Anda di halaman 1dari 16

2017

Sejarah Indonesia
Dewa Pramudya I
X MIPA 5
18
Akulturasi Hindu Budha dan kebudayaan nusantara asli serta nilai nilai dan
unsur budaya yang berkembang pada masa kerajaa islam

Dewa Pramudya I
Tugas Proyek
5/21/2017
Akulturasi Kebudayaan Nusantara dan Hindu Budha
Akulturasi kebudayaan merupakan suatu proses percampuran diantara unsur-unsur kebudayaan
yang satu dengan kebudayaan lainnya, sehingga menghasilkan kebudayaan baru, Kebudayaan
baru yang menjadi hasil percampuran, tersebut masing-masing tidak kehilangan ciri khas /
kepribadian nya. Oleh karena nya, untuk dapat berakulturasi, tiap-tiap kebudayaan harus
seimbang. Begitu pula untukAkulturasi kebudayaan Hindu-Budha dari India dengan
kebudayaan Lokal asli Indonesia.

7 Contoh hasil akulturasi antara kebudayaan Hindu Budha dengan kebudayaan Lokal asli
Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Contoh Akulturasi Seni Rupa dan Seni Ukir


Adanya pengaruh dari India tentu saja membawa perkembangan di dalam bidang Seni Rupa, ukir
maupun pahat. Hal ini kenyataannya bisa disaksikan pada seni ukir atau relief-relief yang dipahat
di bagian dinding candi. Misalkan Relief yang dipahat pada Candi Borobudur yang berupa
pahatan riwayat sang Buddha.

Candi Borobudur

2. Contoh Akulturasi Seni Bangunan


Bentuk bangunan candi di Indonesia pada umumnya adalah bentuk akulturasi antara unsur
budaya Hindu Budha dengan budaya Lokal asli Indonesia. Bangunan yang megah, patung-patung
perwujudan Buddha / dewa, serta bagian dari stupa dan candi merupakan unsur-unsur dari India.
Bentuk candi di Indonesia pada hakikatnya merupakan punden berundak yang tidak lain
merupakan unsur asli Indonesia. Candi Borobudur adalah salah satu dari contoh
akulturasi tersebut.

3. Contoh Akulturasi Seni Aksara dan Seni Sastra


Masuknya budaya India di Indonesia membawa pengaruh perkembangan seni sastra yang cukup
besar di Indonesia. Seni Sastra pada masa itu ada yang berbentuk puisi dan ada juga yang
berbentuk prosa. dilihar dari isinya, kesusastraan dikelompokkan menjadi 3, yaitu:

Kitab hukum
Tutur (Pitutur kitab keagamaan)
Wiracarita (Kepahlawanan)
Bentuk wiracarita sangat populer di Indonesia. Misal seperti Bharatayuda, yang digubah Mpu
Panuluh dan Mpu Sedah.

Wayang Kulit

Karya Sastra yang semakin berkembang terutama yang bersumber dari Ramayana dan
Mahabharata ini, yang telah memunculkan seni pertunjukan wayang kulit. Pertunjukan wayang
kulit yang ada di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sudah sangat mendarah familiar. Cerita di
dalam pertunjukan wayang kulit ini berasal dari India, namun wayangnya berasal dari Indonesia
asli.
4. Contoh Akulturasi Seni Pertunjukan
JLA Brandes berpendapat bahwa Gamelan adalah salah satu instrumen diantara seni pertunjukan
asil yang dimiliki oleh Indonesia sebelum unsur-unsur budaya dari India masuk. Selama berabad-
abad, gamelan telah mengalami perkembangan dengan masuknya unsur budaya baru baik pada
segi bentuk maupun kualitas.

Macam-macam gamelan itu sendiri dapat dikelompokkan dalam:

Xylophones
Chordophones
Membranophones
Aerophones
Tidophones

5. Contoh Akulturasi Sistem Kepercayaan


Sejak masa pra aksara, masyarakat di Kepulauan Indonesia sudah mengenali adanya simbol-
simbol yang bermakna filosofis. misalnya jika terddapat orang yang meninggal, di dalam
kuburnya disertai dengan beberapa benda. Diantara benda tersebut biasanya terdapat lukisan
orang yang sedang naik perahu, yang bermakna bahwa orang yang telah wafat, rohnya akan
melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan yang membahagiakan yakni alam baka.

Masyarakat pada kala itu sudah percaya bahwa adanya kehidupan setelah mati yakni sebagai roh-
roh halus. Maka, roh nenek moyang mereka dipuja oleh orang yang masih hidup.

