Anda di halaman 1dari 23

Laporan

Teknis
Bidang Hidrodinamika dan Geomorfologi
Tim Kajian Kegiatan Reklamasi Balitbang KP



Draft ke-1: 27-05-2016, Revisi ke-1: 30 Mei 2016

Simulasi Model Hidrodinamika dan Dispersi Termal di Teluk
Jakarta Pra- dan Pasca-reklamasi 17 Pulau



Disusun oleh:

Dr. rer. nat. Agus Setiawan, MSi
(Perekayasa Muda)












Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir
Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan
Kementerian Kelautan dan Perikanan
2 0 1 6
Pendahuluan

Pasca-dihentikannya kegiatan reklamasi di Teluk Jakarta untuk sementara
waktu, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan
membentuk tim untuk mengkaji kegiatan reklamasi yang ada, khususnya di
Teluk Jakarta agar dapat dijadikan bahan masukan ilmiah dalam merumuskan
kebijakan reklamasi yang sudah ada dan sedang direncanakan.

Menurut hasil pengolahan data yang telah dilakukan oleh Tim Hidrodinamika
dan Morfologi, hingga saat ini ada sekitar 45 kegiatan reklamasi pantai di
Indonesia, dimana 15 di antaranya sudah selesai dilaksanakan dan menghasilkan
daratan baru dengan luas lebih dari 700 Ha. Sisanya sebanyak 23 hingga saat ini
masih dalam proses pelaksanaan dan pengurusan perizinan, dimana beberapa
diantaranya sudah mendapatkan penolakan dari masyarakat seperti reklamasi
di Teluk Jakarta (DKI Jakarta), Teluk Manado (Sulawesi Utara), Pantai Losari
(Sulawesi Selatan), Teluk Palu (Sulawesi Tengah), dan Teluk Benoa (Bali).
Namun demikian, meskipun kegiatan reklamasi di beberapa daerah
mendapatkan penolakan, masih ada sekitar 7 kegiatan reklamasi baru yang
sudah direncanakan untuk dilakukan. Dari total 23 kegiatan reklamasi yang
masih dalam proses dan 7 kegiatan baru yang sudah direncanakan ini, Indonesia
akan mendapatkan daratan baru dengan luasan lebih dari 20.000 Ha.

Dari sekian banyak kegiatan reklamasi pantai yang sudah dan akan dilakukan
tersebut, daerah yang paling banyak merencanakan kegiatan reklamasi adalah
DKI Jakarta (dengan 17 pulau dan luas total yang direncanakan 5.189 Ha) dan
Kabupaten Tangerang (dengan 7 pulau dengan luas total yang direncanakan
9.000 Ha). Adapun beberapa alasan yang melatarbelakangi dilakukannya
reklamasi tersebut adalah untuk membangun water front city (misalnya di
Balikpapan, Bulukumba, DKI Jakarta, Pantai Losari, dan Teluk Benoa), perluasan
kawasan pelabuhan (antara lain Tanjung Merah, Tanjung Carat, Tangerang,
Serang, Bintan, dan Batubara), dan pengembangan kawasan industri (antara lain
Lamongan, Tanjung Merah, Tanjung Carat, Tangerang, Serang, Bintan, dan
Batubara), dimana beberapa di antaranya dilakukan untuk mendukung Kawasan
Ekonomi Khusus (KEK) dan tol laut (seperti Tanjung Merah, Tanjung Carat,
Batubara, dan Sorong).

Mencermati kegiatan reklamasi yang sudah dan tengah dilakukan di DKI Jakarta,
Manado, Palu, dan beberapa lokasi lainnya, ditemukan adanya beberapa
pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku dan penolakan oleh sebagian
masyarakat atas kegiatan reklamasi tersebut. Dari hasil kajian dan diskusi yang
telah dilakukan selama, didapatkan beberapa alasan utama yang menjadi dasar
penolakan tersebut, yaitu dampak negatif kegiatan reklamasi pada lingkungan
(baik di lokasi reklamasi maupun di tempat dimana material untuk reklamasi
diambil) dan marjinalisasi masyarakat pesisir. Bercermin pada kondisi tersebut,
maka rencana reklamasi seharus disusun dengan sangat seksama dan melalui
kajian menyeluruh dengan memperhatikan berbagai aspek penting yang ada,
seperti teknis reklamasi, sosial ekonomi, dan lingkungan biofisik. Dan yang tidak
kalah pentingnya adalah kegiatan tersebut harus mengacu pada rencana zonasi
yang telah disusun dan ditetapkan sebelumnya.

