Anda di halaman 1dari 44

Bidang Ilmu : Ekonomi

USUL PENELITIAN
HIBAH BERSAING

PENGEMBANGAN MODEL PERAN PEMERINTAH


DAERAH DALAM PEMBERDAYAAN UMKM
DI SUMATERA BARAT

Oleh:
RIZA RENI YENTI, SE, MSi, Ak/NIDN No. 0003036606
SRI MARYATI, SE., Msi/NIDN No. 0017066601
SURYATMAN DESRI, S.Sos, MM/NIDN No. 0003126508
YINDRIZAL, SE, MM/NIDN No. 0023116410

FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ANDALAS

0
MARET, 2012

HALAMAN PENGESAHAN
USUL PENELITIAN HIBAH BERSAING

Judul Penelitian : Pengembangan Model Peran Pemerintah Daerah dalam


Pemberdayaan UMKM di Sumatera Barat
Bidang Penelitian : Ekonomi
Ketua Peneliti
a. Nama Lengkap : RIZA RENI YENTI, SE, M.Si., Akt
b. NIP/NIK : 19660303 199203 2 002
c. NIDN :
d. Jabatan Fungsional : Lektor
e. Jabatan Struktural : Sekretaris Jurusan Program Diploma III Fak. Ekonomi Unand
f. Fakultas/Jurusan : Ekonomi/ Akuntansi
g. Pusat Penelitian : Universitas Andalas
h. Alamat Institusi : Fakultas Ekonomi Unand Kampus Limau Manih Padang
i. Telepon/Faks/E-mail : 0751-71088/0751-71089/feua2000@yahoo.com
Lama Penelitian Keseluruhan : 3 Tahun
Pembiayaan :
a. Tahun pertama : Rp.
b. Tahun kedua : Rp.
c. Tahun ketiga : Rp.
d. Biaya dari instansi lain : Rp. / in kind :

Mengetahui, Padang, 21 Maret 2012


Pembantu Dekan I Fakultas Ekonomi Ketua Peneliti,

Prof. Dr. Tafdil Husni, SE.,MBA Riza Reni Yenti, SE., M.Si., Akt
NIP. 19621120 198702 1 002 NIP. 196600303 199203 2 002

Menyetujui,
Ketua Lembaga Penelitian

Dr. Syafrimen Yasin, M.Sc


NIP. 19620416 198610 1 001

1
I. IDENTITAS PENELITIAN
1. Judul Usulan : MODEL PENGEMBANGAN DAN
PEMBERDAYAAN UMKM DI SUMATERA
BARAT
2. Ketua Peneliti:
a) Nama lengkap : Riza Reni Yenti, SE., M.Si., Akt
b) Bidang Keahlian : Akuntansi
c) Jabatan Struktural : -
d) Jabatan Fungsional : Lektor
e) Unit Kerja : Fakultas Ekonomi Universitas Andalas
f) Alamat surat : Jl. Salak Raya No. 32 Perumnas Belimbing Kuranji
Padang
g) Telpon : 0751 498480 - 081266678399
h) E-mail : rizaryanti@yahoo.com
3. Anggota peneliti
No. Nama Bidang Instansi Alokasi Waktu
Keahlian (jam/minggu)
1 Sri Maryati Ilmu Ekonomi FE- Unand 20 jam/minggu
2 Suryatman Desri Manajemen FE- Unand 20 jam/minggu
3 Yindrizal Manajemen FE- Unand 20 jam/minggu

4. Objek Penelitian
Pelaku bisnis UMKM di Sumatera Barat

5. Masa Pelaksanaan Penelitian


Mulai : April 2012
Berakhir: November 2012 (tahun I)

6. Anggaran yang diusulkan


Tahun pertama : Rp. 50.000.000,00
Anggaran keseluruhan : Rp.100.000.000,00

7. Lokasi Penelitian : Provinsi Sumatera Barat

8. Hasil yang ditargetkan : Ditemukan Model Peran Pemerintah Daerah


dalam Pengembangan dan Pemberdayaan UMKM
di Sumareta Barat

9. Institusi yang terlibat : Pemda dan Dinas/Instansi Terkait Kota/Kabupaten


di Sumatera Barat.

2
II. SUBSTANSI PENELITIAN

ABSTRAK
Dengan telah diberlakukannya desentralisasi fiskal dalam era otonomi daerah di
Indonesia, maka pemerintah daerah mempunyai kewajiban dan kewenangan
penuh untuk merencanakan, merumuskan dan melaksanakan kebijakan maupun
program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan daerah, selanjutnya
pemerintah daerah diharapkan akan semakin mampu untuk merumuskan dan
melaksanakan kebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan penduduk,
khususnya pelaku bisnis UMKM, sehingga masalah pengangguran dan penciptaan
lapangan kerja secara nasional dapat teratasi tidak hanya dengan kebijakan
pemerintah pusat tetapi juga dengan dukungan pemerintah daerah. Studi ini
bertujuan untuk melihat model pengembangan dan pemberdayaan yang cocok
dengan kondisi bisnis UMKM di Sumatera Barat dilihat dari karakteristik usaha di
wilayah ini. Untuk menemukan Model yang tepat perlu dilakukan kajian baik dari
sisi pengelola usaha (internal) maupun dari sisi pembuat kebiajkan (eksternal)
dengan menggunakan analisis deskriptif, kuantitatif berupa pendekatan
ekonometrik dan pendekatan kualitatif. Kajian ini dilakukan terhadap responden
terpilih di wilayah Sumatera Barat.

Kata Kunci: Pemberdayaan, UMKM, ekonomi daerah, Faktor internal, Faktor


eksternal.

3
BAB I.
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian


Sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) mempunyai peranan
yang sangat strategis dalam struktur perekonomian nasional, hal dapat dilihat dari:
1) Mayoritas pelaku ekonomi di Indonesia adalah UMKM (Usaha Mikro
Kecil dan Menengah) yaitu 99,9% dari total pelaku ekonomi nasional dan
menyebar pada setiap sektor perekonomian. (Data Kementrian Koperasi
dan UKM, 2006)
2) Potensi yang besar dalam penyerapan tenaga kerja, dimana mampu
menyerap 96,13% dari total angkatan kerja Indonesia
3) Kontribusi UKM yang cukup besar dalam PDB Indonesia yaitu 53,26%

Jika dilihat dari tingkat imunitas dalam menghadapi gejolak perekonomian


dalam masa krisis ekonomi, ternyata UMKM memiliki kemampuan untuk
bertahan yang jauh lebih baik dari usaha berskala besar hal ini diperlihatkan oleh
angka kebangkrutan yang relatif kecil yaitu sekitar 4% dari UKM (I Wayan Dipta;
Media Indonesia, 18 Maret 2002). Bahkan beberapa sektor UMKM mampu
meraih keuntungan besar di masa krisis sebagai akibat terjadinya depresiasi rupiah
terhadap dollar Amerika, hal ini terutama dialami oleh pelaku UMKM di sektor
pertanian yang menghasilkan komoditi berorientasi ekspor. Disisi lain, perusahaan
besar mengalami kesulitan untuk beroperasi dan banyak yang akhirnya ambruk
karena tidak mampu menahan gejolak krisis ekonomi.

Kemampuan UMKM bertahan dari krisis ekonomi antara lain didukung


oleh kondisi inputnya dimana UMKM dapat dikatakan tidak bergantung pada
bahan baku impor dan dana pinjaman dalam bentuk mata uang asing sehingga
biaya produksinya tidak terpengaruh oleh depresiasi nilai rupiah dan menjadi
relatif lebih rendah dibandingkan dengan usaha yang tergantung pada bahan baku
impor dan dana pinjaman asing, dengan demikian UMKM memiliki potensi pasar
yang besar karena harga produk UMKM yang relatif lebih murah sehingga dapat

4
terjangkau oleh berbagai kalangan terutama golongan ekonomi lemah yang
merupakan pangsa pasar terbesar di negeri kita.
1.2. Tujuan Khusus Penelitian
Tujuan penelitian khusus dari penelitian ini untuk tahun pertama adalah:
1) Melakukan pemetaan potensi dan karakterisrik bisnis UMKM di
Sumatera Barat.
2) Memetakan kemampuan keuangan pemerintah daerah
Kota/Kabupaten di Sumatera Barat untuk menjalankan program
penjaminan UMKM.

Sedangkan pada tahun kedua berdasarkan hasil temuan studi pada tahun
pertama maka kajian ini diharapkan akan dapat mencapai tujuan, yakni:
1) Mengembangkan model pemberadayaan yang sesuai dengan kondidsi
karakteristik dan kebutuhan pelaku bisnis UMKM di Sumatera Barat
2) Mengembangkan pola penjaminan kredit UMKM yang dimungkinkan
oleh ketentuan yang berlaku dengan melibatkan peran pemerintah
daerah seiring dengan meningkatnya kapasitas keuangan publik.

Selanjutnya ruang lingkup studi ini mrencakup beberapa aspek, yakni:


1) Aspek Hukum (analisis terhadap berbagai peraturan pusat dan daerah)
2) Aspek Keuangan (analisis kemampuan keuangan pemerintah daerah)
3) Aspek Infrastruktur (analisis kelayakanan kelembagaan program
penjaminan kredit UMKM di Sumbar)
4) Aspek Teknis dan Operasional (analisis potensi yang dimiliki oleh
UMKM)

Akhirnya dari dua tahun kajian dengan penelitian ini diharapkan akan
menghasilkan:
i) Model keterlibatan pola pemerintah daerah dalam pengembangan dan
pemberdayaan UMKM di Sumatera Barat
ii) Mengembangkan pola penjaminan kredit UMKM yang dimungkinkan
oleh ketentuan yang berlaku dengan melibatkan peran pemerintah
daerah seiring dengan meningkatnya kapasitas keuangan publik.