Sesudah Masuknya pengaruh India, kepercayaan atas roh halus tidak hilang. Contohnya bisa
dilihat pada fungsi candi. Fungsi kuil atau candi di India ialah sebagai tempat pemujaan. Sedang
Di Indonesia, di samping sebagai tempat pemujaan, candi juga sebagai makam raja atau untuk
menyimpan abu jenazah raja yang sudah meninggal. Hal Ini jelas sebagai perpaduan antara fungsi
candi di India dan tradisi pemakaman serta pemujaan roh nenek moyang yang sudah ada di
Indonesia.

6. Contoh Akulturasi Arsitektur


Bangunan keagamaan seperti candi sangat dikenal pada masa Hindu Budha. Hal tersebut terlihat
jelas di mana pada sosok bangunan sakral peninggalan Hindu, seperti Cadi Gedungsongo maupun
Candi Sewu.

Bangunan pertapaan wihara juga merupakan bangunan yang berundak. Terlihat di beberapa
Candi Tikus, Candi Jalatunda, dan Candi Plaosan.
Bangunan suci berundak tersebut sebenarnya telah berkembang pada zaman pra aksara, yang
menggambarkan alam semesta yang bertingkat. Tingkat paling atas adalah tempat semayam para
roh leluhur (nenek moyang).

7. Contoh Akulturasi Sistem Pemerintahan


Sesudah datangnya Budaya India di Indonesia, dikenal adanya sistem pemerintahan secara
sederhana. Pemerintahan yang dimaksud ialah semacam pemerintah di suatu daerah tertentu
(seperti desa). Rakyat mengangkat seorang kepala suku (pemimpin). Orang yang dipilih sebagai
kepala suku biasanya orang yang sudah tua (senior) dapat membimbing, berwibawa, arif,
memiliki kelebihan tertentu seperti di bidang ekonomi dan biasanya dianggap mempunyai
semacam kekuatan gaib atau kesaktian.

Sesudah pengaruh budaya India masuk, maka pemimpin tadi diubah menjadi raja kemudian
wilayahnya disebut sebagai wilayah kerajaan. Contoh nya seperti di Kutai.

Sekian Artikel mengenai Akulturasi Kebudayaan Nusantara dan Hindu Budha, Sejatinya
Pengaruh kebudayaan Hindu Budha hanya bersifat saling melengkapi dengan kebudayaan lokal
yang telah ada di Indonesia. Semoga artikel ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan sobat
markijar, baik itu mengetahui Manfaat Akulturasi Kebudayaan Nusantara, Manfaat Akulturasi
Kebudayaan Hindu Budha atau Contoh hasil akulturasi kebudayaan Hindu Buddha di Indonesia.
Nilai Nilai dan unsur budaya yang berkembang pada masa
kerajaan islam
Durasi penyebaran awal Islam Indonesia dalam kisaran abad ke-7 hingga 13 Masehi.
Penyebarnya berasal dari Arab, Persia, dan India (Gujarat, Benggala). Profesi para penyebar
umumnya pedagang, mubalig, wali, ahli-ahli tasawuf, guru-guru agama, dan haji-haji.
Mereka menyebarkan Islam lewat sejumlah saluran. Saluran-saluran ini berlangsung dalam
enam aras, yaitu perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, seni dan tawaran
pembentukan masyarakat egalitarian dalam strata sosial.

Perdagangan
Perdagangan merupakan metode penetrasi Islam paling kentara. Dalam proses ini,
pedagang nusantara dan Islam asing bertemu dan saling bertukar pengaruh. Pedagang asing
umumnya berasal dari Gujarat dan Timur Tengah (Arab dan Persia). Mereka melakukan
kontak dengan para adipati wilayah pesisir yang hendak melepaskan diri dari kekuasaan
Majapahit. Sebagian dari para pedagang asing ini menetap di wilayah yang berdekatan
dengan pantai dan mendifusikan Islam mereka.
Tatkala para pedagang asing menetap (baik sementara waktu ataupun
seterusnya) mereka membangun pemukiman yang disebut Pekojan. Banyak di antara para
saudagar Islam yang kaya sehingga menarik hati kaum pribumi, terutama anak-anak kaum
bangsawan, untuk menikahi mereka. Masalahnya, para pedagang menganggap pernikahan
dengan penganut berhala tidak sah. Mereka mensyaratkan bahwa untuk menikah, penduduk
Indonesia harus masuk Islam dengan mengucapkan syahadat terlebih dahulu. Proses
pernikahan singkat, tidak melalui upacara yang panjang-lebar, membuat kalangan pribumi
semakin menerima keberadaan orang-orang asing berikut agama barunya ini. Mukimnya
pedagang Islam dalam kegiatan perdagangan (sekadar transit atau menetap), membuat
mereka berkembang biak di sekitar wilayah pelabuhan. Pola ini mampu mengembangkan
pemukiman Islam baru (disebut koloni). Ini menjelaskan mengapa Kerajaan Islam nusantara
selalu berawal dari wilayah-wilayah pesisir seperti Bone, Banjar, Banten, Demak, Cirebon,
Samudera Pasai, Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo, Hitu, ataupun Deli.

