Anda di halaman 1dari 24

PENDAHULUAN

Kelainan trombotik merupakan salah satu penyebab utama dari mortalitas dan
morbiditas pasca operasi. Hampir 30% penderita yang mengalami pembedahan umum
dapat terjadi Deep Vein Thrombosis (DVT) dan sebagian besar pada pasien yang
mengalami operasi di daerah pelvis dan orthopedic. Dimana pada operasi ekstremitas
atas, spine dan knee arthroscopy (3%), total hip replacement (30-50%), total knee
replacement (40-60%), dan kejadian DVT ini sangat mungkin dapat mengakibatkan
emboli pulmonal (Tambunan, 1996; Bulger, 2002; Darryl, 2002).
Pada tahun 1550 ditemukan penyakit vena perifer oleh Eber Papyrus yang dicatat
sebagai penyakit perdarahan yang fatal yang dapat terjadi dari pembedahan pada varises.
Pada tahun 1644 Schenk menyatakan adanya vena thrombosis sehingga terjadi
penyumbatan pada vena cava inferior dan tahun 1846 Virchow mengenalkan hubungan
antara vena thrombosis pada kaki dengan emboli paru (Carter, 1994; Hulger, 2002).
Deep Vein Thrombosis adalah suatu keadaan terjadinya pembekuan darah di vena
dalam pada ekstremitas bawah yang dapat mengakibatkan penderitaan dan kematian jika
tidak segera diketahui dan tidak diobati secara efektif. Kematian dapat terjadi jika
thrombus terlepas sehingga membentuk emboli yang dapat mengakibatkan penyumbatan
arteri dari paru (Hyes, 1999).
Trombus terbentuk akibat terjadinya ketidakseimbangan hemosatik yang normal
dalam mempertahankan viskositas darah sehingga keseimbangan bergeser dan terjadi
pembentukan thrombus. Komposisi dari thrombus menggambarkan sifat dari keadaan
aliran di dalam pembuluh darah dimana mereka terbentuk. Dalam keadaan aliran yang
tinggi, ditemukan pada bagian arteri dari sistem sirkulasi, thrombus terbentuk terutama
dari agregasi platelet (disebut thrombus putih). Tetapi pada keadaan aliran darah yang
rendah seperti ditemukan pada bagian vena dari sistem sirkulasi, thrombus terbentuk
terutama dari fibrin dan sel darah merah yang terjebak (disebut thrombus merah)
(Supandiman, 1996, Soft, 1996).
Kontrol perdarahan akibat pembedahan mendapat perhatian pada pelayanan bedah
dan anestesi. Kontrol perdarahan mempunyai suatu sistem yang komplek dan baik untuk
memberikan hemostatis setelah terjadi trauma dan pembedahan yang akan mengurangi

1
kehilangan darah. Teori cascade koagulasi memberikan suatu konsep yang menjelaskan
reaksi koagulasi akibat rangsangan suatu prokoagulan yang menghasilkan pembentukan
cloth. Sistem koagulasi digambarkan sebagai keseimbangan antara prokoagulan pathway
dan suatu sistem komplek fisiologi antikoagulan yang membatasi proses koagulasi di
tempat kerusakan vaskuler. Kegagalan dari prokoagulan atau proses antikoagulan akan
menyebabkan perdarahan atau trombosis atau sebaliknya (Gordon, 1995; Nugrahi, 1996).
Thrombus vena terjadi paling sering di dalam vena-vena dari tungkai bawah
dimana timbul sebagai tromboplebitis, sebuah sindroma nyeri dan pembengkakan tungkai
bawah. Diagnosis dari trombosis vena pada tungkai bawah mungkin sulit dilakukan jika
hanya berdasarkan data klinis saja. Tromboemboli vena mengenai 1 dari tiap 1000
penduduk per tahunnya dan emboli paru adalah merupakan komplikasi paling serius dari
kelainan ini. Sebanyak 70% dari penderita dengan emboli paru memiliki thrombosis vena
yang asimptomatik pada tungkainya (Carter, 1995; Bulger, 2002).

FISIOLOGI KOAGULASI
Mekanisme Prokoagulasi (Soft, 1996)
Pada keadaan normal yang menyertai trauma pada pembuluh darah, terdapat
3 tipe respon yang memberikan kontribusi pada hemostasis :
1. Vasokontriksi
2. Adhesi dan agregasi platelet
3. Pembentukan bekuan fibrin
Ketiga hal tersebut merupakan proses yang saling berhubungan.
1. Vasokontriksi
Endotel sel (EC) menghasilkan rennin, merupakan suatu activator angiotensin dan
endotelin suatu hormon peptida yang dapat menginduksi kontraksi otot polos vaskuler
media, kehilangan atau penurunan produksi EC, endothelium derived relaxing factor
(nitric oxide) dan prostasiklin (PGI2) juga menghasilkan vasokontriksi, agen ini dikenal
mempunyai efek vasodilatasi yang poten. Vasokontriksi merupakan respon awal yang
terjadi pada trauma untuk menghentikan aliran darah pada pembuluh darah yang terkena
trauma.