5
iii) Model pengembangan dan pemberdayaan UMKM di Sumatera Barat
sesuai kararakteristik dan kebutuhan pelaku bisnis UMKM.
1.3. Urgensi Penelitian
Belajar dari krisis yang menimpa perekonomian nasional dan berbagai
akibat yang hingga kini masih dirasakan, menimbulkan kesadaran bahwa UMKM
memiliki peranan yang sangat penting dalam memperkokoh struktur
perekonomian dan upaya pemulihan ekonomi nasional. Penting dan strategisnya
posisi sektor ini tidak hanya dalam memperkokoh struktur ekonomi dan industri
nasional tetapi juga karena berkaitan dengan kehidupan sebagian besar
masyarakat, dimana UMKM merupakan unit ekonomi yang berbasis ekonomi
kerakyatan.
Melihat penting dan strategisnya peranan UMKM dalam perekonomian
nasional, maka perlu dilakukan berbagai upaya untuk dapat mengembangkan
UMKM di Indonesia agar sektor ini mampu berkembang lebih baik dan
memberikan kontribusi yang lebih besar dalam perekonomian nasional di masa
yang akan datang. Jika UMKM berkembang dengan baik hal ini berarti sebagian
besar masyarakat Indonesia yang terlibat dalam usaha di sektor ini juga akan turut
menikmati peningkatan kesejateraan, baik sebagai pekerja maupun sebagai
pemilik usaha.
Akan tetapi, dalam upaya pengembangan UMKM ada beberapa kendala
yang dihadapi, diantaranya adalah: (Firwan Tan, 1996)
1) Kendala Internal, yang meliputi:
a) Kendala dalam memperoleh informasi pasar.
b) Keterbatasan dalam pemanfaatan dan penguasaan teknologi.
c) Keterbatasan jaringan usaha dan kerjasama usaha.
d) Kelemahan di bidang organisasi dan manajemen.
e) Kelemahan dalam struktur permodalan
2) Kendala eksternal, diantaranya adalah:
a) Iklim persaingan yang belum sehat.
b) Sarana dan prasarana pendukung yang kurang memadai.
c) Pembinaan yang masih kurang terpadu.

6
d) Image terhadap UMKM yang masih kurang menguntungkan
dimata penyandang dana (Investor).

Studi yang dilakukan H. Karjantoro (2002) tentang kendala yang dihadapi


Usaha Kecil di Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 1. Kendala yang dihadapi Usaha Kecil.


Jenis Kendala IKR IK
Keterbatasan modal 40,48% 36,63%
Kesulitan Bahan Baku 23,75% 16,76%
Kendala Pemasaran 16,96% 4,43%
Kendalam Produksi & Manajemen 3,07% 26,89%
Kendala Persaingan 15,36% 17,36%
Sumber : H. Karjantoro, 2002.
Ket : IKR = Industri Kecil Rumah Tangga IK = Industri Kecil.

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kendala permodalan merupakan


kendala paling besar yang dihadapi usaha kecil khususnya dan UMKM pada
umumnya dalam mengembangkan usaha, akan tetapi kendala lainnya tidak dapat
diabaikan begitu saja, oleh sebab itu harus ada upaya yang lebih komprehensif
yang tidak hanya menyelesaikan masalah permodalan tetapi juga masalah lainnya
yang berkaitan dengan masalah pemasaran, pengadaan bahan baku, teknik
produksi dan manajemen serta persaingan pasar.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala


permodalan adalah pembiayaan melalui jasa perbankan, akan tetapi hal ini bukan
hal yang mudah bagi UMKM. Keterbatasan akses UMKM kepada lembaga
perbankan diantaranya disebabkan oleh sulitnya memenuhi persyaratan kredit
perbankan, terutama menyangkut masalah colleteral ( jaminan).

Upaya pengembangan dan pemberdayaan UMKM bukan hanya


tanggungjawab pelaku usaha saja, tetapi juga pemerintah. Di era otonomi daerah
dewasa ini, pemerintah daerah bertanggung jawab untuk menumbuh kembangkan
perekonomian daerah. Upaya ini tentunya tidak dapat dilepaskan dari upaya
pengembangan dan pemberdayaan UMKM sebagai mayoritas pelaku usaha.
Untuk itu, peran pemerintah daerah sangat dibutuhkan untuk dapat mengatasi

7
masalah yang dihadapi oleh pelaku usaha UKMK, baik masalah permodalan
maupun masalah pembinaannya.

Sehubungan dengan upaya pemberdayaan UMKM di daerah, sudah ada


beberapa Pemerintah Daerah yang menunjukkan keinginan dan komitmennya
untuk terlibat dalam program pengembangan dan penjaminan kredit UMKM
sebagaiman telah diberitakan oleh berbagai media masa sejak tahun 2002.
Misalnya ada lima daerah yang sudah menyatakan siap untuk membentuk
lembaga penjaminan kredit UMKM dengan modal awal minimal Rp10 miliar
dalam rangka mendorong pengembangan usaha di daerah tersebut. Lima daerah
yang melaporkan akan membentuk lembaga itu adalah Jatim, Kaltim, Sulsel,
Sumsel dan Provinsi Riau.( Harian Bisnis Indonesia, 23 Augustus 2002). Provinsi
Jabar juga menyatakan siap membentuk lembaga penjamin kredit di wilayahnya,
sebagai antisipasi kepeduliannya terhadap koperasi dan pengusaha kecil
menengah, yang sampai saat ini masih sulit meminjam modal dari perbankan.
(Harian Pikiran Rakyat, 21 Januari 2003).

Namun keinginan dan komitmen Pemda tersebut nampaknya tidak mudah


untuk diujudkan. Misalnya di Propinsi Jawa Barat keinginan untuk meujudkan
lembaga penjamin kredit daerah pada akhirnya berujung dengan membentuk
Koperasi Penjamin Kredit ( Harian Pikiran Rakyat 16 Juli 2005) dimana PT
Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) dan Pemprov Jabar melalui Koperasi
Penjamin Kredit (KPK) akan menjadi lembaga penjamin kredit usaha mikro,
kecil, dan menengah (UMKM) yang disalurkan perbankan di Jabar.

Sementara untuk pemerintah daerah di wilayah Provinsi Sumatera Barat


khususnya pada tahun 2007, sudah ada dua pemerintah daerah yaitu Kabupaten
Solok dan Kabupaten Pesisir Selatan yang menyatakan komitmennya kepada
Bank Indonesia Padang untuk melakukan penjaminan kredit UMKM. Namun
pelaksanaannya belum dimungkinkan karena berbagai faktor diantaranya belum
adanya lembaga penjamin kredit, kejelasan aspek hukum dari keterlibatan Pemda
dalam program penjaminan, dll.

8
Untuk itulah diperlukan kajian yang mendalam terhadap bagaimana pola
keterlibatan Pemda dalam program penjaminan kredit UMKM dari aspek
kemampuan finansial Pemda, aspek hukum/regulasi dan kelembagaan serta aspek
infrastruktur yang tersedia untuk mendukung keterlibatan Pemda dalam
pengembangan keuangan daerah sebagai aspek eksternal dalam upaya
pengembangan dan pemberdayaan UMKM di Sumatera Barat.
Pembenahan dari aspek eksternal saja tentunya belum memadai, apalagi
jika dalam pembenahan tersebut belum melibatkan pelaku bisnis UMKM sebagai
objek kebijakan. Untuk itu perlu dikaji secara mendalam tentang karakterisitk
usaha dari UMKM dan bentuk dukungan, bantuan ataupun potensi yang dimiliki
agar dukungan dan bantuan pemerintah daerah sesuai dengan kebutuhan mereka
dalam mendorong aktivitas bisnis dan upaya pengembangan usaha.

1.4. Identifikasi dan Rumusan Masalah


Secara keseluruhan masalah yang dikaji dalam penelitian ini mencakup:
i) Bagaimanakah kondisi dan potensi bisnis UMKM di Sumatera Barat?
ii) Bgaiamanakah model keterlibatan pola pemerintah daerah dalam
pengembangan dan pemberdayaan UMKM di Sumatera Barat yang
diinginkan oleh pelaku usaha UMKM sesuai dengan kebutuhan
mereka?
iii) Bagiamanakah bentuk pola penjaminan kredit UMKM yang
dimungkinkan oleh ketentuan yang berlaku dengan melibatkan peran
pemerintah daerah seiring dengan meningkatnya kapasitas keuangan
publik.
iv) Bagiamankah model pengembangan dan pemberdayaan UMKM di
Sumatera Barat sesuai kararakteristik dan kebutuhan pelaku bisnis
UMKM.
Sedangkan untuk tahun pertama penelitian, masalah penelitian akan
difokuskan pada:
1) Bagiamakah potensi dan karakterisrik bisnis UMKM di Sumatera
Barat.

9
2) Bagaiamanakah kemampuan keuangan pemerintah daerah
Kota/Kabupaten di Sumatera Barat untuk menjalankan program
penjaminan pembiayaan bagi upaya pengembangan dan
pemberdayaan UMKM.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lembaga Keuangan dan Perannya dalam Perekonomian

Lembaga keuangan adalah badan usaha yang kekayaannya terutama dalam


bentuk aset keuangan atau tagihan (claims), dan merupakan bagian dari sistem
keuangan dalam ekonomi moderen yang memberikan jasa keuangan maupun jasa
non keuangan pada masyarakat. (Dahlan Siamat, 2002). Berdasarkan
kemampuannya dalam menghimpun dana, maka lembaga keuangan dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu:
a) Lembaga keuangan dipositori (dipository intermediary), yaitu lembaga
keuangan yang dapat menghimpun dana secara lansung dari
masyarakat dalam bentuk simpanan (deposits). Lembaga keuangan
yang dapat dimasukkan ke dalam kelompok ini adalah perbankan.
b) Lembaga keuangan non dipositori (non dipository intermediary), jenis
ini lebih dikenal dengan nama lembaga keuangan bukan bank.
Lembaga keuangan yang termasuk dalam kategori ini adalah lembaga
keuangan yang kegiatan usahanya bersifat kontraktual, yaitu
memberikan jasa keuangan kepada masyarakat melalui suatu kontrak
atau perjanjian seperti asuransi. Dan lembaga keuangan investasi, yaitu
lembaga keuangan yang kegiatan usahanya melakukan investasi
keuangan baik di pasar uang maupun pasar modal, misalnya
perusahaan efek dan reksa dana.