Perkawinan
Seperti telah dipaparkan sebelumnya, perkawinan banyak dilakukan antara pedagang
Islam dengan putri-putri adipati. Dalam pernikahan, mempelai pria Islam (juga wanitanya)
mengajukan syarat pengucapan kalimat syahadat sebagai sahnya pernikahan. Anak-anak yang
dihasilkan dari pernikahan tersebut cenderung mengikuti agama orang tuanya yang Islam.
Perkawinan antara saudagar Islam dengan anak-anak kaum bangsawan, raja, atau adipati
menguntungkan perkembangan Islam. Status sosial, ekonomi, dan politik mertua-mertua
mereka memungkinkan Islam melakukan penetrasi langsung ke jantung kekuasaan politik
lokal (palace circle). Saat sudah berada di aras pusat kekuasaan politik, penerbitan kebijakan-
kebijakan yang menguatkan penyebaran Islam mendapat prioritas dalam input, konversi, dan
output kebijakan para sultan atau para adipatinya.

Tasawuf
Tasawuf merupakan epistemologi Islam yang banyak menarik perhatian kalangan
pribumi. Metodenya yang toleran, tidak mengakibatkan cultural shock signifikan, membuat
banjir penganut Islam baru. Tasawuf cenderung tidak menciptakan posisi diametral Islam
dengan budaya India ataupun tradisi lokal yang dipraktekkan kalangan pribumi. Tokoh-tokoh
tasawuf Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai, ataupun beberapa tokoh Wali Sanga (termasuk
juga Syekh Siti Jenar) mengambil posisi kunci dalam metode penyebaran ini. Lewat tasawuf
pula, bentuk Islam yang diperkenalkan menunjukkan persamaan dengan alam pikiran orang-
orang Jawa-Hindu, ina, dan Buddha. Akibatnya, Islam tidak dipandang sesuatu yang sama
sekali asing bagi kalangan pribumi.

Pendidikan
Sebelum Islam masuk, Indonesia dikenal sebagai basis pendidikan agama Buddha,
khususnya perguruan Nalendra di Sumatera Selatan. Pecantrikan dan Mandala adalah sekolah
tempat para penuntut ilmu di kalangan penduduk pra Islam. Setelah Islam masuk, peran
Pecantrikan dan Mandala tersebut diambil alih lalu diberi muatan Islam dalam kurikulumnya.
Kini pesantren (Islam) berlaku sebagai pusat pembinaan guru agama, kiai, dan ulama. Selesai
pendidikan, lulusan kembali ke kampung dan desa masing-masing untuk menjadi tokoh
agama atau mendirikan pesantren sendiri. Misalnya Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang
mendirikan pesantren di Ampel Denta. Selain itu, pesantren yang didirikan Sunan Giri
menjadi terkenal hingga Maluku dan menyebabkan penduduk Maluku (khususnya wilayah
Hitu) datang berguru pada Sunan Giri. Atau, para kiai dari Giri diundang mengajar ke Hitu.
Biasanya, yang diundang menjadi khatib, modin, atau kadi masyarakat Hitu dan diberi upah
cengkih.
Seni
Tidak bisa dipungkiri, seni punya peran signifikan dalam penyebaran Islam. Orang
Indonesia sebelum kedatangan Islam terkenal sebagai seniman-seniman jenius yang punya
kemashuran tinggi. Lewat seni, Islam mampu menjangkau segmen lebih luas masyarakat
pribumi, termasuk para elitnya. Sunan Kalijaga misalnya, menggunakan wayang sebagai cara
dakwah baik atas penduduk biasa maupun elit sosial. Sunan Bonang menggunakan gamelan
dalam melantunkan syair-syair keagamaan. Ini belum termasuk tokoh-tokoh lain yang
mengadaptasi seni kerajinan lokal dan India yang diberi muatan Islam.