2
2. Adhesi dan agregasi platelet
Adhesi platelet pada dinding pembuluh darah sebagian besar dihantarkan oleh
faktor von Willebrand (vWF) dan membran platelet reseptor von Willebrand factor.
Protein lain yang mempunyai kontribusi pada adhesi platelet adalah fibronectin, laminin ,
trhombospandin dan vitronectin.
Adhesi diikuti oleh aktifasi platelet, pelepasan granula dan agregasi. Pelepasan
ADP dari granula padat mengaktifkan platelet tambahan di samping protein dari granula
alfa, meliputi von Willebrand Factor, fibrinogen dan factor V yang memberikan
kontribusi pada aktivitas trombosis dan bekuan fibrin.
Beberapa stimulasi seperti adhesi, tekanan dan paparan thrombin, ADP, kolagen,
epinefrin, tromboxan A2 dapat menyebabkan aktivitas platelet. Agregasi platelet
dirangsang melalui single pathway. Aktivasi tersebut tergantung dari perubahan
kompleks membran glikoprotein IIb/IIIa (GP IIb/IIIa) terhadap afinitas reseptor. Ikatan
silang platelet terjadi melalui ikatan yang menghubungkan kompleks GP IIb/IIIa dengan
salah satu ikatan potensial, terutama fibrinogen.
3. Pembentukan bekuan fibrin
Bersamaan dengan aktivitas dan agregasi, interaksi dengan faktor-faktor
koagulasi mengakibatkan pembentukan bekuan-bekuan fibrin. Cascade koagulasi yang
diketahui dijelaskan pada gambar 1. Mekanisme utama dari koagulasi in vivo melalui
ekstrinsic pathway juga dikenal sebagai tissue factor parthway. Tissue factor
dilepaskan oleh jaringan vaskuler yang mengalami kerusakan dan berfungsi sebagai
cofactor untuk aktivitas factor VII. Faktor VII ini kemudian mengaktifkan factor X dan
IX. Rangsangan pada sirkulasi factor XII terhadap kerusakan dinding pembuluh darah
mengakibatkan aktivitas Intrinsic pathway.
Faktor XII, prekalikrein dan kininogen dengan berat molekul tinggi bersama-sama
berfungsi sebagai kontak sistem yang merupakan bagian dari positive feed-back loop
yang selanjutnya mengaktivasi intrinsic system. Intrinsic system proksimal terhadap
factor XI dipercaya berperan sedikit pada hemostasis seperti defek pada factor kontak
yang tidak berhubungan dengan kecenderungan perdarahan.

3
EPIDEMIOLOGI
Emboli paru lebih sering dialami oleh wanita dibanding pria dengan ratio 1,2 : 1
dan juga diperkirakan jumlah pasien wanita yang meninggal akibat emboli paru dari
komplikasi DVT dalam satu tahum melebihi jumlah wanita yang meninggal dari
karsinoma payudara setiap tahun di Amerika (Bulger, 2002).
Kejadian DVT terjadi kira-kira 2 dari 1.000 pasien yang sering terjadi pada usia
>60 tahun dan cenderung terjadi selama immobilisasi yang panjang dan setelah
pembedahan dan sakit yang lama. Pasien yang dirawat di rumah sakit kejadian vena
thrombosis bervariasi antara 20-70% (Carter, 1994).

4
FAKTOR RESIKO
Lamanya waktu operasi merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan
faktor resiko terjadinya DVT. Resiko yang terjadi rendah bila operasi berakhir kurang
dari 30 menit tetapi meningkat secara bermakna dengan perpanjangan waktu operasi dan
proporsional dengan lamanya immobilisasi pasca operasi.
Anestesi umum juga mengakibatkan resiko DVT yang lebih tinggi dibandingkan
dengan regional enestesi (subarakhnoid blok dan epidural) yang dihubungkan dengan
meningkatnya aliran vena. Faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan resiko terjadinya
thrombosis vena pasca operasi dapat dilihat pada tabel.

Tabel : Faktor Resiko Penyakit Thromboemboli Pasca Operasi


Umur > 60 tahun
Keganasan
Kegemukan
Estrogen, Oral kontrasepsi
Infeksi pasca operasi
Gagal Jantung Kongestif
Varises vena
Stroke & Trauma korda spinalis akut
Kehamilan dan persalinan
Operasi orthopedic dan Pelvis
Bedah umum > 30 menit
Immobilisasi berkepanjangan
Umur menggambarkan variable paling penting. Resiko mulai timbul pada usia 60
tahun dan meningkatkan resiko thrombosis berulang. Pasien dengan keganasan memiliki
resiko 1,5-3 kali lipat daripada pasien dengan tumor jinak. Kegemukan meningkatkan
resiko 50%. Kontrasepsi oral dan estrogen lain diduga sama dengan mendepresi aktifitas
antithrombin III. Jika mungkin, kontrasepsi oral sebaiknya dihentikan paling tidak satu
bulan sebelum operasi elektif (Cogo, 1994).

5
PATOFISIOLOGI
Mekanisme pasti mengenai keadaan yang mengawali terjadinya thrombosis masih
belum dipahami. Tiga kelompok faktor pendukung yang dikenal sebagai trias Virchow
lazim dijumpai (Prince, 1995; Soft, 1996; Bulger, 2002) :
1. Statis atau lambannya aliran darah
Merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya trombosis dan tampaknya menjadi
faktor pendukung pada keadaan immobil atau keadaan dimana anggota gerak
tidak dapat dipakai untuk jangka waktu yang lama. Immobilisasi, seperti selama
masa perioperasi atau paralysis menghilangkan pengaruh dari pompa vena perifer,
meningkatkan stagnasi dan pengumpulan darah diekstremitas bawah. Disebutkan
bahwa statis darah diekstremitas bawah merupakan predisposisi untuk deposisi
trombosit dan fibrin, yang mencetuskan perkembangan trombosis vena dalam.
2. Cedera endotel
Walaupun cedera endotel diketahui dapat mengawali pembentukan trombus,
namun lesi yang nyata tidak selalu dapat ditunjukkan, tetapi mungkin akibat
adanya perubahan endotel yang tidak jelas yang disebabkan oleh perubahan
kimiawi, iskemia, anoksia atau peradangan. Penyebab kerusakan endotel yang
jelas adalah trauma langsung pada pembuluh darah, seperti kemoterapi atau
antibiotik dosis tinggi.
3. Hiperkoagulabilitas darah
Ini tergantung pada interaksi kompleks antara berbagai macam variabel, termasuk
endotel pembuluh darah, faktor-faktor pembekuan dan trombosit, komposisi dan
sifat-sifat aliran darah. Selain itu, sistem fibrinolitik intrinsic menyeimbangkan
system pembekuan melalui lisis dan disolusi bekuan untuk mempertahankan
patensi vaskuler. Keadaan hiperkoagulasi timbul bila ada perubahan pada salah
satu dari variabel-variabel ini.
Trombosis vena, apapun rangsangan yang mendasarinya akan meningkatkan resistensi
aliran vena dari ekstremitas bawah. Dengan meningkatnya resistensi, pengosongan vena
akan terganggu, menyebabkan peningkatan volume dan tekanan darah vena. Trombosis
dapat melibatkan kantong katup dan merusak fungsi katup. Katup yang tidak berfungsi

6
atau yang inkompeten mempermudah terjadinya stasis dan penimbunan darah di
ekstremitas.
Dengan makin matangnya trombosis akan menjadi semakin terorganisir dan
melekat pada dinding pembuluh darah. Sebagai akibatnya resiko embolisasi menjadi
lebih besar pada fase-fase awal trombosis, namun demikian ujung bekuan tetap dapat
terlepas dan menjadi emboli sewaktu fase organisasi. Selain itu, perluasan trombosis
dapat membentuk ujung yang panjang dan bebas sehingga dapat lepas menjadi emboli
yang menuju sirkulasi paru-paru.
Perluasan progresif juga meningkatkan derajat obstruksi vena dan melibatkan
daerah-daerah tambahan dari sistem vena. Pada akhirnya, patensi lumen mungkin dapat
distabilkan dalam derajat tertentu atau direkanalisasi dengan retraksi bekuan dan lisis
melaui sistem fibrinolitik endogen. Tetapi beberapa kerusakan residual tetap bertahan.

