Sejarah Indonesia
Dewa Pramudya I
X MIPA 5
18
Akulturasi Hindu Budha dan kebudayaan nusantara asli serta nilai nilai dan
unsur budaya yang berkembang pada masa kerajaa islam
Dewa Pramudya I
Tugas Proyek
5/21/2017
Akulturasi Kebudayaan Nusantara dan Hindu Budha
Akulturasi kebudayaan merupakan suatu proses percampuran diantara unsur-unsur kebudayaan
yang satu dengan kebudayaan lainnya, sehingga menghasilkan kebudayaan baru, Kebudayaan
baru yang menjadi hasil percampuran, tersebut masing-masing tidak kehilangan ciri khas /
kepribadian nya. Oleh karena nya, untuk dapat berakulturasi, tiap-tiap kebudayaan harus
seimbang. Begitu pula untukAkulturasi kebudayaan Hindu-Budha dari India dengan
kebudayaan Lokal asli Indonesia.
7 Contoh hasil akulturasi antara kebudayaan Hindu Budha dengan kebudayaan Lokal asli
Indonesia adalah sebagai berikut:
Candi Borobudur
Kitab hukum
Tutur (Pitutur kitab keagamaan)
Wiracarita (Kepahlawanan)
Bentuk wiracarita sangat populer di Indonesia. Misal seperti Bharatayuda, yang digubah Mpu
Panuluh dan Mpu Sedah.
Wayang Kulit
Karya Sastra yang semakin berkembang terutama yang bersumber dari Ramayana dan
Mahabharata ini, yang telah memunculkan seni pertunjukan wayang kulit. Pertunjukan wayang
kulit yang ada di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sudah sangat mendarah familiar. Cerita di
dalam pertunjukan wayang kulit ini berasal dari India, namun wayangnya berasal dari Indonesia
asli.
4. Contoh Akulturasi Seni Pertunjukan
JLA Brandes berpendapat bahwa Gamelan adalah salah satu instrumen diantara seni pertunjukan
asil yang dimiliki oleh Indonesia sebelum unsur-unsur budaya dari India masuk. Selama berabad-
abad, gamelan telah mengalami perkembangan dengan masuknya unsur budaya baru baik pada
segi bentuk maupun kualitas.
Xylophones
Chordophones
Membranophones
Aerophones
Tidophones
Masyarakat pada kala itu sudah percaya bahwa adanya kehidupan setelah mati yakni sebagai roh-
roh halus. Maka, roh nenek moyang mereka dipuja oleh orang yang masih hidup.
Sesudah Masuknya pengaruh India, kepercayaan atas roh halus tidak hilang. Contohnya bisa
dilihat pada fungsi candi. Fungsi kuil atau candi di India ialah sebagai tempat pemujaan. Sedang
Di Indonesia, di samping sebagai tempat pemujaan, candi juga sebagai makam raja atau untuk
menyimpan abu jenazah raja yang sudah meninggal. Hal Ini jelas sebagai perpaduan antara fungsi
candi di India dan tradisi pemakaman serta pemujaan roh nenek moyang yang sudah ada di
Indonesia.
Bangunan pertapaan wihara juga merupakan bangunan yang berundak. Terlihat di beberapa
Candi Tikus, Candi Jalatunda, dan Candi Plaosan.
Bangunan suci berundak tersebut sebenarnya telah berkembang pada zaman pra aksara, yang
menggambarkan alam semesta yang bertingkat. Tingkat paling atas adalah tempat semayam para
roh leluhur (nenek moyang).
Sesudah pengaruh budaya India masuk, maka pemimpin tadi diubah menjadi raja kemudian
wilayahnya disebut sebagai wilayah kerajaan. Contoh nya seperti di Kutai.
Sekian Artikel mengenai Akulturasi Kebudayaan Nusantara dan Hindu Budha, Sejatinya
Pengaruh kebudayaan Hindu Budha hanya bersifat saling melengkapi dengan kebudayaan lokal
yang telah ada di Indonesia. Semoga artikel ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan sobat
markijar, baik itu mengetahui Manfaat Akulturasi Kebudayaan Nusantara, Manfaat Akulturasi
Kebudayaan Hindu Budha atau Contoh hasil akulturasi kebudayaan Hindu Buddha di Indonesia.
