Anda di halaman 1dari 67

IP Mata Blok 18

Dokter Keluarga
Trauma
Trauma pada mata dapat terjadi di :

1. Palpebra
2. Conjuctiva
3. Cornea
4. Sclera (tidak dibahas)
5. Iris
6. Choroid (tidak dibahas)
7. Retina
8. Orbita
1. Trauma pada palpebra
1.1 Perdarahan di bawah kulit palpebra = black eye = ecchymosis =
haematome.
Akibat perdarahan, palpebra menjadi bengkak dan berwarna merah.
Beberapa hari kemudian warnanya menjadi kebiruan. Karena di
bawah kulit palpebra, jaringan ikatnya halus, maka perdarahan dapat
menjalar ke jaringan muka lain. Juga dapat menjalar melalui pangkal
hidung ke palpebra mata yang lain.
Terapi : Mula-mula dapat diberi kompres dingin agar perdarahan
berhenti. Lalu 24 jam kemudian diberi kompres hangat untuk
mempercepat resorpsi. Juga diberi obat-obat koagulan.
1. Trauma pada palpebra
1.2 Emphysema palpebrae.

Yaitu adanya udara di dalam jaringan palpebra yang longgar.


Palpebra bengkak, dan pada perabaan terdengar suara krepitasi. Ini
disebabkan adanya fraktura di dinding orbita, sehingga terjadi
hubungan langsung antara ruang orbita dengan rongga hidung atau
dengan sinus-sinus di sekeliling orbita.

Terapi : Mata dibalut dengan kuat agar udara keluar.


Dianjurkan jangan bersin atau membuang ingus.
1. Trauma pada palpebra
1.3 Luka tusukan/ luka sayat (vulnus scissum).

Ini disebabkan luka dengan benda tajam. Setelah luka


dibersihkan harus segera dijahit dengan posisi yang
sempurna agar tidak terjadi ectropion, entropion ataupun
lagophthalmos.

1.4 Luka memar (vulnus laceratum).

Ini disebabkan oleh benda tumpul. Pinggir lukanya tidak rata. Bila
edemanya hebat, jangan langsung dijahit. Harus dibersihkan lebih
dahulu lalu diberi kompres basah dan steril. Kemudian diberikan
obat-obat antibiotika oral. Bila pembengkakan sudah agak
berkurang, baru dijahit. Jangan terlalu banyak membuang jaringan
bila tidak perlu. Bila lukanya lebar, dapat ditutup dengan skin-graft.
1. Trauma pada palpebra

1.5 Luka bakar.

Disebabkan oleh api atau zat kimia. Luka harus segera


dicuci sebanyak-banyaknya, lalu diberi salep antibiotika.
Per oral diberi antibiotika dan analgesika.

1.6 Gigitan serangga, misalnya nyamuk, tawon, dll.

Di kulit akan timbul edema, hiperemia dan rasa gatal.


Terapi : Diberi salep antibiotika + kortikosteroid.
2. Trauma pada conjunctiva

2.1 Corpus alienum (benda asing), dapat terdiri dari :


Debu
Besi
Seranggga
Dll.

Lokasinya biasanya di conjunctiva tarsalis superior dan


mudah dikeluarkan bila palpebra superior dibalik
2. Trauma pada conjunctiva

2.2 Luka (wound), luka lebar yang harus dijahit.

2.3 Luka bakar, biasanya akibat :


Cairan panas
Uap panas
Zat kimia
dll.

