Anda di halaman 1dari 3

KONDISI SUMBER DAYA AIR WILAYAH CITARUM

Wilayah Sungai Citarum mencakup tiga belas sungai, yaitu sungai Citarum, Cipamingkis,
Cibeet, Cikao, Cilamaya, Ciherang, Cijengkol, Ciasem, Cigadung, Cipunagara, Cipancuh,
Bekasi, dan Cikarang. Tidak semua sungai tersebut bermasalah, yang terparah adalah kasus yang
terjadi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum. Sungai Citarum memiliki luas wilayah sekitar
6.080 km2 dengan panjang sekitar 269 km (Angelie, 2015)
Air sungai Citarum dimanfaatkan sebagai sumber air baku air minum untuk Jakarta,
Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bandung, dan Kota
Bandung. Itu berarti, PDAM daerah tersebut mengambil air dari Sungai Citarum untuk diolah
dan digunakan masyarakat. Sungai Citarum juga pemasok air untuk 3 waduk, yaitu Waduk
Saguling, Wadk Cirata dan Waduk Jatiluhur (Juanda). Saat ini diperkirakan 8 juta penduduk yang
bermukim di kawasan DAS Citarum dan kira-kira 1000 industri yang beroperasi bergantung
pada sungai ini (Rohmat, 2012).
Sumber air Citarum dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan hidup masyarakat dan
proses pembangunan, antara lain sumber baku air minum wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta,
pembangkit listrik, air irigasi, perikanan dan peternakan, sumber baku air industri, pariwisata,
sarana olahraga dan lain sebagainya. Limbah baik dari industri maupun domestik juga akan
mengalir ke Sungai Citarum dan akan terus bertambah seiring bertambahnya jumlah penduduk
dan perkembangan industri. Jika hal tersebut terus terjadi tanpa dikelola dengan baik,
dikhawatirkan Sungai Citarum tidak lagi menjadi sumber penghidupan melainkan menjadi
sumber bencana di waktu yang akan datang (Rohmat, 2012).
Menurut Kodoatie dan Roestam (2010) di ruang DAS persoalan akan menyangkut dua
hal penting yaitu konservasi air dalam pengelolaan sumber daya air dan kawasan budi daya
dalam penataan ruang. Di satu sisi untuk memnuhi aspek konservasi adalah mengusahakan agar
aliran permukaan (run-off) dapat ditahan sebesar-besarnya dan memberi kesempatan air untuk
masuk ke dalam tanah (infiltrasi) selama-lamanya. Di sisi lainnya adalah pengalihfungsian
kawasan konservasi menjadi kawasan budi daya misalnya menjadi kawasan pemukiman.
Dampak yang terjadi adalah peningkatan kuantitas dan kualitas kebutuhan air sekaligus
penurunan ketersediaan air karena adanya daerah alih fungsi dan laju aliran air yang berpotensi
menimbulkan banjir.
Selama 20 dekade terakhir, dampak kerusakan lingkungan dan pencemaran yang terjadi
pada DAS Citarum sudah dapat dirasakan. Beberapa pengamatan dan penelitian yang dilakukan
menunjukkan bahwa kualitas air sungai Citarum menurun drastis akibat pencemaran dan
sedimentasi. Di bagian hulu sungai, kualitas airnya sudah tidak layak lagi masuk dalam baku
mutu air yang baik bahkan bila digunakan untuk perikanan dan pertanian (Rohmat, 2012).
Berdasarkan Pasal 8 PP No 82 Tahun 2001 kualitas air tersebut masuk dalam kategori kelas tiga
dan kelas empat yang merupakan kategori terbawah.
Penelitian yang dilakukan Happy R (2012) diperoleh hasil bahwa konsentrasi logam berat
timbal dan kadmium pada DAS Citarum telah melebihi ambang batas. Nilai kasaran konsentrasi
untuk timbal adalah 0,01 - 0,08 mg/L sedangkan menurut PP No. 82 Tahun 2001 pada kelas 3
tidak boleh melebihi 0,03 mg/L. Konsentrasi cadmium berkisar 0,003 0,01 mg/L dan masih
dalam kisaran ambang batas yang diperbolehkan. Kadar timbal yang tinggi tersebut diakibatkan
banyaknya limbah industri dan limbah aktvitas manusia yang dibuang ke aliran sungai.
Sejalan dengan hasil penelitian di atas Supangat dan Paimin (2007) juga mendapatkan
hasil bahwa baku mutu air Sungai Citarum secara umum belum memenuhi kelas 1, kelas 2, dan
kelas 3. Pencemaran tersebut dilihat melalui beberapa parameter, yaitu COD, BOD, kandungan
amoniak bebas, nitrit dan kekeruhan.