Nilai Nilai dan unsur budaya yang berkembang pada masa
kerajaan islam
Durasi penyebaran awal Islam Indonesia dalam kisaran abad ke-7 hingga 13 Masehi.
Penyebarnya berasal dari Arab, Persia, dan India (Gujarat, Benggala). Profesi para penyebar
umumnya pedagang, mubalig, wali, ahli-ahli tasawuf, guru-guru agama, dan haji-haji.
Mereka menyebarkan Islam lewat sejumlah saluran. Saluran-saluran ini berlangsung dalam
enam aras, yaitu perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, seni dan tawaran
pembentukan masyarakat egalitarian dalam strata sosial.
Perdagangan
Perdagangan merupakan metode penetrasi Islam paling kentara. Dalam proses ini,
pedagang nusantara dan Islam asing bertemu dan saling bertukar pengaruh. Pedagang asing
umumnya berasal dari Gujarat dan Timur Tengah (Arab dan Persia). Mereka melakukan
kontak dengan para adipati wilayah pesisir yang hendak melepaskan diri dari kekuasaan
Majapahit. Sebagian dari para pedagang asing ini menetap di wilayah yang berdekatan
dengan pantai dan mendifusikan Islam mereka.
Tatkala para pedagang asing menetap (baik sementara waktu ataupun
seterusnya) mereka membangun pemukiman yang disebut Pekojan. Banyak di antara para
saudagar Islam yang kaya sehingga menarik hati kaum pribumi, terutama anak-anak kaum
bangsawan, untuk menikahi mereka. Masalahnya, para pedagang menganggap pernikahan
dengan penganut berhala tidak sah. Mereka mensyaratkan bahwa untuk menikah, penduduk
Indonesia harus masuk Islam dengan mengucapkan syahadat terlebih dahulu. Proses
pernikahan singkat, tidak melalui upacara yang panjang-lebar, membuat kalangan pribumi
semakin menerima keberadaan orang-orang asing berikut agama barunya ini. Mukimnya
pedagang Islam dalam kegiatan perdagangan (sekadar transit atau menetap), membuat
mereka berkembang biak di sekitar wilayah pelabuhan. Pola ini mampu mengembangkan
pemukiman Islam baru (disebut koloni). Ini menjelaskan mengapa Kerajaan Islam nusantara
selalu berawal dari wilayah-wilayah pesisir seperti Bone, Banjar, Banten, Demak, Cirebon,
Samudera Pasai, Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo, Hitu, ataupun Deli.
Perkawinan
Seperti telah dipaparkan sebelumnya, perkawinan banyak dilakukan antara pedagang
Islam dengan putri-putri adipati. Dalam pernikahan, mempelai pria Islam (juga wanitanya)
mengajukan syarat pengucapan kalimat syahadat sebagai sahnya pernikahan. Anak-anak yang
dihasilkan dari pernikahan tersebut cenderung mengikuti agama orang tuanya yang Islam.
Perkawinan antara saudagar Islam dengan anak-anak kaum bangsawan, raja, atau adipati
menguntungkan perkembangan Islam. Status sosial, ekonomi, dan politik mertua-mertua
mereka memungkinkan Islam melakukan penetrasi langsung ke jantung kekuasaan politik
lokal (palace circle). Saat sudah berada di aras pusat kekuasaan politik, penerbitan kebijakan-
kebijakan yang menguatkan penyebaran Islam mendapat prioritas dalam input, konversi, dan
output kebijakan para sultan atau para adipatinya.
Tasawuf
Tasawuf merupakan epistemologi Islam yang banyak menarik perhatian kalangan
pribumi. Metodenya yang toleran, tidak mengakibatkan cultural shock signifikan, membuat
banjir penganut Islam baru. Tasawuf cenderung tidak menciptakan posisi diametral Islam
dengan budaya India ataupun tradisi lokal yang dipraktekkan kalangan pribumi. Tokoh-tokoh
tasawuf Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai, ataupun beberapa tokoh Wali Sanga (termasuk
juga Syekh Siti Jenar) mengambil posisi kunci dalam metode penyebaran ini. Lewat tasawuf
pula, bentuk Islam yang diperkenalkan menunjukkan persamaan dengan alam pikiran orang-
orang Jawa-Hindu, ina, dan Buddha. Akibatnya, Islam tidak dipandang sesuatu yang sama
sekali asing bagi kalangan pribumi.