TANDA DAN GEJALA DEEP VEIN THROMBOSIS


Tanda dan gejala dari DVT dihubungkan dengan tingkat penyumbatan aliran
darah vena dan peradangan dari dinding pembuluh darah. Kebanyakan trombus yang
terjadi tidak berarti mengakibatkan penyumbatan dalam aliran darah vena dimana adanya
kolateral vena dan peradangan dinding pembuluh darah vena mungkin minimal.
Sebaliknya banyak kondisi nonthrombosis menghasilkan tanda dan gejala DVT.
Penelitian yang dilakukan berulang-ulang mendokumentasikan adanya kesulitan dari
diagnosis secara klinis DVT pada ekstremitas bawah (Supandiman, 1996; Darryl, 2002).
Kebanyakan pasien asimptomatik namun secara klinis terdiri dari :
1. Edema, biasanya unilateral, merupakan gejala yang spesifik. Edema yang masif
dengan sianosis dan iskaemi jarang terjadi.
2. Nyeri pada kaki terjadi pada 50% pasien, tetapi disini seluruhnya nonspesifik.
3. Kelembutan (Tenderness) terjadi 75% tetapi juga ditemukan 50% dari pasien
tanpa DVT yang obyektif.
4. Kehangatan (warmth) dan erythem dari kulit dapat terjadi diatas area trombosis
5. Kemerahan (reddish) dan kebiruan (bluish) pada satu kaki
6. Nyeri persendian

7
PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan terhadap penderita dengan thrombosis sebaiknya berdasarkan
keadaan klinis pasien. Thrombosis vena adalah kejadian yang sering, khususnya pada
penderita dengan terapi immobilisasi dan pembedahan. Tetapi karena pemeriksaan untuk
mendeteksi penyebab spesifik dari thrombosis adalah mahal dan mungkin tidak merubah
manajemen dari penderita setelah episode pertama dari thrombosis, pemeriksaan
semacam ini sebaiknya dibatasi pada penderita dengan thrombosis yang berulang.
Pengukuran yang sangat berarti adalah protein C dan protein S, keduanya adalah protein
yang tergantung akan vitamin K, tetapi tidak dapat dilakukan ketika penderita mendapat
antikoagulan peroral warfarin. Akibatnya pengukuran kadar protein tersebut sebaiknya
ditunda sampai warfarin dihentikan untuk beberapa minggu (Prince, 1995; Darryl, 2002;
Deitelzweig, 2002)
Thrombosis vena yang berhubungan dengan keganasan menjadi paling sering
terjadi pada penderita dengan penyakit lanjut. Dasar biokimiawi untuk efek prokoagulan
dari tumor adalah tidak selalu terbukti dan mungkin berbeda untuk perbedaaan tipe tiap
tumor. Sebagai contoh, beberapa tumor mengeluarkan faktor jaringan lain, yang
menghasilkan aktifator dari faktor X dan yang lainnya lagi menghasilkan fibrinolitik
inhibitor.
Diagnosis dari DVT pada tungkai bawah adalah sulit jika berdasarkan klinis saja
dan sebaiknya ditambah dengan pemeriksaan objektif. Pemeriksaan objektif yang standar
untuk thrombosis vena adalah venogram. Venography mendeteksi thrombus di dalam
sistem vena dalam pada paha dan poplitea, femoral dan vena iliaka. Tetapi venogram
merupakan pemeriksaan yang invasif dan tidak bisa dipergunakan untuk pemeriksaan
serial. (Prince, 1995; Deitelzweig, 2002).
Beberapa pemeriksaan non invasif dapat mendeteksi adanya thrombosis vena
dengan tingkat keberhasilan yang bervariasi. Impedance Plethysmography (IPG)
mengukur perubahan impedansi elektrik dalam paha setelah deflasi dari tekanan cuff
sekitar paha dan mendeteksi gangguan dalam aliran vena dari tungkai. IPG dapat
mendeteksi thrombus vena di paha, tetapi tidak sensitif untuk thrombus vena pangkal
paha sendiri. Meskipun laporan terdahulu mengindikasikan bawah IPG sangat sensitif

8
dan spesifik untuk thrombus proksimal, penelitian terakhir menunjukkan bahwa IPG
sangat kurang sensitif dari perkiraan semula dan bahwa mungkin gagal untuk mendeteksi
oklusif dan non oklusif thrombus proksimal. Akibatnya IPG tidak dapat
direkomendasikan sebagai pemeriksaan non invasif untuk mengetahui adanya thrombus
vena terhadap penderita yang simptomatik ataupun asimptomatik (Prince, 1995).
Real time B-mode ultrasonography menggunakan gelombang suara berfrekuensi
sangat tinggi untuk menghasilkan bayangan dua dimensi dan dikatakan 97% sensitive
dan 97% spesifik untuk mendeteksi DVT proksimal pada penderita simptomatik. B-mode
ultrasonography dapat ditambahkan dengan Doppler flow detection (duplex scanning),
tetapi kontribusi dari yang terakhir terhadap akurasi diagnostic kurang begitu jelas.
Seperti IPG, ultrasonography tidak sensitif untuk thrombosis vena pada pangkal paha dan
sensitifitasnya menurun terhadap penderita asimptomatik (Prince, 1995; Darryl, 2002).
Peningkatan dari konsentrasi fragmen D dimmer dari fibrin di dalam plasma telah
dipergunakan sebagai indikasi dari adanya thrombosis vena. D-dimer hasil dari degradasi
dari ikatan silang fibrin oleh plasmin dan bertindak sebagai tanda untuk aktifitas dari
pembekuan. Meskipun peningkatan konsentrasi dari D-dimer di dalam plasma sangat
berhubungan dengan thrombosis vena (sensitifitasnya 97%), spesifisitasnya rendah 35%.
Ketiadaan peningkatan konsentrasi D-dimer tidak dapat mengesampingkan thrombosis
vena. Untuk penderita dengan gejala mengarah kepada thrombosis vena, venography
masih merupakan pemeriksaan diagnostic pilihan (Deitelzweig, 2002).

