Anda di halaman 1dari 5

Latar Belakang: Food-induced anaphylaxis (FIA) merupakan sebuah kondisi yang

mengancam nyawa. Pemberian epinefrin secara tepat dan cepat direkomendasikan oleh
guideline saat ini.

Tujuan: Untuk mengidentifikasi faktor faktor yang berperan pada pemberian epinefrin lebih
awal pada kasus FIA dan secara spesifik meneliti hubungan antara pemberian epinefrin lebih
awal dan rawat inap.

Metode

Penelitian dilakukan menggunakan rekam medis di Rumah Sakit Khusus Anak Anak Hasbro /
Rumah sakit di Pulau Rhode. Peneliti mengidentifikasi semua pasien yang datang ke IGD
dengan diagnosis FIA antara 1 Januari 2004 dan 31 Desember 2009 menggunakan ICD 9.
Pemberian Epinefrin lebih awal didefinisikan sebagai pemberian epinefrin sebelum sampai
ke IGD. Hubungan antara pemberian epinefrin lebih awal dan rawat inap diuji menggunakan
regresi logistik.

Hasil: Diantara 384 pasien yang datang ke IGD dengan FIA selama periode penelitian, 234
pasien mendapatkan epinefrin (61%). 70% diantaranya mendapatkan epinefrin lebih awal,
dan sisanya sebanyak 30% mendapatkan epinefrin saat sudah masuk IGD (late treatment).
Pasien yang mendapatkan epinefrin lebih awal sebagian besar berusia lebih tua (7.4 vs 4.3
tahun; P [.008), memiliki alergi makanan yang telah diketahui (66% vs 34%; P < .001), dan
memiliki epinefrin autoinjector (80% vs 23%; P < .001). Pasien yang diberi epinefrin lebih
awal memiliki risiko lebih rendah untuk rawat inap (17% vs 43%; P < .001). Setelah
disesuaikan dengan umur, jenis kelamin dan ras, pasien yang mendapatkan terapi epinefrin
lebih awal memiliki penurunan risiko rawat inap yang signifikan dibandingkan dengan pasien
yang mendapatkan terapi lebih lambat (odds ratio 0.25 [95% CI, 0.12-0.49]).

Kesimpulan: Pada populasi ini, pemberian FIA dengan epinefrin lebih awal berhubungan
dengan risiko rawat inap yang lebih rendah. Oleh karena itu, penelitian ini mendukung
adanya manfaat pemberian epinefrin lebih awal untuk penanganan FIA.

Metode

Desain penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian menggunakan rekam medis yang dilakukan di Hasbro Childrens
Hospital/Rhode Island Hospital, yang merupakan rumah sakit rujukan tersier dengan kunjungan ke igd sebanyak
48000 pertahun. Kami menganalisa reka m medis semua pasien yang berusia lebih muda dari 18 tahun yang datang ke
igd dengan diagnosis reaksi alergi akut akibat makanan selama 6 tahun ( dari 1 januari 2014 sampai 31 desember
2009). Kasus kasus tersebut diidentifikasi menggunakan icd 9 dengan kode 995.60 (anaphylactic shock due to
unspecified food), 995.61- 995.69 (anaphylactic shock due to specified food), 995.0 (other
anaphylactic shock), 693.1 (dermatitis due to food), 995.7 (adverse food reaction, not otherwise classified), 558.3
(allergic gastroenteritis), and 692.5 (contact dermatitis due to food). Berdasarkan penelitian kami sebelumnya, kode
kode tersebut merupakan kode yang paling sering digunakan di IGD untuk mendiagnosis reaksi alergi akut akibat
makanan. Kasus kasus tersebut diidentifikasi oleh ahli alergi / imunologi yang telah tersertifikasi. Penelitian ini juga
telah disetujui oleh the institutional review board.