Laporan Teknis 1


Dalam merencanakan kegiatan reklamasi, hal pertama yang harus diperhatikan
adalah bahwa reklamasi terpaksa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan
lahan baru akibat terbatasnya ketersediaan lahan darat. Oleh karena itu tujuan
komersial sebagai dasar utama dalam pelaksanaan reklamasi sedapat mungkin
harus dihindari. Selain itu, kegiatan reklamasi pantai juga harus memiliki konsep
yang jelas, sebagaimana diatur dalam pasal 34 Undang-Undang No. 27/2007
tentang Pengelolaan Wialayah Pesisir dan Laut, yaitu:
reklamasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan dalam rangka
meningkatkan manfaat dan/atau nilai tambah wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil ditinjau dari aspek teknis, lingkungan, dan sosial ekonomi;
pelaksanaan reklamasi wajib menjaga dan memperhatikan keberlanjutan
kehidupan dan penghidupan masyarakat, keseimbangan antara
kepentingan pemanfaatan dan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan
pesisir dan pulau-pulau kecil dan persyaratan teknis pengambilan,
pengerukan, dan penimbunan material.

Laporan teknis ini dibuat untuk memberikan data dan informasi terkait dengan
kondisi hidrodinamika dan dispersi termal dari PLTU/PLTGU yang dikelola oleh
PT. PLN pra- dan pasca-reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta. Diharapkan dengan
adanya hasil kajian ini, potensial dampak negatif yang akan muncul dari adanya
kegiatan reklamasi 17 pulau tersebut dapat diidentifikasi dengan baik dan
diminimalisir.


Model Hidrodinamika dan Dispersi Termal

Dalam kajian ini, simulasi model hidrodinamika dan dispersi termal di Teluk
Jakarta dilakukan dengan menggunakan model MIKE 21 dari Danish Hydraulic
Institute (DHI). Data batimetri yang digunakan sebagai input model bersumber
dari Dinas Hidrooseanografi TNI AL yang dikombinasikan dengan survey
batimetri yang telah dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut
(PRL), kondisi garis pantai terkini dari citra satelit, dan desain 17 pulau
reklamasi. Simulasi dilakukan dalam 2 skenario utama, yaitu pra- dan pasca-
reklamasi 17 pulau (lihat Gambar 1 dan 2).

Pada Laporan Teknis draft ke-1 ini, gaya pembangkit yang digunakan dalam
simulasi model hidrodinamika adalah pasang surut di batas terbuka model dan
debit dari 11 sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta (lihat Tabel 1). Sedangkan
untuk simulasi dispersi termal, dimasukan pula data debit inlet dan outlet
PLTU/PLTGU beserta suhu air yang keluar dari outlet (lihat Tabel 2).

Simulasi hidrodinamika juga akan dilakukan dengan memasukkan arah dan
kecepatan angin di permukaan laut (U10) dengan 3 skenario berbeda, yaitu:
angin dari barat dengan kecepatan rerata 3 m/det;
angin dari timur laut, juga dengan kecepatan rerata 3 m/detik; dan
angin yang kecepatan dan arahnya bervariasi terhadap waktu.