Egalitarianisme
Egalitarianisme akhirnya menempati posisi kunci. Problem utama di budaya
sebelumnya adalah stratifikasi sosial berdasarkan kasta. Meski tidak terlampau ketat, Hindu
di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi terbentuknya kasta sosial seperti Brahmana, Ksatria,
Waisya, Sudra dan Paria. Masyarakat biasa kurang leluasa dengan sistem ini, oleh sebab
mengakibatkan sejumlah keterbatasan dalam hal pergaulan dan perkawinan. Lalu, Islam
datang dan tidak mengenal stratifikasi sosial. Mudah dipahami, orang-orang Indonesia
(terutama dari kasta bawah) yang hendak bebas merespon baik agama baru ini.

2.3 Akulturasi Budaya Indonesia dengan Budaya Islam


Sebelum Islam masuk dan berkembang, Indonesia sudah memiliki corak kebudayaan
yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha. Dengan masuknya Islam, Indonesia kembali
mengalami proses akulturasi (proses bercampurnya dua (lebih) kebudayaan karena
percampuran bangsa-bangsa dan saling mempengaruhi), yang melahirkan kebudayaan baru
yaitu kebudayaan Islam Indonesia. Masuknya Islam tersebut tidak berarti kebudayaan Hindu
dan Budha hilang. Bentuk budaya sebagai hasil dari proses akulturasi tersebut, tidak hanya
bersifat kebendaan/material tetapi juga menyangkut perilaku masyarakat Indonesia.
Untuk lebih memahami wujud budaya yang sudah mengalami proses akulturasi dapat Anda
simak dalam uraian materi berikut ini.
1) Akulturasi Bentuk Fisik
a) Seni Bangunan
Mesjid
Bentuk Bangunan. Kebanyakan mesjid di Indonesia terutama di Jawa berbentuk seperti
pendopo yang berbentuk bujur sangkar. Selain itu atap mesjid berbentuk tumpang. Ini
merupakan perpaduan dengan Hindu dimana tumpang dalam agama Hindu menghiasi pura.
Atap ini sangat berbeda dengan atap-atap masjid di Timur Tengah sebagai asal Islam. Akan
tetapi dalam Islam tidak ada aturan khusus dalam masalah atap masjid, yang terpenting dapat
dijadikan sebagai tempat sholat. Atap ini juga selalu ganjil, yaitu 3 atau 5.
Menara. Menara berfungsi sebagai tempat untuk menyerukan azan. Menara merupakan salah
satu kelengkapan masjid. Akan tetapi di Indonesia hanya masjid Kudus dan banten saja yang
memiliki menara. Menara msjid Kudus terbuat dari terakota yang tersusun seperti candi
sedangkan di Banten bentuk menara yang lebih menyerupai mercusuar Eropa.
Letak Mesjid. Selain bentuk masjid dan menara, letak masjid juga memiliki keunikan.
Penempatan masjid di Indonesia terutama masjid jami letaknya sesuai dengan tata letak
macapat, yaitu masjid diletakkan disebelah barat alun-alun dekat dengan istana (keraton)
yang merupakan simbol tempat bersatunya rakyat dengan rajanya. Sebenarnya penempatan
majid dalam Islam tidak diatur secara khusus. Selain itu penempatan masjid diletakkan dekat
dengan makam. Letak yang seperti ini terutama untuk makam raja-raja. Contoh masjid kuno
lain Masjid Agung Demak, Masjid Gunung Jati (Cirebon), Masjid Kudus dan sebagainya.

Makam
Yang berciri-ciri dari wujud akulturasi pada bangunan makam terlihat dari:
1. Makam-makam kuno dibangun di atas bukit atau tempat-tempat yang keramat.

2. Makamnya terbuat dari bangunan batu yang disebut dengan Jirat atau Kijing, nisannya juga
terbuat dari batu.

3. Di atas jirat biasanya didirikan rumah tersendiri yang disebut dengan cungkup atau kubba.

4. Dilengkapi dengan tembok atau gapura yang menghubungkan antara makam dengan makam
atau kelompok-kelompok makam. Bentuk gapura tersebut ada yang berbentuk kori agung
(beratap dan berpintu) dan ada yang berbentuk candi bentar (tidak beratap dan tidak
berpintu).

5. Di dekat makam biasanya dibangun masjid, maka disebut masjid makam dan biasanya
makam tersebut adalah makam para wali atau raja.

Istana
Bangunan istana arsitektur yang dibangun pada awal perkembangan Islam, juga
memperlihatkan adanya unsur akulturasi dari segi arsitektur ataupun ragam hias, maupun dari
seni patungnya contohnya istana Kasultanan Yogyakarta dilengkapi dengan patung penjaga
Dwarapala (Hindu).