Dalam aktivitas perekonomian, lembaga keuangan memegang peran


strategis sebagai intermediator keuangan, dimana lembaga keuangan menghimpun
dana dari unit surplus baik rumah tangga, sektor usaha , maupun pemerintah, dan
kemudian disalurkan kepada pelaku ekonomi yang mengalami defisit dana.

10
Dengan kata lain, intermediasi keuangan adalah kegiatan pengalihan dana dari
unit surplus dana (ultimate lenders) kepada unit defisit dana (ultimate borrowers).

Gambar 2.1. : Proses Intermediasi Keuangan

Lembaga intermediasi

Sekuritas Lembaga Sekuritas


Unit keuangan Unit
Primer Sekunder
Bank
Defisit Kredit dan Tabungan
Surplus
Lembaga
Dana keuangan Dana
non Bank

Sumber: Dahlan Siamat, 2005.

Selanjutnya jika dilihat dari aktivitas lembaga keuangan dalam


perekonomian, maka peran lembaga keuangan adalah sebagai berikut:
1) Pengalihan aset atau asset transmutation, lembaga keuangan dalam
aktivitasnya melakukan pengalihan bentuk dari kewajiban menjadi
aset.
2) Likuiditas (likuidity), berkaitan dengan kemampuan lembaga keuangan
menyediakan uang tunai pada saat dibutuhkan, baik oleh pemilik dana
(ultimate lenders) maupun oleh pihak yang membutuhkan dana
(ultimate borrowers).
3) Realokasi pendapatan (income realocation), lembaga keuangan
membantu masyarakat baik secara individu maupun badan usaha untuk
dapat menyisihkan dan merealokasikan pendapatan sekarang guna
menghadapi berbagai kemungkinan pada masa yang akan datang.
4) Transaksi (transaction), lembaga keuangan memberikan jasa-jasa
untuk mempermudah transaksi moneter dalam perkonomian.
5) Effisiensi (efficiency), lembaga keuangan dapat mendorong penurunan
biaya transaksi dengan jangkauan pelayanan yang lebih luas karena
lembaga keuangan merupakan media pertemuan unit surplus dana
dengan unit defisit dana secara tidak lansung, serta dapat menekan
terjadinya moral hazard dan misrepresentation.

Kebutuhan akan keberadaan lembaga keuangan dalam perkonomian


moderen semakin tak dapat dihindari. Faktor mempengaruhi peranan lembaga
keuangan dalam suatu perekonomian adalah:
1) Tingkat pendapatan masyarakat
2) Tingkat perkembangan industri dan teknologi

11
3) Skala ekonomi dan tingkat produksi barang dan jasa
4) Kebutuhan terhadap ketersediaan jasa-jasa likuiditas
5) Tingkat keuntungan jangka panjang
6) Tingkat resiko yang dihadapi oleh pelaku ekonomi.

Sebagaimana telah diungkapkan di atas, keberadaan lembaga keuangan


dalam suatu perekonomian sudah merupakan kebutuhan yang tak terelakan,
namun karena alasan rasionalitas ekonomi, lembaga keuangan lebih memilih
perkotaan sebagai basis operasinal mereka meskipun mayoritas penduduk hidup
di daerah pedesaan. Di Sumatera Barat, lebih dari 70% penduduk tinggal dan
hidup di kawasan pedesaan dimana konsep pedesaan tidak hanya berasosiasi
dengan kondisi geografis tetapi juga dengan kondisi sosial-ekonomi. Kondisi ini
tentunya akan mempengaruhi terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat
terhadap jasa lembaga keuangan khususnya di kawasan perdesaan.

2.2. Bank, Kredit Perbankan dan UMKM

Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit
dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak, secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah (UU No
10/1998).

Dari defenisi di atas terlihat jelas bahwa setelah berhasil memperoleh dana
dalam bentuk simpanan dari masyarakat maka dana ini kemudian disalurkan oleh
bank kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman yang lebih dikenal dengan istilah
kredt, sedangkan bagi bank yang menggunakan prinsip syariah penyaluran dana
lebih dikenal dengan sebutan pembiayaan dan dilakukan dengan prinsip bagi hasil
atau jual beli.

Keuntungan utama dari bisnis perbankan yang beroperasi secara


konvensional diperoleh dari selisih bunga simpanan dengan bunga pinjaman yang
dikenal dengan spread based. Sedangkan bagi bank yang beroperasi secara
syariah, jasa bank diberikan sesuai dengan prinsip syariah. Untuk usaha

12
pembiayaan prinsip syariah yang diterapkan oleh perbankan syariah adalah;
mudharabah, musyarakah, murabahah dan ijarah.

Dari sisi perbankan selaku pemberi kredit atau pembiayaan, sebelum


kredit atau pembiayaan diberikan maka bank akan melakukan analisis atau kajian
untuk meyakinkan bahwa nasabah pemohon kredit atau pembiayaan benar-benar
dapat dipercaya dan layak untuk diberi pinjaman atau pembiayaan, baik untuk
tujuan komsumtif maupun untuk aktivitas produktif. Analisis kredit ini pada
dasarnya mencakup latar belakang nasabah, prospek usaha bagi nasabah
perusahaan, jaminan yang diberikan dan aspek lainnya dengan tujuan agar bank
yakin bahwa dana yang disalurkan benar-benar aman.

Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam pemberian fasilitas kredit


ataupun pembiayaan dari perbankan adalah:
1) Keperayaan, suatu keyakinan pemberi kredit bahwa kredit yang
diberikan (berupa uang, barang ataupun jasa) akan benar-benar
diterima kembali pada masa yang akan dating.
2) Kesepakatan, dituangkan dalam suatu perjanjian yang ditandangani
bersama dimana masing-masing pihak menyepakati hak dan kewajiban
masing-masing.
3) Jangka waktu, adalah masa pengembalian kredit yang disepakati.
4) Resiko, resiko tidak tertagih/macetnya kredit yang ditanggung oleh
perbankan selaku pemberi kredit, yang disebabkan oleh faktor
kelalaian ataupun kesengajaan nasabah maupun bencana alam.
5) Balas jasa, adalah keuntungan yang akan diperoleh perbankan dari
usaha penyaluran kredit atau pembiayaan, bagi bank konvensional
dalam bentuk pendapatan bunga sedangkan bagi bank syariah dalam
bentuk pendapatan bagi hasil.

Jika dilihat dari tujuan penyaluran dana oleh perbankan maka tujuan utama
usaha penyaluran dana dalam bentuk kredit atau pembiayaan adalah:
1) Mencari keuntungan; keuntungan merupakan hal penting bagi
kelansungan usaha bank.

13
2) Membantu nasabah, dengan dana yang diperoleh melalui kredit
nasabah dapat memenuhi kebutuhannya, baik untuk usaha produktif
maupun untuk memenuhi kebutuhan konsumsi mereka.
3) Membantu pemerintah, dengan adanya kredit yang disalurkan oleh
perbankan telah membantu pemerintah dalam mendorong aktivitas
ekonomi dan pembangunan diberbagai lapangan usaha ekonomi.

Sedangkan Jika dilihat dari sisi makro ekonomi, maka penyaluran kredit
perbankan memiliki multi fungsi, diantaranya adalah sbb:
1) Meningkatkan daya guna uang, idle fund tidak akan dapat
menghasilkan apapun, jika pihak kelebihan dana menitipkan dana di
perbankan dan kemudian dana tersebut disalurkan pada pihak yang
membutuhkan, maka hal ini akan meningkatkan daya guna uang
karena akan dapat memenuhi kebutuhan pihak yang menerima
pinjaman atau pembiayaan dari perbankan.
2) Meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang, dana yang dihimpun
dari suatu wilayah dapat disalurkan menjadi kredit di wilayah lain
yang mengalami defisit dana. Dengan demikian akan semakin
memperluas peredaran dan lalulintas uang dalam perekonomian.
3) Meningkatkan peredaran dan daya guna barang, dengan kredit atau
pembiayaan yang diterima dari perbankan, debitur akan dapat
mengolah barang sehingga menjadi lebih berguna atau bermanfaat, dan
bagi masyarakat konsumen akan dapat memperoleh barang yang
dibutuhkan sehingga memberikan daya guna.
4) Mendorong pemerataan distribusi pendapatan, kredit yang disalurkan
perbankan akan dapat mendorong penciptaan lapangan pekerjaan, baik
di untuk lapangan kerja formal maupun non formal. Hal ini akan
mendorong terjadinya peningkatan pendapatan dan pemerataan
distribusi pendapatan.
5) Meningkatkan hubungan internasional, penyaluran kredit secara
internasional akan mendorong terjadinya berbagai bentuk hubungan
international, baik hubungan ekonomi, sosial dan budaya, bahkan
politik.

14
Jika diperhatikan unsur, tujuan dan fungsi kredit di atas, maka tampak
bahwa industri perbankan memegang peran penting dalam aktivitas ekonomi,
untuk itu upaya penyaluran kredit bagi masyarakat yang membutuhkan perlu terus
dilakukan tentunya dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian agar
pembiayaan yang dilakukan dapat mencapai tujuan dan berfungsi secara optimal.
Penerapan prinsip kehatian-hatian dalam pemberian kredit diantaranya adalah
dengan melakukan penilaian kredit dengan menggunakan analisis 5C dan 7P.
Analisis 5C meliputi:
1) Character; analisis terhadap latar belakang nasabah , baik
pekerjaan, kinerja perusahaan ataupun karakteristik individual
lainnya, yang akan dijadikan indicator atau ukuran kemauan
membayar nasabah atas kredit atau pembiayaan yang diberikan.
2) Capacity; analisis untuk melihat kemampuan nasabah untuk
mengembalikan kredit atau pembiayaan yang diberikan.
3) Capital; analisis untuk melihat tingkat efektivitas penggunaan
modal serta sumber modal yang digunakan oleh nasabah.
4) Collateral; analysis terhadap keabsahan dan kelayakan jaminan
yang diberikan nasabah, jaminan ini berguna untuk mengatasi
kemungkinan terjadinya masalah dalam pengembalian kredit.
5) Condition; adalah penilaian kondisi ekonomi dan politik sekarang
dan perkiraan untuk masa mendatang terkait prospek usaha atau
prospek pendapatan penerima kredit atau pembiayaan.