2 Laporan Teknis


Gambar 1. Batimetri daerah model Teluk Jakarta pra-reklamasi 17 pulau


Gambar 2. Batimetri daerah model Teluk Jakarta pasca-reklamasi 17 pulau


Pemilihan kecepatan dan arah angin pada skenario pertama dan kedua dalam
simulasi di atas didasarkan pada hasil pengolahan data time series Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Tanjung Priok, dimana

Laporan Teknis 3

didapatkan bahwa kecepatan rerata angin permukaan di sekitar Teluk Jakarta
adalah 3 m/detik, dan arah angin dari barat dan timur laut memiliki frekuensi
kejadian yang paling besar.

Tabel 1. Debit sungai yang bermuara di Teluk Jakarta
Debit
No. Nama Muara Sungai Sumber Data
(m/detik)
1. Marunda 40,00 *
2. Cilincing 4,58 Buku II NKLD 1999 DKI Jakarta
3. Kresek 36,46 Laporan Pelabuhan Tg. Priok 1993
4. Japat 10,73 Laporan Pelabuhan Tg. Priok 1993
5. Marina 2,73 Buku II NKLD 1999 DKI Jakarta
6. Sunda Kelapa 2,23 Buku II NKLD 1999 DKI Jakarta
7. Pluit 2,23 Buku II NKLD 1999 DKI Jakarta
8. Muara Karang 10,88 Buku II NKLD 1999 DKI Jakarta
9. Muara Angke 23,96 Buku II NKLD 1999 DKI Jakarta
10. Cengkareng Drain 41,52 Buku II NKLD 1999 DKI Jakarta
11. Kamal Muara 41,52 *
Keterangan :
* tidak ada data/keterangan, input model didekati berdasarkan besarnya sungai yang berada di
sekitarnya

Tabel 2. Debit inlet dan outlet PLTU/PLTGU
No. ID Inlet/Outlet Debit (m/detik) Suhu air laut (C)
1. Inlet PLTU Muara Karang 31,00 30,00
2. Outlet PLTU Muara Karang 14,25 35,80
3. Outlet PLTGU Muara Karang 13,40 33,15
4. Inlet PLTU Muara Tawar 18,00 29,50
5. Oulet PLTU Muara Tawar 20,00 33,50

Dalam tahap verifikasi, simulasi model hidrodinamika dengan gaya pembangkit
pasang surut dijalankan selama satu bulan, yaitu pada bulan April 2014. Waktu
ini dipilih karena disesuaikan dengan ketersediaan data pengukuran lapangan
yang digunakan untuk verifikasi hasil model.

Sebagai catatan, dalam modul dispersi termal yang digunakan dalam kajian ini,
untuk sementara pertukaran bahang tidak ikut diperhitungkan, demikian pula
halnya dengan presipitasi dan evaporasi.


Hasil dan Pembahasan

Verifikasi Hasil Model

Untuk mengetahui sejauh mana model hidrodinamika yang digunakan dapat
mereproduksi fenomena yang terjadi sesungguhnya di lapangan, dalam kajian ini
digunakan data hasil pengukuran elevasi muka air laut dan kecepatan arus laut
yang dilakukan oleh BPPT (2014) sebagai pembanding. Hasil perbandingan
antara data pengukuran dan hasil simulasi model diberikan pada Gambar 3.

4 Laporan Teknis




Gambar 3. Perbandingan elevasi muka air laut antara hasil model dan data
lapangan pada posisi 6,0853 LS dan 106,7701 BT (panel atas) dan
kecepatan arus pasang surut pada posisi yang sama (panel bawah)


Dari Gambar 3 dapat disimpulkan bahwa model sudah mampu menghasilkan
elevasi dan kecepatan arus pasang surut yang mendekati data pengamatan.
Dengan demikian, secara umum hasil simulasi yang diperoleh dari model ini
dianggap cukup memadai untuk digunakan dalam mengkaji kondisi
hidrodinamika di Teluk Jakarta pra- dan pasca-reklamasi.