Definisi
Reaksi alergi akut akibat makanan didefinisikan sebagai gejala akut (yang berlangsung <72 jam) yang konsisten
sebagai akibat dari respon yang diperantarai oleh igE.. Onset terjadi dalam kurun waktu dua jamsetelah mengonsumsi
makanan yang diduga sebagai pemicu. FIA didefinisikan sebagai alergi makanan akut yang memenuhi kriteria
anafilaksis yang telah dibuat oleh the Second Symposium of the National Institute of Allergy and Infectious Disease
and the Food Allergy and Anaphylaxis Network (NIAID-FAAN Guidelines) dan/atau diterapi dengan epinefrin

Pengumpulan data
Pengumpulan data menggunakan formulir data yang telah distandardisasi , sesuai dengan penelitian sebelumnya , data
yang dikumpulkan adalah data demografi, gejala klinis, terapi dengan fokus pada epinefrin.

Stratifikasi subyek penelitian


Kasus FIA dibagi menjadi dua kelompok beradasarkan waktu pemberian epinefrin : pemberian epinefrin lebih awal
yang didefinisikan sebagai pemberian epinefrin sebelum sampai ke igd dan pemberian epinefrin yang terlambat yang
didefinisikan sebagai pemberian epinefrin setelah sampai di IGD

Analisa statistik
Analisis digunakan menggunakan software stata 12,0. Data disajikan dalam bentuk proporsi , rata rata degan +-
standar deviasi, dan median dengan range interkuartil. Analisis data menggunakan c2 test, Fisher exact test,
Student t test, and Kruskal Wallis test, yang sesuai . regresi logistik multivariat digunakan untuk mengevaluasi
prediksi penyebab pemberian epinefrin lebih awal. Faktor faktor tersebut dimasukkan kedalam inklusi kedalam
analisis multivariat jika ditemukan adanya hubungan yang signifikan p<0,20 atau diduga signifikan secara klinis.
Analisa pemberian epinefrin lebih awal dan risiko rawat inap menggunakan regresi logistik. Selanjuutnya, kami
melakukan uji sensitivitas dari hasil primer menggunakan definisi FIA yang lebih ketat ( hanya memasukkan pasien
yang memenuhi kriteria diagnosis anafilaksis dari guideline NIAID-FAAN). Odd rasio disajikan dalam bentuk 95%
confidence interval, semua nilai P berbetuk 2 tailed, dengan nilai P<0,05 bermakna signifikan secara statistik

Hasil
Demografi
Dalam periode 6 tahun penelitian, terdapat sebanyak 384 kasus FIA di IGD. Nilai median dari usia pasien adalah 5,2
tahun dan sebanyak 53 % adalah laki laki. Makanan yang menjadi pemicu terbanyak adalah kacang tanah 35%, tree
nut 24% dan susu 11%. Epinefrin diberikan kepada sebanyak 61% pasien FIA(n=234), dan dari sejumlah pasien
tersebut sebagian besar pasien (sebanyak 70%) mendapat epinefrin sebelum sampai di IGD. Sisanya sebanyak 30%
baru mendapat epinefrin sesampainya di iGD. Psien yang mendapat epinefrin lebih awal berusia lebih tua
dibandingkan pasien yang terlambat mendapat epinefrin dan lebih banyak yang berkulit putih. Jenis kelamin tidak
berbeda antara dua grup (tabel 1)

Riwayat penyakit dahulu


Jika dibandingkan dengan kelompok yang mendapatkan epinefrin lebih lambat, kelompok pasien yang mendapat
terapi epinefrin lebih awal kebanyakan telah diketahui memiliki alergi terhadap makanan tertentu dan emmiliki
epinefrin autoinjector. Pasien yang mendapat epinefrin lebih awal juga kebanyakan telah diketahui menderita asma
atau alergi lainnya seperti eksim atau alergi makanan lainnya

Reaksi saat ini


Pasien yang mendapat epinefrin lebih awal kebanyakan datang ke igd dengan ambulans. Jumlah waktu antara paparan
dengan allergen dan kedatangan di igd tidak berbeda secara signifikan antar kelompok. Meskipun begitu, lokasi
terjadinya paparan terhadap alergen berbeda, dimana pasien yang mendapat epinefrin lebih awal kebanyakan berada
di sekolah dan jarang yang berada dirumah. Dengan mempertimbangkan jenis alergen makanan yang spesifik, pasien
yang mendapat epinefrin lebih awal sebagian besar terjadi setelah paparan dengan susu, dan sebagian kecil lainnya
akibat ikan. Selain itu tidak ada perbedaan signifikan lainnya antar kedua grup, dengan pemicu paling banyak antara
dua kelompok adalah kacang tanah dan tree nut