2) Akulturasi Bentuk Kesenian


a) Seni Ukir
Dalam agama Islam ada larangan untuk melukiskan makhluk hidup terutama manusia. Seni
pahat di Indonesia sangat berkembang pesat pada zaman purba, akan tetapi masuk zaman
madya (Islam), seni ini tidak berkembang lagi. Maka dari itu, pada zaman ini kepandaian
memahat hanya terbatas pada seni ukir saja. Seni ukir pun sudah disamarkan sehingga tidak
lagi menyerupai makhluk hidup. Banyak pola-pola yang diambil dari zaman purba, yaitu pola
daun-daunan, bunga-bungaan, bukit karang, pemandangan dan garis-garis geometri. Huruf-
huruf Arab juga ikut meramaikan tradisi ukir yang masuk ke dalam pola. Pola-pola ini sering
sekali digunakan untuk menyamarkan lukisan makhluk hidup. Ukiran-ukiran biasannya
menghiasi makam-makam, sedangkan pada masjid hanya tedapat di mimbarnya saja. Ukir-
ukiran di makam dapat ditemui pada jirat, gapura dan cungkup. Di Indonesia ada masjid yang
memiliki ukiran samar dari zaman madya, yaitu masjid mantingan di Jepara.

b) Seni Rupa
Tradisi Islam tidak menggambarkan bentuk manusia atau hewan. Seni ukir relief yang
menghias Masjid, makam Islam berupa suluran tumbuh-tumbuhan namun terjadi pula
Sinkretisme (hasil perpaduan dua aliran seni logam), agar didapat keserasian.
c) Debus

Kesenian Debus erat kaitannya dengan penyebaran agama Islam di Indonesia. Debus
merupakan kesenian bela diri guna memupuk rasa percaya diri. Debus berasal dari kata
gedebus (almadad). Filosofi dari debus ini adalah kepasrahan kepada pencipta yang
menyebabkan mereka memiliki kekuatan untuk menghadapi bahaya. Tari debus ini dimulai
dengan menyanyikan sholawat yang kemudian diteruskan dengan menusukkan benda tajam
ketubuh penari, dan penari tersebut tidak terluka sedikitpun. Tari Debus ini berkembang di
Banten, Minangkabau dan Aceh.

d) Tari Seudati
Tari Seudati merupakan jenis tarian yang berasal dari aceh. Tarian ini sering disebut tari
Saman. Seudati berasal dari kata Syaidati yang berarti permainan orang-orang besar. Disebut
sebagai tari saman karena mula-mula permainan ini dimainkan oleh delapan orang. Dalam
tari Seudati para pnari menyanyikan lagu tertentu yang berupa sholawat.

e) Gamelan/ Wayang

Wayang dan alat musiknya sering disebut sebagai gamelan. Wayang merupakan kebudayaan
asli Indonesia. Dengan masuknya Islam wayang beserta alat musiknya tidaklah musnah
begitu saja, justru tetap dilestarikan. Banyak cerita-cerita yang digubah dan dimainkan
menggunakan gamelan, begitu juga dalam Islam, untuk memudahkan penyebarannya cerita-
cerita Hindu Budha dirubah dalam cerita Islam. Kalimasada merupakan sesuatu yang telah
mewarnai dunia pewayangan. Wali Sanga sebagai penyebar agama di Jawa juga
menggunakan media wayang dalam penyebaran Islam.