Laporan Teknis 5

Pola Arus Pasang Surut

Untuk mengetahui perbedaan pola arus yang terjadi antara pra- dan pasca-
reklamasi, kecepatan arus di beberapa titik yang dianggap penting ditinjau
secara lebih terperinci dalam kajian ini, yaitu di perairan antara pantai dengan
pulau hasil reklamasi dan antar pulau reklamasi serta di perairan sekitar muara
sungai dan inlet/outlet PLTU/PLTGU. Latar belakang dari dilakukannya analisis
ini adalah adanya ketentuan dari Peraturan Presiden No. 54/2008 mengenai
jarak antara pulau dengan daratan, yaitu sekurang-kurangnya 200 hingga 300
meter.

Pada laporan teknis draft ke-1 ini, perairan yang akan ditinjau perubahan arus
pasang surutnya dengan desain jarak antara daratan dengan pulau reklamasi
yang berlaku saat ini hanya yang berhadapan dengan Pulau C hingga G saja.
Adapun untuk perairan yang berhadapan dengan pulau-pulau lainnya akan
dibahas kemudian pada laporan teknis draft berikutnya.

Analisis perubahan pola arus ini dilakukan secara grafis dengan menggambarkan
vektor-vektor kecepatan arus pasang surut hasil simulasi model hidrodinamika
ke dalam sebuah koordinat Cartesian. Sebagaimana diketahui, arus pasang surut
secara umum akan memiliki pola sirkulasi yang menyerupai ellips, dimana
besarnya sumbu mayor dan minor pada ellips berkaitan dengan kecepatan arus
pasang surut komponen zonal (barat-timur) dan meridional (utara-selatan)
(lihat Gambar 4). Dengan penggambaran ini, selain kecepatan dan arah arus
pasang surut, kita dapat juga melihat pengaruh dari angin permukaan, debit
sungai, debit outlet PLTU/PLTGU, dan juga pengaruh gesekan dasar.



Gambar 4. Bentuk lintasan arus pasang surut laut jika vektor-vektor
kecepatannya digambarkan (a) dan komponen-komponen yang
terdapat pada sebuah ellipse arus pasang surut (b)

6 Laporan Teknis


Gambar 5a menampilkan hasil simulasi arus pasang surut di perairan antara
Pulau A dan B sebelum dan sesudah reklamasi. Dari gambar tersebut dapat
dilihat bahwa engan adanya Pulau A dan B, arus pasang surut di sepanjang
perairan antara kedua pulau tersebut mengalami perubahan kecepatan dan arah
yang signifikan, dimana arus pasang surut yang semula bergerak bolak-balik
tenggara-barat laut berubah menjadi barat daya-timur laut dengan kecepatan
yang lebih besar. Kecepatan sebelum reklamasi adalah sekitar 0,05 m/det,
sementara setelah reklamasi kecepatannya dapat mencapai 0,1 m/det.

Perubahan arah arus di perairan ini, dengan bentuk ellipse yang sangat pipih
(dimana sumbu minornya sangat kecil) menunjukkan arah arus yang dominan
bergerak sejajar pantai Pulau A dan B. Hal ini terjadi karena jarak antara Pulau A
dan B yang relatif sempit sehingga perairan yang ada cenderung menyerupai
sebuah kanal. Hal ini pula yang menjadikan kecepatan arus menjadi lebih besar.

Pada kondisi seperti ini maka di saat pasang arus akan bergerak ke arah antara
barat dan barat daya dan berbalik arah dengan sangat cepat ke arah antara timur
laut dan timur ketika surut seperti ditunjukkan oleh Gambar 5b.


Gambar 5a. Arus pasang surut antara Pulau A dan B sisi bagian barat (1),
tengah (2), dan timur (3); warna biru menunjukkan kondisi pra-
reklamasi sedangkan warna merah adalah kondisi pasca-reklamasi

Laporan Teknis 7


Gambar 5b. Stick plot diagram arus pasang surut antara Pulau A dan B pada
titik 2 pra- dan pasca-reklamasi


Hal yang sama juga terjadi antara Pulau B dan C, dimana di bagian paling ujung
barat daya (titik 1) kecepatan arus meningkat signifikan dengan arah yang relatif
sama, yaitu bolak-balik barat laut-tenggara (lihat Gambar 6). Sementara itu di
bagian tengah hingga ke ujung timur laut perairan di antara kedua pulau
tersebut, arus pasang surut cenderung bergerak barat daya-timur laut.
Kecepatan arus sebelum reklamasi adalah sekitar 0,01 m/det, sementara setelah
reklamasi kecepatannya menjadi 0,04 hingga 0,08 m/det.