Gejala klinis
Gejala yang paling sering muncul pada kedua kelompok adalah adanya skin rash dan adanya pembengkakan. Pusing
dan/atau pingsan merupakan gejala yang lebih sering muncul pada kelompok yang diberikan epinefrin lebih awal,
meskipun begitu, beberapa gejala lain, termasuk skin rash dan atau urtika, sheezing, stridor, mual atau muntah lebih
jarang terjadi pada kedua kelompok. Kedua kelompok sama sama memenuhi kriteria yang dibuat oleh NIAID-FAAN.
Ketika kami secara spesifik mengevaluasi pasien dengan alergi yang telah diketahui terhadap makanan tertentu, hanya
sebagian kecil pasien yang mendapat epinefrin lebih awal mengalami suara serak (7% vs 25%; P .01) dan
stridor (4% vs 21%; P .003). selanjutnya,tidak ada perbedaan pada tanda dan gejala yang dialami kelompok pasien
yang telah diketahui memiliki alergi baik mereka yang emmiliki epinefrin autoinjector atau yang tidak

terapi
sebagian besar pasien yang mendapatkan epinefrin lebih awal mendapat kortikosteroid sebelum sampai di igd , dan
sebagian kecil mendapatkan diphenhydramine sebelum sampai di igd jika dibandingkan dengan kelompok yang
diberikan epinefrin lebih lambat. Lebihd ari setengah pasien yang mendapat terapi epinefrin lebih awal diberikan
epinefrin autoinjector yang mereka miliki. Jika kita memperhitungkan semua terpai yang diberikan, (termasuk
sebelum dan sesudah di igd) pasien yang mendapatkan terapi epinefrin lebih awal mendapatkan tx antihistamin,
kortikosteroid , inhalasi beta agonist dan inhalasi antikolinergic lebih sedikit dibandingkan dengan pasien yang
mendapat peinefrin lebih lambta. Kedua kelompok tidak berbeda dalam pemberian resep epinefrin lebih dari satu
dosis (tabel 1)

faktor yang berhubungan dengan pemberian epinefrin lebih awal


dalam analisa multivariat, kepemilikan epinefrin autoinjector meningkatkan odd rasio secara signifikan terhadap
pemberian epinefrin lebih awal (OR 12.67 [95% CI, 4.46-35.96]). Jenis kelamin laki laki dan usia anak anak yang
lebih tua juga meningkatkan odd rasio secara signifikan pada pemberian epinefrin lebih awal. Faktor faktor lain yang
diuji dalam analisis ini, seperti alergi terhaadap makanan tertentu yang telah diketahui dan adanya gejala anafilaksis
sesuai NIAID-FAAN, tidak secara signifikan mempengaruhi odd rasio pada pasien yang mendapatkan terpai epinefrin
lebih awal

disposisi
rata rata lamanya tinggal di igd pada pasien yang mendapatkan epinefrin lebih awal adalah lebih pendek jika
dibandingkan dengna kelompok yang mendapatkan epinefrin lebih lambat (3 vs 4 hours; P = .003).. kedua kelompok
sama sama diberi resep epinefrin autoinjector saat keluar dari igd. Pasien yang mendapat terapi peinefrin lebih awal
lebih sedikit yang di rawat inap (17% vs 43%; P < .001) (Table I).. hasil ini tidak berhubungan dengan usia, jenis
kelamin dan ras (OR 0.25 [95% CI, 0.12-0.49]). Dan ketika kami memperketat analisa dengan mengontrol ebberapa
variabel perancu lainnya seperti riwayat alergi terhadap alergen tertentu yang telah diketahui, asma, kepemilikian
epinefrin autoinjector, dan kedatangan dengan menggunakan ambulans, hubungan yang ditemukan relatif konsisten
(OR 0.25 [95% CI, 0.10-0.62]) (Table III). Hasil ini juga tidak berubah ketika dilakukan analisis sensitivtas
menggunakan definisi yang lebih ketat pada FIA (OR 0.27 [95% CI, 0.10-0.75])

