dianggap khas dan banyak menolong dalam mengarahkan
diagnosis SLE ialah ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema
yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat,
kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari
dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas (photo-hypersensitivity).
Lesi ini termasuk lesi kulit akut. Lesi kulit subakut yang khas berbentuk anular.
Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan atrofi.
Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup sisik keratin
disertai adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk
sikatriks.
Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai
yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual.
Livido retikularis, suatu bentuk vaskulitis ringan, sangat sering ditemui pada SLE.
Kelainan kulit yang jarang ditemukan ialah bulla (dapat menjadi hemoragik), ekimosis,
petekie dan purpura.
Kadang-kadang terdapat urtikaria yang tidak berperan terhadap kortikosteroid dan
antihistamin. Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit
tenang secara klinis dan serologis.
Alopesia dapat pulih kembali jika penyakit mengalami remisi. Ulserasi selaput
lendir paling sering pada palatum durum dan biasanya tidak nyeri. Terjadi perbaikan
spontan kalau penyakit mengalami remisi. Fenomen Raynaud pada sebagian pasien tidak
mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit, sedangkan pada sebagian lagi akan
membaik jika penyakit mereda.

c. Ginjal
Kelainan ginjal ditemukan pada 68 % kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah
proteinuria dan atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik dan kegagalan ginjal jarang
terjadi; hanya terdapat pada 25 % kasus SLE yang urinnya menunjukkan kelainan.
Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu nefritis penyakit SLE difus
dan nefritis penyakit SLE membranosa. Nefritis penyakit SLE difus merupakan
kelauanan yang paling berat. Klinis biasanya tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi
serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis penyakit SLE membranosa
lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindrom nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan
serta perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.
Kelainan ginjal lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah pielonefritis
kronik, tuberkulosis ginjal dan sebagainya. Gagal ginjal merupakan salah satu penyebab
kematian SLE kronik.

d. Kardiovaskular
Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (efusi perikard),
iskemia miokard dan endokarditis verukosa (Libman Sacks).

e. Paru
Efusi pieura unilateral ringan lebih sering terjadi daripada yang bilateral.
Mungkin ditemukan sel LE (lamp. dalam cairan pleura. Biasanya efusi menghilang
dengan pemberian terapi yang adekuat.
Diagnosis pneumonitis penyakit SLE baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor lain
seperti infeksi virus, jamur, tuberkulosis dan sebagainya telah disingkirkan.

f. Saluran Pencernaan
Nyeri abdomen terdapat pada 25 % kasus SLE, mungkin disertai mual (muntah
jarang) dan diare. Gejala menghilang dengan cepat jika gangguan sistemiknya mendapat
pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul mungkin disebabkan oleh peritonitis steril atau
arteritis pembuluh darah kecil mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus.
Arteritis dapat juga menimbulkan pankreatitis.

g. Hati dan Limpa


Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang disertai
ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang/ kembali normal.

h. Kelenjer Getah Bening


Pembesaran kelenjer getah bening sering ditemukan (50 %). Biasanya berupa
limfa denopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Limfadenopati difus ini kadang-
kadang disangka sebagai limfoma.

i. Kelenjer Parotis
Kelenjer parotis membesar pada 6 % kasus SLE.

j. Susunan Saraf Tepi


Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik. Biasanya
bersifat sementara.

k. Susunan Saraf Pusat


Gangguan susunan saraf pusat terdiri atas 2 kelainan utama yaitu psikosis organik
dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala
aktif SLE pada sistem-sistem lainnya. Pasien menunjukkan gejala delusi/ halusinasi
disamping gejala khas kelainan organik otak seperti disorientasi, sukar menghitung dan
tidak sanggup mengingat kembali gambar-gambar yang pernah dilihat.
Psikosis steroid juga termasuk sindrom otak organik yang secara klinis tak dapat
dibedakan dengan psikosis penyakit SLE. Perbedaan antara keduanya baru dapat
diketahui dengan menurunkan atau menaikkan dosis steroid yang dipakai. Psikosis
penyakit SLE membaik jika dosis steroid dinaikkan, sedangkan psikosis steroid
sebaliknya.
Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan lain yang
mungkin ditemukan ialah korea, kejang tipe Jackson, paraplegia karena mielitis
transversal, hemiplegia, afasia dan sebagainya.
Mekanisme terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak selalu jelas Faktor-
faktor yang memegang peran antara lain vaskulitis, deposit gamaglobulin di pleksus
koroideus.

l. Mata
Kelainan mata dapat berupa konjungtivitis, edema periorbital, perdarahan subkonjungtival,
uveitis dan adanya badan sitoid di retina.