Di perairan antara Pulau C dan D ditemukan pula adanya perubahan pola arus
pasang surut, dimana akibat adanya Pulau C dan D, arus pasang surut yang
semula bergerak mendekati barat-timur berubah menjadi barat daya-timur laut,
juga dengan kecepatan yang bertambah (lihat Gambar 7 titik 1 dan 2.
Sementara itu di ujung antara Pulau C dan D (titik 3), kecepatan arusnya justru
melambat. Sama halnya dengan fenomena yang terjadi di perairan antara Pulau
A dan B, arus pasang surut yang membentuk ellipse dengan sumbu minor yang
sangat kecil dan sumbu mayor yang besar ini terjadi karena jarak antara Pulau C
dan D yang relatif sempit dan menyerupai kanal.

Hal yang perlu mendapat perhatian dari perubahan arus pasang surut yang
terjadi adalah bentuk ellipse yang tidak simetris, dimana sumbu mayor ke arah
timur laut lebih panjang daripada yang ke arah tenggara. Jika dikaitkan dengan
transpor sedimen, maka hal ini dapat mengindikasikan netto transpor sedimen
ke arah timur laut.

Gambar 8 menunjukkan perkiraan kecepatan arus pasang surut jika Pulau E
dibangun di tenggara Pulau D. Di antara Pulau D dan E terdapat Sungai
Cengkareng Drain yang cukup signifikan pengaruhnya pada pola arus pasang

8 Laporan Teknis

surut di dekat muara. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada hasil penggambaran
scatter diagram di titik 1 dan bahkan hingga ke titik 2. Kecepatan arus pasang
surut di perairan yang berada antara Pulau D dan E relatif hampir sama dengan
kecepatan arus ketika belum ada pulau reklamasi, yaitu berkisar antara 0,02
hingga 0,04 m/detk.



Gambar 6. Arus pasang surut antara Pulau B dan C di bagian barat daya (1),
tengah (2), dan timur laut (3); keterangan gambar sama dengan
gambar sebelumnya

Bentuk ellipse yang tidak simetris juga ditemukan pada perairan antara Pulau D
dan E ini, dan hal ini terutama disebabkan oleh adanya debit dari Cengkareng
Drain. Hal yang perlu mendapat perhatian dari fenomena yang ada di perairan
ini adalah kecepatan arus pasang surut yang relatif kecil yang potensial
menyebabkan terjadinya sedimentasi sehingga besar kemungkinan perairan
antara Pulau D dan E akan cepat mengalami pendangkalan.

Gambar 9 menunjukkan arus pasang surut di perairan antara Pulau E dan F jika
rencana reklamasi pulau-pulau tersebut jadi dilaksanakan. Di sebelah selatan
saluran antara Pulau E dan F terdapat Sungai Angke yang juga cukup signifikan
mempengaruhi pola arus pasang surut di perairan tersebut. Hal ini dapat dilihat
dengan cukup jelas pada hasil penggambaran scatter diagram di titik 1.
Perubahan kecepatan dan arah arus yang cukup signifikan dapat ditemukan di
lokasi ini dari hasil simulasi hidrodinamika sebelum dan setelah reklamasi. Arus

Laporan Teknis 9

pasang surut yang semula bergerak bolak-balik barat-timur berubah menjadi
utara-selatan, dengan kecepatan yang lebih kecil. Kecepatan arus pasang surut
sebelum reklamasi berkisar antara 0,03 hingga 0,04 m/det, sedangkan pasca-
reklamasi berubah menjadi 0,01 hingga 0,03 m/det. Fenomena yang serupa
dengan perairan antara Pulau D dan E, yaitu pendangkalan perairan, potensial
terjadi pula di perairan ini.