Segera sesudah kecelakaan akan terbentuk suatu bercak abu-abu


yang kemudian lepas dan meninggalkan permukaan conjunctiva
yang berbenjol-benjol dan sembuh dengan terjadinya cicatrix.
Sering luka bakar di conjunctiva disertai luka bakar di cornea;
dalam hal ini akibatnya lebih serius.
Terapi : Secepat mungkin zat penyebabnya harus dihilangkan yakni
dengan cara mencuci mata dengan air sebanyak banyak-
nya. Lalu diberi anestesi lokal dan salep antibiotika.
3. Trauma pada cornea

Terdiri dari :

1. Non-perforating = non-penetrating = tidak tembus.


2. Perforating = Penetrating = Tembus.
3. Trauma pada cornea
3.1 Trauma pada cornea yang tidak tembus (non-perforating) :
3.1.1 Corpus alienum, biasanya terdiri dari :
Partikel besi (gerinda)
Sayap serangga
Debu
Potongan lidi, dll.
Ini menyebabkan:
rasa sakit
lakrimasi
Fotofobia
Corpus ini harus secepatnya dikeluarkan untuk menghindari
infeksi sekunder. Beberapa alat untuk mengeluarkan
corpus al :
3. Trauma pada cornea
3.1 Trauma pada cornea yang tidak tembus (non-perforating) :

3.1.2 Contusio. Akibat terkena benda tumpul, maka terjadi


kekeruhan cornea yang biasanya dapat hilang sendiri.
Kadang-kadang terjadi hyphaema atau injury pada
bagian-bagian yang lebih dalam sehingga dapat terjadi :

iridodyalisis
ruptura choroid
cataract traumatica
perdarahan vitreous, dll.

Semua keadaan ini harus ditanggulangi dengan


sebaik-baiknya.
3. Trauma pada cornea
3.1 Trauma pada cornea yang tidak tembus (non-perforating) :

3.1.3 Luka bakar/zat kimia.

Terapi seperti pada luka bakar conjuctiva.


3. Trauma pada cornea
3.1 Trauma pada cornea yang tidak tembus (non-perforating) :

3.1.4 Luka akibat tergores, misalnya oleh :


Kuku
Ujung daun padi/tangkai bunga
ujung kertas, dll.
Akibatnya terjadi luka yang menyebabkan gejala-gejala :
Rasa sakit
Lakrimasi
Fotofobia
3. Trauma pada cornea
3.1 Trauma pada cornea yang tidak tembus (non-perforating) :
Bahayanya adalah bahwa luka kecil ini dapat menjadi tempat
masuknya kuman-kuman di dalam lapisan cornea (port dentre)
dan menyebabkan radang cornea yang bila tidak diobati dengan
baik dapat menimbulkan cacat pada cornea dan bahkan
kebutaan.
Sebenarnya ada 2 jenis kuman yang tidak memerlukan port
dentre untuk masuk ke dalam lapisan cornea karena mempunyai
enzim yang proteolitik sehingga langsung dapat merusak cornea.
Ini adalah kuman GO (gonococcus) dan kuman difteri.

Terapi : Luka di cornea, sekecil apapun harus diobati


dengan seksama agar tidak meluas dan menjadi
lebih dalam.
3. Trauma pada cornea
3.2 Trauma tembus (perforating) :
Ini biasanya disebabkan oleh benda tajam. Keadaan ini sangat
berbahaya, karena terjadi perforasi cornea. Sebab terjadi
hubungan antara bagian dalam bola mata dengan dunia luar; dan
kuman dapat masuk ke dalam bola mata dan dapat menyebabkan
radang intra okuler yang fatal bagi penglihatan.
3. Trauma pada cornea
3.2 Trauma tembus (perforating) :
Pada waktu terjadi perforasi dan terjadi lubang di cornea, cairan
mata di dalam c.o.a dan c.o.p keluar dengan deras. Akibatnya
c.o.a kosong dan iris maju ke depan. Iris dapat masuk ke dalam
lubang perforasi dan kadang-kadang menonjol keluar. Hal ini
disebut iris prolaps. Ini akan tampak seperti tonjolan berwarna
hitam.
3. Trauma pada cornea
3.2 Trauma tembus (perforating) :

Bila sembuh dan iris tetap terjepit di dalam lubang perforasi,


maka terjadi perlengketan iris dengan cornea. Hal ini disebut
synechia anterior. Bekas luka akan diganti oleh jaringan ikat
putih dan terjadi leukoma. Leukoma dengan synechia
anterior disebut leukoma adherens.
3. Trauma pada cornea
3.2 Trauma tembus (perforating) :
5. Trauma iris