Patogenesis Lupus Eritematosus


Autoantibodi pada lupus dibentuk untuk menjadi antigen nuklear ( ANA dan
anti-DNA). Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti
oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan,
termasuk kulit dan ginjal (7).
Ada tiga faktor yang menjadi perhatian bila membahas patogenesis lupus,
yaitu : faktor genetik, lingkungan, dan kelainan pada sistem imun (6,8).
Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus, dengan
resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot (6,7,8). Studi
lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA (Human
Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC (Major
Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik (6,8). Penderita
lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2,C4, atau
C1q. Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh
sistem fagositosit mononuklear, sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan.
Defisiensi C1q menyebabkan fagositis gagal membersihkan sel apoptosis, sehingga
komponen nuklear akan menimbulkan respon imun (6).
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi
ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity
dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar
UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang
peranan dalam fase induksi yanng secara langsung merubah sel DNA, serta
mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya
kelainan pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok
yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko tinggi terkena lupus,
berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu amino lipogenik
aromatik. Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus.
Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor
lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius terutama virus dapat ditemukan pada
penderita lupus. Virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel
permukaan dan apoptosis. (8)
Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor imunologis.
Selama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas sel intrinsik B menjadi dasar dari
patogenesis lupus eritematosus sistemik (6,8). Beberapa autoantibodi ini secara
langsung bersifat patogen termasuk dsDNA (double-stranded DNA), yang berperan
dalam membentuk kompleks imun yang kemudian merusak jaringan (8).
2.7 Manifestasi Klinis Lupus Eritematosus Secara Umum
Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik atau lebih dikenal dengan istilah
lupus, memiliki manifestasi klinis yang bervariasi, dan melibatkan multiorgan
(2,5,9) yaitu sekitar 80% melibatkan persendian, kulit, dan darah; sekitar 30-50%
melibatkan ginjal, jantung, sistem saraf, dan sekitar 10-30% melibatkan trombosis
arteri dan vena (10).
2.7.1 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Kulit
Manifestasi pada kulit dapat berupa lesi ruam diskoid dan ruam malar. Ruam
diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka, telinga, dada, punggung, dan
ekstremitas yang menimbul dan berbatas tegas, dengan diameter 5-10 mm, tidak gatal
maupun nyeri. Pada kepala dapat menyebabkan alopecia yang permanen. Ruam
malar adalah ruam yang menyerupai kupu-kupu pada wajah. Ruam-ruam tersebut
dipicu oleh paparan cahaya matahari.(6,11,12).. Lesi-lesi tersebut penyebarannya
bersifat sentrifugal dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak beraturan.
Dapat ditemukan pula berupa lesi kronis malignan, meskipun jarang, tetapi mengarah
pada kanker kulit nonmelanoma. Lesi mirip lichen planus (LP) juga dapat ditemukan
dan seringkali tumpang tindih antara LE dengan LP atau lesi dapat timbul juga karena
penggunaan terapi dengan antimalaria. Penyembuhan dari lesi diskoid akan
meninggalkan jaringan yang atropi dan jaringan parut (6).
Gambar 2.1. Lesi awal DLE Gambar 2.2. Butterfly Rash
Gambar 2.3.Jaringan atropi Gambar 2.4. Jaringan parut
Gambar 2.5. Kebotakan / alopecia Gambar 2.6. Eritematosa pada jari
2.7.2 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Sistem Saraf Pusat