Gambar 7. Arus pasang surut antara Pulau C dan D sisi bagian barat daya (1),
tengah (2), dan timur laut (3); keterangan gambar sama dengan
gambar sebelumnya


Gambar 10 menunjukkan kecepatan arus pasang surut di perairan antara Pulau
F dan G. Kecepatan dan arah arus pasang pusut di lokasi ini juga mengalami
perubahan yang signifikan pasca-terbentuknya Pulau F dan G. Arus pasang surut
yang semula bergerak dominan arah barat-timur, berubah menjadi barat daya-
timur laut di sisi selatan, utara-selatan di bagian tengah saluran, dan kembali
barat daya-timur laut di sisi utara. Kecepatan arus di sisi tengah dan utara relatif
lebih lambat daripada ketika kedua pulau ini belum terbentuk. Kecepatan arus
pasang surut di lokasi ini relatif kecil, hanya 0,02 hingga 0,03 m/det.

Di sisi selatan bakal Pulau G terdapat outlet PLTGU Muara Karang, sementara di
sisi timurnya terdapat kanal inlet untuk air pendingin. Untuk mengetahui
pengaruh Pulau G pada aliran air laut di sekitar kanal inlet air pendingin, arus
10 Laporan Teknis

pasang surut di beberapa titik antara Pulau G dan kanal inlet air pendingin
digambarkan dan diberikan pada Gambar 11.

Dari Gambar 11 dapat dilihat adanya percepatan arus pasang surut yang
diakibatkan oleh terbentuknya Pulau G sebagaimana ditunjukkan oleh scatter
diagram di titik 1 dan 2. Sementara itu di dekat ujung kanal inlet (titik 3) terjadi
perubahan arah arus pasang surut, dari yang semula barat daya-timur laut
menjadi tenggara-barat laut dan cenderung mengakibatkan terjadinya aliran air
yang dari outlet PLTGU ke mulut inlet.


Gambar 8. Arus pasang surut antara Pulau D dan E sisi bagian barat daya (1),
tengah (2), dan timur laut (3); keterangan gambar sama dengan
gambar sebelumnya


Laporan Teknis 11


Gambar 9. Arus pasang surut antara Pulau E dan F sisi bagian selatan (1),
tengah (2), dan utara (3); keterangan gambar sama dengan gambar
sebelumnya


Gambar 12 menyajikan kecepatan arus pasang surut di perairan yang
berdekatan dengan Pulau C. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa dengan
adanya Pulau C, kecepatan arus di sepanjang pantai yang berbatasan dengan
pulau tersebut menjadi lebih cepat, terutama di titik 1 dan 2, dengan arah aliran
bolak-balik sepanjang pantai, tetapi lebih dominan ke arah tenggara. Sementara
itu, di titik 3 dan 4 dapat dilihat dengan jelas adanya pengaruh dari Sungai Kamal
terhadap arus pasang surutnya.

Hal yang perlu mendapat perhatian dengan arah arus yang lebih dominan ke
arah tenggara ini adalah adanya kemungkinan angkutan sedimen dari Sungai
Kamal secara netto ke tenggara dan potensi terjadinya sedimentasi di sekitar
titik 1 dan 2. Sebagai catatan, pada kondisi saat ini dimana sebagian dari Pulau C
hasil reklamasi sudah terbentuk, dengan jelas ditemukan adanya pendangkalan
di sekitar Kamal Muara tepat di perairan yang berhadapan dengan Pulau C
tersebut.