Pendidikan
Sebelum Islam masuk, Indonesia dikenal sebagai basis pendidikan agama Buddha,
khususnya perguruan Nalendra di Sumatera Selatan. Pecantrikan dan Mandala adalah sekolah
tempat para penuntut ilmu di kalangan penduduk pra Islam. Setelah Islam masuk, peran
Pecantrikan dan Mandala tersebut diambil alih lalu diberi muatan Islam dalam kurikulumnya.
Kini pesantren (Islam) berlaku sebagai pusat pembinaan guru agama, kiai, dan ulama. Selesai
pendidikan, lulusan kembali ke kampung dan desa masing-masing untuk menjadi tokoh
agama atau mendirikan pesantren sendiri. Misalnya Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang
mendirikan pesantren di Ampel Denta. Selain itu, pesantren yang didirikan Sunan Giri
menjadi terkenal hingga Maluku dan menyebabkan penduduk Maluku (khususnya wilayah
Hitu) datang berguru pada Sunan Giri. Atau, para kiai dari Giri diundang mengajar ke Hitu.
Biasanya, yang diundang menjadi khatib, modin, atau kadi masyarakat Hitu dan diberi upah
cengkih.
Seni
Tidak bisa dipungkiri, seni punya peran signifikan dalam penyebaran Islam. Orang
Indonesia sebelum kedatangan Islam terkenal sebagai seniman-seniman jenius yang punya
kemashuran tinggi. Lewat seni, Islam mampu menjangkau segmen lebih luas masyarakat
pribumi, termasuk para elitnya. Sunan Kalijaga misalnya, menggunakan wayang sebagai cara
dakwah baik atas penduduk biasa maupun elit sosial. Sunan Bonang menggunakan gamelan
dalam melantunkan syair-syair keagamaan. Ini belum termasuk tokoh-tokoh lain yang
mengadaptasi seni kerajinan lokal dan India yang diberi muatan Islam.
Egalitarianisme
Egalitarianisme akhirnya menempati posisi kunci. Problem utama di budaya
sebelumnya adalah stratifikasi sosial berdasarkan kasta. Meski tidak terlampau ketat, Hindu
di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi terbentuknya kasta sosial seperti Brahmana, Ksatria,
Waisya, Sudra dan Paria. Masyarakat biasa kurang leluasa dengan sistem ini, oleh sebab
mengakibatkan sejumlah keterbatasan dalam hal pergaulan dan perkawinan. Lalu, Islam
datang dan tidak mengenal stratifikasi sosial. Mudah dipahami, orang-orang Indonesia
(terutama dari kasta bawah) yang hendak bebas merespon baik agama baru ini.
Makam
Yang berciri-ciri dari wujud akulturasi pada bangunan makam terlihat dari:
1. Makam-makam kuno dibangun di atas bukit atau tempat-tempat yang keramat.
2. Makamnya terbuat dari bangunan batu yang disebut dengan Jirat atau Kijing, nisannya juga
terbuat dari batu.
3. Di atas jirat biasanya didirikan rumah tersendiri yang disebut dengan cungkup atau kubba.
4. Dilengkapi dengan tembok atau gapura yang menghubungkan antara makam dengan makam
atau kelompok-kelompok makam. Bentuk gapura tersebut ada yang berbentuk kori agung
(beratap dan berpintu) dan ada yang berbentuk candi bentar (tidak beratap dan tidak
berpintu).
5. Di dekat makam biasanya dibangun masjid, maka disebut masjid makam dan biasanya
makam tersebut adalah makam para wali atau raja.
Istana
Bangunan istana arsitektur yang dibangun pada awal perkembangan Islam, juga
memperlihatkan adanya unsur akulturasi dari segi arsitektur ataupun ragam hias, maupun dari
seni patungnya contohnya istana Kasultanan Yogyakarta dilengkapi dengan patung penjaga
Dwarapala (Hindu).
b) Seni Rupa
Tradisi Islam tidak menggambarkan bentuk manusia atau hewan. Seni ukir relief yang
menghias Masjid, makam Islam berupa suluran tumbuh-tumbuhan namun terjadi pula
Sinkretisme (hasil perpaduan dua aliran seni logam), agar didapat keserasian.