diskusi
kami menemukan bahwa anak anak dengan fia yang mendapatkan epinefrin lebih cepat memiliki risiko rawat inap
yang lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan anak anak yang mendapatkan epinefrin saat tiba di igd.
Hubungan ini diperkuat dengan mengontrol beberapa variabel menggunakan analisis multivariat dan hasil tersebut
memperkuat penggunaan epinefrin secara tepat apda penanganan fia

pada penelitian sebelumnya, ada beberapa data yang berlainan tentang hubungan pemberian epinefrin lebih awal dan
tingkat rawat inap. Untuk mendukung penemuan kami saat ini, ada penelitian kecil yang lain dengan subyek sebanyak
45 anak di australia mennunjukan bahwa pasien dengan anafilaksis akibat makanan atau serangga yang diterapi
dengan peinefrin lebih awal dengan epipen mengalami rawat inap yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan
kelompo yang diberikan epinefrin sesampainya di igd atau yang tidak diberikan epinefrin sama sekali. Meskipun
begitu, ada penelitian lain yang membuktikan dengan hasil yang sebaliknya. Secara spesifik, banerji dkk melaporkan
bahwa orang dewasa yang dirawat inap reaksi alergi karena makanan lebih sering mendapat epinefrin sebelum sampai
di igd. Senada dengan hal tsb, sebuah penelitian pada anak anak melaporkan bahwa anak anak yang diberikan
epinefrin untuk anafilaksis memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap rawat inap dan intervensi yang lebih banyak
jika dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberi epinefrin. Demikian juga pada penelitian yang dilakukan pada
anak anak yang diberikan epinefrin akibat anafilaksis memiliki risiko rawat inap dan intervensi yang lebih banyak jika
dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberikan epinefrin. Namun karena penelitina tersebut memasukkan
sampel pasien yang tidak diberikan epinefrin maka kemungkinan terdapat variabel perancu seperti tingkat keparahan
( pada pasien yang memiliki reaksi lebih parah lebih berisiko mendapat epinefrin, sehingga krn leibh parah maka
risiko rawat inap semakin tinggi ). Penelitian kami memperhatikan variabel perancu ini dengan menggunakan data
secara eksklusif pada pasien yang datang ke igd dan diberi terapi epinefrin. Sepengetahuan kami, penelitian ini
merupakan satu satunya penelitian yang secara spesifik memperhatikan hubungan antara pemberian epinefrin secara
dini dan risiko rawat inap pada populasi ini.

Dengan menguji fakto faktor yang berhubungan dengan pemberian epinefrin lebih dini memungkinakan untuk
meningkatkan manajemen anafilaksis. Meskipun hubungan antara pemberian epinefrin dini dan ras tidak mencapai
hubungan yang signifikan pada analisis multivariat, namun pasien yang mendapat terapi epinefrin dini sebagian besar
merupakan ras kulit putih dibandingkan dengan kelompok yang mendapat epinefrin lebih lambat .penelitian
sebelumnya juga menunjukkan bahwa anak dari ras kulit putih 5x lebih banyak memiliki epinefrin autoinjector untuk
menangani alergi kacang tanah dan tree nut. Kami juga tidak mampu menguji hubungannya dengan kepemilikan
asuransi, namun anak anak dengan asuransi Medicaid lebih sedikit mendapat epinefrin sebelum sampai ke igd jika
dibandingkan dengan pasien dengan asuransi pribadi. Sebagai haslnya, masih terdapat sebuah kemungkinan bahwa
perbedaan ras dan keadaan sosioekonomi mempengaruhi manajemen alergi makanan jangka panjang, dan penelitian
lebih lanjut duperlukan untuk menentukan hal ini
Saat kami mengevaluasi riwayat penyakit dahulu pada populasi kami menggunakan analisis, pasien yang mendapat
terapi epinefrin lebih awal mempunyai kecenderungan riwayat asma, riwayat alergi lain, atau alergi terhadap makanan
tertentu. Dalam praktek klinis, riwayat penyakit tersebut digunakan untuk memprediksi kejadian dan tingkat
keparahan reaksi di masa yang akan datang. Riwayat penyakit tersebut juga diduga menjadi dasar pemberian resep
epinefrin autoinjector. Namun , terdapat beberapa pasien yang datang ke igd dengan fia tanpa indikasi tersebut. Oleh
karena itu,tidak cukup menetapkan terapi untuk pasien beradasarkan riwayat penyakit pasien, namun pemberian
terapi didasarkan pada gejala klinis pasien saat ini.