12 Laporan Teknis


Gambar 10. Arus pasang surut antara Pulau F dan G sisi bagian selatan (1),
tengah (2), dan utara (3); keterangan gambar sama dengan gambar
sebelumnya


Gambar 13 menunjukkan arus pasang surut sepanjang perairan di hadapan
Pulau D, dimana di sisi timur (titik 1 dan 2) arus pasang surut cenderung
bergerak bolak-balik dengan arah barat-timur dimana pengaruh Cengkareng
Drain cukup signifikan yang menyebabkan netto aliran ke arah barat. Di titik 3
dan 4, karena posisi Pulau E yang lebih menjorok ke pantai/daratan, arus pasang
surut dibelokkan dan cenderung bergerak ke arah utara. Dengan kecepatan arus
yang tidak lebih dari 0,03 m/det, dan dengan adanya Cengkareng Drain di sisi
timur, maka potensi untuk terjadinya pendangkalan dan sedimentasi di perairan
ini relatif besar. Ada kemungkinan jarak antara Pulau D dengan daratan DKI
Jakarta akan semakin mengecil akibat pendangkalan dan sedimentasi ini.

Gambar 14 menunjukkan perubahan pola arus pasang surut yang terjadi di
perairan pantai yang berhadapan dengan Pulau E. Ada 2 sungai yang bermuara
ke perairan ini, yaitu Cengkareng Drain di sisi barat dan Sungai Angke di sisi
timur. Dari hasil penggambaran scatter diagram di titik 1 dan 2 dapat dilihat
bahwa arus pasang surut akan dominan bergerak menyusuri pantai dengan
netto ke arah barat daya. Sementara itu di titik 3 dan 4 arah arus dominan ke
barat laut dan di titik 5 cenderung bergerak ke utara karena adanya pengaruh
Laporan Teknis 13

dari Cengkareng Drain. Sama dengan perairan di hadapan Pulau D, di sekitar
perairan ini potensi terjadinya pendangkalan dan sedimentasi juga cukup besar,
sehingga perlu mendapatkan perhatian.


Gambar 11. Arus pasang surut antara Pulau G dan kanal inlet PLTU/PLTGU
Muara Karang; keterangan gambar sama dengan gambar
sebelumnya


Gambar 15 menunjukkan kecepatan arus pasang surut di perairan yang
berhadapan dengan Pulau F. Di titik 2 dapat kita lihat bahwa kecepatan arusnya
sangat lambat, hanya sekitar 0,02 m/det, sementara di sekitar lokasi tersebut
terdapat Sungai Angke. Potensi terjadinya pendangkalan dan sedimentasi di
perairan ini juga relatif besar.

Gambar 16 menunjukkan kecepatan arus antara antara Pulau G dengan daratan
di sekitar Muara Karang. Adanya outlet dari PLTU Muara Karang mengakibatkan
arus pasang surut untuk cenderung bergerak ke arah utara, dan hal ini potensial
untuk mengalirkan air keluaran dari outlet Muara Karang yang lebih hangat ke
arah utara dan menuju ke saluran masuk kanal inlet.

14 Laporan Teknis



Gambar 12. Arus pasang surut antara Pulau C dan daratan DKI Jakarta;
keterangan gambar sama dengan gambar sebelumnya

Secara keseluruhan dapat disampaikan di sini bahwa reklamasi 17 pulau di
Teluk Jakarta didapatkan dapat mengubah pola arus pasang surut di Teluk
Jakarta secara signifikan. Di perairan yang berdekatan dengan muara sungai,
perubahan ini potensial menyebabkan pendangkalan sehingga kedalaman
perairan yang berhadapan dengan pulau reklamasi akan semakin dangkal dan
lebih lanjut akan berdampak pada meningkatnya laju sedimentasi. Demikian
pula halnya dengan perairan yang berdekatan dengan instalasi PLTU/PLTGU
perubahan pola arus pasang surut yang terjadi pun potensial mempengaruhi
kinerja pembangkit listrik yang dikelola PT. PLN tersebut.