PENCEGAHAN DEEP VEIN THROMBOSIS


Keputusan untuk memulai thromboprofilaksis dan pilihan metode seharusnya
didasarkan tidak hanya pada resiko komplikasi thromboemboli tetapi juga pada
karakteristik penggunaan metode. Tindakan pencegahan yang biasa dilakukan untuk
DVT dan PE dapat dilihat pada tabel. Termasuk penggunaan antikoagulan interaksi
dengan antithrombin III atau fungsi platelet (heparin, dextran, aspirin, NSAIDs) dan alat
mekanis untuk mencegah pooling darah ke vena tungkai bawah (elastic stocking,
intermittent pneumatic compression). Teknik anestesi (regional anestesi > general
anestesi) juga mempengaruhi insiden thrombosis pasca operasi. Metode tersebut dapat

9
dibedakan menjadi metode fisik atau mekanis yang ditujukan pada penurunan statis vena
dan metode farmakologi yang mengurangi koagulabilitas darah (Hyes, 1999;
Deitelzweig, 2002).
Tabel Common strategies for prevention of postoperative DVT and PE________
Antithrombotic drugs Other preventive measures
Heparin Mechanical divices
- Unfractionated low dose (LDH) - Elastic compression stocking
- Low molecular weight heparin - Intermittent pneumatic compression
Oral anticoagulants Anaesthetic technic
Aspirin/NSAIDs
Dextrans_____________________________________________________

OBAT ANTITRHOMBOTIK
HEPARIN
Standar heparin (infractioned) digunakan untuk thrombopropilaksis terutama
sebagai low dose heparin (LDH). Aktifitas antikoagulan dari standar heparin diukur oleh
pentasakarida dengan tingginya afinitas ikatan untuk antithrombin III (AT III). Ikatan
heparin dengan AT III menghasilkan perubahan conformational dalam AT III sehingga
mempercepat kemampuan inaktifasi enzim koagulasi thrombin (IIa), factor Xa dan IXa
(Price, 1995).

Low Dose Heparin


Kemampuan anti thrombotik dari dosis kecil heparin (5.000 U tiap 8 atau 12 jam
pasca operasi) dalam hubungannya dengan berbagai jenis pembedahan telah
dipublikasikan secara luas sejak akhir tahun 1960. Insidensi emboli paru dan fatal emboli
paru sangat menurun sekitar 40-50%.
Sebagian besar penelitian menggunakan 5.000 unit heparin secara subkutan 12
jam sebelum operasi dan 5.000 unit subkutan tiap 8 atau 12 jam berikutnya. Tidak
terdapat perbedaan dalam efektifitas antara dua regimen, tetapi komplikasi perdarahan

10
lebih sering terjadi dengan lebih seringnya pemberian. Oleh karena itu yang
direkomendasikan adalah 5.000 unit tiap 12 jam.
Kurangnya efektifitas LDH dalam thrombopropilaksis mungkin dapat disebabkan oleh
beberapa factor, misalnya trauma otot atau jaringan lunak mungkin melepaskan tissue
thromboplastin atau faktor platelet IV dalam jumlah yang sangat besar sehingga sulit
untuk dinetralisasi oleh dosis rendah heparin (Prince, 1005; Soenarto, 1996).

Low Molecular Weight Heparin (LMWH)


Molekul heparin yang mempunyai kurang dari 18 sakarida (MW<5400) disebut
low molekul weight heparin (LMWH), memiliki kemampuan sebagai katalisator
penghambat faktor Xa oleh AT III tetapi tidak mampu untuk mempercepat inaktifasi dari
thrombin oleh AT III.
Efek dari heparin tergantung pada berat molekul. Sediaan heparin terdiri dari
komponen dengan berat molekul bervariasi dari 3.000 40.000 dalton. Dari penelitian
terhadap heparin dengan berat molekul yang berbeda menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan kemampuan inhibisi terhadap factor Xa dengan menurunnya berat molekul.
Tetapi efek lain terhadap system pembekuan menurun dengan menurunnya berat
molekul. Dari penelitian terhadap hewan mendukung hipotesa bahwa LMWH adalah
antithrombotik paling kuat (Soenarto, 1996).

ORAL ANTIKOAGULAN
Sintesa dari faktor II, VII, IX dan X serta Protein C di dalam hati dipengaruhi
oleh vitamin K yang bekerja sebagai kofaktor dalam karboksilasi dari residu asam
glutamate. Oral antikoagulan menghambat regenerasi dari residu vitamin K sehingga
menyebabkan keadaan berkurangnya vitamin K fungsional. Untuk thrombopropilaksis
terapi oral antikoagulan dengan antagonis vitamin K, warfarin masih dapat bekerja
dengan efisien. Oral antagonis vitamin K dapat meningkatkan resiko terjadinya
perdarahan sehingga harus dimonitor secara ketat untuk mempertahankan prothrombin
time dalam rentang 1,3 1,5 kali dari kontrol. Prothrombin time lebih dari 1,7 2,5 dari
kontrol dihubungkan dengan potensial komplikasi perdarahan (Soenarto, 1996).

11
ASPIRIN/NSAID
Dari penelitian secara random terhadap pasien yang mengalami operasi umum
atau orthopedic menunjukkan bahwa terjadi penurunan kejadian DVT dan PE pada
pasien yang mendapatkan propilaksis antiplatelet dibandingkan kontrol, tetapi masih
lebih tinggi jika dibandingkan dengan efek propilaksis yang dicapai dari penggunaan
LDH.