3) Akulturasi Bentuk Kesusasteraan


Kesusasteraan zaman madya berkembang di daerah selat Malaka, akan tetapi perkembangnya
tidak sebesar kesusasteraan zaman purba (Hindu-Budha). Hal ini dikarenakan tidak ada
tempat khusus untuk melestarikannya seperti kesusasteraan purba yang masih tersimpan rapi
di Bali. Kesusasteraan zaman madya yang ada saat ini sebagaian besar merupakan hasil
gubahan baru. Hal ini menyebabkan kesusasteraan zaman madya sulit diturutkan kepada
perjalanan sejarah sehingga hanya dapat dibagi-bagi menurut golongannya saja. Walaupun
demikian pembagian tersebut tidak dapat dilakukan secara tegas krena suatu naskah dapat
masuk dalam 2 golongan.
Kesusasteraan zaman madya tidak terlepas dari pengaruh Hindu-Budha. Bahan-bahan dari
kesusasteraan zaman purba merupakan kelanjutan sastra purba terutama di Jawa. Banyak
gubahan-gubahan sastra purba berkembang di zaman madya. Gubahan-gubahan sastra ini
biasanya ditulis dalam bentuk gancaran dan tembang. Cerita-cerita yang ditulis dalam bentuk
gancaran disebut hikayat, sedangkan yang ditulis dalam tembang disebut syair. Di daerah
Melayu karya sastra banyak yang ditulis dengan menggunakan huruf Arab, sedangkan di
Jawa ditulis dalam huruf Jawa walaupun ada juga yang menggunakan huruf Arab terutama
yang berkaitan dengan soal-soal keagamaan.
Kesusasteraan zaman madya berdasarkan sifatnya dapat dibagi menjadi :
a) Hikayat
Hikayat merupakan cerita atau dongeng yang biasanya penuh dengan keajaiban dan
keanehan. Tidak jarang pula hikayat berpangkal pada tokoh-tokoh sejarah dan peristiwa-
peristiwa yang benar-benar terjadi.
Contoh : hikayat Raja-Raja pasai, Hikayat Salasih, Hikayat Perak, Hikayat si Miskin, Hikayat
Hang Tuah.
b) Babad
Babad merupakan dongeng yang sengaja diubah sebagai cerita sejarah. Dalam babad tokoh,
tempat dan peristiwa hampir semuanya ada dalam sejarah, tetapi penggambarannya dilakukan
secara berlebihan.
Contoh : babad Tanah Jawi, babad Cirebon, Babad Giyanti, Babad Pakepung.
c) Suluk
Suluk merupakan kitab-kitab yang menguraikan soal tasawuf. Kitab suluk sangat menarik
karena sifatnya pantheisme, yang menjelaskan tentang bersatu.nya manusia dengan Tuhan
(Manunggaling Kawulo lan Gusti). Beberapa pujangga yang menulis suluk diantaranya
adalah Ronggoearsito, Hamzah Fansuri, Sunan Bonang dan Syaekh Yusuf.
d) Kitab primbon
Kitab primbon memiliki kedekatan dengan suluk. Primbon menerangkan tentang kegaiban.
Berisi ramalan-ramalan, penentuan hari baik dan buruk, dan pemberian makna pada suatu
kejadian.
Contoh : Kitab primbon Bataljemur Adammakna, kitab primbon Lukman Hakim.

4) Akulturasi Bentuk Aksara dan Bahasa


a) Aksara
Dengan masuknya Islam, dalam bidang aksara juga ikut terpengaruhi. Huruf yang
berkembang adalah huruf Hijriah (aksara Arab). Di Indonesia huruf Arab tersebut diolah
menjadi lebih sederhana menjadi huruf Arab yang dipakai di daerah-daerah dengan
percampuran menggunakan bahasa daerah setempat. Bunyi dari tulisan menggunakan bahasa
setempat (Aceh, Melayu, Sunda dan Jawa), tetapi akasaranya mengunakan aksara Arab.
Secara keseluruhan tulisan yang demikian disebut dengan Arab Gundul atau Arab Gondil.
Sedangkan di Jawa dan Sunda disebut Arab Pegon. Sampai saat ini huruf Arab Pegon masih
digunakan oleh sebagain masyarakat di Indonesia. Masyarakat penggunanya terutama berasal
dari daerah pesisir dan kalangan pesantren-pesantren tradisional. Penggunaan huruf atau
bahasa Pegon itu misalnya saja dalam kitab-kitab keagamaan dan mantra-mantra.
b) Bahasa
Konversi Islam nusantara awalnya terjadi di sekitar semenanjung Malaya. Menyusul konversi
tersebut, penduduknya meneruskan penggunaan bahasa Melayu. Melayu lalu digunakan
sebagai bahasa dagang yang banyak digunakan di bagian barat kepulauan Indonesia. Seiring
perkembangan awal Islam, bahasa Melayu pun memasukkan sejumlah kosakata Arab ke
dalam struktur bahasanya. Bahkan, Taylor mencatat sekitar 15% dari kosakata bahasa
Melayu merupakan adaptasi bahasa Arab. Selain itu, terjadi modifikasi atas huruf-huruf
Pallawa ke dalam huruf Arab, dan ini kemudian dikenal sebagai huruf Jawi.