Dapat dibagi menjadi:

1. Non-perforating (concussion)
2. Perforating.
5. Trauma iris
5.1 Non-perforating (concussion) dapat menyebabkan :

5.1.1 Iridoplegia.
Dapat terjadi parese syaraf yang menginervasi
musculus sphincter pupillae, sehingga pupil menjadi
lebar dan kadang-kadang berbentuk agak lonjong. Ini
menyebabkan keluhankeluhan sebagai berikut :
Silau
Rasa kabur karena mata tidak bisa
berakomodasi.
Ini disebabkan karena selain dari
musculus sphincter pupillae, juga ada
parese musculus ciliaris (parese N III).
Keadaan ini dapat temporer selama 2-3
minggu, kadang-kadang juga dapat
menjadi permanen.
5. Trauma iris
5.1 Non-perforating (concussion) dapat menyebabkan :

5.1.1 Iridoplegia.
Dapat terjadi parese syaraf yang menginervasi
musculus sphincter pupillae, sehingga pupil menjadi
lebar dan kadang-kadang berbentuk agak lonjong. Ini
menyebabkan keluhankeluhan sebagai berikut :

Terapi :
Istirahat.
Memakai kacamata hitam.
Dilarang membaca untuk sementara.
Mata diberi tetes Pilocarpin untuk
mengecilkan pupil.
5. Trauma iris
5.1 Non-perforating (concussion) dapat menyebabkan :

5.1.2 Iridodyalise
Disini terjadi robekan pada akar iris sehingga bentuk
pupil berubah. Bila robekan besar, dapat menyebabkan
rasa silau.
Terapi :
1. Dicoba dengan pemberian mydriaticum
sehingga pupil menjadi lebar dan menekan iris
yang robek ke basisnya.
2. Mata ditutup
3. Bila menimbulkan keluhan diplopia (penglihatan
ganda), maka dilakukan reposisi dimana iris
dikaitkan pada sclera.
5. Trauma iris
5.1 Non-perforating (concussion) dapat menyebabkan :

5.1.3 Hyphaema

Ini adalah darah yang terkumpul di camera oculi


anterior, karena ruptura dari pembuluh darah iris.
Hyphaema dapat terjadi sedikit maupun banyak
5. Trauma iris
5.1 Non-perforating (concussion) dapat menyebabkan :

5.1.3 Hyphaema
Apabila banyak (penuh), maka iris dan pupil tidak
terlihat. Bila keadaan ini tidak diperiksa dengan
seksama, dapat menimbulkan salah diagnosa.
Sebab darah yang kadang-kadang berwarna
kehitaman, disalah artikan oleh pemeriksa sebagai
iris.
5. Trauma iris
5.1 Non-perforating (concussion) dapat menyebabkan :

5.1.3 Hyphaema

Padahal apabila yang hitam adalah iris, maka


harus ada pupil ditengah-tengahnya. Karena
itu pada pemeriksaan mata harus selalu dicari
dimana letak pupilnya.
5. Trauma iris
5.1 Non-perforating (concussion) dapat menyebabkan :

5.1.3 Hyphaema

Ada 2 macam hyphaema :

1. Hyphaema primer. Ini terjadi langsung sesudah


trauma
2. Hyphaema sekunder. Ini biasanya timbul pada
hari kelima sesudah trauma. Ini disebabkan
karena resorpsi dari bekuan darah terjadi terlalu
cepat, sehingga pembuluh darah belum cukup kuat
dan pecah kembali. Biasanya pendarahan ini lebih
hebat daripada yang primer. Dan untuk
mencegahnya pasien harus istirahat total minimal
5 hari .
5. Trauma iris
5.1 Non-perforating (concussion) dapat menyebabkan :

5.1.3 Hyphaema

Darah pada hyphaema dikeluarkan melalui beberapa


jalan :