DEKSTRAN
Keadaan hiperkoagulasi yang disebabkan karena trauma jaringan dapat dikurangi
oleh dekstran. Dekstran bukan antikoagulan tetapi bekerja sebagai antithrombotik dengan
mempengaruhi rheologi darah dan menyesuaikan sistem hemostasis. Infuse dekstran
dapat mengakibatkan terjadinya pengembangan volume plasma sehingga terjadi
hemodilusi dan menurunkan viskositas darah yang bersama dengan efek disagregasi
eritrosit memperbaiki aliran darah, khususnya pada sistem vena dimana tekanannya
rendah (Prince, 1995).
Pengaruh dekstran pada sistem hemostasis dapat menyebabkan penurunnan
aktifitas platelet, penurunan viskositas darah, pengurangan aktifitas factor VIII,
penguatan aktifitas plasminogen, akselarasi penghambatan factor Xa oleh antithrombin
III dan penurunan kadar fibrinogen. Struktur molekul dan tegangan permukaan dari fibrin
dipengaruhi oleh dekstran sehingga menghasilkan peningkatan lisis dari cloth yang
terbentuk.
Dekstran menunjukkan hasil yang efisien untuk preventif dari komplikasi
thromboemboli tetapi tidak seefisien LMWH untuk pencegahan DVT. Dari penelitian
Clagett et al menunjukkan penurunan resiko DVT pada kasus bedah umum dengan
LMWH sebesar 86% dengan LDH sebesar 68% dan dekstran sebesar 38%. NIlai
perbandingan penurunan resiko DVT untuk pasien orthopedic yang dilakukan elektif hip
replacement ditemukan 68% dengan LMWH, 32% dengan LDH dan 41% dengan
dekstran.
Penggunaan perioperatif kombinasi antara heparin dengan dekstran terhadap
pasien dengan resiko sedang sampai tinggi terhadap komplikasi thromboemboli adalah

12
menarik sejak dekstran ditambahkan selama prosedur operasi sebagai plasma ekspander.
Pada pasien dengan tanpa kelainan hemostasis pemakaian dekstran tidak melebihi 1,5
mg/kgBB/24 jam dilaporkan aman.
Dekstran dapat mengakibatkan sejumlah efek samping yang serius, termasuk
reaksi alergi yang bervariasi dari ringan hingga anafilaksis. Kejadian reaksi alergi yang
serius ditemukan kurang dari 1%. Terdapat laporan peningkatan perdarahan pasca operasi
tetapi tidak dengan preparat dekstran yang terbaru dalam dosis kurang dari 1,5
mg/kgBB/24 jam.
Sebaiknya tidak diberikan pada penderita dengan asma atau riwayat reaksi alergi
terhadap dekstran. Dan dikontraindikasikan pada pasien bedah saraf bila diperkirakan
terdapat defek pada sawar darah otaknya. Efek osmotic dari dekstran dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intra cranial (Prince, 1995; Soenarto,1996).

METODE FISIK
Metode fisik dari thrombopropilaksis termasuk pengangkatan tungkai, segera
mobilisasi, fleksi pasif kaki stocking bertekanan, electrical calf-muscle stimulation dan
intermiten pneumatic compression. Meskipun sebagian besar dari tersebut diatas
sederhana, mudah dan bebas dari resiko perdarahan mereka kurang efektif (Darryl, 2002;
Deitelzweig, 2002).

GRADUATED COMPRESSION STOCKING


Kompresi bertahap dari tungkai dengan tekanan luar sebesar 18 mmHg pada
pergelangan kaki menurun sampai 8 mmHg pada pangkal paha menunjukkan
peningkatan rata-rata aliran vena femoralis. Secara signifikan meningkatkan kecepatan
aliran darah vena femoralis dan clearance dari material kontras radiology. Tetapi
efektifitasnya kurang jelas pada pasien dengan peningkatan resiko penyakit
thromboemboli. Beberapa keuntungan tambahan ditunjukkan ketika ia digunakan
bersamaan dengan dosis rendah heparin atau dekstran (deitelzweig, 2002).

13
EXTERNAL PNEUMATIC COMPRESSION (EPC)
Kompresi udara secara intermiten, paling efektif dari metode mekanisme
thrombopropilaksis, pertama kali digunakan pada tahun 1959. Cuff, boot atau stocking
secara bergantian dipompa dan dikempeskan dengan tekanan udara. Beberapa alat yang
dapat digunakan dan berbeda dalam durasi lama siklus, tekanan yang digunakan metode
pemakaian tekanan. Mereka memperbaiki pulsatil aliran vena dan mungkin menyebabkan
aktifasi dari system fibrinolisis. EPC telah menunjukkan efektif pada operasi ginekologi,
urology dan neurology. EPC tidak efektif jika kompresi hanya digunakan selama operasi
atau kurang dari 48 jam berikutnya. Oleh karena itu pemakaian EPC direkomendasikan
untuk diteruskan selama periode dari faktor resiko.

THROMBOPROPILAKSIS DAN REGIONAL ANESTESI


Resiko komplikasi perdarahan setelah dilakukan tehnik anestesi epidural, atau
subarachnoid blok terlihat kecil. Resiko diperkirakan sekitar 1 : 150.000 setelah epidural
dan 1 : 220.000 setelah spinal anestesi (Covino, 1994).
Tingginya laporan kejadian kerusakan vaskuler pada spinal dan khususnya pada
jarum epidural atau insersi kateter epidural menjelaskan perlunya perhatian khusus antara
ahli anestesi dan operator untuk pemakaian obat antithrombotik atau pada pasien yang
menunjukkan gangguan hemostatik. Komplikasi perdarahan akibat epidural dan
subarahnoid blok dapat menyebabkan pembentukan hematom sehingga terjadi kompresi
korda spinalis dan kemudian paraplegi tungkai. (Covino, 1994).
Heparinisasi setelah penusukan jarum epidural atau spinal dan penempatan kateter
epidural diperkirakan kurang beresiko daripada pemberian antikoagulan sebelum
prosedur regional anestesi. Pada pemberian 5.000 unit LDH sebelum regional anestesi,
efek maksimal antikoagulan dapat dicapai 40-50 menit setelah injeksi intramuskuler atau
subkutan tetapi mungkin bervariasi pada respon individual terhadap heparin.
Thrombopropilaksis dengan 5.000 unit heparin 2 jam sebelum spinal atau epidural
anestesi dipertimbangkan aman oleh Lowson & Goodchild. Kesimpulan yang sama juga
untuk pasien orthopedic oleh Allemann et al dan bedah umum oleh Stow & Burrows
(Covino, 1994; Soft, 1996).