Penyakit lupus pada sistem saraf pusat (SSP) berhubungan dengan beberapa
sindrom neurologik yang berbeda. Manifestasi neuropsikiatrik lupus bervariasi dari
ringan (seperti sakit kepala) sampai berat (seperti stroke).
Manifestasi utama dari Lupus SSP :
1. Disfungsi kognitif ( tidak dapat berpikir jernih, defisit memori)
2. Sakit kepala
3. Seizure
4. berubahnya kewaspadaan mental (stupor atau koma)
5. Meningitis aseptik
6. Stroke (gangguan suplai darah pada bagian bagian otak yang berbeda)
7. Periperal neuropathy ( contoh : hilang rasa,rasa geli, rasa terbakar pada tangan dan
kaki)
8. Gangguan pergerakan
9. Myelitis (gangguan pada spinal cord)
10. visual alternation
11. Autonomic neuropathy (contoh: reaksi flushing atau mottled skin)
Spektrum manifestasi klinis lupus SSP sangat luas sehingga merupakan suatu
sindrom klinis utama pada lupus SSP yaitu berupa vaskulitis SSP yang merupakan
inflamasi pada pembuluh darah otak karena aktivitas lupus, dan merupakan satu dari
dua sindrom spesifik lupus SSP yang dibuat oleh American College of Rheumatology.
Biasanya terjadi pada awal perjalanan penyakit (lebih dari 80% kejadian timbul saat
lima tahun pertama dari perjalanan penyakit), yang ditemukan pada 10% pasien
lupus. Pasien memperlihatkan gejala demam, seizures, meningitis like stiffness pada
leher dan psychotic atau bizzare behaviour. MRI otak memperlihatkan daerah infark
singel atau multipel.
Sindrom Antiphospholipid. Siapapun yang memiliki antibodi
antiphospholipid sebagai bagian dari sindrom lupus beresiko membentuk bekuan
darah, yang dapat menghambat pembuluh darah yang mensuplai otak. Bekuan darah
pada otak ( disebut kejadian thromboembolic) dapat terjadi tiba-tiba dan biasanya
tidak sakit. Pasien dapat mengalami paralisis yang tiba-tiba atau tidak dapat bersuara.
Manifestasi SSP lainnya yaitu sakit kepala yang sering terjadi pada sekitar 45-
50% pasien lupus. Sakit kepala terjadi sebagai manifestasi akut selama penyakit lupus
SSP aktif yang disertai pula dengan komplikasi neurologik lainnya. Studi terdahulu
menyebutkan sakit kepala migrain sering terjadi pada pasien dengan lupus SSP.
Lupus myelitis mengarah pada disfungsi dari spinal cord. Hal ini merupakan
komplikasi yang serius dari lupus SSP yang dapat menyebabkan paralisis atau
kelemahan dan bervariasi mulai dari kesulitan menggerakkan anggota badan sampai
terjadinya paraplegia.
Penyakit lupus juga bermanifestasi pada sistem saraf otonom (SSO), dimana
SSO merupakan bagian dari sistem saraf yang mengontrol fungsi tubuh yang tidak
disadari, seperti pengaturan detak jantung, bernafas, berkeringat,dll. Manifestasi
gangguan SSO contohnya pada terjadinya gangguan kognitif, livedo reticularis ( a
mottled skin rash), rasa geli, hilang rasa pada ekstremitas. Pasien lupus yang
mengalami gangguan kognitif biasanya mengeluhkan adanya rasa kebingungan,
kelelahan, kesulitan menyampaikan pikiran, dan gangguan memori. Gejala gangguan
kognitif adalah intermiten.
Manifestasi lupus pada SSP lainnya yaitu terjadinya sindrom organ otak, yaitu
ketika pasien lupus mengalami stroke atau vaskulitis. Lesi ini dapat sembuh tetapi
meninggalkan jaringan parut yang dapat menyebabkan kelainan motorik, sensorik
atau mental yang permanen atau bahkan seizures. Kondisi ini menyebabkan
kerusakan permanen pada SSP (13).
2.7.3 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Ginjal
Manifestasi klinis lupus pada ginjal (lupus nephritis) terjadi pada kira-kira
50% pasien dengan lupus. Gambaran klinis bervariasi dari kelainan yang asimtomatik
sampai terjadinya hipertensi, edema, sindrom nefrotik full-blown atau gagal ginjal
yang progresif. Manifestasi lupus pada ginjal jarang menjadi manifestasi awal lupus,
tetapi sering ditemukan variasi derajat proteinuria, darah dalam urin dan abnormalitas
sedimen urin pada penderita lupus. Pada stadium lanjut dapat menjadi komplikasi
yang serius sehingga menyebabkan kematian (14,15).
2.7.4 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Mata
Manifestasi lupus pada mata dibagi berdasarkan dua aspek, yaitu aspek