Dalam bentuk sel darah merah bersama dengan


aqueous humor melalui sudut bilik mata, lalu
masuk ke trabeculae, menuju canalis Schlemm
dan keluar dari bola mata.
Sebagian diserap oleh iris.
5. Trauma iris
5.1 Non-perforating (concussion) dapat menyebabkan :

5.1.3 Hyphaema

Darah pada hyphaema dikeluarkan melalui beberapa


jalan :
Dapat terurai menjadi haemosiderin dan
masuk ke dalam lapisan cornea,
menyebabkan cornea menjadi kuning-
kecoklatan seperti mata burung. Ini disebut
imbibitio corneae atau haematocorneae.
Cornea biasanya tidak dapat menjadi jernih
kembali dan visus sangat buruk. Hanya dapat
ditolong dengan pencangkokan cornea
(keratoplasty). Imbibitio corneae dapat lebih
cepat terjadi pada hyphaema penuh disertai
glaucoma.
5. Trauma iris
5.1 Non-perforating (concussion) dapat menyebabkan :

5.1.3 Hyphaema
Komplikasi pada hyphaema :

Imbibitio corneae
Glaucoma. Ini disebabkan karena sel-sel darah
menutup sudut bilik mata dan trabeculae sehingga
aliran aqueous humor menjadi terhambat
Uveitis
5. Trauma iris
5.1 Non-perforating (concussion) dapat menyebabkan :

5.1.3 Hyphaema
Perdarahan mungkin juga terjadi pada pembuluh darah
di corpus ciliaris, maka darah akan masuk ke dalam
corpus vitreum. Terjadi vitreous-bleeding. Bila
perdarahan sedikit, visus masih lumayan hanya pasien
melihat benda-benda hitam berjalan di lapangan
pandangnya.
5. Trauma iris
5.1 Non-perforating (concussion) dapat menyebabkan :

5.1.3 Hyphaema

Bila perdarahan banyak, visus buruk dan pada


funduscopy retina tidak dapat terlihat.
5. Trauma iris
5.1 Non-perforating (concussion) dapat menyebabkan :

5.1.3 Hyphaema
Terapi :
1. Pasien harus dirawat minimal 5 hari.
2. Bedrest total.
3. Bantal diletakkan lebih tinggi dengan sudut elevasi
30-45 agar darah dapat turun dan tidak menutupi
pupil.
4. Mata dibalut.
5. Diberi koagulansia untuk menghentikan perdarahan.
6. Bila terjadi glaucoma, diberikan terapi glaucoma.
7. Bila hyphaema tidak hilang pada hari ke 5-9,
dilakukan paracenthese. Disini limbus ditusuk dan
darah dikeluarkan.
5. Trauma iris
5.2 Perforating :

Daerah yang berbahaya adalah daerah corpus ciliaris atau


ciliary region, yang merupakan pita yang mengelilingi cornea
(pericorneal band) yang lebarnya 6mm. Ini disebut juga
dangerous zone karena luka perforasi di daerah ini dapat
menimbulkan symptathetic ophthalmia.
Bila lukanya luas dan visus sudah nol, sebaiknya dilakukan
pengangkatan bola mata (enucleatio bulbi).
7. Trauma pada retina.
7.1 Contusio retina (commotio retinae).

Terjadi akibat bola mata terkena benda tumpul.


Gejala-gejala :

Terjadi edema retina di sekitar macula berwarna putih seperti


susu atu keabu-abuan, disebut Berlins opacity.
Macula sendiri terlihat relatif merah terang dikelilingi oleh
retina yang berwarna putih seperti susu.
7. Trauma pada retina.
7.1 Contusio retina (commotio retinae).

Dalam beberapa hari edema ini akan semakin berkurang dan


visus membaik.
Kadang-kadang terjadi perubahan degeneratif di macula
dengan terjadinya pigmentasi halus, dalam hal ini visus sentral
akan sangat berkurang.
Kadang-kadang juga dapat terjadi lubang di macula (= hole in
the macula)
7. Trauma pada retina.
7.2 Perubahan retina karena cahaya yang berlebihan (excessive
light), maka terjadi photoretinitis (= solar retinopathy)

Ini terjadi karena macula terekspos sinar matahari pada saat


melihat gerhana matahari tanpa perlindungan yang cukup;
tepatnya pada saat bulan yang menutup matahari bergeser,
maka sinar matahari pada saat itu juga langsung mengenai
macula.
Gejala-gejala subjektif adalah scotoma sentral yang positif.

Scotoma ini dapat hanya untuk sementara waktu, tetapi dapat


juga permanen dengan terjadinya kemudian pigmentasi di
macula.
7. Trauma pada retina.
7.3 Terjadinya robekan di retina (hole atau tear) yang menyebabkan
ablatio retinae.
Sejak awal pembentukan bola mata, diantara lapisan ke 9 dan
10 terdapat rongga atau celah, yang disebut celah potensial.
Pada ablatio retinae, lapisan ke 9 terlepas dari lapisan ke 10.
7. Trauma pada retina.
7.3 Terjadinya robekan di retina (hole atau tear) yang menyebabkan
ablatio retinae.

Pelepasan itu dapat terjadi akibat :


1. Robekan di retina
2. Tarikan pada retina

Pada robekan di retina, zat yang dapat masuk kedalam celah


potensial adalah serum, darah atau eksudat.

Ada 2 jenis ablatio retina :


1. Primer
2. Sekunder
7. Trauma pada retina.
7.3 Terjadinya robekan di retina (hole atau tear) yang menyebabkan
ablatio retinae.

7.3.1 Ablatio retinae primer :


Ini tidak didahului oleh penyakit mata. Sebab-sebabnya
adalah :

1. Usia lanjut (= proses senilis).


Karena proses senilis, terjadi degenerasi
(= kemunduran) sehingga retina mudah
koyak.

2. Trauma mata
7. Trauma pada retina.
7.3 Terjadinya robekan di retina (hole atau tear) yang menyebabkan
ablatio retinae.

7.3.1 Ablatio retinae primer :


Ini tidak didahului oleh penyakit mata. Sebab-sebabnya
adalah :
3. Myopia tinggi
Pada myopia tinggi, sumbu bola mata sangat
panjang sehingga bentuk bola mata lonjong
seperti telur.
Disini ada staphyloma sclerae posterior dan di-
sertai oleh degenerasi dari choroid dan retina.
Myopia jenis ini juga disebut myopia degeneratif
atau myopia patologis dan mempunyai
predisposisi untuk terjadinya ablatio retinae.
7. Trauma pada retina.
7.3 Terjadinya robekan di retina (hole atau tear) yang menyebabkan
ablatio retinae.

7.3.2 Ablatio retinae sekunder :


Ini disebabkan penyakit lain, yaitu :

1. Tumor choroid atau retina yang tumbuh kedepan


sehingga melepaskan lapisan ke 9 dari lapisan ke 10.
Kemudian timbul eksudasi, yang kemudian masuk ke
dalam celah potensial.
2. Pada retinopathy e.c hipertensi, transudat dapat
masuk ke dalam celah potensial.
3. Pada choroiditis, eksudat yang timbul dapat masuk ke
dalam celah potensial.
7. Trauma pada retina.
7.3 Terjadinya robekan di retina (hole atau tear) yang menyebabkan
ablatio retinae.

7.3.2 Ablatio retinae sekunder :


Ini disebabkan penyakit lain, yaitu :
4. Tarikan pada retina terjadinya dimulai dengan
perdarahan hebat di corpus vitreum, kemudian
tumbuh jaringan ikat sehingga terjadi retinitis
proliferans. Dan bila jaringan ikat ini berkontraksi
maka retina akan tertarik. Ini disebut ablatio akibat
traction (tarikan).
7. Trauma pada retina.
7.3 Terjadinya robekan di retina (hole atau tear) yang menyebabkan
ablatio retinae.
Gejala-gejala subjektif :
Beberapa bulan sampai beberapa minggu sebelum terjadi ablatio,
pasien akan mengalami :
1. Metamorphopsia, yakni benda-benda tampak berubah
bentuknya.
Dapat berupa :
distorsia, yakni benda terlihat bengkok-bengkok
macropsia, yakni benda terlihat lebih besar daripada
sebenarnya.
micropsia, yakni benda terlihat lebih kecil daripada
sebenarnya.