14
PENANGANAN DEEP VEIN THROMBOSIS
Pengobatan dari penyakit thromboemboli didasarkan pada beberapa pertimbangan
penting. Pertama jika thromboemboli dapat ditoleransi dengan baik, terapi dengan
antikoagulan dapat diberikan untuk mencegah pembentukan cloth/gumpalan lebih lanjut
dan membiarkan cloth organization dan endogenous fibrinolisis terjadi. Sebagian besar
penderita dengan DVT dan emboli paru masuk ke dalam kategori ini.
Kedua, jika pembentukan cloth signifikan dan migrasi terjadi ketika pemberian
antikoagulan sudah adekuat atau jika antikoagulan dikontraindikasikan, maka
pemotongan vena sebaiknya dipertimbangkan untuk mencegah terjadinya emboli paru
masif. Ketiga, jika gumpalan yang masif siap mengisi sirkulasi paru, terapi thrombolitik
dipergunakan untuk melarutkan gumpalan secara cepat dan mengurangi tegangan jantung
kanan (Darryl, 200,; Deitelzweig, 2002).

OBAT ANTIKOAGULAN
Obat antikoagulan adalah obat atau golongan obat yang kerjanya menghalangi
pembekuan darah. Menurut cara kerjanya ada 2 macam (Soenarto, 1996) :
1. Langsung (direct) pada pembekuan darah anti-trombin III
2. Tidak langsung (indirect), dengan mekanisme menghambat pembekuan darah
dengan memutuskan hubungan antara faktor pembekuan yang dibentuk di hati
yang memerlukan adanya vitamin K.

HEPARIN
Heparin bersifat antikoagulan langsung, dan terdiri dari banyak asam glucoronat
(26%) dan asam glukosamin (23%). Jadi heparin merupakan mukopolisakarida yang
terdiri dari glukosamin sulfat dan asam glukoronat atau asam iduronat. Aksi untuk
mengadakan gangguan terhadap perkembangan aktivitas tromboplastin ini dapat terjadi
baik invivo maupun invitro.
Perlu diingat bahwa selain heparin, terdapat pula obat lain yang berpengaruh
terhadap penurunan kadar antitrombin III, misalnya obat kontrasepsi yang mengandung
estrogen dapat menurunkan kadar antitrombin III (Soenarto, 1996; Soft, `996). Selama

15
terjadi penjendalan, trombosit akan menghasilkan faktor trombosit IV. Zat ini dapat
menetralisisr pengaruh heparin.

Metabolisme, absorbsi dan ekskresi


Heparin kurang mampu menembus membran karena ukuran molekulnya yang
besar. Juga tidak diserap oleh usus dan tidak dapat menembus plasenta. Dalam tubuh
heparin dimetabolisme dalam hati oleh enzim heparinase dan hasil metabolit yang inaktif
dikeluarkan bersama urin. Waktu paruh antikoagulan heparin dapat memanjang lebih dari
normal pada penderita dengan gangguan faal ginjal dan sirosis hati.

Cara pemberian dan dosis


Heparin dapat disuntikan intravena maupun subkutan dan jangan diberikan
intramuskuler. Obat yang tersedia biasanya berbentuk heparin sodium injection USP.
Penggumpalan darah invitro dapat dicegah dengan kadar 1 unit/ml darah dalam badan.
Dosis awal 10.000 unit diikuti dosis ulang 5000 unit sampai 10.000 unit tiap 4 atau 6 jam.

Efek samping
Efek samping yang mungkin timbul adalah :
a. Rambut rontok sampai botak yang sifatnya reversible
b. Osteoporosis sampai patah tulang pernah dilaporkan pada penderita yang
mendapatkan heparin 15.000 unit tiap hari selama 6 bulan.
c. Perdarahan merupakan komplikasi utama pemberian heparin
d. Trombositopenia dapat terjadi setelah pemberian heparin

Kontraindikasi
Pada pasien yang hipersensitivitas terhadap heparin, penderita dengan perdarahan
aktif, hemofilia, purpura trombositopenik, atau perdarahan intracranial.
Antidotum
Kerja heparin dapat dinetralisisr oleh protamin sulfat. Pemberiannya intravena
secara pelan-pelan. Diberikan sebagai larutan satu persen dengan dosis 1 sampai 1,25 mg

16
protamin per mg heparin, dengan dosis tidak melebihi 100 mg dalam waktu 24 jam.
Kelebihan dosis protamin memberikan efek antikoagulan.

ANTIKOAGULAN ORAL
Yang termasuk disini ialah kelas kumarin (bishidroksikumarin) dan indadion.
Strukturnya mirip vitamin K sintetik. Diperkirakan golongan antikoagulan ini bekerja
kompetitif terhadap vitamin K sehingga faktor-faktor pembekuan yang membutuhkan
vitamin K dalam pembentukannya akan terganggu. Faktor-faktor tersebut ialah factor II,
factor VII, factor IX dan factor X. Jadi obat antikoagulan oral tidak bekerja secara
langsung.
Beberapa faktor fisiologis dan patologis yang mempengaruhi peningkatan atau
penurunan respon terhadap obat antikoagulan oral, mempengaruhi juga efek biologis obat
yaitu (Soenarto, 1996) :
a. Faktor yang meningkatkan respon hipotrombinemia :
- Faktor yang meningkatkan defisiensi vitamin K (diet kurang, penyakit usus
halus).
- Penyakit hati dengan berbagai etiologi
b. Keadaan hipermetabolik seperti : demam, hipertiroidisme
c. Faktor yang menurunkan respon hipoprotrombinemia : kehamilan, sindrom
nefrolitik, uremia

Interaksi obat
Beberapa macam obat dapat mengadakan interaksi dengan obat antikoagulan.
Pengaruhnya dapat meningkatkan atau menurunkan respon antikoagulan oral (Soenarto,
1996) :
1. Yang meningkatkan respon : aspirin, fenilbutason, oksifenbutason,
metronidazol, kloralhidrat, d-tiroksin, steroid anabolic, kinidin, glukagon.
2. Yang mengurangi respon : barbiturate, griseofulvin, vitamin K, vitaminC
dosis tinggi dan adrenokortikosteroid.

17
Metabolisme, absorbsi dan ekskresi
Obat antikoagulan oral diserap di usus. Obat golongan ini akan mengalami
konjugasi di dalam hati dan dikeluarkan melalui urin serta tinja.