c) Debus
Kesenian Debus erat kaitannya dengan penyebaran agama Islam di Indonesia. Debus
merupakan kesenian bela diri guna memupuk rasa percaya diri. Debus berasal dari kata
gedebus (almadad). Filosofi dari debus ini adalah kepasrahan kepada pencipta yang
menyebabkan mereka memiliki kekuatan untuk menghadapi bahaya. Tari debus ini dimulai
dengan menyanyikan sholawat yang kemudian diteruskan dengan menusukkan benda tajam
ketubuh penari, dan penari tersebut tidak terluka sedikitpun. Tari Debus ini berkembang di
Banten, Minangkabau dan Aceh.
d) Tari Seudati
Tari Seudati merupakan jenis tarian yang berasal dari aceh. Tarian ini sering disebut tari
Saman. Seudati berasal dari kata Syaidati yang berarti permainan orang-orang besar. Disebut
sebagai tari saman karena mula-mula permainan ini dimainkan oleh delapan orang. Dalam
tari Seudati para pnari menyanyikan lagu tertentu yang berupa sholawat.
e) Gamelan/ Wayang
Wayang dan alat musiknya sering disebut sebagai gamelan. Wayang merupakan kebudayaan
asli Indonesia. Dengan masuknya Islam wayang beserta alat musiknya tidaklah musnah
begitu saja, justru tetap dilestarikan. Banyak cerita-cerita yang digubah dan dimainkan
menggunakan gamelan, begitu juga dalam Islam, untuk memudahkan penyebarannya cerita-
cerita Hindu Budha dirubah dalam cerita Islam. Kalimasada merupakan sesuatu yang telah
mewarnai dunia pewayangan. Wali Sanga sebagai penyebar agama di Jawa juga
menggunakan media wayang dalam penyebaran Islam.
Masuknya Islam menimbulkan perubahan dalam penyebutan raja. Penguasa suatu negeri
pada masa pra Islam disebut sebagai raja, akan tetapi dengan masuknya Islam dipanggil
sultan, sunan, susuhunan, panembahan dan maulana. Nama raja juga disesuaikan dengan
nama Islam (Arab). Akan tetapi di Jawa masih digunakan nama Jawa. Selain itu muncul suatu
tradisi baru, yaitu pemakaian nama dan gelar raja secara berturut-turut. Untuk membedakan
antara raja maka dibelakang nama ditambah dengan angka urutan, misalnya Hamengku
Buwono I,II,III dst.
b) Sistem pengangkatan raja
Walaupun Islam telah masuk, akan tetapi dalam pengangkatan seorang raja cara lama tidak
ditinggalkan. Sebagai contohnya adalah di Kesultanan Aceh. Di Kesultanan Aceh
pengangkatan raja diatur dalam permufakatan dengan hukum adat. Tata caranya adalah
berdiri di atas tabal, kemudian disertai ulama sambil membawa al-Quran berdiri di sebelah
kanan, sedangkan perdana menteri dengan membawa pedang berdiri di sebelah kiri. Hal ini
hampir sama dengan di Jawa, sistem pengangkatan raja berdasarkan permufakatan yang tidak
melepaskan peranan wali, hanya saja tidak menggunakan rangkaian acara seperti berdiri di
atas tabal.
c) Kedudukan Raja
Pada masa Hindu Budha raja merupakan tokoh yang identik dengan dewa, sehingga
melekatlah kata-kata kultus dewa raja. Pada zaman Islam kutus dewa raja tidak berlaku
lagi. Hal ini dikarenakan ajaran Islam menolak bahwa manusia sama dengan Tuhan. Ajaran
Islam menempatakan raja dalam kedudukan yang tidak semulia dan seagung zaman Hindu
Budha, melainkan sebagai kalipatullah (wali Tuhan di dunia). Penghapusan kultus dewa raja
tidaklah mengurangi tuntutan pokok, yaitu kekuasaan raja mutlak terhadap atas seluruh
rakyat. Sultan sebagai tokoh yang menguasai rakyat dan dapat menghubungkan dengan alam
gaib. Manusia yang dijadikan wakil akan mendapat tanda-tanda khusus dari Tuhan dalam
bentuk perlambang. Seorang raja harus memiliki legitimasi dari Tuhan. Bentuk legitimasi di
Jawa disebut dengan pulung atau wahyu (cahaya nurbuat). Karena raja menduduki posisi
sentral maka seluruh aparat pemerintahan merupakan perpanjangan kekuasaan raja.