Laporan Teknis 15



Gambar 13. Arus pasang surut antara Pulau D dan daratan DKI Jakarta;
keterangan gambar sama dengan gambar sebelumnya

16 Laporan Teknis



Gambar 14. Arus pasang surut antara Pulau E dan daratan DKI Jakarta;
keterangan gambar sama dengan gambar sebelumnya



Gambar 15. Arus pasang surut antara Pulau F dan daratan DKI Jakarta;
keterangan gambar sama dengan gambar sebelumnya

Laporan Teknis 17



Gambar 16. Arus pasang surut antara Pulau G dan daratan DKI Jakarta;
keterangan gambar sama dengan gambar sebelumnya



Pola Dispersi Termal

Untuk mengetahui perbedaan pola dispersi termal yang terjadi antara pra- dan
pasca-reklamasi, fluktuasi suhu air laut di inlet PLTU/PLTGU Muara Karang,
kolam TPI Muara Karang, dan inlet PLTU Muara Tawar digambarkan di beberapa
titik sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 17. Perubahan suhu air laut
dinyatakan dalam T (C), dimana acuannya adalah suhu air laut ambient.
Perbandingan time series pra- dan pasca-reklamasi diberikan pada Gambar 18
hingga 21.

Dari gambar-gambar tersebut dapat dilihat bahwa reklamasi cukup signifikan
mengubah pola dispersi termal di sekitar PLTU dan berakibat pada naiknya suhu
air laut di sekitarnya, misalnya di dalam kolam TPI Muara Angke dan di kanal
inlet PLTU Muara Tawar dan PLTU/PLTGU Muara Karang.

Di kanal PLTU Muara Tawar, dari hasil simulasi model termal didapatkan Tmin
yang meningkat hingga lebih dari 0,5C akibat adanya Pulau Q. Hal yang menarik
adalah bahwa dari hasil simulasi pra- dan pasca-reklamasi, suhu air laut di inlet
PLTU Muara Tawar dapat mencapai Tmax hingga 4C pada saat surut dengan
durasi waktu dapat mencapai 12 jam seperti ditunjukkan pada Gambar 20.

18 Laporan Teknis


Gambar 17. Titik-titik analisis perubahan suhu air laut pasca-reklamasi (panel
kiri adalah PLTU Muara Tawar dan panel kanan adalah
PLTU/PLTGU Muara Karang serta kolam TPI Muara Karang)


Gambar 18. Perubahan beda suhu air laut di titik 1 yang berada di luar inlet
PLTU Muara Tawar pasca-reklamasi

Laporan Teknis 19


Gambar 19. Perubahan beda suhu air laut pasca-reklamasi di titik 2 yang
berada di dalam kanal inlet PLTU Muara Tawar


Gambar 20. Fluktuasi suhu air laut di inlet PLTU Muara Tawar (warna cyan)
dikaitkan dengan elevasi pasang surut (warna merah)

20 Laporan Teknis

Sementara itu Pulau G potensial meningkatkan suhu air laut di inlet
PLTU/PLTGU Muara Karang hingga 1,5C seperti ditunjukkan oleh Gambar 21.
Hal ini senada dengan penjelasan mengenai perubahan pola arus yang terjadi
akibat adanya Pulau G (lihat Gambar 11), dimana air hangat dari outlet PLTGU
Muara Karang akan cenderung dialirkan ke arah mulut inlet PLTU/PLTGU Muara
Karang akibat perubahan arus yang terjadi.


Gambar 21. Perubahan beda suhu air laut pasca-reklamasi di titik 1 yang
berada di mulut kanal inlet PLTU Muara Karang


Hal yang juga perlu diperhatikan, selain dampak dari Pulau G terhadap suhu air
laut yang masuk ke inlet PLTU/PLTGU Muara Karang, adalah dampak dari Pulau
H terhadap meningkatnya suhu air laut di kolam di sekitar TPI Muara Karang.
Dengan adanya Pulau H ini, aliran air dari outlet PLTU Muara Karang yang
seharusnya mengalir ke utara ini cenderung mengalir ke arah kolam di sekitar
TPI Muara Karang dan dapat meningkatkan suhu air laut hingga 0,5C seperti
ditunjukkan oleh Gambar 22.

Laporan Teknis 21


Gambar 22. Perubahan beda suhu air laut pasca-reklamasi di titik 3 yang
berada di tengah kolam TPI Muara Karang

22 Laporan Teknis

Anda mungkin juga menyukai