Penanganan Toksisitas
Perdarahan merupakan hal yang tidak diinginkan pada pemberian obat
antikoagulan oral. Pengobatan perdarahan karena pengaruh obat ini ialah segera
menghentikan obat dan memberikan vitamin K1 (fitonadion) bila terjadi perdarahan
berat, diberi vitamin K1 intravena paling sedikit 50 mg. Bila dengan cara ini tidak
menolong setelah beberapa jam, perlu segera tranfusi darah segar atau FFP dan
penambahan vitamin K1.
Bila penderita dengan antikoagulan oral akan menjalani operasi, obat dapat
dilanjutkan dengan penambahan vitamin K1 2,5 mg tiap hari, dua hari menjelang operasi
atau 5 mg pada hari menjelang operasi.
Alternatif lain bila penderita dengan pemberian warfarin akan menjalani operasi,
warfarin dapat dihentikan. Selanjutnya diberi subsitusi heparin dosis rendah menjelang
operasi sampai 5-7 hari setelah operasi. Kemudian kembali ke obat semula.
Kontraindikasi sama dengan heparin, termasuk penyakit hati, ginjal dan defisiensi
vitamin K.

Sediaan dan cara pemberian


1. Warfarin Sodium (Caumadin, Panwarfarin) dapat diperoleh dalam bentuk tablet 2;
2,5; 5; 7,5; 10 dan 25 mg.
2. Dicumarol (Bishidroksikumarin) dosis yang dianjurkan pada hari pertama 300
mg, hari kedua 200 mg dan dosis pemeliharaan antara 25-150 mg disesuaikan
dengan respon pengobatan.
3. Diphenadione (dipaxin). Dosis awal pada hari pertama 20-30 mg, hari kedua 10-
15 mg dan dosis pemeliharaan 2,5 5 mg setiap hari. Tersedia berupa tablet 5 mg.
4. Phenprocoumon (Liquamar). Dosis hari pertama 21 mg, hari kedua 9 mg, dan
dosis pemeliharaan antara 0,5 6 mg. Tersedia dalam bentuk tablet 3 mg.

18
5. Ansidione. Hari pertama diberikan 300 mg, hari kedua 200 mg, hari ketiga 100
mg dan dosis pemeliharaan 2 10 mg setiap hari.

OBAT ANTITROMBOTIK
Cara kerja obat antitrombotik berbeda dengan obat antikoagulan. Golongan yang
pertama bekerjanya menekan fungsi trombosit, sedang golongan kedua menekan
pembentukan atau fungsi faktor-faktor pembekuan (Soft, 1996; Deitel/weig, 2002).
Yang tergolong obat antitrombotik yaitu aspirin, sulfinpirason, dipiridamol,
dekstran 70 dan 75 dan klofibrat.
Aspirin
Obat ini menghambat pengeluaran ADP dari trombosit dan menghambat
pembentukan prostasiklin dan tromboksan A2. Akibatnya trombosit tidak cepat
bergerombol dan waktu perdarahan memanjang.
Dipiradamol
Obat ini berfungsi sebagai vasodilator, yang dalam kombinasi dengan warfarin
menghambat terjadinya emboli pada penderita dengan katup.
Sulfinpirazon
Obat ini dapat menghambat fungsi trombosit dalam hal kemampuannya melekat
pada sel-sel sub endotel dan sintesa prostaglandin.
Klofibrat
Merupakan obat hipolipedemik yang juga dapat mengurangi perlekatan in vitro.
Dekstran 70 dan Dektran 75
Invitro dekstran tidak berpengaruh terhadap fungsi trombosit dalam darah, namun
waktu pembekuan, polimerasi fibrin dan fungsi trombosit dapat terganggu in vivo.

OBAT TROMBOLITIK DAN FIBRINOLITIK


Streptokinase dan urokinase adalah protein yang telah menunjukkan peranan
dalam pengobatan penyakit tromboemboli akut. Obat ini dapat meningkatkan pemecahan
trombus dengan memacu perubahan plasminogen endogen menjadi plasmin (fibrinolisin)

19
suatu enzim proteolitik yang menghidrolisasi fibrin. Indikasinya pada emboli paru yang
luas dan tromboflebitis iliofemoralis yang berat (Price, 1995; Soenarto, 1996).

STREPTOKINASE (STREPTASE)
Dihasilkan dari streptoccus betahemolyticus. Obat ini bekerja dengan cara
interaksi dengan proaktivator plasminogen sehingga terbentuk komplek yang beraktivitas
protease dan mempercepat perubahan plasminogen menjadi plsamin.
Efek yang tidak diinginkan dengan pemberian streptokinase adalah reaksi panas,
reaksi alergi sampai anafilaksis.
Obat ini digunakan pada emboli paru akut dan trombosis vena yang letaknya
dalam. Biasanya dosis awal streptokinase adalah 250.000 I.U. Pengobatan diteruskan
untuk 24 sampai 72 jam dan selalu dimonitor dengan waktu trombin. Penggunaan lain
yaitu pada infark miokard akut.

UROKINASE (ABBOKINASE)
Zat ini adalah enzim proteolitik dan merupakan substrat alamiah yang
mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin. Kontraindikasi pemakaian urokinase adalah
pada anak, penderita yang baru sembuh dari luka trauma yang baru, keganasan di visceral
dan intracranial, cerebrovascular accident yang baru, serta kehamilan. Dosis awal
urokinase sebanyak 4,400 I.U/kg diberikan intravena selama 10 menit, kemudian
diteruskan dengan infuse 4.400 I.U/kg setiap jam selama 12 jam dan selanjutnya
diberikan heparin atau antikoagulan oral.

ANTIDOTUM OBAT FIBRINOLITIK


Antidotum yang spesifik untuk menanggulangi kelebihan dosis obat fibrinolitik
(streptokinase, urokinase) ialah asam aminokaproat.
Asam aminokaproat (Amicar) dapat diperoleh dalam bentuk suntikan, sirup atau
tablet. Dosis awal adalah 5 gr ( oral atau IV) dilanjutkan dengan 1,25 gr tiap jam sampai
perdarahan dapat dikendalikan. Dosis tidak boleh melebihi 30 gr dalam waktu 24 jam.