eksternal, contohnya pada gejala kekeringan mata yang menimbulkan
ketidaknyamanan, rasa gatal, rasa seperti berpasir/ gritty, dan refleks berair/ watering
yang timbul bila melibatkan kelenjar lakrimal seperti pada Sjogrens sindrome atau
sindrom sicca, yaitu bila terjadi kerusakan pada kelenjar saliva. Selain itu kelainan
dapat ditemukan pada kulit disekeliling mata/ kelopak mata seiring perubahan
jaringan kulit pada penderita lupus. Kelainan eksternal lainnya yaitu mata merah yang
melibatkan konjungtiva dan episklera, meskipun tanpa disertai rasa sakit. Selain itu
dapat dijumpai jaringan parut yang dapat membahayakan kornea.
Aspek lainnya yaitu aspek internal seperti pada vaskulitis retina dan inflamasi
pembuluh darah yang mengalami kerusakan (microangiopathy), sehingga retina dapat
kehilangan daya lihat. Pada pemeriksaan terlihat pembuluh retina yang menyempit
berwarna putih dan adanya cotton wool spots ( potongan kecil berwarna putih pada
retina) yang timbul karena pembengkakan lokalisata yang sementara. Perubahan ini
dapat ditemukan walau disertai gejala lain.
Manifestasi lupus pada mata dapat pula dipengaruhi oleh kelainan pada organ
lain akibat lupus, misalnya manifestasi lupus pada ginjal dapat menyebabkan retensi
cairan dan menyebabkan pembengkakan pada kelopak mata. Keadaan bengkak pada
kelopak mata dapat menjadi tanda awal kekambuhan. Renal hipertension, dapat
menyebabkan retinopati hipertensi, yang bermanifestasi seperti microangiopathy.
Manifestasi lupus pada sistem saraf dapat berpengaruh pada peningkatan
tekanan cairan serebrospinal yang kemudian dapat menjadi pseudo tumor/ tumor
intrakranial, dan menyebabkan pembengkakan pada saraf optik (pseudopapilledema).
Perubahan ini tidak menimbulkan gejala, tetapi bila tidak terdeteksi dan tidak diobati
dapat menyebabkan kebutaan.
Manifestasi lupus pada sistem gastrointestinal juga dapat berpengaruh pada
mata. Pankreatitis akut dapat menyebabkan Purtschers retinopathy, adanya cotton
wool spots. Penglihatan terpengaruh tetapi dapat sembuh kembali (16).
2.7.5 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Gastrointestinal
Manifestasi lupus pada saluran pencernaan merupakan hal yang paling
mengganggu dan dapat melemahkan pasien. Secara umum, perkiraan persentase
keterlibatan saluran gastrointestinal pada penderita lupus adalah vomiting 5-10%,
sakit abdomen 40-60%, dysphagia 5-10%, ascites 5-19%, jaundice 3-10% (17).
Keterlibatan organ pencernaan meskipun ringan, tapi dapat pula menyebabkan
beberapa komplikasi yang bisa menyebabkan kematian, yaitu seperti hemoragi,
perforasi, ulserasi. Bila terdapat keterlibatan hepar, dapat ditemukan hepatomegali
dan penderita mengeluhkan rasa penuh pada daerah hepar, tetapi kondisi ini tidak
mengarah pada hepatitis atau cirrhosis (17).
Patofisiologi SLE (Sistemisc Lupus Erythematosus)

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi
yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan
lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid,
isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah
alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang
abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan
menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang
kembali.

1. Sistem muskuloskeletal
Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak,
rasa kaku pada pagi hari.
2. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal
hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
3. Sistem kardiak
Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
4. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
5. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura
di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral
tangan dan berlanjut nekrosis.
6. Sistem perkemihan
Glomerulus renal yang biasanya terkena.
7. Sistem saraf
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit
neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.

http://nursingbegin.com/askep-sle/14:47

Anda mungkin juga menyukai