PENDAHULUAN
BAB II
2.1.2. Patofisiologi
HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang mempunyai
reseptor CD4. Setelah masuk ke dalam tubuh, HIV akan menempel pada sel yang
mempunyai molekul CD4 pada permukaannya. Molekul CD4 ini mempunyai afinitas
yang sangat besar terhadap HIV, terutama terhadap molekul gp 120 dari selubung
virus. Diantara sel tubuh yang memiliki CD4, sel limfosit T memiliki molekul CD4
yang paling banyak. Oleh karena itu, infeksi HIV dimulai dengan penempelan virus
pada limfosit T. Setelah penempelan, terjadi diskontinuitas dari membran sel limfosit
T yang disebabkan oleh protein gp41 dari HIV, sehingga seluruh komponen virus
harus masuk ke dalam sitoplasma sel limfosit-T, kecuali selubungnya.
Setelah masuk ke dalam sel, akan dihasilkan enzim reverse transcriptase.
Dengan adanya enzim reverse transcriptase, RNA virus akan diubah menjadi suatu
DNA. Karena reverse transcriptase tidak mempunyai mekanisme proofreading
(mekanisme baca ulang DNA yang dibentuk) maka terjadi mutasi yang tinggi dalam
proses penerjemahan RNA menjadi DNA ini. Dikombinasi dengan tingkat reproduktif
virus yang tinggi, mutasi ini menyebabkan HIV cepat mengalami evolusi dan sering
terjadi resistensi yang berkelanjutan terhadap pengobatan.
Bersamaan dengan enzim reverse trancriptase, akan dibentuk RNAse. Akibat
aktivitas enzim ini, maka RNA yang asli dihancurkan. Sedangkan seuntai DNA yang
tadi telah terbentuk akan mengalami polimerisasi menjadi dua untai DNA dengan
bantuan enzim polymerase. DNA yang terbentuk ini kemudian pindah dari sitoplasma
ke dalam inti sel limfosit T dan menyisip ke dalam DNA sel penjamu dangan bantuan
enzim integrase, dan DNA ini disebut sebagai provirus. Provirus yang terbentuk ini
tinggal dalam keadaan laten atau dalam keadaan replikasi yang sangat lambat,
tergantung pada aktivitas dan diferensiasi sel penjamu (T-CD4) yang diinfeksinya,
sampai kelak terjadi suatu stimulasi yang dapat memicu DNA ini untuk keluar dari
Ada beberapa prinsip yang harus dipatuhi dalam pelayanan VCT, yakni :
1. Dilakukan dengan sukarela, tanpa paksaan
2. Dengan persetujuan klien (informed consent)
3. Adanya proses konseling
4. Tidak boleh dilakukan tanpa adanya konselor atau dilakukan diam-diam
5. Tes dilakukan dengan menjaga kerahasiaan
Pada penelitian ini bayi tidak mendapat air susu ibu. Cara ini ternyata efektif
menurunkan transmisi perinatal dari 25,5% pada kelompok kontrol menjadi 8,3%.
Penelitian ini kemudian dilanjutkan dengan PACTG 185 yang menambahkan
imunoglobulin spesifik HIV intravena yang diberikan tiap bulan pada ibu mulai
minggu ke 20-30 hingga persalinan, kemudian dilanjutkan pemberian pada bayi
dalam 12 jam pertama. Namun ternyata hiperimunoglobulin tidak memberikan efek
protektif tambahan seperti yang diharapkan.
Kesulitannya, protokol PACTG 076 ini cukup rumit, membutuhkan
kepatuhan yang baik dan memerlukan biaya yang besar. Penelitian retrospektif oleh
Wade, dkk di New York menunjukkan kepatuhan orang dengan HIV-AIDS mengikuti
protokol ini seringkali tidak komplit. Transmisi yang terjadi 6,1% jika terapi dimulai
antepartum, 10,0% jika dimulai intrapartum dan 5,9% jika hanya diberikan pada bayi
dalam 12 jam pertama. Jika zidovudin baru diberikan setelah usia 48 jam, kejadian
transmisi menjadi lebih tinggi 18,4%.
Beberapa penelitian mencoba menggunakan zidovudin dalam jangka waktu
yang lebih singkat dengan regimen yang lebih sederhana dan murah. Makin lama
penggunaan antiretrovirus, makin besar kemungkinan penurunan resiko transmisi
HIV. Joao, dkk mengungkapkan pada bayi yang tidak tertular HIV, rata-rata lama
penggunaan antiretrovirus pada ibunya 16,63 minggu dibandingkan dengan lama
penggunaan antiretrovirus ibu 6,28 minggu pada kelompok bayi yang tertular HIV.
Selain monoterapi dengan zidovudin, regimen lain yang sudah diteliti alah
monoterapi dengan nevirapin dan terapi kombinasi zidovudin dan lamivudin.
Lallement, dkk juga sedang meneliti kombinasi zidovudin dan nevirapin.
Saat ini di Indonesia beberapa antiretrovirus tersebut sudah tersedia dalam
bentuk generik dengan harga yang lebih murah antara lain zidovudin, lamivudin,
nevirapin dan stavudin.
II.5. Prognosis
Prognosis HIV-AIDS menyangkut masa lamanya AIDS, kemungkinan terjadi
komplikasi, harapan terjadi kesembuhan, angka keberhasilan hidup, angka kematian
dan kemungkinan-kemungkinan lainnya yang menyangkut prognosis dari HIV-AIDS.
Prognosis untuk HIV-AIDS pada beberapa tahun terakhir ini, angka
prognosis telah meningkat secara signifikan, hal ini karena adanya obat-obatan yang
baru, dan penyuluhan dalam hal-hal yang berhubungan dengan pencegahan. Angka
rata-rata keberhasilan hidup sekarang ini adalah 35,7 tahun dan di California Utara
37,9 tahun. Angka kematian HIV adalah 15.245 kematian pada tahun 2000 dan di
Amerika pada tahun 1999 dilaporkan terjadi kematian sekitar 14.802.
Infeksi HIV pada bayi menyebutkan prognosis yang sangat buruk dengan
angka harapan hidup setelah didiagnosis 9,4 bulan. Namun penelitian selanjutnya
menunjukkan angka harapan hidup yang lebih baik (median 60-120 bulan). Tanpa
obat pencegahan, dua pertiga bayi yang tertular HIV dari ibunya tetap asimptomatik
sampai usia sekolah dan perjalanan penyakitnya perlahan-lahan; 20-30% sisanya
penyakit lebih progresif dan sudah bermanifestasi pada tahun pertama. Infeksi
oportunistik yang berat seperti pneumocystis carinii, ensefalopati dan gangguan
BAB III
KESIMPULAN