20
KESIMPULAN
1. Thrombosis vena dalam dan emboli paru masih merupakan penyebab utama
tingginya morbiditas dan mortalitas pasca operasi.
2. Pentingnya untuk menilai potensial resiko komplikasi trombo emboli pada pasien
dan pemberian tromboprophilaksis yang efisien.
3. Pasien dengan resiko DVT dan PE paling tinggi adalah pasien dengan operasi
knee replacement dan total hip replacement.
4. Pasien bedah orthopedi, sebagian besar ginekologi dan urology, metode yang
efektif untuk thrombopropilaksis adalah LDH, LDH-DHE dan EPC stocking.
5. Insiden resiko terjadinya DVT dan PE lebih besar didapatkan pada pasien dengan
General Anestesia bila dibandingkan dengan Regional Anestesia.

21
DAFTAR PUSTAKA
1. Bulger CM, Jacobs C : Epidemiology of acute deep vein thrombosis. Tech Vasc
Interv Radiol 2004; p.50-54
2. Carter CJ : The natural history and epidemiology of venous thrombosis. Prog
Cardiovasc Disc 1994; p.423-438
3. Cogo A, Bernardi E, et al : Acquired risk factor for deep vein thrombosis in
symptomatic outpatient, Arch Inter Med 1994; p.151, 164-168
4. Covino B.G : Handbook of Spinal Anaethesia and Analgesia, WB Saunders
company Mediglobe SA, 1994, p.127-144
5. Darryl Y. Sue. MD : Pulmonary Disease in Current Critical Care,
Lange/Mc Graw-Hill, second edition, 2002; p.7, 63-67
6. Gordon-Smith, E.C. : Haemostasis, Haemoglobinopaties and Anaesthesia in A
Practice of Anaesthesia, sixth edition, Litte, Brown and company, Boston, 1995
7. Hyes T.M : Venous thromboembolism. Am J Respir Crit Care Med, 1999 : p.159,
1-14
8. Nugrahi B.S; Hemostatis Normal, Soeparman, Waspadjii S (ED); Ilmu Penyakit
Dalam, Jilid II, FKUI, 1996, p.43-51
9. Prince A.S : Pathophysiology Clinical Concepts of Disease, EGC, 2nd Edition,
1995, p.629-635
10. Soft A. Gerald : Coagulation Mechanisms : Hemostasis and Thrombosis in
Physiologic and Pharmacologic Bases of Anaesthesia edited by Collins J.
Vincent, Williams & Wilkins, A Waferly Company, Philadelphia, 1996
11. Supandiman I : Thrombosis, Soeparman, Waspadji S (ED); Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II, FKUI, 1996, p.485-488
12. Tambunan K.L. : Masalah Hemostatis pada pasien bedah, Soeparman, Waspadji
S (ED) : Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, FKUI, 1996, p.479-484

22
REKOMENDASI
Berdasarkan trial control terhadap keamanan dan efektifitas dari beberapa
modalitas propilaksis memberikan formulasi yang direkomendasikan untuk propilaksis
thromboemboli pasca operasi pada beberapa keadaan klinis (table 5). Penilaian dari
resiko komplikasi thromboemboli, keputusan pemakaian alat propilaksis dan pilihan
regimen harus dibuat berdasarkan individual.
BEDAH UMUM
Pasien bedah umum tidak memiliki resiko yang sama pembentukan
thromboemboli, tetapi dapat digolongkan ke dalam tiga kategori. Resiko rendah Pasien
dibawah 40 tahun, prosedur operasi singkat dan tidak memiliki factor resiko lain.
Ambulasi segera dan gradual compression stocking adalah cukup propilaksis. Resiko
sedang umur diatas 40 tahun, prosedur lebih lama dan memiliki factor resiko seperti
obesitas. Modalitas dengan menunjukkan efektifnya pada bedah umum termasuk EPC,
LDH, dekstran dan oral natikoagulasi. Resiko perdarahan dengan oral antikoagulan
melebihi resiko dari thromboemboli dan tidak dijamin EPC dan LDH memiliki efektifitas
yang sebanding dan LDH-DHE mungkin lebih efektif. Meskipun dekstran mungkin sama
efektifnya dengan LDH dalam preventif PE, ia kurang efektif dalam mencegah DVT
disbanding LDH. Lagi pula karena dekstran lebih sulit pemberiannya, berhubungan
dengan kemungkinan efek samping dan lebih mahal daripada LDH, ia sebaiknya tidak
sebagai pilihan . EPC lebih susah dan kurang diterima oleh pasien. LDH-DHE lebih
mahal disbanding LDH dan membawa resiko besar. Oleh karena itu LDH adalah
propilaksis pilihan. Resiko tinggi-pasien usia tua, prosedur operasi lama, sering dengna
keganasan atau dengan riwayat penyakit thromboemboli sebelumnya. LDH dalam dosis
5.000 unit subkutan tiap 8 jam, LDH-DHE, heparin kontinu IV untuk mempertahankan
PTT pada 1,2-1,5 kali control, LDH + EPC, dan dosis rendah warfarin dimulai saat
operasi untuk mempertahankan PT pada 1,2-1,5 kali nilai control (Darryl, 2002;
Deitelzweig, 2002).
BEDAH GYNEKOLOGI
LDH terapi pilihan pertama, meskipun LDH-DHE dan EPC adalah alternative
efektif (Deitelzweig, 2002).

23
BEDAH UROLOGI
LDH efektif untuk pasien TUR, tetapi kurang baik untuk open prostatektomi,
EPC dan warfarin adalah efektif dan pilihan (Deitelzweig, 2002).
BEDAH SARAF
Sedikit pilihan untuk bedah saraf. Terbatas data menyatakan bahwa LDH adalah
aman dan efektif pada bedah saraf, tetapi tidak dianjurkan untuk pemakaian rutin. EPC
merupakan pilihan karena efektifitas dan kurangnya komplikasi perdarahan (Deitelzweig,
2002).
BEDAH ORTHOPEDI
Obat yang direkomendasikan dengan menunjukkan efektifitas pada bedah elektif
adalah LDH-DHE, warfarin dan LMWH. Pasien dengna riwayat DVT dan PE sebaiknya
mendapat warfarin. Untuk fraktur femur, warfarin dan LMWH adalah pilihan pertama
(Deitelzweig, 2002).

24

Anda mungkin juga menyukai