Sedangkan analisis 7P meliputi:


1) Personality; penilaian terhadap kepribadian dan prilaku nasabah.
2) Party; adalah pengklasifikasian nasabah berdasarkan karakter dalam
memberikan fasiltas kredit.
3) Purpose; penilaian terhadap tujuan penggunaan kredit atau
pembiayaan oleh nasabah.
4) Prospect; menilai prospek usaha atau pendapatan nasabah dimasa
mendatang yang akan digunakan sebagai sumber pembayaran kembali
kredit atau pembiayaan yang diterima.

15
5) Payment; penilaian terhadap bagaimana cara nasabah mendapatkan
sumber dana untuk pengembalian kredit atau pembiyaan yang
diberikan.
6) Profitability; menilai kemampuan nasabah mencari atau mendapatkan
laba dari waktu ke waktu.
7) Protection; penilaian terhadap bagaimana nasabah melindungi usaha
dan jaminan yang diserahkan untuk mendapatkan kredit.
Adapun persyaratan kredit yang sulit dipenuhi oleh pelaku UMKM adalah
collateral, kondisi ini menyebabkan keterbatasan akses para pelaku UMKM
terhadap kredit perbankan, sementara keterbatasan modal adalah satu faktor yang
menjadi kendala pengembangan usaha pelaku UMKM, dan karena pelaku usaha
ini merupakan jumlah terbesar pelaku usaha di Indonesia pada umumnya dan
Sumatera Barat khususnya, maka kredit atau pembiayaan perbankan ini tidak akan
dapat berfungsi secara optimal, khususnya untuk mendorong peningkatan
pendapatan masyarakat dan pemerataan distribusi pendapatan masyarakat.
Sementara di sisi lain bank membutuhkan keyakinan dan perlindungan serta
keamanan atas kredit atau pembiayaan yang disalurkan, karena bank juga harus
mempertanggungjawabkan dana tersebut pada sisi surplus dana.

Jenis jaminan yang dapat diterima oleh pihak perbankan sebagai jaminan
kredit adalah, (Kasmir, 2002)
1) Jaminan benda berwujud, seperti: tanah, bangunan, kendaraan
bermotor, dll.
2) Jaminan benda tidak berwujud, yaitu surat-surat berharga, seperti:
sertifikat saham, sertifikat obligasi, sertifikat deposito, dll.
3) Jaminan personal (orang), yaitu jaminan yang diberikan oleh seseorang
yang akan menanggung resiko jika terjadi kredit macet.
Jika pemerintah memberikan dukungan ataupun bantuan penjaminan
kredit bagi pelaku usaha UMKM dalam rangka membantu akses UMKM terhadap
kredit perbankan, maka jaminan ini dapat dikategorikan sebagai jaminan personal
yang dilakukan secara institusional.

16
Pada dasarnya fungsi jaminan kredit bagi bank adalah untuk
mengantisipasi kemungkinan munculnya kredit bermasalah. Dari perspektif
perbankan faktor penyebab kredit bermasalah dapat dikelompokkan menjadi
faktor internal dan faktor eksternal (Dahlan Siamat, 2002). Faktor internal
mencakup:
1) Kebijakan perkreditan yang ekspansif, tindakan ini biasanya dilakukan
oleh bank yang mengalami excess liquidity.
2) Penyimpangan dalam pelaksanaan prosedur pemberian kredit, hal ini
biasanya disebabkan oleh petugas atau pejabat bank yang kurang
disiplin.
3) Lemahnya sistem administrasi dan pengawasan kredit, hal ini terlihat
dari kurangnya kelengkapan dokumen kredit yang harusnya diserahkan
dan tidak dilakukannya pengawasan atau pemantauan terhadap debitur.
4) Lemahnya sistem informasi kredit, hal ini akan menyebabkan ketidak
akuratan pelaporan bank sehingga berakibat pada kesulitan melakukan
diteksi dini terhadap kredit bermasalah.
5) Adanya itikad tidak baik dari pihak bank, adalah kecenderungan
memanfaatkan bank untuk kepentingan pribadi atau kelompok dari
pejabat atau petugas bank yang bersangkutan.
Sedangkan faktor eksternal sangat terkait dengan kegiatan usaha ataupun
kondisi ekonomi nasabah yang menyebabkan terjadinya kredit atau pembiayaan
bermasalah, diantaranya adalah:
1) Terjadinya penurunan kegiatan ekonomi
2) Tingginya tingkat bunga kredit
3) Pemanfaatan iklim persaingan perbankan yang tidak sehat oleh debitur
4) Kegagalan usaha debitur
5) Musibah yang menimpa debitur.

Kredit atau pembiayaan adalah usaha utama bank, untuk itu upaya
menghindari terjadinya kredit atau pembiayaan bermasalah merupakan hal yang
penting dan harus dilakukan oleh sebuah bank agar dapat terus eksis dan
mendapatkan keuntungan serta memberikan kontribusi positif dalam
perekonomian sebagai agen pembangunan. Oleh sebab itu, untuk memelihara

17
kesehatan dan meningkatkan daya tahannya, bank diwajibkan menyebar resiko
dengan mengatur penyaluran kredit atau pembiayaan sehingga tidak
terkonsentrasi atau terpusat pada debitur atau kelompok nasabah tertentu dengan
mematuhi aturan BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit) dan LDR (loan
deposit ratio) dengan nilai maksimum 110%, sebagaimana yang telah ditetapkan
dan diatur oleh undang-undang perbankan.

Untuk itulah bank harus menerapkan prinsip kehati-hatian, aspek


prudential banking atau prinsip kehati-hatian inilah yang mensyaratkan jaminan
kredit bagi debitur. Tujuannya tidak lain untuk melindungi dana nasabah/deposan.
Artinya syarat kolateral berupa jaminan aset yang diserahkan ke bank oleh calon
debitur merupakan suatu yang tidak bisa ditawar. Dan apabila bank melanggar
prinsip ini, bank yang bersangkutan bisa dikenai sanksi oleh Bank Indonesia.
Dengan alasan itulah bank tidak bisa disalahkan apabila cenderung memilih
menyalurkan kredit yang lebih jelas agunannya dan lebih aman pengembaliannya.

2.3. Penjaminan/Asuransi Kredit

Penjaminan kredit adalah kegiatan pemberian penjaminan kepada pihak


yang tidak memiliki agunan atau agunannya tidak mencukupi agar dapat
memperoleh kredit dari perbankan atau badan usaha pemberi kredit lainnya.
Penjaminan kredit berbeda dengan asuransi kredit. Dalam asuransi kredit resiko
yang ditanggung adalah resiko bank, sehingga dalam kontrak hanya melibatkan
dua pihak yakni bank dan perusahaan asuransi. Sedangkan dalam penjaminan
kredit ketiga pihak terlibat yaitu bank/kreditur sebagai penerima jaminan, debitur
sebagai terjamin dan perusahaan penjaminan sebagai penjamin kredit. Perbedaan
lainnya adalah bahwa di dalam penjaminan kredit di kenal istilah piutang
subrogasi, yaitu kewajiban debitur untuk melunasi hutangnya kepada perusahaan
penjamin atas ganti rugi yang telah dibayarkan perusahaan penjamin kepada
kreditur akibat kemacetan kredit debitur.
Pada gambar 2.2. di bawah ini dapat dilihat mekanisme penjaminan kredit.

18
Gambar 2.2. Skema Penjaminan Kredit

Sumber: PSKD, 2007.

Meskipun dari aspek definisi penjaminan dan asuransi kredit berbeda,


tetapi dalam prakteknya sulit untuk dibedakan. Penjaminan keuangan adalah
sebuah perjanjian pihak ketiga untuk menutup sebagian dari potensi kerugian
kepada yang meminjamkan atas suatu pinjaman bilamana pinjaman tersebut tidak
dibayar penuh. Sebuah jaminan kredit mirip dengan asuransi kredit, dan sulit
dibedakan. Berikut karakteristik penting dari penjaminan.

1. Biaya Penjaminan

Biaya penjaminan mencakup biaya administrasi dan biaya-biaya yang


diperlukan di dalam penjaminan, seperti biaya pembayaran kerugian. Kedua biaya
tersebut biasanya dijadikan pertimbangan di dalam banyak kasus. Besar kecilnya
biaya penjaminan ditentukan banyak faktor, antara lain:
1) Biaya penjaminan bisa sangat tinggi bilamana perusahaan penjaminan
harus melakukan seluruh analisis terhadap proposal kredit, bukan
sebatas me-review yang dilakukan perbankan.
2) Biaya penjaminan tergantung dari besarnya skala kredit nilai yang
akan dijamin.

19
3) Penjaminan juga dapat dibedakan pada syarat eligibilitas dan hal itu
sangat berkaitan dengan besarnya biaya administrasi yang harus
dikeluarkan.
4) Tingkat fee penjaminan sangat beragam mulai dari (1-6)% atau
tergantung pada persetujuan waktu penjaminan atau atas dasar
tahunan. Di Indonesia fee penjaminan berkisar (1 -2) % per tahun.

2. Leverage atau gearing ratio

Salah satu tujuan penjaminan adalah untuk meningkatkan volume


peminjaman dengan cara meningkatkan leverege atau gearing ratio. Leverage
atau gearing ratio dalam penjaminan dapat diilustrasikan sebagai berapa kali
kekuatan pengungkit atas equity yang dimiliki perusahaan penjamin untuk
menjamin sejumlah kredit UMKM kepada lembaga keuangan. Di Jepang sebagai
contoh, perusahaan penjaminan diperbolehkan melakukan ekspansi penjaminan
(gearing ratio) sebesar 50-60 kali dari modalnya. Di Indonesia gearing ratio
perusahaan penjamin dapat mencapai 20 kali atau dengan asumsi non
performance loan (NPL) maksimal 5%. Artinya jika perusahaan penjamin
memiliki modal Rp 10 milyar maka dapat menjamin kredit sebesar Rp 200 milyar.