Lebih penting lagi, pasien yang mempunyai epinefrin autoinjector lebih cenderung mendapatkan terapi epinefrin lebih
awal, dan lebih dari setengah pasien yang mendapatkan epinefrin lebih awal mendapat epinefrin dari alat yang mereka
miliki. Hal ini memiliki hubungan yang kuat setelah kami analisis menggunakan analisis multivariat dan
menunjukkan bahwa memastikan psien memiliki epinefrin autoinjector menjadi solusi paling berpengaruh untuk
meningkatkan angka pemberian terapi FIA lebih awal. Selain itu, pelatihan penggunaan epinefrin autoinjector juga
merupakan hal penting, dan di penelitian lain pelatihan penggunaan epinefrin mampu meningkatkan ketersediaan dan
kepemilikian epinefrin autoinjector dan kemampuan orang tua untuk menggunakan epinefrin secara benar

Pasien yang mendapat terapi epinefrin lebih cenderung untuk datang ke igd menggunakan ambulan dibandingkan
dengan pasien yag menerima terapi lebih lambat. Hal ini mampu merefleksikan kesiapan dari pelayanan kegawat
daruratan dalam menangani anafilaksis, emskipun begitu, perlu dicatat bahwa sepertiga pasien yang menerima terapi
lebih lambat juga datang menggunakan ambulan. Menariknya, lokasi terjadinya apparan alergen juga berbeda antara
dua kelompok setelah dianalisis dengan analisis bivariat, dengan kelompok pasien yang medapat epinfrin lebih cepat
sebagian besar terpapar disekolah, dan lebih sedikit yang terpapar di rumah. Data tersebut konsisten dengan penelitian
sebelumnya dimana 69% pasien anafilaksis berasal dari sekolah dan sisanya 41% dari rumah. Temuan tersebut
mendukung usulan bahwa semua pihak lini pertama seperti petugas kegawat daruratan, pegawai disekolah, pasienn
atau orang tua pasien dipersiapkan untuk mampu menggunakan epinefrin autoinjector dimanapun berada.

Kami juga mengevaluasi terapi lain sebelum sampainya di igd selain epinefrin, kami melaporkan bahwa pasien fia
yang mendapat epinefrin lebih lambat lebih cenderung diberi diphenhydramine sebelum sampai di igd. Hubungan ini
mengindikasikan bahwa pasien tersebut dibekali diphenhydramine dan lebih nyaman menggunakannya, dan/atau
reaksi yang timbul lebih ringan. Kami juga menilai tanda dan gejala pada kedua kelompok, pasien yang mendapat
epinefrin lebih awal memiliki gejala yang terdokumentasi dengan jumlah lebih sedikit, termasuk wheezing, suara
serak da stridor. Hal ini mungkin diakibatkan oleh karena orang orang yang berada di lini pertama kesulitan
mengenali gejala pernapasan atau juga mengindikasikan bahwa pemberian terapi lebih awal mengehntikan progres
reaksi. Temuan tersebut mengindikasikan perlunya edukasi terhadap orang orang yang berada di lini eprtama ,
terlebih orang tua, untuk mampu menentukan derajat keparahan reaksi dan kemampuan untuk melakukan penanganan
jika ada gejala awal anafilaksis yang muncul dengan epinefrin.