Hal ini terjadi karena sudah mulai terjadi pembengkakan


retina di tempat yang akan robek tsb.
7. Trauma pada retina.
7.3 Terjadinya robekan di retina (hole atau tear) yang menyebabkan
ablatio retinae.
Gejala-gejala subjektif :
Beberapa bulan sampai beberapa minggu sebelum terjadi ablatio,
pasien akan mengalami :

2. Photopsia, yakni melihat adanya kilatan-kilatan cahaya. Hal


ini disebabkan terjadinya rangsangan pada sel-sel syaraf.
7. Trauma pada retina.
7.3 Terjadinya robekan di retina (hole atau tear) yang menyebabkan
ablatio retinae.
Robekan paling sering terjadi di retina temporal atas. Bila ini
terjadi maka melalui robekan tersebut, cairan akan masuk dan
berjalan ke bawah.
Jadi, cairan berjalan dari temporal atas ke temporal bawah.
Pasien akan melihat suatu tirai hitam bergelombang yang
berjalan dari nasal bawah ke nasal atas karena proyeksi retina
di lapangan pandang adalah terbalik.
Pada robekan di bagian temporal bila macula terlibat, maka visus
central akan lenyap; sedangkan bila robekan di bagian nasal
maka visus central tidak cepat terganggu
7. Trauma pada retina.
7.3 Terjadinya robekan di retina (hole atau tear) yang menyebabkan
ablatio retinae.
Lambat laun cairan di dalam rongga potensial makin meluas,
maka ablatio makin meluas dan tirai hitam makin menutupi
pandangan. Akhirnya seluruh lapisan ke 9 lepas dari lapisan ke
10, dan terjadi ablatio retinae totalis. Disini retina hanya masih
melengket pada :

1. ora serrata
2. pinggir papil
7. Trauma pada retina.
7.3 Terjadinya robekan di retina (hole atau tear) yang menyebabkan
ablatio retinae.
Gejala-gejala objektif.

Pada pemeriksaan TIO ternyata TIO sangat rendah.


Dilihat dengan funduscopy, misalnya ablatio retinae bagian
temporal atas dan macula tidak terkena :
7. Trauma pada retina.
7.3 Terjadinya robekan di retina (hole atau tear) yang menyebabkan
ablatio retinae.
Bagian yang ablatio berwarna biru abu-abu. Harus dicari
robekannya, dan ini biasanya berbentuk seperti ladam kuda
atau bulatan kecil, dapat juga berbentuk bulan sabit tampak
merah karena choroid yang ada di bawahnya. Pembuluh-
pembuluh darah tampak lebih kecil dan lebih gelap. Kadang-
kadang kelihatan garis-garis berwarna putih, yakni karena
retina yang lepas, melipat.
7. Trauma pada retina.
7.3 Terjadinya robekan di retina (hole atau tear) yang menyebabkan
ablatio retinae.

Komplikasi

1. Bila ablatio berlangsung lama, akan terjadi gangguan


metabolisme pada retina. Terjadi degenerasi dan atrofi dari
retina. Terutama dari lapisan rods dan cones (batang dan
kerucut) yang mendapat makanan dari kapiler choroid.
Akibat ablatio makanan untuk rod dan cones terputus.

2. Uveitis

3. Glaucoma

4. Cataract
7. Trauma pada retina.
7.3 Terjadinya robekan di retina (hole atau tear) yang menyebabkan
ablatio retinae.
Prinsip operasi

1. Robekan ditutup.
2. Cairan di dalam rongga potensial (=cairan subretinal)
dikeluarkan.
3. Scleral-buckling, yakni sclera diberi semacam ikat pinggang
(=buckle) dari silicon, sehingga retina yang lepas dapat
melengket kembali.
8. Trauma pada orbita.