2.4. Kredibilitas Lembaga Penjamin Kredit (LPK)

Kredibilitas LPK sangat tergantung pada tingkat solvensi yang


dimilikinya. Tingkat solvensi merupakan kesanggupan untuk melunasi hutangnya
dari para peminjam jika terjadi kegagalan pembayaran kredit. Tingkat solvensi
berkaitan dengan seberapa besar equity dalam bentuk likuid dapat digunakan
untuk menalangi kegagalan atas kredit macet yang dijaminnya. Makin baik tingkat
solvensi suatu LPK makin kredibel lembaga tersebut di mata bank.

Sumber keuangan dalam rangka meningkatkan solvensi lembaga penjamin


dapat berasal antara lain dari fee penjaminan, penagihan piutang subrogasi dan
bantuan dari donor atau pemerintah. Fee penjaminan merupakan pendapatan LPK
yang dibayar oleh debitur bank yang dijaminnya. Besarnya fee penjaminan
tergantung dari nilai kredit, jangka waktu dan tingkat kegagalan dari suatu usaha.

20
Piutang subrogasi merupakan hak tagih dari LPK sebagai akibat dari telah
dibayarnya klaim kredit bank. Piutang subrogasi timbul karena sifat pembayaran
klaim dari LPK kepada bank dianggap sebagai talangan. Karena dianggap
talangan maka dengan sendirinya LPK tetap memiliki hak tagih kepada debitur
bank. Jika penagihan piutang subrograsi berjalan Iancar, maka LPK mendapatkan
penggantian dana talangan yang telah dibayarkannya kepada bank. Keberhasilan
LPK mengumpulkan piutang subrograsi akan sangat tergantung pada keberhasilan
bank dalam melakukan credit recovary

Kredibilitas juga berhubungan dengan standar administrasi dan efisiensi


lembaga penjamin. Sebagai contoh, ambang batas perbedaan yang ada untuk
eligibilitas dalam mengklaim penjaminan. Biasanya suatu tingkat upaya
pengumpulan harus ditunjukkan dan beberapa skim program penjaminan meminta
dilakukannya auditing untuk setiap klaim (tuntutan) atau beberapa contoh dari
suatu klaim.
Krisis kepercayaan bank terhadap perusahaan penjaminan dapat terjadi
jika perusahaan penjaminan tidak mampu menyelesaikan pembayaran klaim
kepada bank terutama yang berkaitan dengan penyelesaian kredit program yang
kebanyakan macet. Krisis kepercayaan dapat juga dipicu oleh rumitnya birokrasi
dalam penyelesian klaim, tingginya fee penjaminan, serta waktu penyelesaian
klaim yang dianggap terlalu lama.

2.5. Lembaga Penjamin Kredit: Praktek Internasional

Sejarah penjaminan kredit dimulai di Basel Swiss Pada Tahun 1923.


Lembaga penjaminan yang pertama kali didirikan adalah koperasi penjaminan
regional (Gewerbliche Burgschaftgenossenschaft/GB). Sukses GB di Basel diikuti
pendirian GB di beberapa kota lain. Pada tahun 1936 di Bern didirikan
Shcweizerischer Verband der Gewerblichen/SVGB yang merupakan gabungan
dari beberapa GB. Pada tahun 1949 dibentuk lembaga reasuransi penjaminan
(Bundessant fur Industrie Gewerbe und Arbeit / BIGA) oleh pemerintah federal
(Waskito, 2007). Sukses Swiss diikuti negara-negara Eropa seperti Jerman,
Austria, Perancis, Belanda, Spanyol, Belgia. Kemudian disusul oleh Amerika dan
Kanada yang juga mengadopsi sistem penjaminan kredit. Di Asia sistem

21
penjaminan kredit dijalankan di Jepang, Korea, Taiwan, Malaysia, Thailand,
Phillippina, Srilanka, Indonesia dan Nepal. Tahun 1987 di Nagoya, Jepang
didirikan Konfederasi Penjaminan Kredit se- Asia (ACSIC).

Dewasa ini, hampir di semua negara telah beroperasi sistem penjaminan


kredit bagi UMKM. Jepang merupakan salah satu contoh negara yang
menyelenggarakan sistem penjaminan dengan keikutsertaan Pemerintah Daerah.
Di Jepang implementasi penjaminan kredit diselenggarakan oleh lembaga
penjamin kredit (credit guarantee corporations/CGC) dan lembaga reasuransi
kredit (Japan Small Medium Enterprise Corporations/JASMEC). CGC didirikan
di semua propinsi (prefekture) di Jepang. CGC menjamin kredit yang disalurkan
lembaga keuangan, sedangkan JASMEC menjamin ulang atas penjaminan CGC
tersebut.

Pemerintah Pusat Jepang menyuntikan modal ke JASMEC, dan dibarengi


dengan supervisi. JASMEC mengadakan kontrak asuransi dengan CGC,
disamping itu JASMEC juga memberikan pinjaman ke CGC. Selain melakukan
supervisi ke JASMEC pemerintah pusat juga melakukan supervisi kepada CGC.
Sumber pendanaan CGC disamping berasal dari JASMEC juga berasal dari
kontribusi dan peminjaman oleh Pemerintah Daerah setempat (prefecture). CGC
mengadakan kontrak penjaminan dengan lembaga keuangan (Bank). Namun CGC
juga menempatkan dananya pada Bank yang telah mengikat kerjasama
penjaminan tersebut. Antara CGC dengan UMKM terikat perjanjian prinsip
penjaminan yang menyangkut hak dan kewajiban yang harus dipenuhi UMKM.
Lembaga keuangan (Bank) menyalurkan kredit yang telah dijamin oleh CGC
kepada UMKM.
Gambar 2.3. Skema Sistem Penjaminan Kredit di Jepang

22
Sumber: PSKD, 2007

Di Taiwan peranan UMKM dalam perekonomian sangat menonjol dan


dominan. Kuatnya posisi UMKM di Taiwan disebabkan oleh perhatian pemerintah
yang sangat besar dalam menciptakan iklim usaha yang disertai berbagai bantuan
penguatan yang mendorong pertumbuhan dan kemajuan UMKM. Salah satu
kebijakan Pemerintah yang turut mempercepat tumbuh kembangnya UMKM di
Taiwan adalah dibentuknya Small and Medium Business Credit Guarantee Fund
(SMBCGF) pada tahun 1974. Pembentukan lembaga penjamin kredit bagi
UMKM (SMBCGF) di Taiwan dimaksudkan untuk mengatasi kendala yang
dihadapi UMKM dalam akses permodalan karena tidak memiliki kolateral yang
cukup untuk memperoleh pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan
(perkreditan). Adanya SMBCGF ini sangat membantu UMKM yang potensial
untuk berkembang lebih cepat (Junaidi, 2007). Dalam sistem penjaminan kredit di
Taiwan, SMBCGF berfungsi sebagai penjamin atas kredit yang diberikan oleh
lembaga-lembaga keuangan seperti Lembaga Keuangan non-Bank, Bank Swasta,
Lembaga Trust dan Investasi bagi UMKM dan sebagainya.

Pengalaman menarik dari Taiwan ini yang sampai sekarang masih


berlangsung dengan baik adalah terjalinnya hubungan antara SMBCGF yang
berorientasi non profit dengan lembaga-lembaga keuangan yang berorientasi
profit dalam membantu UMKM. Sistem penjaminan kredit bagi UMKM ini
didasarkan atas risk sharing di mana SMBCGF menanggung risiko yang lebih
besar, sedangkan pihak pemberi kredit menanggung risiko yang lebih kecil.
Dalam melaksanakan penjaminan, SMBGF bekerjasama dengan berbagai
lembaga keuangan bank dan non bank.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari kesuksesan implementasi sistem


penjaminan kredit diberbagai negara adalah:
1) Dukungan Pemerintah yang diujudkan dengan memberikan bantuan
permodalan dan diikuti dengan supervisi terhadap LPK.

23
2) Adanya Reguarantor (Penjamin dari Penjamin Kredit), yang
diperlukan untuk berbagi resiko atas kredit yang dijaminnya.
Lazimnya institusi ini bersifat non profit
3) Jaringan yang luas untuk dapat menjangkau seluruh wilayah, karena
UMKM tersebar di seluruh wilayah.
4) Kemauan Pihak Perbankan untuk memanfaatkan LPK.

2.6. Penjaminan Kredit UMKM dan Perkembangannya di Indonesia

Terkait dengan penjaminan kredit bagi UMKM, di Indonesia sejak lama


telah beroperasi beberapa perusahaan, diantaranya Perum Sarana Pengembangan
Usaha (Perum Sarana) yang didirikan sejak tahun 1971 dimana bisnis utamanya
adalah menjamin kredit UKM, dan koperasi, kemudian ada perusahan asuransi
kredit yaitu PT Askrindo didirikan 1971. Harian Kompas 4 oktober 2007
memberitakan adanya tiga lembaga penjamin kredit, yaitu: PT Asuransi Kredit
Indonesia (Askrindo), Perum Sarana Pengembangan Usaha (Perum Sarana) dan
PT Penjamin Kredit Pengusaha Indonesia (PKPI). Ketiga lembaga penjamin
kredit tersebut akan memprioritaskan penjaminan kredit bagi UMKM yang layak
namun tidak memiliki kecukupan agunan, untuk memperoleh kredit dari lembaga
keuangan.

Selanjutnya juga diberitakan bahwa sesuai Instruksi Presiden Nomor 6


Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan
Pemberdayaan UMKM, Askrindo dan Perum Sarana mendapatkan tambahan
penyertaan modal pemerintah senilai Rp 1,45 triliun. Dengan ditetapkannya rasio
penjaminan kredit (gearing ratio) sebesar 10 kali, maka penjaminan kredit yang
dapat dijangkau UMKM mencapai Rp 14,5 triliun yang akan disalurkan dalam 3
tahun.