5) Akulturasi Sistem Kalender


Sebelum budaya Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia sudah mengenal
Kalender Saka (kalender Hindu) yang dimulai tahun 78M. Dalam kalender Saka ini
ditemukan nama-nama pasaran hari seperti legi, pahing, pon, wage dan kliwon. Setelah
berkembangnya Islam Sultan Agung dari Mataram menciptakan kalender Jawa, dengan
menggunakan perhitungan peredaran bulan (komariah) seperti tahun Hijriah (Islam).
Pada kalender Jawa, Sultan Agung melakukan perubahan pada nama-nama bulan seperti
Muharram diganti dengan Syuro, Ramadhan diganti dengan Pasa. Sedangkan nama-nama
hari tetap menggunakan hari-hari sesuai dengan bahasa Arab. Dan bahkan hari pasaran pada
kalender saka juga dipergunakan. Kalender Sultan Agung tersebut dimulai tanggal 1 Syuro
1555 Jawa, atau tepatnya 1 Muharram 1053 H yang bertepatan tanggal 8 Agustus 1633 M.

6) Akulturasi Sistem Pemerintahan


Dalam pemerintahan juga terdapat akulturasi antara kebudayaaan Islam dan kebudayaan pra
Islam. Bentuk akulturasi tersebut terlihat dalam penyebutan nama raja dan sistem
pengangkatan raja.
a) Penyebutan nama raja

Masuknya Islam menimbulkan perubahan dalam penyebutan raja. Penguasa suatu negeri
pada masa pra Islam disebut sebagai raja, akan tetapi dengan masuknya Islam dipanggil
sultan, sunan, susuhunan, panembahan dan maulana. Nama raja juga disesuaikan dengan
nama Islam (Arab). Akan tetapi di Jawa masih digunakan nama Jawa. Selain itu muncul suatu
tradisi baru, yaitu pemakaian nama dan gelar raja secara berturut-turut. Untuk membedakan
antara raja maka dibelakang nama ditambah dengan angka urutan, misalnya Hamengku
Buwono I,II,III dst.
b) Sistem pengangkatan raja

Walaupun Islam telah masuk, akan tetapi dalam pengangkatan seorang raja cara lama tidak
ditinggalkan. Sebagai contohnya adalah di Kesultanan Aceh. Di Kesultanan Aceh
pengangkatan raja diatur dalam permufakatan dengan hukum adat. Tata caranya adalah
berdiri di atas tabal, kemudian disertai ulama sambil membawa al-Quran berdiri di sebelah
kanan, sedangkan perdana menteri dengan membawa pedang berdiri di sebelah kiri. Hal ini
hampir sama dengan di Jawa, sistem pengangkatan raja berdasarkan permufakatan yang tidak
melepaskan peranan wali, hanya saja tidak menggunakan rangkaian acara seperti berdiri di
atas tabal.

c) Kedudukan Raja

Pada masa Hindu Budha raja merupakan tokoh yang identik dengan dewa, sehingga
melekatlah kata-kata kultus dewa raja. Pada zaman Islam kutus dewa raja tidak berlaku
lagi. Hal ini dikarenakan ajaran Islam menolak bahwa manusia sama dengan Tuhan. Ajaran
Islam menempatakan raja dalam kedudukan yang tidak semulia dan seagung zaman Hindu
Budha, melainkan sebagai kalipatullah (wali Tuhan di dunia). Penghapusan kultus dewa raja
tidaklah mengurangi tuntutan pokok, yaitu kekuasaan raja mutlak terhadap atas seluruh
rakyat. Sultan sebagai tokoh yang menguasai rakyat dan dapat menghubungkan dengan alam
gaib. Manusia yang dijadikan wakil akan mendapat tanda-tanda khusus dari Tuhan dalam
bentuk perlambang. Seorang raja harus memiliki legitimasi dari Tuhan. Bentuk legitimasi di
Jawa disebut dengan pulung atau wahyu (cahaya nurbuat). Karena raja menduduki posisi
sentral maka seluruh aparat pemerintahan merupakan perpanjangan kekuasaan raja.