Gejala-gejala :
Emphysema palpebrae karena sinus fraktur
Paraesthesia (kesemutan) di bawah pinggir orbita apabila ada
fraktur dasar orbita sehingga nervus infra orbita terkena.
Pergerakan mata terbatas, terutama ke arah atas dan bawah karena
terjepitnya musculus rectus inferior di dalam patahan tulang di dasar
orbita inferior.
Mata mengalami resesi ke dalam orbita (enophthalmos).
8. Trauma pada orbita.

James, Bruce, dkk. Lecture Notes : Oftalmologi. Erlangga. ISBN 979-781-052-6


Pemeriksaan penunjang :
- Foto rontgen
- CT-Scan

Terapi : Jika pergerakan mata sangat terbatas dan penampilan


kosmetik sangat dipengaruhi, maka dapat dilakukan bedah
fraktur orbita.
Mata Kabur (1)
Bila pasien datang dengan keluhan mata kabur,
maka pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan
adalah :

1. Pemeriksaan visus dan refraksi.


2. Pemeriksaan kekeruhan media (terutama
kornea).
3. Pemeriksaan tekanan bola mata.
4. Pemeriksaan dengan melebarkan pupil
(dengan tetes midriatikum).
5. Pemeriksaan penunjang.
1. Pemeriksaan visus dan refraksi.

Pemeriksaan visus.

Visus dapat dibagi menjadi :

Visus untuk melihat jauh.


Visus untuk melihat dekat.
1. Pemeriksaan visus dan refraksi.

Pemeriksaan visus.

Visus untuk melihat jauh

Visus untuk melihat mata kanan = AVOD


(Acies visus oculus dexter)
Visus untuk melihat mata kiri = AVOS
(Acies visus oculus sinister)
1. Pemeriksaan visus dan refraksi > visus untuk melihat jauh.

Masing-masing mata diperiksa tersendiri, dan biasanya awalnya


pemeriksaan OD, sementara OS ditutup. Untuk pemeriksaan
visus untuk jauh, dipakai suatu chart (optotip) yakni Snellens test
types (Snellens chart). Chart terdiri dari huruf-huruf atau angka-
angka yang berbentuk empat persegi dan disusun dengan
huruf/angka terbesar di baris paling atas, dan makin ke bawah
semakin kecil.
1. Pemeriksaan visus dan refraksi > visus untuk melihat jauh.

Tingginya setiap huruf membuat sudut penglihatan sebesar 5, dan


lebarnya membuat sudut penglihatan sebesar 1.
Pemeriksaan dilakukan pada jarak 5 meter atau 6 meter, karena sinar-
sinar yang datang dari jarak ini dianggap sinar-sinar yang datang dari
jauh. Pada tiap-tiap baris di optotype tertulis D.
1. Pemeriksaan visus dan refraksi > visus untuk melihat jauh.

Baris Untuk jarak 5m Untuk jarak 6m Untuk jarak 200 feet


I D = 50 D = 60 D = 200
II D = 30 D = 36 D = 100
III D = 20 D = 24 D = 70
IV D = 15 D = 18 D = 50
V D = 10 D = 12 D = 40
VI D= 6 D = 7,5 D = 30
VII D= 5 D= 6 D = 20
VIII D = 15
IX D = 10

Misalnya D=50, ini berarti bahwa mata normal dapat membaca


huruf tsb. pada jarak 50m.
1. Pemeriksaan visus dan refraksi > visus untuk melihat jauh.

Baris Untuk jarak 5m Untuk jarak 6m Untuk jarak 200 feet


I D = 50 D = 60 D = 200
II D = 30 D = 36 D = 100
III D = 20 D = 24 D = 70
IV D = 15 D = 18 D = 50
V D = 10 D = 12 D = 40
VI D= 6 D = 7,5 D = 30
VII D= 5 D= 6 D = 20
VIII D = 15
IX D = 10

Rumus : V = d/D
dimana d adalah jarak antara pasien dengan optotype,
dan D adalah yang tertulis pada tiap-tiap baris.
1. Pemeriksaan visus dan refraksi > visus untuk melihat jauh.