Dengan adanya tambahan penyertaan modal ini, kapasitas penjaminan oleh


PT Askrindo dan Perum Sarana semakin besar akses UMKM terbuka ke
perbankan. Dengan kredit baru sebesar Rp 14,5 triliun dan rata-rata kredit UMKM
sebesar Rp 25 juta, maka Askrindo dan Perum Sarana menargetkan dapat

24
menjangkau 580.000 UMKM dalam tiga tahun ke depan. Dengan demikian,
jumlah tenaga kerja yang bisa terserap mencapai 1,74 juta orang. Namun jumlah
ini jelas masih sangat kecil dibanding dengan UMKM di Indonesia yang saat ini
mencapai 48 juta unit dan baru 35 persen atau 19 juta unit yang terjangkau
perbankan. Oleh sebab itu ke depan lembaga penjamin mengharapkan dukungan
pemerintah dan juga perbankan agar semakin banyak UMKM yang bisa dibiayai

Perum Sarana pada situsnya http://www.perum-sarana.com


mengungkapkan bahwa perusahaan ini melakukan penjaminan atas skim kredit
komersial yang disalurkan perbankan. Plafond kredit yang dapat dijamin
perusahaan ini tergantung pada ketentuan perkreditan Bank yang bersangkutan.
Bagi usaha kecil dan menengah, keberadaan perusahaan ini akan membantu ketika
mengalami kekurangan agunan dalam mengakses kredit perbankan. Bagi
perbankan yang menyalurkan kredit, Perum Sarana akan memberikan jaminan
kepastian ganti rugi apabila di kemudian hari nasabah usaha kecil menengah tidak
mampu menyelesaikan kewajiban sesuai dengan jadwal yang diperjanjikan.
Dalam operasinya, Perum Sarana saat ini bermitra dengan berbagai bank nasional
dan BPD seluruh Indonesia.

Demikian juga PT. Askrindo dalam situsnya http://www.askrindo.co.id


menyampaikan bahwa PT Askrindo yang dibentuk sejak tiga dekade lalu
dilandaskan pada semangat kebangkitan ekonomi rakyat, yaitu pengembangan
UMKM. Dengan adanya lembaga penjamin, UMKM yang layak dibiayai namun
kurang memiliki agunan bisa memperoleh kredit dari perbankan karena dijamin.
Dalam memberikan penjaminan kredit, selain kelayakan usaha, lembaga penjamin
juga mempertimbangkan faktor produktifitas usaha dan kesesuaian dengan sektor
usaha yang diprioritaskan pemerintah. Dengan demikian, usaha-usaha yang
memperoleh penjaminan kredit tersebut diharapkan dapat benar-benar
berkembang optimal dan faktor risiko dapat ditekan. PT Askrindo membantu
Lembaga Keuangan Bank, Non Bank dan Badan Usaha Pemberi Kredit untuk
mengalihkan sebagian risiko finansial atas kegagalan kewajiban pengembalian
kredit oleh Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

25
Sejalan dengan itu, Pemerintah, khususnya Departemen Keuangan dan
Kementrian BUMN, memiliki rencana untuk memperkuat modal dan perluasan
jangkauan pelayanan Perum Sarana Pengembangan Usaha (SPU) dan PT Asuransi
Kredit Indonesia (Askrindo). Direncanakan akan ada tambahan Penyertaan Modal
Pemerintah (PMP) kepada Perum SPU dan PT Askrindo. Hal ini tentunya akan
berdampak kepada pengembangan jaringan dan pelayanan kedua perusahaan

Keberadaan perusahaan penjamin tersebut memang telah dirasakan cukup


membantu bagi pengembangan kredit UMKM, namun dari sisi jumlah dan
kemampuan jangkauan pelayanan masih dirasa sangat terbatas. Masih banyak
wilayah di Indonesia yang belum terjangkau sama sekali dengan pelayanan
perusahaan penjamin tersebut. Oleh karena itu perlu ditumbuh lebih banyak lagi
lembaga penjamin yang dapat melayani seluruh pelosok Indonesia di berbagai
daerah dalam rangka melayani kredit UKM yang jumlahnya mencapai lebih 48
juta unit. Salah satu alternatifnya yaitu Lembaga Penjamin Kredit Daerah
(LPKD), yang didirikan atas inisiatif Pemerintah Daerah.

Namun dari sisi kelembagaan, ada pendapat yang mengatakan bahwa LPK
di Indonesia belum memenuhi standar efisiensi dan efektivitas yang memadai.
Selanjutnya juga disebutkan bahwa perkembangan LPK di Indonesia sangat
lambat karena masih kurangnya ketrampilan dalam pengelolaan modal dan
manajerial. Ditambah lagi dengan seringnya kasus-kasus penundaan pembayaran
klaim asuransi menyebabkan perbankan kehilangan kepercayaan terhadap LPK.
Meskipun telah dilakukan adopsi terhadap best practices dan standar
internasional, namun beberapa kondisi seperti belum terbentuknya insurance-
minded masyarakat dan pelaku bisnis, keengganan untuk memanfaatkan jasa
penjaminan serta dukungan sistem rating atau scoring yang belum memadai,
memberikan tantangan tersendiri bagi upaya meningkatkan peranan LPK yang
masih sangat lambat.

Kesimpulannya, kurangnya permodalan, keterampilan pengelolaan dana,


rendahnya kultur masyarakat terhadap asuransi dan penjaminan, serta kurangnya

26
komitmen dan dukungan yang kongkrit dari pemerintah menyebabkan LPK di
Indonesia belum mampu berperan secara optimal.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian


Pada tahun pertama penelitian, metode penelitian yang diterapkan adalah
eksplonatory research. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey
yaitu penelitian ini mengambil sampel dari populasi dengan menggunakan
kuesioner dan wawancara sebagai alat pengumpulan data utamanya. Metode
survey yang diterapkan yaitu descriptive survey, sedangkan cakupan waktu (time
horizon) bersifat cross sectional yang mencerminkan gambaran dari suatu
keadaan pada suatu saat tertentu pada tahun 2011. Unit analisis adalah Pelaku
Binis UMKM sebagai sumber informasi dari sisi internal.
Sedangkan untuk aspek eksternal adalah Pemerintah Daerah dan dinas
terkait; yakni dinas Perindag, Dinas Koperasi dan UMKM serta dinas terkait
lainnya di Kota dan Kabupaten di Sumatera Barat.

3.2. Pemilihan Daerah Penelitian


Wilayah provinsi Sumatera Barat saat ini memiliki 19 kota dan kabupaten,
untuk pemilihan wilayah ditetapkan 20% dari total yakni 5 eilayah yang terdiri
dari 3 kabupaten dan 2 kota karena jumlah kabupaten lebih banyak dari pada
jumlah kota. Selanjutnyan daerah yang dipilih dalam penelitian ini adalah dengan
memperhatikan jumlah UMKM menurut kota/kabupaten sebagaimana dapat
dilihat pada tabel di bawah ini. Pemilihan didasarkan pada banyaknya porsi dari
pelaku usaha, berdasarkan data di atas dapat dilihat untuk wilayah kabupaten yang
memilki porsi terbanyak adalah:
1) Kabupaten Agam
2) Kabupaten Padang Pariaman
3) Kabupaten Pesisir selatan

27
Sedangkan untuk wilayah perkotaan diambil sampel:
1) Kota Padang
2) Kota Bukittinggi

Tabel 3.1.
Jumlah Unit Usaha menurut Kategori Skala Usaha Kab/Kota
di Sumatera Barat Tahun 2006
Skala Usaha
Daerah
Mene- %
Kab/ Total
Mikro (%) Kecil (%) ngah (%) dae-
Kota daerah
& besar rah
Kabupaten
Kep. 1,90 0. 0. 1 0. 2,06
141 0.41
Mentawai 4 45 19 5 40 0
Pesisisr 36,59 8. 6. 9 2. 41,6
4,999 8.31
Selatan 8 65 72 2 47 89
25,63 6. 4. 14 3. 29,3
Solok 3,526 5.85
7 06 74 8 98 11
Sw.Lunto/ 19,72 4. 3. 8 2. 22,4
2,599 4.47
Sijunjung 5 66 49 3 23 07
35,65 8. 6. 18 4. 40,4
Tanah Datar 4,582 8.06
6 42 16 5 97 23
Pdg. 37,48 8. 6. 18 4. 42,2
4,564 8.42
Pariaman 4 86 13 2 89 30
Agam 41,762 9.87 4,532 6.09 201 5.40 46,495 9.27
33,67 7. 5. 17 4. 37,8
Lima P.Kota 3,983 7.55
9 96 35 1 60 33
23,39 5. 2. 5 1. 25,5
Pasaman 2,139 5.10
2 53 87 8 56 89
Solok 6,94 1. 0. 2 0. 7,67
713 1.53
Selatan 2 64 96 0 54 5
11,99 2. 3. 7 1. 14,8
Dharmasraya 2,806 2.97
7 83 77 0 88 73
Pasaman 25,29 5. 4. 12 3. 29,1
3,715 5.81
Barat 5 98 99 5 36 35
Kota
70,98 16. 25. 1,19 32. 90,8
Padang 18,634 18.11
0 77 04 9 23 13
6,61 1. 2. 13 3. 8,74
Solok 1,991 1.74
2 56 68 7 68 0
6,62 1. 1. 9 2. 7,71
Sawahlunto 1,006 1.54
3 56 35 0 42 9
5,76 1. 2. 8 2. 7,42
Pdg. Panjang 1,579 1.48
5 36 12 5 28 9
13,55 3. 9. 56 15. 21,5
Bukittinggi 7,414 4.29
3 20 96 1 08 28
10,87 2. 5. 19 5. 14,9
Payakumbuh 3,854 2.98
5 57 18 6 27 25
8,80 2. 2. 10 2. 10,5
Pariaman 1,633 2.10
1 08 19 2 74 36

28
Sumatera
423,280 100.0 74,410 100 3,720 100 501,410 100.0
Barat
%
84.4 0.7 100.
berdasarkan 14.84
skala usaha 2 4 00

3.3. Pemilihan sampel Pelaku Bisnis UMKM

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan rumus Slovin dalam

Husein (1996), yaitu:

...........................................................................................(3.1)

Dimana:

n = jumlah sampel yang dicari

N = jumlah populasi

d = nilai kritis (batas ketelitian) yang diinginkan ( = 10%)


Dengan nilai = 10% , maka jumlah sampel adalah:
n = 501.410/ [(1+ (501.410 x 0,12)] = 99,98 100
jadi jumlah sampel adalah 100 pelaku usaha sehingga untuk masing-
masing daerah akan diambil 20 pelaku usaha sebagai sampel penelitian.