2.4 Contoh Lain Budaya Indonesia Yang Menganut Nilai-nilai Islam


Tepung tawar, biasa dilakukan dengan menghambur-hambur beras kepada orang
yang ditepung tawari. Adapun upah-upah, juga merupakan upacara menolak kesialan.
Biasanya dilakukan terhadap orang yang sakit agar spiritualnya (roh) kembali ke jasadnya.
Yaitu dengan memasak ayam kemudian diletakkan di piring lalu dibawa mengitari orang
yang akan diupah-upahi, kemudian disuapkan kepada orang tersebut. Tujuannya ialah
mengembalikan semangat pada orang sakit itu.
Sungkeman. Kebiasaan ini berasal dari pulau Jawa yang umumnya dilakukan pada
saat Hari Raya dan pada upacara pernikahan, tetapi kadang kala dilakukan juga setiap kali
bertemu. Dilakukan dengan cara sujud kepada orang tua atau orang yang dianggap sepuh
(Jawa, tua atau dituakan). Adat ini mengandung unsur sujud dan rukuk kepada selain Allah,
yang tentunya dilarang dalam Islam.
Tabot atau Tabuik, adalah upacara tradisional masyarakat Bengkulu untuk
mengenang kisah kepahlawanan dan kematian cucu Nabi Muhammad, Hasan dan Husein bin
Ali bin Abi Thalib dalam peperangan dengan pasukan Ubaidillah bin Zaid di padang Karbala,
Irak pada tanggal 10 Muharam 61 Hijriah (681 M). Perayaan di Bengkulu pertama kali
dilaksanakan oleh Syaikh Burhanuddin yang dikenal sebagai Imam Senggolo pada tahun
1685. Syaih Burhanuddin (Imam Senggolo) menikah dengan wanita Bengkulu kemudian
anak mereka, cucu mereka dan keturunan mereka disebut sebagai keluarga Tabot. Upacara ini
dilaksanakan dari 1 sampai 10 Muharram (berdasar kalendar islam) setiap tahun. Pada
awalnya, inti upacara Tabot ialah untuk mengenang upaya pemimpin Syi'ah dan kaumnya
mengumpulkan potongan tubuh Husein, mengarak dan memakamkannya di Padang Karbala.
Istilah Tabot berasal dari kata Arab, tabut, yang secara harfiah berarti kotak kayu atau
peti. Tidak ada catatan tertulis sejak kapan upacara Tabot mulai dikenal di Bengkulu.
Namun, diduga kuat tradisi yang berangkat dari upacara berkabung para penganut paham
Syi'ah ini dibawa oleh para tukang yang membangun Benteng Marlborought (1718-1719) di
Bengkulu. Para tukang bangunan tersebut, didatangkan oleh Inggris dari Madras dan Bengali
di bagian selatan India yang kebetulan merupakan penganut Islam Syiah.
Tingkepan, babaran, pitonan dan pacangan. Masyarakat desa di Jawa Timur,
seperti halnya di Jawa Tengah, memiliki ikatan yang berdasarkan persahabatan dan teritorial.
Berbagai upacara adat yang diselenggarakan antara lain:
1. Tingkepan, yaitu upacara usia kehamilan tujuh bulan bagi anak pertama.
2. Babaran, yaitu upacara menjelang lahirnya bayi.
3. Sepasaran, yaitu upacara setelah bayi berusia lima hari.
4. Pitonan, yaitu upacara setelah bayi berusia tujuh bulan.
5. Sunatan yaitu acara khinatan.
Masyarakat di Jawa Timur umumnya menganut perkawinan monogami. Sebelum dilakukan
lamaran, pihak laki-laki melakukan acara nako'ake (menanyakan apakah si gadis sudah
memiliki calon suami), setelah itu dilakukan peningsetan (lamaran). Upacara perkawinan
didahului dengan acara temu atau kepanggih. Untuk mendoakan orang yang telah meninggal,
biasanya pihak keluarga melakukan acara kirim donga (kirim doa) pada hari ke-1, ke-3
(telung dino), ke-7 (pitung dino), ke-40 (patang puluh dino), ke-100 (satus dino), 1 tahun
(pendak pisan), 2 tahun (pendak pindo) dan 3 tahun atau 1000 hari setelah kematian (nyewu).
Budaya Tumpeng. Tumpeng adalah cara penyajian nasi beserta lauk-pauknya dalam
bentuk kerucut. Itulah sebabnya disebut nasi tumpeng. Olahan nasi yang dipakai, umumnya
berupa nasi kuning, meskipun kerap juga digunakan nasi putih biasa atau nasi uduk. Cara
penyajian nasi ini khas Jawa atau masyarakat Betawi keturunan Jawa, dan biasanya dibuat
pada saat kenduri atau perayaan suatu kejadian penting. Meskipun demikian, masyarakat
Indonesia mengenal kegiatan ini secara umum. Tumpeng biasa disajikan di atas tampah
(wadah tradisional) dan dialasi daun pisang.
Acara yang melibatkan nasi tumpeng disebut secara awam sebagai tumpengan. Di
Yogyakarta misalnya, berkembang tradisi tumpengan pada malam sebelum tanggal 17
Agustus, Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, untuk mendoakan keselamatan negara.
Ada tradisi tidak tertulis yang menganjurkan bahwa pucuk dari kerucut tumpeng dihidangkan
bagi orang yang profesinya tertinggi dari orang-orang yang hadir. Ini dimaksudkan untuk
menunjukkan rasa hormat kepada orang tersebut.

Anda mungkin juga menyukai