SOLUSI TERHADAP KASUS SUNGAI CITARUM

Beberapa solusi yang dapat diberikan untuk kasus yang terjadi di Sungai Citarum adalah
sebagai berikut:
1. Melakukan upaya konservasi sumber daya air bersamaan dengan mengoptimalkan
pendayagunaan air dan pengendalian daya rusak air (Kodoatie dan Roestam, 2010).
2. Memfasilitasi, meningkatkan dan mengembangkan peran masyarakat (pemberdayaan) dalam
usaha dari berbagai solusi yang diberikan karena keterbatasan peran pemerintah (Rohmat, 2012).
3. Mendukung dan mendorong kebijakan pemerintah yang berpihak pada upaya konservasi sumber
daya air, dalam berbagai bentuk dan skala kegiatan (Rohmat, 2010)
4. Menerapkan gaya hidup hijau (green life style) lingkungan dengan menghemat air dan kegiatan
green skill berupa membuat lubang resapan biopori dan menanam dan merawat tumbuhan
5. Memaksimalkan fungsi waduk sebagai purifikator bahan pencemar di Sungai Citarum dan
perawatan waduk secara berkala (Supangat dan Paimin, 2007).

UPAYA KONSERVASI SUMBER DAYA AIR

Konservasi air tidak hanya difokuskan pada bagaimana memanfaatkan air seefisien
mungkin secara berkelanjutan tetapi juga usaha yang dilakukan agar limpasan air hujan tidak
segera mengalir menuju aliran sungai melainkan mampu tersimpan dalam tanah (Riastika, 2011).
Pada dasarnya konservasi sumber daya air dapat dikelompokkan menjadi dua kegiatan, yaitu
kegiatan yang struktural dan kegiatan non struktural. Kegiatan struktural terdiri dari kegiatan
konstruksi yang menyangkut perbaikan struktur dan sarana penggunaan lahan misalnya
pembuatan berbagai tipe terasering, sumbat gully, dam penahan, rorak, sumur resapan, embung,
waduk dan lain-lain. Sedangkan kegiatan non struktural terbagi menjadi dua, yaitu kegiatan
vegetatif (penghijauan) dan kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui sosialisasi dan edukasi.
Kebijakan pemerintah dan peran serta NGO (Non Government Organization) untuk mengawal
pengelolaan air yang bertanggung jawab (Rohmat, 2010).
Upaya konservasi berupa kegiatan struktural memerlukan perencanaan dan pelaksanaan
dalam jangka waktu yang panjang. Peran serta masyarakat dalam usaha pengelolaan kebutuhan
air membutuhkan waktu yang relatif singkat dan melalui tindakan langsung yang berdampak.
Hal yang bisa dilakukan adalah mengurangi jumlah pemakaian air atau lebih tepatnya
menggunakan air se-efisien mungkin. Pengurangan konsumsi pengolaan air bermanfaat dari
berbagai segi, yaitu finansial, ekologi, dan sosial. Pengurangan konsumsi air tidak hanya
berpengaruh pada biaya yang harus dibayar, melainkan juga mengurangi energi yang dibutuhkan
untuk mengolah air menjadi layak pakai, berkurangnya biaya pengolaan dan distribusi air serta
mengurangi jumlah luaran air limbah. Jika energi yang dibutuhkan berkurang maka jumlah emisi
akan berkurang. Distribusi air akan merata baik pada masyarakat mampu dan tidak mampu
karena kapasitas air masih tercukupi untuk seluruh masyarakat (Mungkasa, 2012).
Selain usaha yang disebutkan di atas, pengelolaan kualitas dan pengendalian pencemaran air tanah
dimasukkan untuk mempertahankan dan memulihkan kualitas air tanah sesuai dengan kondisi alaminya.
Pengelolaan kualitas dan pengendalian pencemaran air tanah dilaksanakan dengan beberapa cara, yaitu mencegah
pencemaran air tanah, memulihkan kualitas air tanah yang telah tercemar, mengawasi penyebab pencemaran air
baik dari limbah industri maupun domestik (Riastika, 2011).

Anda mungkin juga menyukai