3.4. Operasionalisasi Variabel

Operasionalisasi variabel seperti Tabel 3.2 berikut ini

Tabel 3.1.
Operasionalisasi Variabel
Variabel :FAKTOR KELEMBAGAAN
Sub Variabel Defenisi Dimensi Pengukuran
UMKM 1. Legalitas Bentuk Badan hukum
Profil UMKM 1. Lama berdiri
2. Operasional 2. Unit usaha
3. Gedung
4. Fasilitas kantor

29
3. Usaha 1. Lapangan usaha
2. Jenis produk
3. Volume produk
4. Nilai Produksi
5. Nilai modal
6. Nilai input
SDM Kualifikasi SDM 1. kompetensi 1. Pembelajaran
Pengelola pengelola KMN (Tingkat Pendidikan
Formal dan Non
Formal
2. Pengalaman Kerja
3. Technical skill
4. Conseptual skill
5. Human skll
2. komitmen 1. Atensi
2. Adaptasi
3. Pembinaan
4. Ambisi
5. motivasi
6. Penyebab berhasil,
penyebab kegagalan
7. Kepentingan
Variabel: FAKTOR ESKTERNAL
Sub Variabel Defenisi Dimensi Pengukuran
Kemampuan Kesiapan pemda 1. Faktor finansial: 1. APBD
Pemda mendukung 2. Non Finansial 2. RPJMD
pemberdayaan 3. Renstra
UMKM 4. RKPD

3.3. Sumber dan Cara Penentuan Data/Informasi


Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh dari responden pengusaha UMKM, dan
pejabat lembaga terkait (nagari, pemda kabupaten dan pemprov), sedangkan data
sekunder diperoleh melalui sumber data yang telah dipublikasikan lembaga terkait
(BPS, BAPPEDA, Pemprov, Pemda Kabupaten, Nagari ) dan kajian atau review
literatur

a) Teknik Pengumpulan Data


Data primer dan sekunder digunakan dalam penelitian ini. Data primer
didapatkan melalui survey dengan menggunakan kuesioner dan in-depth
interviews, sedangkan data sekunder didapatkan dari publikasi lembaga terkait
dan kajian atau review literatur. Data primer digunakan dalam penelitian ini untuk
menjembatani research gaps yang muncul dalam kajian literatur. Analisis data

30
menggunakan analisis deskriptif dan analisis kualitatif. Analisis deskriptif untuk
menggambarkan suatu kondisi tertentu sesuai fakta di lapangan dan analisis
kualitatif untuk melihat makna sesungguhnya dan problem yang ada. Salah satu
keunggulan metode kualitatif yang dipakai dalam penelitian ini adalah
kemampuan untuk melihat makna sesungguhnya dari problem yang ada (Van
Maanen 1983) dengan menggunakan peralatan kualitatif yaitu melakukan
interview dengan orang-orang yang terlibat secara langsung dari masalah yang
akan dibahas (Yin 1994).
Dalam penelitian ini, in-depth interviews akan dihentikan jika informasi
yang diperoleh sudah jenuh dimana informasi baru tidak akan muncul walaupun
jumlah responden ditambah atau dikenal dengan istilah saturated or redundant
(Lincoln and Guba 1985), hal ini dapat diketahui dari transkrip responden.
Dengan demikian jumlah responden tidak dapat ditentukan diawal, meskipun
demikian dari awal peneliti berupaya untuk memilih responden secara
representatif.
b) Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah Analisis Deskriptif dan kualitatif:
pendekatan kualitatif untuk mengetahui kondisi lembaga dan pengelola UMKM.
Analisis deskriptif untuk meggambarkan kondisi Lembaga keuangan Mikro
dengan menggunakan statistik deskriptif .
Analisis kualitatif, seperti yang dikemukan oleh Patton (1980, p. 268) bahwa
there are no formal, universal rules to follow in analysing, interpreting, and
evaluating qualitative data, yang kira-kira maknanya adalah tidak ada aturan
formal atau universal dalam menganalisa, mengintrepretasikan dan mengevaluasi
data kualitatif, karena analisa data kulitatif itu tidak terstandar (Newman 2003).
Meskipun demikian, dalam penelitian ini proses analisis data dilakukan dengan
menggunakan analisis tematik (thematic analysis).Thematic analysis is a way of
seeing (Boyatzis 1998, p.1), pendekatan ini dapat juga digunakan dalam
grounded theory, tetapi dalam analisis tematik data dapat dikumpulkan terlebih
dahulu baru kemudian dianalisa, sedangkan dalam grounded theory analisa
dilakukan langsung pada waktu data dikumpulkan, dengan demikian hasil analisa
akan menentukan dan mengarahkan kebutuhan data selanjutnya (Ezzy 2002).

31
Dalam penelitian ini, proses analisis data dilakukan dalam lima langkah.
Langkah pertama, membuat ringkasan hasil interview dari setiap transkrip
interview baik untuk in-depth maupun untuk observasi lapangan, tujuannya adalah
untuk memudahkan pengolahan informasi. Langkah kedua, mengidentifikasi
tema-tema yang muncul dari ringkasan interview dan observasi kemudian
membandingkannya antara sesama jenis responden (misal sesama Pemerintah,
sesama pihak sekolah sesama Masyarakat dan sesama siswa) untuk
mengidentifikasi tema-tema yang potensial. Langkah ketiga, membandingkan
tema yang muncul antar responden yang berbeda (misal membandingkan tema
yang muncul pada pemerintah, sekolah, masyarakat dan siswa), tujuannya adalah
untuk melihat fokus atau persamaan dan perbedaan tema yang muncul pada
responden yang berbeda. Langkah keempat, membuat coding yang ada pada tema
yang telah dibangun. Coding diperlukan guna mengintrepretasikan tema yang
sudah ada. Langkah akhir adalah menggunakan hasil coding sebagai alat untuk
mengidentifikasi tema dengan konsep keilmuan yang ada yaitu pada bidang
penelitian ini.
Gambar 3.1.
Langkah Analisa Data

32
Transcript/Raw
Information
In-depth Interview

Reducing Raw
Information/Outline

Developing Themes

Identifying themes
within sub-samples

Identifying themes Coding Analysing Findings


across sub-samples

Triangulated
Final Findings to literature

Transcript/Raw
Information

Observation
Reducing Raw
Information/Outline Conclusion

Developing Themes

Identifying themes Coding Analysing Findings


across sub-samples

3.6. Luaran Penelitian


Out put dari penelitian ini adalah:
1) model Peran Pemerintah dalam Pemberdayaan UMKM di Sumatera
Barat, sesuai dengan kondisi dan potensi keuangan pemerintah daerah
serta karakteristik UMKM di Sumatera Barat.
2) Artikel ilmiah hasil penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal ilmiah
nasional

3.7. Target (Indikator) Pencapaian Program Setiap Tahun

33
Pelaksanaan kegiatan penelitiann untuk pengembangan lembaga keuangan
mikro di Kabupaten Agam setiap tahunnya akan dilakukan dalam 2 tahun dengan
tahapan utama yaitu tahap persiapan, pelaksanaan dan evaluasi. Secara rinci dapat
dilihat pada gambar 3.2.di bawah ini:
Gambar 3.2.
Perencanaan Kegiatan
Tahun I

Persiapan Pelaksanaan Evaluasi &


Laporan

Pendataan responden Pengumpulan data Monitoring dan


Pengurusan Ijin Olah data Evaluasi kegiatan
Penelitian Rangkuman hasil penelitian Penyusunan laporan
Penyusunan guideline Seminar
wawancara dan Sosialisasi Temuan
kuisioner Penelitian
Koordinasi untuk ke Publikasi
lapangan

Tahun II

Persiapan Pelaksanaan Evaluasi &


Laporan

Pendataan responden Pengumpulan data Monitoring dan


Pengurusan Ijin Olah data Evaluasi kegiatan
Penelitian Rangkuman hasil penelitian Penyusunan laporan
Penyusunan guideline Seminar
wawancara dan Sosialisasi Temuan
kuisioner Penelitian
Koordinasi untuk ke Publikasi
lapangan

Secara rinci dapat dilihat pada matrik perencanaan pada Tabel 5.1

34
Tabel 3.3.
Rencana Pelaksanaan Kegiatan Penelitian

TAHUN I
Langkah-langkah kegiatan Rincian Kegiatan Metode Keluaran
PERSIAPAN
Pendataan responden Menghubungi instansi terkait Wawancara Daftar lengkap responden
Menghubungi Responden berdasarkan informasi Data sekunder
instansi terkait
Pengurusan Ijin Menghubungi instansi terkait Dokumentasi Surat Ijin Penelitian
Penelitian Aktifitas ke instansi
terkait
Penyusunan guideline Tim menyusun guideline wawancara Riset kepustakaan Guideline wawancara
wawancara
Koordinasi untuk ke Rapat Koordinasi Aktifitas Tim Jadwal ke lapangan
lapangan Mengontak calon responden Dokumentasi
PELAKSANAAN
Pengumpulan data Menghubungi instansi terkait Dokumentasi Data penelitian
Wawancara Responden Aktifitas ke instansi
terkait
Wawancara
Olah data Entry data dan hasil wawancara Dokumentasi Draft olahan data
Interpretasi hasil survey pendahuluan Media elektronik
Analisis kualitatif
Rangkuman hasil Menyimpulkan hasil penelitian Aktifitas tim Laporan penelitian
penelitian
Langkah-langkah kegiatan Rincian Kegiatan Metode Keluaran
Olah data survey Entry data dan hasil wawancara Dokumentasi Draft olahan data
Interpretasi hasil survey Media elektronik
Analisis kualitatif