Secara keseluruhan, pasien yang mendapat epinefrin lebih awal cenderung lebih sedikit mendapat antihistamin,
steroid, inhalasi beta agonis dan inhalasi antikolinergik jika dibandingkan dengan mereka yang mendapat terapi lebih
lambat. Sebaliknya, Russell dkk melaporkan bahwa pasien yang diterapi menggunakan epinefrin membutuhkan terapi
di igd lebih banyak dibandingkan mereka yang tidak diterapi denganepinefrin, kemungkinan adanya variabel perancu
seperti derajat keparahan mempengaruhi hasil tersebut. Hasil dari penelitian kami menemukan bahwa pemberian
epinefrin lebih awal mampu menurunkan kebutuhan terapi tambahan.

Akhirnya, dan yang paling penting, kami melaporkan bahwa pada populasi ini, pemebrian epinefri lebih awal
berhubungan secara signifikan terhadap angka rawat inap pada kasus fia. Beberapa penelitian lain emnunjukkan
bahwa terjadi peningkatan angka rawat inap akibat FIA akhir akhir ini, yang menggambarkan bahwa terjadi
peningkatan insidensi alergi makanan . namun, setelah dilakukan rawat inap, dilaporkan bahwa pasien tidak
mendapatkan penanganan lebih lanjut, sehingga cara untuk meghindari rawat inap contohnya dengan pemberian
epinefrin lebih awal menjadi topik penting dalam penelitian. Dan telah jelas, bahwa rawat inap meningkatkan
kebutuhan biaya, sehingga dengan membuat keputusan apakah pasien akan di rawat inap atau tidak menjadi hal yang
penting. Dengan mengidentifikasi ebberapa metode untuk mengurangi rawat inap akibat FIA, sebagai contoh dengan
adanya protokol yang jelas untuk memberikan epinefrin lebih awal, apra praktisi klinis mampu mengurangi angka
rawat inap disamping itu juga mampu meningkatkan pastient safety.

Keterbatasan penelitian ini adalah penelitian ini emnggunakan studi retrospective, dimana terdapat kemungkina
adanya informasi penting yang tidak tercatat di rekam medis.selama periode enam tahun penelitian, igd yang kami
teliti mengalami perubahan dalam peb=ncatatan rekam emdis, dari tulisan tangan ke elektronik, sehingga mungkin
mempengaruhi informasi yang didokumentasi. Selain itu, karena kasus yang kami teliti diidentifikasi menggunakan
ICD 9, adanya kesalahan kode mungkin terjadi. Dokumentasi di igd juga masih buruk, sehingga mungkin saja gejala
yang muncul sebelum sampai di igd tidak dicatat. Keputusan klinis dari dokter untuk merawat inap pasien juga
bervariasi di antara dokter, dan juga belum ada guideline yang tersedia untuk merawat inap pasien dengan fia. Lebih
lanjtu, keputusan untuk merawat inap pasien tidak hanya berdasar pada luaran klinis pasien tapi juga bergantung pada
keadaan psikososial dan ekonomi. Meskipun terapi anafilaksis menggunakan epinefrin direkomendasikan secara
universal, hanya ada sedikit penelitian yang meneliti tetntang waktu yang tepat pada pemberian epinefrin. Pada
penelitiaan saat ini, waktu yang tepat pada saat terjadinya paparan dan pemberian epinefrin sering tidak bisa
ditentukan berdasarkan rekam medis.

Kesimpulannya, penanganan fia dengan epinefrin lebih awal, berhubugngan dengan penurunan risikorawat inap pada
populasi ini. Temuan ini mendukung ketepatan pemberian epinefrin pada kasus fia. Kepemilikan epinefrin
autoinjector secara dramatis meningkatkan kecenderungan untuk pemberian peinefrin lebih awal, hal ini
emngindikasikan bahwa adanya akses terhadap epinefrin mungkin menjadi hal paling penting yang mampu
menurunkan angka rawat ianp pada fia. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengidentifikasi metode yang
dieprlukan untuk meningkatkan kesiapan pasien untuk melakukan penanganan anafilaksis di masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai