Anda di halaman 1dari 6

Nama : Ucik Fauziah Agustina

NPM : 15710359

1. Cardiorenal Syndrome
CRS ( adalah penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh penurunan fungsi
jantung. Mengingat fungsi ginjal antara lain mengatur garam dan cairan maka
penurunan fungsinya akan menyebabkan pengobatan terhadap gagal jantung
terganggu. Definisi ini tidak dapat menjelaskan semua bentuk korelasi antar organ
ginjal - jantung, oleh karena itu Ronco dkk (2008) mengusulkan perbaikan
definisi CRS sebagai berikut :
DEFINISI SINDROMA KARDIORENAL ( CRS) menurut RONCO dkk (2008)
(www.nature.com/clinicalpractice/neph.advance online publ)
Tipe Syndrome Patofisiologi
I Acute Cardiorenal Penurunan fungsi jantung akut
(acute cardiogenic shock atau ADHF)
yang menyebabkan Gangguan Ginjal
Akut (GgGA)
II Chronic Cardiorenal Penurunan fungsi jantung kronis (gagal
jantungkongestif) yang menyebabkan
penyakit ginjalkronis (PGK)
III Acute Renocardiac Penurunan fungsi ginjal akut (iskemi
atau glomerulonefritis)menyebabkan
gangguan jantung akut
(aritmia,iskemia,infark)
IV Chronic Renocardiac Penurunan fungsi ginjal kronis
(iskemi atau glomerulonefritis kronik
fungsi) menyebabkan gangguan
jantung kronis ( LVH, gagal jantung,
PKV lainnya)
V Secondary Cardiorenal Kondisi sitemik (diabetes mellitus,
sepsis) menyebabkan gangguan kedua
organ.

Patofisiologi :
Timbulnya perburukan dari fungsi ginjal dengan atau adanya resistensi terhadap
diuretik selama pengobatan pasien dengan gagal jantung merupakan keadaan yang
sering terjadi serta dapat diperkirakan sebagai suatu masalah klinis yang sulit.
Pada keadaan ini belum terdapat suatu strategi yang konsisten dan efektif, dan
terbanyak dilakukan pendekatan secara empirik, yaitu: deteksi sindrom
kardiorenal dan mengantisipasi timbulnya perburukan fungsi ginjal dan atau
resistensi diuretik, optimalisasi pengobatan gagal jantung, evaluasi struktur dan
fungsi ginjal, optimalisasi dosis diuretik, terapi khusus untuk ginjal, dan
penggunaan terapi yang sedang dalam tahap penelitian bermanfaat untuk sindrom
kardiorenal.

Manifestasi klinis dari sindrom kardiorenal dapat berupa:


- Insufisiensi ginjal
- Resistensi terhadap diuretik
- Anemia
- Kecenderungan untuk terjadi hiperkalemia
- Tekanan darah sistolik yang rendah.

2. Hepatorenal Syndrome
Sindrom hepatorenal (hepatorenal syndrome/HRS) merupakan komplikasi
terjadinya gagal ginjal pada pasien penyakit hati kronik, kadang-kadang berupa
hepatitis fulminan dengan hipertensi portal dan ascites.

Patofisiologi :
Tanda khas HRS adalah terjadinya vasokonstriksi ginjal, walaupun berbagai
mekanisme dianggap mungkin berperan dalam timbulnya HRS. Karakteristik pola
hemodinamik pasien HRS antara lain: peningkatan curah jantung (cardiac output),
penurunan resistensi vaskuler sistemik, dan peningkatan resistensi vaskuler renal.
Menurut studi Doppler pada arteri brachial, cerebri media, dan femoralis
menunjukkan bahwa resistensi ekstrarenal meningkat pada pasien HRS,
sementara sirkulasi splanchnic yang bertanggung jawab untuk vasodilatasi arteri
dan resistensi vaskuler sistemik total menurun. Patofisiologi sindrom hepatorenal
pada sirosis sampai sekarang masih belum diketahui secara jelas.
JENIS HRS
Gagal hati atau gangguan hati berat dapat berkembang menjadi 2 bentuk
HRS, dikenal dengan HRS tipe 1 dan tipe 2. Pembagian ini berdasarkan
perjalanan penyakit dan faktor pencetusnya. Tipe 3 dan tipe 4 pernah disebutkan,
tetapi belum cukup studi yang mendukung pembagian ini.
Tipe 1
Pada HRS tipe 1 serum kreatinin naik dua kali lipat atau lebih dari 2,5 mg/dL
dalam 2 minggu. Tanda khas tipe ini adalah perkembangan penyakit yang cepat
dan risiko kematian tinggi, rata-rata kelangsungan hidup hanya 1-2 minggu. HRS
tipe ini dapat dicetuskan oleh infeksi bakteri, seperti spontaneous bacterial
peritonitis (SBP), variceal hemorrhage, infeksi besar, acute alcoholic hepatitis,
atau acute hepatic injury yang berhubungan dengan sirosis. Acute hepatic
decompensation dapat terjadi karena hepatitis virus akut, drug-induced liver injury
(acetaminophen, idiopathic drug-induced hepatitis).
Tipe 2
Pada HRS tipe 2, gagal ginjal ditunjukkan dengan peningkatan kadar serum
kreatinin selama beberapa minggu atau bulan bersamaan dengan penurunan
glomerular filtration rate (GFR) tanpa faktor pencetus. Rerata ketahanan hidup
pada HRS tipe 2 ini kurang lebih 6 bulan, secara bermakna
lebih lama dibandingkan dengan HRS tipe pertama. HRS tipe 2 dapat berkembang
menjadi HRS tipe 1 karena faktor pencetus atau tanpa faktor pencetus yang jelas.
Mekanisme perkembangan ini sampai sekarang masih belum jelas.
Tipe 3
Tipe ketiga merupakan sindrom hepatorenal dengan ada penyakit ginjal
sebelumnya. Pada studi didapatkan bahwa 85% pasien sirosis tahap akhir
mempunyai gangguan ginjal intrinsik yang ditemukan dengan pemeriksaan biopsi
ginjal. Masih belum jelas apakah penurunan nilai GFR dasar secara kronis yang
berasal dari penyakit ginjal intrinsik kronis merupakan faktor predisposisi HRS
pada pasien sirosis hati.
Tipe 4
Tipe keempat ini merupakan sindrom hepatorenal pada gagal hati akut. Gagal hati
akut (acute liver failure/ALF) dapat berkembang menjadi HRS, meskipun
frekuensinya bervariasi tergantung penyebab ALF. Patofisiologi ALF dipercaya
sama dengan HRS pada sirosis hati, tetapi sampai sekarang belum jelas.

PENATALAKSANAAN
Rekomendasi EASL (European Association for the Study of the Liver).
Walaupun tidak ada studi prospektif, terapi HRS sebelum dilakukan transplantasi
hati, misalnya pemberian vasokonstriktor, dapat memperbaiki hasil setelah
dilakukan transplantasi. Penurunan serum kreatinin setelah terapi seharusnya tidak
mengubah keputusan untuk melakukan transplantasi hati, karena prognosis HRS
tipe 1 masih buruk.
Rekomendasi Terapi HRS Tipe 1
Pemberian kombinasi Terlipressin (1 mg/4-6 jam secara bolus intravena) dengan
albumin harus dipertimbangkan sebagai lini pertama. Tujuan terapi ini adalah
memperbaiki fungsi ginjal untuk menurunkan kadar kreatinin serum kurang dari
113mol/L (1,5 mg/dL), hal ini disebut dengan respons penuh. Jika kadar
kreatinin serum tidak turun minimal 25% dalam 3 hari, dosis terlipressin
dinaikkan bertahap sampai maksimal 2 mg/4 jam. Untuk pasien dengan respons
sebagian (kadar kreatinin serum tidak turun < 113mol/L) atau pada pasien tanpa
penurunan kadar kreatinin serum, terapi harus dihentikan dalam waktu 14 hari
(level A1). Alternatif potensial terlipressin antara lain norepinephrine atau
midodrine ditambah octreotide, keduanya berhubungan dengan albumin, tetapi
data terbatas pada pasien HRS tipe 1 (level B1). Untuk terapi non-farmakologis
HRS tipe 1 seperti TIPS(transjugular intrahepatic portosystemic shunt atau
transjugular intrahepatic portosystemic stent shunting) dapat memperbaiki fungsi
renal, namun data penggunaan TIPS pada HRS tipe 1 tidak cukup untuk
mendukung penggunaannya sebagai terapi pasien HRS tipe 1. Terapi pengganti
ginjal (misalnya: hemodialisis atau transplantasi ginjal) berguna pada pasien yang
tidak merespons pemberian vasokonstriktor dan memenuhi kriteria untuk support
renal.
Rekomendasi Terapi HRS Tipe 2
Pemberian terlipressin ditambah albumin efektif pada 60-70% pasien HRS tipe 2,
tetapi data mengenai dampak dan hasil klinis dari terapi ini masih belum cukup
(level B1). Transplantasi hati adalah terapi terbaik, baik untuk HRS tipe 1 maupun
HRS tipe 2. HRS seharusnya diberi terapi sejak sebelum dilakukan transplantasi
hati, karena dapat memperbaiki hasil setelah dilakukan transplantasi hati (level
A1). Pasien HRS yang telah merespons terapi vasopressor sebaiknya diterapi
dengan transplantasi hati, sedangkan pasien HRS yang tidak merespons terapi
vasopressor dan membutuhkan renal support secara umum juga harus diterapi
dengan transplantasi hati saja, karena sebagian besar pasien akan mengalami
pemulihan fungsi renal setelah transplantasi hati. Beberapa subgrup pasien
membutuhkan renal support jangka panjang (>12 minggu), misalnya hemodialisis,
dan pada kelompok ini harus dipertimbangkan dilakukan transplantasi hati-ginjal
(level B2). Pasien spontaneous bacterial peritonitis (SBP) sebaiknya diberi terapi
albumin intravena karena menurunkan insiden HRS dan memperbaiki ketahanan
hidup (level A1).
Terapi
Hemodialisis sering digunakan untuk mengontrol azotemia dan menjaga
keseimbangan elektrolit sebelum transplantasi hati. Banyak pasien
membutuhkannya dengan interval bervariasi setelah transplantasi. Hipotensi
sering menjadi masalah saat dialisis. Tanpa transplantasi ketahanan hidup pasien
buruk. Dilaporkan 8 dari 30 pasien HRS bertahan 30 hari dengan dialisis atau
continuous venovenous hemodialysis di ICU.
Terapi farmakologi banyak digunakan, paling utama adalah
vasokonstriktor. Saat ini, terapi lebih berhasil pada sindrom hepatorenal tipe 1.
Kombinasi obat dengan infus albumin, yang telah dilaporkan di Eropa dan
Amerika Serikat adalah octreotide dan midodrine. Pada studi awal, 5 pasien
menerima 10-20 gram albumin intravena per hari selama 20 hari ditambah
octreotide dengan target dosis 200 g subkutan tiga kali sehari, dan midodrine
dititrasi sampai maksimal 12,5 mg oral 3 kali sehari untuk mencapai peningkatan
rata-rata tekanan darah 15 mmHg, hasilnya lebih baik. Pengobatan ini dapat
diberikan di luar ICU bahkan di rumah. Sebuah studi retrospektif di Amerika
Serikat, dengan 60 subjek yang mendapat octreotide/midodrine/albumin dan 21
subjek medapatkan albumin saja, hasilnya terjadi penurunan mortalitas pada
kelompok terapi (43% vs 71%, P < 0.05). Sebuah studi pilot tanpa kontrol atas
kombinasi obat ini, dilanjutkan dengan TIPS (transjugular intrahepatic
portosystemic shunt atau transjugular intrahepatic portosystemic stent shunting)
pada 14 pasien; dilaporkan terjadi perbaikan fungsi ginjal dan natriuresis. Dua
studi menunjukkan bahwa pemberian Octreotide saja tidak menguntungkan HRS,
tampaknya diperlukan tambahan midodrine. Dua studi acak membandingkan
penggunaan norepinephrine dengan terlipressin, keduanya mempunyai efikasi
yang sama dalam mengatasi sindrom hepatorenal tipe 1 dan tipe 2, namun terapi
ini membutuhkan perawatan di ICU.

Anda mungkin juga menyukai