Baris Untuk jarak 5m Untuk jarak 6m Untuk jarak 200 feet


I D = 50 D = 60 D = 200
II D = 30 D = 36 D = 100
III D = 20 D = 24 D = 70
IV D = 15 D = 18 D = 50
V D = 10 D = 12 D = 40
VI D= 6 D = 7,5 D = 30
VII D= 5 D= 6 D = 20
VIII D = 15
IX D = 10

Misalnya pada jarak 6 meter pasien hanya dapat membaca


sampai baris ke 3 (D=24) maka visusnya adalah 6/24.
1. Pemeriksaan visus dan refraksi > visus untuk melihat jauh.

Cara pemeriksaan

1) Pasien duduk pada jarak 6 meter dari optotip. mata kiri ditutup
dan mata kanan diperiksa. pemeriksa menunjuk huruf-huruf
mulai dari baris paling atas terus menuju ke baris berikutnya
sampai baris yang tak dapat dibaca lagi. Misalnya pasien hanya
dapat membaca sampai baris ke 3 maka AVOD = 6/24. Ini berarti
huruf yang oleh mata normal dapat dibaca pada 24 meter, oleh
pasien hanya dapat dibaca pada jarak 6 meter. Kemudian
dilakukan hal yang sama pada OS.
1. Pemeriksaan visus dan refraksi > visus untuk melihat jauh.

Cara pemeriksaan

2) Bila huruf di baris terataspun tak dapat terbaca, maka


pmeriksaan dilakukan dengan menghitung jari (finger counting).
Untuk itu pemeriksa menunjukkan secara acak 1-5 jari yang
direnggangkan, dimulai dari jarak 6 meter. Apabila pasien tak
dapat menghitung jari tsb. maka pemeriksa secara bertahap
maju terus menuju pasien sampai pasien dapat menghitung jari
tsb. Misalnya pasien baru dapat menghitung pada jarak 2 meter,
maka visusnya adalah 2/60, karena D untuk hitung jari adalah 60
meter.
1. Pemeriksaan visus dan refraksi > visus untuk melihat jauh.

Cara pemeriksaan

3) Bila pada jarak 10cm pun pasien tak dapat menghitung jari,
maka dilakukan pemeriksaan dengan menggoyangkan
tangan ke arah kiri-kanan atau atas-bawah, pada jarak 1
meter. Bila pasien tahu arah goyangan, maka visusnya
adalah 1/300.
1. Pemeriksaan visus dan refraksi > visus untuk melihat jauh.

Cara pemeriksaan

4) Apabila pasien tidak tahu arah goyangan, dilakukan


pemeriksaan dengan cahaya senter. Mata yang sedang tidak
diperiksa haus ditutup rapat-rapat. Bila pasien dapat melihat
cahaya maka visusnya adalah 1/~. Tetapi pemeriksaan belum
selesai, dan harus diteruskan dengan pemeriksaan arah cahaya.
Cahaya disenterkan ke mata pasien dari segala arah. Bila
pasien tahu dari mana arah datangnya cahaya, maka visusnya
adalah 1/~ proyeksi (+). Ini berarti fungsi retinanya masih baik.
1. Pemeriksaan visus dan refraksi > visus untuk melihat jauh.

Cara pemeriksaan

Tetapi bila pasien tidak mengetahui arah datangnya cahaya,


maka visusnya adalah 1/~ proyeksi (). Sedangkan bila pasien
sama sekali tidak mengetahui adanya cahaya atau tidak,
maka visusnya adalah 0.
Dalam kedua hal terakhir, retina sudah tidak berfungsi
dengan baik, dan tidak dapat lagi dilakukan tindakan operasi
untuk memulihkan visus.

Anda mungkin juga menyukai