35
EVALUASI DAN LAPORAN
Monitoring dan Evaluasi Monitor pelaksanaan kegiatan Aktifitas tim Tingkat pencapaian
kegiatan Evaluasi hasil kegiatan kegiatan
Penyusunan laporan Menyusun draft penelitian Dokumentasi Laporan penelitian
Rapat koordinasi 1. Impleme
Revisi laporan ntasi LKM di
Perbanyak laporan Kabupaten Agam
2. Masalah
dan Hambatan
pelaksanaan BOS
Seminar Seminar sesuai agenda Dikti Aktifitas tim Masukan untuk kegiatan
penelitain yang telah
dilakukan
Sosialisasi Temuan Menghubungi instansi terkait Aktifitas tim Penyamaan persepsi
Penelitian pelaku LKM dan instansi
terkait
Publikasi Mengontak redaksi jurnal Aktifitas tim Jurnal yang
Mengirim artikel yang akan dipublikasi dipublikasikan

36
TAHUN II
Langkah-langkah kegiatan Rincian Kegiatan Metode Keluaran
PERSIAPAN
Pengurusan Ijin Menghubungi instansi terkait Dokumentasi Surat Ijin Penelitian
Penelitian Aktifitas ke instansi
terkait
Penyusunan rencana Tim menyusun guideline wawancara Riset kepustakaan Guideline utnuk
untuk Benchmarking Benchmarking
Koordinasi untuk ke Rapat Koordinasi Aktifitas Tim Jadwal ke lapangan
lapangan Mengontak calon responden Dokumentasi
PELAKSANAAN
Benchmarking Menghubungi instansi terkait Dokumentasi Data penelitian
Wawancara Responden Aktifitas ke instansi
terkait
Wawancara
Olah data Entry data dan hasil wawancara Dokumentasi Draft olahan data
Interpretasi hasil survey pendahuluan Media elektronik
Analisis kualitatif
Rangkuman hasil Menyimpulkan hasil penelitian Aktifitas tim Laporan penelitian
penelitian
Langkah-langkah kegiatan Rincian Kegiatan Metode Keluaran
Olah data Entry data dan hasil wawancara Dokumentasi Draft olahan data
Interpretasi hasil survey Media elektronik
Analisis kualitatif
EVALUASI DAN LAPORAN
Monitoring dan Evaluasi Monitor pelaksanaan kegiatan Aktifitas tim Tingkat pencapaian
kegiatan Evaluasi hasil kegiatan kegiatan

37
Penyusunan laporan Menyusun draft penelitian Dokumentasi Laporan penelitian
Rapat koordinasi Model Lembaga
Revisi laporan Keuangan Mikro
Perbanyak laporan
Seminar Seminar sesuai agenda Dikti Aktifitas tim Masukan untuk kegiatan
penelitain yang telah
dilakukan
Sosialisasi Temuan Menghubungi instansi terkait Aktifitas tim dan instansi terkait
Penelitian
Penyamaan persepsi pelaku Mengontak redaksi jurnal Aktifitas tim Jurnal yang
LKM Publikasi Mengirim artikel yang akan dipublikasi dipublikasikan

38
BAB IV
JADWAL PELAKSANAAN
Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan selama 2 tahap dengan jangka
waktu 2 tahun, dengan persiapan awal berupa usulan penelitian selama lebih 3 bulan.
Jadwal yang direncanakan untuk tahun pertama sebagai berikut :
Tabel 5.1
Jadwal Kegiatan Tahun Pertama

No. Bulan
Kegiatan/
Penanggung Jawab 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3
1. Mengurus perijinan/
Sri Maryati
2. Penyiapan kuisioner/
Uji coba kuesioner/
Tim
3. Pengumpulan data primer/
Suryatman Desri& Riza Reni
Yenti
4. Pengolahan data primer /
Yindrizal
5. Laporan/
Tim
6. Sosialisasi Temuan penelitian
dan seminar Tim

Adapun rencana jadwal penelitikan untuk tahun kedua adalah sebagai berikut :

DAFTAR PUSTAKA

39
Anthony Saunders, 1994, Financial Institution Management: A Moderen Perspective,
Irwin Inc, USA.

Arnely. Desi, Peranan Industri Perbankan Dalam Pembiayaan Pembangunan Sumatera


Barat (1986-1996), FE-UNAND, Padang, 1999

Dahlan Siamat, 2002, Manajemen Lembaga Keuangan, Edisi Ketiga, Intermedia, Jakarta

Demetrides, Danocos, P dan Kul B. Luintic (1996); Financial Development, Economic


Growth an Banking Sector Control; Evidance from India, Economic Journal, hal
359-373.
D + C (Development and Cooperation), No 1/2001, January-February, DSE.

Elfindri, dkk; 2002: Penelitian Dasar (Base Line Survey) BPR di Wilayah Sumatera
Barat, Kerjasama Bank Indonesia dan LP Unand, Laporan Penelitian

Fukichi, Takao, (1995): Liberalization Effect in Financial Repressed economy: The


Case of Indonesia 1982-1990; Development Economies, XXX-3.

Fry, Maxwell J; (1995), Money, Interest, And Banking In Economic Development,


Second Edition, Johns Hopkins, London.

Insukindro, 1997, Ekonomi, Uang dan Bank: Teori dan Pengalaman di Indonesia, BPFE,
Yogyakarta.

Jacob Tche, 2008, Microfinance Governance and Poverty Reduction: A Theoritical


Analysis, Unversity of Yaounde, Cameroon.

Jossy Moeis, 2008, Perubahan Cara Pandang Terhadap Kemiskinan sebagai Basis
Penanggulangan Kemiskinan, Makalah Seminar Sehari: Menaggulangi
Kemiskinan dengan Meningkatkan Daya Saing Ekonomi Daerah di Era Krisis
Global, FEUA, 6 November 2008, Padang.

Junaidi, Prospek Rintisan Lembaga Penjaminan Kredit Daerah, diakses November 2007
dari http://www.smecda.com/deputi7/file_Infokop/Edisi%.

Juoro, Umar, (1993). Financial Liberalization in Indonesia: Interest Rate, Money


Market Instrumen, and Bank Supervision, ASEAN Economic Bulletin, Vol .9
No. 3, 1993.
Jung, Woo S, (1986):Financial Development and Economic Growth: International
Evidance; Developing Economic and Cultural Change.

Kasmir, 2002, Bank & Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi Baru, Rajawali, Jakarta

40
Kirana, Wihana dan Nurwardono, (1992); Peranan Pembangunan Sektor Keuangan
Dalam Mobilisasi Dana dan Pertumbuhan Ekonomi; Jurnal Ekonomi & Bisnis
Indonesia , no:1, tahun VII.

Lyinch, David, (1996); Measuring Financial Sector Development: A Study of Selected


Asia Paisifc Coutries; Developing economies; XXXIV-1; hal 3-33.

Mudradjad,Kuncoro (1997); Ekonomi Pembangunan, Teori dan Kebijaksanaan, UPP


AMP YKPN, Yogyakarta

Waskito, Nanang, 2007, Kiprah Lembaga Penjamin Kredit: Kasus Pemberdayaan UKM
Di Jepang, Korea & Malaysia. Perusahaan Umum Sarana Pengembangan Usaha,
diakses November 2007 di http://www.perum-sarana.com

Y. Sri Susilo, dkk, 2000, Bank & Lembaga Keuangan Lain, Salemba Empat, Jakarta.

LAMPIRAN 1 :

41
RINCIAN BIAYA PENELITIAN

Biaya penelitian untuk tahun pertama diperkirakan Rp.50.000.000,00 teralokasi


seperti Tabel 4.1. berikut ini:

Tabel 4.1
Rincian Biaya Kegiatan pada Tahun Pertama
No Uraian Unit Harga (Rp) Total Tahun I
(Rp)
1. Gaji dan Upah
a. Ketua peneliti @Rp12.500 x 30 jam/minggu 15 minggu 375.000 5.625.000
b. Anggota Peneliti 3 orang @ Rp.10.000 x 20 15 minggu 600.000 9.000.000
jam/minggu
c Honor tenaga administrasi 1 bulan 375.000 375.000
Sub Jumlah 15.000.000
2. Bahan dan Peralatan Penelitian
a. Fotocopy bahan penelitian dan literature 1 exp 1.780.000 1. 780.000
b. Alat Tulis Kantor 3 exp. 150.000 450.000
c. Tinta Komputer 1 exp. 175.000 175.000
d. Kertas A4 2 rim 35.000 70.000
e. Sub Jumlah 2.475.000
3. Biaya Perjalanan dan akomodasi
a. Kegiatan pre survey pendahuluan 2 orang 1.500.000 3.000.000
b. Kegiatan survey di daerah (5 daerah) 5 hari 4.500.000 22.500.000
c. Seminar Pemantauan 1 paket 1.500.000 2.500.000
Sub Jumlah 28.000.000
4. Pengeluaran lain-lain
a. Pengolahan data 1 paket 2.500.000 2.500.000
b. Perbanyak laporan 10 bh 50.000 500.000
c Konsumsi Rapat koordinasi 20 kali 50.000 1.000.000
d Dokumentasi 1 exp 525.000 525.000
Sub Jumlah 4.525.000

Jumlah 50.000.000
(Lima
Puluh Juta
Rupiah)

Lampiran 2 :

42
Susunan Organisasi Tim Peneliti dan Pembagian Tugas

Alokasi
Uraian
No. Nama NIDN Bidang Ilmu Waktu
Tugas
(jam/minggu)
20
1. Riza Reni Yenti 0003036606 Akuntansi Ketua
jam/minggu
Ilmu 20
2. Sri Maryati 0017066601 Sekretaris
Ekonomi jam/minggu
20
3. Suryatman Desri 0003126508 Manajemen Anggota
jam/minggu
20
4. Yindrizal 0023116410 Manajemen Anggota
jam/minggu

43

Anda mungkin juga menyukai